Anda di halaman 1dari 10

JAWABAN NO 1

Umr dan Umd merupakan sebuah ketentuan upah dari pemerintah yang diberikan pelaku
usaha kepada buruh. Namun hal ini masih juga bermasalah terhadap gaji buruh karena

1. biaya hidup buruh yang beragam sehingga terkadang umr dan umd tidak cukup untuk
biaya hidup mereka
2. beberapa pengusaha menolak karena beberapa pekerja memiliki pekerjaan yang
mudah sedangkan gaji tinggi harus tetap dibayar
3. masih kurangnya pelatihan pekerja untuk meningkatkan kualitas pekerjaannya
4. umr dan umd tidak sesuai dengan pekerjaan yang dikerjakan misalnya pekerjaannya
terlalu berat tetapi gajinya tidak seberapa

Upah minimun bagi pekerja sangat penting bagi kedua belah pihak baik pengusaha dan juga
para pekerja dengan adanya penetapan upah minimum maka akan terjalin kerjasama yang
sehat antar keduanya. manfaat penetapan upah minimum antara lain :

 menjamin hak pekerja terpenuhi


 pengusaha dapat mengembangkan usaha karena mendapat pekerja yang bagus
 pengusaha dan pekrja terhindar dari konflik mengenai upah

hal tersebut sebenarnya masih perlu beberapa perbaikan dari pemerintah agar perusahaan dan
juga para pekerja mendapat hak yang selayaknya dan keuntungan yang sama.

JAWABAN NO 2

Pemberhentian secara Sepihak

Jika Anda merupakan pegawai tetap berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(“PKWTT”), maka mengenai pemutusan hubungan kerja (“PHK”) mekanismenya
diatur dalam Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Syarat untuk melakukan PHK, yaitu:

Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam


perjanjian  kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat
melakukan  pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan
diberikan  surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.

 
Pada dasarnya melalui Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan telah disebutkan bahwa
pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala
upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.

Jika PHK tidak bisa dihindarkan, tetap wajib  dirundingkan oleh pengusaha dan serikat


pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang
bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.[1]

Melihat hal tersebut, berarti PHK harus dilakukan melalui perundingan terlebih dahulu.
Barulah apabila hasil perundingan tersebut tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya
dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.[2]

Adapun lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dimaksud adalah


mediasi hubungan industrial, konsiliasi hubungan industrial, arbitrase hubungan
industrial dan pengadilan hubungan industrial.[3]

Di Pasal 155 ayat (1) UU Ketenagakerjaan disebutkan jika PHK tanpa adanya penetapan dari


lembaga penyelesaian hubungan industrial  akan menjadi batal demi hukum. Artinya,
PHK sepihak tersebut dianggap tidak pernah terjadi dan selama putusan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun
pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.[4]

Jika melihat ke dalam kasus Anda, terhadap tindakan perusahaan memutuskan sepihak,


berarti demi hukum Anda masih menjadi pegawai perusahaan tersebut. Anda tetap harus
bekerja dan perusahaan tetap harus membayarkan upah Anda selama belum ada keputusan
dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Sedangkan, Jika Anda pekerja kontrak berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu


(“PKWT”), maka apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya
jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pihak yang
mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar
upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.[5]

Menurut Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan perjanjian kerja berakhir apabila:

a. pekerja meninggal dunia;


b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja (untuk PKWT);
c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.

 
Jika perusahaan melakukan PHK secara sepihak/sewenang-wenang, maka langkah yang
dapat ditempuh adalah melaporkan tindakan perusahaan kepada instansi
ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota
karena merupakan pengawas ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 178 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan.

Apabila tidak menemukan penyelesaian yang baik, barulah kemudian Anda dapat menempuh
langkah dengan memperkarakan PHK yang sewenang-wenang ke pengadilan hubungan
industrial sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”).

Selengkapnya, baca juga artikel: Bolehkah atasan mengatakan ‘Anda Saya Pecat!’ ?

Non-Competition Clause

Pasal 31 UU Ketenagakerjaan menyebutkan:

Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,


mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau
di luar negeri.

Selain itu dalam Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (“UU Hak Asasi Manusia”), dikatakan juga bahwa setiap orang berhak dengan
bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan
yang adil.

Non-competition clause menurut hemat kami bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan


UU Hak Asasi Manusia. Karena pada dasarnya setiap orang berhak dengan bebas memilih
pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. Oleh
karena itu, non-competition clause pada dasarnya tidak dapat diberlakukan.

Dilihat dari segi hukum perdata tentang perjanjian, suatu perjanjian itu tidak boleh dibuat
karena paksaan. Untuk lebih jelasnya, kita perlu ketahui tentang syarat sah perjanjian yang
terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.

 
Syarat pertama dan kedua pada 1320 KUHPer disebut syarat subjektif, sedangkan syarat
ketiga dan keempat pada 1320 KUHPer disebut syarat objektif. Jika syarat subjektif tidak
terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sedangkan jika syarat objektif yang
tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Kemudian, dalam Pasal 1321 KUHPer dikatakan bahwa tiada sepakat yang sah jika sepakat
itu diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. Dari Pasal
1320 dan 1321 KUHPer kita bisa memahami, jika pekerja dipaksa untuk sepakat pada suatu
perjanjian untuk tidak bekerja di perusahaan sejenis setelah ia mengundurkan diri dari tempat
kerjanya yang terdahulu, maka perjanjian tersebut tidak sah dan dapat dibatalkan.

Tetapi titik beratnya bukan hanya pada paksaan saja, melainkan apakah isi dari perjanjian
tersebut memuat suatu sebab yang halal. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa Non-
competition clause bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan UU Hak Asasi Manusia,
maka menurut hemat kami non-compete clause tersebut batal demi hukum, sehingga tidak
mengikat Anda.

Selengkapnya mengenai non-competition  clause, baca artikel Masalah Klausul Non


Kompetisi (Non-Competition Clause) dalam Kontrak Kerja.

Uang Pesangon

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa jika Anda pegawai kontrak berdasarkan PKWT
dan perjanjian kerjanya diakhiri oleh perusahaan, maka Anda berhak atas atas uang ganti rugi
sebesar upah Anda sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
 

Namun jika Anda adalah pegawai tetap berdasarkan PKWTT, yang mana pengusaha
memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka Pasal 156 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan menyebutkan:

Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima.

Perhitungan uang pesangon paling sedikit sebagai berikut:[6]

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;


b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan
upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan
upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat)
bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan
upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam)
bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh)
bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan)
bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

 
Perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut:[7]

a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan
upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga)
bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4
(empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5
(lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas)
tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu)
tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh
empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.

 
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima meliputi:[8]

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;


b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana
pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas
perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang
memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.

 
Jika reward yang Anda maksud adalah bonus atas pekerjaan Anda, yang telah diperjanjikan.
Maka sesuai Pasal 156 ayat (4) huruf d jo. Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, Anda
berhak atas reward tersebut jika telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama karena termasuk ke dalam bagian uang
penggantian hak.

JAWABAN NO 3

Status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”)

Mengenai status Anda sebagai karyawan kontrak (PKWT), berdasarkan Pasal 59 ayat


(1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU
Ketenagakerjaan”), PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifat
atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;


b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama
dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

 
Kemudian, Pasal 59 ayat (3) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa PKWT
dapat diperpanjang atau diperbaharui. Berikut penjelasannya:

1. Perpanjangan PKWT
PKWT ini hanya boleh dilakukan paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1
(satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.[1]
 

Jika pengusaha melakukan perpanjangan PKWT, maka perusahaan harus memberitahukan


secara tertulis maksud perpanjangan pada pekerja paling lama 7 hari sebelum PKWT berakhir
secara tertulis kepada karyawan, dengan menyatakan bahwa akan diperpanjang kontrak
kerjanya.[2]

Jika pengusaha tidak memberitahukan perpanjangan PKWT ini dalam waktu 7 (tujuh) hari
maka perjanjian kerjanya demi hukum menjadi Perjanjian Kerja dengan Waktu Tidak
Tertentu (“PKWTT”).[3]

Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 3 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor Kep-100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans 100/2004”) bahwa PKWT hanya dibuat
untuk paling lama 3 tahun.

Juga dalam hal PKWT dilakukan melebihi waktu 3 (tiga) tahun, maka demi hukum perjanjian
kerja tersebut menjadi PKWTT.[4]

2. Pembaruan PKWT

Sedangkan pembaruan PKWT hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu
30 hari berakhirnya PKWT yang lama, pembaruan PKWT ini hanya boleh dilakukan 1 kali
dan paling lama 2 tahun.[5]
 

Pembaharuan PKWT ini dilakukan dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan
tertentu, namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan.[6]

Penjelasan selengkapnya mengenai perpanjangan dan pembaharuan PKWT dapat Anda


simak dalam artikel Ketentuan Perpanjangan dan Pembaharuan PKWT Bagi Karyawan
Kontrak.

Hak Karyawan Tetap/ Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”)


Jika dikaitkan dengan kondisi kontrak kerja Anda (PKWT) yang dilakukan dalam jangka
waktu dari tahun 2006 hingga kini tahun 2018 (12 tahun), dan diperbaharui setiap tahun
kemudian dalam 3 tahun masa kerja diberikan masa jeda diberhentikan 1 bulan, tentu hal
tersebut tidak sesuai dengan ketentuan perpanjangan dan pembaharuan PKWT sebagaimana
yang telah kami jelaskan di atas.

Berdasarkan penjelasan kami di atas dan dihubungkan dengan keterangan yang Anda
sampaikan, maka kami asumsikan sebagai berikut:

 Anda mulai bekerja Maret 2006 untuk jangka waktu 2 tahun, yaitu selesai pada Maret
2008. Karena alasan tertentu, kontrak Anda diperpanjang 1 tahun sampai Maret 2009.
(sesuai Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagkerjaan tentang Perpanjangan PKWT). Sehingga
total 3 tahun;
 Setelah itu, Anda diberikan jeda selama 30 hari (sebulan) yakni sampai April 2009
kemudian ada pembaharuan kontrak, yang mana hal tersebut dikategorikan
sebagai Pembaharuan PKWT sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat (6) UU
Ketenagakerjaan;
 Berdasarkan Pasal 59 ayat (6) UU Ketenagakerjaan, pembaharuan PKWT hanya
boleh dilakukan 1 kali dan paling lama 2 tahun. Maka kami asumsikan PKWT yang
diperbaharui itu selesai pada April 2011;
 Jadi, demi hukum, terhitung setelah April 2011 status Anda seharusnya sudah menjadi
karyawan dengan PKWTT atau menjadi karyawan tetap berdasarkan Pasal 59 ayat (7)
UU Ketenagakerjaan . Oleh karena itu Anda dapat menuntut perusahaan untuk
menetapkan Anda menjadi karyawan tetap.

Patut diperhatikan bahwa ketentuan Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan telah diputus oleh
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XIII/2015 yang
menerangkan bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
tidak dimaknai (hal. 53):
Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas
ketenagkerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:

1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak


mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan
peraturan perundang-undangan

Maka, penetapan Anda menjadi karyawan dengan PKWTT harus melalui prosedur yang
ditetapkan oleh putusan tersebut.
 

Hak Cuti, THR, dan Hak lainnya

Mengenai hak cuti dan Tunjangan Hari Raya (“THR”) Anda, adanya jeda selama 1 bulan
pembaharuan PKWT, tidak menghapus kewajiban perusahaan untuk memberikan hak cuti
dan hak THR kepada Anda. Karena sebenarnya Anda masih dalam hubungan kerja dengan
pengusaha pada masa jeda tersebut.
Mengenai hak cuti tahunan, diatur dalam Pasal 79 ayat (2) huruf c UU
Ketenagakerjaan dimana perusahaan wajib memberikan istirahat dan cuti pada pekerja.
Untuk cuti tahunan diberikan sekurang kurangnya 12 hari kerja setelah karyawan yang
bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus. Pelaksanaan waktu istirahat
tahunan lebih lanjut diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama di masing-masing perusahaan.[7]

Kemudian, mengenai kewajiban perusahaan memberikan THR, pada dasarnya, THR


merupakan hak bagi semua pekerja/buruh dalam hubungan kerja, baik karyawan kontrak
(PKWT) maupun karyawan tetap (PKWTT), yang telah mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan
secara terus menerus atau lebih.[8]

THR keagamaan kepada karyawan diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”) THR tersebut wajib dibayarkan paling lambat 7 hari
sebelum hari raya keagamaan.[9]

Bagi pekerja kontrak, jika kontrak kerja telah berlangsung lebih dari 1 (satu) bulan saat “hari
H” pelaksanaan hari raya keagamaan, tetapi tidak sampai 1 (satu) tahun bekerja, maka hanya
berhak THR secara proporsional.[10] Akan tetapi, jika kontrak kerja sudah berlangsung 1
(satu) tahun atau lebih (termasuk perpanjangannya) saat “hari H” pelaksanaan  hari raya
keagamaan, maka pekerja berhak atas THR secar full (penuh).[11] Perlu diingat, jika kontrak
sudah berakhir sebelum pelaksanaan hari raya keagamaan, maka Anda tidak mendapatkan
THR.

Jika perusahaan terlambat/ tidak membayar THR, maka perusahaan dikenakan denda sebesar
5% (lima persen) dari total tunjangan THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu
kewajiban Pengusaha untuk membayar.[12]

Langkah Hukum yang Bisa Dilakukan

Sebagai langkah awal, Anda dapat meminta hak yang Anda miliki kepada pengusaha secara
kekeluargaan atau yang dikenal dengan perundingan secara bipartit secara musyawarah untuk
mencapai mufakat, yang diatur di Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”). Jangka waktu bipartit
harus diselesaikan paling lama 30 hari sejak diadakannya perundingan bipartit.[13] Apabila
salah satu pihak menolak untuk berunding, atau tidak sepakat maka perundingan bipartit
dianggal gagal.[14]
 

Perundingan bipartit yang gagal tersebut dicatatkan kepada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya perundingan
bipartit telah dilakukan.[15]

Apabila penyelesaian secara bipartit tidak berhasil dilakukan, cara yang dapat ditempuh
adalah dengan melalui mediasi hubungan industrial, yaitu melalui musyawarah antara pekerja
dan pengusaha yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral,[16] salah satu
penyelesaian yang dilakukan melalui mediasi adalah masalah perselisihan hak.

Penjelasan lebih lanjut mengenai mediasi hubungan industrial dapat Anda simak dalam
artikel Meniti Perdamaian di Jalur Hubungan Industrial (1).

Jika mediasi gagal atau tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak
dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.[17]

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan;
5. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari
Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan;
6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-100/Men/VI/2004
Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XIII/2015.

Anda mungkin juga menyukai