OLEH
JEMIANUS ASA
192381243
JURUSAN KEHUTANAN
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hutan adalah sebuah kawasan yang di tumbuhi dengan lebat oleh pepohonan
dan tumbuhan lainnya yang menempati daerah yang cukup luas. Hutan sebagai suatu
ekosistem tidak hanya menyimpan sumber daya alam berupa kayu, tetapi masih
banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui
budi daya tanaman pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem, hutan
sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen,
tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta
mencegah timbulnya pemanasan global. Sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan,
hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat penting, hal ini dikarenakan hutan
adalah tempat tumbuhnya berbagai macam tanaman.
Hutan lindung merupakan barang publik yang tidak punya tandingan (non
rivalry) dalam konsumsi dan/atau manfaatnya tidak bisa dipisahkan (non eksludable)
(Fauzi, 2004). Hutan lindung bisa memberikan eksternalitas positif maupun negatif,
sehingga menimbulkan interdependensi atau ketergantungan antar kabupaten di
bagian hulu dan kabupaten di bagian hilir (Kartodihardjo, 2006) Hutan lindung di
beberapa daerah terus terdegradasi. Menurut hasil penghitungan Badan Planologi
Kehutanan (2015), luas deforestasi kawasan hutan lindung pada periode tahun 2015 -
2016 adalah 46,9 Ha dengan angka deforestasi tahunan pada kawasan ini adalah
79.045,5 ha/tahun. Angka hutan lindung di Provinsi NTT terkhusunya di kabupaten
belu tahun 2017-2020 sebesar 37.015,28 Ha, Luas kawasan hutan berdasarkan Berita
Acara (BA) Tata Batas pada tahun 2014 adalah 58.155,55 Ha yang terdiri dari Hutan
Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Konversi, Cagar
Alam dan Suaka Margasatwa. Luas kawasan hutan tersebut masih tersebar di wilayah
Kabupaten Belu dan Malaka dan belum ada pemisahan dikarenakan penetapan luas
yang terpisah belum ada dan tidak dapat dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten
Belu karena merupakan wewenang Kementrian Kehutanan.
Keberadaan hutan lindung di wilayah kepulauan memberikan pengaruh secara
mikro dalam kelestarian alam seperti mencegah intrusi air laut, air bawah tanah yang
terjaga akibat hutan di pulau kecil, mampu menekan air laut agar tidak masuk ke
daratan dan mencegah rusaknya kehidupan yang berada di wilayah kepulauan. Pada
dasarnya Pemerintah Pusat belum secara jelas menunjukkan komitmennya mendorong
otonomi secara bertahap di bidang kehutanan, di sisi lain Pemerintah Kabupaten
belum dapat menunjukkan komitmen dan kemampuannya untuk mengurus hutan yang
ada di wilayahnya secara baik dan bertanggung jawab (Ngakan , 2007). Hal tersebut
terjadi dikarenakan ketidakmampuan pemerintah dalam mengimplementasikan
kebijakan – kebijakan disamping adanya kendala di lapangan (Sinery dkk, 2013),
serta keterbatasan pengetahuan, kelangkaan informasi, tidak memadainya
keterampilan-keterampilan pegawai kehutanan dan buruknya kelembagaan yang
mengelola kawasan.Disisi lain pemerintah telah mengupayakan Kepres 32 tahun 1990
(tentang Pengelolaan Kawasan Lindung) yang menyatakanbahwa upaya pengelolaan
kawasan hutan lindung mencakup kawasan yang memberikan perlindungan kawasan
bawahannya (kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air),
kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar
danau /waduk, kawasan sekitar mata air), kawasan suaka alam dan cagar budaya
(kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainya, kawasan pantan
berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, kawasan
cagar budaya dan ilmu pengetahuan) dan kawasan rawan bencana alam.
Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, menyebutkan
enam kriteria hutan lindung yaitu kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40
persen atau lebih, mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2000 meter atau
lebih, kawasan dengan faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah
masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai skor 175
atau lebih, kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan
lereng lapangan lebih dari 15 %, kawasan yang merupakan daerah resapan air, dan
kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai. Dari kriteria tersebut
dapat dimengerti mengapa hutan ini diperuntukkan terutama untuk fungsi
perlindungan ekosistem, bukan untuk produksi kayu atau perolehan pendapatan dalam
jumlah besar dalam waktu yang singkat. Realitas yang terjadi di lapangan ialah belum
optimalnya pengelolaan kawasan lindung atau konservasi yang dilakukan oleh
pemerintah. Hal tersebut terjadi dikarenakan ketidakmampuan pemerintah dalam
mengimplementasikan kebijakan – kebijakan disamping adanya kendala di lapangan
(Sinery dkk, 2013). Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian Munggoro (1999)
yang menyatakan bahwa pemerintah sebenarnya tidak mampu secara efektif
mengelola kawasan-kawasan lindung atau konservasi yang ada karena adanya
keterbatasan birokrasi dalam memenuhi kebutuhan kebutuhan standar manajemen
kawasan konservasi atau kawasan lindung.
Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan, kelangkaan informasi,
tidak memadainya keterampilan-keterampilan pegawai kehutanan dan buruknya
kelembagaan yang mengelola kawasan. Di sisi lain masalah pengelolaan kawasan
konservasi atau kawasan lindung belum mendapat respon yang positif dari masyarakat
sepenuhnya di akibatkan karena tidak adanya kebijakan oleh pemerintah khususnya
Kementerian Kehutanan dalam hal ini Dinas Pertanian dan Kehutanan Kepulauan
Talaud untuk menekan laju deforestasi. Padahal melihat luas areal hutan yang dimiliki
Kabupaten belu cukup besar sehingga boleh didirikan sebagai Kawasan Hutan Rakyat
dan Hutan Kemasyarakatan (HKm), sehingga masyarakat boleh memanfaatkan
kawasan Hutan Lindung secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan
pemberian akses dalam rangka kesejahteraan masyarakat. Menurut Sinery (2013)
telah terjadi perubahan pola pemanfaatan sumberdaya alam pada masyarakat sekitar
hutan dari kebutuhan dasar (basic needs) menjadi pola keinginan (desire).
Konsekuensinya jelas berdampak terhadap eksistensi kawasan termasuk keberadaan
masyarakat sekitar kawasan seperti halnya yang terjadi di hutan lindung. Kerusakan
hutan tidak hanya terbatas pada kawasan hutan produksi, tetapi juga terjadi pada hutan
lindung.Hutan lindung merupakan areal yang paling mudah dijarah oleh tangan
manusia dalam menggapai tuntutan hidup, terutama oleh penduduk yang bermukim di
sekitar hutan. Penduduk di Desa- Desa perbatasan melihat hutan sebagai sumber
kehidupan, dan sebagai cadangan bagi perluasan usaha tani, ketika petani
membutuhkan tambahan lahan usahatani karena adanya pertambahan penduduk.
Kondisi ini dapat menyebabkan peralihan pola hidup masyarakat dengan membuka
lahan hutan menjadi lahan kebun. Apabila hal ini dibiarkan berlangsung terus-
menerus dapat mengakibatkan kerusakan hutan dan mempercepat berkurangnya areal
hutan. Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian Sabarnuddin (2001) yang
mengatakan bahwa peralihan pola hidup dapat memicu persoalan kemiskinan dan
ketidakadilan yang dirasakan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung.
Keberhasilan pengelolaan kawasan hutan lindung terkait dengan sejumlah
permasalahan di tingkat masyarakat seperti permasalahan sosial ekonomi masyarakat
sekitar hutan,perambahan hutan, alih fungsi lahan, perburuan dan perdagangan satwa
liar. Fakta yang ada di lapangan menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonomi
masyarakat dapat berkontribusi terhadap pelaksanaan dan keberhasilan aktivitas
pengelolaan hutan. Sehubungan dengan itulah maka diperlukan suatu konsep lokalitas
untuk memahami peranan masyarakat sekitar yang umumnya memiliki kearifan lokal,
yang secara khusus bersangkut-paut dengan upaya-upaya pengelolaan hutan. Hal ini
mengindikasikan tentang perlu dirumuskan langkah-langka atau strategi pengelolaan
Hutan Lindung sehingga permasalahan pengelolaan hutan dan penyelesaian konflik
pengelolaan hutan lindung dapat diantisipasi secara tepat, dengan adanya upaya
pelestarian hutan lindung, maka pemerintah daerah membutuhkan orgnisasi perangkat
daerah. Organisasi yang di butuhkan adalah Unit Pelaksana Teknis Kesatuan
Pengelolaan Hutan (UPT KPH). Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan
adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat
dikelolah secara efisien dan lestari. Kesatuan Pengelolaan Hutan ditetapkan dalam
satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas wilayah
administrasi pemerintahan. Kesatuan Pengelolaan Hutan selaku instansi pemerintah
yang mengambil alih dalam permasalahan kehutanan. Dalam mengambil alih
permasalahan kehutanan, maka pemerintah memiliki cara yang strategis yang
dilakukan dalam upaya pelestarian hutan lindung.
B. Rumusan Masalah
Dari permasalahan pada latar belakang diatas maka dapat dirumuskan
bagaimana strategi yang diambil pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan hutan
lindung di desa faturika kecamatan raimanuk kabupaten belu?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengelolaan hutan lindung oleh pemerintah agar dapat
dijadikan sebagai hutan lindung.
2. Untuk mengetahui pengelolaan hutan lindung oleh masyarakat agar dapat
dijadikan sebagai hutan lindung.
3. Untuk menganalisa pengelolaan hutan lindung oleh pemerintah dan masyarakat
agar dapat dijadikan sebagai hutan lindung.
D. Memfaat Penelitian
1. Bagi Akademis
Sebagai bahan referensi pada penelitian selanjutnya dan dapat dikembangkan
dengan metode yang lebih baik lagi.
2. Bagi peneliti
Bahan referensi bagi peneliti untuk dijadikan rujukan dalam penelitian terkait
strategipengelolaan Hutan Lindung berbasis Masyarakat di wilayah Kepulauan
3. Bagi pemerintah
Sebagai acuan dalam bidang pemerintahan untuk di kembangkan strategi yang
akan dilakukan pemerintah setempat dalam pengolahan hutan lindung.
4. Bagi masyarakat
Sebagai sumber informasi bagi masyarakat dalam pengembangan Strategi
PengelolaanHutan Lindung berbasis Masyarakat di wilayah Kepulauan sebagai
upaya rehabilitasi hutandan lahan agar tetap terjaga keberadaanya sehingga
memberikan nilai guna bagi perlindungan lingkungan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
E. Analisis swot
F. analisis stakeholder
Race dan Millar (2006) menjelaskan bahwa dalam analisis stakeholder akan
dilakukan identifikasi stakeholder beserta perannya dalam suatu kegiatan. Analisis
tersebut berguna untuk mengetahui kategori stakeholder.Kategori tersebut dikelompokkan
menurut kepentingan dan pengaruh tiap stakeholder dalam suatu kegiatan. Selanjutnya,
analisis stakeholder dapat digunakan untuk mendefinisikan hubungan antar stakeholder
dalam proses kegiatan. hasil akhir kegiatan.
G. kerangka berpikir
Sasaran utama dari penelitian ini adalah menyusun strategi dalam pengelolaan
kawasan hutan Lindung faturika berbasis masyarakat sebagai upaya yang dilakukan dalam
rehabilitasi hutan dan lahan. Adapun kerangka pikir dalam menyusun penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Analisis stakeholder
Strategi pengolahan
hutan lindung secara
lestari
BAB III
METODE PENELITIAN
a Haga
b Pita meter
c Rool meter
d Gps
e Camera
f Kompas
g Peta lokasi
h Buku panduan
i Buku tulis
C. Metode Penelitian
1. Jenis Dan Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan alasan
penelitian harus terjun ke lapangan untuk menemukan dan melakukan observasi,
sehingga dapat mengamati langsung keadaan yang sebenarnya mengenai kasus
tentang kurangnya strategi yang dilakukan oleh Pemerintah.
Adapun tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu penelitian
pengumpulan data dengan wawancara dan data secara tertulis hal ini dibuat agar
tujuan dari penelitian bisa akurat dengan apa yang terjadi dilapangan dan apa
yang tertuang pada dokumen-dokumen kemudian selanjutnya dengan observasi
partisipan untuk mengetahui kenyataan yang terjadi dilapangan mengenai Strategi
pengelolaah hutan.
D. Metode Pengumpulan Data
1. Sumber Data
a Data primer adalah Data yang di peroleh secara langsung dan informan yang
bersangkutan dengan wawancara masyarakat setempat untuk mendapatkan
jawaban yang berkaitan dengan strategi pengelolaan huatn lindung.
b Data sekunder adalah Data yang di peroleh dari literatur dan dokumen serta
data yang di ambil dari buku-buku yang berkaitan dengan strategi
pengelolaan hutan.
c Wawancara Digunakan sebagai teknik mengumpulkan data dengan
menggunakan alat bantu buku untuk mencatat informasi serta kamera untuk
menjadi bukti yang konkrit mengenai wawancara dengan pihak yang
memahami permasalahan dalam pengelolaah hutan.
d Studi dokumentasi Dilakukan guna mendapatkan data sekunder dengan cara
melakukan kajian terhadap data-data dokumen pribadi dan dokumen resmi,
baik visual maupun berupa tulisan yang berkaitan dengan masalah penelitian
berupa strategi Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan dalan
pelestarian hutan lindung.
e Observasi Melakukan pengamatan langsung di lokasi penelitian secara
berulang terhadap suatu objek pengamatan pada tempat yang sama ataupun
berbeda. Observasi di fokuskan pada pengamatan langsung terhadap strategi
UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan dalam pelestarian hutan lindung.
c Dominansi
Dominansi (D) = jumlah luas bidang suatu
Jenis luas petak contoh
e Keanekaragaman Jenis
Untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis diantara plot dihitung
berdasakan indeks Shannon (H’)
𝐻′= −Σ 𝑝𝑖ln𝑝𝑖
Keterangan:
H’ = Indeks keanekaragaman Shannon
Pi = Perbandingan antara nilai penting suatu jenis dengan Jumlah nilai
penting seluruh jenis (ni/N).
Nilai indeks keanekaragaman jenis dapat diklasifikasikan dalam beberapa
tingkatan,
yaitu:
1) Rendah jika H' < 2
2) Sedang jika 2 ≤ H' < 3
3) Tinggi jika H' ≥ 3