Anda di halaman 1dari 7

Upaya Pemulihan Hutan Indonesia dari praktek kelola yang amburadul

Oleh : Deddy Ratih°

Pendahuluan
Membicarakan hutan Indonesia seolah-olah tidak ada habis-habisnya, mulai dari keragaman
hayati yang menjadi salah satu keragaman terkaya di dunia sampai dengan keunikan hutan
hujan tropis yang harusnya menjadi warisan luar biasa bagi dunia. Sebagai negara yang
memiliki luasan hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, Hutan alam Indonesia dihuni oleh
berbagai spesies endemik dimana Indonesia memiliki 10% dari hutan tropis dunia yang masih
tersisa. Alam Indonesia merupakan peringkat ke tujuh dalam keragaman spesies tumbuhan
berbunga, memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui/mamalia (36% diantaranya
spesies endemik), pemilik 16% spesies binatang reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung
(28% diantaranya spesies endemik), 25% dari spesies ikan dunia 121 spesies kupu-kupu
ekor walet di dunia (44% di antaranya endemik), spesies tumbuhan palem paling banyak,
kira-kira 400 spesies 'dipterocarps', dan kira-kira 25.000 spesies flora dan fauna 1, meskipun
luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di permukaan bumi.

Pada tahun 1950-an berdasarkan peta vegetasi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia
pada waktu itu mencatat sekitar 84 persen luas daratan Indonesia (162.290.000 hektar) pada
masa itu, tertutup hutan primer dan sekunder. Peta vegetasi 1950 juga menyebutkan luas
hutan per pulau secara berturut-turut, Kalimantan memiliki areal hutan seluas 51.400.000
hektar, Irian Jaya (Papua) seluas 40.700.000 hektar, Sumatera seluas 37.370.000 hektar,
Sulawesi seluas 17.050.000 hektar, Maluku seluas 7.300.000 hektar, Jawa seluas 5.070.000
hektar dan terakhir Bali dan Nusa Tenggara Barat/Timur seluas 3.400.000 hektar.

Pada tahun 1999, Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia bekerjasama melakukan pemetaan
ulang pada areal tutupan hutan. Menurut survei 1999 itu, laju deforestrasi rata-rata dari tahun
1985-1997 mencapai 1,7 juta hektar. Selama periode tersebut, Sulawesi, Sumatera, dan
Kalimantan mengalami deforestrasi terbesar. Secara keseluruhan daerah-daerah ini
kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya. Kemudian pada periode 1997-2000
deforestasi Indonesia meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Berdasarkan penelitian
World Resouce Institute di tahun 1997, Indonesia telah kehilangan 72% hutan asli yang ada
pada awal abad ini2. Berdasarkan penunjukan kawasan hutan dan perairan Indonesia, saat
ini luas hutan Indonesia adalah 109.961.713,28 hektar yang terdiri dari Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Perlindungan Alam seluas 23.214.626,57 hektar, Hutan Lindung 29.037.397,02
hektar, Hutan Produksi Terbatas 16.215.977,26 hektar, Hutan Produksi Tetap 27.823.177,43
hektar dan Hutan Produksi Konversi 13.670.535,00 hektar 3.

Praktek Kelola Hutan Indonesia


Antara tahun 1985-1997, Indonesia secara keseluruhan telah kehilangan lebih dari 20 juta ha
tutupan hutan atau sekitar 17 persen dari kawasan hutan yang ada pada tahun 1985. Laju
deforestasi di Indonesia semakin meningkat, di mana pada tahun 1980-an laju deforestasi
rata-rata sekitar 1 juta ha pertahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta pertahun
pada tahun pertama 1990-an. Sejak tahun 1996, laju deforestasi tampaknya meningkat lagi

° Manejer Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Eksekutif Nasional WALHI
1 Lihat http://www.globalforestwatch.org/bahasa/indonesia/
2 World Resource Institute, 1997
3 Berdasarkan Statistik Kehutanan 2002, dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan dalam
http://www.dephut.go.id/informasi/statistik/ stat2002/contents_02.htm
menjadi rata-rata 2-3 juta ha per tahun. Pada 1998 – 2000, tiap tahunnya tidak kurang dari
3,8 juta ha (FWI, 2001). Kerugain negara tiap tahun mencapai tidak kurang dari 100 triliun.
Berdasarkan data tersebut, sejak periode 2001-2003, laju kerusakan hutan meningkat lagi
menjadi 4,1 juta ha per tahun dengan kerugian negara 110 triliun.
Akar dari Permasalahan tersebut lebih banyak dikarenakan overcapacity industri pengolahan
kayu, sejak awalnya, harga kayu bulat domestik yang terlalu murah, akibat kebijakan
pemerintah dalam sektor kehutanan dan industri kayu yang tidak tepat, dimana lebih
menguntungkan pengusaha disektor kehutanan ketimbang rakyat sekitar kawasan hutan atau
masyarakat pada umumnya. Melalui konsep dan praktek pembangunan dengan
menggunakan dana pinjaman asing dan hasil penjualan kekayaan hutan (baca alam)
diberbagai pulau demi pertumbuhan ekonomi nasional (Presiden Suharto pada pidato
peresmian Pasar Klewer Solo, 1971). Sejak saat itu Pemerintah Indonesia melepas 64
juta hektare(ha) hutan Indonesia melalui HPH kepada 500-an pengusaha swasta asing
dan nasional, tidak hanya itu saja, lebih dari 30 juta ha kawasan hutan diobral untuk
dikonversikan menjadi perkebunan, pertambangan dan lahan-lahan baru untuk
pertanian monokultur yang diperuntukan kepada ratusan perusahaan.
Penebangan hutan untuk industri (industrial logging) yang tidak terkontrol selama puluhan
tahun telah menyebabkan terjadinya berkurangnya hutan tropis dalam skala besar. Ekspansi
besar-besaran dalam industri kayu lapis dan industri pulp dan kertas selama puluhan tahun
tahun terakhir menyebabkan permintaan terhadap bahan baku kayu pada saat ini jauh
melebihi pasokan legal. Kesenjangannya mencapai 40 juta meter kubik setiap tahun. Banyak
industri pengolahan kayu yang mengakui ketergantungan mereka pada kayu curian,
jumlahnya mencapai 65 persen dari pasokan total pada 2000.

Korupsi dalam pengelolaan hutan


Pada tahun 2006, Human Rights Watch membuat laporan tentang korupsi di sektor
kehutanan Indonesia yang diberi judul “Dana Liar : Konsekuensi Pembalakan Liar dan
Korupsi di Sektor Kehutanan Indonesia pada Hak Asasi Manusia”, dalam laporan tersebut
disebutkan bahwa antara tahun 2003 sampai dengan tahun 2006, lebih dari setengah kayu
tebangan Indonesia merupakan hasil dari pembalakan liar dan luput dari pajak. Subsidi
siluman, termasuk penetapan harga kayu dan nilai tukar mata uang yang oleh pemerintah
sengaja dipatok lebih rendah dari harga riil dan penghindaran pajak oleh eksportir dengan
taktik yang dikenal sebagai “harga transfer” semakin memperbesar kerugian yg ada. Dengan
menggunakan metode yang sama yang digunakan oleh industri kayu serta
memperbandingkan dengan seksama antara konsumsi kayu Indonesia dan pasokan kayu
resmi, maka didapat total kerugian yang menggerogoti kas negara Indonesia pada tahun
2006 sebesar 2 milyar US Dollar.

Angka kerugian sebesar 2 milyar US Dollar yang hilang setiap tahun antara 2003 sampai
dengan 2006 tersebut sama nilainya dengan gabungan seluruh alokasi anggaran untuk
kesehatan Nasional, Provinsi dan Kabupaten di Indonesia. Nilai kehilangan tahunan ini juga
sama dengan perhitungan Bank Dunia terhadap anggaran yang cukup untuk memberikan
layanan dasar kepada 100 juta penduduk miskin selama hampir 2 tahun. Dan Indonesia
sendiri merupakan salah satu negara di Asia dengan anggaran kesehatan perkapita terkecil
bahkan jika dibandingkan dengan negara yang memiliki GDP lebih rendah.

Salah satu kasus terbesar illegal logging di Indonesia namun tidak pernah dituntaskan adalah
kasus illegal logging 14 perusahaan HTI di Riau, dimana kasus yang merugikan negara
trilyunan rupiah itu menguap dengan adanya SP3 dari pihak kepolisian. Berkaca pada kasus
ini nampak jelas bahwa pada level pemerintah, upaya untuk penyelamatan hutan di Indonesia
masih pada tataran wacana.

Perkembangan Pembangunan (Industri) Kehutanan Indonesia


Berdasarkan study IWGFF, Perkembangan industri pulp di Indonesia pesat selama dua puluh
tahun terakhir, meningkat dari 0.5 juta ton pada tahun 1987 menjadi 6.5 juta ton pada tahun
2010 dengan kebutuhan bahan baku sekitar 30 juta m3 setiap tahunnya 4. Dari 7 perusahaan
pulp di Indonesia, kurang lebih 4 juta ton diantaranya dikuasai oleh PT Indah Kiat Pulp and
Paper dan PT Riau Andalan Pulp and Paper di Riau 5, dan selama lima tahun terakhir ternyata
sumbangan bahan baku dari hutan alam kepada industri pulp rata-rata pertahunnya sebesar
54 persen, dan sisanya pasokan bahan baku dari hutan tanaman.

Besaran Gap antara supply dan demand atas kayu yang berakibat pada praktek-praktek
illegal untuk mendapatkan kayu dari hutan tidak dijadikan dasar bagi kebijakan pemerintah
saat ini untuk menata ulang pola produksi sektor kehutanan. Untuk pemenuhan kebutuhan
kayu, saat ini, ada 210 unit perusahaan HTI dengan izin definitif mencapai 8,83 juta ha.
Selain itu, ada 25 unit yang sudah mendapat izin prinsip (sebanyak 484.000 ha) dan yang
dalam tahap pencadangan sebanyak 49 unit seluas 2,7 juta ha, dg kata lain ada 11,53 juta ha
kawasan HTI. Namun realisasi tanam dari HTI tersebut sangat kecil, dimana dari ijin seluas
1,55 juta ha yang diberikan pada kurun waktu 2008, realisasi tanam hanya 63.233 ha 6.

Sementara itu, berdasarkan realisasi penanaman HTI dari 1990-2008 luas areal HTI yang
sudah ditanam seluas 4,292,222 hektar. Angka tersebut menunjukan angka kumulatif total
luas areal HTI yang sudah ditanami sejak awal pembangunan HTI. Sampai tahun 2008
berdasarkan daur tebang 7 – 10 tahun, data realisasi penanaman HTI ini sudah memasuki
daur kedua atau ketiga. Artinya sudah ada pemanenan/penebangan sesuai daur
penebangan. Oleh karena data real luas tanaman yang saat ini ada (existing) belum bisa
dipastikan. Namun dengan menggunakan asumsi daur tebang 7 tahun maka berdasarkan
data realisasi tanam, HTI 2002 – 2008 dapat diperkirakan seluas 1,414,329 Ha 7.

Apabila kita melihat pada rajinnya Kementerian Kehutanan memberikan izin pinjam pakai
kawasan hutan dimana sampai dengan bulan Mei 2010 yang lalu telah diberikan izin untuk
184 unit HTI dengan luasan sekitar 149,5 ribu hektar.

Tabel1. Pencadangan Kawasan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Ribu hektar)

4 Direktori Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (2007).


5 FWI 2008, “Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam”.
6 WALHI 2010, kompilasi data dari berbagai sumber
7 Laporan study Perkiraan Penggunaan Sumber Bahan Baku Industri Pulp & Paper, IWGFF, Desember 2010
Wilayah Alokasi
Hutan Alam Restorasi Hutan Tanaman Hutan Tanaman
Ekosistem Industri Rakyat
Sumatera 90,85 1.042,84 1.404,35 3.394,86
Nusa Tenggara 109,62 114,82 415,22
Kalimantan 2.078,19 3.352,20 4.692,16 440,33
Sulawesi 1.080,65 925,41 766,56 291,29
Maluku 1.063,68 1.005,53 1.396,52 289,32
Papua 8.915,99 1.024,69 813,56 701,73
Sumber : Kementerian Kehutanan 2011

Ditahun 2011 Kemenhut mencadangkan 9,1 juta ha untuk HTI dari 35,4 juta ha kawasan yang
dianggap Kemenhut sebagai kawasan terdegedrasi. Ditahun 2011 Menteri Kehutanan telah
menerbitkan ijin definitif bagi 12 investor HTI seluas 373.308 hektar. Dengan demikian maka
kawasan hutan alam yang dirubah menjadi kawasan hutan monocultur semakin besar
sementara produktivitasnya sampai saat ini masih rendah.

Pemberian insentif yang berlebih di sektor industri kehutanan tersebut berdampak pada
malasnya pengusaha untuk mendorong produktivitas dari hutan tanaman dan semakin
mengandalkan pada penebangan hutan alam sebagai penyedia bahan baku industri-industri
kehutanan.

Problem Berkelanjutan di sektor Kehutanan


Dari tahun ketahun, problem dasar sektor kehutanan hampir sama, dimana terjadi tumpang
tindih perijinan di kawasan hutan yang menimbulkan konflik baik itu konflik vertikal maupun
konflik horizontal. Konflik tersebut semakin meruncing dimana tidak ada jatah untuk
masyarakat dalam pengelolaan hutan, sampai dengan tahun 2010 ini terdapat 19.420 desa di
kawasanan hutan di 32 provinsi; Di dalam Kawasan Hutan Lindung 6.243 desa; Di dalam
Kawasan Konservasi 2.270 desa; Di dalam Kawasan Hutan Produksi 7.467 desa; Di dalam
Kawasan Hutan Produksi Terbatas 4.744 desa; Di dalam Kawasan Hutan Produksi Konversi
3.848 desa. Sampai dengan tahun 2010, ada 22,5-24,4 jt Ha konflik (klaim) desa/kampung
atas kawasan hutan. Disisi lain Izin pinjam pakai kawasan hutan yg terdaftar di Kemenhut
sampai dengan bulan Mei 2010 tercatat telah diberikan izin untuk 184 unit kegiatan usaha.
Fakta kekacauan penetapan kawasan hutan dapat dilihat dari kasus kawasan transmigrasi
Desa Sungai Deras, Kecamatan Teluk Pekadai, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat,
dimana kawasan yg dihuni sekitar 4000 keluarga transmigrasi tersebut dimasukan kedalam
peta kawasan hutan lindung gambut berdasarkan SK Menhut nomor 259 tahun 2000.
Padahal sejak tahun 1954 kawasan tersebut sudah menjadi kawasan transmigrasi.

Bila kita lihat pada tabel 1 diatas, perbandingan antara penyediaan kesempatan untuk
partisipasi masyarakat dalam pengusahaan kawasan hutan sangat rendah dimana alokasi
untuk partisipasi masyarakat masih sangat jauh dibandingkan untuk pengusaha atau swasta
besar.

Pengelolaan hutan berbasis keadilan dan lokalitas


Dalam berbagai kesempatan selalu disebutkan bahwa kepentingan rakyat merupakan salah
satu hal yang diperjuangkan pemerintah dalam pembangunan, namun melihat dari berbagai
regulasi dan kenyataan yang ada, fasilitasi kepentingan rakyat yang hidup dalam kawasan
maupun dipinggiran kawasn hutan masih sangat minim ditambah rumit dan sulitnya rakyat
secara langsung untuk mengakses berbagai skema model kelola yang ditawarkan oleh
pemerintah melalui Kementerian kehutanan menimbulkan ketimpangan baru. Pengalaman
memfasilitasi beberapa desa untuk mengakses skema kelola Hutan Desa memberikan
gambaran betapa lemahnya dukungan aparatus ditingkat pemerintah terhadap hal ini, alasan
utama yang hampir selalu terlontar dari aparatus kehutanan adalah ketidak percayaan
mereka akan kemampuan masyarakat untuk mengelola hutan, mereka lebih yakin bahwa
apabila hutan dikelola oleh perusahaan maka akan mendatangkan keuntungan besar, dan
rakyat cukup hanya menjadi buruh-buruh diperusahaan-perusahaan tersebut.

Minimnya dukungan ini memperlihatkan betapa terbelakangnya paradigma aparatus


pemerintah dan minimnya pengetahuan mereka tentang kondisi dan kenyataan di tingkat
lapang. Dari sini bisa kita lihat bahwa kesenjangan yang terjadi justru ditimbulkan oleh
kebodohan aparatus pemerintah, pemiskinan secara sistematik terjadi karena model kelola
yang berkeadilan tidak menjadi dasar dalam tindakan dan pemikiran pengelolaan hutan
secara lestari dan berkeadilan. Pengarus utamaan korporasi sebagai tulang punggung
pengelola kawasan hutan merupakan kecelakaan berpikir yang fatal karena terbukti sejak
awal ketidak mampuan korporasi mengelola hutan secara lestari. Data yang dilansir oleh
APHI menunjukan bahwa saat ini dari sekitar 80 juta hektar kawasan hutan produksi, 28 juta
hektar merupakan kawasan kelola HPH dimana ada sekitar 300 HPH yang menguasai
kawasan tersebut namun dari sekian besar jumlah HPH tersebut, hanya sekitar 50% saja
yang masih aktif. Sementara itu terdapat 52 juta hektar kawasan hutan produksi yang belum
dibebani hak namun keberadaannya tidak diketahui secara pasti, maksudnya sejauh ini
belum ada inventarisasi yang mendalam untuk bisa menggambarkan kondisi dan situasi
kawasan tersebut.

Kecenderungan semakin berkurangnya HPH dan terpuruknya HPH di Indonesia


mengidentifikasikan bahwa kemampuan daur produksi dari HPH dari tahun pertahun semakin
berkurang. Terlebih bila kita mengacu pada HPH-HPH besar di masa orde baru yang hampir
semuanya sekarang tiarap. Dan kegagalan kelola hutan berbasis korporasi ini tidak pernah
menjadi pembelajaran yang berarti. Dari sekitar 32 juta hektar kawasan eks HPH, saat ini
sekitar 10 jutanya dikelola oleh Hutan Tanaman Industri, yang sebagaimana penuturan di
atas memiliki tingkat produktivitas yang rendah. Kondisi obyektif kelola hutan saat ini
memperlihatkan ciri-ciri sebagaimana berikut :

- Orientasi pengelolaan lebih berfokus pada bisnis ekstraksi.


- Hutan dipandang semata-mata dari sudut penyedia bahan mentah
- Hutan tidak dipandang sebagai faktor penyedia jasa lingkungan
- Tidak pernah dilakukan audit terhadap kemampuan dan daya dukung dari installed
industry (kapasitas industri terpasang jauh lebih besar dibanding kemampuan hutan
alam dan HTI dalam menyediakan bahan baku kayu)
- Hutan sebagai bisnis ekstraksi cenderung menjadi mesin uang (Politik Konversi)
- PAD dari ekstraksi hutan cenderung semakin kecil dibanding beban APBD untuk
memperbaiki infrastruktur yag rusak akibat kelebihan daya dukung hutan tersebut
(contoh kasus banjir dan kebakaran hutan/kabut asap)
- Besarnya pengaruh industri kehutanan, konversi hutan serta pinjam pakai kawasan
hutan terhadap berbagai kebijakan penataan ruang diberbagai propinsi.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, sudah seharusnya pemerintah melakukan audit


menyeluruh terhadap kelola korporasi yang menjadi basis pilihan selama ini. Pilihan untuk
moratorium saat ini sebenarnya sebuah pilihan yang tepat, kendati demikian, moratorium
setengah hati ini pun tidak akan mendatangkan hasil yang baik bagi keberlanjutan hutan dan
kesejahteraan rakyat apabila basis pikir aparatus masih pada upaya-upaya eksploitasi
kawasan hutan dan bertumpu pada korporasi.

Moratorium sebagai solusi


Mendorong penyelamatan hutan lewat komersialisasi hutan dengan mendorong swasta
sebagai motor utama melalui pemberian IUPHHK-RE atau dikenal juga dengan nama HPH-
Restorasi Ekosistem justru akan semakin memperparah kompleksitas permasalahan
kehutanan Indonesia, demikian juga dengan mendorong skema-skema mitigasi perubahan
iklim yang berbasiskan pada pasar serta carbon offset. Sistem dan mekanisme yang
dibangun dalam skema mitigasi ini tidak dilandaskan atas kebutuhan mendasar
penyelamatan hutan dan distribusi kesejahteraan warga. Skema yang dibangun lebih
mendorong pada memfasilitasi kebutuhan negara-negara industri untuk tetap bisa membuang
emisi dan mengotori bumi. Dan kedua hal tersebut justru memperparah permasalahan
kehutanan di Indonesia. Jalan satu-satunya untuk mencegah kekacauan dan membesarnya
kerusakan hutan di Indonesia adalah dengan melakukan Moratorium penebangan hutan alam
dan konversi hutan.

Moratorium pemberian ijin baru dan konversi hutan atau Jeda Tebang adalah berhenti
sejenak dari aktivitas penebangan dan konversi hutan. Tujuannya adalah untuk mengambil
jarak dari masalah agar didapat jalan keluar yang bersifat jangka panjang dan permanen.
Jadi dampak yang diharapkan dari sebuah moratorium tidak dampak sesaat tetapi jangka
panjang, dampaknya juga harusnya meluas dan memberikan jaminan terhadap penyelesaian
problematika sektor kehutanan yang kompleks sehingga Moratorium tidak bisa dilakukan
dengan hanya dua tahun tanpa ada prinsip dan kriteria yang menjadi pijakannya. Dukungan
terhadap moratorium hendaknya juga dilakukan oleh korporasi dengan membuat rencana
kerja jangka panjang selama proses moratorium berlangsung. Dimana asumsi yang
digunakan oleh korporasi harusnya mengacu pada kondisi dimana ada keharusan untuk tidak
menggunakan hutan alam sebagai bahan baku dan tidak ada konversi selama proses itu
berlangsung.

Dengan jeda, seluruh kepentingan bisa dipinggirkan terlebih dahulu untuk kemudian
permasalahan didalam tata kelola dan kebijakan yang tumpang tindih bisa diperbaiki.
Demikian halnya dengan penyelesaian konflik, peraturan perizinan dan sistem kelola hutan
rakyat bisa dilihat secara lebih jernih. Moratorium akan memberikan keuntungan ganda
dalam perbaikan pengelolaan sumberdaya hutan dan industri perkayuan yang berkelanjutan,
seperti antara lain:
a) Memberikan ruang politik dan ekologi kepada hutan alam untuk ‘bernafas’ dan menahan
berlanjutnya kehancuran hutan tropis di Indonesia;
b) Memberikan kesempatan terbaik untuk memonitor pelaksanaan lacak balak (timber-
tracking) dan audit kayu bulat;
c) Memberikan kesempatan untuk menata industri kehutanan dan hak-hak tenurial
(penguasaan) sumber daya hutan;
d) Mengkoreksi distorsi pasar kayu domestik dengan membuka keran impor seluas-luasnya;
e) Lewat mekanisme pasar, melakukan restrukturisasi dan rasionalisasi industri olah kayu
dan mengkoreksi over kapasitas industri: hanya industri yang melakukan bisnis dengan
benar dan bersaing yang dapat melanjutkan bisnisnya dan yang mengandalkan suplai
kayu haram dengan sendirinya tidak akan mampu bersaing;
f) Lewat mekanisme pasar, memaksa industri olah kayu meningkatkan efisiensi pemakaian
bahan baku; dan lewat mekanisme pasar, mendorong industri pulp untuk secara serius
membangun hutan-hutan tanamannya.

Indonesia akan mengalami kerugian besar pada masa yang akan datang apabila tidak
memberlakukan moratorium secara benar saat ini, seperti sebagai berikut:
a) Pemerintah tidak dapat memonitor kegiatan penebangan haram secara efektif;
b) Distorsi pasar tidak dapat diperbaiki dan pemborosan kayu bulat akan terus terjadi;
c) Tidak ada paksaan untuk industri untuk meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku
d) Industri akan menunda-nunda pembangunan hutan-hutan tanaman dan semakin
menghancurkan hutan alam;
e) Defisit kehutanan akan terus bertambah;
f) Hutan dataran rendah Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi akan habis pada 2012 dan
hutan dataran rendah Papua akan habis pada 2022;
g) Indonesia akan kehilangan basis industri diluar pulp yang menghasilkan devisa sebesar
US$ 4 milyar dan bila sumberdaya hutan habis, dan ratusan ribu pekerja kehilangan
pekerjaannya dalam masa 7 tahun mendatang.

Selama Proses moratorium, hal yang utama dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan
perbaikan terhadap tatakelola, penata batasan, distribusi lahan untuk rakyat melalui reforma
agraria mengembangkan protocol resolusi konflik, mengembangkan standar pelayanan
ekologi sebagai pijakan mengeluarkan kebijakan pada sektor kehutanan, perkebunan dan
pertambangan, mengembangkan pengelolaan hutan berbasis pada masyarakat terutama
memberikan hak kepada masyarakat adat dalam mengelola kawasannya serta mengatur
dengan ketat lalu lintas perdagangan kayu. Tentu saja selama proses moratorium industri-
industri kehutanan harus dapat tetap berjalan, ini dimulai dengan melakukan audit,
mengevaluasi kinerja dan kemampuan produktivitas lestari berdasarkan standar pelayanan
ekologi. Dari hasil tersebut, maka mekanisme insentif dapat diberlakukan bagi industri-
industri yang mampu memenuhi kriteria dan standarisasi ketat. Sementara bagi yang tidak
memenuhi kriteria akan secara langsung tercerabut dari bisnisnya. Pemerintah dapat
mengeluarkan sebuah regulasi dasar bagi proses-proses tersebut diatas selama benar-benar
memikirkan keberlanjutan Indonesia dan menitik beratkan perlindungan terhadap
keselamatan warga negara dengan melestarikan hutan dan mendorong lebih luas peran
masyarakat dalam mengembangkan ruang-ruang produktifitasnya.

Anda mungkin juga menyukai