Selama beberapa dekade terakhir kerusakan sumberdaya hutan
alam di Indonesia terus meningkat. Puncaknya adalah sejak dimulainya era reformasi tahun 1998 sampai dengan 2004. Pada saat itu perubahan kondisi politik yang dramatis tidak hanya menerpa perubahan tata kelola pemerintah pusat dan daerah tetapi juga menerpa tata kelola kewenangan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Pembentukan otonomi daerah ternyata tidak membawa kondisi yang lebih baik terhadap kondisi sumberdaya hutan. Kerusakan sumberdaya hutan ternyata semakin berat karena pemerintah daerah sebagai pemerintahan otonomi telah menjadikan kawasan hutan juga sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Lampung merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
mengalami situasi seperti diuraikan di atas. Kawasan hutan di Provinsi Lampung pada kenyataan lapangan telah mengalami perubahan penggunaan. Di sisi lain kebutuhan akan hasil sumberdaya hutan ternyata semakin lama semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk.
Berdasarkan kondisi tersebut, Pemerintah dalam hal ini
Kementerian Kehutanan berusaha mencari format kebijakan untuk menciptakan model pengelolaan hutan yang optimal, efisien, dan lestari melalui pembentukan kelembagaan pengelolaan hutan di tingkat tapak dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) pada setiap fungsi kawasan hutan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. PP Nomor 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan dijelaskan bahwa Kesatuan Pengelolaan Hutan selanjutnya disingkat KPH adalah wilayah unit terkecil pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Sesuai dengan PP Nomor 44 tahun 2004 pasal 32 ayat (1)
Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP)
KPH Batu Tegi Tahun 2024 - 2033 1 bahwa institusi pengelola kehutanan bertanggung jawab terhadap pengelolaan hutan yang meliputi antara lain: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengelolaan, serta pengendalian dan pengawasan.
Berkaitan dengan kebijakan Pemerintah tersebut, Pemerintah
Provinsi Lampung telah menyusun Rancang Bangun KPH dan Action Plan KPH Provinsi Lampung yang kemudian ditindaklanjuti oleh Kementerian kehutanan RI dengan menetapkan 16 wilayah yang terdiri dari 9 unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan 7 unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 68/Menhut-II/2010 tanggal 28 Januari 2010. Dengan dibaginya kawasan hutan menjadi wilayah- wilayah KPH yang selanjutnya akan dibentuk institusi pengelolanya, maka diharapkan hutan akan dikelola secara lebih baik.
Dari 16 wilayah KPH tersebut, tiga diantaranya adalah unit KPH
provinsi, yaitu KPHP Muara Dua di Kabupaten Way Kanan dan Tulang Bawang Barat, KPHP Gedong Wani di Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Timur serta KPHL Batutegi yang berada di empat wilayah administrasi kabupaten, yaitu Kabupaten Tanggamus, Pringsewu, Lampung Barat dan Lampung Tengah.
Dari sisi kepentingan wilayah KPHL Batutegi memiliki peran yang
cukup strategis. Dengan wilayah kelola yang cukup luas yaitu 58.162 hektar (SK Menteri Kehutanan Nomor 650/Menhut-II/2010) dan berada di kawasan hutan Register 39 Kota Agung Utara (sebagian), Register 22 Way Waya (sebagian), dan Register 32 Bukit Rindingan, yang seluruhnya mempunyai fungsi sebagai hutan lindung, areal ini menjadi salah satu DAS prioritas di Provinsi Lampung karena berfungsi sebagai catchment area bendungan Batutegi dan mengairi salah satu sungai besar, yaitu Way Sekampung.
Dengan peran strategis yang menjadi tantangan bagi KPHL
Batutegi, maka kegiatan pengelolaan hutan yang dilaksanakan harus direncanakan dengan baik agar profesional dan akuntabel. Dengan demikian, maka tahapan kegiatannya dapat dilakukan secara terarah dan tujuan pengelolaan diharapkan dapat tercapai. Atas dasar
Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP)
KPH Batu Tegi Tahun 2024 - 2033 2 pemikiran tersebut maka disusunlah naskah Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) KPHL Batutegi Provinsi Lampung untuk periode 2014 - 2023.
Operasionalisasi KPHL Batutegi dilaksanakan setelah terbit SK
Menhut Nomor : 650/Menhut-II/2010, melaui berbagai kegiatan diantaranya:
a. Kegiatan prakondisi pengelolaan hutan: 1) Pengadaan sarana dan
prasarana, 2) Tata Hutan, 3) Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan (RPH), yang difasilitasi oleh BPKH Wilayah II Palembang. b. Konvergensi kegiatan teknis dari UPT Kemenhut, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung dan Dinas Kehutanan Kabupaten Tanggamus, Pringsewu, Lampung Barat dan Lampung Tengah.
Penyusunan RPHJP KPHL Batutegi telah dilaksanakan sejak tahun
2012 dengan diawali pelaksanaan inventarisasi potensi dan sosial budaya, yang dilanjutkan dengan penyusunan tata hutan. Kegiatan yang difasilitasi oleh Kementerian Kehutanan melalui BPKH Wilayah II Palembang ini melibatkan pihak akademisi sebagai pendamping. Selama proses penyusunan RPHJP, operasional KPHL Batutegi terus berjalan mengikuti alur rencana kegiatan yang telah disusun sebelumnya, sehingga rencana kegiatan yang tercantum dalam RPHJP sebagian merupakan kegiatan yang tidak terputus dengan kegiatan yang dilaksanakan oleh KPHL Batutegi sejak beroperasi pada tahun 2011
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.46/Menhut-II/2013 Tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
PUSTAKA Virtual Tata Ruang dan Pertanahan (Pusvir TRP)