Anda di halaman 1dari 10

BIODIVERSITY / KEANERAGAMAN HAYATI DI KESATUAN

PENGELOLAAN HUTAN (KPH) BATU TEGI- WAY RILAU PROVINSI


LAMPUNG

LAPORAN PRAKTEK LAPANGAN EKOLOGI TERAPAN

PROGRAM STUDI PASCA SARJANA MULTIDISPLIN

MAGISTER ILMU LINGKUNGAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

TAHUN 2022/2023
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hutan adalah wilayah daratan yang didominasi oleh pepohonan. Ratusan definisi
hutan digunakan di seluruh dunia, menggabungkan faktor-faktor seperti kerapatan
pohon, tinggi pohon, penggunaan lahan, kedudukan hukum, dan fungsi ekologis.
Organisasi Pangan dan Pertanian mendefinisikan hutan sebagai lahan yang
membentang lebih dari 0,5 hektar dengan pohon-pohon lebih tinggi dari 5 meter dan
tutupan kanopi lebih dari 10 persen, atau pohon-pohon yang mampu mencapai
ambang batas ini secara in situ. Ini tidak termasuk lahan yang didominasi oleh
penggunaan lahan pertanian atau perkotaan. Menggunakan definisi ini, FRA 2020
menemukan bahwa hutan mencakup 4,06 miliar hektar atau sekitar 31 persen dari
luas daratan global pada tahun 2020. Hutan adalah ekosistem terestrial yang dominan
di Bumi, dan tersebar di seluruh dunia. Lebih dari separuh hutan dunia hanya
ditemukan di lima negara (Brasil, Kanada, Cina, Federasi Rusia, dan Amerika
Serikat). Bagian terbesar dari hutan (45 persen) ditemukan di domain tropis (hutan
tropis), diikuti oleh domain boreal, beriklim sedang dan subtropis.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang kaya akan biodeversitas dan
keanekaragaman hayati hutannya. Namun selama beberapa dekade terakhir kerusakan
sumberdaya hutan alam di Indonesia terus meningkat. Puncaknya adalah sejak
dimulainya era reformasi tahun 1998 sampai dengan 2004. Pada saat itu perubahan
kondisi politik yang dramatis tidak hanya menerpa perubahan tata kelola pemerintah
pusat dan daerah tetapi juga menerpa tata kelola kewenangan dan pemanfaatan
sumberdaya hutan. Pembentukan otonomi daerah ternyata tidak membawa kondisi
yang lebih baik terhadap kondisi sumberdaya hutan. Kerusakan sumberdaya hutan
ternyata semakin berat karena pemerintah daerah sebagai pemerintahan otonomi telah
menjadikan kawasan hutan juga sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Lampung merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mengalami situasi seperti
diuraikan di atas. Kawasan hutan di Provinsi Lampung pada kenyataan lapangan telah
mengalami perubahan penggunaan. Di sisi lain kebutuhan akan hasil sumberdaya
hutan ternyata semakin lama semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan
ekonomi dan penduduk. Melihat pengaruh akan kondisi tersebut, Pemerintah dalam
hal ini Kementerian Kehutanan berusaha mencari format kebijakan untuk
menciptakan model pengelolaan hutan yang optimal, efisien, dan lestari melalui
pembentukan kelembagaan pengelolaan hutan di tingkat tapak dalam bentuk
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) pada setiap fungsi kawasan hutan. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. PP Nomor 3 tahun 2008 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan
dijelaskan bahwa Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disingkat KPHadalah
wilayah unit terkecil pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang
dapat dikelola secara efisien dan lestari. Sesuai dengan PP Nomor 44 tahun 2004
pasal 32 ayat (1) bahwa institusi pengelola kehutanan RPHJP KPHL Batutegi Tahun
2014 - 2023 2 bertanggung jawab terhadap pengelolaan hutan yang meliputi antara
lain: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengelolaan, serta pengendalian
dan pengawasan.

Pemerintah Provinsi Lampung kemudian menyusun Rancang Bangun KPH dan


Action Plan KPH Provinsi Lampung yang kemudian ditindaklanjuti oleh
Kementerian kehutanan RI dengan menetapkan 16 wilayah yang terdiri dari 9 unit
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan 7 unit Kesatuan Pengelolaan
Hutan Produksi (KPHP) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
68/Menhut-II/2010 tanggal 28 Januari 2010. Dengan dibaginya kawasan hutan
menjadi wilayah-wilayah KPH yang selanjutnya akan dibentuk institusi
pengelolanya, maka diharapkan hutan akan dikelola secara lebih baik. Dari 16
wilayah KPH tersebut, tiga diantaranya adalah unit KPH provinsi, yaitu KPHP Muara
Dua di Kabupaten Way Kanan dan Tulang Bawang Barat, KPHP Gedong Wani di
Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Timur serta KPHL Batutegi yang berada
di empat wilayah administrasi kabupaten, yaitu Kabupaten Tanggamus, Pringsewu,
Lampung Barat dan Lampung Tengah.

Wilayah KPHL Batutegi memiliki peran yang cukup strategis. Secara geografis
KPHL Batutegi terletak pada 104°27’ - 104°54’ BT dan 5°5’ - 5°22’ LS. Dengan
wilayah kelola yang cukup luas yaitu 58.162 hektar (SK Menteri Kehutanan Nomor
650/Menhut-II/2010) dan berada di kawasan hutan Register 39 Kota Agung Utara
(sebagian), Register 22 Way Waya (sebagian), dan Register 32 Bukit Rindingan,
yang seluruhnya mempunyai fungsi sebagai hutan lindung, areal ini menjadi salah
satu DAS prioritas di Provinsi Lampung karena berfungsi sebagai catchment area
bendungan Batutegi dan mengairi salah satu sungai besar, yaitu Way Sekampung.
Kawasan KPHL Batutegi sebagian besar merupakan cacthment area bendungan
Batutegi yang menjadi salah satu area penting di Provinsi Lampung. Areal ini terdiri
dari kawasan hutan seluas +35.711 Ha (82,28 %) dan areal penggunaan lainnya
seluas + 7.693 Ha (17,72 %). Jenis tanah di dalam wilayah KPHL Batutegi di sebelah
barat secara umum didominasi oleh jenis tanah alluvial adapun di sebelah timur
didominasi oleh jenis tanah latosol dan di beberapa bagian kecil di daerah ketinggian
didominasi oleh jenis tanah regosol, sedangkan tipe geologinya adalah sebagai
berikut : di sebelah timur didominasi oleh volcanic, di bagian tengah oleh granitoid
dan disebelah barat oleh clastic sediment.

Hutan Lindung Batutegi menyimpan potensi keanekargaman satwa, terutama di blok


inti. Hal ini diungkapkannya berdasarkan survei biodeversitas pada KPHL Batu tegi
yang dilakukan IAR Indonesia pada tahun 2017 didapatkan hasil dan kajian sebagai
berikut : 8 jenis primata yang 6 diantaranya masuk kategori dilindungi. Kemudian
dijumpai juga 11 jenis reptil dan amfibi, 15 perjumpaan dengan mamalia, dan 80 jenis
burung yang teridentifikasi. Untuk jenis primata yang berhasil terdokumentasikan
adalah siamang (Symphalangus syndactylus), simpai (Presbytis melalophos), kukang
sumatera (Nyticebus coucang), owa ungko (Hylobates agilis), tarsius (Cephalopachus
bancanus), lutung (Trachypithecus cristatus), monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina). Jenis satwa lainnya yang
terdokumentasi dari pihak IAR adalah kambing gunung (Capricornis sumatraensis),
beruang madu (Helarctos malayanus), kucing emas (Pardofelis temninckii), dan tapir
(Tapirus indicus). Namun, keberadaan hutan lindung nyatanya tidak lepas dari
ancaman deforestasi dan kerusakan hutan yang berpotensi mengakibatkan kepunahan
flora. Penurunan luas dan kerusakan hutan lindung terhitung sejak 1997 sampai 2002
justru dua kali lebih besar dari kerusakan hutan produksi, dan umumnya disebabkan
oleh penebangan hutan dan konversi lahan (Ginoga dkk., 2005). Di provinsi
Lampung, kerusakan hutan lindung sampai tahun 2017 memperlihatkan angka yang
cukup tinggi, yaitu sebesar 60,50 % (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2018).
Untuk mengantisipasinya, maka perlu dilakukan pemantauan secara berkala terhadap
kondisi vegetasi serta biodeversitas di Hutan Lindung Batutegi, terutama terkait
potensi tumbuhan dan hewan yang ada. Keinginan untuk melestarikan dan mengelola
kawasan hutan lindung juga akan semakin tinggi apabila potensi dari jenis tumbuhan
dan hewan yang ada di dalamnya diketahui.Akan tetapi, data dan informasi tentang
tumbuhan di Hutan Lindung way rilau - Batutegi belum tersedia secara memadai.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian dalam bentuk mini riset praktek lapangan
mengenai keanekaragaman tumbuhan dan potensinya di Hutan Lindung way rilau -
Batutegi.

2. Tujuan kegiatan lapangan


Adapun kegiatan praktek lapangan ini bertujuan sebagai berikut :
a. Untuk mengumpulkan data dan informasi tentang keanekaragaman hayati
di kesatuan pengelolaan hutan (KPH) Batu Tegi- Way Rilau.
b. Untuk mengetahui jenis-jenis spesies yang ada di wilayah KPH Batu Tegi,
serta memantau kondisi habitat dan populasi spesies-spesies tersebut.
c. Untuk melihat vegetasi yangterdapat dalam wilayah kesatuan pengelolaan
hutan (KPH) Batu Tegi- Way Rilau.
d. Untuk mengidentifikasi potensi keanekaragaman hayati, sehingga dapat
digunakan sebagai dasar dalam mengembangkan dan mengelola sumber
daya hayati secara lestari.
e. Memenuhi tugas praktek yang diberikan oleh dosen pengampu sebagai
sarana pembelajaran terhadap kelimuan ekologi terapan yang diperoleh di
prodi pasca sarjana unila.

3. Metode kegiatan dilapangan


a. Tempat, Waktu dan jumlah peserta kegiatan.
Penelitian ini dilaksanakan di kesatuan pengelolaan hutan (KPH) Batu
Tegi- Way Rilau pada bulan 03 – 04 Desember 2022. Lokasi kegiatan
merupakan bagian hutan lindung Batu Tegi- Way Rilau yang merupakan
hulu DAS sekampung. Kegiatan ini dilaksanakan oleh mahasiswa S2
Magister Ilmu Lingkungan Universitas lampung sebanyak 18 orang dengan
2 dosen pendamping kegiatan.

b. Bahan dan alat kegiatan.


Karena kegitan ini dilaksanakan untuk menumpulkan informasi mengenai
biodiversitas/keanekaragaman hayati pada Kesatuan pengelolaan hutan
(KPH) Batu Tegi. Maka alat praktek lapangan yang digunakan antara lain:
alat tulis (ATK), papan tulis portable, formulir kegiatan, alat ukur (meteran
gulung, meteran biasa), kalkulator (untuk menghitung vegetasi), tali raffia
untuk mebuat plot vegetasi, patok area perhitungan, botol sampel air bersih
(untuk sampel air pada perhitungan TSS dan TDS), larutan Iodine (untuk
traping serangga tanah), PH meter air, PH meter tanah, salinitas (kadar
garam) test kit, thermometer digital, kamera digital (dokumentasi satwa)
dan komputer.

c. Metode pengumpulan dan sumber data.


Metode pengumpulan data yang digunakan dalam praktek lapangan ini
adalah pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
dari pengukuran vegetasi dan identifikasi flora dan fauna secara langsung
di lokasi penelitian melalui plot pengukuran , pengambilan
sampel/specimen dan pengamatan prilaku hewan pada saat tertentu
(menggunakan alat bantu kamera). Kemudian untuk data sekunder
dikumpulkan melalui wawancara langsung kepada responden yaitu petugas
IAR (Internasional rescue Animal) yang berada dilapangan kdan didukung
dengan sumber dokumentasi buku/laporan dari IAR.

d. Metode pengambilan sampel.


a) Metode ini menggunakan kuadrat berukuran tertentu yang ditempatkan
secara acak di wilayah yang akan diamati, kemudian semua tumbuhan di
dalam kuadrat tersebut dihitung dan dicatat. Pada pengukuran vegetasi
tanaman metode yang dipakai adalah metode kuadrat. Pada masing-
masing lokasi (terdiri dari 2 lokasi dan 2 kelompok ) di KPH batu tegi –
way rilau kemudian dihitung luas area cuplikan (LAC) dengan rumus
sebagai berikut : Luas area cuplikan (LAC) = 1 % x Luas free area total.
Setelah ditemukan luas area cuplikan, kemudian dihitung jumlah plot
(titik) dengan ketentuan sebagai berikut: Jumlah plot = Luas area
cuplikan / Luas plot Nb: Luas plot untuk pohon = 20 x 20 m2, kemudian
10 x 10 m2, 2 x 2m2 dan 1x1 m2 (untuk jenis semak dan belukar).
Kemudian dihitung menggunakan perhitungan indeks shanon / indeks
keragaman diversitas. Indeks Keragaman Jenis (Diversitas) Indeks
keanekaragaman jenis komunitas diukur dengan memakai pola distribusi
beberapa ukuran kelimpahan diantara jenis (Odum,1993). Indeks
keanekaragaman jenis dihitung dengan formulasi Shannon (English et
al, 1994) yaitu:

Keterangan:
H’ = indeks keanekaragaman jenis
S = jumlah spesies yang menyusun komunitas
Pi = rasio antara jumlah spesies i (ni) dengan jumlah spesies individu total
dalam komunitas (N) Kriteria indeks keanekaragaman jenis (diversitas)
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Kriteria indeks keanekaragaman jenis (diversitas) dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Kriteria Indeks Keanekaragaman Jenis
Kriteria Indeks Keanekaragaman Jenis
Tinggi >2,0
Sedang ≤2,0
Rendah <1,6
Sangat Rendah <1,0
Sumber : Modifikasi dari Lee et al (1978) dalam Soegianto (1994)

Selain indeks keragaman jenis menggunakan formulasi Shanon Weiner


dihitung pula indeks dominansi. Indeks dominansi digunakan untuk
memperoleh informasi mengenai jenis tanaman penutup tanah yang
mendominasi pada suatu komunitas pada tiap habitat. Indeks dominansi
yang dikemukakan oleh Simpson menurut Ludwid dan Reynold (1988)
yaitu:

Keterangan :
C = Indeks dominansi Simpson
S = Jumlah jenis spesies
ni = Jumlah total individu spesies i
N = Jumlah seluruh individu dalam total n
Pi = ni/N= sebagai proporsi jenis ke-i

Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan indeks dominansi tersebut


yaitu :
Mendekati 0 = indeks semakin rendah atau dominansi oleh satu spesies.
Mendekati 1 = indeks besar atau didominansi beberapa spesies.
b) Pada pengamatan satwa/hewan ada beberapa metode yang dapat
digunakan, di antaranya adalah:
1. Metode visual: Metode ini melibatkan pengamatan langsung satwa
dengan mata telanjang atau menggunakan binocular atau teleskop.
2. Metode foto dan rekaman suara: Metode ini menggunakan kamera atau
perangkat rekaman suara untuk mengambil gambar atau menangkap
suara satwa.
3. Metode marking: Metode ini melibatkan pemasangan tanda atau label
pada satwa, seperti menyuntikkan pigmen pada bulu atau menempelkan
gelang pada ekor, sehingga satwa dapat diidentifikasi secara unik.
4. Metode tracking: Metode ini menggunakan alat bantu seperti GPS atau
radio collar untuk mengikuti jejak atau mengukur gerakan satwa.
Kemudian untuk kegiatan lapangan ini dipilih metode pengamatan
satwa/ hewan secara visual dan metode foto atau rekam suara dasar
pemilihan metode didasarkan kepada terbatasnya alat serta waktu
peraktek yang hanya dilaksanakan selama kurang lebih 2 hari. Serta
untuk memaksimalkan kegiatan dengan keterbatasan tersebut.

c) Metode pengambilan sampel air sungai


Metode yang digunakan pada pengambilan sampel air way rilau adalah
Metode integrated sampler: yaitu metode yang menggabungkan antara
metode manual dan automatic sampler, dengan mengambil sampel air
secara manual di beberapa titik di sungai, kemudian menyimpannya
dalam tabung plastik atau botol, dan mengukur parameter-parameter
fisika, kimia, secara langsung di lapangan atau di laboratorium. Pada
praktek lapangan ini diambil titik pada daerah hilir, badan air dan hulu.

e. Metode analisis data


Data yang telah dikumpulkan kemudian dibawa ke laboratorium seperti
sampel air dan serangga tanah unutuk dilakukan identifikasi jenis (spesies
untuk antropoda tanah) kemudian identifikasi plankton pada sampel air,
serta pemeriksaan TSS dan TDS. Kemudian untuk tutupan vegetasi data
ditabulasi kemudian dilakukan perhitungan sesuai indeks shanon dan di
identifikasi jenis flora yang dijumpai pada perhitungan tersebut. Pada
pengamatan satwa akan diidentifikais jenis satwa sesuai literasi buku
indentifikasi satwa berdasarkan pengamatan visual (gambar dan suara)
yang didapatkan pada saat pengamatan dilapangan. Setelah data terkumpul
dan berhasil dilakukan identifikasi lalu disajikan secara deskriftif kualitatif
pada lembar pembahasan untuk menggambarkan mengenai kondisi
biodiversitas yang ada di kawasan KPH way rilau – batu tegi.

4. Manfaat penulisan laporan

Anda mungkin juga menyukai