Anda di halaman 1dari 18

PEMETAAN LAJU DEFORESTASI HUTAN DI KALIMANTAN SELATAN

MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT


(Studi Kasus Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan)

Proposal Penelitian

Oleh :
REZA MARDIANIS
NIM. 17034052/2017

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2021
A. Judul
Pemetaan Laju Deforestasi Hutan di Kalimantan Selatan Menggunakan Citra
Landsat (Studi Kasus Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan)
B. Bidang Kajian
Elektronika dan Instrumentasi
C. Latar Belakang
Indonesia memiliki luas hutan yang cukup besar yaitu sekitar 120,35 juta hektar.
Dari luas hutan tersebut Indonesia merupakan negara terbesar ketiga yang
mempunyai hutan tropis terluas di dunia setelah Brazil dan Zaire. Luasnya hutan
tropis yang ada di Indonesia membuat Indonesia menjadi salah satu wilayah strategis
dalam mewujudkan peran penyangga bagi kelangsungan kehidupan ekosistem di
bumi (Mutolib & Anam, 2020).
Hutan sebagai paru-paru dunia menyumbang oksigen untuk kehidupan semua
makhluk hidup karena memiliki tumbuh-tumbuhan yang lebat. Hutan menyerap gas
karbon dioksida yang berbahaya bagi manusia dan menghasilkan oksigen yang sangat
dibutuhkan oleh manusia. Namun, ditahun-tahun ini hutan menjadi langka akibat ulah
manusia. Hutan-hutan dimusnahkan untuk kepentingan manusia seperti membangun
pabrik-pabrik padahal hutan merupakan sumber kehidupan bagi manusia (Arif,
n.d.,2016). Ketersediaan sumber daya hutan di Indonesia tergolong sangat melimpah,
berupa kayu atau batang pohon yang memiliki nilai ekonomis sangat menjanjikan.
Namun Eksploitasi kayu secara besar -besaran dapat mengakibatkan terjadinya
deforestasi.
Deforestasi merupakan salah satu contoh perubahan tutupan hutan yang dapat
mempengaruhi kondisi vegetasi serta keseimbangan air sehingga berdampak pada
peningkatan erosi yang terjadi. Erosi mempunyai beberapa faktor penunjang antara
lain iklim, tanah, topografi atau bentuk wilayah, vegetasi penutup tanah dan kegiatan
manusia. Adanya pembangunan kawasan pemukiman dan pengurangan vegetasi akan
merubah tata guna lahan yang berakibat menurunnya daya ikat tanah terhadap aliran
permukaan sehingga terjadilah erosi lahan. Perubahan tutupan lahan dapat
diakibatkan oleh beberapa faktor seperti berubah karena adanya pengaruh aktifitas
manusia maupun berubah secara alami. Faktor yang berperan penting dalam
penggunaan lahan lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Misalnya dari
hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan dan dari lahan pertanian menjadi
kawasan pemukiman dan industri (Asra et al., 2020). Deforestasi di Indonesia
disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya tekanan ekonomi, pertumbunhan
penduduk, ekspansi pertanian dan perkebunan, illegal logging, dan pembangunan
perkebunan kelapa sawit. Selain itu, pembangunan perumahan, pembukaan jalan, dan
kebakaran hutan juga menjadi penyebab lain tingginya deforestasi hutan yang ada di
Indonesia. Salah satu hutan di Indonesia yang mengalami penyusutan adalah hutan di
Kalimantan. Deforestasi hutan di Pulau Kalimantan setiap tahunnya semakin
memprihatinkan. Dari tahun 2000-2009 telah terjadi Laju deforestasi hutan sebesar
319.835,23 ha (Ramdhoni et al., 2019). Berkurangnya luasan hutan di Pulau
Kalimantan ini diikuti dengan penurunan fungsi kawasan hutan. Hal ini dapat
meningkatkan resiko bencana seperti tanah longsor yang akan merugikan masyarakat
setempat.
Bencana merupakan segala bentuk perubahan baik fisik, kimiawi, maupun
biologis yang terjadi pada lingkungan disemua tempat didunia yang berdampak
terhadap kondisi lingkungan. Adapun definisi lain dari bencana berdasarkan Undang
Undang No.24 Tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana dapat menimbulkan kerugian
harta benda bahkan nyawa manusia sehingga harus diperhatikan dan diwaspadai dari
waktu ke waktu karena dapat terjadi kapan saja dan dimana saja.
Kalimantan Selatan merupakan wilayah yang tidak luput dari bencana, walaupun
dalam beberapa kasus, bentuk dan sifatnya berbeda dari bencana di daerah lain di
Indonesia. Berbeda dari bencana di provinsi-provinsi lain di Indonesia, bencana di
Kalimantan Selatan dapat digolongkan khas. Bencana tertentu sangat kecil
kemungkinanya untuk terjadi seperti gempabumi dan letusan gunung berapi.
Sementara itu, bencana musiman dapat terjadi tidak hanya pada musim hujan dan
kemarau saja, tetapi juga terjadi pada peralihan musim. Bencana yang biasa terjadi
antara lain adalah kebakaran hutan, banjir, dan tanah longsor. Bencana-becana ini
biasa terjadi pada daerah yang lokasinya lebih rendah, perbukitan, tepi sungai dan
pegunungan Namun demikian, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, bencana selayaknya tetap harus bisa di prediksi dan segera ditanggulangi..
Longsor merupakan bencana alam yang umum terjadi. Pengaruh luas untuk
daerah yang terkena dampak dan tingkat kehancuran yang tinggi menyebabkan
kerugian ekonomi luar biasa. Longsor disebabkan oleh tingkat kemiringan lereng,
bentuk lereng akibat pelapukan material, dan perubahan tutupan vegetasi lereng dan
beban berlebih. Vegetasi memiliki pengaruh terhadap terjadinya bencana longsor,
longsor jarang terjadi di daerah dengan kondisi vegetasi yang baik tetapi sering
terjadi pada daerah dengan vegetasi yang buruk. Pengaruh vegetasi sendiri tergantung
dari jenisnya, apakah berupa tanaman berbatang besar, kecil, atau bahkan hanya
berupa semak. Tutupan vegetasi terutama mempengaruhi stabilitas lereng di daerah
curam, dipengaruhi dengan kedalaman dari sistem akarnya. Dengan semakin baik dan
kuatnya sistem perakaran suatu vegetasi maka dapat meminimalisir terjadinya
longsor.
Salah satu wilyah yang termasuk dalam rawan bencana longsor di Provinsi
Kalimantan Selatan adalah Kabupaten Banjar. Terdapat wilayah rawan longsor di
Kabupaten Banjar yang meliputi Kecamatan Aranio, Sungai Pinang, Pengaron,
Mataraman, Karang Intan, Simpang Empat, dan Paramasan (Harist et al. 2018).
Kabupaten Banjar terletak di provinsi Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya
adalah Martapura. Secara geografis terletak antara 2° 49’ 55” - 3° 43’ 38” pada garis
Lintang Selatan dan 114° 30’ 20" - 115° 35’ 37" pada Bujur Timur. Kabupaten
Banjar memiliki luas wilayah 4668,50 km2 yang terbagi menjadi 20 kecamatan dan
290 desa/kelurahan, dengan batas wilayah yaitu sebelah Utara berbatasan dengan
Kabupaten Tapin, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tanah Laut dan
Kota Banjarbaru, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kotabaru, dan Sebelah
Barat berbatasan dengan Kabupaten Barito Kuala dan Kota Banjarmasin (Badan
Pusat Statistik Kabupaten Banjar 2021, n.d.).
Selain laju deforestasi hutan yang semakin meningkat, kawasan hutan Indonesia
juga memiliki beberapa permasalahan seperti penggunaan kawasan hutan yang tidak
dikelola dengan baik, yang dapat menyebabkan munculnya lahan kritis salah satunya
di hutan lindung Tahura Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan yang
mengakibatkan berukurangnya wilayah resapan air.
Besarnya dampak dan kerugian yang disebabkan karena berkurangnya kawasan
hutan ini, maka perlu dilakukan penelitian untuk memitigasi dampak tersebut. Pada
penelitian ini akan melihat perubahan kawasan hutan menjadi non hutan yang terjadi
selama tahun 2015 sampai dengan 2020 dengan menganalisis berdasarkan
penggunaan atau pemanfaatan lahan. Penelitian ini akan menggunakan data citra
satelit Landsat 8 OLI untuk melihat laju deforestasi yang terjadi.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang, dapat diambil beberapa rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Berapa penurunan luas hutan di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan
dari tahun 2015 hingga 2020?
2. Bagaimana bentuk peta perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Banjar,
Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2015 sampai 2020?
E. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini diantaranya adalah :
1. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra satelit landsat 8 OLI
tahun 2015 sampai 2020.
2. Hasil akhir merupakan analisis dari peta penggunaan lahan dalam kaitanya
dengan laju penggundulan hutan.
3. Metode yang digunakan untuk memperoleh klasifikasi penggunaan lahan adalah
supervised classification.
F. Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Mengetahui luas penurunan hutan di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan
Selatan
2. Memetakan perubahan tutupan lahan di Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan
Selatan
G. Manfaat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikat kontribusi kepada :
1. Penulis, sebagai syarat untuk menyelesaikan program studi fisika S1 dan
pengembangan diri dalam bidang penelitian fisika.
2. Peneliti lain, sebagai referensi bagi peneliti lain untuk pengembangan
selanjutnya.
H. Kajian Pustaka
1. Hutan
Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang-undang
tersebut, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa
kayu, tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh
masyarakat melalui budidaya tanaman pertanian pada lahan hutan. (Rahmawaty,
2004).
Fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia
sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran
penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Sebagai
fungsi penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat
penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat bertumbuhnya berjuta tanaman.
Namun fungsi hutan dapat terganggu oleh beberapa sebab salah satunya deforestasi
(kerusakan hutan) yang dilakukan secara terus menerus (Putri, n.d.,2014)
2. Deforestasi Hutan
Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor.p.30/Menhut-II/2009
Tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD)
Deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak
berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Reforestasi atau penghutanan
kembali dapat berupa kembalinya hutan alam karena pertumbuhan alami atau
pertambahan hutan tanam dan reboisasi (Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan
Sumber Daya Hutan,2015). Deforestasi ditandai dengan perubahan dari tutupan hutan
menjadi tutupan non hutan.
Deforestasi hutan disebabkan oleh beragam alasan. Hasil identifikasi factor
penyebab deforestasi hutan khususnya di Kalimantan adalah sebagai berikut :
1. konversi hutan alam menjadi areal usaha (seperti kebun kelapa sawit, kebun
karet, hutan tanaman industry, tambang)
2. peladangan berpindah (perambahan)
3. pembalakan liar
4. pembakaran hutan
5. pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum dan social
6. tambak
7. perumahan/pengembang (transmigrasi)
8. penebangan melebihi kapasitas
9. pengelolaan hutan dan penegakan hukum yang buruk
Laju deforestasi hutan ditandai dengan perubahan penggunaan lahan, dan
beberapa pendapat lain bahwa deforestasi di pulau-pulau diluar Jawa terutama adalah
sebagai akibat pertumbuhan kepadatan penduduk dan pertumbuhan jumlah petani
kecil/rakyat di kawasan-kawasan (Hadiyan & Pambudi, 2017).
3. Penggunaan lahan
Penggunaan lahan secara umum tergantung pada kemampuan lahan dan pada
lokasi lahan. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan tergantung pada kelas
kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat yang
menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng permukaan
tanah, kemampuan menahan air dan tingkat erosi yang terjadi. Penggunaan lahan juga
tergantung pada lokasi, khususnya untuk daerah-daerah pemukiman, lokasi industry,
maupun untuk daerah-daerah rekreasi.
Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari
satu sisi peng- gunaan ke penggunaan yang lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe
penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya
fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda. Perubahan penggunaan lahan
dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi
karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk
yang makin meningkat jumlahnya dan keduaberkaitan dengan meningkatnya tuntutan
akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Penggunaan istilah penutupan lahan (land cover) dan penggunaan lahan (land
use) digunakan dalam kajian penataan ruang, namun seringkali dijumpai arti yang
kabur. Banyak sumber yang memisahkan dengan tegas batas keduanya. Penutupan
lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan
penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada obyek tersebut.
Penutupan lahan adalah perwujudan secara fisik dari vegetasi, benda alam, dan unsur-
unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa memperhatikan kegiatan manusia
terhadap obyek tersebut (Suprapto, 2008).
4. Penginderaan jauh
Penginderaan jauh atau inderaja (remote sensing) adalah ilmu untuk
memperoleh informasi tentang obyek, area atau fenomena melalui analisa terhadap
data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung dengan obyek,
daerah maupun fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer, 1979). Alat yang
dimaksud dalam pengertian ini adalah alat pengindera atau sensor. Pada umumnya
sensor dibawa oleh wahana baik berupa pesawat, balon udara, satelit maupun jenis
wahana yang lainnya. Hasil perekaman oleh alat yang dibawa wahana ini selanjutnya
disebut sebagai data penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh satelit
merupakan penginderaan jauh non-fotografik, yang merupakan pengembangan dari
penginderaan jauh fotografik atau fotogrametri. Sebelum tahun 1960 penginderaan
jauh fotografik yang dikenal dengan istilah foto udara (FU) dan digunakan istilah
penginderaan jauh karena sudah merambah ke penginderaan jauh di luar sistem
fotografik (Sutanto, 1987).
Prinsip penginderaan jauh berdasarkan pada pengukuran energy gelombang
elektromagnetik yang dipancarkan oleh sumber energy merambat mengenai objek,
dipantulkan oleh obyek yang kemudian direkam oleh sensor.. sumber gelombang
elektromagnetik yang paling penting di permukaan bumi adalah matahari, yang dapat
berupa cahaya tampak, panas (dapat dirasakan oleh manusia), dan sinar ultraviolet.

Gambar 1. Sistem Penginderaan jauh


Gelombang elektromagnetik dapat berasal dari banyak hal, akan tetapi
gelombang elektromagnetik yang terpenting pada penginderaan jauh adalah sinar
matahari. Banyak sensor menggunakan energi pantulan sinar matahari sebagai
sumber gelombang elektromagnetik, akan tetapi ada beberapa sensor penginderaan
jauh yang menggunakan energi yang dipancarkan oleh bumi dan yang dipancarkan
oleh sensor itu sendiri. Sensor yang memanfaatkan energi dari pantulan cahaya
matahari atau energi bumi dinamakan sensor pasif, sedangkan yang memanfaatkan
energi dari sensor itu sendiri dinamakan sensor aktif (Purwadi, 2001).
Analisa data penginderaan jauh memerlukan data rujukan seperti peta tematik,
data statistik dan data lapangan. Hasil nalisa yang diperoleh berupa informasi
mengenai bentang lahan, jenis penutup lahan, kondisi lokasi dan kondisi sumberdaya
lokasi. Informasi tersebut bagi para pengguna dapat dimanfaatkan untuk membantu
dalam proses pengambilan keputusan dalam mengembangkan daerah tersebut.
Keseluruhan proses mulai dari pengambilan data, analisis data hingga penggunaan
data tersebut disebut Sistem Penginderaan Jauh (Purwadhi, 2001).
5. Citra Landsat
Citra landsat merupakan gambaran permukaan bumi yang diambil dari luar
angkasa dengan ketinggian kurang lebih 818 Km dari permukaan bumi, dalam skala
1:250.000 alam setiap rekaman citra landsat merupakan cakupan area 185 Km x 185
Km sehingga aspek dari objek tertentu cukup luas dapat diidentifikasi tanpa
menjelajah seluruh daerah yang diteliti. Data yang dihasilkan sensor memiliki
kualitas yang berbeda-beda sesuai dengan spesifikasi dari sensor. Salah satu satelit
yang digunakan untuk penginderaan jauh adalah Landsat 8 OLI.
Landsat 8 yang diorbitkan tanggal 11 februari 2013, NASA melakukan
peluncuran satelit Landsat Data Continuity Mission (LDCM). Landsat 8 hanya
memerlukan waktu 99 menit untuk mengorbit bumi dan melakukan liputan pada area
yang sama pada setiap 16 hari sekali. Resolusi temporal ini tidak berbeda dengan
Landsat versi sebelumnya. Satelit landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational
Land Imager (OLI) dengan jumlah kanal sebanyak 11 buah. Untuk lebih rincinya
mengenai spesifikasi citra landsat 8 OLI dijelaskan pada table 1 berikut :
Tabel 1. Karakteristik dan kegunaan 11 Band dalam Landsat 8 OLI
Citra satelit dalam penggunaanya digunakan untuk berbagai analisis spasial.
Setiap analisis memiliki pemakaian band yang berbeda ketika menerapkan logaritma
dalam rumus. Pengolahan citra satelit multy temporal juga harus memperhatikan jenis
spesifikasi citra, karena perbedaan jenis citra memiliki posisi dan letak band yang
berbeda, untuk itu perlu mengenal terlebih dahulu karakteristik dan kegunaan
darimasing-masing citra yang dipakai dalam analisis.
Citra landsat merupakan citra yang dihasilkan dar beberapa spectrum dengan
panjang gelombang berbeda, yaitu:
a. Saluran 4 dengan panjang gelombang 0,5-0,6 m pada daerah spectrum biru, baik
untuk mendeteksi muatan sedimen ditubuh perairan,gosong, endapan suspense
dan terumbu.
b. Saluran 5 dengan panjang gelombang 0,6-0,7 m pada daerah spectrum hijau, baik
untuk mendeteksi budaya, vegetasi, dll.
c. Saluran 6 dengan panjang gelombang 0,7-0,8 m padda daerah spectrum merah,
baik untuk mendeteksi relief permukaan bumi, batas air dan daratan.
d. Saluran 7 dengan panjang gelombang 0,8-1,1 m pada daerah dengan infra merah,
yang lebih kecil untuk mendeteksi relief permukaan bumi bila dibandingkan
dengan saluran 6.

setiap warna dalam citra satelit memberikan makna tertentu. warna pada citra
merupakan nilai refleksi dari vegetasi, tubuh perairan atau tubuh batuan permukaan
bumi. Oleh karena itu, interpretasi geologi melalui citra landsat lebih didasarkan pada
perbedaan nilai refleksi tersebut. Citra landsat adalah citra yang diambil
menggunakan satelit landsat, tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan,
diantaranya :

Kelebihan:
a. Dapat merekam wilayah di permukaan bumi dengan lebih luas/cakupanya lebih
besar.
b. Pada setiap topografi yang ada di permukaan bumi dibedakan dengan warna.
c. Setiap kejadian yang ada di permukaan bumi dapat dibedakan dengan panjang
gelombang yang ada di citra landsat.

Kekurangan:
a. Apabila citra landsat/daerah yang akan dianalisis tertutup awan maka citra
tersebut sulit dianalisis.
b. Peliputan landsat pada musim kering sulit untuk membedakan citra.
Landsat 8 memiliki 11 band , diantaranya band Visible, Near infrared (NIR)
Short Wave Infrared (SWIR), Panchromatik dan thermal. Band 1,2,3,4,5,6,7 dan
9 mempunyai resolusi spasial 30 meter, band 8 mempunyai resolusi spasial 15
meter, sementara band 10 dan 11 resolusi spasialnya 100 meter. Dari masing-
masing band memiliki kegunaan tersendiri untuk melakukan analisis dari citra
landsat tersebut, diperlukan kombinasi band untuk mendapatkan tampilan citra
sesuai dengan tujuan analisis. Detail kegunaan masing-masing band adalah
sebagai berikut:
Tabel 2. Table nilai spectral tiap band citra landsat 8
Table 3. kombinasi band landsat 8 OLI
Sumber:
http://gdsc.nlr.nl/gdsc/en/information/earth_observation/
band_combion
6. Google Earth Engine
Arsip data penignderaan jauh berskala petabyte telah tersedia secara gratis dari
berbagai lembaga pemerintah antariksa. Berbagai alat telah dikembangkan untuk
memfasilitasi pemrosesan data geospasial berskala besar. Pemanfaatan sumber daya
ini masih membutuhkan keahlian dan upaya teknis yang cukup besar. Salah satu
rintangan utama dalam manajemen teknologi informasi dasar yaitu akuisisi
penyimpanan data, mengurai format file yang tidak jelas, mengelola database, alokasi
mesin, pekerjaan dan antrian pekerjaan. Kendala ini membuat banyak peneliti dan
pengguna operasional membatasi akses informasi yang didalamnya banyak tersedia
kumpulan data penginderaan jauh yang lengkap.
Google Earth Engine (Gambar 2) merupakan platform berbasis cloud computing.
Platform ini menjadi solusi dari permasalahan yang sering terjadi dalam pengolahan
data spasial yaitu memerlukan perangkat dengan penyimpanan yang besar dan spek
yang tinggi. Hal ini mudahkan pengguna untuk mengakses sumber daya komputasi
berkinerja tinggi untuk memproses kumpulan data geospasial yang sangat besar tanpa
harus mengalami kesulitan. GEE menyediakan fitur yang dirancang untuk membantu
peneliti dengan mudah menyebarkan hasil mereka kepada peneliti lain, pembuat
kebijakan, pekerja lapangan dan bahkan masyarakat umum. Setelah algoritma
dikembangkan di GEE, pengguna dapat menghasilkan produk data sistematis atau
menerapkan aplikasi interaktif yang didukung oleh sumber daya GEE.
Google Earth Engine terdiri dari katalog data yang siap dianalisis dengan multi
peta byte yang ditempatkan bersama dengan layanan komputasi paralel intrinsik
berperforma tinggi. Hal ini menggunakan Application Programming Interface (API)
yang dapat diakses melalui Internet dan Integrated Development Environment (IDE)
berbasis web terkait yang memungkinkan pembuatan prototipe dan visualisasi hasil
yang cepat. Katalog data mamiliki library besar berisi kumpulan data geospasial yang
tersedia untuk umum, termasuk pengamatan dari berbagai sistem pencitraan satelit.
Semua data ini telah diproses sebelumnya menjadi bentuk yang siap digunakan tetapi
menyimpan informasi yang memungkinkan akses yang efisien dan menghilangkan
banyak hambatan terkait dengan pengelolaan data.
Pengguna dapat mengakses dan menganalisis data dari katalog publik serta data
pribadi mereka menggunakan perpustakaan operator yang disediakan oleh API Earth
Engine. Operator ini diimplementasikan dalam sistem pemrosesan paralel besar yang
secara otomatis membagi dan mendistribusikan komputasi, memberikan kemampuan
analisis throughput yang tinggi. Pengguna mengakses API baik melalui perpustakaan
klien tipis atau melalui lingkungan pengembangan interaktif berbasis web yang
dibangun di atas perpustakaan klien tersebut (Gorelick. 2016).

I. Metode Penelitian
1. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini yaitu Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.
Secara geografis terletak antara 2° 49’ 55” - 3° 43’ 38” pada garis Lintang Selatan
dan 114° 30’ 20" - 115° 35’ 37" pada Bujur Timur. Kabupaten Banjar memiliki luas
wilayah 4668,50 km2 yang terbagi menjadi 20 kecamatan dan 290 desa/kelurahan.
7. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk pada jenis penelitian terapan, dimana penelitian ini
bertujuan untuk memberikan solusi dari sebuah permasalahan secara praktis.
Monitoring area berpotensi longsor melalui perubahan penggunaan lahan di
Kabupaten Banjar yang disebabkan oleh laju deforestasi hutan diharapkan bisa
menjadi solusi dalam menghadapi potensi bencana dan sebagai kesiapsiagaan
masyarakat dan pemerintah.
8. Variabel Penelitian
Variabel penelitian yaitu segala sesuatu yang berpengaruh pada penelitian atau
yang akan dijadikan objek pengamatan untuk diobservasi. Variabel dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
a. Variabel Bebas
Variabel bebas yaitu besaran atau nilai yang dapat diubah. Pada penelitian ini
variabel bebasnya adalah waktu akuisisi data satelit yang digunakan yaitu dalam
rentang tahun 2015 sampai tahun 2020.
b. Variabel Terikat
Variabel terikat yaitu besaran atau nilai yang bergantung pada variabel bebas.
Pada penelitian ini variabel terikatnya adalah laju deforestasi hutan.
c. Variabel Kontrol
Variabel kontrol yaitu variabel yang dibuat tetap sehingga mempengaruhi
terjadinya perubahan pada variabel terikat. Pada penelitian ini variabel kontrolnya
adalah wilayah, yang mana disini wilayah yang diambil adalah Kabupaten Banjar,
Provinsi Kalimantan Selatan.
9. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini digambarkan dengan flowchart seperti berikut:
Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Tahap memperoleh citra
Tahapan awal yang dilakukan dalam memperoleh citra landsat yaitu dengan
mengakses dari situs Google Earth Engine (GEE). Lalu memilih gambar berdasarkan
area of interest (aoi).
b. Pemanggilan band citra
Citra landsat yang dipanggil melalui platform google earth engine karena citra
landsat mempunyai beberapa band dan memiliki fungsi yang berbeda pada setiap
bandnya. Oleh karena itu, harus dilakukan penggabungan band citra terlebih dahulu
agar dapat melalukan analisis data lebih lanjut.
Koreksi atmosfer merupakan salah satu algoritma koreksi radiometrik yang
relatif baru. Koreksi ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai parameter
atmosfer dalam proses koreksi, termasuk faktor musim dan kondisi iklim dilokasi
perekaman citra. Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan gangguan pada
citra akibat pengaruh atmosfer. Koreksi radiometrik ini dilakukan dengan cara
memberikan penajaman pada kontras. Oleh karena itu, dalam pemanggilan citra
melalui google earth engine menggunakan citra landsat top of atmosfer (TOP) yang
berarti citra sudah otomatis terkoreksi radiometric atau bersih dari gangguan yang ada
di udara seperti awan.
c. Klasifikasi citra
Pengklasifikasian ini menggunakan metode supervised classification atau
klasifikasi terbimbing merupakan metode yang dipandu dan dikendalikan oleh
peneliti dalam proses pengklasifikasianya. Klasifikasi terbimbing dilakukan
berdasarkan panduan analisis klasifikasi penutupan lahan dengan membuat sampel
polygon pada kelas-kelas tutupan lahan. Metode yang digunakan adalah maximum
likelihood dengan bantuan java script yang dijalankan melalui platform google earth
engine.
Klasifikasi maximum likelihood mengkelaskan nilai piksel berdasarkan
probabilitas suatu nilai piksel terhadap kelas tertentu dalam sampel piksel.
d. Perhitungan area
e. Uji ketelitian hasil klasifikasi citra
f. Output (layout peta)
Proses akhir dari interpretasi citra adalah membuat hasil akhir (output) yang
berupa peta perubahan penggunaan lahan, baik itu dalam bentuk softcopy atau
hardcopy (print out).
10. Jadwal Penelitian
Jadwal pelaksanaan kegiatan penelitian ini terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap
persiapan, tahap pengumpulan data, dan tahan penyusunan laporan penelitian. Jadwal
ini dapat dilihat pada table berikut :

Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tahap
Persiapan
Pengumpulan data

Penyusunan laporan

Pada tahap persiapan, peneliti merencanakan penelitian yang akan dilakukan,


mencari studi literature berupa teori-teori yang berkaitan dengan penelitian. Tahap
berikutnya yaitu pengumpulan data, yang mana data tersebut berupa data satelit yang
akan digunakan. Tahap terakhir yaitu penyusunan laporan, pada tahap ini dilakukan
proses penyusunan laporan hasil penelitian yang nantinya akan diseminarkan.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Banjar, provinsi Klaimantan Selatan.


Secara geografis lokasi penelitian ini terletak antara 2° 49’ 55” - 3° 43’ 38”
pada garis Lintang Selatan dan 114° 30’ 20" - 115° 35’ 37" pada Bujur Timur.
Ibu Kota K abupaten Banjar adalah Martapura. Kabupaten Banjar memiliki
luas wilayah 4668,50 km2 yang terbagi menjadi 20 kecamatan dan 290
desa/kelurahan, dengan batas wilayah yaitu sebelah Utara berbatasan dengan
Kabupaten Tapin, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tanah Laut
dan Kota Banjarbaru, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Kotabaru,
dan Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Barito Kuala dan Kota
Banjarmasin.
DAFTAR PUSTAKA

Andhono Yekti, Bambang Sudarsono, S. S. (2013). Analisis Perubahan Tutupan


Lahan DAS Citanduy Dengan Metode Penginderaan Jauh Analysis of Citanduy
Watershed Landcover Change With Remote Sensing Method. Geodesi Undip,
2(Sistem Informasi Geografis), 240–252.
Arif, A. (n.d.). Analisis yuridis pengrusakan hutan ( deforestasi ) dan degradasi
hutan terhadap lingkungan. 3, 33–42.
Asra, R., Mappiasse, M. F., & Nurnawati, A. A. (2020). Penerapan Model CA-
Markov Untuk Prediksi Perubahan Penggunaan Lahan Di Sub-DAS Bila Tahun
2036. AGROVITAL : Jurnal Ilmu Pertanian, 5(1), 1.
https://doi.org/10.35329/agrovital.v5i1.630
Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjar 2021. (n.d.). Kabupaten Banjar Dalam
Angka 2021.
Gorelick, Noel, et al. "Google Earth Engine: Planetary-scale geospatial analysis for
everyone." Remote sensing of Environment 202 (2017)
Hadiyan, Y., & Pambudi, H. (2017). Memahami dan Membangun Pendekatan
Penyelesaian Deforestasi dan Degradasi Hutan di Region Sumatera dan
Kalimantan Understanding and Building an Approach for the Solution of
Deforestation and Forest Degradation in Sumatera and Borneo Region.
Proceeding Biology Education Conference, 14, 166–169. https://blog.cifor.org
Kurnain, A., & Soendjoto, M. (2007). Kerusakan dan bencana lingkungan terrestrial
di Kalimantan Selatan serta pencegahan dan penanggulangannya. Prosiding
Temu Ilmiah Terbuka, November. http://eprints.unlam.ac.id/1156/1/ULM 2007
AKurnain BencanaTerestrial.pdf
Mutolib, A., & Anam, K. (2020). Pengelolaan ulayat oleh masyarakat lokal dan
pengaruhnya terhadap deforestasi di hutan produksi dharmasraya provinsi
sumatera barat (. 17(1), 17–31.
Purwadhi. S. H, 2001. Interpretasi Citra Digital. Grasindo Penerbit PT Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Putri, D. H. (n.d.). ANALISIS DEFORESTASI PADA KAWASAN LERENG BARAT
SEULAWAH DARA SEBAGAI REFERENSI MATAKULIAH EKOLOGI DAN
PROBLEMATIKA LINGKUNGAN.
Rahmawaty S.Hut., M. S. (2004). HUTAN : FUNGSI DAN PERANANNYA BAGI
MASYARAKAT Program Ilmu Kehutanan. 1–7.
Ramdhoni, F., Fitriani, A. H., & Afif, H. A. (2019). Identifikasi Deforestasi Melalui
Pemetaan Tutupan Lahan Di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Seminar
Nasional Geomatika, 3, 465. https://doi.org/10.24895/sng.2018.3-0.987
Suprapto. T. & Mukhoriyah, 2008, Inventarisasi Tutupan Lahan di Perbatasan
Papua Mneggunakan Citra Satelit, LAPAN, Bandung.
Sutanto, 1982. Pengetahuan Dasar Fotogrametri, PUSPICS-Fakultas Geografi
UGM, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai