Anda di halaman 1dari 7

PENERAPAN NILAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DESA AUR GADING

DALAM MENJAGA DAN MELESTARIKAN HUTAN BUKIT LARANGAN


Sugeng Widiantoro1, Badeni1, Suharyanto1
1
Program Studi Pascasarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Fakultas
Pertanian, Universitas Bengkulu, Jalan WR. Supratman, Kandang Limun, Bengkulu.
Email: sugengwidiantoro6@gmail.com

ABSTRAK: Tujuan penulisan artikel ini adalah sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Etika
Lingkungan pada Program Pasca Sarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Universitas Bengkulu, selain itu penulisan artikel ini juga untuk menggambarkan nilai-nilai
kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Desa Aur Gading dalam menjaga dan melestarikan
hutan bukit larangan. Mata kuliah etika lingkungan diampu oleh Prof. Dr. Badeni, MA. dan
Dr. Suharyanto, S.Pt., M.Si. Hutan bukit larangan berada di Desa Aur Gading, Kecamatan
Kerkap, Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu. Masyarakat di kawasan hutan bukit
larangan Desa Aur Gading masih menerapkan nilai-nilai kearifan lokal yang secara turun-
temurun masih dipertahankan. Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Desa Aur Gading dapat
dilihat dari adanya aturan tentang larangan memasuki kawasan hutan bukit larangan tanpa
seizin dari tokoh adat, larangan melakukan perbuatan dan ucapan yang tidak baik, aktivitas
ekonomi serta keseimbangan alam. Penerapan nilai-nilai kearifan lokal oleh masyarakat Desa
Aur Gading berdampak positif pada kelestarian lingkungan sosial dan lingkungan alam,
sehingga terbentuklah keseimbangan meskipun secara tata hukum Negara Kabupaten
Bengkulu Utara tidak memiliki hutan adat. Kawasan hutan yang terjaga memberikan dampak
pada kualitas air sungai yang jernih, tanah yang subur dan kualitas udara yang baik.
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah pulau terluas di dunia dengan jumlah
pulaunya mencapai lebih dari 17.000 (Habibi, 2017). Jumlah pulau yang banyak
menjadikan Indonesia dikenal dengan negara multikultural karena memiliki keragaman
suku, budaya, bahasa, etnis, agama, dan adat istiadat (Dora, 2020). Indonesia berada
pada peringkat kedua di dunia setelah Brazil atas kekayaan biodiversiti yang dimiliki
(Setiawan dkk, 2021), Indonesia juga memiliki hutan hujan tropis terluas di dunia setelah
Brazil (Istiwati, 2016).

Hutan adalah kawasan yang memiliki nilai potensial ekonomi, sosial budaya dan
religiusitas bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan (Setiawan dkk, 2021).
Hutan memiliki nilai mistis bagi masyarakat awam, dimana mereka masih memandang
hutan sebagai tempat yang dihuni oleh makhluk-makhluk yang mengerikan (Arif, 2001).
Hutan memiliki kedudukan sebagai penyeimbang lingkungan global sehingga perlu
dijaga kelestariannya, selain itu pengelolaan sumberdaya hutan yang melibatkan
masyarakat adalah suatu upaya mengintegrasikan masyarakat ke dalam sistem
pelestarian hutan, untuk menguatkan ekonomi, kelembagaan dan sosial masyarakat
(Seprianto dkk, 2017). Kawasan hutan yang dilestarikan dapat memberikan tempat
tinggal yang luas untuk makhluk hidup dan oksigen yang dihasilkan dari hutan juga akan
semakin banyak (Fortune, 2020) oleh sebab itu sangat penting bagi manusia untuk dapat
terus melestarikan kawasan hutan. Ekosistem hutan yang terawat akan menjaga
keanekaragaman hayati dan non hayati (Setiawan dkk, 2021).

Salah satu bentuk pelestarian hutan di Provinsi Bengkulu yaitu hutan bukit larangan
yang berada di Desa Aur Gading. Masyarakat Desa Aur Gading memiliki keunikan
tersendiri dalam menjaga dan melestarikan hutan, dimana mereka masih
mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal dalam kehidupan sosial. Kearifan lokal
dituangkan dalam aturan adat untuk melestarikan hutan seperti adanya kawasan hutan
larangan, tidak diperbolehkan berbuat dan berucap yang tidak baik serta pola hidup yang
sederhana masih dipertahankan masyarakat Desa Aur Gading, sehingga terbentuklah
kehidupan yang harmonis terhadap lingkungan alam maupun lingkungan sosial
(Seprianto dkk, 2017)

Berdasarkan peraturan pemerintah No 23 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan


kehutanan, yang dimaksud dengan kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku
dalam tata kehidupan masyarakat setempat antara lain untuk melindungi dan mengelola
lingkungan hidup serta sumber daya alam secara lestari (PERMEN NO 23, 2021). Hutan
bukit larangan memberikan bukti bahwa masyarakat desa Aur Gading masih
mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal secara turun temurun untuk melestarikan
kawasan hutan. Masyarakat Desa Aur Gading memandang hutan bukan hanya sebagai
sumber perekonomian saja melainkan juga sebagai sebuah sistem kehidupan yang saling
bergantung satu sama lain.

Tujuan

Tujuan penulisan artikel ini adalah sebagai pemenuhan tugas mata kuliah etika
lingkungan di Program Pasca Sarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam Fakultas
Pertanian Universitas Bengkulu. Selain itu penulisan artikel ini bertujuan untuk
menggambarkan nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Desa Aur Gading.
B. PEMBAHASAN
2.1 Letak Geografis Hutan Bukit Larangan
Hutan bukit larangan berada di Desa Aur Gading Kecamatan Kerkap Kabupaten
Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu. Secara geografis Desa Aur Gading berbatasan
langsung dengan Kabupaten Bengkulu Tengah dengan koordinat 3⁰ 28' 34.2000" LS dan
102⁰ 25' 00.4000" BT. Selain itu Desa Aur Gading juga berbatasan dengan Kabupaten
Rejang Lebong yang berada di koordinat 3⁰ 29' 09.7529" LS dan 102⁰ 24' 07.7467" BT
(PERMENDAGRI, 2013). Desa Aur Gading berjarak 54,4 km dari Universitas Bengkulu
dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam menggunakan mobil (Lihat Gambar 1).

(Gambar 1. Jarak Universitas Bengkulu Menuju Desa Aur Gading)

2.2 Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Desa Aur Gading


Masyarakat Desa Aur Gading mengembangkan sistem sosial budaya yang
mengedepankan kearifan lokal dalam melestarikan hutan, dimana norma-norma, aturan,
dan sanksi yang terkait dengan pengelolaan sumber daya hutan masih dipertahankan.
Seperti adanya peraturan yang berlaku bagi semua orang yang ingin memasuki hutan
bukit larangan harus memiliki izin dari tokoh adat, mencuci muka menggunakan air yang
sudah dibacakan doa dan dicampur dengan air jeruk nipis, dilarang merusak hutan serta
dilarang berucap, berbuat yang tidak baik. Sanksi yang diberikan kepada pelanggar
ketentuan adat maka diputuskan melalui musyawarah. Aturan adat yang masih
dipertahankan masyarakat Desa Aur Gading dalam menjaga kawasan hutan bukit
larangan menciptakan kualitas lingkungan yang baik bagi masyarakat, hal ini terlihat
dengan jernihnya air sungai dan areal persawahan yang subur (Lihat gambar 2).
Hutan bukit larangan yang ada di Desa Aur Gading tidak memiliki sumber daya yang
khas bila dibandingkan dengan hutan larangan lainnya, akan tetapi mempunyai nilai
luhur dan pandangan masyarakat yang menganggap bahwa hutan bukit larangan
merupakan kawasan yang dihuni makhluk halus (angker). Sejak masyarakat mulai
mendiami Desa Aur Gading, kawasan bukit larangan dipercayai memiliki kekuatan
mistis yang masih dipertahankan hingga saat ini. Ilang Dilaman merupakan salah satu
tokoh adat di Desa Aur Gading yang pekerjaannya sebagai petani, mempunyai
pandangan bahwa tanah memiliki fungsi penting, bukan hanya sebagai tempat
tumbuhnya tanaman melainkan juga menjadi tempat tinggal bagi makhluk halus yang tak
kasat mata.

(Gambar 2. Aliran Sungai Desa Aur Gading)

2.3 Aktivitas Perekonomian


Masyarakat Desa Aur Gading umumnya berprofesi sebagai petani tradisional yang
masih menerapkan ilmu dari nenek moyang mereka secara turun temurun. Salah satu
pola pertanian yang diterapkan masyarakat Desa Aur Gading adalah pola tumpang sari
(polyculture) yaitu melibatkan lebih dari satu jenis tanaman dalam ladang mereka dengan
waktu tanam yang sama. Masyarakat membagi kawasan lingkungan mereka menjadi tiga
bagian yaitu kawasan hutan bukit larangan, kawasan hutan lindung dan kawasan lahan
garapan/pertanian.
2.4 Keseimbangan Alam
Dalam menjaga keseimbangan alam, masyarakat Desa Aur Gading yang berprofesi
sebagai petani melakukan penanaman pohon di perbatasan kebun mereka. Tindakan ini
menunjukkan perilaku hidup yang selaras dalam menjaga keseimbangan alam. Tingginya
kesadaran manusia untuk menanam pohon akan menciptakan lingkungan yang semakin
baik, dimana kita tahu bahwa pohon sangatlah penting dalam memproduksi oksigen,
sehingga dapat menjaga kelangsungan semua makhluk hidup.
Selain penanaman pohon di areal perbatasan kebun, masyarakat Desa Aur Gading
saat ini juga mulai merubah bentuk tempat tinggal dari rumah panggung menjadi rumah
permanen, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan kayu sebagai bahan baku
utama dalam pembuatan rumah dan mengikuti perkembangan zaman. Tanpa disadari,
perilaku ini memberikan dampak positif terhadap lingkungan alam dimana terjadi
pengurangan jumlah pohon yang ditebang. Pola perilaku masyarakat yang memandang
alam bukan hanya untuk dijadikan sumber ekonomi melainkan sebagai sumber
kehidupan bagi makhluk hidup lainya, tidak lepas dari sejarah nenek moyang mereka
yang masih dipertahankan.

(Gambar 3. Hutan Bukit Larangan Desa Aur Gading)


Secara hukum tata Negara, Kabupaten Bengkulu Utara tidak memiliki kawasan hutan
adat (PERBUP, 2015) akan tetapi dengan adanya kearifan lokal yang masih
dipertahankan terlihat jelas dari gambar 3. bahwa kawasan hutan yang ada di Desa Aur
Gading masih terjaga keasriannya. Ini membuktikan bahwa masyarakat Desa Aur
Gading dengan cara pandangnya mampu melestarikan kawasan hutan sehingga
keseimbangan alam dapat terus terjaga dari waktu ke waktu.
C. KESIMPULAN
Secara umum masyarakat Desa Aur Gading tidak memandang hutan sebagai suatu
wilayah yang hanya digunakan sebagai sumber ekonomi melainkan sebagai sumber
kehidupan untuk semua makhluk hidup. Tradisi yang dipertahankan masyarakat Desa
Aur Gading salah satunya adalah bukit larangan yang dipandang memiliki nilai mistis
bagi masyarakat. Dengan adanya hutan bukit larangan ini berdampak positif pada
kelestarian, lingkungan sosial dan lingkungan alam, sehingga terbentuklah
keseimbangan.
Pelestarian lingkungan yang mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal secara turun
temurun merupakan salah satu faktor yang menjadikan lingkungan Desa Aur Gading
memiliki sungai yang jernih, tanah yang subur dan kualitas udara yang lebih baik.

D. DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Kanisius.

Dora, N. (2020). Kajian Kearifan Lokal Tradisi Marsattan/Mangupa (Meminta


Keselamatan) pada Masyarakat Mandailing Desa Gunung Malintang Kecamatan
Barumun Tengah Kabupaten Padang Lawas. Ijtimaiyah Jurnal Ilmu Sosial Dan
Budaya, 4(1).

Fortune, T. X. (2020). Pemberlakuan Asas Kelestarian Dan Keberlanjutan Dalam


Pembukaan Lahan Di Hutan (Ulasan Kasus Vonis Pengadilan Negeri Pekanbaru
Dengan Nomor 1215/Pid. B/2016/Pn. Pbr). Jurnal Hukum Adigama, 3(1), 1197-1217.

Habibi, M. (2017). Analisis politik identitas di Indonesia. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik. Universitas Mulawarman, Samarinda.

Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkulu Utara. (2015). Rencana Kerja Pembangunan


Daerah Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2016. Bengkulu Utara. III-20

Istiawati, N. F. (2016). Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Kearifan Lokal Adat


Ammatoa Dalam Menumbuhkan Karakter Konservasi. Cendekia: Journal of
Education and Teaching, 10(1),

Liesdayanti, S., Yuningsih, E. T., Haryanto, A. D., & Gentana, D. (2019). Alterasi
Hidrotermal Di Lapangan Panas Bumi X, Lampung. Geoscience Journal, 3(3), 199-
204.

Losu, M. M., Kapugu, H., & Supardjo, S. (2017). Bukit Inspirasi Convention Center Di
Tomohon. Arsitektur Metabolisme (Doctoral dissertation, Sam Ratulangi University).
Setiawan, E., Sukesi, K., Hidayat, K., & Yuliati, Y. (2021). Peran Masyarakat Sekitar
Desa Penyangga Dalam Konservasi Taman Nasional Alas Purwo Berbasis Kearifan
Lokal. Dimensia: Jurnal Kajian Sosiologi, 10(1), 19-43.

Anda mungkin juga menyukai