Anda di halaman 1dari 28

FILOSOFI DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM

PENDIDIKAN VOKASI DALAM ERA DISRUPSI

Pidato Pengukuhan Guru Besar

Oleh

Prof. Sutarto, M.Sc., Ph.D.

Guru Besar dalam Bidang Ilmu Kurikulum Pendidikan Vokasi


Pada fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta

Disampaikan dalam acara


Pengukuhan Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta
pada hari Rabu, 20 Maret 2019

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


2019

1
Prof. Sutarto, M.Sc., Ph.D.

Guru besar dalam Bidang Ilmu Kurikulum Pendidikan Vokasi


Pada Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta

2
Bismillahhirrohmaanirrohiim
Assalamu’alaikum warrohmatullahi wabarokatuh.
Yang terhormat,
Rektor Univeritas Negeri Yogyakarta, Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M. Pd.;
Ketua, Sekretaris, dan segenap anggota Senat Universitas Negeri Yogyakarta;
Ketua, Sekretaris, dan segenap anggota Majelis Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta;
Para Wakil Rektor;
Para Dekan dan Wakil Dekan, Direktur, Asisten Direktur, para Kaprodi, dan Sekretaris Prodi, di
lingkungan Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta;
Ketua, Sekretaris, dan segenap anggota Senat Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta;
Ketua dan Sekretaris BPPU Universitas Negeri Yogyakarta;
Ketua dan Sekretris Badan di lingkungan Universitas Negeri Yogyakarta;
Ketua, Sekretaris, dan segenap anggota Dewan Pertimbangan Ketua, Sekretaris, dan segenap
anggota Senat Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta;
Ketua Satuan Pengawas Internal Universitas Negeri Yogyakarta;
Ketua dan Sekretris Jurusan, Ketua Program Studi, Baak/Ibu Dosen dan Karyawan Fakultas
teknik Universitas Negeri Yogyakarta;
Ketua dan segenap Pengurus Dharma Wanita Persatuan Universitas Negeri Yogyakarta;
Para hadirin, tamu undangan, serta keluarga yang berbahagia .
Pertama, perkenankan saya memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia Nya sehingga pada hari ini saya dapat (insyaAllah) menyampikan pidto pengukuhan
saya pada hari ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada nabi besar
Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan kita dalam meniti kehidupan, khususnya di bidang
akademik sebagai pendidik.
Kedua, kami mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang sebesr-besrnya kepada
para hadirin yang telah berkenan hadir dalam acara pidato pengukuhan saya ini.
Ketiga, perkenan saya menyampaikan pidato pengukuhan saya dengan judul: “Filosofi, prinsip-
prinsip, dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Vokasi dalam Era disrupsi”.

3
Hadirin yang saya hormati,

A. PENDAHULUAN
Pendidikan vokasi marupakan terjemahan dari literature asing vocational education.
Dalam konteks Indonesia, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, pasal 15 dan 20
tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebut pendidikan kejuruan untuk pendidikan tingkat
menengah dan untuk pendidikan tingkat tinggi disebut pendidikan vokasi. Penjelsan Pasal 15
undang-undang di atas menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan merupakan pendidikan
menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu,
sedangkan pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik
untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program
sarjana.
Kepedulian pemerintah terhadap pendidikan vokasi, dari masa ke masa, utamanya
sekolah menengah kejuruan (SMK) cukup besar. Di masa Orde Baru, di tahun 1970-an dibangun
delapan (8) Sekolah Teknologi Menengah Pembangunan (STMP) dan salah satuny adalah STMP
Yogyakarta yang saat ini diubah nama menjadi SMKN 2 Depok Sleman. Di tahun 1990-an, di
era menteri pendidikan dan kebudayaan, Wardiman Djoyonegoro, merumuskan konsep “Link
and Match” antara sekolah kejuruan dan dunia usaha dan industri dan bermuara pada penerapan
Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Program ini mengadaptasikan model pendidikan kejuruan Dual
System di Jerman yang dinilai berhasil menghasilkan tenaga kerja yang kompeten sesuai dengan
kebutuhan dan standar dunia usaha dan industri.
Di era Bambang Sudibyo (2005-2009) upaya peningkatan mutu lulusan SMK dengan
diberlakukannya uji komptensi selain ujian nasional (UN), sedangkan secara kuantitatif,
dicanangkan penamhan jumlah SMK, yaitu dengan konsep 2 SMK – 1 SMA, artinya bila di satu
tempat ada 1 SMA, maka di tempat itu juga harus ada 2 SMK. Target kuantitas jumlah SMK ini
belum tercapai. Pada era ini juga digalakan konsep Unit Produksi (UP) yang menekankn pada
pembelajaran berbasis produksi. Keberadaan UP di SMK diharapkan dapat memberikan siswa
pengalaman praktek nyata di lapangan. Kenyataan UP belum dapat memenuhi tujuannya, yaitu
peningkatan kompetensi siswa yang riil dibutuhkan dunia usaha dan industri. Beberapa
penelitian memaparkan fakta hahwa program UP belum dapat menampung banyak siswa dan

4
pembejaran di UP mengalami kendala waktu dan kesesuaian jenis order dengan sekuen
kompetensi yang tersusun dalam silabi.
Kebijakan berikutnya UP dikembangkan menjadi Teaching Factory (TEFA) yang
mendasarkan pada production-based lerning. Silabi pembelajaran sekolah disinkronkan
(customized program) dengan kompetensi yang dibutuhkn perusahaan. Bengkel dan lab sekolah
dilengkapi mesin dan peralatan yang memadai sesuai yang dipakai di perusahaan. Guru-guru
mendapat pelatihan untuk mengajar dengan pendekatan production-based training. Pembelajaran
dalam TEFA juga bertujuan menumbuh-kembangkan karakter dan etos kerja, utamanya disiplin,
tanggung jawab, jujur, kerjasama, dan kepemimpinan. Hasil beberapa penelitian melaporkan
bahwa hasil pelaksanaan program ini secara umum memenuhi pencapaian kompetensi yang
dibutuhkan dunia usaha dan industri , namun jumlah sekolah yang menyelenggarakan TEFA
masih terbatas.
Dipicu terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN, dimana barang (produk), jasa,
investasi, tenaga trampil, arus modal, dapat bergerak atau pindah secara bebas, Presiden
mengeluarkan Inpres Nomor 09 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan
dalam Rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia. Begitu
pedulinya Pemerintah terhadap SMK, salinan Inpres ini ditujukan khusus pada 12 menteri
terkait, Kepala Badan Nasional Sertifikasi Profesi, dan seluruh (34) Gubernur di Indonesia.
Masing masing pihak ini mendapat tugas untuk disinergikan dalam rangka meningkatkan mutu
lulusan SMK sehingga dapat mendongkrat peningkatan kualitas tenaga kerja nasional.
Kemendikbud menargetkan sampai akhir tahun 2018 sebanyak 569 SMK melaksanakan program
TEFA sampai saat ini baru ada 114 SMK se-Indonesia yang telah menjalankan program TEFA
yang ditargetkan sebagai sekolah rujukan. Data Dit. PSMK (2017). Jumlah total SMK di
Indonesia sebanyak 13.926 (3.537 negeri dan 10.389 swata), maka jumlah sekolah yang
melaksanakan program TEFA sampai akhir tahun 2018 baru sebanyak 569 dari 13.926 atau
sebesar 4,08 persen.
Menurut Becker (1993), kebijakan dan program-program link and match di atas, terutama
TEFA secara umum dikatagorikan sebagai pelatihan khusus (spesific training), yaitu pelatihan
yang lulsannya lebih difokuskan untuk menguasai ketrampilan khusus (specific skills) sesuai
kebutuhan pihak penyelenggara pelatihan. Untuk itu, selain tuntutan perluasan jumlah sekolah
yang melaksanakan TEFA, kurikulum program-program link and match (isi/kompetensi, proses

5
pembelajaran, dan evaluasinya) perlu dirancang mencakup juga ketramplan/kompetensi umum
(general training) yang dapat diterapkan/diperlukan di perusahaan lain. Misalnya, sekolah
dalam penyelenggaraan TEFA bermitra dengan perusahaan mobil X , maka kurikulum
kemitraannya selain tentunya mencakup kompetensi yang diperlukan untuk bekerja di
perusahaan mobil merek X juga perlu mencakup kompetensi-kompetensi yang diperlukan atau
dapat dipakai di perusahaan mobil merek Y atau lainnya.
Program-program yang dideskripsikan di atas merupakan upayakan pemerintah,
khususnya Direktorat Peembinaan SMK, untuk meningkatan mutu dan daya saing lulusan SMK,
namun hasilnya belum menggembirakan. Salah satu indikatornya lulusan SMK belum segera
memeroleh pekerjaan. Laporan BPS (2018) menunjukan bahwa tingkat pengangguran terbuka
lulusan SMK masih lebih tinggi dari pada tingkat pengangguran lulusan SMA, yaitu sebesar
11,24 persen dibanding 7,95 persen.
Dari sisi eksternal, perkembangan teknologi informasi dan komunikaasi berlanjut
penggunaan otomasi digital berbasis mega data (big data), penggunaan internet ( Internet of
Things-IoT), dan terintegrasinya sistem perhitungan data awan (cloudy computing), melahirkan
revolusi industri 4.0 (RI-4) dan termasuk antisipsi hadirnya susulan revolusi industri 5.0 yang
menambahkan aspek spiritual kemanusian. Revolusi industri ini dipenuhi dengan inovasi yang
datangnya secara mendadak dan berdampak luas dan melahirkan era ketidakpastian atau
“disrupsi” terhadap prinsip-prinsip ekonomi dan perdangan termasuk gaya hidup manusia dan
kebudayaannya. Lahirnya era disrupsi ini harus menjadi pertimbngan penting bagi pengembang
kurikulum pendidikan vokasi. Betolak dari tuntutan tersebut, maka saya memilih topik pidato
pengukuhan: “Filosofi dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Vokasi dalam Era
Disrupsi”.

B. FILOSOFI PENDIDIKAN VOKASI


Hadirin yang saya hormati,
Miller (1985: 3) mendifinisikan bahwa philosophy is a conceptual framework for
synthesis and evaluation that represent a system of values, to serve as a basis for making
decisions that project vocational eduction’s future. Dalam konteks pengembangan kurikulum,
Ornstein and Hunkins (2004: 30) menjelaskan bahwa filosofi merupakan sentral dari kurikulum
karena filosofi akan menjadi dasar dan akan terefleksikan dalam tatanan sekolah dan warganya

6
dan secara formal akan mempengaruhi tujuan dan isi dan juga organisasi dari kurikulum tersebut.
Nilai-nilai yang terkandung dalam filosofi berimplikasi terhadap pengembangan kurikulum.
Filosofi yang dianut oleh penggagas kurikulum semestinya terefleksi pada visi, misi,
tujuan, program sekolah, dan pada isi kurikulum termasuk cara mengorganisasi pelaksanaan
kurikulum tersebut. Memahami filosofi berguna tidak hanya untuk lebih memahami sekolah dan
kurikulumnya tetapi juga berguna membentuk sistem nilai personal tentang persepsi, keyakinan,
nilai terhadap dunia sekitar kita dan bagaimana kita menentukan apa yang penting untuk kita.
Filosofi akan membantu kita untuk mengerti “siapa kita”, “mengapa kita ada”, dan “kemana
kita akan menuju?”

Begitu pentingnya filosofi dalam pengembangan kurikulum, berikut dipaparkan tiga


aliran filosfi yang banyak dirujuk dalam pengembangan pendidikan vokasi.
1. Esensialisme
Aliran filosofi ini merujuk pada prinsip social efficiency. Menurut aliran ini, kurikulum
perlu diarahkan agar siswa mampu bekerja sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja, terutama dunia
bisnis dan industri. Pada aaliran ini tugas sekolah dan guru adalah menghadirkan situasi dunia
kerja ke dalam kelas. Sekolah perlu dilengkapi dengan sarana dan prasarana (mesin, peralatan
dan fasilitas) yang mereplikasikan dunia kerja. Menurut aliran ini, diperlukan guru yang mampu
menjelaskn situai kondisi yang ada di tempat kerja, juga mendemonstrasikan cara kerja sesuai
yang terjadi di tempat kerja. Oleh sebab itu, guru perlu mempunyai pengalaman kerja di dunia
usaha dan industri. Guru ditumtut mampu menjadi model bagi siswanya. Melalui aliran ini
kebutuhan sosial atau masyarakat (siswa yang mahir atau kompeten sesuai kebutuhan pekerja
pasar kerja) akan terpenuhi secara efisien. Salah satu pengikut aliran ini yang digagas oleh
Charles A. Prosser (1913). Sistem pendidikan yang berlaku dalam aliran ini umumnya
pendidikan vokasi dipisahkan dari pendidikan akademik (double track system).
2. Pragmatisme
Aliran filosofi ini lebih fokus pada kebutuhan perkembangan individu siswa bukan
semata mata pada kebutuhan pasar tenaga kerja di masyarakat. Kurikulum dirancang untuk
persiapan perkembangan kehidupan siswa. menurut paham ini, pemahaman adalah sebuah
transaksi antara pembelajar dengan lingkungannya. Metode mengajar yang ideal menurut aliran
ini bukannya menekankan pada apa yang siswa pikirkan tetapi lebih pada membawa siswa untuk
berfikir secara kritis. Mengajar lebih banyak mengeksplorasi dari pada menjelaskan. Metode

7
untuk siswa berfikir kritis lebih penting dari pada materi yang dipelajarinya. Belajar terjadi
manakala seseorang terlibat dalam inkuiri keilmuan (scientific inquiry), pemecahan masalah
yang dapat ditransfer ke berbagai masalah dan situasi. Pembelajaran menekankan pada learning
by doing yang dibangun dari pengetahuan hasil pembelajaran sebelumnya serta menekankan
pada penguasaan ketrampilan berfikir tingkat tinggi (higher- order thinking skills). John Dewey
(1913) adalah salah satu ttokoh dalam aliran ini. Dia memandang pendidikan sebagai sebuah
proses untuk “meningkatkan” bukan untuk “menerima” kondisi manusia. Sekolah dilihat sebagai
sebuah lingkungan spesial yang sesuai dengan lingkungan sosial masyarakatnya. Kurikulum
secara ideal didasarkan pada pengalaman siswa dan minatnya, dan menyiapkan mereka (siswa)
bagi urusan kehidupannya di masa datang.

3. Rekonstruksi
Faham filosofi ini dikembangkan berdasarkan gagasan-gagasan sosial dan idealisme
(utopian). Faham ini mengkritik Progresivisme yang terlalu memberikan perhatian pada
kebutuhan individu siswa dan rekonstruksi lebih menekankan pada kebutuhan sosial masyarakat
dan sekolah harus menjadi agen perubahan (agent of change). Dalam mazab ini pendidikan
vokasi lebih diorientasikan pada transformasi kepada situasi kerja yang demokratis terhadap
situasi kerja yang tidak adil, diskriminasi, dan isu-isu kerja lainnya. Intitusi kerja diorientasikan
menjadi sebuah organisasi pembelajaran (learning organization). Pengikut faham ini antara lain,
Miller dan Gregson (1999).
Pengembangan kurikulum pendidikan vokasi dapat mengacu salah satu filosofi diatas
atau gabungan dari kedua atau ketiganya tergantung dari kombinasi tuntutan kekebutuhan siswa,
masyarakat pengguna lulusan khususnya dunia bisnis dan industri, pemerintah dan pemangku
kepentingan lainnya sesuai waktu dan periode masanya. Dari tiga faham yang dijelaskan di atas,
untuk konteks pendidikan vokasi, dapat diskemakan sebagai Gambar 1 berikut.

8
TVET
PHILOSOPHY

Gambar 1. Segitiga Orientasi Filosofi Pendidikan Vokasi

C. TEORI SOCIAL EFFICIENCY VS DEMOCRASI


Secara praktis filosofi terdiri dari beberapa pernyataan keyakinan yang secara
keseluruhan diyakini benar dan akan membawa kebaikan bagi kehidupannya, oleh karena itu isi
filosofi cenderung akan berbeda dari satu orang ke orang lain dan juga dari satu grup ke lain
grup. Dalam satu grup akan sulit menyetujui suatu masalah manakala masing-masing anggota
grup berbeda filosofinya, tetapi sebaliknya dalam grup yang lain bisa jadi satu masalah yang
sama akan disetujui dengan diskusi atau perdebatan yang minim bahkan bisa jadi tidak ada
diskusi manakala ada kesamaam filosofi dari setiap orang dalam grup tersebut. Demikian juga
perdebatan dalam isi dan cakupan dari Filosofi Pendidikan Kejuruan.
Perdebatan filosofi vokasi pendidikan juga terjadi di Amerika pada tahun 1916, yaitu
antar David Snedden bersama muridnya Allan Prosser sebagai birokrat dan John Dewey sebagai
akademisi yang berlatar belakang Psikologi dan Sosiologi Pendidikan. Dalam merancang

9
kurikulum Pendidikan Vokasi Prosser mendasarkan pada teori “social efficiency”dimana siswa
dididik untuk menjadi tenaga kerja yang trampil dan siap bekerja di bidangnya sehingga dicapai
kesiapan tenaga kerja dengan ongkos social yang efisien. Prosser merumuskan 16 prinsip-prinsip
yang merupakan dasar filosofi dalam merancang dan menyelenggarakan pendidikan atau sekolah
vokasi, yaitu sebagai berikut (Prosser & Quigley, 1949).

The first theory, vocational education will be efficient in proportion as the environment
in which the learner is trained is a replica of the environment in which he must
subsequently work.
The second theory, effective vocational training can only be given where the training
jobs are carried on in the same way with the same operations, the same tools and the
same machines as in the occupation itself.
The third theory, vocational education will be effective in proportion as it trains the
individual directly and specifically in the thinking habits and the manipulative habits
required in the occupation itself.
The fourth theory, vocational education will be effective in proportion as it enables each
individual to capitalize his interests, aptitudes and intrinsic intelligence to the highest
possible degree.
The fifth theory, effective vocational education for any profession, calling, trade,
occupation or job can only be given to the selected group of individuals who need it,
want it and are able to profit by it.
The sixth theory, vocational training will be effective in proportion as the specific
training for forming right habits of doing and thinking are repeated to the point that
these habits become fixed to the degree necessary for gainful employment.
The seventh theory, vocational education will be effective in proportion as the instructor
has successful experience in the application of skills and knowledge to the operations
and processes he undertakes to teach.
The eighth theory is a minimum employment standard theory. It says that for every
occupation there is a minimum of productive ability which an individual must possess in
order to secure or retain employment in that occupation. If it is not, neither personally
nor socially effective will not happen.
The ninth theory is a market demand theory. It says that vocational education must
recognize conditions as they are and must train individuals to meet the demands of the
market even though it may be true that more efficient ways of conducting the occupation
may be known and that better working conditions are highly desirable.
The tenth theory, the effective establishment of process habits in any learner will be
secured in proportion as the training is given on actual jobs and not on exercises or
pseudo jobs.

10
The eleventh theory says that the only reliable source if content for specific training in
an occupation is in the experiences of masters of that occupation.
The twelfth theory, for every occupation there is a body of content which is peculiar to
that occupation and which practically has no functioning value in any other occupation.
The thirteenth theory, vocational education will render efficient social service in
proportion as it meets the specific training needs of any group at the time that they need
it and in such a way that they can most effectively profit by the instruction.
The fourteenth theory is a working group characteristics theory. It describes that
vocational education will be socially efficient in proportion as in its methods of
instruction and its personal relations with learners it takes into consideration the
particular characteristics of any particular group which it serves.
The fifteenth theory, the administration of vocational education will be efficient in
proportion as it is elastic and fluid rather than rigid and standardized.
The sixteenth theory, while every reasonable effort should be made to reduce per capita
cost, there is a minimum below which effective vocational education cannot be given, and
if the course does not permit this minimum per capita cost, vocational education should
not be attempted.

Sedangkan Dewey dengan bukunya berjudul “Democracy and Education: An


Introduction to the Philosophy of Education”, meyakini bahwa siswa adalah individu yang
dinamis yang mampu belajar menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat. Untuk itu menurut
Dewey yang terpenting adalah menyiapkan siswa dengan kamampuan dasar yang kuat dan luas
(broad-based basis) sehingga setelah lulus mereka akan mampu belajar menyongsong dinamika
dan perkembangan teknologi termasuk tuntutan dunia usaha dan industri atau masyarakat.
Griffin and Harren (1994) memperbandingankan penerapan kedua filosofi dalam rancangan
kurikulum pendidikan vokasi dalam Tabel 1 berikut.

Tabl 1. Perbandingan Falsafah Pendidikan John Dewey dan Charles Prosser.


Philosopical Criteria Prosser Dewey
1. Teaching styles & Sequencial, begin with basic facts, Begin with problem solving results
methokogies instructors have strong experience in knowledge base, instructor have
strong educational experiemce
2. Administrative Seeks advice from industrial, Facilitators of personal choices,
structure leaders, planners, implementers, cost advisor.
effective
3. Personal/school Accents the needs of industry Accents the needs of individuals
philosophies
4. Binefits of the Students gain marketable skills to Students gain life skills and

11
program become members of society adaptabilitas skills
 Prosser-Dewey
Dichotomy
5. Transability of skills Transfer occures naturally between Transfer is the focus of a broad
similar task; transfer is not a focus Education
6. Training to work Facilited through current equipment Facilitated through focus of transfer
transition and instructors with industrial
background
7. Development of Acquiring a base of knowledge Instructor begin with problem-
problem solving skills precedes problem solving skills solving skills
 Continuation of
Prosser Philosophy
8. Major goals of the To meet the needs of industry and To meet the needs of individual and
school prepare people for the work prepare people for life
9. Influencing factors on Follow Prosser’s sixteen theorems Follow guideline in Dewey’s
scholl success Democracy and Education
 Social And Economic
Factors
10. Scoll climate Individualized defferences are Individual differences are equalizes
recognizd and people types of work
are seen having value
11. Adequate supplies, School must have adequate supplies, School must have adequate supplies,
spce, and equipment space, and equipment space, and equipment, but students
may use transfer skills to cover
deficiencies
12. Personal motivations CTE should be reverved for those CTE is for everyone , and everyone
who are motivated can benefit can benefit.

D. ERA DISRUPSI
Khasali (2018) menjelaskan disrupsi adalah perubahan yang muncul akibat inovasi besar-
besaran dan radikal, yang membuat banyak produk, teknologi, cara-cara dan metode yang kita
kenal di masa lalu menjadi obsolete. Inovasi yang dihasilkan dalam era disrupsi ini utamanya
adalah teknologi aplikasi digital dan otomasi sebagai komponen dasardari Revolusi Industri
4.0. (RI-4.0).
Hermann dkk. (2016) menjelaskan bahwa RI-4.0 mencakup empat komponen utama,
yaitu (1) interkoneksi, (2) transparansi informasi, (3) bantuan teknis, dan (4) keputusan yang
terdesentralisasikan. Pertama, Interkoneksi, yaitu kemampuan mesin, perangkat, sensor, dan
orang untuk terkoneksi dan mampu berkomunikasi satu sama lain melalui Internet of Things
(IoT) atau Internet of People (IoP). Kedua, Transparansi Informasi, yaitu kemampuan sistem
informasi untuk menciptakan salinan virtual dunia fisik dengan memperkaya model digital
melalui data sensor termasuk analisis data dan penyediaan informasi. Ketiga, Bantuan Teknis

12
yang mencakup (a) kemampuan sistem bantuan untuk mendukung manusia dengan
menggabungkan dan mengevaluasi informasi secara sadar untuk membuat keputusan,
memecahkan masalah dalam waktu singkat; (b) kemampuan sistem untuk mendukung manusia
dengan melakukan berbagai tugas yang tidak menyenangkan, terlalu melelahkan, atau tidak
aman; (c) meliputi bantuan visual dan fisik. Keempat, Keputusan Terdesentralisasi, yaitu
kemampuan sistem fisik maya untuk membuat keputusan sendiri dan menjalankan tugas
seefektif mungkin. Hermann dkk. (2016) mengilustrasikan keempat komponen utama dalam RI-
4.0. dalam Gambar 2 berikut.

PRINSIP
RI-4.0

Gaambar 2. Empat Ko,ponen Utama RI-4.

Di era disrupsi RI-4, Tanjung (2018) menyampaikan bahwa tidak sulit menjadi
pengusaha karena fasilitas kemajuan teknologi, namun disisi lain lapangan pekerjaan menjadi
semakin berkurang. Diperkirakan setidaknya 5 juta orang akan kehilangan pekerjaan akibat
otomasi. Sebelum era digital, untuk menjadi pemenang hanya perlu lebih efisien dan produktif.
Namun, untuk saat ini agar dapat memenangkan, kompetisi diperlukan tiga jenis kemampuan,
yaitu (1) inovasi; (2) kreativitas; dan (3) enterpreneurship. Schwab (2013), pendiri dan Executive
Chairman of the World Economic Forum, menegaskan bahwa: “…to enter 21 Century that is
disruption era identified by Revolution Industry 4.0, workers need to possess different mix of
skills than in the past, they need competences that are collaboration, creativity and problem-

13
solving orientated and character qualities like persistence, curiosity and initiative. These skills
have not fully accommodated in national curriculum.
American Association for Career and Technical Education , National Association of
State Directors of Career Technical Education Consortium and Partnership (2010) telah lama
merumuskan visi belajar dan mengajar abad 21 dalam CTE menyiapkan siswanya untuk
menyongsong economi baru di era global sebagaimana disajikan dalam Gambar 3 berikut.

Gambar3. Visi Belajar dan Mengajar Mencapai Ketrampilan Abad 21

Washington Superintendent of Public Institution menjelaskan keempat komponen


ketrampilan CTE abad 21 adalah (1) Core Subjects; (2) Learning and Innovation Skills; (3)
Information, Media, and Technical Skills; dan (4) Career and Life Skills.

E. PENGEMBANGAN KURIKULUM VOKASI


Hadirin yang saya hormati
Delacruz (2016: 2) menegaskan bahwa pengembangan kurikulum adalah sebuah proses
yang dinamis untuk mengakomodasi perubahan yang diharapkan menuju perbaikan. Proses
pengembangan kurikulum mengikuti empat tahapan proses yang logis, yaitu perencanaan,

14
desain, implementasi, dan evaluasi. Berikut penjelasan masing-masing tahapan. Pertama,
Perencanaan Kurikulum, yaitu mengartikulasikan visi, misi dan sasaran (goal) sekolah yang
bersumber dari filosofi sekolah yang di dalamnya mencakup nilai-nilai keyakinan sekolah.
Semua nilai-nilai ini diterjemahkan kedalam hasil-hasil pembelajaran kelas yang diharapkan
(classroom desired learning outcomes). Kedua, Desain Kurikulum, adalah tahap bagaimana
kurikulum dikonsepsikan, yaitu bagaimana merumusan tujuan hasil-hasil pembelajaran, memilih
dan mengorganisasikan materi pembelajaran dan aktivitasnya, memilih procedure evaluasi dan
alat evaluasinya untuk mengukur ketercapaian hasil-hasil belajar yang diharapkan. Tahap ini
juga mencakup sumber-sumber belajar yang diperlukan dan bagimana men gorganisasikannya.
Ketiga, Implementasi Kurikulum, yaitu bagaimana menerapkan perencanaan kurikuum
yang sudah didesain dalam di dalam seting kelas atau lingkungan belajar lainnya. Guru adalah
fasilitator sekaligus aktor bersama siswa menggunakan desain kurikulum sebagai pedoman
dalam merealisasikan proses pembelajaran ke dalam situsi kelas atau tempat lain yang dirancang.
Keempat, Evaluasi Kurikulum, adalah menyimpulkan sejauh mana hasil-hasil pembelajaran yang
diharapkan telah dicapai. Tahap ini mencakup pelaksanaan penilaian proses dengan pendekatan
continuous assessment (formative test) dari proses pembelajaran dan penguasaan akhir hasil
belajar yang diharapkan (summative evaluation). Dalam proses penilain ini dapat diidentifikasi
faktor-faktor penghambat dan pendukung keberhasilan implementasi. Dari tahapan ini perlu juga
diketahui di bagian mana perlu koreksi dan perbaikan.
Selanjutnya, pengembangan kurikulum dapat merujuk beberapa model dan umumnya
merujuk pada model yang dikembangkan oleh ahli-ahli kurikulum, antaranya Ralph Tyler, Hilda
Taba, dan Galen Saylor & William Alexander. Tyler (1949: vii) menjelaskan rasionalisasi
pengembangan kurikulum dengan pedekatan deduktif, yaitu merujuk pada empat pertanyaan
dasar: (1) What educational purposes should the school seek to attain?; (2) What educational
experiences can be provided that are likely to attain these puroses?; (3) How can these
experiences be effectively organized?; (4) How can we determine whether these purposes are
being attained?. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini akan bervariasi tergantung dari
jenis dan tingkat pendidikannya selain tergantung dari filosofi yang dipilih untuk jenis dan
tingkat pendidikan yang dimaksud yang tentunya mempunyi karakter-karakter spesifik yang
harus dipertimbangkan. Sedangkan Taba (1962) menyempurnakan pandangan Tyler dengan
pendektan induktifnya, yaitu melibatkan guru sebagai pelaksana kurikulum. Taba dikenal dengan

15
tujuh tahapan proses pengembangan kurikulum: (1) Diagnozing of learner’s needs and
expectations of the larger society; (2) formation of learning objectives; (3) Seletion of learning
contents; (4) Organization of learning contents; (5) Selection of learning experiences; (6)
Organizing of learning experiences; (7) Determination of what to evaluate and of the ways and
means of doing it.
Untuk konteks pendidikan kejuruan, Finch dan Crunkilton (1999, 11) menjelaskan paling
tidak ada 10 spesifik karakter yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum
pendidikan vokasi.
1. Orientasi lulusan. Keberhasilan Pendidikan Vokasi tidak semata-mata diukur pada
pencapaian kompetensi sesuai target kurikulumnya sebagai hasil dari proses
pembelajarannya di sekolah, tetapi lebih dari itu ditentukan oleh kinerja di tempat kerja.
2. Justifikasi kebutuhan okupasi. Kurikulum Pendidikan Vokasi harus dikembangkan
berbasis okupasi yang dibutuhkan oleh masyarakat, tidak dirancang berdasarkan kira-kira
(common sense), tetapi harus dirancang tanpa keraguan bahwa pada program keahlian
tersebut membutuhkan pekerja dari lulusan pendidikan kejuruan yang dirancang.
3. Fokus profesi. Kurikulum Pendidikan Vokasi harus mengintegrasikannya semua
spektrum pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan nilai-nilai yang muaranya menghasilkan
lulusan yang berkeahlian kerja (professional) di bidangnya.
4. Kelulusan Sekolah (In-School Success Standard). Standar kelulusan unjuk kerja siswa
untuk suatu keahliah/okupasi adalah derajad ketrampilan nyata (“hands on”) untuk suatu
keahlian yang ditandai dengan uji kompetensi sesuai standar kerja suatu keahlin di dunia
kerja.
5. Sukses di Luar Sekolah (Out-of-School Success Standard). Kesuksesan siswa Pendidikan
Vokasi juga bagaimana dia sukses memperoleh pekerjaan sesuai latar belakang
pendidikannya, sukses dalam karir profesinya, menciptakan pekerjaan untuk dirinya
sendiri maupun orang lain apabila mereka menjadi wirausahawan, dan bahkan sukses di
tingkat pendidikan selanjutnya bagi mereka meneruskan pendidikannya.
6. Hubungan dengan Masyarakat Dunia Usaha dan Industi. Pendidikan Vokasi harus
mempunyai hubungan dengan masyarakat pengusaha dan industri karena lulusan
lembaga tersebut memang utamanya dirancang untuk dapat bekerja di sana.

16
7. Dukungan Pemerintah Pusat dan Daerah. Pendidikan Vokasi memerlukan dukungan
finansial dan kebijakan dari pemerintah Pusat dan Daerah terutama terkait dengan
rencana strategis pembangunan ekonomi dan pengadaan tenaga kerja baik secara jenis
keahliannya maupun jumlahnya.
8. Responsive terhadap Perkembangan Teknologi. Pendidikan Vokasi harus dirancang
sedemikian rupa sehingga lulusann tidak mempelajari yang berbeda dengan apa yang
telah berubah di masyarakat. Perkembangan teknologi di berbagai bidang keahlian dan
kehidupan keseharian harus terakomodasi dalam kurikulum.
9. Perlu Logistik. Pendidikan Pendidikan Vokasi perlu fasilitas, alat-alat dan perlengkapan,
bahan praktik, lab dan workshop, alat bantu pengajaran, dan banyak melibatkan personil
dan utamanya pihak pengusaha dan industri. Semua ini memerlukan logistik yang tidak
sedikit dan memerlukan manajemen pengelolaan yang efektif dan efisien..
10. Mahal. Pendidikan Vokasi berkisar antara 3-5 kali lebih mahal dari pada biaya
penyelenggaraan sekolah umum. Aspek-aspek logistik di atas membutuhkan fasilitas,
alat-alat, dan perlengkapan, termasuk pemeliharaannya membutuhkan dana yang mahal.
Dari deskripsi di atas, empat pertanyaan dasar yang disampaikan Tyler sebagai rujukan
dalam pengembangan kurikulum dapat dijawab bahwa tujuan pendidikan vokasi perlu merujuk
filosofi esensialisme yang membekali siswa dengan kompetensi –kompetensi (C4) yang
diperlukan untuk memasuki abad 21 era disrupsi yang mampu menghasilkan inovasi terkait RI-4
sesuai kebutuhan dunia usaha dan industri. Di lain sisi, siswa juga perlu dibekali dengan
kecakapn hidup (life skills) yang menekankan pada ketrampilan pemecahan masalah,
ketrampilan berfikir tingkat tinggi yang mampu sekaligus mengantar mereka menjadi pekerja
atau wirausaha yang demokratik dan peka terhadap isu-isu keadilan dan kesetaraan dalam dunia
bisnis dan industri.
Penyelenggaraan pembelajaran perlu dirancang sehingga siswa memperoleh pengalaman
nyata dalam mencapai tujuan pendidikannya. Kemitraan dengan duna usaha dan industri perlu
diupayakan. Pembelajaran perlu dirancang terkait dengan kenyataan di tempat kerja ( authentic
instruction), antara lain problem-based learning, project-based learning, work-based lerning
dengan penekanan pemanfaatan ICT (internet of things-IoT, digital-robotic, dan berbgai software
aplikasi). Penilaian hasil beljar juga harus dirancang merujuk pada prinsip-prinsip penilaian
yang berlaku di tempat kerja (authentic assessment). Gulikers, dkk, (2004, 67) menggunakan

17
lima dimensi penilaian, yaitu (1) authentic task, yaitu penilaian tentang masalah yang dihadapi
siswa dalam hidup kesehariannya; (2) physical context, siswa mendemonstrasikan tugas baik di
dalam maupun di luar kelas; (3) social contexts, siswa menyelesaikan tugasnya melalui
kolaborasi, kompetisi, dan komunikasi dalam hidup kesehariannya; (4) authentic results, hasil
nyata dengan indikatornya; dan (5) use number of realistic indicators, yaitu menggunakn
indikator yang realistik dan professional pada kehidupan nyata.
Hadirin yang saya hormati
Secara hirarki, pengembangan atau perencanan kurikulum dapat dikatagorikan menjadi
tingkat global, regional, nasional, dan lokal. Berikut dijelaskan secara singkat tentang
perencanaan tingkat nasional dan lokal.
1. Perencanaan Kurikulum Tingkat Nasional
Dokumen UNESCO (1982) menjelaskan bahwa perencanaan kurikulum pendidikan vokasi harus
dipandang sebagai suatu bagian dari sistem pendidikan nasional yang mampu meningkatkan mutu
pendidikan dan pelatihan vokasi dan juga sebagai proses peningkatan kapasitas diri atau kompetensi
yang berkesinambungan. Perencanaan dan pengembangan kurikulum vokasi dapat berhasil maksimal
apabila didukung oleh beberapa prasarat: (1) perundang-undangan yang mendukung; (2) struktur sistem
pendidikan; (3) jenis dan penjejangan sekolah; (4) konektisitas pendidikan formal dan non-formal atau
pelatihan; (5) keterpaduan pelaksanaan toeri dan praktek dalam pembelajaran. Untuk konteks Indonesia
Undang-Undang No.20/2013 03 tentang Sistem Pendidikan Nasional, penjelasan pasal 15 menegaskan
bahwa pendidikan vokasi yaitu menyiapkan lulusannya untuk bekerja pada suatu bidang profesi tertentu.
Lebih jelasnya lulusan pendidikan vokasi utamanya disiapkan untuk mampu bekerja di dunia usaha atau
industri (DUDI), untuk itu pengembangan kurikulum pendidikan vokasi harus sejalan dengan kebutuhan
DUDI. Karena itu peran serta DUDI dalam pengembangan kurikulum dan penelenggaraan pendidikan
vokasi sangat diperlukan agar kompetensi lulusannya benar-benar sejalan dengan harapannnya. Prinsip
partnership yang simbiotik antara sekolah dan DUDI yang harus didukung oleh perundang-undangan.
Dalam undang-undang ini perlu dijelaskan secara tegas dan rinci tentang tujuan perundang-
undangan, kedudukannya dalam sistem pendidikan nasional, pihak yang terlibat, peran dan tanggung
jawab masing-masing pihak. Implementasi undang-undang ini akan memerlukan struktur organisasi yang
terpadu dari tingkat nasional, propinsi, kabuptaen/kota, sampai pihak sekolah termasuk guru. Masing-
masing pihak ini punya peran dan kontribusi dalam pengembangan kurikulum pendidikan vokasi. Akker
(2009, 9) mendeskripsikan lima sebutan dalam hirarki tingkatan pengembangan kurikulum dan sampel
produk pengembangan dari masing-masing tingkatan yang disjikan dalam di Tabel 2 berikut.

18
Table 2. Hiraraki Tingkat Pengembangan Kurikulum dan Sampel Produknya
Sebutan Level Tingkat Pengembangan Kurikulum Sampel Produk yang Dihasilkan
 Kerangka umum Eropa untuk
Supra Internasional
pembelajaran bahasa
 Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
Makro Nasional  Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar,
 Ujian Nasional
 Kurikuler Inti Nasional
Meso Lokal/Institusional
 Muatan lokal sekolah
 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
 Materi pembelajaran
Mikro Kelas, Guru
 Modul, alat batu pembelajaran
 Buku teks
 Rencana belajar individu siswa
Nano Siswa, individu
 Materi belajar individu siswa

Pembaharuan dalam Kurikulum sendiri (inner reform) tentu harus sejalan dengan atau sebagai
akibat dari perubahan di luar kurikulum, khususnya sistem, struktur, dan kebijakan pembaharuan lainnya
yang terkait. Dalam konteks Indonesia, misalnya kebijakan pemerintah, melalui Mendiknas (2013: 5),
yang mengorientasikan lulusan SMK tidak semata-mata untuk bekerja (B) pada suatu perusahaan atau
industri tetapi diperluas dapat melanjutkan (M) pendidikan ke jenjang pendidikan di atasnya/perguruan
tinggi, dan menjadi wirausaha (W) yang sering dislogankan sebagai BMW. Orientasi kurikulum ini akan
mempengaruhi struktur kurikulum dan komposisinya. Dalam Lampiran Permendikbud Nomor 70 Tahun
2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMK/MAK dijelaskan jumlah jam/minggu untuk
SMK lebih banyak dari pada jumlah jam pelajaran untuk SMA. Untuk SMK jumlah jam/minggu untuk
tiatahun = 144 jam/minggudengan rincian 44 jam/minggu untuk Kelas X dan 48jam/minggu untuk Kelas
XI dan Kelas XII. Untuk SMA jumlah jam/minggu selama tiga tahun = 130 jam/minggu dengan rincian
42jam/minggu di Kelas X dn 44 jam/minggu di KelasXI dan Kelas XII. Dasar falsafah sederhananya
dalam aspek jumlah jam/minggu, SMK = SMA ditambah Paket Keahlian (18 jam/minggu). Artinya,
dalam pembekalan pembelajaran SMK dialokasikan sama denganSMA karena mereka diberi kesempatan
sama untuk dapat melajutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. SMK dialokasikan 18
jam/minggu untuk pembelajaran paket keahlian kejuruannya. Tabel 3 berikut menyajikan perbandingan
jumlah jam/minggu antara kedua sekolah tersebut.
Tabel 3. Persamaan dan Perbedaan Struktur Kurikulum SMK disbanding Kurikulum SMA.

Alokasi Waktu/Minggu
Matapelajaran
Kelas X Kelas XI Kelas XII
Kelompok A (Wajib)
1 Pendidikan Agama dan Budi Pekerti 3 3 3
2 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 2 2 2
3 Bahasa Indonesia 4 4 4

19
4 Matematika 4 4 4
5 Bahasa Inggris 2 2 2
6 Sejarah Indonesia 2 2 2
Kelompok A (Wajib)
7 Seni Budaya 2 2 2
8 Pendidikan Jasmani Olah Raga dan Kesehatan 3 3 3
9 Prakarya dan Kewirausahaan 2 2 2
Jumlah Jam Pelajaran Kelompok A dan Kelompok B 24 24 24
Kelompok C (Peminatan)
10 Mata Pelajaran Peminatan Akademik (SMA/MA) 18 20 20
Mata Pelajaran Peminatan Akademik dan Vokasi
11 24 24 24
(SMK/MAK)
Jumlah jam pelajaran yang harus ditempuh perminggu
42 44 44
(SMA/MA)
Jumlah jam pelajaran yang harus ditempuh perminggu
(SMK/MAK) 48 48 48

2. Perencanaan Kurikulum Tingkat Lokal


Pengembangan kurikulum ditingkat mikro atau sekolah (institusional) merupakan
implementasi dari pengembangan kurikulum ditingkat makro atau nasional. Perencanaan
tingkat mikro membutuhkan informasi atau data pertama, tentang minat dan bakat siswa sebagai
prasarat untuk dapat mengikuti dan menguasai ketrampilan atau jenis vokasi yang dipelajari
yang diperlukan di masa datang. Kedua, data tentang jenis dan jumlah pekerjaan setempat.
Secara konsep, kurikulum di tingkat ini dirancang dengan memadukan kedua data di atas.
Secara umum rancangan kurikulum tingkat mikro secara mencakup empat hal utama, yaitu
perumusan tujuan instruksional khusus, mengembangkan evaluasi hasil belajar, memilih metode
pembelajaran, dan mengembangkan sumber belajar. Idealnya, suatu klas terdiri dari peserta
didik yang homogin karakteristiknya dan memenuhi persyaratan kriteria yang diperlukan
untuk pembelajaran. Namun, kenyataan umumnya tidak demikian sehingga guru/instruktur
harus menyiapkan pembelajaran remedial atau berupaya melakukan pembelajaran individual.

Hadirin yang berbahagia,


F. SIMPULAN DAN SARAN
Sampailah kita pada simpulan dari pidato yang Berjudul: “Filosofi Dan Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Vokasi di Ere Disrupsi” sebagai berikut.

20
Pertama, pengembangan kurikulum vokasi perlu merujuk pada filosofi yang diyakini, yaitu
esesialisme, pragmatisme, dan konstruktivisme dengan penekanan pada salah satu filosofi sesuai
dengan konteks sosio-demografisnya. Misalnya daerah yang jumlah dan sebaran bisnis dan
industrinya memadai dapat merujuk ke filosofi esensialisme. Sebaliknya untuk daerah dengan
jumlah pengnggur yang tinggi dan miskin bisnis dan industrinya lebih merujuk pada pragmatism
dan konstruktivisme.
Kedua, perlunya sinergitas dan sinkronitas antara tingkat nasional dan lokal, khususnya Bapenas
dan Bappeda dalam pengembangan kurikulum sekolah vokasi berbasis spektrum jenis dan
jumlah keahlian yang diperlukan sehingga prospek lulusan untuk bekerja, melanjutkan, dan
wirausaha (BMW) dapat tercapai secara optimal.
Ketiga, secara umum struktur kurikulum 2013 untuk SMK sudah membekali lulusannya dengan
jenis kompetensi dalam aspek BMW dengan penguatan materi perlu ditambahkan sesuai prinsip-
prinsip RI-4 dan bahkan RI 5.0 yang melahirkan era disrupsi. Materi yang ditambhakan
khususnya tentang digital otomation, software application, dan internet of things (IoT),
perhitungan bersama (cloud computing). Secara terminology dan substansinya sebutan
Kompetensi Inti (KI) perlu di pertimbangkan dikembalikan ke Standar Kompetensi agar sinkron
dengan Standar Kompetensi Kerja Nasionl Indonesia (SKKNI) dari Kemenaker dan juga sinergi
dengan Sistim Pelatihan Nasional (Sislatnas).
Keempat, proses pembelajaran menurut Kurikulum 2013 (K-13) secara konsep sebagaimana
tertuang dalam Standar Proses (Permendikbud No. 22/2016) dengan 14 prinsip pembeljarannya
sudah memadai untuk merespons era disrupsi akibat RI-4.0, antar lain menekankan pada
pendekatan saintifik, C4-I, HOTS, PBL, WBL, PjBL. Demikian pula evaluasi hasil belajar sudah
diamanahkan pada penilaian otentik yaitu penilaian berbasis indikator nyata di tempat kerja.
Kelima, dalam konteks lulusan SMK melanjutkan pendidikannya ke perguruaan tinggi,
khususnya community college dan politeknik, dalam pengembangan kurikulumnya, perlu dikaji
program Technical Preparation (TechPrep) sebagaimana berlaku di Amerika. Bentuknya
program itu dapat Tech Prep 1+1; 1+2, artinya materi mata pelajaran di 1 tahun terakhi SMK di
sinergiskan dan disinkronkan dengan mata kuliah di tahun ke 1 di perguruan tinggi. Program ini
dicobakan dibeberapa SMK dan PT dengan dukungan dana pemerintah melalui sistem block
grant.

21
Keenam, hajat revitalisasi SMK sebagiman diamanatkan oleh Instruksi Presiden Nomor 09
Tahun 2016 nampak tidak efektif karena tidak didukung oleh struktur, figure, avtur. Artinya,
diperlukan struktur organisasi pada tingkat pusat dan daerah yang menjembatani kemitraan
antara SMK dan pihak bisnis dan industri (DUDI). Struktur Majelis Pendidikan Kejuruan
Naasional, Propinsi, dn Sekolah atau MPKN, MPKP, dan MS yang tertuang dalam PP no.
39/1992 dapat dipakai sebagi referensi. Figur, artinya perlunya keterlibatan yng intents dari
figur-figur pihak DUDI, KADIN, dan asosisi profesi yang terlibat langsung dalam pelaksanaan
program revitalisasi SMK. Sedangkan avtur adalah bahan bakar yang mendorong dan
menerbangkat pesawat. Artinya, perlu adanya insentif sebagaorong DUDI untuk bermitra dengan
SMK dan hal ini dapat berupa, misalnya pengurangan pajak (deductible tax) atau berupa block
grant.
Ketujuh, sesuai saran Taba Pengembangan kapasitas (PK) pengawas, kepala sekolah, dan guru
sebagai pelaksna kurikulum sangat vital. Sebaik apapun konsep dan programnya apabila pelaku
utamanya tidak mampu memahami, menerima, dan termotivasi untuk melaksanakannya, maka
sebaik apapun hasil pengembangan kurikulum tidak akan berhasil dalam pelaksanaannya di
sekolah, khususnya di rung kelas.

G. PENUTUP
Hadirin yang saya hormati,
Sebagai penutup pembacaan naskah pidato ilmiah ini, perkenankanlah saya mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berjasa dalam mencapai guru besar ini, yang
merupakan jenjang karir teringgi sebagai dosen.
1. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republic Indonesia, Prof. Mohammad
Nasir, M.Si. Akt., Ph.D. yang telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk
menyandang jabatan Guru Besar.
2. Direktur Jendral Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Prof.
dr. Ali Gufron Mukti, M.Sc., Ph.D. yang telah menyetujui usulan Guru Besar saya.
3. Direktur Karir dan Kompetensi SDM Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi,
Prof. Bunyamin Maftuh, M.A., M.Pd. yang telah mengarahkan dan memfasilitasi proses
usulan Guru besar saya.

22
4. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd. yang telah
menyemangati dan mengawal usulan sehingga saya mencapai jabatan Guru Besar.
5. Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Universitas negeri Yogyakarta yang telah menyetujui
usulan Guru Besar saya.
6. Tim 7 yang terdiri dari Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd., Prof. ……. Yang telah
mengararahkan bidang keahlian untuk Guru Besar.
7. Tim Penyelaras yang terdiri dari Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.P., Prof. Dr. Margana,
M.Hum., Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd., Prof. Dr. Zamzani, M.Pd., Prof. Drs. Pardjono,
M.Sc., Ph.D., Dr. Ir. Drs. Widarto, M.Pd., dan Dr. Mochamad Bruri Triyono, M.Pd.
8. Tim Reviewer Internal Karya Ilmiah Bidang Penelitian Prof. Soenarto, M.Sc., Ph.D., dan
Prof. Drs. Pardjono, M.Sc., Ph. D.
9. Tim Reviewer Eksternal Karya Ilmiah Bidang Penelitian Prof. Dr. Susanto, M.Pd. dosen
Unnes dan Prof. Dr. Haris Safrudie, M.Pd. dosen UM.
10. Prof. Dr. Martin D. Hartmann, Dresden University yang telah meriview artikel jurnal saya
sehingga diterbitkan di International Journal bereputasi Scopus.
11. Prof. Maizan Alias dan Dr. alias Masek, masing-masing sebagai Chief dan Secretary Editor
dari Journal Technical Education and Training yang telah menerima dan memuat artikel
ilmiah saya pada Vol. 1 tahun 2017 yang bersertifikat Scopus.
12. Dekan Fakulas Teknik, Dr. Ir. Widarto, M.Pd., Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat fakultas
Teknik yang telah menyetujui usulan Guru Besar saya untuk diusulkan ke tingkat
Universitas.
13. Wakil Dekan 1, Wakil Dekan 2 Fakultas Teknik dan jajarannya khususnya mbak Lysa,
rekan-rekan Bapak dan Ibu dosen yang telah menyemangati dan memfasilitasi saya untuk
mengusulkan Guru Besar .
14. Ketua, Sekretaris dan rekan-rekan sejawat Bapak dan Ibu Dosen Jurusn Pendidikan Teknik
Sipil dan Perencanaan, khususnya Prof. Slamet PH, M.A., MLHR.M.Ed, M.A., Ph.D. dan
Prof. Dr. Husaini Usman, M.Pd., M.T. dan Dr. Amat Jaedun, M.Pd. yang sering berbagi
ilmunya dan telah menyemangati saya untuk mengusulkan jabatan Guru Besar.
15. Guru-guru dan Kepala SR 1 Maos, Guru-guru dan Kela Sekolah SMP Sampang, Maos,
Guru-guru SMAN 1 Cilacap, Guru-guru dan Kepala Sekolah SMA II Laboratorium IKIP
Yogyakarta, Dosen-dosen dan Dekan Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan IKIP

23
Yogyakarta, wa bil khusus Drs. Sutarno (alm), Drs Iskandar (alm) Drs. Yusuf Wasil (alm),
Drs. Achmad Tukiman (alm), Ir. Slamet MS. (alm), Drs. Toekiman (alm), dan yang masih
sehat Drs. FX. Praptono, Drs. Djoemadi, Drs. Soemarjo, dan Dr. Wuryati Samekto, M.Pd.
16. Dosen-dosen State University of New York (SUNY) at Oswego: Dr. Thomas Goding, Dr. V.
Tryon, Dr. Ambrocio, Dr. Kelsey, dan khususnya Dr. Thomas Mustiko yang sempat tinggal
di Indonesia sebagi Konsultan di Kemendikbud dan Dr. Howie, Senior Adviser di Houston
University sewaktu saya menjalani program Refresher dari P2LPTK Kemendikbud.
17. Pembimbing Akademik Dr. Wesley E. Budkhi, Dr. McCaslin (alm), Dr. Warmbroad, Dr.
McCracken, Dr. Miller pada Post-graduate Program di Ohi State University, Ohio, USA.
Dengan setulus hati kepada beliau-beliau saya ucapkan banyak terima kasih semoga
Alloh SWT menerima kebaikannya dan menjadikan tabungan amal sholeh. Aamiin ya robbal
alamin.
Selanjutnya perkenankan saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada
isteri tercinta Dra. Nur Djazifah Endang Rosdidjati, M.Si. atas kesetiaan dukungan dan doa-
doanya yang tiada henti untuk saya mencapai Guru Besar ini. Terima kasih juga kepada anak-
anak dan menantu tercinta, Raditya Andy Kurniawan S.T., M.Sc. dan Novi Erisha S.T.; Nurfika
Rahmaningrum S.Sos. dan Mohammad Raharjo S.E.; Nurafna Fadila S.Psy. dan Budi Cahyadi
Syukur S.Sci. atas doa dan dukungannya sehingga Bapak dapat mencapai Guru Besar ini. Terima
kasih kepada cucu-cucu tercinta Naya, Arsy, Alisha, Shifa, Byan, dan Farza yang selalu
menghibur kehidupan keseharian kakekmu, menyemangati Kakek- dalam mencapai jabatan Guru
Besar ini. Doa Kekek semoga kalian menjadi insan-insan yang sholeh dan sholihah. Aamiin ya
robbal alamin.
Teriama kasih yang mendalam saya tujukan untuk Ayah Soekarno Hadiprayitno (alm)
dan Ibu Siti Aisyah (alm) yang telah mendidik putra putrimu dengan kasih sayang dan selalu
mendoakan dengan tulus untuk keberhasilan anak-anaknya. Semoga Ibu dan Bapak diampuni
segala dosanya dan diterima segala amal jasa kebaikannya dan Allah SWT memberi tempat yang
sebaik-baiknya diakherat sana.
Ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada kedua mertua Bapak R. Djasuri Hamid
(alm) dan Ibu Siti Burhanah (alm) yang selalu menasehati, memberi contoh bagaimana
menyikapi hidup untuk selalu tawadhu dan tidak mudah menyerah dalam berusaha, semoga

24
Allah SWT menerima amal kebaikan beliau dan menempatkan beliau di tempat yang sebaik-
baiknya di sisi Nya.
Tidak lupa ucapkan terima kasih yang mendalam untuk Kakek Mochamad Ikhwan dan
Nenek Ijiah (alm) yang telah mengasuh saya dengan tulus walau kadang dengan keras demi
kebaikan sejak usia 6 bulan sampai lulus S.R. di Maos. Beliau menganggap saya sebagai anak
bukan cucu lagi, sehingga saya memanggil beliau dengan sebutan Bapak dan Simbok.
Ucapan terima kasih selanjutnya secara tulus kami samppaikan kepada Pak Lik (Oom)
Mudjeri BAE dan Bu Lik Supiyati serta putra-putrinya (Dony, Erwin, dan Erla) yang telah
berkenan menerima saya sebagai anggota keluarga di Komplek Kolombo 52 Yogyakarta dan
menyekolahkan di SMA IKIP Percobaan II bahkan sampai melanjutkan ke FKT IKIP
Yogyakarta waktu itu. Doa saya semoga Allah SWT memberi balasan amal kebaikan beliau yang
berlipat. Aamiin ya robbalalamin.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada adik-adik saya: Susiati, Sulisasti, Sri
Murniasih, Supriyono, Sri Sutiasih, dan Endang Suprihatin (alm) atas doa dan dorongannya
sehingga sya dapat mencapai jabatan Guru Besr.
Akhirnya, sekali lagi saya mengucapkan bayak terima kasih atas kehadiran, perhatian
dan kesabaran para hadirin untuk mengikuti pidato pengukuhan guru besar saya ini. Mohon
maaf bila ada hal-hal yang kurang berkenan. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat,
hidayah, inayah, dan berkah Nya kepda kita semua. Aamiin ya robbal alamin.

Wassalamu’alaikum warohmatulahi wabarokatuh.

25
DAFTAR PUSTAKA

Akker, T. & Van Den  (2009), Curriculum Development Process. diunduh dari
https://www.academia.edu/9140587/Curriculum_development_processes,
Becker G.S. 1993. Human Capital: A Theoritical and Empirical Analysis, with specific a
Reference to Education. 3rd. Chicago and London: The University of Chicago Press.
BPS (2018). Ada tujuh juta penganggurn. https://www.wartaekonomi.co.id/read202982/bps-
catat-ada-tujuh-juta-pengangguran.html, diunduh 10/0/2019.
Delacruz, D.C. (2016). https://www.slideshare.net/DianneCarmelaDelacruz/curriculum-
development-processes-and-models, diunduh 11 Maret 2019.
Depdikbud (1993). Link and Match. Jakarta: Depdikbud.
Depnaker. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Jakarta: Sekretaris Negara Republik Indonesia.
Dewey, J. (1916, EBook 2008). Education and Democracy. Gutenberg: The Project Gutenberg
EBook
Grey, A. (2016). The 10 skills you need to thrive in the Fourth Industrial Revolution, Formative
Content from World Economic Forum, Switzerland. Retrieved on September 17th 2017
from: https://www.weforum.org/reports.
Griffin, D. & Harren, R.V. (1994). Nort Carolina’s First Postsecondary Technical Institution:
Past, Present, and Future. Unpublished doctoral dissertation, University of Georgia,
Athens.

Gulikers, J.T.M. et al. (2004). “A Five-Dimensional Framework for Authentic Assessment”


Educational Technology Research and Development, Vol.52. No.3, pp. 67-86.

Hadiwiratama (1995). Skills Toward 2020 for Global Era. Jakarta: MOEC.
Hermann, M., Pentek, T., & Otto, B. (2016). Design Principles for Industrie 4.0 Scenarios.
Presented at the 49th Hawaiian International Conference on Systems Science.

Kasali, R. (2018). Self Disruptuio. Jakarta: Mizan

Kemendikbud (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor 70 Tahun
2013, tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum SMK-MK.Jakarta:
Kemendikbud.

Kemendikbud (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor 81a Tahun
2013, tentang Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud.

26
Kemendikbud. (2014). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 60/2013 tentang Kurikulum 2013 SMK/MAK. Jakarta: the Indonesian Ministry
of Education and Culture.
Kemendikbud. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 65 Tahun 2013 tentang Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: the
Indonesian Ministry of Education and Culture.
Kemendikbud. (2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jakarta: the Indonesian Ministry of Education and Culture.

Miller, M.D. (1985). Principles and A Philosophy for Vocational Education. Ohio: The
National Center for Research in Vocational Education.
Ornstein, A.C. & Hunkins, F. C. (2004). Curriculum: Foundations, Principles, and Issues.
Boston: Pearson Pub.
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1992 tentang Peranserta Masyarakat dalam Pendidikan
Nasional. Jakarta: Biro Hukum.

Permennaker Nomor 02 Tahun 2016 tentang Sistem Standarisasi Kerja Nasional (SKKNI).
Jakarta: Biro Hukum
Prosser, C. A., & Ouigley, T. A. (1950). Vocational Education in a Democracy. Chicago:
American Tech. Society
Republik Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan Dan KebudayaanNomer 81a
tentang Implementasi Kurikulum Pedoman Umum Pembelajaran. Jakarta: Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Rojewski. J.W. 2009. A conceptual framework for technical and vocational education and
training. In R. Maclean, D. Wilson, & C. Chinien (Eds.), International Handbook of
Education For The Changing World of Work, Bridging Academic and Vocational
Learning. (pp. 19-40). Bonn: Springer.
Schwab, K. (2013). The Global Competitiveness Report 2013–2014 in World Economic Forum
2013. Switzerland: Printed and bound by SRO-Kundig.
Sekretaris Kabinet R.I. (2003). Undang-Undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Jakarta: Setkab R.I.

Sekretaris Kabinet R.I. (2016). Instruksi Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Revitalisasi
SMK untuk meningkatkan mutu dan dy saing SDM. Jakarta: Setkab RI.
Sudira, P. (2016). TVET Abad XX1: Filosofi, Teori, Konsep, dan Strategi Pembelajaran
Vocational. Yogyakarta: UNY Press.
Sutarto, H.P. (2017). Desain Pengembangan Kurikulum Pendidikan Vokasi: Perspektif
Internasional dan Nasional. Yogyakarta: UNY Press.

27
Sutarto. H.P. (2015). Manajemen Mutu Terpadu (MMT-TQM), Teori dan Aplikasi di Lembaga
Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Taba, H. (1962). Curriculum development ; theory and practice. New York : Harcourt, Brace &
World.
Tanjung, C. (2018). Tantangan Generasi Mileniel di Era Disrupsi. https://www.ugm.ac.id/
id/news/17455.
Tyler, R.W. (1949). Basic Principles of Curriculum anf Instrctin. Hicago: The University of Chicago
Press.
UNESCO-Unterbrunner H. (1982). Curriculum Development in Technical & Vocational
Education. Paris: UNESCO.

28

Anda mungkin juga menyukai