Anda di halaman 1dari 8

MANAJEMEN PUBLIK

BATASAN
Manajemen menurut Mary Parker Follett :“is getting things done through
other people” yang berarti bahwa manajeman adalah proses kerja sama yang
sinergis yang dilakukan oleh sekelompok orang di bawah arahan seorang
manajer/pemimpin dengan menerapkan prinsip-prinsip tertentu yang telah
teruji keterandalannya.
Manajemen berkenaan dengan orang-orang yang bertanggung-jawab
menjalankan suatu organisasi, yakniproses bagaimana organisasai dijalankan
dengan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki (orang, alat, dana, dll) untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
Prinsip-prinsip pengelolaan kerjasama antar individu tersebut atau metode-
metode manajemen terus dievaluasi, disempurnakan dan diimplementasikan
kembali sesuai perkembangan jaman. Penyempurnaan dilakukan melalui
pergeseran paradigma manajemen (Jeremias T. Keban, 2008).
Perkembangan atau perubahan paradigm ini dilakukan terutama untuk
menghasilkan kinerja manajemen yang diinginkan dan untuk melihat apakah
metode atau teknik manajemen yag diterapkan dapat diterapkan di dalam
konteks atau lingkungan yang berbeda, termasuk memperngaruhi dan
dipengaruhi oleh dimensi-dimensi administrasi public.

Manajemen Publik atau manajemen instansi pemerintah menurut Overman :


bukanlah scientific management meskipun sangat dipengaruhi olehnya; juga
bukan Policy Analysis, dan bukan pula New Public Administratition, atau
kerangka administrasi public lainnya yang lebih baru. Manajemen public lebih
merefleksikan tekanan-tekanan antara rational instrumental di satu pihak dan
orientasi politik di sisi lain. Manajemen public merupakan studi interdisipliner
dari berbagai aspek umum organisasi, dan merupqakan gabungan antara
fungsi manajemen umum seperti : planning, Organizing dan controlling di satu
sisi dengan sumberdaya manusia, keuangan , phisik, informasi dan politik di sisi
lain.
Manajemen Publik (public management) dan Kebijakan Publik (Public policy)
adalah dua bidang bidang yang saling tumpang tindih dalam Administrasi
Publik. Untuk membedakan keduanya dipakai analogi system tubuh manusia.
Public Policy merefleksikan system otak dan syaraf; sementara public
management mempresentasikan system jantung dan sirkulasi darah. Dengan
kata lain manajemen public merupakan proses menggerakkan sumberdaya
manusia dan non manusia sesuai perintah kebijakan public.
ISU-ISU PENTING DALAM MANAJEMEN PUBLIK :

Menurut J. Steven Ott, Albert C. Hyde, dan Jay M. Shafritz !1991), pada tahun
1990-an manajemen public mengalami pergeseran dengan beberapa isu
terpenting yang sangat menantang:
1. Privatisasi sebagai suatu alternative bagi pemerintah dalam memberikan
layanan public
2. Rasionalitas dan Akuntabilitas;
3. Perencanaan dan control;
4. Keuangan dan Penganggaran; serta
5. Produktifitas SDM

Untuk itu maka dalam Komite Nasional Pelayan Publik Amerika, dirumuskanlah
arah pengembangan Manajemen public sebagai berikut:
1. Perlu diidentifikasikan secara jelas peran para pelayan public dalam
proses yang demokratis, sekaligus standar etika dan kinerja yang tinggi
bagi para pejabat kunci,
2. Perlu fleksibilitas dalam penataan organisasi, termasuk kebebasan
mempekerjakan dan memberhentikan pegawai pada pejabat
departemen dan pimpinan instansi.
3. Pengangkatan atau penunjukan pejabat oleh presiden harus dikurangi.
4. Pemerintah harus bersedia berinvestasi lebih besar di bidang pendidikan
dan pelatihan eksekutif dan manajemen.

PERGERSERAN PARADIGMA

Secara umum perkembangan ilmu manajemen dipengaruhi oleh setidaknya


tiga pandangan :

1. Manajemen Normatif, yakni yang menjelaskan apa yang sebaiknya atau


seharusnya dilakukan oleh manajer dalam proses manajemen agar
mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien (tepat sasaran/tujuan
dan tepat cara). Dari pandangan ini kita mengenal istilah POSDCOR atau
yang sejenisnya. Tokoh pandangan ini bisa dirujuk mulai dari Henry Fayol,
Frederick Taylor, Luther Gullick, dll.
Dari Pandangan Manajemen Normatif ini dapat dirujuk adanya tiga katagori
teori utama:
 Model Tradisional : yakni yang berpandangan bahwa pekerjaan
bukkanlah suatu yang menyenangkan bagi manusia, tapi upahlah
yang penting, karenanya diperlukan supervisi yang ketat dan
rumusan cara dan prosedur yang rinci agar karyawan tauhu apa yang
diharapkan dan mematuhi apa yang diperintahkan oleh pimpinan.
 Model Human Relation, yang berasumsi bahwa karyawan sebagai
manusia adalah orang-orang yang ingin merasa berguna dan penting,
bahwa upah bukanlah hal yang terpenting dibandingkan dengan
perlakuan yang baik dan manusiawi. Tugas manajer dalam model ini
adalah menciptakan hubungan baik dengan karyawannya, berusaha
membuat karyawan merasa penting, mendengarkan keluhannya, dan
dalam batas-batas tertentu membiarkjan karyawan menetapkan
sendiri batas control dan penegndalian dirinya dalam organisasi
 Model Human Resources. Model ini berasumsi bahwa karyawan lebih
tertaik pada pekerjaan yang menantang kemampuan mereka,
memiliki kreatifitas dan inisiatif serta tanggungjaawab diri yang
tinggi. Tugasa manajemen adalah memanfaatkan kemampuan
sumberdaya manusia tersebut dengan memberikan peluang untuk
berkreasi dan berinisiatif serta mendorong tumbuhnya partisipasi
yang tinggi.

2. Manajemen Diskriptif, yakni yang menggambarkan kegiatan-kegiatan apa


yang senyatanya dilakukan oleh manajer dalam menjalankan fungsinya
menjalankan organisasi. Kegiatan-kegiatan tsb adalah kegiatan A. Kegiatan
Personal, B. Kegiatan Interaksi dan C. Kegiatan Admninistratif.
Dari seluruh kegiatan tersebut, kegiatan interaksilah yang paling banyak
dilakukan. Dalam kegiatan ini, manajer melakukan peranan: 1.interaksi
Interpersonal; interaksi informasional; dan interaksi Pengambilan
keputusan. Dalam menjalankan peran interpersonal inilah manajer
dapat bertindak sebagai :
 Figurehead
 Leader
 Liaison
Dalam menjalankan interaksi informasional, manajer menjalankan fungsi
sebagai :
 Monitor
 Disseminator, dan
 Spokesman
Dalam menjalankan interaksi pengambilan Keputusan, manajer
melakukan peran :
 Entrepreuner
 Disturbance handler
 Reusorce allocator, dan
 Negoisator
Kegiatan administrative adalah kegiatan yang mencakup surat-
menyurat, penyedianaan dan pengaturan angggaran, monitoring
kebijakan dan prosedur, dll. Meski tidak banyak alokasi waktu yang
diberikan untuk menjalankan aktifitas ini, namun banyak manajer yang
mengeluhkannya.
Tokoh Pendekatan ini adalah Henry Mintberg, Chung dan Megginson.

3. Manajemen Publik, merupakan spesialisasi yang relative lebih baru namun


lebih berakar pada pandangan normative, tokoh utamanya adalah Wodrow
Wilson meletakkan empat Prinsip dasar Studi Administrasi Publik yang
mewarnai manajemen public sampai kini. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
 Pemerintah sebagai setting utama organisasi
 Fungsi executive sebagai fokus utama
 Pencarian prinsip-prinsip dan teknik-teknik manajemen yang lebih
efektif sebagai kunci pengembangan kompetensi administrative, dan
 Metode perbandingan sebagai metode studi dan pengembangan bidang
administrasi public.

David Garson dan Samuel Overman menawarkan model PAFHRIER bagi


fungsi-fungsi manajeman pada organisasi Publik untuk menggantikan
fungsi-fungsi POSDCORB yang membedakannya dengan organisasi swasta.

PAFHRIER merupakan singkatan dari :


PA : Policy Analisys. alih-alih melakukan Planning dan Reporting, maka
seorang administrator public harus mampu melakukan Policy Analisys,
yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari fungsi Planning dan
Reporting.
F : Financial Management
HR : Human Resource Management
I : Informational Management
ER : External Relation Management
MANAJEMEN KINERJA SEKTOR PUBLIK

Tekanan agar organisasi-organisasi public memperbaiki kinerjanya dalam


melayani masyarakat mendorong tumbuhnya manajemen berbasis kinerja
dalam sektor public. Pengukuran kinerja organisasi public bukan lagi hanya
pada sector input (seberapa banyak anggaran yang dikeluaran untuk belanja
public) dan outputnya (seberapa banyak produk/jasa dan layanan public
yang dihasilkan) sebagaimana yang sekian lama berlangsung, tapi lebih
menekankan pada outcome atau dampak (manfaat) yang dirasakan oleh
masyarakat atas kerja sector public.
Pendekatan lama tampaknya memandang akuntabilitas public dicerminkan
pada setumpuk laporan dan hitungan statisktik mengenai seberapa banyak
belanja pemerintah, siapa yang membelanjakan, apa saja yang
dibelanjakan/apa saja layanan yang diberikan, siapa yang menerimanya dan
berapa banyak yang diterima, tapi tidak pada manfaat apa yang peroleh atas
belanja/layanan tersebut. Akibatnya laporan pertanggung-jawaban
pemerintah pada DPR lebih bersifat pembahasan mengenai pertanggung-
jawaban penggunaan anggaran, sedang pada pemeriksa lebih pada
pertanggung-jawaban berkas-berkas penggunaan anggaran. Inefisiensi,
inefektifitas dan korupsi sangat rentan terjadi dalam system akuntabilitas
tertutup seperti ini.

J.E Sorensen dan H.D. Grove (1977) menyarankan agar organisasi public
menggunakan teknik penilaian kinerja berdasarkan Cost-outcome dan Cost-
effectiveness atas program yang dilaksanakan. Cost –Outcome adalah biaya
yang dikeluarkan untuk menghasilkan outcome tertentu, sedang Cost-
Effectiveness untuk mengukur seberapa efektif biaya yang dikeluarkan untuk
mencapai tujuan tersebut.

Davis dan Larkey (1980) dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa upaya
reformasi organisasi yang dilakukan agar dapat menekan dan memperbaiki
inefisiensi dan inefektifitas dalam organisasi-organisasi pemerintah pada
kenyataannya tidak cukup berhasil karena ada masalah pokok yang tidak
diperhatikan. Masalah tersebut adalah mengenai konsep dasar efisiensi dan
efektifitas yang selama ini mengacu pada system produksi model perusahaan,
sementara organisasi pemerintah adalah organisasi non profit. Karenanya
pengukuran kinerja organisasi public perlu diperluas hingga pada outcomenya.
David Osborne dan T. Gaebler (Reinventing Government: 1992) menyatakan
bahwa untuk melakukan pengukuran kinerja, maka manajemen yang
dilaksanakan juga harus berbasis pada kinerja karena keduanya sangat
berkaitan. Oleh karenanya manajemen Pemerintah harus berorientasi pada
hasil kerja yang terukur, bukan input-output semata, sebab :
1. Apa yang dapat diukur, dapat dilakukan
2. Jika kita tidak mengukur hasil, kita tidak dapat mengenali keberhasilan
dan kegagalan
3. Jika kita tidak mengenali keberhasilan, kita tidak dapat memberikan
imbalan
4. Jika kita tidak dapat memberikan imbalan atas keberhasilan, maka
mungkin kita justru memberikan imbalan atas kegagalan
5. Jika kita tidak dapat melihat keberhasilan, maka kita tidak dapat belajar
darinya
6. Jika kita tidak dapat mengenali kegagalan, maka kita tidak dapat
memperbaikinya
7. Jika kita dapat menunjukkan hasil, maka kita dapat memperoleh
dukungan public.

Menurut Mahmudi (2005) bahwa kunci bagi Manajemen berbasis kinerja


adalah sbb:
1. Proses yang sistemik dalam memperbaiki kinerja, bahwa untuk
memperbaiki kinerja maka diperlukan langkah-langkah yang terencana
dengan baik
2. Melalui proses berkelanjutan dan berjangka panjang
3. Melalui penetapan sasaran-sasaran kinerja strategic
4. Selalu melakukan pengukuran kinerja
5. Menggunakan hasilnya untuk perbaikian kinerja secara berkelanjutan.

BATASAN DAN DIMENSI KINERJA

Istilah “kinerja” adalah padanan kata dari performance dari bahasa inggris yang
mengacu pada makna prestasi, unjuk kerja, prestasi, hasil kerja. Dalam kamus
Oxford, performance dimaknai sebagai “the execution or fulfillment of a duty”
atau” pelaksanaan (mengandung makna input-output) atau pencapaian
(makna outcome) dari suatu tugas.
Kinerja juga dimaknai sebagai “…the record of outcomes produced on a
specified job function or activity during a specified time periode” (catatan
tentang hasil akhir yang diperoleh setelah fungsi atau aktifitas tertentu
dilaksanakan dalam periode tertentu. Dalam definisi ini tersurat pentingnya
makna outcome.

Apa dan bagaimana mengembangkan pengukuran kinerja yang pas bagi


organisasi public? selama ini pertanggung-jawaban kinerja public lebih
berorientasi pada paradigm Birokrasi Klasik yang menekankan pada proses
disbanding pada hasil. Pertanggung-jawaban secara organisasional hanya
ditekankan pada bagaimana perbandingan antara input (anggaran) terhadap
output (produk/jasa) yang dihasilkan, sementara pertanggung-jawaban
individu diukur melalui DP3 yang mengukur Pelaksanaan Pekerjaan
(indikatornya adalah Kesetiaan, Prestasi, Ketaatan, tanggung-Jawab, Kejujuran,
kerjasama, Prakarsa, dan kepemimpinan), bukan pada hasil pekerjaan, maka
pada perkembangan terkini lebih mengacu pada paradigm NPM dan NPS.

Menurut C. Pollitl dan G. Boukaert (Public Management Reform: 2000),


pengukuran kinerja harusnya dapat dikembangkan dalam tiga dimensi, yakni
secara extensive, intensif dan eksternal. Secara ekstensif mengandung makna
bahwa semakin banyak bidang kerja yang diikut sertakan dalam pengukuran
kinerja. Secara intensif mengandung makna bahwa semakin banyak fungsi-
fungsi manajemen yang diikut-sertakan dalam pengukuran kinerja, dan secara
eksternal mengandung makna bahwa semakin banyak pihak luar yang
diperhitungkan dalam pengukuran kinerja.
Dalam pengertian tersebut di atas, maka semakin banyak bidang kerja yang
dapat diukur (yang pada masalalu diabaikan karena berkelit dibalik dalih “apa-
apa yang bersifat kualitatif dan menyangkut nilai, tidak dapat diukur”);
semakin banyak fungsi PAFHRIER yang dapat diukur, serta semakin banyak
kepentingan stakeholder yang dilibatkan dalam pencapaian tujuan, akan
semakin baik pula pengukuran kinerjanya.

Kinerja menurut Prof Yeremias T. Keban dapat diukur melalui dimensi individu
atau kinerja individu; dimensi kelompok; dimensi organisasi dan dimensi
kebijakan atau program.
1. Kinerja individu mengukur seberapa jauh karyawan telah melaksanakan
tugas pokoknya sehingga dapat memberikan hasil sebagaimana yang
ditetapkan oleh kelompok atau institusi.
2. Kinerja kelompok mengukur sejauhmana suatu kelompok telah
melaksanakan tugas pokoknya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
institusi.
3. Kinerja institusi adalah sejauhmana suatu institusi telah melaksanakan
semua kegiatan pokoknya sehingga mencapai missi dan visi institusi.
4. Kinerja Program/kebijakan adalah sejauhmana kegiatan-kegiatan suatu
program telah dilaksanakan sehingga dapat mencapai tujuan program/
kebijakan tersebut.

Swanson dan Holton III (1999) membagi kinerja atas tiga tingkatan, yakni
kinerja Organisasi, kinerja Proses, dan Kinerja Individu.
Kinerja organisasi diukur dari{ 1). sampai seberapa jauh suatu organisasi
mencapai hasil dibanding kinerja sebelumnya; 2). seberapa jauh hasilnya ketika
dibandingkan dengan organisasi lain (benchmarking); 3). Seberapa jauh
pencapaian tujuan dan target yang telah ditentukan. Agar dapat mengukurnya
maka kita perlu memiliki definisi operasional yang jelas mengenai tujuan dan
sasaran, tentang output dan oucome layanan yang diberikan, tentang tingkat
kualitas yang diharapkan _kualitatif dan kuantitatif.
Kinerja Proses diukur dari seberapa jauh proses yang dirancang oleh organisasi
memungkinkannya untuk mencapai missi organisasi sekaligus tujuan individu.
Bahwa sistem yang dirancang memiliki kemampuan untuk menghasilkan baik
secara kuantitas, kualitas, ketepatan waktu, dlsb.
Kinerja individu biasanya diukur sesuai dengan paradigm yang anut. Jika yang
dianut adalah paradigm manajemen klasik, maka criteria karakter, sikap
karyawan menjadi penting. Namun jika paradigm yang dianut adalah paradigm
MSDM, maka criteria mengenai hasil kerja, partisipasi, inisiatif dan
pengembangan karyawan.
Secara umum kinerja individu dapat diukur (Schuler & Dowling: 1997) dari:
1. Kuantitas kerja
2. Kualitas kerja
3. Kerjasama
4. Pemahaman tentang kerja
5. Kemandirian kerja,
6. Kehadiran dan tepat waktu
7. Pengetahuan tentang kebijakan dan tujuan organisasi
8. Inisiatif
9. Kemapuan melakukan supervisi dan teknis
10. Loyalitas

Secara umum penilaian kinerja sering ditafsirkan hanya sebagai penilaian


kinerja individu, bukan kelompok, organisasi, atau proses. Padahal kinerja
individu tdak dapat lepas dari kinerja organisasi dan kinerja proses; karena apa
yang dilakukan oleh individu tidak terlepas dari disain proses, struktur dan
perilaku organisasi.

Anda mungkin juga menyukai