Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KULIAH

ETIKA LINGKUNGAN HIDUP

KEBAKARAN HUTAN
DALAM PERSEPSI
ANTROPOSENTRISME EKOLOGIS

OLEH:
Raden Hasan Basori
Henderina

PROGRAM DOKTOR ILMU LINGKUNGAN


PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2017
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pada dasawarsa terakhir ini, masalah lingkungan hidup  banyak mendapat sorotan
dari pelbagai kalangan. Hal ini disebabkan karena krisis ekologi yang terjadi
merupakan isu global yang dampaknya sudah menimpa seluruh penghuni bumi
masa kini dan generasi yang akan datang. Tentu saja hal ini bukan tanpa alasan,
adanya permasalahan ekologi ini merupakan dampak dari perkembangan zaman
yang semakin maju dan akibat ulah dari keserakahan manusia yang terlalu
mengeksploitasi alam dan lingkungan tanpa mempertimbangkan dampak yang
akan ditimbulkan.

Padahal alam merupakan tempat manusia untuk hidup dan berkembang biak.
Hubungan manusia dan alam pun saling terkait (simbiosis mutualisme). Dari alam
manusia mendapat penghidupan, Tanpa dukungan dari alam, manusia dan
makhluk lainnya akan terancam karena kebutuhan dasar manusia bersumber dari
alam. Ketidakramahan manusia terhadap lingkungan harus dibayar mahal,
terbukti dengan banyaknya bencana yang terjadi. Salah satunya yang paling
sering terjadi adalah kebakaran hutan. Dan yang sering terjadi adalah kebakaran
hutan di Propinsi Riau.

Kebakaran hutan di Indonesia tidak hanya terjadi di lahan kering tetapi juga di
lahan basah seperti lahan/hutan gambut, terutama pada musim kemarau, dimana
lahan basah tersebut mengalami kekeringan. Pembukaan lahan gambut berskala
besar dengan membuat saluran/parit telah menambah resiko terjadinya kebakaran
di saat musim kemarau. Pembuatan saluran/parit telah menyebabkan hilangnya
air tanah dalam gambut sehingga gambut mengalami kekeringan yang berlebihan
di musim kemarau dan mudah terbakar. Terjadinya gejala kering tak balik
(irreversible drying) dan gambut berubah sifat seperti arang menyebabkan
gambut tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air.
Kebakaran di lahan gambut secara lamban tapi pasti akan menggerogoti materi
organik di bawahnya dan gas-gas yang diemisikan dari hasil pembakaran dapat
memberikan kontribusi terhadap perubahan iklim global. Tahun 2015, kebakaran
lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan telah menjadi berita utama dimana-
mana. Pihak Malaysia dan Singapura sangat khawatir akan dampak kebakaran
yang ditimbulkan terhadap kesehatan warganya. Estimasi luas terbakar mencapai
± 2 juta hektar dan dampak kebakaran yang terjadi pada tahun ini telah dirasakan
oleh beberapa pihak, meskipun tidak terdapat kesamaan dalam hasil estimasi,
tetapi menunjukkan bahwa rawa gambut yang terbakar di Indonesia telah banyak
yang hilang.

Kebakaran di lahan/hutan gambut sangat sulit diatasi dibandingkan dengan


kebakaran yang terjadi di daerah tidak ada gambutnya. Api yang terdapat di
dalam lahan gambut (ground fire) sulit diketahui sebarannya, karena ia bisa saja
menyebar ke tempat yang lebih dalam atau menjalar ke lokasi yang lebih jauh
tanpa dapat dilihat dari permukaan. Usaha pemadaman api di lahan gambut, jika
terlambat dilakukan, atau apinya telah jauh masuk ke lapisan dalam gambut, akan
sulit untuk dipadamkan. Selain itu, hambatan utama yang dihadapi dalam usaha
pemadaman adalah sulitnya memperoleh air di dekat lokasi kejadian dalam
jumlah besar serta akses menuju lokasi kebakaran sangat berat. Oleh karena itu,
pemadaman api di lahan gambut yang kebakarannya sudah parah/meluas hanya
dapat ditanggulangi secara alami oleh hujan yang deras.

Kerusakan kawasan hutan dalam hal ini akibat pembakaran hutan, disebabkan oleh
beberapa faktor dan salah satu faktor yang menarik untuk dikaji yaitu persoalan
perubahan (alih) kawasan hutan (Yusuf, 2004; Verbist, dkk., 2004). Perubahan
kawasan hutan dapat berupa perubahan peruntukan yaitu dalam bentuk tukar-
menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan, untuk kepentingan
perkebunan, permukiman transmigrasi, industri, perumahan, perkantoran dan
sebagainya. Perubahan fungsi kawasan hutan yaitu mengubah fungsi kawasan hutan
untuk kepentingan di luar bidang kehutanan. Selain itu ada bentuk lainnya yaitu
penggunaan kawasan hutan yang dikenal dengan istilah izin pinjam pakai kawasan
hutan (Maladi, 2013; Siombo, 2014; Kartodihardjo, 2014).
Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pada Pasal 19,
istilah alih fungsi dikenal sebagai perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.
Perubahan peruntukan kawasan hutan, terjadi melalui proses tukar-menukar kawasan
hutan dan pelepasan kawasan hutan. Alih fungsi kawasan hutan, yang terjadi melalui
perubahan peruntukan kawasan hutan terfokus untuk mendukung kepentingan di luar
kehutanan (pertanian, perkebunan, transmigrasi, pengembangan wilayah,
pertambangan, dan non kehutanan lainnya). Alih fungsi kawasan hutan dapat pula
melalui perubahan fungsi hutan namun tidak mengurangi luas kawasan hutan,
misalnya untuk tujuan pembangunan kehutanan (konservasi kawasan hutan
alam/tanaman, hutan pendidikan/penelitian)

Dalam pemanfaatan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya


yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Kesesuaian ketiga fungsi tersebut
sangat dinamis dan yang paling penting yaitu agar dalam pemanfaatannya harus tetap
sinergi. Sementara itu Maladi (2013) berpendapat bahwa, meski secara normatif,
konversi atau perubahan kawasan hutan dimaksud tidak dilarang oleh undang-
undang, namun untuk menjaga kualitas lingkungan, sejauh mungkin dihindari
terjadinya konversi/perubahan terhadap hutan alam yang masih produktif, guna
menghindari ketimpangan agraria seperti kerusakan kawasan hutan dan konflik
sosial.

Pelaksanaan kebijakan perubahan peruntukan, perubahan fungsi, dan penggunaan


kawasan hutan sarat dengan pelanggaran dan penyimpangan (baik yang bersifat
prosedural maupun substansial) dan tidak diaktualisasikannya prinsip etika
lingkungan dan hukum pelestarian fungsi lingkungan hidup (Silaen, 2008; Anon
1994). Bahkan dalam banyak kasus, menurut Siombo (2014) banyak pejabat
pemerintah yang “bermain mata” sehingga terjermus dalam praktek korupsi karena
pertimbangan (etika) lingkungan tidak menjadi prioritas atau pertimbangan utama
dalam menjaga dan mempertahankan lingkungan.

1.2 Tujuan
Tulisan ini merupakan hasil telaahan dan studi makalah dan dari berbagai pustaka.
Oleh karenanya dengan mengacu pada uraian latar belakang yang ada maka tulisan
ini dirumuskan guna mendapatkan pengetahuan tentang analisis kebakaran hutan
dilihat dari etika lingkungan antroposentrisme ekologis dalam kebijakan alih fungsi
hutan. Untuk analisis tersebut maka tulisan ini terdiri dari: (1) Tingkat kerusakan
hutan di Indonesia (2) Penyebab kerusakan hutan akibat pembakaran karena alih
fungsi lahan, (3) Dampak kerusakan hutan akibat pembakaran karena alih fungsi
lahan, (4) Antroposentrisme Ekologis sebagai ideologi kapitalisme economic greed
(5) Pengendalian kebakaran hutan akibat Alih Fungsi Hutan dengan Prinsip Hukum
dan Kebijakan dalam menangkal paradigma antroposentrisme ekologis.

II. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

2.1. Tingkat Kerusakan Hutan di Indonesia


Dalam jurnal Science menyebutkan bahwa sepanjang 2001-2013 Indonesia telah
kehilangan 15,8 juta hektare hutan. Situasi yang terjadi Indonesia berbanding terbalik
dengan yang terjadi di Brasil. Brasil mampu menekan laju penggundulan hutan dari 4
juta hektare di tahun 2003 sehingga menjadi di bawah 2 juta hektare pada tahun
2012. Sementara itu, laju penggundulan hutan Indonesia malah cenderung meningkat
dari 1 juta hektare pada 2003 menjadi 2 juta hektare di tahun 2012 (tempo.co, 14 Mei
2014; nationalgeographic.co.id, Juli 2014)

Beberapa fakta lain terkait tingginya kerusakan lingkungan di Indonesia akibat


kegiatan manusia antara lain (Khan, 2010; Hidayat, 2011; Elias, 2013):
1. Laju deforestasi mencapai 1,8 juta hektar/tahun yang mengakibatkan 21%
dari 133 juta hektar hutan Indonesia hilang. Hilangnya hutan menyebabkan
penurunan kualitas lingkungan, meningkatkan peristiwa bencana alam, dan
terancamnya kelestarian flora dan fauna.
2. 30% dari 2,5 juta hektar terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan.
Kerusakan terumbu karang meningkatkan resiko bencana terhadap daerah
pesisir, mengancam keanekaragaman hayati laut, dan menurunkan produksi
perikanan laut.
3. Ratusan tumbuhan dan hewan Indonesia yang langka dan terancam punah.
Menurut catatan IUCN Redlist, sebanyak 76 spesies hewan Indonesia dan 127
tumbuhan berada dalam status keterancaman tertinggi yaitu status Critically
Endangered (Kritis), serta 205 jenis hewan dan 88 jenis tumbuhan masuk
kategori Endangered, serta 557 spesies hewan dan 256 tumbuhan berstatus
Vulnerable.

Sementara itu menurut Kementerian Kehutanan RI dalam RKTN tahun 2013,


pada saat ini tercatat hutan negara seluas 130,68 juta Ha, dimana telah ditetapkan
seluas 14,24 juta Ha (10,9%). Itupun dengan kondisi di semua fungsi hutan
(konservasi, lindung, produksi) terdapat hak-hak pihak ketiga yang berupa izin-
izin tambang dan kebun, hutan adat dan hutan/lahan hak perorangan
(selengkapnya lihat Tabel 1). Sementara itu, hampir seluruh rencana tata ruang
senantiasa menginginkan konversi hutan seluas 5%-24% dari luas kawasan hutan
di propinsi untuk pembangunan non kehutanan serta mengkomodir keberadaan
ribuan desa yang sudah ada di dalamnya. Disamping itu, keberadaan
perkembangan izin tambang di dalam hutan negara bukan hanya di hutan
produksi, tetapi juga berada di hutan lindung seluas 3,8 juta Ha, yang rawan
terjadi kerusakan lingkungan. Jumlah dan luas usaha pertambangan di hutan
negara yang telah berproduksi terus mengalami peningkatan dan di akhir 2013
mencapai 681 perusahaan dengan luas 461 ribu Ha. Adapun jumlah dan luas
tambang di hutan negara yang sedang melakukan eksplorasi tercatat berjumlah
552 perusahaan dengan luas 2,9 juta Ha.

Berdasarkan RKTN (Kemenhut, 2011), pada tahun 2030 hutan negara tersebut akan
menjadi 112, 33 juta Ha atau sekitar 18,35 juta Ha akan dialokasikan bagi
penggunaan non kehutanan. Perubahan kawasan hutan seluas 18,35 juta Ha yang
telah direncanakan itu pada dasarnya mengakomodir kerusakan hutan maupun alih
fungsi yang terjadi secara riil di lapangan, legal atau illegal. Secara nasional hutan
bekas tebangan (log over area) di hutan produksi yang tidak dikelola secara intensif
sudah seluas 42,26 juta Ha (32 %), selain itu dari seluruh hutan negara seluas 22,5-
24,4 jt Ha sudah menjadi desa/kampung Artinya, pengurangan luas hutan negara
yang dicanagkan dalam RKTN itu lebih untuk mengakomodir hutan negara yang
sudah tidak berhutan karena berbagai sebab. Itupun hanya sepertiga dari luas hutan
negara yang sudah tidak berhutan tersebut.
Tabel 1. Status dan Luas Fungsi Hutan berdasarkan P 49/Menhut-II/2011

Sumber: PermenHut No. 49/2011 tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN)

2.2. Penyebab kerusakan akibat pembakaran karena alih fungsi hutan


Sumberdaya hutan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan mempunyai
prospek baik di pasar domestik maupun di pasar internasional. Kondisi inilah
yang mendorong pemanfaatan sumberdaya hutan untuk berbagai kepentingan
pembangunan ekonomi daerah terutama setelah tahun 1999 terus meningkat
yang ditandai dengan kegiatan alih fungsi hutan ke peruntukan lain
(deforestasi).

pengelolaan sumberdaya hutan Indonesia menjadi semakin kompleks yang ditengarai


dengan adanya laju konversi kawasan hutan ke peruntukan lain seperti perkebunan,
transmigrasi/pemukiman, dan pertanian tanaman pangan. Laju konversi yang tinggi
ini sebagai akibat dari perilaku untuk memaksimumkan benefit dari peluang ekspor
dan meningkatnya harga komoditi di pasar internasional. Departemen Kehutanan
mengeluarkan ijin konversi kawasan hutan ke perkebunan seluas 6,7 juta hektar pada
tahun 1997 (Kartodihardjo dan Supriono, 2000).

FWI (2014) mengatakan bahwa penyebab langsung deforestasi antara lain, HPH,
HTI, sawit, penebangan liar, tambang dan pembakaran hutan. Sedangkan penyebab
tak langsung, seperti perubahan peruntukan, pemekaran wilayah, korupsi, ekspansi
industri dan kebutuhan pasar.Selama ini, kebijakan tak menyentuh persoalan dasar,
antara lain tak ada kepastian lahan, dan konflik tenurial, didorong tata kelola
kehutanan yang lemah. Pada dasarnya pembukaan lahan hutan mengakibatkan
kerusakan secara langsung dan ancaman terbesar bagi kelangsungan hutan alam di
Indonesia, baik dalam konteks eksploitasi sumberdaya hutan yang legal maupun
illegal.

Saharjo (2000) menyatakan bahwa baik di areal HTI, hutan alam dan perladangan
berpindah dapat dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan di Indonesia
adalah berasal dari ulah manusia, entah itu sengaja dibakar atau karena api lompat
yang terjadi akibat kelalaian pada saat penyiapan lahan. Bahan bakar dan api
merupakan faktor penting untuk mempersiapkan lahan pertanian dan perkebunan.
Pembakaran selain dianggap mudah dan murah juga menghasilkan bahan mineral
yang siap diserap oleh tumbuhan.

Banyaknya jumlah bahan bakar yang dibakar di atas lahan akhirnya akan
menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan yang luas. Untuk itu, agar
dampak lingkungan yang ditimbulkannya kecil, maka penggunaan api dan bahan
bakar pada penyiapan lahan haruslah diatur secara cermat dan hati-hati. Untuk
menyelesaikan masalah ini maka manajemen penanggulangan bahaya kebakaran
harus berdasarkan hasil penelitian dan tidak lagi hanya mengandalkan dari
terjemahan textbook atau pengalaman dari negara lain tanpa menyesuaikan
dengan keadaan lahan di Indonesia.

Kebakaran hutan/lahan di Indonesia umumnya (99,9%) disebabkan oleh manusia,


baik disengaja maupun akibat kelalaiannya. Sedangkan sisanya (0,1%) adalah
karena alam (petir, larva gunung berapi). Penyebab kebakaran oleh manusia
dapat dirinci sebagai berikut :
1. Konversi lahan : kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari
kegiatan penyiapan (pembakaran) lahan untuk pertanian, industri,
pembuatan jalan, jembatan, bangunan, dan lain lain;
2. Pembakaran vegetasi : kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal
dari pembakaran vegetasi yang disengaja namun tidak terkendali sehingga
terjadi api lompat, misalnya : pembukaan areal HTI dan Perkebunan,
penyiapan lahan oleh masyarakat;
3. Aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam : kebakaran yang
disebabkan oleh api yang berasal dari aktivitas selama pemanfaatan
sumber daya alam. Pembakaran semak belukar yang menghalangi akses
mereka dalam pemanfaatan sumber daya alam dan pembuatan api untuk
memasak oleh para penebang liar, pencari ikan di dalam hutan.
Keteledoran mereka dalam memadamkan api akan menimbulkan
kebakaran;
4. Pembuatan kanal-kanal/saluran-saluran di lahan gambut: saluran-saluran
ini umumnya digunakan untuk sarana transportasi kayu hasil tebangan
maupun irigasi. Saluran yang tidak dilengkapi pintu kontrol air yang
memadai menyebabkan lari/lepasnya air dari lapisan gambut sehingga
gambut menjadi kering dan mudah terbakar;
5. Penguasaan lahan, api sering digunakan masyarakat lokal untuk
memperoleh kembali hak-hak mereka atas lahan atau bahkan menjarah
lahan “tidak bertuan” yang terletak di dekatnya.

2.3. Dampak kerusakan hutan akibat pembakaran karena alih fungsi lahan

Dampak kerusakan hutan akibat pembakaran karena alih fungsi lahan menyebabkan
terjadinya degradasi/rusaknya lingkungan, gangguan terhadap kesehatan manusia
dan hancurnya sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.

Pertama, Terdegradasinya kondisi lingkungan. Dampak kebakaran akan


menyebabkan penurunan kualitas fisik dan kimia gambut seperti:

1. Penurunan kualitas fisik gambut. Diantaranya penurunan porositas total,


penurunan kadar air tersedia, penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan
lindak. Dampak kebakaran terhadap sifat fisik tanah selain ditentukan oleh lama
dan frekuensi terjadinya kebakaran, derajat kerusakan/dekomposisi yang
ditimbulkan, juga akibat dari pemanasan yang terjadi di permukaan yang
dipengaruhi oleh ketersediaan bahan bakar. Salah satu bentuk nyata akibat adanya
pemanasan/kebakaran pada bagian permukaan adalah adanya penetrasi suhu ke
bawah permukaan, hal ini akan lebih parah lagi jika apinya menembus lapisan
gambut yang lebih dalam. Meningkatnya suhu permukaan sebagai akibat adanya
kebakaran yang suhunya dapat mencapai lebih dari 1000°C akan berakibat pula
pada meningkatnya suhu di bawah permukaan (gambut), sehingga akibatnya tidak
sedikit pula gambut yang terbakar. Dengan terbakarnya gambut maka jelas akan
terjadi perubahan yang signifikan pada sifat fisik maupun kimianya. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan di lahan milik masyarakat di desa Pelalawan,
Kabupaten Pelalawan, Riau (Saharjo, 2003), menunjukkan bahwa kebakaran yang
terjadi pada gambut tipe saprik telah merusak gambut dengan ketebalan 15,44 -
23,87 cm, pada gambut tipe hemik dengan ketebalan 6,0 – 12,60 cm dan tidak
ditemukan gambut terbakar pada tipe gambut fibrik.
2. Perubahan sifat kimia gambut. Dampak kebakaran terhadap sifat kimia gambut
juga ditentukan oleh tingkat dekomposisinya serta ketersediaan bahan bakar di
permukaan yang akan menimbulkan dampak pemanasan maupun banyaknya abu
hasil pembakaran yang kaya mineral. Perubahan yang terjadi pada sifat kimia
gambut, segera setelah terjadinya kebakaran, ditandai dengan peningkatan pH,
kandungan N-total, kandungan fosfor dan kandungan Basa total (Kalsium,
Magnesium, Kalium, Natrium) tetapi terjadi penurunan kandungan C-organik.
Namun peningkatan tersebut hanya bersifat sementara karena setelah beberapa
bulan paska kebakaran (biasanya sekitar 3 bulan) maka akan terjadi perubahan
kembali sifat kimia gambut, yaitu : terjadi penurunan pH, kandungan N-total,
kandungan fosfor dan kandungan Basa total (Kalsium, Magnesium, Kalium,
Natrium). Perubahan kualitas sifat kimia gambut setelah terjadinya kebakaran
dipengaruhi oleh banyaknya abu yang dihasilkan dari pembakaran, drainase,
adanya gambut yang rusak, berubahnya penutupan lahan serta aktivitas
mikroorganisme. Perubahan ini selanjutnya berpengaruh terhadap pertumbuhan
vegetasi di atasnya.
3. Terganggunya proses dekomposisi tanah gambut karena mikroorganisme yang mati
akibat kebakaran.
4. Hilang/musnahnya benih-benih vegetasi alam yang sebelumnya terpendam di
dalam lapisan tanah gambut, sehingga suksesi atau perkembangan populasi dan
komposisi vegetasi hutan juga akan terganggu atau berubah dan akhirnya
menurunkan keanekaragaman hayati.
5. Rusaknya siklus hidrologi seperti menurunkan kemampuan intersepsi air hujan ke
dalam tanah, mengurangi transpirasi vegetasi, menurunkan kelembaban tanah, dan
meningkatkan jumlah air yang mengalir di permukaan (surface run off). Kondisi
demikian akhirnya menyebabkan terjadinya sedimentasi dan perubahan kualitas air
di sungai serta turunnya populasi dan keanekaragaman ikan di perairan. Selain itu,
kerusakan hidrologi di lahan gambut akan menyebabkan banjir pada musim hujan
dan intrusi air laut pada musim kemarau yang semakin jauh ke darat.
6. Gambut menyimpan cadangan karbon, apabila terjadi kebakaran maka akan terjadi
emisi gas karbondioksida dalam jumlah besar. Sebagai salah satu gas rumah kaca,
karbondioksida merupakan pemicu terjadinya pemanasan global. Kebakaran
hutan/lahan gambut akan menghasilkan dan CO² dan sisanya adalah hidrokarbon.
Gas CO² dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna dan sangat berperan sebagai
penyumbang emisi gas-gas rumah kaca yang akan menyebabkan terjadinya
pemanasan global. Disamping CO², peristiwa kebakaran hutan/lahan gambut juga
menghasilkan emisi partikel yang tinggi dan membahayakan kesehatan manusia.
Jumlah partikel yang dihasilkan dalam kebakaran hutan/lahan gambut akan bersatu
dengan uap air di udara, sehingga terbentuklah kabut asap yang tebal dan
berdampak luas. Berdasarkan studi ADB, kebakaran gambut pada tahun 2014 di
Indonesia menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton (75% dari total emisi
karbon) dan 5 juta ton partikel debu, namun pada tahun 2015 diketahui bahwa
jumlah karbon yang dilepaskan selama terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun
2014/2015 adalah sebesar 2,6 milyar ton karbon.

Kedua, Gangguan terhadap kesehatan manusia. Kebakaran hutan dan lahan 2015
di Indonesia telah menimbulkan asap yang meliputi 11 (sebelas) propinsi
terutama di Sumatera dan Kalimantan, juga negara tetangga seperti Singapura,
Malaysia dan Filipina. Dampak timbulnya asap yang berlebihan selama
kebakaran berlangsung telah menimbulkan berbagai penyakit seperti, gangguan
pernapasan, asma, bronchitis, pneumonia, kulit dan iritasi mata. Di Kalimantan
Tengah dilaporkan ± 23.000 orang masyarakat yang menderita penyakit
pernapasan, di Jambi ± 35.358 orang, di Sumatera Barat ± 47.565 orang dan di
kota Padang dilaporkan ± 22.650 orang. Secara keseluruhan lebih dari 20 juta
anggota masyarakat Indonesia yang terkena asap akibat kebakaran 1997
(Suratmo,1999). Dampak asap dari kebakaran harus dirasakan tiap tahun karena
kebakaran terjadi hampir tiap tahun di musim kemarau hingga sekarang.
Ketiga, kerusakan ekosistem dan kehilangan keragaman hayati. Laju deforestasi
hutan Indonesia periode 2009-2013 mencapai 1,13 juta hektare per tahun.
Deforestasi yang tinggi berdampak pada rusaknya ekosistem hutan, mengancam
spesies flora dan fauna, serta merusak sumber penghidupan masyarakat.
Berkurangnya luas hutan juga berimbas pada habitat satwa liar. Penggundulan
hutan yang merusak habitat satwa membuat mereka merasa terusik dan keluar
dari habitatnya. Beberapa spesies satwa liar sangat menggantungkan hidupnya
terhadap hutan. Penggundulan hutan yang terus dilakukan akan menjadi sumber
masalah terjadinya konflik antara satwa liar dengan manusia dan berkurangnya
populasi satwa liar.

Keempat, gangguan kehilangan hidrologi. Meningkatnya deforestasi di Indonesia


berbanding lurus dengan risiko bencana yang terjadi. Deforestasi atau kehilangan
tutupan hutan akan mempengaruhi keseimbangan tata air yang sebelumnya
terbangun. Fungsi intangible hutan seperti fungsi resapan air dalam siklus
hidrologis, penyerap dan penyimpan karbon, iklim mikro dan juga
keanekaragaman hayati akan terganggu ketika tutupan hutan tersebut berubah.
Hutan sebagai sebuah ekosistem akan menurun kualitasnya dan secara langsung
ataupun tidak langsung akan mempengaruhi kualitas lingkungan di sekitarnya.
Menurut Dr. Michael Beck, ilmuwan Kelautan Utama TNC, penurunan kualitas
lingkungan berpengaruh sangat signifikan dalam menaikkan risiko suatu negara
terhadap kejadian bencana.

Kelima, pemiskinan masyarakat sekitar hutan. Wilayah di dalam dan sekitar hutan
menjadi wilayah yang sarat dengan aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya. Banyak
masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan menggantungkan hidupnya
dari sumberdaya hutan. Hasil analisis Brown (2004)7 mengestimasi berapa
banyak orang yang tinggal di hutan negara dan berapa banyak yang miskin di
Indonesia. Penduduk pedesaan yang tinggal di lahan hutan negara sebanyak 48,8
juta orang dan 9,5 juta orang diantaranya adalah masyarakat miskin. Kebijakan
pemerintah yang mendukung perusahaan membuat masyarakat tidak punya ruang
kelola sehingga tingkat kesejahteraan rakyat rendah. Didukung kurangnya
perhatian perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat lokal, kompensasi yang
tidak memuaskan, atau janji-janji yang tidak ditepati membuat masyarakat
semakin menggantungkan hidupnya dari sumberdaya hutan. Akses masyarakat
yang dibatasi setelah masuknya perusahaan memaksa masyarakat untuk
merambah hutan untuk melangsungkan hidupnya demi memenuhi kebutuhan
yang didesak oleh kemiskinan.

2.4. Antroposentrisme Ekologis sebagai ideologi kapitalisme pada economic


greed
Emil Salim mengatakan kerusakan lingkungan ada hubungannya dengan
pembangunan. Beliau mengatakan bahwa dalam 200 tahun terakhir, seluruh
negara di dunia membangun dengan merusak bumi yang hanya satu-satunya ini.
Pemanfaatan tanpa batas minyak bumi dan batu bara sebagai penggerak utama
pembangunan tanpa disadari telah menaikkan pelepasan gas rumah kaca dari
hanya 280 parts per million (ppm) pada masa sebelum revolusi industri (1780)
menjadi 380 ppm setelah masa revolusi. Kenyataan inilah menurut Emil Salim
yang menjadi biang keladi terjadinya proses pemanasan global dan perubahan
iklim yang kini mengancam hidup segenap penduduk bumi.

Pengeksplotasian alam tanpa batas dan tanpa etika sebenarnya bersumber pada
kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia
mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem.
Kekeliruan cara pandang ini melahirkan perilaku manusia yang keliru terhadap
alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya.

Manusia menempatkan dirinya terhadap alam dengan cara pandang


antroposentrisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat alam sesuatu.
Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan
ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitannya dengan alam, baik
secara langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan
kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian.
Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan
perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia sehingga alam tidak
seutuhnya dihargai, alam dihargai demi kepentingan manusia. Persfektif
antroposentris ini bersifat instrumentalistik, dalam pengertian pola hubungan
manusia dan alam dilihat hanya dalam relasi instrumental. Alam dinilai sebagai
alat bagi kepentingan manusia. Kalaupun manusia mempunyai sikap peduli
terhadap alam, itu semata-mata dilakukan demi menjamin kebutuhan hidup
manusia, bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri
sendiri sehingga pantas untuk dilindungi. Sebaliknya, kalau alam itu sendiri tidak
berguna bagi kepentingan manusia, alam akan diabaikan begitu saja. Sejauh ini,
antroposentrisme dituduh sebagai salah satu penyebab, bahkan penyebab utama,
dari krisis lingkungan hidup yang terjadi sekarang. Cara pandang ini
menyebabkan manusia mengeksploitasi dan menguras alam semesta, tanpa cukup
memberi perhatian kepada pelestarian alam. Pola perilaku yang eksploitatif,
destruktif, dan tidak peduli  pada alam tersebut dianggap berakar pada cara
pandang yang melahirkan sikap dan perilaku rakus dan tamak yang menyebabkan
manusia mengambil semua kebutuhannya dari alam tanpa memperhatikan
kelestariannya.

Manusia bukanlah sebagian dari alam. Manusia adalah hasil daya cipta Tuhan.
Selanjutnya, manusia itu diciptakan untuk mengatur dan menaklukan alam.
Kaidah-kaidah yang berlaku di antara masyarakat manusia tidak berlaku terhadap
benda-benda alam atau makhluk alam lainnya, seperti hewan dan tumbuhan.
Dengan demikian wawasan pandang antroposentris menimbulkan dualisme antara
manusia di satu pihak dan alam semesta serta makluk lainnya di lain pihak. Oleh
sebab itu, eksploitasi terhadap alam semesta, menurut wawasan pandang
antroposentris, harus dilihat sebagai perwujudan kehendak Tuhan. Manusia pada
dasarnya diciptakan oleh Tuhan untuk menguasai dan menaklukkan alam.

Selama kapitalisme sebagai economic greed digunakan sebagai sistem


ideologi ekonomi (yang mengedepankan Paradigma Antroposentrisme), dan
tidak adanya check mechanism berupa moral values yang digali dari khasanah
lokal Indonesia dalam pembangunan, maka alih fungsi kawasan hutan akan
sulit dikendalikan meskipun sudah banyak undang-undang dan peraturan yang
mengaturnya (Maladi, 2013).
2.5. Pengendalian kebakaran hutan akibat Alih Fungsi Hutan dengan
Prinsip Hukum dan Kebijakan dalam menangkal paradigma
antroposentrisme ekologis.
Pengelolaan sumberdaya hutan Indonesia tidak dapat lepas dari kebijakan
pembangunan ekonomi. Pada awal pembangunan ekonomi, pengelolaan
sumberdaya hutan, sebagai subsektor pertanian, diarahkan untuk mendukung
keberhasilan pembangunan pertanian dengan sistem konsesi secara komersial
kepada para pemilik modal (kapitalis). Tetapi dalam perjalanannya pemegang
ijin konsesi cenderung untuk tidak menjalankan peraturan tersebut secara
benar. Kondisi ini berakibat pada aktivitas pembalakan liar dan kebakaran
hutan yang tidak terkendali dan menjadi faktor penyebab terjadinya
deforestasi (Maladi, 2013).

Dalam upaya mengurangi laju kehilangan hutan, sejumlah upaya telah


dilakukan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan responsif yang
berorientasi untuk menyelamatkan hutan alam tersisa. Beberapa senjata
pemerintah dalam menghadang deforestasi antara lain: Tata Cara Perubahan
Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan (Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 2010); kebijakan Penundaan (Moratorium)
Pemberian Izin Baru (PPIB). Di samping itu ada juga kebijakan maupun
inistiaf pemerintah yang memiliki tujuan yang sama (dan saling mendukung)
seperti sertifikasi kayu legal atau dikenal dengan SVLK (Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu), pemberantasan illegal logging melalui Inpres No 4/2005 dan
UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,
maupun program-program yang terkait dengan REDD+. Namun secara umum
upaya tersebut belum bisa dinyatakan efektif untuk menjawab deforestasi dan
kerusakan hutan di Indonesia, karena belum secara kuat menyentuh akar
persoalan pengelolaan hutan di Indonesia, yaitu menjawab kelemahan tata
kelola.

Dalam hal pemberantasan Illegal Logging Pemerintah telah mengeluarkan Inpres


Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di
Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Inpres ini
menginstruksikan kepada 18 kementerian dan lembaga negara (pusat dan daerah)
untuk melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di
kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui
penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan menebang,
memanfaatkan, menerima, menjual, mengangkut kayu-kayu ilegal. Sejak itu operasi-
operasi anti penebangan ilegal semakin gencar dilakukan pemerintah pusat dan
daerah.

Sama halnya dengan kebijakan sebelumnya penegakan hukum kehutanan seperti


pencegahan illegal logging belum dapat berjalan secara maksimal. Beberapa kondisi
yang menyebabkan hal tersebut anatara lain: (1) kurangnya personil dan dana
patroli/pengawasan hutan, (2) proses penyelidikan dan penyidikan yang belum
optimal untuk menjerat pelaku utama penebangan ilegal, (3) proses penyelidikan dan
penyidikan terhadap kejahatan penebangan ilegal yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum belum mampu secara keseluruhan membuktikan pelaku utama yang
membiayai kegiatan tersebut namun masih berputar di pelaku lapangan (pekerja
teknis), serta (4) belum seimbangnya alokasi dana penyelidikan dan penyidikan
dibandingkan beban kerja yang ada sehingga pada akhirnya keputusan pengadilan
untuk kasus penebangan ilegal juga belum cukup memberikan efek jera sehingga
orang lainnya tidak takut untuk melakukan kejahatan yang sama.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan, Paradigma pemecahan masalah lingkungan dan kerusakan hutan


sebaiknya diarahkan lebih mendalam dan terintegrasi dalam etika kehidupan.
Integrasi yang mengakui bahwa eksistensi setiap makhluk memiliki nilai dalam
membangun keharmonisan alam semesta (deep ecology). Pemanfaatannya bertumpu
pada pengalaman yang autentik, komitmen yang kuat dalam kesederhanaan struktur
kelembagaan tetapi transparan.

Pengembangan sumberdaya alam, termasuk di dalamnya alih fungsi hutan,


memerlukan suatu etika yang baik yaitu suatu asas moral yang terbentuk dari
motivasi mensyukuri hidup dengan pola pemanfaatan kawasan hutan tersebut pada
peningkatan kepekaan kebutuhan dan bukan keinginan. Tuhan sebagai pencipta dan
pemelihara tidak berada di suatu tempat terpisah dengan ciptaan-Nya, tetapi semua
wujud adalah bagian ciptaan-Nya. Eksistensi-Nya terletak pada keabadian hukum
alam semesta dan makhluk hidup.

Saran, (1). Perlunya upaya perubahan kebijakan mendasar yang bersifat adil
dalam aspek ekonomi, teknologi dan struktur ideologi. (2). Perubahan ideologi
paling utama adalah mengutamakan apresiasi terhadap kualitas kehidupan
dibanding peningkatan standar kehidupan yang tinggi. (3). Perlu adanya alokasi
anggran yang sigifika dalam konsekwensi kebakaran hutan.

Anda mungkin juga menyukai