Anda di halaman 1dari 7

TANTANGAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI

INDONESIA
Oleh: Isna aulia Lahidzul Ilmi

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kawasan yang hutan
yang sangat luas. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik
dapat diketahui bahwa luas kawasan hutan di Indonesia mencapai 120 juta Ha.
Dari ratusan juta hektare kawasan hutan di Indonesia tersebut sebagian
diantaranya merupakan kawasan hutan alam produksi.

Pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia sudah berlangsung selama


kurang lebih tiga dekade. Tentu tidak mudah untuk mengelola jutaan hektare
hutan. Ibarat dua sisi pada keping mata uang, pengelolaan memiliki dua dimensi
yang berbeda. Di satu sisi hutan memiliki kontribusi yang cukup besar di bidang
ekonomi. Hutan menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional dari
hasil hutan kayu maupun non kayu. Seiring dengan berkembangnya sektor
ekonomi semakin banyak pula pembangunan yang dilakukan. Banyak
pembangunan yang dapat dilakukan dari hasil pemanfaatan hutan alam produksi.
Namun, di sisi lain pengelolaan hutan yang menimbulkan suatu persoalan besar.
Pemanfaatan hutan yang tidak diimbangi dengan upaya-upaya untuk
mempertahankan dan meningkatkan produktivitas hutan akan mengakibatkan
berkurangnya kuantitas maupun kualitas hutan.

Selama ini pengelolaan hutan alam produksi hanya berorientasi pada


keuntungan sesaat dan menghasilkan devisa. Hutan alam produksi hanya
dijadikan modal untuk melakukan pembangunan. Hutan alam produksi
dieksploitasi tanpa batas dan tanpa aturan.

Tanpa adanya pengelolaan yang baik, hutan alam produksi dapat


menimbulkan bencana. Hutan alam produksi mempunyai kemampuan yang
terbatas dan rentan terhadap perubahan yang ekstrem. Ekologi hutan alam
produksi umumnya berada pada tanah-tanah yang sangat peka terhadap
perubahan yang ekstrem. Akibatnya, sebagian besar hutan alam rusak bahkan
banyak yang berubah menjadi tanah kosong yang tidak produktif dan tandus.

Semakin memburuknya kondisi hutan menimbulkan desakan dari berbagai


pihak, baik dari dalam maupun dari dunia internasional untuk memperbaiki
hutan yang masih tersisa dengan pengelolaan yang lebih baik. Untuk
mengembalikan kondisi hutan alam seperti semula perlu komitmen serius lintas
sektoral dan usaha keras yang komprehensif. Banyak tantangan yang akan
dihadapi dalam pengelolaannya. Sumberdaya hutan harus dikelola berdasarkan
suatu rencana pengelolaan yang mengarah kepada pemanfaatan secara
menyeluruh, rasional, optimal, sesuai daya dukung, serta tidak semata-mata
berorientasi kepada pemanfaatan masa kini, tetapi juga untuk menjamin
kelangsungan kehidupan di masa depan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan pada dasarnya adalah


pengelolaan hutan yang terencana. Artinya, pada setiap level dan bentuk
pengelolaan sumber daya hutan harus dikelola berdasarkan suatu rencana
pengelolaan yang mengarah kepada pemanfaatan secara menyeluruh, rasional,
optimal, sesuai daya dukung, serta tidak semata-mata berorientasi kepada
pemanfaatan masa kini, tetapi juga untuk menjamin kelangsungan kehidupan di
masa depan. Namun demikian, fakta di lapangan mengindikasikan bahwa
sebagian besar dari pengelolaan hutan alam yang dilakukan saat ini masih
kurang atau tidak mengarah pada pengelolaan hutan yang terencana sehingga
dikhawatirkan hutan alam yang dikelola tidak akan terjamin kelestariannya di
masa depan (Anonim, 2010).

Pengelolaan hutan dengan sistem timber harvesting yang telah


berlangsung selama tiga dekade telah menurunkan kuantitas serta kualitas
sumberdaya hutan di Indonesia. World Bank memperkirakan bahwa Indonesia
kehilangan 20 juta hektare hutan dalam kurun waktu 12 tahun.

Penebangan hutan alam di Indonesia seharusnya dilakukan hanya pada


pohon-pohon terpilih dan kemudian diikuti dengan kegiatan penanaman
kembali, sistem ini sering dikenal denan sebutan Tebang Pilih Tanam Indonesia
(Colfer, 2010).

Dalam praktiknya tentu sistem TPTI tidak semudah yang terlihat. Banyak
masalah dan tantangan yang mengikuti proses pelaksanaan sistem TPTI. Bahkan
terdapat suat penelitian yang menyebutkan bahwa TPTI tidak dapat mencapai
tujuan dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan (Setyarso,1990).

Banyak pemegang konsesi yang melanggar aturan TPTI dengan


melakukan penebangan secara berlebihan, merusak tegakan tinggal, tidak
melaksanakan penanaman kembali, atau melakukan penebangan diluar kawasan
penebangan miliknya (Kartodihardjo, 1998).

Selain itu, masih banyak tantangan serta masalah yang dihadapi dalam
pengelolaan hutan alam. Salah satunya adalah pembalakan yang melampaui
tngkat pembalakan yang lestari. Kajian terhadap kegiatan pembalakan yang
berlangsung di Indonesia menunjukkan bahwa produksi kayu bulat selama ini
telah melebihi tingkat pembalakan yang lestari. FAO mengindikasikan bahwa
produksi kayu bulat telah melampaui tingkat pembalakan yang lestari sejak
tahun 1989 (Nurtjahjawilasa dkk, 2013).

Masalah berikutnya adalah metode pembalakan yang tidak efisien.


Pemanfaatn sumberdaya kayu yang tidak efisien tercermin dari proporsi kayu
bulat yang dapat diperoleh, jumlah limbah tebangan, serta kerusakan yang
ditimbulkan oleh praktik pembalakan yang dilakukan pada tahun 1990-an jika
dibandingkan dengan praktik pembalakan lestari (Nurtjahjawilasa dkk, 2013).

Metode pembalakan yang tidak sesuai denga prosedur dapat menimbulkan


kerusakan ekologis yang berlebihan. Meskipun beberapa diantara kawasan hutan
bekas tebangan tersebut masih tetap mampu menghasilkan konfigurasi hutan
produktif, tetapi tidak sedikit bahkan sebagian besar kawasan hutan bekas
tebangan tersebut merupakan hutan non-produktif, lahan kritis, bahkan padan
alang-alang. Hal ini disebabkan karena teknik pembalakan konvensional yang
mengandalkan tenaga mesin tanpa diawali perencanaan yang matang
(Nurtjahjawilasa dkk, 2013).

Seperti yang telah dijelaskan diawal dalam praktik TPTI, masalah yang
sering dijumpai adalah kegiatan penanaman kembali dan regenerasi yang buruk.
Berdasarkan data yang ada, kawasan bekas tebangan hutan yang direboisasi
jumlahnya sangat minim tidak lebih dari 4% dari total kawasan hutan. Laju
penanaman kembali saat ini tidak mampu mengimbangi laju hilangnya kawasan
hutan. Jika laju deforestasi sebesar kurang lebih 1 juta ha/tahun, paling tidak
dibutuhkan kegiatan penanaman kembali dengan laju yang setara, untuk
mengkompensasi deforestasi tahunan yang terjadi akibat berbagai sebab
(Nurtjahjawilasa dkk, 2013).

Selanjutnya adalah masalah mengenai berbagai kebijakan dan pengaturan


kelembagaan yang menyebabkan timbulnya praktik-praktik yang mengabakan
kelestarian. Bidang kehutanan di Indonesia memiliki peran penting secara
ekonomi. Sector kehutanan menjadi salah satu tulang pungung pembangunan
nasional (Nurtjahjawilasa dkk, 2013). Keinginan untuk melakukan
pembangunan secara besar-besaran memicu terjadinya eksploitasi hutan secara
besar-besaran pula sehingga dapat mengancam kelestarian lingkungan
sumberdaya hutan yang akan sulit terpulihkan. Secara mendasar, permasalahan
utamanya terletak pada tidak sinkronnya konsep pembangunan sektoral
khusunya sector kehutan dengan konsep pembangunan wilayah sehingga dalam
mengimplementasikannya tidak sesuai dengan kondisi ekologi, ekonomi, dan
sosial budaya masyarakat.
Namun, bila dikaji lebih mendalam mengenai kerusakan hutan
menunjukkan adanya akar masalah yang lebih substansial, yaitu lemahnya tata
kelembgaan dan lemahnya peraturan-peraturan yang menaungi pengelolaan
hutan. Kedua hal tersebut ditengarai menjadi penyebab terjadinya biaya
transaksi tingi, tidak adanya kepastian hak dan akses masyarakat lokal terhadap
sumberdaya hutan, serta timbulnya konflik penggunaan ruang (Salim, 2010).

Oleh karena itu, diperlukan program pengelolaan hutan alam produksi


dengan perencanaan kebijakan yang cermat. Perencnaan yang cermat
memerlukan kebjakan yang menyeluruh tentang penanaman modal pada hutan
alam produksi, tidak hanya menyangkut segi teknis kehutanan, tetapi juga
menyangkut aspek politis, hukum, dan sosia. Untuk itu diperlukan database yang
akurat tentang kondisi hutn secara holistis pada masa kini, termasuk dalam aspek
politik, hukum, dan social. Ini adalah pekerjaan besar, memerlukan waktu,
tenaga, dan biaya yang tidk sedikit (Marzali, 2016).

Pembaruan kebijakan mungkin akan menimbulkan tantangan terhadap


keberhasilan. Tantangan kunci adalah untuk menghindari resiko kelemahan-
kelemahan operasional yang pada gilirannya memungkinkan hilangnya manfaat
ekonomi dan ekologi dari proses transisi ini.

III. PEMBAHASAN

Mengelola suatu kawasan hutan bukanlah suatu hal yang mudah. Perlu
pengetahuan dan keahlian khusus di bidang kehutanan. Pengelolaan hutan di
Indonesia juga masih belum sempurna. Terlebih Indonesia memiliki kawasan
hutan yang sangat luas. Banyak masalah dan tantanga yang dihadapi dalam
mewujudkan sistem pengelolaan hutan yang lestari.

Ada beberapa prinsip pengelolaan hutan secara lestari, diantaranya:

1. Kepastian kawasan, meliputi kawasan kepastian hukum atas


penggunaan lahan sebagai kawasan hutan. Penggunaan hutan yang
sesuai dengan fungsi dan tipe hutan, serta perlindungan dan
pengamanan hutan dari perambahan dan illegal logging.

2. Manajemen hutan, meliputi pemilihan dan penerapan sistem


silvikultur, pengaturan produksi tahunan, pengamatan pertumbuhan
tegakan, kondisi tegakan tinggal, prasarana permanen, dan pengelolaan
lingkungan pasca panen.

3. Pengelolaan kelembagaan, meliputi penataan organisasi dan


peningkatan SDM yang professional.
Hutan memiliki peran yang sangat penting di berbagai bidang, terutama
hutan alam produksi. Sebagai hutan produksi, hutan alam produksi tidak hanya
berpengaruh pada lingkungan, hutan alam produksi juga memiliki pengaruh
yang cukup penting di bidang ekonomi. Hasil produksi hutan mampu
menyumbang devisa yang cukup banyak untuk bangsa Indonesia. Banyak
pembangunan yang juga dapat dilakukan dari hasil produksi hutan. Oleh karena
itu, pengelolaan hutan juga harus mempertimbangkan berbagai bidang tersebut.

Ada tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan ekologi dalam pengelolaan hutan
alam. Dalam pengelolaan hutan alam produksi harus memperhatikan ketiga pilar
tersebut tanpa mengesampingkan salah satu pilar. Semuanya harus berjalan
secara seimbang. Tuntutan untuk menjaga agar ketiga bidang yang menjadi pilar
di atas dapat berjalan beriringan atau seimbang merupakan tantangan tersendiri
dalam pengelolaan hutan alam produksi.

Saat ini tantangan terbesar adalah mengembalikan funsi utama hutan yang
mulai terdegradasi akibat pemanfaatan hutan yang berlebihan. Hal ini
merupakan akibat dari pengelolaan hutan sebelumnya yang tidak memperhatikan
keseimbangan ketiga pilar tersebut. Banyak pembangunan yang dapat dilakukan
dari hasil pemanfaatan hutan. Pembangunan yang dilakukan secara berlebihan
dari hasil produksi hutan. Seperti yang telah diketahui bahwa selama tiga dekade
berlangsung sistem timber harvesting di Indonesia. Sistem ini hanya mengambil
hasil kayu dari hutan sehingga banyak terjadi penebangan pohon tanpa diikuti
penanaman pohon kembali. Pemanfaatan hutan tanpa diimbangi dengan upaya-
upaya yang signifikan untuk mempertahankan produktivitas hutan inilah yang
menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas hutan.

Untuk mengatasi masalah diperlukan sistem dengan kebijakan dan aturan


yang tegas dan mengikat. Terkait dengan pembangunan, pemerintah sebagai
pembuat kebijakan harus dapat membuat kebijakan secara tegas. Tidak asal
melakukan pembangunan yang bermodal dari eksploitasi hutan alam secara
berlebihan. Pemerintah harus mengetahui porsinya. Tantangannya pemerintah
harus dapat membedakan mana pembangunan yang benar-benar dibutuhkan dan
mana yang tidak dibutuhkan sehingga kelestarian hutan dapat dikendalikan tanpa
mengeksploitasinya secara berlebihan.

Tantangan dalam pengelolaan hutan yang selanjutnya adalah di bidang


sosial. Dalam bidang ini tantangan yang perlu dihadapi adalah meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya hutan. Masyarakat perlu mengetahui
bahwa ada hubungan timbal balik antara msyarakat dengan ekosistem yang ada
di dalam di hutan. Masyarakat perlu tahu, bila mereka dapat menjaga hutan
dengan baik maka hutan juga akan memberi manfaat yang luar biasa baik dari
manfaat lingkungan juga manfaat ekonomi.
Namun, hal di atas tentu tidaklah mudah, masyarakat biasanya hanya
berpikir jangka pendek tanpa memperhatikan dampak ke depannya. Masyarakat
cenderung memanfaatkan hasil hutan secara berlebihan untuk mendapat untung
yang banyak. Apa yang ada di hutan saat itu dimanfaatkan saat itu juga tanpa
meninggalkan sisa. Pengambilannya pun juga terkadang tidak sesuai dengan
aturan yang ada. Untuk itu, kegiatan penyadaran masyarkat akan pentingnya
hutan ini dapat dilakukan dengan cara pendekatan secara halus. Selain itu, juga
dapat dilakukan dengan berbagai sosialisasi. Dengan sosialisasi pengetahuan
masyarakat tentang hutan beserta manfaat dan cara menjaganya akan semakin
meningkat sehingga mereka dapat memperbaiki tindakan mereka dan ikut
menjaga hutan yang ada. Dengan begitu semuanya dapat berjalan beriringan dan
seimbang.

IV. KESIMPULAN

Mengelola suatu kawasan hutan bukanlah suatu hal yang mudah, butuh
pengetahuan serta keahlian khusus. Ada tiga pilar dalam pengelolaan hutan alam
produksi, yaitu ekonomi, sosial, dan ekologi. Ketiga pilar tersubut harus
diperhatikan, semuanya harus berjalan beriringan dan seimbang. Tuntutan
tersebut yang menimbulkan tantangan tertentu karena ibarat dua sisi pada keping
mata uang, pengelolaan hutan alam produksi memiliki dua dimensi yang
berbeda. Di satu sisi hutan alam produksi memiliki kontribusi yang cukup besar
di bidang ekonomi. Hutan menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi
nasional dari hasil hutan kayu maupun non kayu. Seiring dengan
berkembangnya sektor ekonomi semakin banyak pula pembangunan yang
dilakukan. Banyak pembangunan yang dapat dilakukan dari hasil pemanfaatn
hutan alam produksi. Namun, di sisi lain pengelolaan hutan yang menimbulkan
suatu persoalan besar. Pemanfaatan hutan yang tidak diimbangi dengan upaya-
upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas hutan akan
mengakibatkan berkurangnya kuantitas maupun kualitas hutan.

Sebagai pengelola hutan harus dapat menjaga keseimbangan antara bidang


ekonomi, sosial, dan ekologi. Bila semuanya dapat berjalan beriringan atau
seimbang maka masyarakat akan bahagia dan hutan akan tetap lestari.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lahan Kering. Jakarta

Barber, Charles Victor. 1999. Menyelamatkan Sisa Hutan di Indonesia dan Amerika
Serikat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Colfer, Carol J Pierce. 2010. Which Way Forward: People, Forest, and
Policymaking in Indonesia. USA: Routledge.

Contreras, Arnoldo. 2006. Memprkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia melalui


Pembaruan Sistem Penguasaan Tanah. Bogor: World Agroforestry Centre.

Elliot, Chris. 2000. Forest Certification: A Policy Perspective. Bogor: CIFOR.

Hidayat, Herman. 2015. Pengelolaan Hutan Lestari: Partisipatif, Kolaborasi, dan


Konflik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

J, Iwan. 2010. Pembangunan Berkelanjutan Peran dan Kontribusi Emil Salim.


Jakarta: KGP

KArtodihardjo. 1998. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Alam Produksi. Bogor:


Fakultas Kehutanan IPB.

Marzali, Amri. 2016. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta:


Prenadamedia Group.

Nurtjahjawilasa. 2013. Konsep dan Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari


dan Implementasinya. Jakarta: Natural Resources Development Center.

Salim, Emil. 2010. Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.

Setyarso, A. 1990. Pemantapan Tebang Pilih Tanam Indonesia Makalah penunjang


213 Bidang Pembinaan Hutan Kongres Kehutanan Indonesia II. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai