Anda di halaman 1dari 14

UPAYA MASYARAKAT ADAT DALAM PENCEGAHAN

PEMBALAKAN LIAR DI INDONESIA MELALUI


KEARIFAN LOKAL

Lefdi Agung Nugraha E4501202020

Dosen :
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M Agr

PROGRAM STUDI SILVIKULTUR TROPIKA


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2021
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hutan termasuk salah satu wilayah yang kaya akan sumber daya alam
yang tidak dapat dinilai harganya karena didalamnya terdapat keanekaragaman
hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan berupa kayu dan
nonkayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah,
perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan,
rekreasi, pariwisata, dan sebagainya. Menurut Undang-undang No.41 tentang
kehutanan tahun 1999, hutan diartikan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan
Hutan sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup di bumi karena hutan
memiliki berbagai peran dan fungsi bagi berbagai tingkat kehidupan seperti flora,
fauna, mikroorganisme bahkan manusia. Menurut Undang-undang No.41 tentang
kehutanan tahun 1999, hutan memiliki tiga fungsi yaitu fungsi konservasi, fungsi
lindung dan fungsi produksi. Namun hutan tidak selamanya dalam kondisi yang
baik. Kondisi tersebut didukung oleh pernyataan Auhara (2013) Indonesia
mengalami penyusutan luas hutan alam dengan kecepatan yang sangat
mengkhawatirkan. Hingga saat ini sebanyak 72 persen hutan di Indonesia telah
hilang.
Hutan dapat terancam akan keberlangsungannya ketika terjadi gangguan
terhadap hutan. Gangguan gangguan tersebut, akhir-akhir sering terjadi secara
terus menerus bahkan intensitasnya semakin meningkat dari tahun ketahun.
Menurut Sahardjo dan Gago (2011) gangguan terhadap hutan sudah terjadi secara
terus menerus dengan intensitas yang semakin meningkat dari tahun ketahun.
Gangguan yang terjadi terhadap hutan jika ditinjau dari asal penyebabnya
terbagi menjadi dua faktor, diantaranya faktor alam dan faktor non-alam.
Menurut Nurhayati dan Arhami (2019) gangguan-gangguan yang terjadi terhadap
hutan dapat disebabkan oleh faktor alam seperti gunung meletus, mencairnya
gletser, longsor dan faktor non-alam seperti pembakaran hutan, pencurian kayu,
pembalakan liar dan lain sebagainya. Faktor non-alam seperti pembalakan liar
termasuk kedalam tindakan kejahatan yang negatif karena merusak ekosistem
hutan untuk dijual agar mendapatkan uang. Menurut Nanindrani (2016)
pembalakan liar termasuk kegiatan negatif karena merusak hutan.
Pembalakan liar dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 merupakan
aktivitas tanpa izin yang merugikan hutan seperti merusak sarana maupun
prasarana perlindungan hutan, membakar hutan, merambah kawasan hutan,
menerima atau membeli atau menjual atau menerima tukar atau menerima
titipan/menyimpan hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari
kawasan hutan, menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan serta
melakukan kegiatan eksplorasi atau penyelidikan umum atau eksploitasi bahan
tambang yang berada didalam kawasan hutan tanpa izin (Basuki et al. 2013).
Kerugian yang diakibatkan oleh aktivitas pembalakan liar berdampak pada
kelestarian hutan, ekonomi, kehidupan sosial lingkungan hidup, moral bangsa,
kedaulatan bahkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehinga saat
ini menjadi prioritas kebijakan kehutanan yang harus segera dituntaskan. Hal ini
dibuktikan oleh Pemerintah yang mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4
Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan
Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Namun,
kenyataannya aktivitas pembalakan liar masih belum menunjukkan hasil yang
diharapkan. Terbukti dengan banyaknya kasus tindak pidana yang terjadi terhadap
hutan dan alam oleh oknum oknum tertentu (Saputra dan Susantin 2020) .
Penegakan hukum yang masih tergolong lemah di tanah air terhadap kasus
Illegal Logging atau pembalakan liar menjadi perhatian khusus didalam bidang
kehutanan sebagai upaya pembenahan penegakan hukum yang lebih baik.
Berbagai peraturan hukum yang telah dikeluarkan pemerintah untuk menghukum
para pelaku illegal logging diantaranya mulai dari dikeluarkannya UU No. 41
tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang – Undang No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, sampai dengan
dipergunakannya sejumlah pasal dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
(KUHP). Maraknya aktivitas illegal logging membuat pemerintah menerapkan
sistem silvikultur dan ecolabelling serta dengan dikeluarkannya Keppres No. 21
tahun 1995 sebagai upaya pemberantasan pembalakan liar (Auhara 2013).
Tampaknya kegiatan penegakan hukum belum mampu membuat efek jera
terhadap pelaku pembalakan liar. Hal ini dibuktikan masih terjadinya pembalakan
liar. Sehingga, perlu adanya peranan masyarakat dalam upaya pencegahan
pembalakan liar di Indonesia. Menurut Bangun et al. (2020) peranan masyarakat
menjadi salah satu aspek penting dalam peningkatan pengelolaan kawasan hutan.
Hal tersebut, dapat dilihat melalui pemanfaatan kearifan lokal, kondisi sosial
ekonomi, perlindungan terhadap teknologi tradisional dan ramah lingkungan serta
peningkatan kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan dan
tata nilai masyarakat lokal yang berwawasan lingkungan hidup.
Kearifan terhadap pengelolaan hutan terbentuk dari pengetahuan
masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam. Kearifan lokal merupakan cara
masyarakat dalam bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang menyatu dengan
sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan dalam tradisi dan mitos
yang dianut dalam jangka waktu yang lama melalui pengetahuan lokal
(Prameswari et al. 2019). Menurut Senoaji (2004) menjelaskan Indonesia
memiliki masyarakat lokal di beberapa daerah yang mampu untuk mengelola
lingkungan dan sumberdaya alamnya. Pengetahuan masyarakat lokal terhadap
sumberdaya alam itu membentuk kearifan terhadap pengelolaan hutan. Oleh
karena itu perlu dilakukannya analisis mengenai upaya masyarakat adat dalam
pencegahan pembalakan liar di Indonesia melalui kearifan lokal.
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan menganalisis upaya masyarakat adat dalam
pencegahan pembalakan liar di Indonesia melalui kearifan lokal.

II METODOLOGI
2.1 Waktu dan Tempat
Makalah dibuat dengan metode studi pustaka dari 16 September 2021
hingga 2 Oktober 2021 di rumah praktikan masing masing.
2.2 Alat dan bahan
Alat yang digunakan dalam membuat makalah ini antara lain alat tulis dan
laptop. Bahan yang digunakan adalah literatur dari internet.
2.3 Prosedur
Prosedur yang dilakukan dalam membuat makalah ini yaitu melalui studi
literatur dan artikel dengan mencari informasi dari jurnal mengenai upaya
masyarakat adat dalam pencegahan pembalakan liar di Indonesia melalui kearifan
lokal.

III HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Persepsi dan Peran Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan di Jawa Barat
dan Banten

Pada suatu tempat di pedalaman Banten, terdapat sekelompok masyarakat


yang mampu mengelola hutan dan lingkungannya dengan baik. Kelompok
masyarakat ini dikenal dengan sebutan Urang Baduy. Masyarakat Baduy adalah
masyarakat yang hidupnya sangat tergantung pada keberadaan hutan dan
lingkungannya. Lingkungan hidup mereka adalah hutan yang pengelolaannya
diatur secara bijaksana untuk perlindungan lingkungan dan untuk penyedia
kebutuhan pangan dan ekonomi. Kelangsungan hidup mereka sangat tergantung
pada pemanfaatan hutannya (Senoaji 2010).
Masyarakat adat Baduy merupakan salah satu masyarakat adat yang
menjaga hutan keramat. Masyarakat Baduy tinggal di kaki pegunungan Kendeng
di Desa Kenekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung,
Banten. Hutan keramat masyarakat Baduy merupakan wilayah yang paling
dikeramatkan dan disakralkan. Sistem kepercayaan animism yang dianut oleh
masyarakat Baduy yaitu Sunda Wiwitan yang memiliki pengaruh paling besar
terhadap kehidupan masyarakatnya. Masyarakat Baduy memiliki keunikan dalam
kehidupan yang dijalaninya (Sugiwa 2015).
Kegiatan utama masyarakat Baduy terdiri dari pengelolaan lahan untuk
kegiatan pertanian (ngahuma) dan pengelolaan serta pemeliharaan hutan untuk
perlindungan lingkungan. Oleh karena itu tata guna lahan di Baduy dapat
dibedakan menjadi : lahan pemukiman,pertanian, dan hutan tetap. Lahan pertanian
adalah lahan yang digunakan untuk berladang dan berkebun. Hutan tetap adalah
hutan-hutan yang dilindungi oleh adat, seperti hutan lindung (leuweung
kolot/titipan) dan hutan lindung kampung (hutan lindungan lembur) yang terletak
di sekitar mata air atau gunung yang dikeramatkan, seperti hutan yang terletak di
Gunung Baduy, Jatake, Cikadu, Bulangit dan Pagelaran (Senoaji 2010).
Secara umum masyarakat Baduy telah menjalankan konsep pencagaran
alam (nature conservation) dengan cara memperhatikan keselamatan hutan. Hal
ini dikarenakan masyarakat suku Baduy menyadari bahwa dengan menjaga hutan
maka mereka akan menjaga keterlanjutan lading. Lahan yang tidak berada
didalam kawasan pemukiman dibuka secara bergiliran setiap tahun untuk
dijadikan lahan pertanian (Sugiwa 2015).
Selain masyarakat Ciptagelar, pengelolaan hutan berbasis adat juga
dilakukan oleh masyarakat Desa Kanekes, Banten, yang dikenal dengan
Masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy percaya bahwa mereka adalah orang yang
pertarna kali diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat
bumi. Segala gerak laku masyarakat Baduy harus berpedoman kepada buyut
(larangan) yang telah dikukuhkan dalam bentuk pikukuh karuhun. Seseorang tidak
berhak dan tidak berkuasa untuk melanggar dan mengubah tatanan kehidupan
yang telah ada dan sudah berlaku turun temurun. Puun sebagai pimpinan tertinggi
adat Baduy adalah keturunan batara serta dianggap sebagai penguasa agama sunda
wiwitan yang harus dituruti segala perintah dan perkataannya. Wewenang dan
kedudukan itu sudah ditentukan oleh karuhun dengan maksud untuk
penyeIamatkan taneuh titipan yang merupakan inti jagad. Jika taneuh titipan ini
rusak, maka seluruh kehidupan masyarakat di dunia ini akan menjadi rusak pula
(Permana 2010).
Pikukuh itu harus ditaati masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang
sedang berkunjung ke Baduy. Ketentuan-ketentuan yang membentuk suatu
kearifan lokal masyarakat (Senoaji 2011) diantaranya adalah:
1. Dilarang merubah jalan air, misalnya membuat kolam ikan, mengatur
drainase, dan membuat irigasi.
2. Dilarang mengubah bentuk tanah, misalnya menggali tanah untuk
membuat sumur, meratakan tanah untuk membuat permukiman, dan
mencangkul tanah pertanian.
3. Dilarang masuk hutan larangan (leuweung kolot) untuk menebang pohon,
membuka ladang atau mengambil hasil hutan lainnya.
4. Dilarang menebang sembarangan jenis tanaman, misalnya pohon buah-
buahnya.
5. Dilarang menggunakan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk,
obat pemberantas hama penyakit, menggunakan minyak tanah, mandi
menggunakan sabun, menggosok gigi menggunakan pasta, dan menuba
ikan.
6. Dilarang memelihara binatang ternak kaki empat, seperti kambing dan
kerbau.
7. Berladang harus sesuai dengan ketentuan adat.

Masyarakat Baduy merupakan masyarakat tradisional bersahaja namun


kaya akan sumber kearifan yang dapat menjadi teladan atau panutan kita. Fakta
dalam masyarakat Baduy menunjukkan bahwa (1) masyarakat Baduy melakukan
tebang-bakar hutan untuk membuatladang (huma), tetapi tidak pernah terjadi
bencana kebakaran hutan; (2) di wilayah Baduy banyak hunian pendudukan
berdekatan dengan sungai, namun tidak pernah terjadi bencana banjir melanda
permukiman; (3) walaupun rumah dan bangunan masyarakat Baduy terbuat dari
bahan yang mudah terbakar (kayu, bambu, rumbia, dan ijuk), jarang terjadi
bencana kebakaran hebat; dan (4) wilayah Baduy yang termasuk dalam daerah
rawan gempa Jawa bagian Barat, tidak pernah terjadi kerusakan bangunan akibat
bencana gempa. Berdasarkan hal tersebut, menarik dan penting dikaji tentang
kearifan lokal masyarakat Baduy dalam upaya mencegah atau meminimalisasi
terjadinya bencana (mitigasi bencana) yang merupakan pengetahuan tradisional
yang telah diturunkan sejak ratusan dan bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu
(Suparmini et al. 2011).

3.2 Kearifan Lokal Masyarakat Adat Dayak Hibun dalam Melestarikan Hutan
Teringkang di Dusun Beruak Desa Gunam Kecamatan Parindu Kabupaten
Sanggau

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Wawancara Kearifan Lokal Masyarakat Desa Gunam


Dusun Beruak
No Kearifan Lokal Keterangan
1. a. Larangan Menebang Larangan ini menyebabkan tidak ada
Pohon di Hutan masyarakat yang berani menebang pohon
Teringkang didalam Hutan Teringkang.
b. Larangan membuka Larangan ini menyebabkan masyarakat takut
Hutan Teringkang untuk membuka hutan untuk berladang
Berladang
c. Larangan membakar Larangan ini menyebabkan masyarakat takut
barang seperti terasi, ikan untuk berbuat yang macam-macam di Hutan
di Hutan Teringkang Teringkang.
d. Larangan mengambil dan Larangan ini menyebabkan masyarakat takut
membunuh satwa di untuk mengambil atau membunuh hewan-
Hutan Teringkang hewan yang ada sehingga hewanhewan
tersebut masih tetap ada di Hutan Teringkang.
e. Larangan buang air kecil
Larangan ini menyebabkan masyarakat takut
dan besar di Hutan untuk bersikap yang dianggap dapat
Teringkang mengotori Hutan Teringkang.
2. Kepercayaan terhadap
Kepercayaan terhadap mitos ini menyebabkan
adanya orang Bunyik masyarakat sangat takut untuk berperilaku
(Hantu) yang dapat merusak kelestarian Hutan
Teringkang karena masih percaya terhadap
mitos orang bunyik
3. Ritual memasuki Hutan Acara adat ini dilakukan masyarakat
Teringkang tujuannya untuk permisi memasuki Hutan
Teringkang.
4. Menjaga tutur kata Kepercayaan ini membuat masyarakat takut
untuk berkata kotor karena Hutan Teringkang
ini dianggap mistik sehingga bila ada yang
melanggar akan mendapatkan musibah.

Berdasarkan tabel di atas terdapat 4 bentuk kearifan lokal adat istiadat


masyarakat Desa Gunam dalam menjaga kelestarian Hutan Teringkang yaitu
larangan, kepercayaan, ritual dan menjaga tutur kata. Larangan dapat berupa
larangan menebang pohon di Hutan Teringkang, larangan membuka Hutan
Teringkang untuk berladang, larangan membakar barang seperti terasi dan ikan di
Hutan Teringkang, larangan mengambil dan membunuh satwa di Hutan
Teringkang, larangan buang air kecil dan besar. Peraturan ini dibuat dan
ditetapkan oleh Temenggung Kia, apabila ada yang menebang pohon di hutan
adat teringkang orang yang menebang pohon tersebut bisa sakit seperti orang
membakar pohon badannya bisa panas, orang yang menebang kayu bisa jadi
linglung (Prameswari 2019).
Kearifan lokal masyarakat berupa adanya larangan menebang pohon di
Hutan Teringkang merupakan salah satu aturan positif yang ada didalam
kehidupan masyarakat Desa Gunam. Yamani (2011) mengungkapkan materi
muatan aturan lokal materil pada enam komunitas adat meliputi aturan berkenaan
dengan kategori hutan yang boleh diusahakan, tabu atau laranganmenyangkut
hutan, dan sanksi adat sebagai reaksi dilanggarnya aturan materil.
Larangan menebang pohon di dalam Hutan Teringkang ini bertujuan untuk
menjaga ekosistem yang ada di hutan yang merupakan habitat pohon-pohon
seperti pohon Tapang (Kompassia excelsa), pohon Meranti Batu (Shorea
platyclados), pohon Ubah (Syzygium sp), pohon Beringin (Ficus sp), pohon Tapah
(Merrenia peltata), Guho (Eusideroxylon sp), Kompah (Dyera costulata), dan
berbagai jenis pohon lain yang menjadi habitat bagi satwa sebagai tempat
berkembang biak dan sebagai tempat mencari makan (Prameswari et al. 2019).
Komunitas adat suku Lembak Delapan mengenal tabu atau larangan yang
disebut tanjung kerapusan, suak uluh tulung; tinjau terkukuh; tanam tukuh dan
aturan adat utan tiga ragi. Tabu atau larangan serupa dikenal pula dalam
komunitas adat lainnya dengan sebutan yang berbeda namun memiliki makna
yang sama, Materi muatan hukum kehutanan lokal materil pada enam komunitas
adat secara garis besarnya mengatur perbuatan materil menyangkut hutan antara
lain:
 Setiap orang dilarang menebang habis pohon dalam hutan yang berakibat
terjadinya kegundulan hutan, karena dapat menimbulkan bencana.
 Setiap orang dilarang menebang pohon dalam hutan melebihi kebutuhan
hidupnya.
 Setiap orang tidak boleh menguasai hutan, sumber air, sungai, pantai dan
laut secara individual.
 Setiap orang tidak boleh membuka hutan tanpa izin penjabat marga.
 Setiap orang tidak boleh menebang pohon dalam hutan tanpa izin penjabat
marga.
 Setiap orang dilarang menebang pohon yang tidak memenuhi kriteria
seperti diameternya belum50 cm.
 Setiap orang dilarang menebang pohon di sembarang tempat, seperti di
sekitar mata air.
 Setiap orang dilarang menebang pohon langka dengan fungsi pengobatan
tradisional.
 Setiap orang dilarang mengambil hasil hutan, berburu, dalam kawasan
hutan larangan.
 Setiap orang dilarang membuka ladang di sekitar ulu tulung, yaitu tempat
sumber mata air.
 Setiap orang dilarang membuka ladang pada kontur tanah yang berbentuk
cekungan (bekok), karena dapat mengakibatkan erosi atau tanah longsor.
 Setiap orang dilarang memanen madu sialang dengan menebang atau
merusak pohon.
Masyarakat Desa Gunam khususnya Dusun Beruak sebagian besar
masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani atau berladang, tetapi
masyarakat sangat mematuhi aturan untuk tidak membuat areal perladangan di
dalam hutan teringkang karena menurut masyarakat Hutan Teringkang harus
dijaga kesakralannya karena dipercaya tempat dan dihuni oleh makhluk gaib
sehingga tidak boleh dirusak karena dapat mendatangkan bencana bagi
masyarakat (Prameswari et al. 2019).
Makhluk gaib diduga memiliki kesukaan terhadap benda-benda tertentu
dan tempattempat tertentu, seperti makanan tertentu dan tempat tertentu. Oleh
sebab itu, sebaiknya kita jangan melakukan perbuatan yang kemungkinan akan
didatangi makhluk gaib (Yulianto 2019).
Menurut Sinapoy (2018) pengetahuan masyarakat adat tersebut
memunculkan banyak pengetahuan dan tata nilai tradisional yang dihasilkan dari
proses adaptasi dengan lingkungannya. Sesuai dengan kebutuhan dasar manusia,
salah satu bentuk pengetahuan tradisional yang berkembang terkait dengan
pengetahuan dalam pemanfaatan lahan, pemanfaatan alam untuk keperluan hidup
sehari-haris harus dipergunakan secara arif dan bijaksana, kekayaan alam tidak
untuk dihabiskan dan tidak untuk dirusak. Hal ini bermakna bahwa hubungan
manusia dengan alam sangatlah dekat serta saling menjaga keseimbangan.
Hutan Teringkang merupakan tempat hidup dan berkembangbiak dari
berbagai jenis satwa seperti ular, monyet, dan lainnya masyarakat melarang untuk
membunuh satwa tersebut karena hal tersebut dianggap dapat mempengaruhi
kestabilan ekosistem di Hutan Teringkang.Satwa yang ada di hutan dapat
membantu tumbuhan dalam penyerbukan bunga dan membantu penyebaran biji-
biji tumbuhan. Berkat adanya larangan tersebut diharapkan satwa-satwa yang ada
di hutan akan tetap ada keberadaannya, jika keberadaan satwa tetap terjaga maka
kelestarian Hutan Teringkang akan tetap lestari. Menurut Prabowo et al. (2017)
sebagai salah satu komponen ekosistem, jenis-jenis satwa liar sebagai individu
atau kelompok mempunyai peran dalam menjaga keseimbangan proses dialam.
Masyarakat bahwa masyarakat sangat mempercayai hal mistik yang ada di
Hutan Teringkang bahwa hutan tersebut tidak boleh dikotori adapun
pantangannya jika ada orang yang buang air kecil maupun buang air besar di
Hutan Teringkang maka orang tersebut akan mendapatkan sakit seperti tidak bisa
buang air kecil begitu juga jika orang buang air besar sembarangan maka akan
mendapat sakit tidak bisa buang air besar. Masyarakat sangat meyakini hal
tersebut sehingga Hutan Teringkang hingga saat ini dapat terjaga kebersihan dan
kelestariannya (Prameswari et al. 2019).
Menurut Yulianto (2019) Salah satu penjaga nilai-nilai, norma, dan etika
tersebut adalah pemali. Pemali masyarakat Banjar dapat mengetahui mana yang
boleh dan tidak boleh dilakukan. Pendidikan melalui pemali ini dirasa tidak terlalu
menggurui, tetapi sangat efektif. Hal itu disebabkan pemali hanya terdiri atas
beberapa kata saja, tetapi memiliki aspek persanksian di dalamnya. Aspek
persanksian itulah yang membuat pemali menjadi begitu diperhitungkan di tengah
masyarakat Banjar.
Masyarakat percaya adanya hal mistik seperti orang bunyik (hantu) yang
menjadi penunggu Hutan Teringkang. Orang bunyik ini dipercaya akan
menyesatkan orang yang tidak dikenal atau orang baru yang memasuki kawasan
Hutan Teringkang. Orang bunyik juga dipercaya dapat memberikan berita jika ada
sesuatu yang tidak baik di kampung Beruak yaitu berita adanya orang meninggal
di kampung Beruak dengan diberi tanda seperti orang karaoke ataupun seperti
bunyi ronggeng dan bunyi suara binatang kelempiau dari dalam Hutan Teringkang
(Prameswari et al. 2019).
Keyakinan yang semacam itu Menurut Hasanuddin (2015) tidak dapat
dipersalahkan. Hal yang harus diperhatikan dari keyakinan masyarakat bukanlah
persoalan benar atau tidak benar, melainkan sejauh mana hal tersebut berfungsi di
dalam memenuhi fungsifungsi sosial kehidupan masyarakat tersebut. Oleh sebab
itu, pada kondisi dimana masyarakat mempercayai suatu nilai-nilai tradisi sebagai
suatu kebenaran dan hal yang diyakini itu memungkinkan munculnya solidaritas
komunal, maka keyakinan semacam itu dapat berfungsi sebagai dalil sebagaimana
ilmu pengetahuan, aturan yang diwariskan dan diamalkan pergenerasi merupakan
suatu bentuk ingatan dan kenangan, ide, ataupun keputusan yang diyakini di
dalam kondisi yang benar dan konstruktif.
Ritual adat memasuki Hutan Teringkang merupakan kegiatan yang
dilakukan sebelum memasuki hutan oleh masyarakat di Desa Gunam maupun luar
Desa Gunam. Ritual adat bertujuan untuk meminta izin kepada makhluk gaib agar
kegiatan yang dilakukan untuk memasuki Hutan Teringkang tidak ada gangguan
dan halangan atau musibah. (Prameswari et al. 2019).
Menurut Hartono& Setiana (2012) Tradisi penting untuk dilestarikan
dengan mengupayakan pelestariannya dalam dua faktor yaitu faktor intern
menekankan pelestarian dalam masyarakat karena takut bila tradisi tidak
dijalankan berdampak buruk bagi mereka, dan faktor ekstern terutama lembaga
pemerintah daerah dalam mendukung kegiatan melestarikan budaya lokal.
Menurut Andheska (2018) ungkapan kepercayaan rakyat merupakan
bagian dari tradisi masyarakat yang penyebarannya dilakukan secara lisan.
Ungkapan kepercayaan rakyat ini telah dikenal oleh masyarakat secara turun
temurun sehingga tidak dikenal lagi siapa yang menciptakannya. Ungkapan
tersebut disampaikan secara lisan pada situasi dan konteks tertentu. Oleh sebab
itu, dapat dikatakan bahwa kepercayaan rakyat merupakan semacam ungkapan
tradisional daerah-daerah yang termasuk ke dalam folklor. Ungkapan kepercayaan
rakyat merupakan aset kebudayaan nasional yang tersimpan dalam kebudayaan
daerah.
Anjuran dan larangan dalam pengelolaan hutan yaitu dianjurkan
untukmenjaga hutan dan pepohonan di sekitar sumber mata air, tidak menebang
pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan oleh manusia dan hewan, dan
penebangan kayu diizinkan hanya untuk kepentingan rumah tangga penduduk
seperti rumah, membangun meunasah, balai pengajian dan fasilitas umum lainnya.
(Mardiah et al. 2018).

3.3 Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Menjaga Kelestarian Hutan Dan Mengelola
Mata Air di Desa Watowara, Kecamatan Titehena Kabupaten Flores Timur
Nusa Tenggara Timur

Kearifan lokal masyarakat di Desa Watowara dapat menjaga kelestarian


hutan dan mengelola mata air. Kearifan lokal tersebut berupa ritual baololong,
upacara gletek glouk Lewotana, upacara Nitung Lolong, Puduk, gemohing,
berbagai anjuran maupun larangan lokal dan mitos (Angin dan Sunimbar 2020).
Sumarmi dan Amirudin (2014) kearifan lokal dapat diartikan suatu bentuk
tata nilai, sikap, persepsi, perilaku dan respon suatu masyarakat lokal dalam
berinteraksi pada suatu sistem kehidupan dengan alam dan lingkungan tempat
tinggalnya secara arif. Selain itu, kearifan lokal juga dapat berupa strategi
kehidupan untuk pengelolaan alam semesta dan menjaga keseimbangan ekologis
terhadap berbagai bencana dan kendala yang ditimbulkan dari alam maupun
manusia.
Menurut Angin dan Sunimbar (2020) kearifan lokal masyarakat di Desa
Watowara antara lain:
 Upacara Baololong
Upacara Baololong melibatkan seluruh masyarakat di Desa Watowara
yang mencakup seluruh elemen di masyarakat, dimana tiap-tiap dusun
yang ada di Desa Watowara diharuskan untuk membawa sedekah.
Sedekah yang dimaksud adalah berupa Nasi beserta lauk pauk (daging
ayam, terutama hati ayam) untuk masing-masing kepala keluarga. Sedekah
yang dibawa disebut mati. Upacara Baololong dilakukan setahun sekali
setelah masa panen padi dan jagung
 Lewotana
Upacara ini terdiri dari glete gluok Lewotana (bersih Lewotana), agar
dijauhkan dari marabahaya (yang tidak kelihatan), dijauhkan dari penyakit
(yang kelihatan)
 Upacara Nitung Lolong dan Puduk
Ritual ini dilakukan pada hutan dan mata air (waimatang). Ritual ini
bertujuan untuk memberikan peringatan kepada penjaga tanah, hutan, dan
sumberair, supaya sumberdaya lahan, sumberdaya hayati, sumberdaya air,
supaya tetap lestari.
 Anjuran lokal
Anjuran lokal berupa nasehat-nasehat leluhur meliputi beberapa prinsip
yang harus dipegang teguh dalam menjalani hidup dan berinteraksi dengan
lingkungan.
 Larangan lokal
Larangan lokal yang diterapkan di Desa Watowara seperti larangan untuk
menebang pohon, merusak tanaman, memburu dan membunuh binatang,
buang air sembarangan di dalam Hutan dan mata air Wailihang serta
berbuat asusila di dalam hutan dan mata air Wailihang dan sekitar sumber
mata air.
 Mitos
Mitos yang ada di Desa Watowara terkait menjaga kelestarian hutan dan
mata air yaitu apabila mencuri kayu maka akan dihantui kayu yang dicuri,
apabila kayu yang dicuri untuk membangun rumah maka rumah yang
dibangun akan roboh. Apabila merusak tanaman atau mengganggu
binatang maka akan diserang sekumpulan tawon, atau disengat oleh
sekumpulan lebah. Selain itu, Apabila buang air sembarangan di sekitar
Hutan Waihilang atau di sekitar mata air maka akan jatuh sakit. Kemudian,
Apabila melakukan hal-hal buruk di sekitar Hutan Wailihang dan mata air
maka akan mendapat kutukan. Terakhir, Apabila merusak lingkungan
sekitar mata air, maka Anda bingung pulang ke rumah atau hilang,
SIMPULAN
Upaya masyarakat adat dalam pencegahan pembalakan liar di Indonesia
melalui kearifan lokal sangat efektif karena rendahnya pembalakan liar yang
terjadi pada daerah yang menerapkan kearifan lokal walaupun kearifan lokal yang
ditetapkan berbeda-beda tiap daerah. Hal ini dapat membantu Indonesia dalam
menjaga dan melestarikan hutan selain hukum yang diterapkan oleh negara.
DAFTAR PUSTAKA
Andheska H. 2018. Kearifan Lokal Masyarakat Minangkabau dalam Ungkapan
Kepercayaan Rakyat. Basindo: Jurnal kajian bahasa, sastra Indonesia dan
pembelajarannya. 2(1): 22-28.
Angin IS, dan Sunimbar S. 2020. Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Menjaga
Kelestarian Hutan Dan Mengelola Mata Air Di Desa Watowara,
Kecamatan Titehena Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara
Timur. geoedusains: Jurnal Pendidikan Geografi. 1(1): 51-61.
Auhara L. 2013. Dampak illegal logging terhadap perlindungan hukum satwa
yang dilindungi. Lex Administratum. 1(1): 5-13.
Bangun S, Moulana R, dan Anhar A. 2020. Faktor Penyebab Aktivitas
Pembalakan Liar Kawasan Taman Hutan Raya Bukit Barisan Provinsi
Sumatera Utara. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian. 5(4): 178-185.
Basuki K, Mursyid A, Kurnain A, dan Suyanto S. 2013. Analisis Faktor Penyebab
dan Strategi Pencegahan Pembalakan Liar (Illegal Logging) di Kabupaten
Tabalong. EnviroScienteae. 9(1): 27-43.
Hartono Y dan Setiana D. 2012. Kearifan Lokal Tradisi Uyen Sapi Perajut
Integrasi Sosial (Studi Kasus Di Desa Jonggol Kecamatan Jambon
Kabupaten Ponorogo). Agastya: Jurnal Sejarah Dan Pembelajarannya.
2(1): 51-65.
Hasanuddin W. S. 2015. Kearifan lokal dalam tradisi lisan kepercayaan rakyat
ungkapan larangan tentang kehamilan, masa bayi, dan kanak-kanak
masyarakat Minangkabau wilayah adat luhak nan tigo. Kembara: Jurnal
Keilmuan Bahasa, Sastra dan Pengajarannya. 1(2): 198-204.
Mardhiah A, Supriatno S, dan Djufri D. 2018. Pengelolaan Hutan Berbasis
Kearifan Lokal dan Pengembangan Hutan Desa di Mukim Lutueng
Kecamatan Mane Kabupaten Pidie Provinsi Aceh. BIOTIK: Jurnal Ilmiah
Biologi Teknologi dan Kependidikan. 4(2): 128-135.
Narindrani F. 2018. Upaya Masyarakat dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Pembalakan Liar di Indonesia. Jurnal Penelitian Hukum De Jure. 18(2):
241-256.
Nurhayati A.D dan Arhami L. 2019. Gangguan Hutan di KPH Kuningan Divisi
Regional Jawa Barat dan Banten. Jurnal Silvikultur Tropika. 10(3): 159-
65.
Permana CE. 2010. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Mitigasi Bencana.
Jakarta (ID): Wedatama Widya Sastra
Prabowo HS, Tobing IS, Abbas AS, Saleh C, Huda M, Mulyana TM dan
Mangunjaya FM. 2017. Pelestarian Satwa Langka untuk Keseimbangan
Ekosistem: Penuntun Sosialisasi Fatwa MUI No 4, 2014, tentang Fatwa
Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Eksosistem.
Jakarta (ID): LPLH-SDA MUI.
Prameswari, S. I., Iskandar, A. M., & Rifanjani, S. 2019. Kearifan Lokal
Masyarakat Adat Dayak Hibun Dalam Melestarikan Hutan Teringkang Di
Dusun Beruak Desa Gunam Kecamatan Parindu Kabupaten
Sanggau. Jurnal Hutan Lestari. 7(4): 1668-1681.
Saharjo B.H dan Gago C. 2011. Suksesi Alami Paska Kebakaran pada Hutan
Sekunder di Desa Fatuquero, Kecamatan Railaco, Kabupaten Ermera-
Timor Leste. Jurnal Silvikultur Tropika. 2(1):40-45.
Saputra ARA dan Susantin J. 2020. Implementasi Penegakan Hukum Terhadap
Kasus Pembalakan Liar di Kecamatan Marisa. Jurnal YUSTITIA.
21(1) :115-136.
Senoaji G. 2004. Pemanfaatan Hutan Dan Lingkungan Oleh Masyarakat Baduy Di
Banten Selatan (the Uses of Forest and the Environment by Baduy
Community in South Banten, Indonesia). Jurnal Manusia dan Lingkungan.
11(3): 143-149.
Senoaji G. 2010. Masyarakat Baduy, Hutan, dan Lingkungan (Baduy Community,
Forest, and Environment). Jurnal Manusia dan Lingkungan. 17(2): 113-
23.
Senoaji G. 2011. Perilaku masyarakat Baduy dalam mengelola hutan, lahan dan
lingkungan di Banten Selatan. Humaniora 23(1): 1-15.
Sinapoy MS. 2018. Kearifan Lokal Masyarakat Adat Suku Moronene dalam
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Halu Oleo Law Review.
2(2): 513-542.
Sugiwa I. 2015. Pengembangan Pariwisata Berbasis Keunikan Penduduk Lokal Di
Wilayah Banten (Studi Di Wilayah Baduy). Epigram, 12(2).
Suparmini, Setyawati S dan Sumunar DRS. 2013. Pelestarian lingkungan
masyarakat Baduy berbasis kearifan lokal. Jurnal Penelitian Humaniora
18(1):8-22.
Yamani M. 2011. Strategi perlindungan hutan berbasis hukum lokal di enam
komunitas adat daerah bengkulu. Jurnal Fakultas Hukum UII. 18(2): 175-
192.
Yulianto A. 2019. Kepercayaan Lokal dalam Pemali Banjar did Kalimantan
Selatan. Mabasan. 13(1): 1-13.

Anda mungkin juga menyukai