2020
Disusun oleh :
UNIVERSITAS JAMBI
JAMBI
2020
UPAYA MENANGGULAGI PERMASALAHAN DEFORESTASI KARENA
PEMBALAKAN LIAR DI KABUPATEN BATANGHARI DARI MAHASISWA UNJA
UNTUK HUTAN INDONESIA
UNIVERSITAS JAMBI
Persoalan lingkungan hidup bukan merupakan persoalan domestik semata, tetapi telah
menjadi persoalan global. Hal ini terjadi karena konteks lingkungan antara sumber atau
penyebab dan akibat yang ditimbulkan tidak bisa dilokalisasi dengan demarkasi tertentu. Seiring
dengan perkembangan kehidupan modern dalam menghadapi globalisasi serta adanya proses
industrialisasi dan modernisasi, terutama industrialisasi kehutanan telah berdampak besar pada
kelangsungan hutan sebagai penyangga hidup dan kehidupan makhluk hidup didunia. Hutan
merupakan sumber daya yang sangat penting tidak hanya sebagai sumber daya kayu, tetapi lebih
sebagai salah satu bagian komponen lingkungan hidup. Sehingga hutan indonesia merupakan
salah satu pusat keanekaragaman hayati di dunia, dimana indonesia merupakan urutan ketiga dari
ketujuh negara yang disebut megadiversity country.
Penebangan hutan di Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan
menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran mengakibatkan laju
kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar pertahun, sedangkan periode 1997-
2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat
dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran
citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan yang rusak, diantaranya
seluas 59,62 juta hektar yang berada dalam kawasan hutan terutama 32% berada dipulau
Sumatera, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi yang dikuatkan dengan laporan world resource
of enviromentalism dalam kurun waktu 20 tahun kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 43
juta hektar atau setara dengan seluruh luas gabungan negara Jerman dan Belanda.
Dalam hal ini negara dirugikan hingga Rp.45 trilyun per tahun. Setiap tahunnya
kerusakan hutan di Indonesia akibat Illegal logging mencapai 1,6 juta hingga 2,4 juta hektar.
Sedangkan menurut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) konservasi lingkungan, Wetland
Internasional , ada sekitar 48% lahan gambut di Indonesia sudah dirusak, dan sebagian besar
pengrusakan disebabkan penebangan hutan secara liar. Illegal logging adalah rangkaian kegiatan
penebangan dan pengangkutan kayu ketempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu yang
tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan
aturan hukum yang berlaku. Satu diantara banyaknya aktivitas pembalakan liar terhadap hutan
telah terjadi di wilayah Kabupaten Batanghari, Jambi, yang sampai kini masih marak. Hal ini
diketahui dari adanya aktivitas somel dan angkutan kayu yang beroperasi di Desa Kaos,
Kecamatan Pemayung. Aktivitas tersebut membuat resah warga setempat karena daerah yang
dialiri anak sungai batanghari ini menjadi semakin rawan banjir bahkan erosi karena tutupan
hijau yang dulu maksimal karena hutan lestari kini semakin berkurang. Kayu yang diangkut
sejumlah truk tersebut diambil di dua tempat, yakni di Sungai Gelugur desa Kaos dan Sungai
Licing desa Olak Rambahan Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari.
Kabupaten Batanghari memiliki cakupan ruang tutupan hijau yang mencapai 44% dari
keseluruhan area hutan yang dimiliki Provinsi Jambi, dimana konsentrasi dari total tersebut
merupakan hutan primer. Tentu saja hal ini berkorelasi untuk membentuk suatu sistem ekosistem
hutan dengan nilai keanekaragaman hayati tinggi. Namun, berdasarkan laporan Lembaga
Restorasi Hutan Sumatera (LRHS) hanya 19% yang sampai saat ini dapat dipertahankan serta
terhindar dari eksplorasi dan eksploitasi yang tidak ramah lingkungan. Pada tahun 2017 menurut
Adi Wirjono kepala Lembaga Restorasi Hutan Sumatera untuk kabupaten Batanghari laju
deforestasi tertinggi dikarenakan maraknya aktivitas pembalakan liar (illegal logging). Parahnya
lagi wilayah yang seharusnya menjadi zona primer dari perlindungan atas aktivitas pembalakan
juga mulai menipis karena terdampak secara perlahan melalui aktivitas tersebut.
Deforestasi karena pembalakan liar di Kabupaten Batanghari menjadi bom waktu yang
siap untuk menjadi bahaya besar bila tidak ditanggulangi sedemikian rupa, dengan persentase
ketersediaan ruang cakupan hijau yang berada di Sumatera merupakan penyokong nomor 2 di
Indonesia dan untuk provinsi Jambi menempati posisi ke-12 daerah sebaran hutan primer sentral
Indonesia dengan titik tertinggi berada di Kabupaten Batanghari. Menariknya, hal ini justru
dimanfaatkan oleh orang tidak berkepentingan guna meraup pundi-pundi uang dari ketersediaan
hutan yang begitu luas dengan perputaran uang pada bisnis ini pertahunnya mencapai US $123,5
dollar. Angka yang cukup fantastis ini menjadi hal yang wajar apabila pola perambahan hutan
semakin masif dan represif. Namun, hal itu diketahui tidak benar adanya.
Oleh karena itu, saat ini pemerintah kesulitan dalam menembus pola yang dilakukan
oknum tidak bertanggung jawab terhadap permasalahan deforestasi karena pembalakan liar
menjadi tantangan tersendiri yang muncul karena upaya yang dilakukan tidak terstruktur dan
tidak sistematis dalam menempatkan permasalahan ini pada sektor yang urgent untuk segera
ditangani. Melihat kondisi yang semakin memprihantinkan maka tak khayal bila ruang cakupan
hijau ini terus menyusut bahkan hilang karena tidak ada pembaharuan dari perusakan lingkungan
yang terjadi karena adanya pembalakkan liar.
Pada hakikatnya bila melihat pada tataran normatif telah terdapat berbagai instrumen hukum
yang sangat kuat terutama ketika berbicara mengenai pengelolaan dan perlindungan hutan
sebagaimana diamanatkan melalui Undang- Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan,
untuk menelisik keberlakuan kaidah hukum tersebut melalui bagaimana pengaruhnya terhadap
kepedulian masyarakat ataupun perhatian terutama menyikapi pembalakkan liar di Provinsi
Jambi. Sehingga secara empiris aturan tersebut tidak berjalan secara efektif dan berkesesuain
dengan tujuan awalnya.
Menurut Antonius Reuz Peneliti Lingkungan Hidup dari Jerman yang turut mengkaji
peristiwa pembalakkan liar (illegal logging) di Kabupaten Batanghari pada tahun 2015-2017
menyatakan bahwasanya penegakan hukum dan pengaturan secara lebih komprensif terkait
pembalakkan liar di Jambi belum berjalan maksimal dan masih pincang sebelah dalam artian
tidak tercipta sinkronisasi antara aturan hukum dan laju deforestasi yang semakin tinggi di jambi.
Dengan hal ini dapat dipahami bahwa antara aturan yuridis normatif tidak berjalan sebagaimana
dilapangannya karena pola demarkasi yang tidak terbentuk dengan jelas sehingga membuka
ruang kerusakan yang semakin masif karena (illegal logging).
Menurut Aryanto Dwi Rangga ada beberapa faktor yang mengakibatkan masyarakat bahkan
korporasi tidak memperdulikan aturan dan ketatnya mekanisme terkait pengelolaan hutan
dihubungkan dengan kegiatan penebangan liar di kabupaten batanghari yang didasari oleh
beberapa permasalahan yang terjadi, antara lain :
Sinkronisasi Kelembagaan
Sistem pengusahaan melalui HPH telah membuka celah-celah dilakukannya
penebangan liar, disamping lemahnya pengawasan instansi kehutanan. Selain itu
penebangan hutan melalui pemberian hak penebangan hutan skala kecil oleh daerah telah
menimbulkan fragmentasi hutan.
Kebutuhan akan Ketersediaan Bahan Baku
Terdapat kesenjangan penyediaan bahan baku kayu bulat untuk kepentingan
industri dan kebutuhan domestik yang mencapai sekitar 37 juta m 3 per tahun telah
mendorong terjadinya penebangan kayu secara liar. Disamping itu terdapat juga
permintaan kayu dari luar negeri, yang mengakibatkan terjadinya penyelundupan kayu
dalam jumlah besar. Dibukanya kran ekspor kayu bulat menyebabkan sulitnya
mendeteksi aliran kayu ilegal lintas batas.
Lemahnya Koordinasi
Kelemahan koordinasi antara lain terjadi dalam hal pemberian izin industri
pengelolaan kayu antara instansi perindustrian dan instansi kehutanan serta dalam hal
pemberian izin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan antara instansi pertambangan
dan instansi kehutanan. Koordinasi juga dirasakan kurang dalam hal penegakan hukum
antara instansi terkait, seperti kehutanan, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
Kurangnya komitmen dan lemahnya law enforcement
Rendahnya komitmen terhadap kelestarian hutan menyebabkan aparat
pemerintah, baik pusat maupun daerah, ekskutif, legislatif maupun yudikatif, banyak
terlibat dalam praktek KKN yang berkaitan dengan penebangan secara liar. Penegak
hukum bisa “dibeli” sehingga para aktor pelaku pencurian kayu, khususnya para cukong
dan penadah kayu curian dapat terus lolos dari hukuman.
Penanggulangan illegal logging tetap harus diupayakan hingga kegiatan illegal logging
berhenti sama sekali sebelum habisnya sumber daya hutan dimana terdapat suatu kawasan hutan
tetapi tidak terdapat pohon-pohon di dalamnya. Mahasiswa sebagai agen perubahan dan
pembawa paradigma yang lebih terang maka kami memberi sumbangsih ide atau gagasan dalam
penanggulangan illegal logging yang dapat dilakukan melalui kombinasi dari upaya pencegahan
(preventif), penanggulangan (represif) dan upaya monitoring (deteksi). Kami mengharapkan,
berangkat dari gagasan ini, pembaca dan seluruh masyarakat Indonesia, khususnya yang ada di
Jambi untuk dapat bersama-sama menjaga serta memperbaiki hutan kita. Adapun pelaksanaan
deteksi (preventif) terhadap adanya kegiatan penebangan liar secara terstruktur dapat berbentuk
kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
Deteksi secara makro, misalnya melalui potret udara sehingga diketahui adanya indikator
penebangan liar seperti jalur logging, base camp, dsb.
Ground checking dan patroli
Inspeksi di tempat-tempat yang diduga terjadi penebangan liar
Deteksi di sepanjang jalur-jalur pengangkutan
Inspeksi di log pond (IPKH)
Inspeksi di lokasi Industri
Melakukan timber tracking
Menerima dan menindaklanjuti adanya informasi yang datang dari masyarakat
Pemeriksaan dokumen (izin,angkutan dan laporan) perlu lebih intensif, terutama
dokumen laporan dengan meneliti lebih seksama laporan-laporan yang mengandung
kejanggalan-kejanggalan.
DARTAR PUSTAKA
Ditjen PHKA, laporan mengikuti kongres kehutanan sedunia ke V di Durban Afrika Selatan,
2015