Petunjuk
1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.
Surat Pernyataan
Mahasiswa Kejujuran
Akademik
1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE
pada laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan
soal ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
Universitas Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi
akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
Batam, 19 Desember 2021
Yang Membuat Pernyataan
Nurul Hasanahh
1. Kasus pertanahan yang terjadi di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun dan belum
ditemukan metode penyelesaian yang efektif, dalam arti tidak merugikan pihak yang
bersengketa. Maraknya kasus pertanahan mengindikasikan belum optimalnya
pelaksanaan sistem pengelolaan pertanahan serta menghambat program-program
pembangunan yang sedang berjalan. Peningkatan jumlah kasus pertanahan tentu
menjadi perhatian penting untuk dicarikan jalan keluar sehingga tanah dapat dikelola
dan dimanfaatkan sebagai aset yang dapat memberikan sebesar-besarnya kemakmuran
bagi rakyat Indonesia.
Sistem pengelolaan pertanahan sebagai salah satu kunci dalam penyelesaian kasus dan
sengketa pertanahan perlu diperbaiki untuk mereduksi jumlah kasus pertanahan serta
mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Perbaikan sistem pengelolaan
pertanahan dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai kasus pertanahan untuk
menemukan akar permasalahannya sehingga dapat dijadikan pembelajaran dan
penyelesaian masalah
Mekanisme penyelesaian sengketa pertanahan yang telah dilakukan selama ini adalah
(1) pengajuan sengketa berasal dari masyarakat; (2) pengkajian yuridis dan fisik para
pihak; dan (3) penanganan. Untuk penanganan di BPN, dikenal istilah gelar internal,
baik internal pusat maupun daerah serta gelar eksternal dengan mengundang berbagai
pihak yang beperkara. Apabila mekanisme ini sudah selesai, akan keluar dua
keputusan, yaitu selesai di luar pengadilan (musyawarah) atau selesai melalui
pengadilan.
Dengan melihat secara sinkronisasi dan konsistensi berbagai aturan hukum di bidang
pertanahan dalam kaitannya dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 mengenai SDA,
khususnya di bidang pertanahan, dengan tidak melepaskan kaitannya dengan UUPA
Nomor 5 Tahun 1960 sebagai payung hukum dari semua aturan hukum agraria.
Pembentukan Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA) yang bertugas
menerima pengaduan kasus, menganalisis kasus, memverifikasi lapangan, mengadakan
rapat koordinasi, dan memberikan rekomendasi penyelesaian, menandakan bahwa
pemerintah serius menangani konflik agraria. Oleh sebab itu, koordinasi antarinstansi
yang terkait dengan masalah agraria/pertanahan untuk mengatasi atau mencegah
tumpang-tindih kewenangan maupun tumpang-tindih administrasi pertanahan sangat
penting. Penyelesaian tumpang-tindih di antara instansi-instansi pemerintah harus
dilakukan secara musyawarah atau melalui instansi yang lebih tinggi
denganmekanismekoordinasi.
2. Sistem publikasi positif
Sistem publikasi positif digunakan untuk melindungi orang yang memperoleh suatu
hak dengan itikad baik. Menurut Effendi Perangin, sistem publikasi positif
mengandung pengertian apa yang terkandung dalam buku tanah dan surat-surat tanda
bukti hak yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian yang mutlak, sehingga pihak
ketiga yang bertindak atas bukti-bukti tersebut mendapatkan perlindungan yang
mutlak, meskipun di kemudian hari terbukti bahwa keterangan yang terdapat di
dalamnya tidak benar. Mereka yang dirugikan akan mendapat kompensasi dalam
bentuk lain. Menurut Arie S. Hutagalung sebagaimana dikutip oleh Urip Santoso,
orang yang mendaftar sebagai pemegang hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat
lagi haknya dan negara sebagai pendaftar menjamin bahwa pendaftaran yang dilakukan
adalah benar.
Contohnya seseorang memiliki sebidang tanah di desa Negara RI. Karena alasan
ekonomi, ia pergi merantau. Ia menitipkan tanah miliknya tersebut
ketetangganya. Ketika dilakukan sertifikasi tanah di desa itu, tetangga yang dititipi
untuk menjaga lahan itu, diam-diam mengurus tanah sertifikasi tanah itu atas namanya
sendiri. “Ketika di kemudian hari pemilik asli-awal lahan itu mengetahui kejadian
tersebut, ia dapat menempuh proses hukum. Karena sertifikat itu sendiri bukan
kebenaran mutlak, yang tidak bisa diganggu gugat lagi (indivisible title).
3. Tindakan dan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah
bersumber dan bertumpu pada kewenangan yang sah dalam Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Kata ‘dikuasai oleh Negara’ dalam pasal ini memberikan
kewenangan kepada pemerintah selaku perpanjangan tangan dari negara untuk
mengelola dan mengatur tanah sebagai bagian dari bumi untuk sebebsar-besarnya
kemakmuran rakyat. Lebih lanjut pengaturan mengenai hak atas tanah diatur dalam UU
No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok Agraria (selanjutnya disebut sebagai
UUPA) dalam ketentuan Pasal 2.
Usaha seperti apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan
tanah tersebut berdasarkan perundang-undangan yang berlaku?
Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan,
tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Sebelumnya, di Indonesia
pengadaan tanah khususnya bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara
pencabutan hak atas tanah. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun
2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, Pasal 1 Angka 3. Namun, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 65
Tahun 2006 yang merupakan perubahan dari Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005,
maka pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang
dilakukan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Dasar hibah tanah diatur dalam pasal 1666 hingga pasal 1669 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Dalam kitab hukum itu dijelaskan, selain harus disertai surat hibah ,
maka hibah harus memenuhi prosedur berikut;
Obyek Hibah
Obyek hibah harus sudah ada wujudnya saat akad hibah dilakukan. Tidak boleh hibah
dilakukan atas sesuatu yang belum ada atau masih hanya sebatas rencana.
Dicatat Notaris/PPAT
Hibah harus dicatat notaris dan naskah aslinya disimpan notaris. Untuk hibah
tanah/bangunan, hibah harus dilakukan di depan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
dan dilengkapi surat hibah tanah.
Hibah dan waris adalah keduanya sama-sama memberikan sesuatu secara sukarela
kepada seseorang. Namun perbedaannya adalah hibah dapat dilakukan saat pemberi
hibah masih hidup untuk memberikan sesuatu / hartanya kepada penerima hibah
sedangkan warisan hanya dilakukan saat pewaris sudah meninggal dunia dan penerima
warisnya sertai pembagian warisannya diatur oleh Undang-undang ataupun adat
istiadat yang berlaku.
Pengertian hibah menurut Pasal 1666 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan
mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat
ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang
menerima penyerahan itu. Namun Jika pemberian diberikan oleh seseorang setelah ia
meninggal dunia, maka ini dinamakan hibah wasiat, yang diatur dalam Pasal 957
KUHPerdata.