Anda di halaman 1dari 9

A.

Kondisi Hutan Indonesia

Indonesia masih memiliki hutan yang lebat pada tahun 1950. Sekitar 40
persen dari luas hutan pada tahun 1950 ini telah ditebang dalam waktu 50
tahun berikutnya. Jika dibulatkan, tutupan hutan di Indonesia turun dari 162
juta ha menjadi 98 juta ha. Laju kehilangan hutan semakin meningkat.
Pada tahun 1980-an laju kehilangan hutan di Indonesia rata-rata sekitar 1
juta ha per tahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta ha per tahun
pada tahun-tahun pertama 1990-an. Sejak tahun 1996, laju deforestasi
tampaknya meningkat lagi menjadi menjadi rata-rata 2 juta ha per tahun.
Hutan-hutan tropis dataran rendah Indonesia yang memiliki persediaan kayu
dan keanekaragaman yang paling tinggi, adalah yang memiliki resiko paling
tinggi. Tipe hutan ini hampir seluruhnya lenyap di Sulawesi, dan
diprediksikan akan lenyap di Sumatera pada tahun 2005 dan di Kalimantan
pada tahun 2010, jika kecenderungan seperti saat ini terus berlangsung.
Hampir setengah dari luas hutan di Indonesia sudah terfragmentasi oleh
jaringan jalan, jalur akses lainnya, dan berbagai kegiatan pembangunan,
seperti pembangunan perkebunan dan hutan tanaman industry, pendukung
politiknya.

Kronisme di sektor kehutanan membuat para pengusaha kehutanan bebas


beroperasi tanpa memperhatikan kelestarian produksi jangka panjang.
Sebagai salah satu cara untuk meningkatkan penerimaan ekspor Indonesia,
dan juga karena keberuntungan yang berpihak kepada perusahaan, paling
sedikit 16 juta ha hutan alam telah disetujui untuk dikonversi menjadi hutan
tanaman industri atau perkebunan. Dalam banyak kasus, konversi
bertentangan dengan persyaratan legal yang mengharuskan pembangunan
hutan tanaman industri dan perkebunan hanya pada areal lahan yang telah
mengalami degradasi, atau pada lahan hutan yang telah dialokasikan untuk
konversi. Pengembangan industri pulp dan kertas yang sangat agresif di
Indonesia dalam dekade terakhir ini telah menimbulkan tingkat permintaan
terhadap serat kayu yang tidak dapat dipenuhi oleh rejim pengelolaan hutan
di dalam negeri pada saat ini. Pembukaan hutan oleh para petani skala kecil
juga cukup penting tetapi bukan merupakan penyebab utama deforestasi.

1. Kondisi Hutan Indonesia tahun 1950

Pada tahun 1950, lembaga yang pada waktu itu disebut Dinas Kehutanan
Indonesia menerbitkan peta vegetasi untuk negara ini. Dari peta ini
disimpulkan bahwa hampir 84 persen luas daratan Indonesia waktu itu
tertutup hutan primer dan sekunder serta perkebunan seperti teh, kopi
dan karet (Lihat Tabel 2.1).

2. Deforestrasi Sejak Tahun 1950

Gambar 2.1 menyajikan ringkasan luas hutan yang berkurang sejak


masa prapertanian sampai tahun 1997. Deforestasi menjadi masalah
penting di Indonesia hanya sejak awal tahun 1970-an, yaitu ketika
penebangan hutan secara komersial mulai dibuka secara besar-besaran.
3. Degradasi Hutan

Dalam upayanya untuk menentukan tingkat degradasi di tipe-tipe hutan


yang terpenting, Forest Watch Indonesia melakukan analisis data spasial
dari Inventarisasi Hutan Nasional. Dari hasil analisis ini disimpulkan,
bahwa pada pertengahan 1990-an, Indonesia memiliki hutan yang
berpotensi rusak dan memang sudah rusak seluas 41 juta ha; 59 juta ha
hutan alam yang belum dialokasikan untuk bentuk konsesi apa saja, dan
9 juta ha hutan yang telah ditebang untuk konversi menjadi hutan
tanaman industri atau perkebunan tanaman keras, atau untuk
kepentingan transmigrasi (Lihat Tabel 2.6). Untuk kepentingan analisis
ini, hutan yang sudah terdegradasi adalah kawasan hutan yang berada di
dalam kawasan HPH. HPH yang aktif melakukan penebangan hutan,
atau yang hutannya telah ditebang di masa lalu (2 atau 3 kali) juga
mengalami tingkat degradasi yang bervariasi. HPH yang sudah tidak
aktif atau tidak berlaku lagi lebih tepat dikatakan sebagai berpotensi
untuk menjadi terdegradasi. Karena tidak ada data yang lengkap tentang
status HPH, pemisahan antara estimasi luas hutan yang memang sudah
terdegradasi dan yang berpotensi untuk menjadi terdegradasi, tidak
dapat dilakukan. Kawasan yang dimaksud sebagai hutan alam dalam
laporan ini hanya dicirikan oleh kenyataan bahwa hutan ini tidak
terancam oleh pembalakan dan konversi dalam waktu dekat.

Konversi hutan alam menjadi berbagai peruntukan terus berlanjut dengan


laju yang sangat cepat. Setiap menitnya hutan alam seluas enam kali
lapangan sepak bola rusak atau berubah menjadi peruntukan lain. Bank
Dunia menaksir bahwa hutan alam dataran rendah Sumatera habis pada
tahun 2005 dan menyusul Kalimantan pada tahun 2010. Data terakhir
menyebutkan bahwa laju deforestasi di Indonesia sudah mencapai 2,83
juta ha per tahun (Dephut, 2005). Tingginya konversi hutan alam menjadi
berbagai peruntukan lahan tersebut diyakini menjadi penyebab utama
tingginya intensitas dan frekuensi bencana banjir dan tanah longsor
sebagaimana kini banyak terjadi di berbagai wilayah di bumi pertiwi.
Disadari bahwa konversi hutan alam tidak selalu berdampak buruk,
bahkan tidak sedikit kisah sukses konversi hutan menjadi tata guna lahan
yang lebih produktif dan lestari. Konversi hutan alam menjadi lahan
sawah, perkebunan teh, karet dan berbagai bentuk wana-tani, termasuk
pekebunan kelapa sawit di Jawa, Sumatera dan Kalimantan telah
membuktikan bahwa konversi hutan alam tidak selalu menunjukkan
wajah yang kurang ramah lingkungan. Namun juga tidak dapat
dipungkiri, bahwa banyak kasus kerusakan lingkungan yang begitu
dasyat sebagai dampak konversi hutan alam. Kegagalan konversi 1 juta
ha hutan alam gambut menjadi lahan sawah di Propinsi Kalimantan
Tengah menjadi pelajaran penting bagaimana konversi hutan alam tidak
dapat dilakukan secara gegabah.

B. Tanggapan dan Kebijakan Yang Akan Dibuat Mengenai Pembalakan


Liar

Selama sepuluh tahun terakhir, laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai


dua juta hektar per tahun. Selain kebakaran hutan, penebangan liar (illegal
loging) adalah penyebab terbesar kerusakan hutan (Soekotjo, 2007). Illegal
logging telah menjadi penyebab utama kerusakan hutan yang sangat parah.
Bahkan lebih dari itu, penebangan haram ini telah melibatkan banyak pihak
dan dilakukan secara terorganisir serta sistematis. Kejahatan ini bukan
hanya terjadi di kawasan produksi, melainkan juga sudah merambah ke
kawasan lindung dan taman nasional. Ada tiga jenis pembalakan illegal.
Pertama, yang dilakukan oleh orang atau kelompok orang, baik yang tinggal
di sekitar hutan atau bahkan jauh berada dari hutan yang tidak mempunyai
hak legal untuk menebang pohon. Kedua, dilakukan oleh perusahaan
kehutanan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang
dimilikinya. Ketiga dilakukan oleh orang-orang tertentu yang
mengatasnamakan rakyat.

Persoalan illegal logging kini sudah menjadi fenomena umum yang


berlangsung di mana-mana. Illegal logging bukan merupakan tindakan
haram yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi sudah menjadi
pekerjaan keseharian. Fenomena illegal logging kini bukan lagi merupakan
masalah kehutanan saja, melainkan persoalan multipihak yang dalam
penyelesaiaanya pun membutuhkan banyak pihak terkait. Permasalahan
mendasar yang dihadapi bagi penegak hukum dalam memberantas illegal
logging disebabkan illegal logging termasuk dalam kategori kejahatan yang
terorganisir, yaitu ada actor intelectualnya, ada pelaku materialnya. Pelaku
material bisa buruhpenebang kayu yang hanya diupah, pemilik modal
(cukong), pembeli, penjual dan acapkali ada backing dari oknum TNI atau
Polri, aparat pemerintah maupun tokoh masyarakat. Di antara mereka selalu
bekerja sama secara rapi, teratur dan solid. Disinyalir ada yang
membackingi, sehingga praktek illegal logging sangat sulit diberantas, dan
kalaupun ditemukan kasusnya yang dipidana bukan actor intelectual atau
cukong, hanya pelaku biasa seperti penebang kayu, pengemudi, atau
nakhoda kapal yang menjalankan kenderaannya.

Pelaku sebenarnya sudah kabur duluan sebelum petugas penegak hukum


dapat menangkapnya. Akibat dari kerusakan hutan akan menimbulkan
dampak-dampak negatif. Salah satunya bencana banjir dan kerusakan
lingkungan itu sendiri. Kerusakan hutan umumnya akibat illegal logging
(IL), sedangkan sebagian kecil sisanya karena untuk pemenuhan kebutuhan
warga yang bermukim disekitar hutan. Untuk mengantisipasi perilaku
masyarakat yang merusak hutan pemerintah daerah perlu mengambil
langkah yang tepat. Penebangan Liar di Hutan-hutan Indonesia merupakan
masalah yang perlu diselesaikan oleh Pemerintah. Karena kerugian yang
didapat oleh negara adalah angka yang besar tiap tahunnya. Selain itu,
dampak dari Penebangan Liar dapat mengakibatkan banjir, tanah longsor,
pemanasan global, bekurangnya habitat satwa, dan masih banyak lagi
dampak-dampak tersebut. Selain itu, Pembalakan Liar merupakan masalah
negeri ini, pembalakan liar juga harus disadari oleh setiap orang akan
pentingnya menjaga lingkungan alam demi anak dan cucu penerus bangsa
ini.
Kebijakan yang akan dikeluarkan mengenai pembalakan liar yaitu sebagai
berikut:

1. Pembentukan badan khusus yang menangani pembalakan liar


Badan Pemberantasan Pembalakan Liar dibentuk untuk memberantas
pembalakan liar yang efektif, mencapai sasaran dan memberikan efek
jera kepada pelakunya. Badan ini mempunya tugas merencanakan.
Menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang terkait dengan
pemberantasan pembalakan liar. Adapun kewenangan yang dimilikinya
adalah:
a. Menyusun kebijakan, strategi, taktik dan rencana pelaksanaan
operasi pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar
b. Menyusun mekanisme dan mengelola laporan masyarakat tentang
dugaan terjadinya pembalakan liar;
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap kasus
pembalakan liar yang telah menimbulkan kerugian lebih dari 1
milyar rupiah, melibatkan aparat negara penyelenggara negara,
penegak hukum dan TNI serta yang telah meresahkan masyarakat.
d. Mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap
pembalakan liar yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di luar
badan;
e. Melakukan pelelangan barang bukti hasil pembalakan liar;
f. Meminta dan memperoleh seluruh status penanganan perkara
pembalakan liar yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di luar
badan;
g. Mengumpulkan, menganalisa, mengevaluasi proses dan hasil
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara pembalakan liar di
sidang pengadilan.
h. Memberikan perlindungan terhadap informan, pelapor, saksi dan
korban.
Badan Pemberantasan Pembalakan Liar diketuai oleh Menteri dan
bertanggungkawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
2. Pembentukan Pengadilan Khusus di Peradilan Umum
Dalam rangka efisien dan efektifitas penegakan hukum terhadap
pembalakan liar dilingkungan Peradilan umum, maka Mahkamah Agung
membentuk Pengadilan Khusus Pembalakan Liar yang mempunyai
wewenang khusus untuk memeriksa, mengadili dan menutuskan perkara
pembalakan liar. Hakim Pengadilan Khusus Pembalakan Liar terdiri
atas hakim karir dan hakim ad hoc yang ditetapkan dan diberhentikan
oleh Presiden.

3. Hukum Acara Pidana


Tata cara pelaksanaa dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan
pembalakan liar berdasarkan pada hukum acara pidana yang berlaku.
Pemeriksaan di sidang pengadilan serta putusan perkara dapat
dilaksanakan oleh hakim tanpa kehdiran terdakwa.

4. Hukum Materiil
Alat bukti pemeriksaan perbuatan pembalakan liar, meliputi: alat bukti
sebagaimana dimaksud dalam KUHP, alat bukti lain berupa informasi
yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dan data, rekaman, atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara
elektronik.

5. Kerjasama Internasional
Dalam rangka pencegahan dan penberantasan pembalakan liar Badan
Pemberantasan Pembalakan Liar dapat bertindak untuk dan atas nama
Pemerintah Republik Indonesia melakukan kerjasama internasional
dengan negara lain maupun organisasi internasional.

6. Perlindungan saksi, korban, pelapor dan informan


Masyarakat yang berperanserta dalam pemberantasan pembalakan liar
perlu mendapatkan perlindungan baik keamanan maupun hukum. Untuk
itu Badan PPL dapat meminta bantuan instansi terkait untuk
memberikan perlindungan kepada saksi, pelapor, korban dan informan.

7. Ketentuan lain.
Penentuan keabsahan hasil hutan kayu bertupa fisik maupun dokumen
hanya dapat dilakukan oleh petugas kehutanan yang ditunjuk oleh Ketua
Badan Pemberantasan Pembalakan Liar. Semua hasil hutan dari hasil
penbalakan liar dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya disita untuk
negara.

8. Pembentukan Kelompok Penyuluh Lapangan Yang Khusus Menangani


Pembalakan Liar
Pembentukan kelompok penyuluh lapangan ini bertujuan untuk
memberikan penyluhan guna menyadarkan masyarakat mengenai
pentingnya sumberdaya hutan bagi kelangsungan hidup manusia.
Peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat ini diharapkan bisa
memperkecil kemungkinan pembalakan liar yang dilakukan oleh
masyarakat.

Soekotjo, A. 2007. Konservasi Hutan. Gramedia. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2005. Laju Deforestasi Lahan Di Indonesia. Balai


Penelitian Konservasi Hutan Indonesia.

FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Indonesia: Forest Watch Indonesia


dan Washington D.C.: Global Forest Watch. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai