Abstract
Indonesia is a country rich in forest resources. Utilization of forest resources for the
community is very important, especially the community around the forest area. Social
Forestry is a method that has long used by countries in the world to manage their forests.
Indonesian Ministry of Forestry also apply through social forestry to manage Indonesia’s
forests and forest communities use for the one with the empowerment of the poeple of forest-
based communities.
This research was conducted in Village Fair Bahorok, District Bahorok, Langkat
District. This location is directly adjecant to Forest Gunung Leuser Park (TNGL). The
informant is divided into two key informants that KEMAGAHAN chairmain and members of
the group and regular informant that NGO, Langkat Forestry Office and The Center for
Conservation TNGL.
The results showed that KEMAGAHAN was formed by the local community.
Community was aware that they have the potential forest area that can be used one Pohon
Gaharu. They cultivated up these plants by way of self-help and the end result is to increase
income of local communities participate in the establishment and preservation forest plants.
Keyword : community empowerement, social forestry, local institution
PENDAHULUAN
Seperti yang kita ketahui, hutan merupakan paru-paru dunia karena hutan dapat
memproduksi oksigen yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup lainnya. Hutan juga
menyimpan berbagai kekayaan alam seperti pepohonan, satwa hidup, hasil tambang dan
berbagai sumber daya alam lainnya yang dapat memberikan kesejahteraan bagi manusia jika
dimanfaatkan dengan baik (Rahmawaty, 2004: 1). Hutan juga memberikan manfaat secara
langsung dan secara tidak langsung. Manfaat langsung yang dapat dirasakan seperti hasil
kayu, satwa, hasil tambang, dan lain-lain. Manfaat tidak langsung seperti manfaat rekreasi,
pencegahan erosi, perlindungan dan pengaturan tata air.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan
Hutan Pasal 5 ayat 2, maka pembagian kawasan hutan sebagai berikut :
1
1. Hutan Konservasi yang terdiri dari Kawasan Suaka Alam (Cagar Alam dan Suaka
Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya,
dan Taman Wisata), dan Taman Buru.
2. Hutan Lindung
3. Hutan Produksi
Berdasarkan kepemilikan atau status hukum, hutan dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Hutan negara (public forest), yaitu suatu kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di
atas tanah yang tidak dibebani hak milik. Hutannegarainidapatberupahutanadat,
yaitu hutan yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hokum adat
(hutan ulayat/marga/pertuanan). Sedangkan hutan negara yang dikelola oleh desa
dan dimanfaatkan demi kesejahteraan desa disebut hutan desa.
2. Hutan milik (privat forest), hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak
milik.
3. Hutan kemasyarakatan (social forest), yaitu suatu sistem pengelolaan hutan yang
bertujuan untuk mendukung kehidupan dan kesejahteraan masyarakat sekitar
hutan dengan meningkatkan daya dukung lahan dan sumberdaya alam tanpa
mengurangi fungsi pokoknya, misalnya pelaksanaan agroforestry (Arief, 2001:
53)
Dalam Pasal 1 Ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah
sebagai suatu ekosistem berupa hamparan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan.
Defenisi Perhutanan Sosial sendiri banyak ditafsirkan oleh berbagai pihak. Di Cina,
perhutanan sosial diartikan sebagai bentuk dari sistem pengelolaan hutan yang melibatkan
berbagai komponen sosial (Awang, 2003). Pengertian sosial dalam hal ini adalah semua
pihak yaitu pemerintah, pihak swasta, lembaga swadaya masyarakat, universitas/lembaga
penelitian hingga masyarakat sendiri. Menurut Westoby (1968) di dalam Ismatul Hakim
(2010), Social Forestry is a forestry which aims at producing flows of production and
recreations benefits for the community, yang melihat secara umum bahwa kegiatan kehutanan
yang menjamin kelancaran manfaat produksi dan kesenangan bagi masyarakat, tanpa
membedakan apakah itu lahan milik publik (negara) maupun lahan perorangan (private land).
Pada tahun 2002, Menteri Kehutanan pernah mengeluarkan pernyataan bahwa
perhutanan sosial akan menjadi payung bagi lima kebijakan prioritas Departemen Kehutanan.
2
Adapun yang menjadi lima kebijakan prioritas tersebut adalah pemberantasan penebangan
liar, penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, rehabilitasi dan
konservasi sumberdaya hutan, dan penguatan desentralisai kehutanan (Hakim, 2010: 2).
Perhutanan sosial adalah semua bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta
masyarakat baik kawasan hutan milik negara maupun milik sendiri atau kelompok.
Dikawasan hutan milik negara disebut Hutan Kemasyarakatan (HKM) sedangkan di hutan
lahan milik disebut Hutan Rakyat (HR) (Warta, 2003).
Pengertian Hutan Rakyat sebagaimana yang dijelaskan di dalam Undang – Undang
No. 41 tahun 1999 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-II/1997 adalah
hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik dengan ketentuan minimal 0,25 ha
dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan minimal 50 % dan atau tahun pertama jumlah
batang minimal 500 batang/Ha. Dengan kata lain bahwa hutan rakyat adalah hutan yang
dibangun dan didirikan oleh masyarakat dengan status lahan adalah milik pribadi atau milik
kelompok masyarakat dengan ketentuan-ketentuan yang sudah diatur. Dari penjelasan yang
lain dijelaskan bahwa Hutan Rakyat adalah sistem pengelolaan lahan milik petani yang
didalamnya dikembangkan berbagai jenis komoditas kayu (tanaman hutan) untuk
dimanfaatkan hasilnya yang berbentuk kayu atau bahan ikutan, seperti buah, minyak resin,
dan non-kayu seperti rotan, madu, flora dan fauna (Arief, 2001, 161).
Untuk sebaran hutan rakyat yang ada di luar pulau Jawa seluas 1.015.570,7 Ha. Di
provinsi Sumatera Utara sendiri luas hutan rakyat sebesar 156.171,4 Ha dan khususnya di
Kabupaten Langkat seluas 4.807,1 Ha. Untuk luas kawasan hutan yang ada di Kabupaten
Langkat seluas ± 304.460,71 Ha dimana luas ini lebih setengahnya (51 %) menutupi
Kabupaten Langkat yang memiliki luas ± 626.329 Ha. Untuk kawasan hutan yang ada di
Kecamatan Bahorok yaitu seluas ± 82.751,57 Ha. Dari jumlah tersebut, dapat dibagi menjadi
tiga kawasan hutan yaitu Hutan Lindung (± 431,92 Ha), Hutan Produksi (± 10.020,24 Ha),
dan Hutan Suaka Alam dan Wisata (± 72.299,41 Ha). Berdasarkan data diatas, Kecamatan
Bahorok adalah kecamatan yang memiliki luas hutan terbesar dibandingkan dengan beberapa
kecamatan yang ada di Kabupaten Langkat.
Hutan yang ada di Kecamatan Bahorok juga menjadi salah satu prioritas dalam
pembangunan daerah. Hutan yang dimaksud adalah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)
yang memiliki luas ± 216.047,20 Ha yang meliputi dua provinsi yaitu Provinsi Sumatera
Utara dan Provinsi NAD. Sebagian wilayah TNGL ini dijadikan taman ekowisata yang di
dalamnya terdapat flora dan fauna yang dilindungi dan salah satunya adalah Orang Utan
Sumatera. Selain itu, wisata sungai bahorok juga menjadi daya tarik oleh masyarakat yang
3
pernah mendengar keindahannya, bahkan wisatawan mancanegara juga mendominasi tempat
wisata ini.
Pemanfaatan hutan rakyat yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok
masyarakat adalah salah satu model reposisi dan pemberdayaan masyarakat di sekitar
kawasan hutan yang juga dapat menjaga kelestarian sumberdaya hutan. Kelompok
Masyarakat Gaharu (Kemagahan) adalah salah satu bentuk kelompok masyarakat yang
mengelola hutan rakyat atas inisiatif sendiri yang bertempat di Kelurahan Pekan Bahorok,
Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat.Kelompok ini dibentuk pada maret 2004 atas
prakarsa masyarakat secara indepeden.Para anggota kelompok mengelola lahan sebanyak 12
Ha dengan status lahan milik anggota pribadi bukan milik kelompok.
Masyarakat Bahorok menganggap bahwa hutan merupakan sumber daya alam yang
memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat sekitar
hutan. Selama ini, secara tradisional masyarakat mengambil hasil hutan tanpa merasa perlu
untuk merehabilitasinya. Tetapi, Kemagahan bersama masyarakat mencoba untuk
membudidayakan tanaman hutan bahkan menciptakan hutan yang disebut sebagai Hutan
Rakyat. Hal inilah yang menyebabkan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini.
Dari penjelasan diatas, yang menjadi perumusan masalah adalah “Bagaimana upaya
pemberdayaan masyarakat dalam mengelola Hutan Rakyat ?”.
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah “Untuk mengetahui upaya
pemberdayaan masyarakat dalam mengelola Hutan Rakyat”.
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah :
1. Manfaat teoritis :hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan pemahaman bagi Ilmu Sosiologi khususnya Sosiologi Lingkungan dan
Institusi Sosial. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah rujukan bagi mahasiswa
mengenai penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
2. Manfaat Praktis : menjadi sumbangan pemikiran terhadap pemerintah daerah
ataupun pusat mengenai pemberdayaan masyarakat berbasis perhutanan social dalam
menyusun regulasi-regulasi yang berkaitan dengan penelitian ini dan manfaat bagi
masyarakat tentang pengelolaan sumberdaya hutan. Serta mampu menambah pengetahuan
bagi peneliti dalam menyusun karya ilmiah.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Pemberdayaan Masyarakat
5
mematikan keberdayaan masyarakat local karena factor eksternal telah masuk ke
dalamnya.
Kelembagaan Lokal
Kelembagaan menurut North (1997) adalah aturan main dari masyarakat atau negara
atau organisasi atau batasan-batasan yang diciptakan untuk menstrukturkan interaksi antar
manusia (Ekawati, 2009: 71).Sedangkan Darmawan (2001) mendefenisikan kelembagaan
sebagai organisasi atau pranata yang di dalamnya meliputi infrastruktur pendukung seperti
aturan-aturan, wewenang, mekanisme, sumberdaya manusia dan sistem pendanaan masing-
masing lembaga. Berdasarkan defenisi diatas, ada empat aspek dalam pengurusan hutan
rakyat:
1. Aturan main (peraturan perundang-undangan)
6
2. Organisasi (struktur, tupoksi, kewenangan, mekanisme kerja)
3. SDM (kuantitas dan kualifikasi)
4. Pendanaan
Dari keempat aspek ini, diharapkan mampu menjawab bagaimana sebenarnya dalam
pengurusan kehutanan, terutama pada aspek organisasi dan sumber daya manusianya.
Keempat aspek diatas juga memiliki keterkaitan dengan prinsip-prinsip hutan rakyat yang
dikemukakan oleh Wahana Lingkungan Hidup (2004) dalam Rahmawaty (2004) adalah
sebagai berikut :
1. Pola Swadaya : hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan
kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri.
2. Pola Subsidi : hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau
keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi diberikan oleh pemerintah atau dari pihak lain
yang peduli dengan pembangunan hutan.
3. Pola Kemitraan (Kredit Usaha Hutan Rakyat) : hutan rakyat dibangun atas kerja sama
masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat
7
dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan tersebut adalah pihak perusahaan perlu bahan baku
dan masyarakat perlu modal kerja.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif.
Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong,
2006: 4). Lokasi penelitian ini di Kelurahan Pekan Bahorok, Kecamatan Bahorok, Kabupaten
Langkat. Kelurahan ini dijadikan lokasi penelitian karena terdapat kelompok masyarakat
yang membudidayakan tanaman Gaharu walaupun kelompok ini baru berusia tujuhtahun.
Lahan yang mereka tanami jenis Gaharu sebanyak 12 ha dengan status kepemilikan milik
anggota kelompok.
Adapun informan kunci yang menjadi subjek penelitian adalah ketua kelompok
dananggota kelompok dengan karakteristik sebagai berikut :
8
HASIL PEMBAHASAN
Orientasi Kolektifitas Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
10
Melaksanakan study tour untuk menambah pengalaman dan pengetahuan tentang
gaharu,
Memberikan motivasi bagi anggota kelompok.
Salah satu bentuk nyata dari pengembangan kelompok ini adalah dengan membentuk
anak kelompok yang masih dibawah kendali Kemagahan. Kelompok ini dibentuk sekitar 3
bulan yang lalu dan sampai sekarang sudah beranggotakan 15 orang. Kelompok ini dibentuk
di desa Timbang Lawan dan diketuai oleh Bapak Muhammad Hasbi, Bapak Jupri Tanjung
sebagai sekretaris, dan Bapak Salman Nasution sebagai bendahara. Nama dari kelompok baru
ini adalah Kelompok Gaharu Indah.
Banyak praktik kegiatan pemanfaatan sumber daya hutan, tetapi pengetahuan
masyarakat terhadap pemanfaatan tersebut juga berbeda-beda. Persepsi masyarakat terhadap
hutan terkadang juga berbeda-beda dan ini yang menjadi permasalahan di dalam pelestarian
hutan. Terkadang masyarakat mendefenisikan hutan adalah kumpulan tumbuh-tumbuhan
yang berbentuk rimba dan tidak pernah dijamah oleh manusia. Sementara tipe-tipe hutan
seperti hutan rakyat adalah hutan yang ditanami oleh masyarakat itu sendiri. Selain itu,
masyarakat juga tidak tahu pentingnya konservasi bagi tanah dan tumbuhan sehingga sering
sekali hutan mengalami kehilangan areal tegakan atau menjadi lahan kosong. Dengan adanya
perbedaan persepsi ini maka ada juga konsekuensi yang ditimbulkan yaitu erosi tanah, banjir,
kekeringan, menurunnya produksi pertanian, kekurangan kayu bakar, polusi, hingga
peningkatan emisi gas kaca. Jika dikaitkan dengan kondisi masyarakat di Kelurahan Pekan
Bahorok, masyarakat tetap menjaga utuh kelestarian hutan yang ada di sekitar mereka
walaupun perbedaan persepsi itu masih muncul di masyarakat.
11
Setelah membahas hubungan antara masyarakat dengan lingkungan, maka akan
dilanjutkan dengan hubungan antara organisasi ke teknologi (organization to technology).
Disini organisasi dituntut untuk lebih aktif lagi dalam mendukung proses pembangunan
hutan. Organisasi yang berperan juga dituntut untuk menekankan perhatian mereka terhadap
penggunaan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut
bisa berupa Dinas Kehutanan setempat, lembaga-lembaga penelitian, hingga peranan
lembaga-lembaga lokal. Hasil-hasil yang bisa didapatkan dari lembaga-lembaga tersebut
adalah Dinas Kehutanan mampu memberikan program-program penyuluhan tentang
pentingnya menjaga hutan, lembaga-lembaga penelitian mampu memberikan praktik
konservasi tanah dan air secara efektif, teknik baru agroforestri, pengembangan beberapa
spesies cepat tumbuh, keadaan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan, dan
lain-lain.
Hasil-hasil diatas juga seharusnya mampu mencapai lembaga-lembaga lokal yang
dibentuk oleh kemandirian masyarakat sehingga lembaga lokal mampu meresap hasil tersebut
dan mampu diaplikasikan ke masyarakat. Setelah masyarakat mampu menyerap hasil-hasil
tersebut, masyarakat akan memiliki pengetahuan-pengetahuan tentang pembangunan hutan
yang mampu merubah pola pikir dan menciptakan perubahan bagi lingkungannya juga. Hal
seperti ini juga mampu menghasilkan dampak yang positif bagi masyarakat sekitar hutan
khususnya petani hutan. Mereka bisa mendirikan lembaga lokal yang bergerak pada
pembudidayaan tanaman hutan dan produk-produk itu bisa menciptakan pangsa pasar yang
tinggi. Dengan adanya jaminan pasar tersebut, masyarakat bisa merasakan dampaknya berupa
sumber pendapatan baru bagi mereka dan itu ada pada Kemagahan.
KESIMPULAN
1. Kecamatan Bahorok memiliki potensi alam yang masih terjaga keindahan dan
kealamiannya terutama di sektor kehutanan. Potensi hutan yang dimiliki dilindungi
oleh pemerintah yang berbentuk kawasan hutan konservasi. Hutan ini dikenal dengan
Hutan Taman Nasional Gunung Leuser.
2. Keberadaan kelompok lokal yang dibentuk oleh masyarakat lokal di sekitar kawasan
hutan, ternyata mampu mengelola pembudidayaan tanaman hutan. Potensi alam yang
tersedia membuat masyarakat sadar akan pentingnya menjaga hutan.
3. Kesadaran dari salah satu anggota masyarakat Pekan Bahorok untuk membentuk
KEMAGAHAN (Kelompok Masyarakat Gaharu) bisa disebut sebagai agen perubahan
untuk desa tersebut dan di dalam prosesnya Bapak Sanny tidak mementingkan
12
kepentingan pribadinya, tetapi mengajak masyarakat bersama-sama untuk mengelola
kelompok.
4. Sampai saat ini KEMAGAHAN masih menghadapi beberapa kendala seperti
pengetahuan administrasi dari pengurus kelompok masih tergolong rendah dan
kurangnya pelatihan dalam mengelola kelembagaan.
5. Masyarakat masih sedikit yang tergabung dalam KEMAGAHAN karena belum
terlalu percaya terhadap aspek ekonomi yang dihasilkan oleh pohon gaharu.
Masyarakat masih mengandalkan komoditas lama seperti sawit dan karet.
6. Konsep Perhutanan Sosial khususnya pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh
masyarakat Pekan Bahorok dilaksanakan secara swadaya walaupun masyarakat tidak
tahu konsep perhutanan sosial secara langsung yang telah mereka kerjakan.
7. Tujuandidirikannyakelompokiniadalahuntukmengkoordiniranggotamasyarakat yang
tergabung di dalam kelompok untuk membudidayakan pohon gaharu. Pohon gaharu
menjadi pilihan untuk dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi
dibandingkan jenis komoditas lainnya. Secara tidak langsung kelompok ini juga telah
menjaga kelestarian salah satu tanaman hutan yang sudah masuk kategori Apendix-II
atau jenis tanaman yang sudah tergolong langka yang dikeluarkan oleh Convention on
International Trade in Endangered Species Of Wild Fauna and Flora (CITES) pada
tahun 1995 sehingga di dalam penyebarannya juga mendapat perhatian oleh
pemerintah yaitu denga kuota 250 ton/tahun (Suharti, 2010: 163).
SARAN
13
DAFTAR PUSTAKA
Awang, SA. 2003. Perhutanan Sosial. Warta Kebijakan. No. 9. Februari (Online),
(www.cifor.org/acm/download/pub/wk/warta09.pdf, diakses 22 November 2011)
14
Jariyah, Ainun N. Wahyuningrum, Nining. 2008. Karakteristik Hutan Rakyat Di Jawa.
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan.(Online), Vol. 5 No. 1, (www.forda-
mof.org/jurnal.php?kategori=26, diakses 1 Desember 2011)
Rahmawaty. 2004. Tinjauan Aspek Pengembangan Hutan Rakyat. e-USU Repository
(Online), (www.library.usu.ac.id/download/fp/hutan-rahmawaty9, diakses 30
November 2011)
15