Dosen :
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M Agr
Hutan termasuk salah satu wilayah yang kaya akan sumber daya alam
yang tidak dapat dinilai harganya karena didalamnya terdapat keanekaragaman
hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan berupa kayu dan
nonkayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah,
perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan,
rekreasi, pariwisata, dan sebagainya. Menurut Undang-undang No.41 tentang
kehutanan tahun 1999, hutan diartikan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan
Hutan sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup di bumi karena hutan
memiliki berbagai peran dan fungsi bagi berbagai tingkat kehidupan seperti flora,
fauna, mikroorganisme bahkan manusia. Menurut Undang-undang No.41 tentang
kehutanan tahun 1999, hutan memiliki tiga fungsi yaitu fungsi konservasi, fungsi
lindung dan fungsi produksi. Namun hutan tidak selamanya dalam kondisi yang
baik. Kondisi tersebut didukung oleh pernyataan Auhara (2013) Indonesia
mengalami penyusutan luas hutan alam dengan kecepatan yang sangat
mengkhawatirkan. Hingga saat ini sebanyak 72 persen hutan di Indonesia telah
hilang.
Hutan dapat terancam akan keberlangsungannya ketika terjadi gangguan
terhadap hutan. Gangguan gangguan tersebut, akhir-akhir sering terjadi secara
terus menerus bahkan intensitasnya semakin meningkat dari tahun ketahun.
Menurut Sahardjo dan Gago (2011) gangguan terhadap hutan sudah terjadi secara
terus menerus dengan intensitas yang semakin meningkat dari tahun ketahun.
Gangguan yang terjadi terhadap hutan jika ditinjau dari asal penyebabnya
terbagi menjadi dua faktor, diantaranya faktor alam dan faktor non-alam.
Menurut Nurhayati dan Arhami (2019) gangguan-gangguan yang terjadi terhadap
hutan dapat disebabkan oleh faktor alam seperti gunung meletus, mencairnya
gletser, longsor dan faktor non-alam seperti pembakaran hutan, pencurian kayu,
pembalakan liar dan lain sebagainya. Faktor non-alam seperti pembalakan liar
termasuk kedalam tindakan kejahatan yang negatif karena merusak ekosistem
hutan untuk dijual agar mendapatkan uang. Menurut Nanindrani (2016)
pembalakan liar termasuk kegiatan negatif karena merusak hutan.
Pembalakan liar dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 merupakan
aktivitas tanpa izin yang merugikan hutan seperti merusak sarana maupun
prasarana perlindungan hutan, membakar hutan, merambah kawasan hutan,
menerima atau membeli atau menjual atau menerima tukar atau menerima
titipan/menyimpan hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari
kawasan hutan, menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan serta
melakukan kegiatan eksplorasi atau penyelidikan umum atau eksploitasi bahan
tambang yang berada didalam kawasan hutan tanpa izin (Basuki et al. 2013).
Kerugian yang diakibatkan oleh aktivitas pembalakan liar berdampak pada
kelestarian hutan, ekonomi, kehidupan sosial lingkungan hidup, moral bangsa,
kedaulatan bahkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehinga saat
ini menjadi prioritas kebijakan kehutanan yang harus segera dituntaskan. Hal ini
dibuktikan oleh Pemerintah yang mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4
Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan
Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Namun,
kenyataannya aktivitas pembalakan liar masih belum menunjukkan hasil yang
diharapkan. Terbukti dengan banyaknya kasus tindak pidana yang terjadi terhadap
hutan dan alam oleh oknum oknum tertentu (Saputra dan Susantin 2020) .
Penegakan hukum yang masih tergolong lemah di tanah air terhadap kasus
Illegal Logging atau pembalakan liar menjadi perhatian khusus didalam bidang
kehutanan sebagai upaya pembenahan penegakan hukum yang lebih baik.
Berbagai peraturan hukum yang telah dikeluarkan pemerintah untuk menghukum
para pelaku illegal logging diantaranya mulai dari dikeluarkannya UU No. 41
tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang – Undang No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, sampai dengan
dipergunakannya sejumlah pasal dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
(KUHP). Maraknya aktivitas illegal logging membuat pemerintah menerapkan
sistem silvikultur dan ecolabelling serta dengan dikeluarkannya Keppres No. 21
tahun 1995 sebagai upaya pemberantasan pembalakan liar (Auhara 2013).
Tampaknya kegiatan penegakan hukum belum mampu membuat efek jera
terhadap pelaku pembalakan liar. Hal ini dibuktikan masih terjadinya pembalakan
liar. Sehingga, perlu adanya peranan masyarakat dalam upaya pencegahan
pembalakan liar di Indonesia. Menurut Bangun et al. (2020) peranan masyarakat
menjadi salah satu aspek penting dalam peningkatan pengelolaan kawasan hutan.
Hal tersebut, dapat dilihat melalui pemanfaatan kearifan lokal, kondisi sosial
ekonomi, perlindungan terhadap teknologi tradisional dan ramah lingkungan serta
peningkatan kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan dan
tata nilai masyarakat lokal yang berwawasan lingkungan hidup.
Kearifan terhadap pengelolaan hutan terbentuk dari pengetahuan
masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam. Kearifan lokal merupakan cara
masyarakat dalam bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang menyatu dengan
sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan dalam tradisi dan mitos
yang dianut dalam jangka waktu yang lama melalui pengetahuan lokal
(Prameswari et al. 2019). Menurut Senoaji (2004) menjelaskan Indonesia
memiliki masyarakat lokal di beberapa daerah yang mampu untuk mengelola
lingkungan dan sumberdaya alamnya. Pengetahuan masyarakat lokal terhadap
sumberdaya alam itu membentuk kearifan terhadap pengelolaan hutan. Oleh
karena itu perlu dilakukannya analisis mengenai upaya masyarakat adat dalam
pencegahan pembalakan liar di Indonesia melalui kearifan lokal.
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan menganalisis upaya masyarakat adat dalam
pencegahan pembalakan liar di Indonesia melalui kearifan lokal.
II METODOLOGI
2.1 Waktu dan Tempat
Makalah dibuat dengan metode studi pustaka dari 16 September 2021
hingga 2 Oktober 2021 di rumah praktikan masing masing.
2.2 Alat dan bahan
Alat yang digunakan dalam membuat makalah ini antara lain alat tulis dan
laptop. Bahan yang digunakan adalah literatur dari internet.
2.3 Prosedur
Prosedur yang dilakukan dalam membuat makalah ini yaitu melalui studi
literatur dan artikel dengan mencari informasi dari jurnal mengenai upaya
masyarakat adat dalam pencegahan pembalakan liar di Indonesia melalui kearifan
lokal.
3.2 Kearifan Lokal Masyarakat Adat Dayak Hibun dalam Melestarikan Hutan
Teringkang di Dusun Beruak Desa Gunam Kecamatan Parindu Kabupaten
Sanggau
3.3 Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Menjaga Kelestarian Hutan Dan Mengelola
Mata Air di Desa Watowara, Kecamatan Titehena Kabupaten Flores Timur
Nusa Tenggara Timur