BATASAN
Manajemen menurut Mary Parker Follett :“is getting things done through
other people” yang berarti bahwa manajeman adalah proses kerja sama yang
sinergis yang dilakukan oleh sekelompok orang di bawah arahan seorang
manajer/pemimpin dengan menerapkan prinsip-prinsip tertentu yang telah
teruji keterandalannya.
Manajemen berkenaan dengan orang-orang yang bertanggung-jawab
menjalankan suatu organisasi, yakniproses bagaimana organisasai dijalankan
dengan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki (orang, alat, dana, dll) untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
Prinsip-prinsip pengelolaan kerjasama antar individu tersebut atau metode-
metode manajemen terus dievaluasi, disempurnakan dan diimplementasikan
kembali sesuai perkembangan jaman. Penyempurnaan dilakukan melalui
pergeseran paradigma manajemen (Jeremias T. Keban, 2008).
Perkembangan atau perubahan paradigm ini dilakukan terutama untuk
menghasilkan kinerja manajemen yang diinginkan dan untuk melihat apakah
metode atau teknik manajemen yag diterapkan dapat diterapkan di dalam
konteks atau lingkungan yang berbeda, termasuk memperngaruhi dan
dipengaruhi oleh dimensi-dimensi administrasi public.
Menurut J. Steven Ott, Albert C. Hyde, dan Jay M. Shafritz !1991), pada tahun
1990-an manajemen public mengalami pergeseran dengan beberapa isu
terpenting yang sangat menantang:
1. Privatisasi sebagai suatu alternative bagi pemerintah dalam memberikan
layanan public
2. Rasionalitas dan Akuntabilitas;
3. Perencanaan dan control;
4. Keuangan dan Penganggaran; serta
5. Produktifitas SDM
Untuk itu maka dalam Komite Nasional Pelayan Publik Amerika, dirumuskanlah
arah pengembangan Manajemen public sebagai berikut:
1. Perlu diidentifikasikan secara jelas peran para pelayan public dalam
proses yang demokratis, sekaligus standar etika dan kinerja yang tinggi
bagi para pejabat kunci,
2. Perlu fleksibilitas dalam penataan organisasi, termasuk kebebasan
mempekerjakan dan memberhentikan pegawai pada pejabat
departemen dan pimpinan instansi.
3. Pengangkatan atau penunjukan pejabat oleh presiden harus dikurangi.
4. Pemerintah harus bersedia berinvestasi lebih besar di bidang pendidikan
dan pelatihan eksekutif dan manajemen.
PERGERSERAN PARADIGMA
J.E Sorensen dan H.D. Grove (1977) menyarankan agar organisasi public
menggunakan teknik penilaian kinerja berdasarkan Cost-outcome dan Cost-
effectiveness atas program yang dilaksanakan. Cost –Outcome adalah biaya
yang dikeluarkan untuk menghasilkan outcome tertentu, sedang Cost-
Effectiveness untuk mengukur seberapa efektif biaya yang dikeluarkan untuk
mencapai tujuan tersebut.
Davis dan Larkey (1980) dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa upaya
reformasi organisasi yang dilakukan agar dapat menekan dan memperbaiki
inefisiensi dan inefektifitas dalam organisasi-organisasi pemerintah pada
kenyataannya tidak cukup berhasil karena ada masalah pokok yang tidak
diperhatikan. Masalah tersebut adalah mengenai konsep dasar efisiensi dan
efektifitas yang selama ini mengacu pada system produksi model perusahaan,
sementara organisasi pemerintah adalah organisasi non profit. Karenanya
pengukuran kinerja organisasi public perlu diperluas hingga pada outcomenya.
David Osborne dan T. Gaebler (Reinventing Government: 1992) menyatakan
bahwa untuk melakukan pengukuran kinerja, maka manajemen yang
dilaksanakan juga harus berbasis pada kinerja karena keduanya sangat
berkaitan. Oleh karenanya manajemen Pemerintah harus berorientasi pada
hasil kerja yang terukur, bukan input-output semata, sebab :
1. Apa yang dapat diukur, dapat dilakukan
2. Jika kita tidak mengukur hasil, kita tidak dapat mengenali keberhasilan
dan kegagalan
3. Jika kita tidak mengenali keberhasilan, kita tidak dapat memberikan
imbalan
4. Jika kita tidak dapat memberikan imbalan atas keberhasilan, maka
mungkin kita justru memberikan imbalan atas kegagalan
5. Jika kita tidak dapat melihat keberhasilan, maka kita tidak dapat belajar
darinya
6. Jika kita tidak dapat mengenali kegagalan, maka kita tidak dapat
memperbaikinya
7. Jika kita dapat menunjukkan hasil, maka kita dapat memperoleh
dukungan public.
Istilah “kinerja” adalah padanan kata dari performance dari bahasa inggris yang
mengacu pada makna prestasi, unjuk kerja, prestasi, hasil kerja. Dalam kamus
Oxford, performance dimaknai sebagai “the execution or fulfillment of a duty”
atau” pelaksanaan (mengandung makna input-output) atau pencapaian
(makna outcome) dari suatu tugas.
Kinerja juga dimaknai sebagai “…the record of outcomes produced on a
specified job function or activity during a specified time periode” (catatan
tentang hasil akhir yang diperoleh setelah fungsi atau aktifitas tertentu
dilaksanakan dalam periode tertentu. Dalam definisi ini tersurat pentingnya
makna outcome.
Kinerja menurut Prof Yeremias T. Keban dapat diukur melalui dimensi individu
atau kinerja individu; dimensi kelompok; dimensi organisasi dan dimensi
kebijakan atau program.
1. Kinerja individu mengukur seberapa jauh karyawan telah melaksanakan
tugas pokoknya sehingga dapat memberikan hasil sebagaimana yang
ditetapkan oleh kelompok atau institusi.
2. Kinerja kelompok mengukur sejauhmana suatu kelompok telah
melaksanakan tugas pokoknya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
institusi.
3. Kinerja institusi adalah sejauhmana suatu institusi telah melaksanakan
semua kegiatan pokoknya sehingga mencapai missi dan visi institusi.
4. Kinerja Program/kebijakan adalah sejauhmana kegiatan-kegiatan suatu
program telah dilaksanakan sehingga dapat mencapai tujuan program/
kebijakan tersebut.
Swanson dan Holton III (1999) membagi kinerja atas tiga tingkatan, yakni
kinerja Organisasi, kinerja Proses, dan Kinerja Individu.
Kinerja organisasi diukur dari{ 1). sampai seberapa jauh suatu organisasi
mencapai hasil dibanding kinerja sebelumnya; 2). seberapa jauh hasilnya ketika
dibandingkan dengan organisasi lain (benchmarking); 3). Seberapa jauh
pencapaian tujuan dan target yang telah ditentukan. Agar dapat mengukurnya
maka kita perlu memiliki definisi operasional yang jelas mengenai tujuan dan
sasaran, tentang output dan oucome layanan yang diberikan, tentang tingkat
kualitas yang diharapkan _kualitatif dan kuantitatif.
Kinerja Proses diukur dari seberapa jauh proses yang dirancang oleh organisasi
memungkinkannya untuk mencapai missi organisasi sekaligus tujuan individu.
Bahwa sistem yang dirancang memiliki kemampuan untuk menghasilkan baik
secara kuantitas, kualitas, ketepatan waktu, dlsb.
Kinerja individu biasanya diukur sesuai dengan paradigm yang anut. Jika yang
dianut adalah paradigm manajemen klasik, maka criteria karakter, sikap
karyawan menjadi penting. Namun jika paradigm yang dianut adalah paradigm
MSDM, maka criteria mengenai hasil kerja, partisipasi, inisiatif dan
pengembangan karyawan.
Secara umum kinerja individu dapat diukur (Schuler & Dowling: 1997) dari:
1. Kuantitas kerja
2. Kualitas kerja
3. Kerjasama
4. Pemahaman tentang kerja
5. Kemandirian kerja,
6. Kehadiran dan tepat waktu
7. Pengetahuan tentang kebijakan dan tujuan organisasi
8. Inisiatif
9. Kemapuan melakukan supervisi dan teknis
10. Loyalitas