Ternyata ekowisata tangkahan berada di areal kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) loh. Areal ini
berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser. Jadi untuk kedepannya, pengelolaan wisata ini akan
bekerjasama antara UPT. KPH I Stabat, masyarakat setempat dan TNGL.
Selain menikmati keindahan alam wisata Tangkahan kita juga dapat beristirahat di tempat -tempat
penginapan yang telah disesiakan pengelola. Salah satu artis juga konon katanya memiliki tempat
penginapan di sini guys.
a. Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah I berkedudukan di Stabat, terdiri dari:
http://kph.menlhk.go.id/sinpasdok/pages/detail/1
berkedudukan di Stabat dengan wilayah kerja KPH Unit I KPHP Langkat dan Unit V KPHP Deli Serdang. \
1. UPT. KPH Wilayah I dengan wilayah kerja KPHP Unit I dan KPHP Unit V;
Kesatuan Pengelolaan Hutan( KPH) merupakan sebuah lembaga yang mengurus lebih detail tentang
model pengelolaan di tingkat tapak. Pengelolaan ditingkat tapak meliputi tata hutan, rehabilitasi dan
reklamasi lahan, pemanfaatan kawasan hutan, pengendalian dan pengamanan hutan yang melibatkan
semua stakeholder terkait dalam perencanaan pengelolaan yang bekesinambungan. Secara Geografis
Kantor KPHP Unit 1 terletak di kota Stabat ± 40 km dari kota Medan dengan waktu tempuh 1 jam 27
menit Wilayah KPHP unit 1 berada di antara 97º50’’50.0’ - 98º35’’30,0’ bujur timur dan 03º20’’11,7’
Adapun wilayah batas-batas administrasi sebagai Wilayah kerja KPHP Unit I sebagai antara lain: - Di
sebelah utara dengan selat Malaka dan Provinsi Nangro Aceh Darusalam. - Di Sebelah selatan
berbatasan dengan Kabupaten Karo. - Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. - Di
sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Nangro Aceh Darusalam. Sedangkan batas-batas areal KPHP
Unit I berdasarkan batas alam adalah sebagai berikut: - Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka -
Sebelah Selatan berbatasan dengan kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 pasal 9, Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008
yang dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.6/Menhut-II/2010
Tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Pengelolaan Hutan di KPHL dan KPHP, secara eksplisit
dijabarkan tugas KPH dalam pengelolaan hutan di tingkat tapak dengan menyusun rencana pengelolaan
Hutan di tingkat wilayah KPH, termasuk rencana pengembangan organisasi KPH.
Rencana pengelolaan hutan di wilayah tapak yang disusun akan dijadikan sebagai payung hukum dalam
rencana pengelolaan ke depannya guna menuju pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan.
Penyusunan dan pengesahan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPHP) wilayah 1 Stabat 2017-2026 meliputi kegiatan tata hutan, rehabilitasi dan reklamasi
hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam serta pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan
serta monitoring, evaluasi dan pengendalian sehingga kawasan hutan yang menjadi areal kerja KPH
dapat dikelola secara intensif, optimal dan lestari serta dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi
masyarakat sekitar hutan. RPHJP KPH Wilayah 1 Stabat ( Unit 1) telah di terima oleh kementerian dan
telah disahkan di Jakarta An Menteri lingkungan hidup dan Kehutanan.
Visi Pengelolaan Hutan KPHP Unit I Visi pembangunan Nasional tahun 2015-2019 adalah “Terwujudnya
Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkelanjutan Berlandaskan Gotong Royong’’. Sementara itu, Visi
dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara yang terkait dengan pengurusan hutan yaitu
meningkatkan ekonomi kerakyatan dan memulihkan keseimbangan lingkungan demi pembangunan
berkelanjutan, maka dirumuskan visi KPHP unit I. Atas dasar itu, maka visi KPHP unit I tahun 2017-2026
‘’KPHP UNIT I menjadi salah satu pilar ekonomi Sumatera Utara melalui pengelolaan hutan lestari,
pemanfaatan dan industrialisasi jasa lingkungan ekosistem hutan serta ekowisata’’. Visi ini ditetapkan
berawal dari sebuah kesadaran bahwa pengelolaan hutan yang berorientasi hasil kayu sudah tidak
relevan dengan kondisi wilayah KPHP unit I sehingga harus beralih ke pengelolaan berbasis ekosistem
untuk mewujudkan kehidupan masyarakat sekitar hutan yang lebih sejahtera, dengan komitmen
mengoptimalkan pemanfaatan jasa lingkungan ekosistem hutan. Pengelolaan hutan lestari merupakan
suatu kondisi dimana tujuan pengelolaan hutan yang ditetapkan dapat tercapai secara efisien dan lestari
berdasarkan sinergi basis ekologi, ekonomi, dan sosial. Dimana di dalam pengelolaan hutan yang baik
dapat memberikan manfaat bagi masyarakat yang sekarang maupun yang akan datang.
Misi pengelolaan Hutan KPHP Unit I Visi KPHP unit I tersebut diupayakan pencapaiannya melalui misi
pengelolaan hutan sebagai berikut:
a. Penetapan kawasan hutan serta meningkatkan kualitas data dan informasi kehutanan Misi tersebut
bertujuan untuk melaksanakan penataan kawasan hutan menjadi blok dan petak yang mantap serta
meningkatkan kualitas data dan informasi melalui inventarisasi hutan secara berkala dengan basis blok
dan petak sebagai bahan penyusun rencana pengelolaan hutan.
b. Meningkatkan tata kelola hutan yang baik melalui penegasan wewenang dan penguatan kapasitas
pengelolaan KPHP unit I yang professional, efektif dan efisien. Misi ini bertujuan untuk menyiapkan
perangkat peraturan, penguatan kelembagaan KPHP dan peningkatan kapasitas SDM di organisasi KPHP
Unit I.
c. Meningkatkan pengelolaan hutan dan hasil hutan melalui tata kelola hutan yang bertanggung jawab
pada areal yang telah dibebani izin (konsesi) di dalam wilayah KPHP secara terpadu, Transparan dan
bertanggung jawab untuk mendukung pengelolaan hutan lestari. Misi ini bertujuan untuk membentuk
dan membina pemegang ijin kelompok tani hutan, membentuk lembaga usaha masyarakat (koperasi),
meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap seluruh kegiatan pengelolaan hutan, meningkatkan
kapasitas keterampilan masyarakat serta meningkatkan nilai-nilai kreatif local dalam pengelolaan hutan
lestari.
d. Meningkatkan perlindungan serta pengamanan hutan dan hasil hutan. Misi ini bertujuan untuk
menurunkan gangguan keamanan hutan melalui upaya-upaya pengamanan dan resolusi konflik serta
pengembangan konservasi alam pada KPHP Unit I.
e. Mengembangkan secara aktif kegiatan produktif yang berkelanjutan pada wilayah didalam dan diluar
wilayah konsensi. Misi ini bertujuan untuk mengoptimalkan hasil hutan kayu (HHK), hasil hutan bukan
kayu (HHBK), jasa wisata dan jasa lingkungan lainnya melalui skema kemitraan kehutanan melalui skema
kemitraan kehutanan pada wilayah tertentu.
Terciptanya Komunikasi stakeholder menjalin kerjasama antara Dinas Kehutanan KPH Wilayah I Stabat,
masyarakat, Pemerintah Kabupaten langkat, Dinas Kehutanan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, TNI,
POLRI, LSM, Dinas Perikanan dan Kelautan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,Dunia usaha.
a. UPT KPH Wilayah I sampai dengan XVI mempunyai tugas membantu Kepala Dinas dalam
menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang ketatausahaan, administrasi, perencanaan tata kelola,
pemenfaatan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan lahan, silvikultur dan perlindungan hutan, serta
pembinaan jabatan fungsional dan unit KPHL/KPHP.
b. Unit Pelaksanaan Teknis KPH Wilayah I sampai dengan XVI, menyelenggarakan fungsi
1) Penyelenggaraan pembinaan pegawai pada lingkup kesatuan pengelolaan hutan.
2) Penyelenggaraan arahan, bimbingan kepada pejabat structural pada lingkup Kesatuan Pengelolan
Hutan.
3) Penyelenggaraan penyusunan rencana pengelolaan hutan dan Penataan Hutan wilayah di Kesatuan
Pengelolaan Hutan.
4) Penyelenggaraan koordinasi kegiatan perencanaan dan tata hutan, pemanfaatan dan penggunaan
hutan, Perlindungan dan Pengamanan serta pengendalian kebakaran hutan dan lahan, Rehabilitasi
hutan dan lahan, dengan instansi terkait di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan.
5) Penyelenggaraan Rehabilitasi hutan dan lahan serta Reklamasi hutan di wilayah Kesatuan Pengelolaan
Hutan.
6) Penyelenggaraan Perlindungan hutan dan penegakkan hukum serta konservasi sumber daya alam di
Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan.
7) Penyelenggaraan Pengendalian Kebakaran Hutan dan lahan di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan.
9) Penyelenggaraan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan Kesatuan
Pengelolaan Hutan.
10) Penyelenggaraan investasi, kerja sama dan kemitraan dalam pengelolaan hutan di Kesatuan
Pengelolaan Hutan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
11) Pelaksanaan Kebijakan Hutan nasional dan daerah dalam pengelolaan hutan.
13) Penyelenggaraan dan pengelolaan sistem informasi dan perpetaan dalam pengelolaan Kesatuan di
Kesatuan Pengelolaan Hutan .
15) Penyelenggaraan tugas lain yang diberikan Kepala Dinas sesuai bidang tugas dan fungsinya.
16) Penyelenggaraan Pemberian masukan yang perlu kepada kepala Dinas sesuai bidang tugas dan
fungsinya.
17) Penyelenggaraan pelaporan pertanggung jawaban atas pelaksanaan tugas dan fungsinya kepada
kepala Dinas, sesuai standard yang ditetapkan.
h.Jabatan Fungsional peyuluhan Kehutanan adalah jabatan yang mempunyai runang lingkup tugas,
tanggung jawab, wewenang,untuk melakukan kegiatan penyuluhan Kehutanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang di duduki oleh Pegawai Negri Sipil. Tugas pokok Penyuluhan Kehutanan
1) Penyuluhan kehutanan mempunyai tugas pokok melakukan kegiatan persiapan, pelaksannan,
pengembangan, pemantauan evaluasi dan peaporan ppelaksanaan peyuluhan kehutanan.
2) Tugas pokok penyuluhan kehutanan terbagi dalam unsur dan sub unsure kegiatan penyuluhan
kehutanan dan dapat di nilai angka kreditnya.
3) Rincian unsur dan sub unsur kegiatan penyuluhan kehutanan sebagiamana di peruntukkan sebagai
pejabat Fungsional penyuluh kehutanan ; Tingkat terampil, dan tingkat ahli
Wilayah KPH Unit I berada di kawasan Hutan Kabupaten Langkat seluas ± 101.809 Ha. Berdasarkan pada
surat keputusan Menteri Kehutanan No 102/ Menhut-II/2010 tanggal 05 Maret 2010 Tentang
Pengelolaan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit I perincian kawasan hutan
tersebut adalah hutan lindung (HL) ± 3.745 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas ±57.979 Ha dan
Hutan produksi tetap (HP) seluas ±40,085 Ha. Luasan tersebut masih mengacu pada Keputusan Menteri
No. SK. 44 MenhutII 2005, tentang Penunjukkan kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utaras
seluas ±3.742.120 Ha.
Berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No SK. 579 MenhutII/2014 tanggal 24 Juni 2014
tentang kawasan hutan di Sumatera Utara, kawasan hutan yang berada di Kabupaten Langkat adalah
seluas 69.907,89 Ha. Kawasan hutan yang menjadi wilayah KPHP Unit I tersebut menjadi penyusaian dan
perubahan luas seperti yang disajikan pada tabel berikut ini :
Hutan Lindung 4.401,81 Ha, Hutan Produksi Tetap 25.101,22 Ha, Hutan Produksi Terbatas 40.404,86 Ha,
JUMLAH 69.907,89 Ha.
=========
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara adalah merupakan unsur Pelasana Otonomi Daerah
Pemerintah Provinsi yang dipimpin oleh seorang Kepala Dinas berkedudukan dibawah dan
bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Disamping itu, kedudukan Dinas
Kehutanan sebagai wakil Gubernur urusan kehutanan untuk melakukan koordinasi pelaksanaan
pembangunan di bidang kehutanan di provinsi, baik dalam penyusunan, pelaksanaan, pengendalian dan
evaluasi sebagaimana yang diamanatkan PP Nomor 19 Tahun 2010 pasal 3 huruf d
Sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 8 Tahun 2008 tanggal 28 November
2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah Provinsi Sumatera Utara, Dinas Kehutanan
menyelenggarakan tugas dan fungsi sebagai berikut :
Tugas
Dinas Kehutanan melaksanakan urusan pemerintahan daerah/kewenangan provinsi, dibidang
inventarisasi dan penatagunaan hutan, pengusahaan hutan, rehabilitasi hutan lahan dan perlindungan
hutan serta tugas pembantuan.
Fungsi
Untuk melaksanakan tugas, Dinas Kehutanan menyelenggarakan fungsi :
=======
Kawasan Hutan produksi tetap seluas 1.021.063 Ha yang terletak di Kabupaten Asahan, Labuhan Batu,
Dairi, Deli Serdang, Humbang Hasundutan, Labuhan Batu Selatan, Labuhan Batu Utara, Langkat,
Mandailing Natal, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Pakpak Barat, Samosir, Serdang Bedagai,
Simalungun, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Nias Selatan, Nias Utara,
Nias Barat, Kota Padang Sidempuan.
Lemahnya koordinasi antara Dinas Kehutanan dengan institusi penegak hukum lainnya dalam
penegakan tindak pidana kehutanan
Penerbitan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam dan atau Restorasi Ekosistem
(IUPHHKHA/RE) pada areal bekas tebangan (logged over area/LOA)seluas 2,5 juta ha.
Kerangka posisi dan peran pembangunan kehutanan dalam arah kebijakan dan strategi pembangunan
daerah di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2013-2018, dititik
beratkan pada prioritas Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara adalah merupakan unsur Pelaksana
Otonomi Daerah Pemerintah Provinsi yang dipimpin oleh seorang Kepala Dinas berkedudukan dibawah
dan bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Disamping itu, kedudukan Dinas
Kehutanan sebagai wakil Gubernur urusan kehutanan untuk melakukan koordinasi pelaksanaan
pembangunan di bidang kehutanan di provinsi, baik dalam penyusunan, pelaksanaan, pengendalian dan
evaluasi sebagaimana yang diamanatkan PP Nomor 19 Tahun 2010 pasal 3 huruf d.
Sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2016 Pembentukan dan
Susunan Perangkat Daerah Provinsi Sumatera Utara, Peraturan Gubernur No. 38 Tahun 2016 tentang
Susunan Organisasi Dinas-Dinas Daerah Provinsi Sumatera Utara dan Peraturan Gubernur No. 48 Tahun
2017 tentang Tugas, Fungsi, Uraian Tugas dan Tata Kerja Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara,
maka Dinas Kehutanan menyelenggarakan tugas dan fungsi sebagai berikut :
Tugas
Fungsi
a. Menyelenggarakan perumusan kebijakan pengelolaan hutan konservasi sumber daya hayati dan
ekosistem, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan
pengelolaan daerah aliran sungai dan pengawasan kehutanan sesuai dengan lingkupnya;
b. Penyelenggaraan kebijakan pengelolaan hutan konservasi sumber daya hayati dan ekosistem,
pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan pengelolaan
daerah aliran sungai dan pengawasan kehutanan sesuai dengan lingkup tugasnya;
c. Penyelenggaraan evaluasi dan pelaporan pengelolaan hutan konservasi sumber daya hayati dan
ekosistem, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan
pengelolaan daerah aliran sungai dan pengawasan kehutanan sesuai dengan lingkup tugasnya;
d. Penyelenggaraan administrasi pengelolaan hutan konservasi sumber daya hayati dan ekosistem,
pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan pengelolaan
daerah aliran sungai dan pengawasan kehutanan sesuai dengan lingkup tugasnya;
e. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur, sesuai dengan tugas dan fungsinya
Kepala UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) mempunyai tugas membantu Kepala Dinas dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketatausahaan, administrasi, perencanaan tata
kelola, pemanfaatan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan lahan, silvikultur dan perlindungan hutan,
serta pembinaan jabatan fungsional dan Unit KPHL/ KPHP. Kepala UPT. Kesatuan Pengelolaan Hutan
menyelenggarakan fungsi-fungsi :
2) Menyelenggarakan arahan, bimbingan kepada pejabat structural pada lingkup Kesatuan Pengelolaan
Hutan;
3) Menyelenggarakan penyusunan rencana pengelolaan hutan dan penataan hutan di wilayah Kesatuan
Pengelolaan Hutan;
4) Menyelenggarakan koordinasi kegiatan perencanaan dan tata hutan, Pemanfaatan dan penggunaan
hutan, Perlindungan dan pengamanan serta pengendalian kebakaran hutan dan lahan, rehabilitasi hutan
dan lahan dengan instansi terkait di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan;
5) Menyelenggarakan rehabilitasi hutan dan lahan serta reklamasi hutan di wilayah Kesatuan
Pengelolaan Hutan;
6) Menyelenggarakan perlindungan hutan dan penegakan hukum serta konservasi sumber daya alam di
wilayah kesatuan pengelolaan hutan;
7) Menyelenggarakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di wilayah kesatuan pengelolaan hutan;
10) Menyelenggarakan Investasi, kerja sama dan kemitraan dalam pengelolaan hutan di kesatuan
pengelolaan hutan sesusai dengan peraturan perundang-undangan;
11) Menyelenggarakan kebijakan kehutanan nasional dan daerah dalam pengelolaan hutan;
12) Menyelenggarakan penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan, serta
pelaksanaan program perhutanan sosial pada kesatuan pengelolaan hutan;
13) Menyelenggarakan pengembangan dan pengelolaan sistem informasi dan perpetaan dalam
pengelolaan hutan di kesatuan pengelolaan hutan;
15) Menyelenggarakan tugas lain yang diberikan kepala dinas, sesuai bidang tugas dan fungsinya;
16) Menyelenggarakan pemberian masukan yang perlu kepada kepala dinas sesuai bidang tugas dan
fungsinya;
17) Menyelenggarakan pelaporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas dan fungsinya kepada
kepala dinas sesuai standard yang ditetapkan;
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, Kepala UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan dibantu oleh :
“Terwujudnya sumber daya hutan yang lestari untuk kesejahteraan rakyat melalui mekanisme
pengelolaan yang partisipati, terpadu, transparan dan bertanggung jawab”
Selanjutnya dalam pencapaian Visi Dinas Kehutanan yang tertuang dalam Renstra Dinas Kehutanan
Provinsi sumatera Utara Tahun 2009-2013 tersebut dijabarkan dalam Misi Dinas Kehutanan Provinsi
Sumatera Utara sebagai berikut :
4) Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari dan distribusi manfaat secara
proporsional.
1. Memantapkan Status Kawasan Hutan dengan tujuan meningkatkan kepastian hukum kawasan hutan
di Provinsi Sumatera Utara sebagai dasar pengelolaan sumber daya hutan yang lestari.
2. Meningkatkan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dengan tujuan meningkatkan kualitas kondisi, fungsi dan
daya dukung hutan dan lahan sehingga dapat mengurangi resiko bencana alam dan dikelola secara
berkelanjutan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3. Meningkatkan pengelolaan hutan dan hasil hutan dengan tujuan optimalisasi pengelolaan hutan
produksi secara lestari dan partisipatif dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan, sehingga
meningkatkan produksi dan diversifikasi hasil hutan serta memperluas kesempatan berusaha dan
lapangan pekerjaan.
4. Meningkatkan perlindungan hutan dan hasil hutan dengan tujuan menurunkan gangguan keamanan
hutan dan hasil hutan dalam penyelenggaraan perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam.
5. Meningkatkan kualitas perencanaan dan sumber daya manusia kehutanan dengan tujuan
meningkatkan tata kelola administrasi penyelenggaraan kepemerintahan di bidang kehutanan secara
efektif dan efisien serta tersedianya SDM Kehutanan yang profesional.
4.2.1 Tujuan
2. Meningkatkan kualitas kondisi, fungsi dan daya dukung hutan dan lahan.
Sasaran strategis merupakan ukuran kinerja pencapaian misi sesuai dengan tujuannya. Sasaran strategis
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi kurun waktu 2013-
2018 adalah sebagai berikut :
4. Menurunnya tingkat gangguan keamanan hutan (pencurian hasil hutan dan perambahan kawasan
hutan) dan kerusakan kawasan hutan
Strategi pencapaian sasaran tersebut dituangkan melalui peningkatan produksi dan produktifitas
pertanian dengan arah kebijakan pengawasan dan mengendalikan pemanfaatan sumber daya hayati
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, melalui :
e. Meningkatkan pengelolaan hutan tanaman rakyat, hutan desa dan hutan kemasyarakatan.
Strategi
Strategi merupakan langkah untuk memecahkan permasalahan yang penting dan mendesak untuk
segera dilaksanakan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun serta memiliki dampak yang besar terhadap
pencapaian visi, misi, tujuan, dan sasaran. Untuk mewujudkan Visi Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera
Utara Tahun 2013-2018, maka Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara akan melaksanakannya melalui
5 (lima) misi yang telah disusun dan strategi-strategi pembangunan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
mendatang.
2. Peningkatan jumlah pengelolaan hutan tingkat tapak (terbentuknya 33 Unit KPH, dimana 11 Unit KPH
adalah KPH lintas kabupaten/kota yang merupakan kewenangan Provinsi Sumatera Utara dan sisanya
hanya memfasilitasi pembentukkannya).
5.1.1 Tujuan
1. Mengoptimalkan kepastian hukum kawasan hutan lindung dan produksi di Provinsi Sumatera Utara.
2. Meningkatkan kualitas kondisi, fungsi dan daya dukung hutan dan lahan serta pengelolaan hutan
secara lestari.
Sasaran strategis merupakan ukuran kinerja pencapaian misi sesuai dengan tujuannya. Sasaran strategis
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi kurun waktu 2018-
2023 adalah sebagai berikut :
1. Terwujudnya status dan tata batas kawasan hutan lindung dan produksi yang terjaga dan terpelihara
dengan baik;
2. Terwujudnya pengelolaan hutan lestari tingkat tapak yang produktif dan berkelanjutan.
3. Meningkatnya peran serta aktif masyarakat dalam menjaga, memelihara dan meningkatkan
pengelolaan sumber daya hutan lestari dan lahan secara berkelanjutan .
ARAH KEBIJAKAN
Guna teta pmenjaga serta meningkatkan keberlanjutan pembangunan kehutanan, dalam 5 (lima) tahun
ke depan, Kerangka posis idan peran pembangunan kehutanan dalam arah kebijakan pembangunan di
dalam Rencana Strategis Dinas Kehutanan Tahun 2018-2023 dititik beratkan pada 5 (lima) kebijakan
prioritas pembangunan sector kehutanan, meliputi:
Sesuai dengan paradigma baru pembangunan kehutanan yaitu pengelolaan sumberdaya alam hutan
untuk mewujudkan sebesar-besarnya kesejahteraan seluruh rakyat secara adil, demokratis, transparan
dan meningkatkan pelayanan masyarakat, maka kebijakan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
adalah mengelola dan mendayagunakan sumberdaya hutan secara lestari serta meningkatkan
pemanfaatannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sasaran merupakan penjabaran dari setiap tujuan yang akan dicapai atau dihasilkan dalm jangka waktu
tertentu. Sasaran juga menggambarkan tindakan-tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan
yang bersifat spesifik, terinci dan dapat terukur.
Secara umum, beberapa isu strategis yang dirumuskan dalam pelayanan Dinas Kehutanan Provinsi
Sumatera Utara saat ini adalah :
1) Pelestarian Lingkungan Hidup (Hutan dan Lahan) dan Climate Changing/ Reduksi Emisi Karbon.
2) Belum tuntasnya penataan batas Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara, dimana Kawasan Hutan
yang ditunjuk belum seluruhnya ditata batas.
4) Terbatasnya Tenaga Pengamanan Hutan, sarana prasarana dan dana untuk perlindungan kawasan
hutan. Jumlah tenaga pengamanan hutan ideal yang harus dimiliki di Provinsi Sumatera Utara + 1.000
orang, saat ini sudah ada 126 orang sehingga dibutuhkan penambahan tenaga pengamanan hutan
sekitar 884 orang.
5) Tingginya intensitas kebakaran hutan di beberapa kabupaten, serta belum terbentuknya Satuan
Pengendali Kebakaran Hutan di Kabupaten/Kota sampai ke tingkat desa.
7) Masih Luasnya Lahan Kritis +339.633,10 Hayang ada di Provinsi Sumatera Utara.
8) Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD) dan
Hutan Rakyat belum terealisasi seperti yang diharapkan.
9) Belum adanya penunjukan kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara oleh Menteri Kehutanan pasca
Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor 47/P/HUM/2011 tanggal 23 Desember 2011.
Program ini bertujuan Meningkatkan kapasitas kelembagaan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
dalam pengelolaan hutan, dengan kegiatan sebagai berikut :
Program ini bertujuan Meningkatkan kapasitas kelembagaan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
dalam pengelolaan hutan, dengan kegiatan sebagai berikut:
Program ini bertujuan Meningkatkan kapasitas kelembagaan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
dalam pengelolaan hutan, dengan kegiatan sebagai berikut:
Program ini bertujuan Meningkatkan kapasitas kelembagaan Dinas KehutananProvinsi Sumatera Utara
dalam pengelolaan hutan, dengan kegiatan Pemindahan tugas PNS
Program ini bertujuan Meningkatkan kapasitas kelembagaan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
dalam pengelolaan hutan, dengan kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Formal serta Peningkatan Kualitas
Jasmani dan Rohani
Program ini bertujuan Meningkatkan kapasitas kelembagaan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
dalam pengelolaan hutan, dengan kegiatan sebagai berikut :
2) Penyusunan rencana dan pelaksanaan program dan kegiatan serta monitoring dan pengendaliannya
7) Pengumpulan data dan penyusunan laporan mingguan, bulanan, triwulan pelaksanaan program dan
kegiatan
10) Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA-SKPD) dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA-
SKPD) Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
Program ini bertujuan Meningkatnya pemanfaatan sumber daya hutan yang optimal dan lestari, dengan
kegiatan sebagai berikut :
3) Peningkatan Arena dan Pengadaan Peralatan Softgun/paintball, outbond dan permainan lainnya di
Tahura BB
6) Pengembangan Kawasan Ekowisata Mangrove dalam rangka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir
Berkelanjutan
7) Penyusunan data base potensi jasa lingkungan dan wisata di Tahura Bukit Barisan
8) Inventarisasi dan identifikasi potensi wisata dan jalur wisata (track hase) di Tahura Bukit Barisan
10) Analisis Karakteristik Kondisi Fisik Lahan THRBB dengan Remote Sensing dan SIG
12) Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Hutan Produksi dan Hutan
Lindung Provinsi Sumatera Utara
13) Peningkatan Jasa Lingkungan di TAHURA Bukit Barisan melalui peningkatan sarana dan prasarana
14) Pembinaan dan Pengembangan Penangkaran Kupu-Kupu, Outbond dan Softgun di TAHURA Bukit
Barisan
15) Penyusunan data base potensi jasa lingkungan dan wisata di KPH
Program ini bertujuan Meningkatnya daya saing industri primer kehutanan dan mantapnya
penatausahaan dan peredaran hasil hutan, dengan kegiatan sebagai berikut :
1) Optimalisasi Iuran Kehutanan Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), dan Iuran
Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPHH)
2) Pemantauan dan Pelaksanaan Pelimpahan Tunggakan-Tunggakan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
dan Dana Reboisasi (DR) ke Kantor Pengurusan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN)
3) Rekonsiliasi Iuran Kehutanan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR)
4) Pembinaan Penatausahaan Hasil Hutan (TUK)/Peredaran Hasil Hutan
7) Evaluasi dan Pembinaan Kerja Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (P2SKSHH),
Pejabat Pengesah Laporan Hasil Produksi (P2LHP) dan Pejabat Pemeriksan Penerimaan Kayu Bulat
(P3KB)
10) Pengendalian dan Pengawasan Penggunaan Bahan Baku pada Industri Primer Hasil Hutan
11) Pembinaan dan Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) dan Penatausahaan Iuran Kehutanan (PUIK)
Kepada Pemegang IUPHHK Alam/Tanaman, Industri Primer Hasil Hutan dan Ijin Sah Lainnya
12) Pemeriksaan Realiasasi Pemenuhan Bahan Baku Industri RPBI dan Persediaan (stock) Bahan Baku
kayu
16) Inventarisasi Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu/Non Kayu, Penampungan Hasil Hutan, dan Sentra
Penjualan Hasil Hutan
23) Monitoring Pembayaran Iuran Kehutanan Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan
(PSDH) dan Iuran Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPHH)
25) Restrukturisasi/ Revitalisasi IUPHHK (perluasan industri, kapasitas produksi, reenginering dan
relokasi
9. PROGRAM PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN
Program ini bertujuan Mantapnya status kawasan hutan guna terwujudnya keterpaduan pembangunan
kehutanan dan berkurangnya kasus-kasus permasalahan tata batas kawasan hutan, dengan kegiatan
sebagai berikut :
4) Pembinaan dan Pengendalian Rencana Karya (RK) pada Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK) pada Hutan Alam dan atau Hutan Tanaman
7) Pemantauan Pelaksanaan Pengelolaan DAK/DBH Bidang Kehutanan Pada Dinas Kabupaten/Kota Yang
Membidangi Urusan Kehutanan
11) Penyusunan standar kegiatan pembangunan bidang kehutanan Provinsi Sumatera Utara
24) Pemeliharaan dan pengamanan batas hutan di kawasan TAHURA Bukit Barisan
25) Koordinasi Perencanaan Kegiatan pada UPTD Pengukuran dan Perpetaan Kehutanan
31) Reposisi Batas Kawasan Tahura Bukit Barisan Berdasarkan Peta Register
33) Pembinaan pengukuran dan pemetaan penyiapan areal hutan kemasyarakatan (HKm)
38) Penyusunan Rencana zonasi pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi Sumatera Utara
41) Perencanaan dan Koordinasi Kegiatan ke Pusat/ Departemen Kehutanan dalam rangka Mengikuti
Rapat kerja Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kehutanan
42) Perencanaan dan Koordinasi Kegiatan ke Pusat/ Departemen Kehutanan dalam rangka mengikuti
Rapat Koordinasi/ Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Pembangunan Kehutanan
45) Pembinaan dan Pengendalian Rencana Karya (RK) pada Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK) pada Hutan Alam dan atau Hutan Tanaman
53) Identifikasi, Inventarisasi Sosial Budaya Masyarakat dan Penanganan Permasalahan Kawasan Hutan
57) Pembangunan Sarana dan Prasarana Operasional KPH, Tahura dan Hutan Kota
58) Identifikasi Hak-hak Pihak Ketiga dalam rangka Program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dalam
kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara
59) Koordinasi penyiapan bahan perencanaan, monitoring dan pelaporan kegiatan DBH-DR
Program ini bertujuan Meningkatnya pengamanan kawasan hutan, hasil hutan dan pengendalian
kebakaran hutan, dengan kegiatan sebagai berikut :
1) Patroli Pencegahan dan Pembatasan kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan
2) Operasi Penindakan Kejahatan Kehutanan Dan Penanganan Pasca Operasi Penindakan Kejahatan
Kehutanan Di Wilayah Sumatera Utara
12) Pembinaan Dan Monitoring AMDAL Ijin Lainnya (IPK, Jasa Lingkungan, pinjam pakai kawasan dll)
13) Perlindungan Dan Pengamanan Hutan Pada Kawasan Tahura Bukit Barisan
16) Identifikasi dan inventarisasi ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dalam kawasan hutan
18) Perencanaan, Koordinasi, Pembinaan Dan Pengembangan Pengelolaan Tahura Bukit Barisan
19) Analisis Tutupan Vegetasi pada Kawasan Tahura Bukit Barisan di 4 Kabupaten
20) Pengadaan sarana prasarana pengamanan hutan dan perlengkapan Kepolisian Kehutanan
22) Konservasi jenis flora dan fauna pada Tahura Bukit Barisan
24) Pembuatan poster, leaflet dan sticker pengendalian api pada kawasan hutan
25) Pengadaan dan pemasangan plang-plang larangan/kawasan hutan dalam rangka pengamanan hutan
28) Pelatihan/ Pembekalan/ inhousetraining/ penyegaran/ bimtek pengendalian kebakaran hutan dan
lahan
30) Kampanye pencegahan kebakaran hutan dan lahan dalam rangka penyadartahuan pencegahan
kebakaran hutan dan lahan
31) Pembuatan pemasangan dan sosialisasi rambu-rambu dan papan peringatan pencegahan kebakaran
hutan dan lahan
32) Pembuatan, Penyajian dan penyebarluasan informasi kerawanan, kebakran hutan dan lahan melalui
peta atau sejenisnya
36) Monitoring dan evaluasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan pada pemegang ijin (IUPHHK-HT/
HA, IPPKH dan ijin lainnya)
37) Perlindungan dan Pengamanan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan
38) Perencanaan Pencegahan, Penanggulangan dan Pengembangan sarana dan prasarana pengendalian
kebakaran hutan dan lahan
39) Penyelenggaraan dan penata upaya pencegahan, pengendalian kebakaran hutan dan lahan
40) Pembinaan dan Pengendalian Penangkar Tumbuhan Satwa Liar (TSL)
41) Monitoring dan Evaluasi Perlindungan kawasan bernilai penting dan daerah penyangga kawasan
suaka alam serta kawasan pelestarian alam
Program ini bertujuan Berkurangnya lahan kritis dan dan meningkatnya fungsi dan daya dukung DAS
berbasis pemberdayaan masyarakat, dengan kegiatan sebagai berikut :
13) Pengadaan dan distribusi bibit maskot jenis pohon kabupaten/kota dan provinsi
16) Koordinasi Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Kawasan Tahura Bukit Barisan
18) Studi ketersediaan lahan untuk agromarine di Pantai Timur Sumatera Utara
25) Identifikasi jenis-jenis tanaman hutan sebagai sumber cadangan tanaman pangan/obat di Sumatera
Utara
28) Percontohan budidaya tanaman hutan dalam rangka pemberdayaan masyarakat sekitar hutan
37) Pemberdayaan Kelompok Tani Hutan (KTH) dalam persiapan, pelaksanaan dan monitoring RHL
38) Pemberdayaan Kelompok Tani Hutan (KTH) melalui peningkatan kelola kelembagaan, kelola kawasan
dan kelola usaha; peningkatan kelas
40) Penyiapan Perhutanan Sosial dalam bentuk HKm, HTR, HD, Hutan adat & Kemitraan
43) Pembinaan Pemberdayaan masyarakat setempat dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan
49) Pembuatan/ pembangunan tanaman edukasi untuk mendukung Geopark Kaldera Toba
62) Penyelenggaraan dan Pengembangan perbenihan serta pembibitan tanaman berkayu/ MPTs
63) Penyelenggaraan program penyuluhan kehutanan dan pengembangan sarana dan prasarana
penyuluhan
Program ini bertujuan Mendorong peran serta masyarakat dan kelompok tani hutan dalam
penegelolaan hutan, dengan kegiatan sebagai berikut :
5) Pengembangan sarana dan prasarana usaha ekonomi produktif melalui Kelompok Tani Hutan (KTH)
=============
Hutan Produksi Terbatas menurut Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015
tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (“PP 104/2015”) adalah Kawasan
Hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing
dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai antara 125 sampai dengan 174 di luar
kawasan Hutan Lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan Taman Buru.
Di sini kami asumsikan bahwa lahan berstatus Hutan Produksi Terbatas tersebut merupakan hutan
negara. Oleh karena itu, pengalihan status hutan menjadi lahan perkebunan adalah pengalihan status
tanah milik negara menjadi Hak Guna Usaha (“HGU”).
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (“UU 39/2014”), Jenis Usaha
Perkebunan terdiri atas usaha budi daya Tanaman Perkebunan, usaha Pengolahan Hasil Perkebunan,
dan usaha jasa Perkebunan.[2] Kegiatan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dan/atau usaha
Pengolahan Hasil Perkebunan hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah
mendapatkan hak atas tanah dan/atau izin Usaha Perkebunan.[3]
Pada dasarnya pelaku usaha perkebunan dapat diberi hak atas tanah untuk Usaha Perkebunan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[4] Dalam hal terjadi perubahan status kawasan
hutan negara atau Tanah terlantar, Pemerintah Pusat dapat mengalihkan status alas hak kepada
Pekebun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[5]
Berdasarkan PP 104/2015, kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh pemerintah daerah
berdasarkan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang ditetapkan dengan
peraturan daerah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
dan berdasarkan tata ruang yang berlaku tetap sesuai dengan tata ruang sebelumnya namun
berdasarkan UU Kehutanan, areal tersebut menurut peta Kawasan Hutan yang terakhir:[9]
a. merupakan kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi, diproses melalui Pelepasan Kawasan
Hutan; atau
b. merupakan kawasan Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Terbatas diproses melalui Tukar
Menukar Kawasan Hutan, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya PP 104/2015
dapat mengajukan permohonan Pelepasan Kawasan Hutan atau Tukar Menukar Kawasan Hutan kepada
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (“Menteri LHKI”).
Pelepasan Kawasan Hutan dan Tukar Menukar Kawasan Hutan ini merupakan Perubahan Peruntukan
Kawasan Hutan secara parsial.[10] Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan adalah perubahan Kawasan
Hutan menjadi bukan Kawasan Hutan.[11]
Tukar Menukar Kawasan Hutan adalah perubahan kawasan Hutan Produksi Tetap dan/atau Hutan
Produksi Terbatas menjadi bukan Kawasan Hutan yang diimbangi dengan memasukkan lahan pengganti
dari bukan Kawasan Hutan dan/atau Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi yang produktif menjadi
kawasan Hutan Tetap.[12]
a. tetap terjaminnya luas Kawasan Hutan paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari luas Daerah
Aliran Sungai (DAS), pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional; dan
Tukar Menukar Kawasan Hutan dapat dilakukan dengan lahan pengganti dari:[14]
a. lahan bukan Kawasan Hutan; dan/atau
Permohonan Tukar Menukar Kawasan Hutan diajukan oleh pemohon kepada Menteri LHKI. Menteri
LHKI kemudian membentuk tim terpadu yang menyampaikan hasil penelitian dan rekomendasi kepada
Menteri LHKI. Berdasarkan hasil penelitian dan rekomendasi tim terpadu, Menteri LHKI menerbitkan
persetujuan prinsip Tukar Menukar Kawasan Hutan atau surat penolakan.[15]
Hutan produksi
Hutan Produksi Merupakan Kawasan hutan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan
masyarakat pada umumnya, khususnya untuk pembangunan, industri dan ekspor. Di Indonesia sebagian
besar hutan produksi juga adalah Hutan alam yang dieksploitasi dalam rangka Hak Pengusahaan Hutan
dan hutan buatan atau hutan tanaman, misalnya hutan jati, tusam, mahoni, damar, jabon, bambu di
Pulau Jawa dan hutan tanaman tusam di Sumatra Utara. Hutan-hutan produksi umumnya berlokasi di
dataran rendah, sehingga penebangannya tidak akan menganggu tata air. Selain nilai kayunya yang
tinggi untuk penghara industri, seperti balok gergajian, kayu pulp, kayu lapis dan lain-lain. Ciri-ciri hutan
produksi ialah pengolahan yang intensif berdasarkan asas-asas kelestarian, murni jenis pohonnya dan
kebanyakan seumur. Selain menghasilkan kayu juga memberi hasil hutan ikutan seperti getah buah
tengkawang, rotan dan sebagainya.[1]
1.Hutan produksi tetap (HP) adalah: hutan yang dapat di eksploitasi dengan perlakuan cara tebang pilih
maupun dengan cara tebang habis.
2.Hutan produksi terbatas (HPT) adalah: merupakan hutan yang hanya dapat dieksploitasi dengan cara
tebang pilih. Hutan Produksi Terbatas merupakan hutan yang dialokasikan untuk produksi kayu dengan
intensitas rendah. Hutan produksi terbatas ini umumnya berada di wilayah pegunungan di mana lereng -
lereng yang curam mempersulit kegiatan pembalakan.
a. Kawasan hutan dengan faktor kelas lereng jenis, tanah dan intensitas hujan setelah masing - masing
dikalikan dengan angka penimbang mempunyai nilai 124 atau kurang di luar hutan suaka alam dan
hutan pelestarian alam.
b. Kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transmigrasi,
permukiman pertanian dan perkebunan.
Ciri-ciri hutan produksi
1. Dalam satu kawasan hanya terdapat satu jenis tanaman atau pohon, contohnya hutan karet
maupun hutan jati.
2. Dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif.
3. Area yang digunakan relatif luas dikarenakan memang untuk memenuhi kebutuhan manusia.
4. Biasanya dimiliki oleh perusahaan swasta yang sudah besar ataupun pemerintah daerah
setempat.
5. Pemanfaatan dan penggunaannya sangat diawasi.
Salah satu dari tiga fungsi kawasan hutan yang tak habis untuk dibahas dan didiskusikan karena seksi
dan menarik adalah hutan produksi. Kenapa demikian? Hutan produksi salah satu fungsi kawasan hutan
yang sengaja disediakan untuk usaha kegiatan kehutanan yang dapat memberikan manfaat langsung
(tangible) secara ekonomi bagi masyarakat.
Sebagai contoh izin usaha pemafaatan hutan hutan yang sebelumnya dikenal dengan izin hak
pengusahaan hutan (HPH) yang mengambil kayu dari hutan alam. Meskipun dalam undang undang no.
41/1999 tentang kehutanan , tidak disebut adanya turunan (derivate) hutan produksi sebagaimana
hutan konservasi, namun dalam peraturan pemerintah no. 44 tahun 2004 tentang perencanaan hutan,
pasal 24 ayat (1) dinyatakan bahwa hutan produksi terdiri dari hutan produksi terbatas, hutan produksi
biasa dan hutan produksi yang dapat dikonversi.
Kriteria hutan produksi terbatas adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah
dan intensitas hujan, setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai
antara 125-174 (seratus dua puluh lima sampai dengan seratus tujuh puluh empat), diluar kawasan
lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru.
Sedangkan hutan produksi tetap adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah
dan intensitas hujan, setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai
di bawah 125 (seratus dua puluh lima), di luar kawasan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian
alam dan taman buru. Sementara yang dimaksud hutan produksi yang dapat dikonversi mempunyai
kriteria sebagai kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan
setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai 124 (seratus dua
puluh empat) atau kurang, di luar hutan suaka alam dan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan
yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transmigrasi, permukiman,
pertanian, perkebunan.
Data terakhir (2019) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas kawasan hutan
Indonesia ), luas kawasan hutan menjadi 125,2 juta ha kawasan hutan yang dibedakan sesuai dengan
fungsinya. Rinciannya adalah 29,1 juta ha sebagai kawasan hutan produksi tetap, 26,7 juta ha sebagai
kawasan hutan produksi terbatas, 29,5 juta ha sebagai kawasan hutan lindung, 27,3 juta ha sebagai
kawasan konservasi, dan 12,8 juta ha hutan produksi yang dapat dikonversi untuk kebutuhan
pembangunan.
Dari peraturan perundangan yang masih berlaku sekarang hanya disebut yang membedakan hutan
produksi biasa dan hutan produksi terbatas hanya dibedakan berdasarkan nilainya dari faktor lereng,
jenis tanah dan intensitas hujan. Hutan produksi terbatas nilainya 125 -- 174. Sedangkan hutan produksi
tetap nilainya dibawah 125. (PP no.44 tahun 2004). Dalam peraturan pemerintah 104/2015 tentang tata
cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, hanya disebutkan bahwa antar fungsi kawasan,
apalagi dalam fungsi kawasan dapat diubah antara satu dengan yang lain.
Hutan produksi terbatas dapat diubah menjadi hutan produksi biasa begitu sebaliknya. Peraturan
Menteri LHK no. 69/2019 tentang tata cara penetapan peta indikatif arahan pemanfaatan hutan pada
kawasan hutan produksi yang tidak dibebani izin pemanfaatan hasil hutan kayu, menyatakan bahwa
kawasan hutan produksi biasa dan hutan produksi terbatas diarahkan untuk Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada hutan tanaman industri atau hutan tanaman rakyat; Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada hutan alam atau restorasi ekosistem; atau Izin Pemanfaatan di bidang
perhutanan sosial.
Hanya untuk kawasan hutan produksi terbatas diarahkan pada kawasan hutan produksi terbatas yang
tidak produktif. Untuk menentukan kriteria kawasan hutan produksi terbatas yang tidak produktif
dilakukan kajian adiminstrasi dan lapangan oleh Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan bertanggung
jawab di bidang pengelolaan hutan produksi.
Sampai disini, saya tetap masih gagal paham, untuk apa dibedakan hutan produksi biasa dan hutan
produksi terbatas. Apa ada yang bisa membantu menjelaskan ?
=========
Sedangkan hutan produksi adalah kawasan hutan yang berfungsi untuk menghasilkan atau dieksploitasi
hasil hutannya. Contohnya adalah Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), serta
jenis hutan untuk kepentingan produksi lainnya yang dapat menghasilkan berbagai jenis kayu dan non
kayu.
Hutan produksi adalah kawasan hutan yang dimanfaatkan untuk menghasilkan produk hasil hutan.
Produk yang dihasilkan dapat berupa hasil hutan berupa kayu atau hasil hutan non kayu. Secara lebih
luas, hutan jenis produksi juga meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan
pengambilan hasil hutan, baik kayu serta non kayu.
Kebutuhan masyarakat akan bahan baku yang bersumber dari hutan dapat dipenuhi dari pengelolaan
hasil hutan produksi. Hutan jenis ini memiliki luas area yang besar dan umumnya dikelola oleh
perusahaan swasta atau pemerintah daerah setempat. Selain di Pulau Jawa, pengelolaan hutan produksi
dikelola oleh Perum Perhutani
Untuk dapat mengelola hutan produksi, maka harus memiliki izin usaha, seperti:
Secara keseluruhan, Indonesia memiliki 129 juta hektar kawasan hutan. 72 hektar diantaranya adalah
kawasan hutan produksi. Sedangkan jumlah lainnya berupa hutan konservasi dan hutan lindung. Oleh
karena itu, hutan fungsi produksi merupakan kawasan hutan terluas dibanding jenis hutan lainnya.
Berdasarkan peraturan di Indonesia, hutan produksi dibagi menjadi 3 jenis hutan, yaitu:
Hutan Produksi Tetap adalah hutan produksi yang dapat dieksploitasi hasil hutannya melalui cara tebang
pilih atau tebang habis. Hutan produksi tetap umumnya berupa kawasan hutan yang topografinya landai
dan tanah rendah erosi, serta memiliki curah hujan yang sedikit.
Indeks areal Hutan Produksi Tetap harus berada dibawah 125 dan bukan termasuk hutan lindung, hutan
suaka alam, dan hutan taman buru. Penghitungan indeks tersebut dilakukan berdasarkan metode
skoring.
Hutan Produksi Terbatas adalah hutan yang dikhususkan untuk dieksploitasi kayunya dalam intensitas
rendah. Untuk mendapatkan hasil hutan berupa kayu, metode yang dilakukan adalah dengan tebang
pilih.
Hutan jenis ini biasanya berada di wilayah pegunungan dengan lereng-lereng curam. Berdasarkan indeks
skoring, skor HPT berada antara 125 hingga 174 dan bukan berupa kawasan yang dilindungi seperti
hutan konservasi atau hutan lindung.
Hutan produksi yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan kayu atau non
kayu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Berupa hutan homogen, yaitu pada kawasan hutan hanya terdapat satu jenis tanaman atau
pohon. Contohnya hutan karet maupun hutan jati
2. Pemanfaatan hutan untuk kebutuhan konsumtif
3. Areal hutan luas untuk memenuhi kebutuhan hasil hutan bagi manusia
4. Dimiliki dan dikelola oleh perusahaan swasta atau pemerintah daerah setempat
5. Pengawasan ketat terhadap pemanfaatan dan penggunaannya
Di Indonesia, secara keseluruhan hutan tersebar secara heterogen. Beragam jenis hutan dapat
ditemukan mulai dari Sabang sampai Merauke.
Luas total hutan di Indonesia adalah 129 juta hektar, dimana 72 hektar adalah kawasan hutan produksi.
Sebagian besar hutan tersebut berada di wilayah Kalimantan, Sumatera dan Jawa.
Pengelolaan hutan produksi memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan, industri dan
ekspor, sehingga tanaman yang terdapat di dalam hutan umumnya berupa jati, tusam, mahoni, damar,
jabon, dan bambu yang memiliki nilai fungsi dan nilai ekonomi.
Produk hasil dari hutan produksi meliputi hasil hutan kayu dan non kayu, antara lain:
1. Kayu
Kayu adalah hasil hutan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Kayu merupakan bagian batang /
cabang / ranting tumbuhan yang mengeras akibat proses lignifikasi atau pengayuan secara alami. Kayu
terbentuk akibat akumulasi selulosa dan lignin pada bagian dinding sel berbagai jaringan pada batang
pohon.
Hasil hutan jenis produksi berupa kayu diperoleh dari pohon-pohon komersial, seperti jati, mahoni,
kamper, jabon, meranti, eboni dan lain sebagainya.
2. Non Kayu
Hutan produksi juga menghasilkan hasil hutan non kayu (HHNK) atau hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Hasil Hutan Bukan Kayu adalah hasil hutan hayati meliputi nabatu atupun hewani serta produk
turunannya kecuali kayu yang berasal dari hutan. HHBK merupakan sumber daya alam yang memiliki
potensi untuk dikembangkan serta jumlahnya sangat melimpah.
Hasil hutan jenis ini diperoleh dari flora dan fauna yang hidup di dalam hutan. Contohnya adalah rotan,
getah, damar, getah pinus, buah-buahan, bambu, sagu, madu, nipah dan lainnya.
Kawasan hutan yang luas dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti budidaya tanaman
obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, budidaya ulat sutra, penangkaran satwa,
budidaya sarang walet, budidaya pakan ternak.
Hutan memiliki potensi untuk memberikan jasa lingkungan, antara lain pemanfaatan aliran air,
pemanfaatan sumber air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan
perlindungan lingkungan, penyerapan dan atau penyimpan karbon.
Pemanfaatan jasa lingkungan ini tentunya tidak dilakukan dengan merusak lingkungan dan mengurangi
fungsi utamanya.
======
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) mempunyai mandat untuk dapat menjaga kelestarian hutan
sekaligus mempertahan fungsinya. Adanya tanggung jawab yang demikian berat ini tentu harus
dikerjakan bersama mitra yang benar-benar mempunyai komitmen untuk bekerjasama dengan KPH
menuju kelestarian hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan
Peraturan Menetri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 diketahui ada beberapa
program Perhutanan Sosial (PS) yang bisa dan harus dilaksanakan di suatu KPH dalam menjawab kondisi
dan tantangan di lapangan.
Khusus untuk menjawab pemasalahan perambahan maka KPH hendaknya melaksanakan program
perhutanan sosial yang harus mempertimbangkan kondisi sosial secara cermat dalam menjalankan
setiap programnya. Khusus tentang Perhutanan Sosial telah keluar peraturannya di tahun 2016 atau
lengkapnya berupa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 yang harus menjadi acuan dalam pelaksanaan di lapangan.
Disamping itu KPH juga harus pula mempertimbangkan aspek ekonomi dan ekologi yang ada di
lingkungannya. Harus ada keseimbangan ketiga aspek tersebut dalam menjalankan suatu program
kehutanan di lapangan agar tujuan program dapat tercapai [13].
Lesson learned tentang perlunya keseimbangan 3 aspek tersebut telah dibuktikan ketika implementasi
program pemberdayaan masyarakat lebih dari 5 tahun di Tahura Register 19 dan di sekitar Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan atau TNBBS [11], [14].
Bila hanya memperhatikan salah satu aspek maka capaian program tidak akan optimal karena
masyarakat tetap memerlukan adanya kecukupan kebutuhan keseharian. Aspek ekonomi dan
pemanenan hasil hutan akan dapat berkelanjutan jika kondisi ekologi KPH tetap terjaga dengan baik.
Dengan demikian bisa dipahami kompleksitas yang ada dalam mengimplementasikan suatu program
sehingga KPH memerlukan mitra agar tetap dapat menjaga adanya keseimbangan 3 aspek tersebut
dalam mengoperasionalkan suatu program perhutanan sosial.
Kondisi nyata perlunya ada keseimbangan 3 aspek tersebut ketika implementasikan program dapat
ditemui di salah satu unit yaitu di KPH Batutegi yang sebagian besar wilayahnya adalah hutan lindung.
Kepala KPH ini menerapkan beberapa skema dalam menjaga kelestarian hutan disesuaikan dengan
kondisi di lapang, yaitu kemitraan dan HKm. Pada 2 skema yang dijalankannya KPH Batutegi berusaha
untuk bisa menggandeng mitra, baik itu kelompok masyarakat, pemerintah, LSM ataupun swasta.
Kondisi serupa dalam menggandeng mitra untuk impelementasikan program juga dilakukan oleh hampir
semua KKPH di Provinsi Lampung, termasuk kemitraan di KPH Gedong Wani dan Way Terusan yang
merupakan hutan produksi. [10] maupun [7] menyebutkan bahwa bekerjasama dengan mitra atau
bermitra atau kemitraan bisa mempunyai arti bentuk suatu persekutuan oleh berbagai pihak, yaitu dua
pihak maupun lebih.
Persekutuan ini adalah suatu ikatan kerja sama berdasar adanya kesepakatan para pihak yang saling
memerlukan dalam meningkatkan kapabilitas dan kapasitas untuk melakukan suatu usaha dan tujuan
tertentu sehingga bisa memperoleh hasil lebih baik.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kemitraan bisa terjadi jika empat persyaratan sebagai berikut ini
terpenuhi, yaitu:
d. Pihak-pihak yang bekerjasama merasa saling memerlukan satu sama lain. Keempat syarat tersebut
adalah syarat minimum untuk dapat diberlangsungkannya program kemitraan di suatu wilayah sehingga
diharapkan bisa menguntungkan bagi semua pihak yang bermitra atau kemitraan yang mutualitik atau
mutualism partnership [10].
Berdasarkan cermatan di lapang ternyata tidak semua kemitraan bersifat mutualistic karena ada pula
yang merupakan kemitraan semu (Pseudo partnership) atau kemitraan sebagai proses peleburan atau
pengembangan program yang telah dilakukan mitra (Conjugation partnership). Dengan demikian
kemitraan tersebut belum tentu akan menguntungkan bagi masyarakat.
Penelitian ini melakukan cermatan kemitraan dalam lingkup perhutanan sosial atas kecenderungan yang
terjadi di Provinsi Lampung. Pada dokumen usulan percepatan PS bulan Agustus tahun 2018 Provinsi
Lampung diketahui bahwa sebagian besar atau 45 dari 70 (64,29%) usulan para KKPH akan
mengembangkan program kemitraan.
Mengapa demikian? Hingga saat ini belum ada penelitian tentang kondisi tersebut. Apa sebenarnya
tujuan kemitraan yang mereka jalin? Bagaimana mereka dapat mewujudkan kemitraan dengan
spesifikasi yang sesuai agar tujuan programnya tercapai? Apa peran mereka dalam kemitraan tersebut?
Bagaimana cara mereka menyusun strategi dalam bermitra? Berdasarkan beberapa pertanyaan tersebut
maka penelitian ini mempunyai tujuan: Mengidentifikasi dan Memformulasikan Peran KPH yang ideal
terhadap Program Perhutanan Sosial yang dilaksanakan oleh Mitra
Berdasarkan analisis data didapatkan hasil bahwa faktor pendukung internal yang tertinggi nilainya
adalah kemitraan menghasilkan benefit sharing yang lebih jelas, diikuti dengan masyarakat memerlukan
lahan kelola sehingga mereka mau mengelola lahan dengan skema kemitraan, selanjutnya karena
masyarakat harus memenuhi kebutuhan ekonominya secara berkelanjutan. Faktor pendukung pertama,
adanya pembagian keuntungan yang jelas juga mempunyai posisi penting dalam penelitiannya [1]
tentang kemitraan dalam pengusahaan hasil hutan kayu.
Adanya permintaan yang tinggi, perolehan izin kemitraan lebih simpel, ketersediaan sumberdaya hutan
dan dukungan pemda adalah faktor-faktor eksternal yang secara berurutan mendukung
implementasinya program kemitraan antara KPH dengan masyarakat. Tingginya permintaan hasil hutan
kayu juga menjadi faktor pendorong adanya program kemitraan dalam penelitiannya [1], juga dalam
penelitiannya [13] di Kemitraan yang terjadi di Way Kanan, Provinsi Lampung. Simpelnya proses
perizinan memang sangat mungkin jadi faktor pendorong terjadinya kemitraan di KPH, terutama
sebelum terbitnya Perdirjen KSDAE Nomor P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018. Ketika implementasi harus
berdasarkan Perdirjen terbaru tersebut maka sesungguhnya proses pengembangan kemitraan tidak lagi
sesimpel sebelumnya. Terkait dengan ketersediaan sumbedaya alam, ternyata temuan ini seperti hasil
penelitian yang dilakukan oleh [15] tentang kemauan masyarakat untuk mengikuti program kemitraan
konservasi karena adanya sumberdaya alam hayati yang dapat mereka manfaatkan.
Adapun faktor penghambat internal yang tertinggi nilainya adalah masih banyaknya masyarakat yang
bermukim dalam hutan sehingga harus segera dicari jalan keluarnya agar mereka tidak lagi bermukim
dalam hutan, kemudian faktor modal karena dalam bermitra masyarakat memerlukan modal awal yang
tidak sedikit. Pada posisi ketiga yaitu minimnya keahlian yang dimiliki masyarakat untuk
mengembangkan program kemitraan misal lewat modifikasi hasil.
Banyak penelitian yang membuktikan bahwa lama masyarakat bermukim di suatu wilayah akan
berpengaruh terhadap suatu program termasuk kemitraan sebagaimana penelitian [9] di Mozambique
dan [3] di Sulawesi Selatan. Periode bermukim berpengaruh, demikian pula dengan jumlah
pemukimnya. Adanya banyak masyarakat yang bermukim dalam hutan lindung maupun hutan produksi
menjadikan implementasi program kemitraan tidak bisa berjalan secara optimal karena peraturan
kehutanan di Indonesia melarang adanya pemukiman di 2 kawasan hutan tersebut. Disisi lain, masih
ditemukan di lapangan bahwa sesungguhnya masyarakat ingin memiliki kawasan hutan tempat mereka
bermukim sehingga ketika ada program pemerintah diaplikasikan maka mereka akan sangat berhati-hati
dalam menerimanya. Hal ini adalah pemasalahan yang spesifik ditemukan dalam pembangunan
kehutanan di Indonesia karena banyak ditemukan kawasan hutan yang ternyata sudah tidak merupakan
hutan lagi namun sudah berupa suatu kawasan pemukiman yang lengkap dengan berbagai sarana
umum termasuk kantor kepala desa.
Urutan nilai tertinggi untuk variabel penghambat eksternal yaitu fluktuasi harga pasar, kemudian minim
kapasitas untuk bisa akses informasi pasar, dan minimnya respon lembaga keuangan untuk bisa
memberikan pinjaman atau hibah ke kelompok masyarakat yang bermitra dengan KPH. Selain itu juga
jaringan pasar yang masih terbatas juga jadi pembatas eksternal. Fluktuasi harga pasar komoditas
menjadi penghambat karena masyarakat belum mempunyai akses yang memadai terhadap informasi
harga pasar. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap persepsi dan kemauan masyarakat untuk bermitra.
[2] telah menemukan bahwa fluktuasi harga komoditas yang dihasilkan berpengaruh terhadap
diselenggarakannya program REDD. Dengan demikian diperlukan peran yang spesifik dari KKPH untuk
mengatasi pemasalahan ini. Salah satu KKPH lokasi penelitian telah lakukan program memotong jalur
pemasaran hasil hutan dari produsen atau masyarakat langsung ke konsumen tanpa melalui perantara.
Upaya ini membuat harga komoditas lebih stabil dan lebih pasti margin (keuntungan) yang didapat oleh
masyarakatnya.
Berdasarkan 4 kategori yang disebutkan sebagai faktor pendukung dan faktor penghambat sebagaimana
yang terlihat pada Tabel 1. maka dapat dikatakan bahwa hasil penelitin ini bisa digunakan untuk dasar
penyusunan strategi pengelolaan bagi para KKPH dalam bermitra dengan kelompok masyarakat
Alternatif yang bisa diambil untuk dapat aplikasikan kemitraan secara optimal adalah
mempertimbangkan fungsi pihakpihak yang bermitra. [4] menyatakan bahwa jika pihak yang bermitra
adalah pemerintah, swasta dan masyarakat maka:
a. Pemerintah mempunyai fungsi yang terkait dengan pelayanan publik dan kebijakan baik membuat,
mengendalikan, mengawasi kebijakan yang digunakan atau yang sesuai.
c. Masyarakat mempunyai fungsi: 1) Sesuai dengan posisinya: subjek dan atau juga sebagai objek dari
program kemitraan 2) Turut aktif sebagai pengontrol atas kinerja swasta juga pemerintah.
=====
Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu, 9 Oktober 2019.
Membangun tata hubungan kerja antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan wujud
kepedulian pemerintah pusat dan daerah untuk percepatan Program Perhutanan Sosial. Terutama
kaitannya dengan kejelasan peran dalam pelaksanaan tugas, wewenang dan tanggung jawab serta
kerjasama dan integrasi program dengan berbagai pihak yaitu lembaga pemerintah pusat, daerah
maupun para pihak lainnya seperti LSM, Perguruan Tinggi, Swasta serta masyarakat sebagai
pelaku utama.
Pemberian izin Perhutanan Sosial, selain diharapkan untuk menjaga kelestarian hutan juga dapat
menjadikan masyarakat yang mandiri secara ekonomi. "Sistem bisnis Perhutanan Sosial bersifat
terpadu, dari subsistem hulu (on-farm), industry pasar (off-farm) dan susbsistem pendukungnya
seperti kelembagaan, modal, teknologi, inovasi dan sebagainya yang keseluruhannya
memerlukan dukungan dari berbagai pihak terkait yang di pusat maupun daerah", jelas Direktur
Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Bambang Soepriyanto pada acara
Kolaborasi Kreasi (Ko-Kreasi) Tata Hubungan Kerja Perhutanan Sosial yang dilakukan pertama
kali di Padang, Sumatera Barat, Rabu (09/10/2019).
Dalam rangka menjaga kelestarian hutan tentu diperlukan integrasi dan sinkronisasi dengan KPH
selaku pengelola kawasan hutan di tingkat tapak. Dengan demikian peran KPH selaku pemangku
dan pengelola kawasan sangat penting dalam hal memfasilitasi pelaksanaan kegiatan.
Sedangkan untuk menjadikan masyarakat mandiri secara ekonomi dibutuhkan sistem bisnis
perhutanan sosial mulai dari hulu, hilir dan pasarnya. "Bisnis yang dilakukan masyarakat ini
yang akan kita dorong agar terjadi sentra-sentra ekonomi berbasis desa", tambah Bambang.
Pemerintah melalui KLHK telah menetapkan target areal pengelolaan hutan oleh masyarakat seluas 12,7
juta hektar melalui skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan
Kemitraan Kehutanan
=====
”KPH fokus dikelola masyarakat sekitar hutan dengan skema perhutanan sosial.
Ini untuk pemberdayaan masyarakat sekitar hutan secara ekonomi,”
Selama ini, katanya, KPH yang dikelola warga sudah memiliki beragam usaha,
tetapi secara kelembagaan masih lemah.
Harapannya, KPH, antara lain bisa jadi kelompok usaha hutan kelola masyarakat
yang memiliki rencana kerja jangka panjang hingga mendorong peningkatan
ekonomi sejalan kelestarian lingkungan di tingkat tapak.
”Selama ini, pemasaran (produk hutan non kayu) jadi penting, kunci pemasaran
itu jaringan dan pengemasan, serta kontinuitas pemasok,” katanya.
KPH pun harus menyusun rencana kerja usaha (RKU) hingga memiliki tujuan
dan hasil lebih jelas serta terukur. “Ini jadi modal bagi lintas sektoral maupun
swasta dalam menggandeng dan meyakinkan usaha kehutanan.”
Untuk itu, katanya, perlu ada identifikasi setiap KPH. Rufi’ie, Direktur
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Ditjen Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari menginginkan kluster industri berdasarkan potensi keunggulan
komoditas daerah.
Dia contohkan, madu hutan jadi unggulan KPH Sumbawa tetapi perlu sinergitas
lintas daerah dalam mengelola hasil hutan bukan kayu bahkan sampai
pengelolaan produk turunan.
Terpenting dalam pengembangan KPH lintas sektoral ini, kata Rufi’ie, fokus
koordinasi dan integrasi pada tujuan sama. Meski diakui, aturan sektoral
seringkali menghambat.
Model pertama
Salah satu produk andalan, madu hutan.”Ke depan, madu bisa jadi ikon dan
nilai tambah masyarakat untuk tetap menjaga kelestarian hutan.”
Enam lainnya, KPH Yogyakata, Tasik Besar Serkap (Riau), Berau Barat
(Kalimantan Timur), Gularaya (Sulawesi Tenggara), dan KPH Gunung Sinopa
(Maluku Utara).
Pendanaan
”Kami siap bekerjasama dengan KPH NTB dalam mengembangkan usaha kecil
menengah kehutanan sekaligus meningkatkan fungsi sosial, ekonomi, dan
ekologi hutan KPH,” katanya.
”Perlu ada garansi kualitas dan kuantitas agar tetap kontinyu,” kata I Wayan
Surya Dhiyana, Direktur PT Wira Usaha Lebah Kreasi.
Komitmen daerah
Ida Bagus Putera Parthama, Dirjen PHPLmewakili KLHK dan Pemerintah NTB
diwakili Wakil Gubernur Muhammad Amin.
Amin mengatakan, MoU ini komitmen antara pemerintah pusat dan daerah
dalam membangun kolaborasi, dan sinkronisasi guna mempercepat kinerja
KPH.
=====
Isu-isu Sumber Daya Alam (SDA) khususnya Kehutanan tak bisa dilepaskan dari
kawasan hutan (Negara), yang sesuai dengan amanat Undang-undang menjadi
tanggung jawab Negara (Pemerintah) untuk mengurusnya. Dalam konteks
pengelolaan, seluruh kawasan hutan di Indonesia dibagi dalam wilayah-wilayah
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Maka segala macam isu kehutanan yang
muncul akan bersentuhan dengan KPH. Isu-isu kehutanan tersebut antara lain
permasalahan konflik tenurial dalam kawasan hutan, pemberdayaan
masyarakat, kebakaran hutan, deforestasi dan degradasi hutan, illegal logging,
perambahan hutan, bencana banjir dan longsor, permasalahan
hilangnya biodiversity hutan.
Apabila suatu kawasan hutan potensinya sudah terdegradasi, maka apabila ada
institusi di tingkat tapak, diharapkan penyelenggaraan rehabilitasi kawasan
akan ada yang bertanggung jawab, sehingga kegiatan rehabilitasi di wilayah
tersebut akan berhasil yang sekaligus dapat memperbaiki kualitas SDH yang
ada.
Apabila suatu kawasan hutan mempunyai potensi SDH yang bagus, namun
tidak ada institusi di tingkat tapak, maka SDH tersebut tidak ada yang menjaga
sekaligus mengelola, kondisi demikian akan mengakibatkan wilayah tersebut
rawan akan kegiatan-kegiatan illegal (misalnya penebangan liar, perambahan,
kebakaran hutan).
Apabila suatu kawasan hutan potensinya sudah terdegradasi dan tidak ada
institusi di tingkat tapak, maka dapat dipastikan kegiatan-kegiatan
pembangunan dalam rangka mencapai peningkatan kualitas SDH di wilayah
tersebut akan terkendala dan bukan tidak mungkin wilayah tersebut akan
semakin rusak.
Sesuai peraturan perundang-undangan yang ada tugas pokok dan fungsi KPH
adalah:
1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi:
1. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;
2. Pemanfaatan hutan;
3. Penggunaan kawasan hutan;
4. Rehabilitasi hutan dan reklamasi (Catatan: Khusus untuk
Rehabilitasi dan Reklamasi yang berada dalam Kawasan
Hutan, karena sesuai UU 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah kewenangannya ada di Pusat, saat ini
sedang dicarikan solusi dan kebijakan agar KPH sebagai
Institusi Tapak dapat berperan karena bagaimanapun KPH
yang mempunyai tanggung jawab terhadap keberadaan
kondisi dan potensi hutan yang ada di dalamnya); dan
5. Perlindungan hutan dan konservasi alam.
2. Menjabarkan kebijakan kehutanan Nasional, Provinsi, Kab/Kota untuk
diimplementasikan.
3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta
pengendalian.
4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan
pengelolaan hutan di wilayahnya.
5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan
pengelolaan. Hutan.
Sebagai Organisasi tingkat tapak, maka tupoksi KPH tersebut akan benar-benar
memastikan KPH untuk melaksanakan:
Dengan posisi keberadaan KPH di tingkat tapak serta dengan tugas dan fungsi
KPH tersebut, sangat terlihat peran-peran strategis KPH, antara lain:
Tantangan
Akan ada tantangan internal dan eksternal untuk mewujudkan peran strategis
itu. Tantangan KPH sebagai Organisasi Tapak antara lain: Kuatnya kelembagaan
KPH, Dukungan kuat para pihak, Sinergi dan sinkronisasi dengan pembangunan
sektor lain.
Pertama, Kelembagaan KPH yang kuat antara lain melalui ketersediaan Sumber
Daya Manusia (SDM) pengelola KPH secara kualitas dan kuantitas. Karena
bersifat operasional pengelolaan hutan, maka SDM pengelola harus memenuhi
syarat kompetensi dan profesionalisme di bidangnya. Peraturan Menteri
Kehutanan (sekarang Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
No.P.42/Menhut-II/2011 tentang Kompetensi Bidang Teknis Kehutanan pada
KPH, menjadi rujukan untuk menempatkan personil pengelola KPH.
Kedua, Dukungan kuat pihak terkait di Pusat dan Daerah antara lain:
Kementerian/lembaga (KLHK, Kemendagri, Bappenas, Kemenkeu dll), DPR,
DPRD, Gubernur, Dinas yang menangani kehutanan, Instansi terkait,
masyarakat. Para pihak paham dan sadar akan adanya manfaat keberadaan
KPH, sehingga diwujudkan dalam komitmen untuk dimasukkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dukungan ini untuk memastikan salah
satunya ketersediaan sumber daya pendanaannya.
=====
1. Mengapa memiliki Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)? Indonesia adalah salah satu negara
yang memiliki hutan yang luas di dunia dengan berbagai jenis hutan, rumah bagi lebih dari 10%
spesies tumbuhan dan hewan di dunia. Sekitar 130 juta ha (lebih dari 70% dari daratan
Indonesia) diklasifikasikan sebagai kawasan hutan. Hutan sangat penting, tidak hanya untuk
pembangunan ekonomi nasional dan mata pencaharian masyarakat setempat, tetapi juga
berfungsi sebagai sistem lingkungan global. Kegiatan berbasis hutan dan industri kehutanan
merupakan penyerap utama tenaga kerja di Indonesia dan sampai 30 juta orang secara langsung
bergantung pada pengelolaan sumber daya hutan. Namun kurangnya tata kelola hutan yang
memadai, struktur manajemen dan penegakan hukum di tingkat lokal memicu deforestasi besar-
besaran dan degradasi hutan di seluruh negeri memberikan kontribusi hampir 60% dari emisi gas
rumah kaca nasional.
Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di tingkat lokal sebagai entitas manajemen
baru dan permanen secara langsung menangani permasalahan yang ada dan memberikan dasar
untuk tata kelola hutan yang lebih baik, perencanaan, (co-) manajemen sumber daya hutan,
pemantauan dan keterlibatan pemangku kepentingan. Selain KPH akan memainkan peran kunci
dalam upaya lokal menuju pembangunan berkelanjutan ekonomi, mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim serta konservasi keanekaragaman hayati.
Apa itu Kesatuan Pengelolaan Hutan Suatu Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah: • Suatu penyedia
layanan publik di bawah tanggung jawab pemerintah pusat, daerah dan kabupaten. • Suatu unit
operasional yang dikelola dan dikendalikan utamanya tertutup oleh hutan. • Suatu entitas permanen
yang didirikan secara legal dengan tata batas hutan yang jelas KPH memiliki tujuan pengelolaan
ekonomi, sosial dan ekologi yang jelas yang ditetapkan melalui rencana pengelolaan jangka panjang,
rencana kerja tahunan dan rencana usaha yang terkait erat dengan fungsi hutan utama (misalnya hutan
produksi, hutan lindung). Tugas operasional dan administrasi ditentukan oleh tujuan pengelolaan jangka
panjang dan oleh pengelola hutan (perusahaan komersial, masyarakat, perusahaan hutan negara) yang
beroperasi di wilayah tersebut.
Apa jenis-jenis KPH saat ini? Suatu KPH umumnya terdiri dari berbagai kawasan hutan, termasuk: •
Kawasan dengan ijin pengusahaan berjangka waktu panjang yang meliputi areal hutan alam dan hutan
tanaman (HPH, HTI, HTR); • Area yang lebih kecil dari desa, masyarakat, budaya hutan, area yang lebih
kecil hutan kemasyarakat (HKM); dan • Kawasan dengan berbagai luasan tanpa izin pengusahaan
(wilâyah tertentu) (sebagian besar wilayah bekas konsesi tanpa cukup stok kayu yang tersisa). Semua
wilayah ini, meskipun menjadi bagian dari KPH yang sama, dikelola atau harus dikelola secara berbeda
dan memerlukan pendekatan yang berbeda. Selain sebuah KPH mungkin mencakup berbagai jenis hutan
termasuk konservasi, hutan lindung dan hutan produksi dan akan diberi nama sesuai dengan jenis hutan
yang paling dominan sebagai berikut: • KPH Konservasi - Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK)
dengan fungsi utama konservasi keanekaragaman tumbuhan dan hewan dan ekosistemnnya. • KPH
Lindung - Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dengan fungsi utama perlindungan sistem
pendukung kehidupan untuk mengatur air, mencegah banjir, mengontrol erosi, mencegah intrusi air laut
dan menjaga kesuburan tanah. • KPH Produksi - Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dengan
fungsi utama menghasilkan produk hutan
Oleh karena itu pengelolaan wilayah ini akan didasarkan pada rencana pengelolaan jangka panjang dan
jangka pendek yang sesuai bagi daerah masing-masing dengan berbagai jenis manajemen.
Apa tugas pokok dan fungsi dari suatu KPH dan apa hubungannya dengan Kementerian Kehutanan dan
Dinas Kehutanan, pemegang konsesi dan masyarakat? Sementara di tingkat nasional (Kementerian
Kehutanan) dan subnasional (Dinas Kehutanan) menyediakan kerangka administrasi hutan, KPH
bertanggung jawab atas pengelolaan hutan dari hari ke hari di tingkat tapak dengan memastikan bahwa
semua fungsi dan layanan dari hutan di daerah tersebut terjaga, dan bahwa pengelolaan hutan lestari
(PHL) diimplementasikan. Hal ini dicapai dengan: • Pemantauan dan pengendalian rencana pengelolaan
hutan dan operasional pengelola hutan swasta (konsesi hutan). • Memberikan saran/jasa, menyetujui,
pemantauan dan pengendalian rencana pengelolaan hutan dan operasional hutan yang dilakukan oleh
masyarakat lokal (misalnya masyarakat dan hutan desa). • Pengelolaan hutan negara tidak diberikan
kepada pihak ketiga secara langsung untuk pengusahaan (misalnya hutan ‘open access’) termasuk
rehabilitasi hutan, reklamasi, perlindungan dan konservasi alam. • Membantu untuk menyelesaikan
klaim tumpang tindih yang menyebabkan konflik dan dapat mengancam fungsi hutan.
Berapa luas rata-rata KPH? Luas rata-rata dari 60 Model KPH adalah sekitar 133.000 ha namun dapat
bervariasi secara signifikan, mulai dari 4.500 ha hingga 780.000 ha tergantung pada karakteristik dari
jenis hutan, manajemen dan kepemilikan. Luas optimal suatu KPH sulit untuk ditetapkan, karena itu
kriteria yang digunakan yang bisa menjamin organisasi KPH yang efektif dan efisien yang akan dibentuk,
seperti tujuan pengelolaan, kondisi daerah tangkapan sungai dan batas administrasi.
Bagaimana pengembangan dan pengoperasian KPH dibiayai dan dihubungkan dengan pemerintah pusat
dan daerah? Sumber-sumber pendanaan untuk pembangunan KPH berasal dari: • APBN • APBD •
Sumber lain sesuai peraturan dan perundangan Namun, bantuan keuangan yang signifikan dari sumber-
sumber lokal, nasional dan internasional akan diperlukan untuk menyiapkan struktur manajemen serta
infrastruktur teknis KPH. Pembiayaan operasional KPH tergantung pada jenis KPH. KPH Konservasi
diharapkan tergantung pada anggaran lokal, regional dan nasional, sedangkan untuk pembiayaan
operasional bagi KPH Produksi dan KPH Lindung disarankan berasal dari sistem manajemen keuangan
penyedia pelayanan publik seperti Badan Layanan Umum (PPK-BLU) atau Badan Layanan Umum Daerah
(PPK-BLUD).
Apa peran KPH dalam mitigasi perubahan iklim (REDD+, Rencana Pengurangan Emisi Nasional dan
Regional) dan adaptasi perubahan iklim? KPH adalah elemen kunci dalam mitigasi perubahan iklim lokal
dan upaya adaptasi. Dengan melakukan perencanaan hutan (inventarisasi dan penilaian stok),
manajemen (termasuk penanaman, penjarangan, pemanenan) serta kegiatan konservasi, yang
kesemuannya menyediakan dasar untuk berfungsinya MRV (Measurement, Reporting, Verification) dan
menjaga sistem informasi (Safeguarding Information System - SIS) di bawah Rencana Pengurangan Emisi
Indonesia (RAN/RAD-GRK) dan mekanisme REDD+ di masa mendatang. Selain penerapan teknik-teknik
pengelolaan hutan lestari dan konservasi hutan memberikan kontribusi signifikan terhadap adaptasi
perubahan iklim dan kapasitas adaptif masyarakat lokal misalnya dengan menanam jenis pohon yang
diadaptasi secara lokal, mengamankan sumber daya air tawar, stabilisasi tanah dan menyediakan pilihan
mata pencaharian alternatif (misalnya penggunaan kayu dan hasil hutan bukan kayu), pengendalian
kebakaran hutan dll.
Apa peran KPH dalam konservasi keanekaragaman hayati? Tujuan utama dari KPH Konservasi adalah
menjaga keanekaragaman hayati tumbuhan darat dan fauna dan fungsi lingkungan serta jasa
lingkungan. Namun, lebih dari 70% dari keanekaragaman hayati terestrial di Indonesia yang ditemukan
di luar taman nasional dan kawasan lindung dan terancam terutama akibat degradasi hutan dan
konversi lahan hutan. KPH Lindung dan KPH Produksi yang dikelola secara efektif juga memiliki potensi
tinggi untuk melestarikan keanekaragaman hayati ekosistem hutan yang tersisa. Hutan lindung dan
hutan produksi di bawah pengelolaan KPH dapat berfungsi sebagai zona penyangga untuk kawasan
lindung, secara efektif melestarikan habitat spesies dan pada saat yang sama mengurangi ancaman
terhadap keanekaragaman hayati. Dalam hal lainnya, KPH mendukung pemeliharaan koridor hutan
antara kawasan lindung dan sistem penggunaan lahan lain untuk migrasi spesies. Kontribusi lain
terhadap konservasi keanekaragaman hayati adalah implementasi pendekatan pengelolaan hutan
bersama yang jelas dan tepat dalam melayani kepentingan dan kebutuhan pengguna hutan lokal.
Pengeloaan yang efektif di tingkat tapak, kerja sama yang intensif dengan masyarakat lokal melalui
skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), seperti pengelolaan hutan desa, hutan
kemasyarakatan dan hutan adat akan memastikan tata kelola hutan yang baik dengan keterlibatan
masyarakat dan pembagian keuntungan
Apa peran KPH dalam pembangunan berkelanjutan/ekonomi hijau? KPH memiliki potensi yang signifikan
untuk berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan dan pembangunan hijau di Indonesia dengan
melindungi sumber daya alam (hutan berkelanjutan dan konservasi DAS terpadu, menjaga jasa
lingkungan), mengurangi emisi gas rumah kaca dari hutan dan lahan gambut, meningkatkan mata
pencaharian masyarakat lokal dan mengembangkan konsep-konsep ekonomi yang berkelanjutan.
Terutama KPH Produksi memiliki potensi tinggi untuk mengembangkan manajemen yang baik dan
rencana bisnis berdasarkan komoditas utama hutan dan produk bukan kayu, termasuk kayu yang
dipanen secara lestari, produk dan jasa hutan bukan kayu (misalnya rotan, kakao, bambu, karet, gaharu,
madu, obat tanaman, pariwisata dll). Pengelola KPH Produksi juga dapat mempromosikan solusi dan
konsep inovatif untuk melibatkan masyarakat dan sektor swasta dalam menyusun rantai nilai yang
berkelanjutan bagi produk kayu dan hasil hutan bukan kayu, termasuk produksi, pengolahan dan
pemasaran, memberikan pekerjaan tambahan lokal dan pendapatan.
https://www.forclime.org/documents/Brochure/Bahasa/FAQ%20KPH%20_Bahasa.pdf
======
KPH juga menjadi pendorong perwujudan pengelolaan hutan
berkelanjutan, pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat," ujar Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono, Selasa
(7/8).
=====
Hingga tahun 2018, telah terbentuk 390 Lembaga KPH Lindung (KPHL)/KPH
Produksi (KPHP)/KPH Konservasi (KPHK).
64 lembaga KPHK sebagai Organisasi Pusat yang mengelola 147 Unit Wilayah
KPHK, dan 326 Lembaga KPHL/KPHP sebagai UPT Daerah yang mengelola
532 Unit Wilayah KPHL/KPHP.
Tahun 2019 ini, merupakan tahun yang sangat penting bagi pembangunan
KPH. Memasuki RPJMN 2019-2024, pembangunan KPH sudah harus beranjak
dari permasalahan kelembagaan yang menjadi fokus selama beberapa
tahun sebelumnya.
Saat ini, telah berkembang cara-cara baru pengelolaan hutan oleh UPTD
KPH. Yaitu kerjasama KPH dengan masyarakat/para pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Sebagai sebuah gagasan dalam perbaikan tata kelola hutan, KPH menjadi
proritas nasional yang tertuang dalam RPJMN Subsektor Kehutanan. Maka
dari itu hal ini menjadi pertimbangan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dalam menyusun Rencana Strategis 2015-2019. Salah satu
sasaran strategis yang dicapai dalam pelaksanaan Renstra Tahun 2010-2014
adalah wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) ditetapkan di setiap
provinsi dan beroperasinya 120 KPH (20% wilayah KPH yang telah
ditetapkan). Sampai dengan akhir desember 2014 telah terbentuk 120 Unit
KPHL/KPHP Luas: 16,44 juta Ha.
Tantangan Pembangunan dan Operasionalisasi KPH
Latar belakang pembangunan KPH menjadi Prioritas Nasional adalah dalam
rangka menyiapkan Integrated Forest Base Clustering Industry, yang
diharapkan dapat lebih mendistribusikan usaha-usaha kehutanan
(mengurangi praktek monopoli dan oligopoli). KPH yang operasional
diharapkan dapat menjadi pengungkit dalam membangkitkan kembali industri
kehutanan hulu-hilir pada ruang yang efektif, sehingga dapat memacu
perkembangan perekonomian lokal.
=====
Perhutanan Sosial, Kini Masyarakat Legal Mengelola
Hutan
Perhutanan Sosial adalah Sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam
kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat
untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial
budaya. Pemerintah untuk periode 2015-2019 mengalokasikan 12,7 juta hektare untuk
Perhutanan Sosial, melalui skema:
1. Hutan Desa (HD) dengan tenurial HPHD atau Hak Pengelolaan Hutan Desa
2. Hutan Kemasyarakatan (HKm), izin yang diberikan adalah IUP HKm atau Izin Usaha
Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan
3. Hutan Tanaman Rakyat (HTR), izin yang diberikan adalah IUPHHK-HTR atau izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Tanaman Rakyat
4. Hutan Adat (HA), tenurialnya adalah Penetapan Pencantuman Hutan Adat
5. Kemitraan Kehutanan (KK) dalam bentuk KULIN KK atau Pengakuan Perlindungan
Kemitraan Kehutanan dan IPHPS atau Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial di
Pulau Jawa
Permohonan HPHD, IUP HKm dan IUPHHK HTR dapat ditujukan melalui Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau Gubernur setempat.
Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial atau PIAPS adalah alokasi kawasan hutan yang bisa diajukan
oleh masyarakat untuk Perhutanan Sosial. Peta PIAPS lebih rinci dapat di lihat melalui webgis
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
======
Pada 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan
Peraturan Menteri No. 83 tentang Perhutanan Sosial, yang bertujuan
menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat setempat
dan masyarakat hukum adat di dalam atau sekitar kawasan hutan.
Demikesejahteraan masyarakat dan pelestarian fungsi hutan. Dalam peraturan
menteri itu, disebutkan, perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan
lestari dalam hutan Negara atau hutan hak (hutan adat) oleh masyarakat
setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama. Bentuk-bentuk
perhutanan sosial terdiri dari hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm),
hutan tanaman rakyat (HTR), hutan adat (HA), dan kemitraan kehutanan.
Dalam P39 ini, disebutkan, perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani
dilaksanakan pada kawasan hutan dengan penutupan hutan kurang dari 10%
secara terus menerus dalam kurun waktu lima tahun atau lebih. Baik dalam
P83/2016 maupun P39/2017 ditegaskan sejumlah kewajiban pemegang izin
perhutanan sosial, antara lain melakukan penanaman dan pemeliharaan hutan
di areal kerja; mempertahankan fungsi hutan dan perlindungan hutan.
Dari uraian mengenai sejarah kebijakan perhutanan sosial di atas, terlihat sekali
sejatinya program perhutanan sosial tak melulu bertujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat tetapi merehabilitasi kawasan hutan yang rusak
karena model pengelolaan hutan sebelumnya.
Hal ini jelas mematahkan pernyataan soal perhutanan sosial sebagai bentuk
legalisasi deforestasi sebagaimana disampaikan penulis. Tak ada ketentuan
yang memungkinkan terjadi alih fungsi hutan secara permanen melalui skema
perhutanan sosial. Yang ada justru penegasan, bahwa, pemberdayaan
masyarakat melalui program perhutanan sosial tanpa mengganggu fungsi
pokok hutan.
Ada pula masyarakat Sungai Utik yang diakui lembaga sertifikasi berhasil
mengelola hutan secara lestari. Dari sisi ekonomi, kita tentu bisa dengan mudah
menemukan keberhasilan perhutanan sosial. Salah satu contoh, keberhasilan
masyarakat Pegunungan Menoreh mengelola HkM Kalibiru jadi salah satu
tujuan wisata di Yogyakarta dengan pendapatan mencapai lebih Rp1 miliar
pertahun.
Sayang sekali, penulis tidak menyebutkan darimana sumber data itu. Juga tak
menyebutkan program perhutanan sosial yang mana, apakah dalam bentuk
IPHPS, hutan desa, HKm, atau Kemitraan Kehutanan.
Saya menduga, penulis justru salah mengambil data, karena bisa jadi yang
dimaksud adalah data luasan program PHBM yang sudah dijalankan Perhutani
sejak 2001.
Saya , sampai saat ini pelaksanaan program perhutanan sosial masih jauh dari
sempurna. Masih ada banyak kendala baik bersumber dari pemerintah,
kesiapan masyarakat, kapasitas aktor pendukung, prosedur kurang mantap dan
lain-lain. Namun, mengatakan, perhutanan sosial sebagai bentuk legalisasi
deforestasi adalah pernyataan tak berdasar dan ahistoris.
Yang benar, program perhutanan sosial adalah upaya legal reforestasi dengan
jadikan masyarakat sebagai pelaku utama.
=====
Apa itu Program Perhutanan
Sosial? Ini Dia Penjelasan
Lengkapnya
Tahukah Anda, sekarang ini pemerintah punya program menarik agar
masyarakat bisa meningkatkan kesejahteraan dengan mengelola hutan.
Namanya Program Perhutanan Sosial. Perhutanan sosial adalah program
nasional untuk pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan melalui tiga
pilar yakni lahan, kesempatan usaha dan sumber daya manusia.
Perhutanan sosial adalah program legal yang membuat masyarakat bisa turut
mengelola hutan dan mendapatkan manfaat ekonomi. Program ini menepis
ketakutan banyak orang yang selama ini menghadapi banyak kesulitan ketika
hendak memanfaatkan area hutan di sekitar tempat tinggal mereka.
Ada lima skema dalam program ini yaitu Pertama, Skema Hutan Desa yakni
hutan negara yang hal pengelolaannya diberikan kepada lembaga desa untuk
kesejahteraan desa. Kedua, Hutan Kemasyarakatan yaitu hutan negara yang
pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat
setempat.
Pemerintah sudah menetapkan hutan seluas 12,7 juta area hutan disediakan
untuk program perhutanan sosial ini. Bukan itu saja, untuk menjaga kelestarian
hutan sekaligus bisa menciptakan tambahan kesejahteraan warga, pemerintah
akan membentuk Kelompok Kerja Daerah yang bakal bertugas melakukan
pendampingan dan pembinaan bagi masyarakat yang ingin mengajukan diri
dalam program ini. Jadi, kenapa tidak dimulai sekarang? (aj)\
==== =
Berdasarkan dua agenda tersebut maka pemerintah dalam hal ini KLHK membuat suatu
program yang dapat menciptakan keharmonisan antara peningkatan kesejahteraan
rakyat dan pelestarian hutan. Program yang diusung ini adalah program Perhutanan
Sosial.
Program ini memiliki paradigma bahwa pembangunan tidak hanya dilakukan mulai dari
kota, melainkan pembangunan juga dapat dilaksanakan oleh masyarakat pinggiran
(masyarakat sekitar hutan). Program ini juga memiliki tiga pilar dalam pelaksanaannya,
yaitu lahan, kesempatan berusaha, dan sumberdaya manusia.
Komitmen KLHK ini tidak main-main, buktinya adalah adanya lahan seluas 12,7 juta
hektare lahan yang siap untuk dijadikan objek program unggulan KLHK ini.
Program ini pula adalah penjabaran dari “Nawacita” yang diusung oleh kabinet kerja
presiden Jokowi.
Tujuan dari program ini sendiri adalah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
melalui mekanisme pemberdayaan dan tetap berpedoman pada aspek kelestarian hutan.
Berdasarkan hal tersebut maka hal ini menjadi kesempatan yang sangat besar bagi
masyarakat sekitar hutan untuk dapat mengelola dan memberadayakan lahan hutan.
Beradasarkan Permen LHK Nomor 83 tahun 2016 tujuan dari program ini adalah
memberikan pedoman pemberian hak pengelolaan, perizinan, kemitraan dan Hutan Adat
di bidang perhutanan sosial. Program ini juga bertujuan untuk menyelesaikan
permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat setempat dan masyarakat hukum
adat yang berada di dalam atau sekitar kawasan hutan dalam rangka kesejahteraan
masyarakat dan pelestarian fungsi hutan.
Program ini memiliki berbagai skema yang memiliki inti yang masih sama. Skema yang
diusung dalam program ini adalah Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm),
Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), Hutan Adat (HA), dan Kemitraan Kehutanan.
Hutan Desa (HD) adalah hutan negara yang dalam pengelolaannya dilakukan oleh
lembaga desa dengan tujuan untuk menyejahterakan suatu desa.
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang
dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan
produksi dengan menerapkan sistem silvikultur untuk menjamin kelestarian hutan.
Hutan adat adalah hutan yang dimiliki oleh masyarakat adat yang sebelumnya
merupakan hutan negara ataupun bukan hutan negara.
Peraturan Kementerian Kehutanan Nomor 89 tahun 2014 tentang Hutan Desa (download di sini).
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 88 tahun 2014 tentang Hutan Kemasyarakatan (download di sini).
Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Nomor 13 tahun 2016
tentang Pedoman Verifikasi Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) (download di sini).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2012 tentang pengelolaan hutan adat yang
dikembalikan kepada masyarakat hutan adat dan hutan adat bukan merupakan hutan negara,
melainkan tanah adat yang harus dilestarikan (download di sini).
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 39 tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial
di Wilayah Kerja Perum Perhutani (download di sini).
Implementasi program ini dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
Republik Indonesia. Dalam perjalanannya program ini mendapat berbagai dukungan dari berbagai pihak,
tak terkecuali lembaga donor dari berbagai negara. Sebut saja negara Norwegia yang memberikan
bantuan kepada KLHK dalam pembuatan sistem program ini melalui program REDD+ yang difasilitasi
oleh UNDP.
Sebenarnya program ini mulai dicanangkan pada tahun 1999, di mana waktu itu semangat reformasi
masih terasa. Namun dalam pelaksanaannya mengalami ketersendatan yang berarti. Pada tahun 2007
baru program ini mulai dilaksanakan, namun lagi-lagi selama kurang lebih 7 tahun sampai dengan tahun
2014 program ini mengalami ketersendatan kembali. Pada periode tahun 2007 sampai dengan 2014
hanya seluas 449.104,23 hektare lahan yang berhasil melaksanakan skema perhutanan sosial.
Sampai saat ini terdapat 239.341 kepala keluarga yang mendapatkan izin dalam skema pengelolaan
hutan berbasis perhutanan sosial. KLHK juga mengklaim bahwa mereka telah melakukan sosialisasi dan
fasilitasi bagi 2.460 kelompok untuk mengembangkan usaha program unggulan KLHK ini. Target KLHK
sendiri pada tahun 2019 terdapat 5.000 kelompok yang akan difasilitasi.
Akhir kata, akses legal masyarakat untuk mengelola hutan ini diharapkan menjadi jembatan bagi negara
untuk menyejahterakan masyarakat terdepan Indonesia.
Referensi:
Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. 2015. Tentang Program Perhutanan
Sosial. [http://pskl.menlhk.go.id/akps/index.php/site/cara_pendaftaran] diakses pada 12 Desember
2017.
Firdaus A Y. 2017. Perhutanan Sosial dan Tata Cara Permohonannya. Bogor (ID): Center for International
Forestry Research (Cifor)
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.
WEBGIS KLHK. 2017. Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (Revisi I).
[http://webgis.dephut.go.id:8080/kemenhut/index.php/id/peta/petapiaps] diakses pada 12 Desember
2017.
Sumber: https://foresteract.com/perhutanan-sosial/
======
Program ini adalah legal dan membuat masyarakat dapat turut mengelola hutan dan
memperoleh manfaat ekonomi. Perhutanan sosial menepis anggapan masyarakat
mengenai sulitnya memanfaatkan kawasan hutan di sekitar mereka.
Selain itu, program dari pemerintah ini juga bertujuan sebagai solusi atas permasalahan tenurial
dan keadilan bagi masyarakat sekitar hutan dalam memanfaatkan hutan untuk kesejahteraan
dan pelestarian melalui prinsip keadilan, keberlanjutan, kapasitas hukum, partisipatif, dan
bertanggung gugat.
Sesuai dengan Nawacita yang diusung oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo,
Perhutanan Sosial bertujuan untuk pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan
melalui tiga pilar, yaitu lahan, kesempatan berusaha dan sumberdaya manusia. Hal ini
dibuktikan dengan adanya lahan seluas 12,7 hektar yang siap dijadikan objek program
ini.
Skema Hutan Desa (HD), yaitu hutan negara yang hak pengelolaannya diberikan
kepada lembaga desa bagi kesejahteraan desa.
Skema Hutan Kemasyarakatan (HKm), yaitu hutan negara yang hak pemanfaatan
utamanya ddiberikan untuk pemberdayaan masyarakat setempat.
Skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHS), berupa hutan tanaman pada hutan
produksi yang dibuat oleh sekelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan
kualitas hutan produksi melalui sistem silvikulur demi menjamin kelestarian hutan.
Skema Hutan Adat (HA), yakni hutan yang berada di wilyah masyarakat hutan adat.
Skema Kemitraan Kehutanan adalah adanya kerjasama antara masyarakat sekitar
hutan dengan pengelola hutan, sperti pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan, jasa
hutam izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri primer hasil
hutan.
Adanya Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) sangat membantu dalam
menyelesaikan konflik, kegiatan restorasi gambut serta ekosistem.
Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial atau PIAPS pada tiap provinsi dapat diunduh
pada PIAPS Provinsi Indonesia.
Hingga saat ini, sejumlah 239.341 Kepala Keluarga telah memiliki akses legal
mengelola kawasan hutan negara. Selain itu, sosialisasi dan fasilitasi telah diberikan
pada 2.460 kelompok dalam bidang Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial. Pada
tahun 2019, capaian yang menjadi target adalah 5.000 kelompok usaha perhutanan
sosial.
Perhutanan Sosial sejatinya merupakan program hutan untuk rakyat agar terwujud
masyarakat yang mandiri secara ekonomi melalui sektor-sektor ekonomi strategis
domestik.
======
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Siti Nurbaya Bakar mengeluarkan SK Men
LHK Nomor 22/2017. Salah satu yang diatur di dalamnya adalah Peta Indikatif Areal
Pehutanan Sosial (PIAPS). Sumatera utara, dari 33 kabupaten/kota, 25 kabupaten di
antaranya terdapat PIAPS dengan total 550.887 hektare.
Dia menuturkan, syarat pengajuan Perhutanan Sosial (PS), lahan tersebut harus bebas
konflik. Faktanya di Indonesia, Sumatera Utara dan Kalimantan adalah dua daerah dengan
konflik yang tinggi. PS, kata dia, lahir untuk proses penyelesaiannya.
Dia menjelaskan, pengalaman land reform di masa lalu belum kongkret dalam pemberian
akses kelola sumber daya alam. PS menjadi salah satu model manajemen hutan, juga
dipandang sebagai strategi soft agrarian reform, di mana kelompok masyarakat diberikan
akses kelola selama 35 tahun dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi hutan.
Terkait PS, Manajer Program Wilayah kelola Rakyat Walhi Sumut, Antonio Sipayung
memberi catatan. Dalam Peraturan Menteri Nomor 83/2016 tentang Perhutanan Sosial,
masyarakat diberikan hak untuk untuk mengelola hutan, baik hutan lindung maupun hutang
produksi selama 35 tahun. Tapi dalam rancangan peraturan daerah (ranperda) pengelolaan
hutan, baik hutan lindung maupun hutan produksi di Sumut justru hanya 10 tahun.
"Agak membingungkan karena di peraturan yang lebih tinggi yakni Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah selama 35 tahun. Tapi di ranperda justru hanya
10 tahun. Nah, itu apakah perbedaan memang seperti itu atau masih bisa diubah karena
ranperda itu harus melihat aturan yang lebih tinggi," katanya.
Menurutnya, hak kelola masyarakat belum dipandang serius. Hal tersebut bisa dilihat
bahwa Hak Guna Usaha (HGU) atau hak untuk hak perusahaan misalnya, dalam
penguasaan hutan bisa sampai 25 tahun atau bahkan 100 tahun.
"Dan sangat berbading jauh dengan hak masyarakat dalam pengelolaan hutan hanya 10
tahun. Sangat jauh perbedaannya padahal mereka tinggal di sekitar kawasan hutan
sebagai kehidupannya," ujarnya.
Secara terpisah, Manajer Advokasi Yayasan Bitra Indonesia, Hawari Hasibuan menilai
bahwa selama ini sudah cukup banyak lahan petani yang hilang dan belum terlihat langkah
penyelesaian persoalan. Karenanya, dibutuhkan upaya untuk melindungi hak-hak petani.
Hal senada diungkapkan Direktur Badan Advokasi Pembelaan Hukum (Bakumsu),
Manambus Pasaribu bahwa Hari Tani yang selalu diperingati tiap tanggal 24 September
merupakan momen untuk menguatkan komitmen bersatu untuk memperjuangkan hak-hak
petani atas tanahnya.
"Saya melihat masih ada tiga masalah yakni Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012,
mekanisme Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Kenapa begitu,
karena konflik ini terus terjadi. Pemerintah harus menyelesaikannya dari bawah, bertemu
dengan masyarakat sehingga mereka tahu apa maunya masyarakat," katanya.
======
KPH
➢ Komitmen : Dukungan terhadap implementasi Program PS cukup baik terutama skema Kemitraan
Kehutanan; Masih terdapat keterbatasan anggaran, SDM, pengetahuan, dan informasi.
➢ Perilaku: Bekerja sama dengan BPSKL dan pihak lainnya memfasilitasi implementasi program PS;
Menjadikan program PS sebagai program Pemberdayaan Masyarakat pada RPHJP maupun RPHJPd
KPH
KLHK, katanya, memiliki peta indikasi alokasi perhutanan sosial (PIAPS). Namun,
sementara PIAPs hanya mengalokasikan wilayah-wilayah clean and clear (CnC),
atau belum terbebani izin. Padahal, banyak kasus konflik agraria sumberdaya
alam (SDA), antara warga atau komunitas di wilayah-wilayah terbebani izin.
Untuk itu, resolusi konflik harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam
pengalokasian hutan rakyat. “PIAPS perlu direvisi berkala, berdasarkan hasil
verifikasi dan padu-serasi dengan peta-peta organisasi masyarakat sipil.”
Potensi areal perhutanan sosial KLHK sekitar 13.548.082 hektar, hutan produksi
(5.998.967 hektar), hutan lindung (3.169.978), dan lahan gambut (2.266.006). Ia
untuk pemanfaatan jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu. Di izin HTI
terkait kemitraan 20% (2.134.286 hektar).
“Ini problema utama PIAPS atau peta indikatif. Kita tegas mengatakan tanah
berkonflik harus menjadi bagian tak boleh dilepaskan dari 12,7 juta hektar.”
Pengalokasian 12,7 juta hektar buat warga ini, perlu dikawal. Jika tak, katanya,
bukan tak tidak mungkin muncul mafia-mafia mengatasnamakan rakyat,
mencaplok wilayah kelola rakyat.
“Mafia ini bersembunyi di balik koperasi, organisasi rakyat, dan lain-lain. Dengan
kemampuan modal pembiayaan, mudah mengusulkan izin pengelolaan, namun
peruntukan kemudian jadi perkebunan monokultur, dan ekstraktif, hingga
muncul konflik baru,” katanya.
Data jaringan ini, luas hutan lindung, ada di Tapanuli Selatan 134.178 hektar.
Disusul Mandailing Natal hutan lindung 127.706 hektar, dan Tapanuli Utara
123.670 hektar. Sedangkan luas hutan lindung terkecil di Kabupaten Batubara
1.324 hektar, disusul Langkat 4.700 hektar, dan Serdang Bedagai 5.452 hektar.
======
======
Provinsi Sumatera Utara yang memiliki wilayah Administrasi seluas 7.298.123 Hektar memiliki kawasan
hutan seluas 3.010.160,89 hektar atau 41,25 % dari total luas wilayah daratan Provinsi Sumatera Utara
yang terdiri dari fungsi kawasan hutan konservasi seluas 424.476,01 hektar, hutan lindung seluas
1.197.174,58 hektar dan hutan produksi seluas 1.388.510,31 hektar. Hal ini disampaikan Gubernur
Sumatera Utara diwakili Plt. Kadis Kominfo H.M. Ayub, SE, pada apel pagi di halaman Kantor Dinas
Kominfo Provsu. Senin (6/1).
Peran sumber daya hutan sangat erat kaitannya dengan isu strategis saat ini yaitu Global Warning
(pemanasan Global), anomali iklim , penurunan keanekaragaman hayati dan krisis ketersediaan sumber
air baku. Berkenaan dengan hal tersebut Gubsu berharap kelestarian sumber daya hutan (Sustaible
Forest Management) menjadi sangat dibutuhkan dalam keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan.
Gubsu menjelaskan pengelolaan hutan di Sumut saat ini dengan memaksimalkan pengelolaan pada
tingkat sunit Kesatuan Pengelolahan Hutan (KPH) pada kawasan hutan lindung maupun hutan produksi
dengan melakukan konservasi sumber daya hutan, rehabilitasi hutan dan lahan serta pencegahan,
pengendalian kerusakan hutan yang sejalan dengan Program Perhutanan Sosial dalam rangka
mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera.
Program Perhutanan Sosial dapat berupa pengelolaan kawasan hutan yang memiliki Izin Usaha
Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKM), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan
Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR), Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD), Hutan Adat dan Kemitraan
Kehutanan.
Untuk menjaga kawasan hutan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara akan terus menekan terjadinya
gangguan keamanan terhadap kawasan hutan terutama akibat perambahan, perubahan kawasan hutan
menjadi perkebunan, pemukiman, kebakaran hutan dan lahan untuk mendukung upaya menuju proses
pemberhasilan pencapaian sumautera utara yang bermartabat dalam lingkungan hidup, harap Gubsu.
===== =
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (resin, lebah madu, getah-getahan, rotan, bambu, dan lain-lain);
Teknologi mikrohidro;
Teknik silvikultur;
Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reduced Emission from Deforestation and
Forest Degradation/REDD+).
Pembibitan;
Pola rehabilitasi;
Hutan kemasyarakatan;
Hutan desa;
Hal yang sama juga terjadi di Desa Namo Sialang, Kabupaten Langkat, bahwa ada sebuah wilayah dusun yang
sudah diajukan pihak yang tidak diketahui menjadi areal perhutanan sosial tanpa diketahui masyarakat dusun.
“Kenapa ada rumah dan perkampungan serta perladangan yang orang sudah menempatinya selama 3 generasi
kemudian jadi kawasan hutan dan diklaim oleh pihak yang tidak bertanggung jawab?
Perhutanan Sosial kan setau saya dibuat untuk kesejahteraan rakyat, bahkan ada desa, kantor polisi dan lain
sebagainya, masuk dalam kawasan hutan, kenapa dalam verifikasi, proses indentifikasinya janganlah abai,
Pemerintah harus serius menangani hal gini” Ungkapnya.
Melakukan penelusuran luasan kawasan hutan (30 %) kawasan hutan di Sumatera Utara dan
kesesuaian dengan daya dukung yang berpihak pada lingkungan dan rakyat.
2. Menginventarisasi izin-izin yang ada di kawasan hutan, untuk mengetahui, yang mana kawasan
hutan dan bukan kawasan hutan.
3. Turut terlibat dan bersumbangsih pada penyelesaian konflik tenurial di kawasan hutan dan
terlibat dalam mendorong kebijakan perhutanan sosial yang akses hutan memang diberikan hak
kepada masyarakat.
4. Hasil hutan bukan kayu yang bisa dikelola masyarakat lokal di sekitaran kawasan hutan. Dan,
5. Mendorong Tim atau Kelompok Kerja Bersama antara DPRD Sumatera Utara, Pemerintah
Sumatera Utara, dan Organisasi Masyarakat Sipil yang akan secara khusus menangani berbagai
persoalan-persoalan kejahatan di kawasan hutan.
data yang disajikan Dishut Sumut dan Balai PSKL Sumut amburadul dan
tidak benar. “Lebih baik kita bahas masalah orang-orang yang butuh
kepastian. Saya rasa sekarang ada kelompok tani datang. Kita mulai saja
dari mereka. HKm kan untuk kesejahteraan rakyat,” cetusnya. Pantur
Banjarnahor mempertanyakan apakah masyarakat setempat di daerah
punya peta HKm. Hal itu dipastikannya penting supaya warga dapat
melakukan kegiatan secara baik. Sedangkan Tuani Lumbantobing
meminta Dishut Sumut dan Balai PSKL Sumut memvalidasi serta
mensinkronkan 30 ribu Ha data HKm sesuai peta yang disiapkan.
=====
Begitu pula beberapa izin HKm yang dimiliki kelompok tani belum
kunjung membuahkan hasil akibat gangguan dan intimidasi pihak-pihak
tertentu. Termasuk desa-desa lain yang menolak dimasukkan sebagai
kawasan hutan dan HKm. Alasannya, kata Tarigan, masyarakat
mengklaim sudah 3 generasi hidup di desa dan memiliki bukti makam-
makam leluhur. “Lokasi izin HKm harusnya clean and clear,” ucapnya.
Tarigan pun mencontohkan konflik horizontal masyarakat Kelompok Tani
Namo Serdang di Kampung Namo Sialang Kab Langkat. Dia menyebut,
warga menolak izin kawasan HKm sebab saat verifikasi tidak ada
pemberitahuan. “Kelompok Tani Namo Serdang malah banyak orang luar.
Warga setempat gak mau masuk dan keberatan dengan HKm. Muncul
HKm, timbul juga konflik horizontal,” cetusnya.
=== =
Samsul, Ketua Kelompok Tani Nipah, Desa Kuala Serapuh menyayangkan sikap
pemerintah dan aparat penegak hukum yang cenderung abai akan konflik areal
HKM yang mereka kelola diganggu dan turut dikelola perkebunan sawit.
“Sejak 2016 saya bersama kelompok siap melestarikan hutan, 2018 HKM kita
keluar, justru malah kondisi pandemi corona gini, hutan kelola kami itu dirusak
oleh kebun sawit,” ungkap Pak Samsul.
“Saat ini bahkan ketua kami diduga dikriminalisasi, dengan diduga delik kasus
narkoba, belakangan ini, ada pengusaha kebun sawit yang mengelola di areal
HKM kami masuk ke lahan diduga tanpa izin, bersama polisi, dan bersama
kepala desa, yang seolah memicu conflict of interest. Kita ingin sawit itu
ditebang dan akan ditanam hutan mangrove. Kami mengharapkan KPH dan
aparat penegak hukum harus bertindak tegas, dan jangan abaikan meskipun
sudah beberapa kali membuat pelaporan atas kasus yang kami alami dan
bahkan penyelesaian ini harus libatkan polisi,” terang relawan Jokowi dan pria
berkacamata ini.
Peristiwa konflik yang dialami kedua kelompok tani ini pun turut ditegaskan
kasusnya oleh Khairul Bukhari, Kepala Departemen Advokasi Walhi Sumatera
Utara. Ari turut menyayangkan bahwa beberapa kali pelaporan kasus Tani
Nipah dan Mangrove Jaya ke Intitusi Kehutanan dan Penegak Hukum belum
ditindaklanjuti sampai saat ini.
Jika kedua kelompok Tani Nipah dan Mangrove Jaya, berkonflik di areal kelola
perhutanan yang sudah diperuntukkan kepada mereka, berbeda halnya dengan
yang Kelompok masyarakat Naga Jaya, di Desa Naga Kisar, Kecamatan Pantai
Cermin Kabupaten Serdang Bedagai.
Kemudian, ada juga dari kelompok masyarakat yang hadir masih dalam proses
pengajuan yang disetujui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK). Hal ini disampaikan Medi Kembaren, salah satu pengurus Kelompok
Tani Melati, Desa Adin Tengah Kecamatan Salapian, Langkat, yang turut hadir
menyampaikan keluhannya akan pengajuan perhutanan sosial mereka yang
belum diakomodir.
“Mohon kepada BPSKL dan dinas kehutanan provinsi, hutan akan lestari jika
kita kelola dengan baik, oleh masyarakat dan jangan dibiari terus terus alih
fungsi yang akhirnya menjadikan hutan jadi kebun-kebun sawit dan lain
sebagainya. Lestarikan hutan itu, kita kan terbantu karena masyarakat
mengelola hutan.” Ujarnya.
Dana Tarigan meminta agar DPRD Sumatera Utara, dalam hal ini Komisi B
untuk menginisiasi terbentuknya tim terdiri dari DPRD, Pemerintah, dan
elemen masyarakat sipil yang bisa bekerja sama beberapa hal terkait
penyelesaian berbagai permasalahan dalam kawasan hutan seperti.
“Kami mendorong tim atau kelompok kerja bersama antara DPRD Sumut,
Pemerintah Sumut, dan organisasi masyarakat sipil yang akan secara khusus
menangani berbagai persoalan-persoalan kejahatan di kawasan hutan,”
katanya.
Kelompok Tani Mangrove Jaya juga menyesalkan bahwa areal kelola HKM
yang diperuntukkan kepada kelompok tersebut sama sekali belum bisa
mereka kelola. Salah satu pengurus Kelompok Tani Mangrove Jaya, Mail
mengatakan, saat ini bahkan ketua kelompok taninya dikriminalisasi, dengan
delik kasus narkoba.
Belakangan ini, kata dia, ada pengusaha kebun sawit yang mengelola di areal
HKM masuk ke lahan tanpa izin, bersama polisi, dan bersama kepala desa,
yang seolah memicu conflict of interest. “Kita ingin sawit itu ditebang dan akan
ditanam hutan mangrove, Kami mengharapkan KPH dan aparat penegak
hukum harus bertindak tegas, dan jangan abaikan meskipun sudah beberapa
kali membuat pelaporan atas kasus yang kami alami dan bahkan
penyelesaian ini harus libatkan polisi,” ujarnya.
Peristiwa konflik yang dialami kedua kelompok tani ini pun turut ditegaskan
kasusnya oleh Kepala Departemen Advokasi Walhi Sumut, Khairul Bukhari.
Dia menyayangkan beberapa kali pelaporan kasus Tani Nipah dan Mangrove
Jaya ke intitusi kehutanan dan penegak hukum belum ditindaklanjuti sampai
saat ini.
Jika kedua kelompok Tani Nipah dan Mangrove Jaya, berkonflik di areal
kelola perhutanan yang sudah diperuntukkan kepada mereka, berbeda halnya
dengan yang Kelompok masyarakat Naga Jaya, di Desa Naga Kisar,
Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai.
Hal yang sama juga terjadi di Desa Namo Sialang, Kabupaten Langkat, ada
sebuah wilayah dusun yang sudah diajukan pihak yang tidak diketahui
menjadi areal perhutanan sosial tanpa diketahui masyarakat dusun.
Kemudian, ada juga dari kelompok masyarakat yang hadir masih dalam
proses pengajuan yang disetujui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK). Hal ini disampaikan Medi Kembaren, salah satu pengurus
Kelompok Tani Melati, Desa Adin Tengah Kecamatan Salapian, Langkat,
yang turut hadir menyampaikan keluhannya akan pengajuan perhutanan
sosial mereka yang belum diakomodir.
==== =
Menurutnya, perhutanan sosial mampu meningkatkan ragam ekonomi kelompok sampai ke tingkat desa.
Selain itu, juga membangun lapisan kesadaran baru yang membumi di desa-desa pinggir hutan.
“Fenomena ini sebagai membangun socioculture and economic buffer. Masyarakat yang mampu menggerakan
ekonomi di desanya tanpa harus urbanisasi, justru orang kota yang harus datang ke desa,”tutur alumnus
Fakultas Kehutanan UGM ini.
Wiratno mengatakan perhutanan sosial sangat site specific atau local specific dan pada umumnya berskala
kecil. Replikasi keberhasilan program ini di suatu tempat tidak sekaligus menunjukkan potensi dan arah
keberhasilan yang sama di tempat lain.
Oleh sebab itu, diperlukan pengawasan dan evaluasi secara berkelanjutan dalam pelaksanaan program
perhutanan sosial ini. Dengan begitu, proses pembelajaran dapat secara terus dilakukan secara bersama-sama.
“Melalui sekolah lapangan yang digagas Guru Besar Fakultas kehutanan UGM, Prof. San Afri Awang,
replikasi berpotensi akan berhasil lebih cepat. Dengan model farmer to farmer share learning dapat dilakukan
lebih efektif dan relatif cepat dibandingkan model penyuluhan konvensional,”paparnya. (Humas UGM/Ika:
foto: Firsto)
Dalam rangka menjaga kelestarian hutan tentu diperlukan integrasi dan sinkronisasi dengan KPH
selaku pengelola kawasan hutan di tingkat tapak. Dengan demikian peran KPH selaku pemangku
dan pengelola kawasan sangat penting dalam hal memfasilitasi pelaksanaan kegiatan.
Sedangkan untuk menjadikan masyarakat mandiri secara ekonomi dibutuhkan sistem bisnis
perhutanan sosial mulai dari hulu, hilir dan pasarnya. "Bisnis yang dilakukan masyarakat ini
yang akan kita dorong agar terjadi sentra-sentra ekonomi berbasis desa", tambah Bambang.
Pemerintah melalui KLHK telah menetapkan target areal pengelolaan hutan oleh masyarakat
seluas 12,7 juta hektar melalui skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman
Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan. Sampai saat ini areal pengelolaan hutan oleh
masyarakat telah mencapai sekitar 3,41 juta hektar, dengan jumlah SK kurang lebih 6.503 unit
bagi sekitar 755 ribu Kepala Keluarga. Rincian per skema, yaitu : Hutan Desa (HD) seluas 1,43
juta hektar, Hutan Kemasyarakatan (HKm) seluas 692, 69 ribu hektar, Hutan Tanaman Rakyat
(HTR) seluas 347,10 ribu hektar, Kulin KK seluas 336,86 ribu hektar, IPHPS seluas 25,97 ribu
hektar dan Hutan Adat (yang terdiri dari Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat) seluas
578,62 ribu hektar.
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) memegang peran penting dalam upaya percepatan
implementasi program Perhutanan Sosial. KPH juga terkait langsung dalam rencana
pengelolaan dan rencana kerja perhutanan sosial.
"KPH mampu mendorong tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya yang bertempat tinggal
di sekitar hutan dan memfasilitasi penyelesaian konflik terkait kehutanan di wilayahnya.
Kemudian, KPH juga bisa mengelola hutan bersama masyarakat melalui Perhutanan Sosial,"
ujar Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Hardwinarto, dalam keterangan tertulis, Senin (6/8/2018).
Keberadaan KPH di tingkat tapak juga menjadikannya bagian dari tim verifikasi permohonan
Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS).
mengkoordinasikan KPH dan para pihak dalam memperkuat kelembagaan dan keberlanjutan
operasionalisasi KPH. Hal ini bertujuan untuk mengimplementasikan program Prioritas Nasional
Kehutanan.
Selain Perhutanan Sosial, topik lain yang akan turut dibahas pada rakornas tersebut di
antaranya bidang pemanfaatan hutan, perlindungan hutan, rehabilitasi hutan, kemitraan
lingkungan, dan penanggulangan kebakaran lahan serta hutan.
"Tujuan dan hasil yang diharapkan dari Rakornas KPH 2018 adalah untuk meningkatkan
pemahaman para pihak tentang penguatan kelembagaan dan keberlanjutan operasionalisasi
KPH, mengidentifikasi dan mereview permasalahan, hambatan dan tantangan penguatan
kelembagaan dan keberlanjutan operasionalisasi, serta mewujudkan komitmen dalam
penguatan kelembagaan dan keberlanjutan operasionalisasi KPH," jelas Sigit.
Melalui Rakornas KPH 2018 ini, ia berharap semua pihak yang hadir dan terlibat bisa
merumuskan langkah-langkah penting untuk memperkuat kelembagaan dan keberlanjutan
operasionalisasi KPH secara lebih nyata dan terukur.
"Langkah-langkah itulah yang akan diimplementasikan dalam mendorong percepatan
perwujudan kemandirian KPH, keberlanjutan operasionalisasi KPH dan peningkatan
keberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan," pungkas Sigit.
Pemberian izin akses masyarakat sekitar hutan melalui surat keputusan ini
dilakukan melalui lima skema: hutan adat, hutan desa, kemitraan kehutanan
(masyarakat dengan pemegang izin kawasan hutan), hutan tanaman rakyat,
dan hutan kemasyarakatan.
Kepada para Kepala KPH, peneliti, dan rimbawan Sumatera Selatan yang
hadir dalam diskusi, Bambang bahkan lebih jauh mendorong KPH berperan
aktif dengan menjadi verifikator pengajuan izin perhutanan sosial. Menurut
dia, lima balai KLHK di lima lokasi tak cukup personel memverifikasi dari
banyaknya izin perhutanan sosial yang masuk ke KLHK.
Dekan Fakultas Kehutanan IPB Rinekso Soekmadi punya saran lain yang
lebih jitu: memberdayakan mahasiswa Fakultas Kehutanan. Menurut dia, kini
ada 68 perguruan tinggi yang memiliki jurusan kehutanan yang berpotensi
menjadi pendamping dalam program ini. “Apalagi kami sedang memperbarui
kurikulum pengajaran agar sesuai dengan perkembangan zaman,” katanya.
Generasi milenial, kata Rinekso, tak lagi cocok dengan gaya kurikulum
pedagogik berupa pengajaran di kelas. IPB, kata dia, sedang merancang
kurikulum yang akan memperbanyak jumlah waktu praktik di lapangan.
Mereka bisa diberdayakan menjadi pendamping perhutanan sosial. “Kami
bisa mengisikan 1-2 SKS tentang khusus materi perhutanan sosial,” kata
dia.
======
Haryanto, Ketua Tim menegaskan bahwa angka ini didapat dengan melakukan penapisan
dalam tiga skenario, dimana pengembangan PS akan diterapkan pada kawasan Hutan Produksi
dan Hutan Produksi Terbatas untuk produk hutan dan non hutan. Sementara masyarakat juga
bisa memanfaatkan jasa lingkungan dalam kawasan Hutan Lindung yang didorong sebagai area
PS.
KLHK sendiri sudah mengeluarkan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) berdasarkan
SK No 22 Tahun 2017. PIAPS merupakan instrumen yang disiapkan untuk memberikan arahan
kawasan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat dibawah skema Perhutanan Sosial, yakni
pengelolaan Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan dan
Hutan Hak berupa Hutan Adat. Saat ini, KLHK merasa hambatan terbesar yang dihadapi adalah
minimnya anggaran yang dialokasikan untuk program PS.
Hal tersebut bisa diatasi bila kehadiran Negara dalam menerapkan program percepatan PS
tidak hanya menunggu permohonan yang datang dari masyarakat. Pemerintah juga dapat
melakukan penunjukkan terhadap areal yang sudah dialokasikan melalui skema
pemberdayaan Desa.
“Bila Desa diberikan kewenangan untuk mengatur hak kelola hutannya, saya masih optimis bahwa capaian
12,7 juta Ha bukan isapan jempol belaka” Tegas Yando Zakaria dari Kantor Staf Kepresidenan. “Baru
nanti kemudian Desa yang melakukan tata ruang sesuai fungsi dari hutan itu, akankah dikelola sebagai HKM,
Hutan Desa, atau bahkan Hutan Adat. Saat ini ijin yang dikeluarkan justru hanya berpatokan pada
peruntukkan hutan saja, maka tak jarang bila yang diusulkan juga kadang ada di area yang sangat kecil.
Masa mau minta 60 ha aja harus ijin menteri”
Para ahlipun berpendapat untuk mewujudkan target 12,7 juta ha perhutanan sosial, perlu
sebuah gebrakan perubahan. Penguatan kapasitas, optimalisasi KPH dan Pokja PPS,
pendekatan berbasis komoditas lokal, penghapusan hambatan administrasi, perlu adanya
skema pembiayaan yang inovatif, dan perbaikan dalam aturan kebijakan yang berlaku. Revisi
terhadap P.83 tahun 2016 perlu dilakukan. Aturan turunan diperbaiki untuk dapat
mengakomodir sistem pelaksanaan PS yang berlaku secara dua arah.
======
Data terakhir (2019) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas kawasan hutan
Indonesia ), luas kawasan hutan menjadi 125,2 juta ha kawasan hutan yang dibedakan sesuai dengan
fungsinya. Rinciannya adalah 29,1 juta ha sebagai kawasan hutan produksi tetap, 26,7 juta ha sebagai
kawasan hutan produksi terbatas, 29,5 juta ha sebagai kawasan hutan lindung, 27,3 juta ha sebagai
kawasan konservasi, dan 12,8 juta ha hutan produksi yang dapat dikonversi untuk kebutuhan
pembangunan.
Sedangkan areal penggunaan lain (APL) luasnya mencapai 67,4 juta ha. Meski
bukan kawasan hutan, ternyata 12% diantaranya masih memiliki tutupan hutan
luasnya 7,9 juta ha. Status sebuah lahan sebagai area penggunaan lain (APL)
menjadi wewenang mutlak pemerintah daerah. APL merupakan area di luar
kawasan hutan yang dapat digunakan untuk kegiatan pembangunan non
kehutanan.
Pemerintah cq KLHK akhir tahun 2019 telah merilis bahwa program perhutanan
sosial telah menerbitkan 6.411 izin perhutanan sosial dan seluas 4,04 juta ha
untuk 818.457 kepala keluarga dan 5.208 izin kelompok usaha perhutanan
sosial (KUPS) diantaranya telah dilakukan penilaian/evaluasi oleh Ditjen
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK, dengan hasil baru
48 KUPS (0,92%) yang benar-benar mandiri/platinum. Sisanya, 433 (8,31%)
ada di tahap maju (emas/gold), 1.286 (24,69%) di tahap moderat
(silver/perak), dan yang terbanyak 3.441 (66,07%) masih di tahap awal (biru).
Meskipun KLHK belum merilis berapa unit izin yang telah dikeluarkan bagi hak
pengelolaan hutan desa (HPHD), namun dapat dipastikan bahwa unit HPHD
jumlahnya paling dominan dan banyak diantara 6.411 unit izin yang telah
diterbitkan. Bila rata- rata satu unit HPHD diasumsikan luasnya 500 ha saja
maka izin HPHD yang telah dikeluarkan sebanyak kurang lebih 3.103 unit HPHD
atau hampir 48% total izin program perhutanan sosial yang ada. Termasuk
diantara dari 48 KUPS platinium dan 433 KUPS emas/gold -meskipun datanya
belum ada- dapat dipastikan HPHD termasuk yang paling dominan diantara
keduanya. Oleh karena itu, masuk akal apabila hutan desa dapat dikatakan
sebagai primadona perhutanan sosial diantara lima skema perhutanan sosial
yang ada.
Namun di balik prestasi yang membanggakan dari hutan desa tersebut ternyata
terdapat beberapa catatan kelemahan yang kurang menggembirakan dari
keberadaan kegiatan hutan desa selama ini. Izin HPHD boleh banyak
jumlahnya, tetapi setelah ditelisik dari Kementerian Desa (Kemendes) dan
informasi pendamping kegiatan perhutanan sosial khususnya skema desa
hutan, implementasi di lapangan (di tingkat tapak) mengalami banyak kendala.
Khususnya dalam hal pendanaan sebagai pengungkit unit usaha kegiatan hutan
desa. Sebagai primadona, jumlah izin perhutanan sosial, hutan desa memang
nyata. Namun sebagai satu kesatuan unit usaha kehutanan yang harus
melakukan kegiatan on farm maupun off farm hutan desa belum dapat disebut
primadona perhutanan sosial.
Sejak Joko Widodo diangkat menjadi presiden RI tahun 2014 lalu, desa sebagai
unit terkecil pemerintahan di Indonesia menjadi fokus utama pembangunan
mulai dari pinggiran di wilayah kesatuan Republik Indonesia.
Lihat saja, salah satu usaha presiden dalam melakukan pemerataan di seluruh
wilayah Indonesia diwujudkan melalui dana desa yang dialokasikan khusus
dalam APBN. Dana desa pertama kali digulirkan pada tahun 2015 dengan
jumlah anggaran sebesar Rp20,76 triliun.
Alokasi dana desa terus meningkat. Di tahun 2016 menjadi Rp46,9 triliun,
kemudian Rp60 triliun pada tahun 2017, dan tahun 2018. Tahun 2019 sebesar
Rp70 trillun dan tahun 2020, sebesar Rp72 trilliun.
Sayangnya dari total anggaran sebesar Rp329,66 trillun dari tahun 2015-2020,
belum terdapat dana desa yang yang menyentuh pembangunan, peningkatan
dan pengembangan kegiatan hutan desa secara signifikan.
Namun di balik prestasi yang membanggakan dari hutan desa tersebut ternyata
terdapat beberapa catatan kelemahan yang kurang menggembirakan dari
keberadaan kegiatan hutan desa selama ini. Izin HPHD boleh banyak
jumlahnya, tetapi setelah ditelisik dari Kementerian Desa (Kemendes) dan
informasi pendamping kegiatan perhutanan sosial khususnya skema desa
hutan, implementasi di lapangan (di tingkat tapak) mengalami banyak kendala.
Khususnya dalam hal pendanaan sebagai pengungkit unit usaha kegiatan hutan
desa. Sebagai primadona, jumlah izin perhutanan sosial, hutan desa memang
nyata. Namun sebagai satu kesatuan unit usaha kehutanan yang harus
melakukan kegiatan on farm maupun off farm hutan desa belum dapat disebut
primadona perhutanan sosial.
Sejak Joko Widodo diangkat menjadi presiden RI tahun 2014 lalu, desa sebagai
unit terkecil pemerintahan di Indonesia menjadi fokus utama pembangunan
mulai dari pinggiran di wilayah kesatuan Republik Indonesia.
Lihat saja, salah satu usaha presiden dalam melakukan pemerataan di seluruh
wilayah Indonesia diwujudkan melalui dana desa yang dialokasikan khusus
dalam APBN. Dana desa pertama kali digulirkan pada tahun 2015 dengan
jumlah anggaran sebesar Rp20,76 triliun.
Alokasi dana desa terus meningkat. Di tahun 2016 menjadi Rp46,9 triliun,
kemudian Rp60 triliun pada tahun 2017, dan tahun 2018. Tahun 2019 sebesar
Rp70 trillun dan tahun 2020, sebesar Rp72 trilliun.
Sayangnya dari total anggaran sebesar Rp329,66 trillun dari tahun 2015-2020,
belum terdapat dana desa yang yang menyentuh pembangunan, peningkatan
dan pengembangan kegiatan hutan desa secara signifikan.
Bilamana program perhutanan sosial khususnya skema hutan desa yang banyak
memberdayakan masyarakat desa itu, dapat berjalan dengan baik sesuai
dengan harapan presiden Joko Widodo pada launching Rembug Nasional tahun
2017 yang lalu, nampaknya kedua kementerian (KLHK dan Permendes) perlu
memberikan dorongan yang lebih tegas lagi dalam bentuk regulasi bersama
(peraturan menteri bersama antara Menteri KLHK dan Menteri Kemendes) yang
mengatur tentang maksimum prosentase penggunaan dana desa untuk
kegiatan hutan desa berikut mekanisme pemanfaatannya ditingkat tapak bagi
desa desa yang mempunyai wilayah kawasan hutan negara yang mengajukan
izin HPHD.
Di tingkat tapak, sosialisasi dan pemahaman tentang hutan desa, unit usaha
kehutanan yang dilakukan dan pemanfaatan dana desa untuk kegiatan hutan
desa, wajib dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Dinas/Kantor Pemberdayaan
Masyarakat Desa di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan maupun desa dan
dilakukan secara intensif sehingga dapat mengikis dan menghilangkan
egosektoral yang selama ini terjadi. Dengan demikian, para pihak (stake
holder) yang terlibat dalam kegiatan hutan desa, tidak ada alasan lagi untuk
tidak tahu, tidak paham dan sebagainya tentang kegiatan hutan desa dan
pemanfaatan dana desa.
Padahal menurut Dirjen PSKL KLHK, apabila 12,7 juta ha kawasan hutan dapat
terealisasi semua (100%), maka akan mampu melibatkan tiga juta Kepala
Keluarga (KK) atau 12 juta orang yang artinya membantu mengurangi angka
kemiskinan. Namun sayang , progres saat ini baru 4,04 juta ha yang melibatkan
818.457 KK, atau 3.273.828 jiwa.
Sayang memang. Kita berharap pada akhir pemerintahan Jokowi- Ma’ruf Amin
tahun 2024 nanti, target 12,7 juta ha pada program reforma agraria khususnya
perhutanan sosial dapat terealisasi semua dengan baik. Semoga.
====
Sekitar 40% area di bawah skema Perhutanan Sosial berlokasi dekat dengan
hutan tanaman industri dan perkebunan sawit dan tersebar di Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan bagian selatan Provinsi Papua
Barat.
=======
Jika diproyeksikan secara nasional, menurut data PIAPS bahwa perhutanan sosial pada Hutan
Produksi (HP) ditargetkan seluas 4.328.612 hektar dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas
4.445.521 hektar.[2] Artinya, setidaknya alokasi 8,7 juta hektar dapat dimanfaatkan untuk
memproduksi hasil hutan kayu.
Mengacu data series 2015-2019 yang dirilis oleh KLHK (2020), hutan alam dapat menghasilkan
kayu rata-rata sebesar 6,78 juta m3 per tahun dan hutan produksi sebesar 36,36 juta m3 per tahun.[3]
Dengan demikian, secara total dihasilkan kayu bulat sebesar 43,14 juta m3 per tahun. Selanjutnya,
ekspor kayu olahan pada tahun 2019 secara nasional sebesar 17.958.160 m 3. Dengan asumsi
rendemen 30%, estimasi kebutuhan kayu bulat secara nasional sebesar 58,86 juta m 3.
Artinya, alokasi areal perhutanan sosial (PIAPS) dan kayu perhutanan sosial masih berpeluang
untuk ikut berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan kayu bulat nasional. Dengan pembuktian
pemanenan kayu dari Yogyakarta, perhutanan sosial sangat relevan untuk terus dikawal dan
dikembangkan di Indonesia.
Perhutanan sosial juga dapat memberikan kontribusi pada pengentasan kemiskinan bagi
masyarakat sekitar hutan. Dengan hasil penebangan kayu tersebut, masyarakat sekitar hutan dapat
memperoleh pendapatan tambahan dari pengusahaan kayu kehutanan.
Setidaknya jika mengulas perhutanan sosial dan penurunan kemiskinan dapat diperoleh dari
beberapa referensi perhutanan sosial. Kemitraaan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan (2018),
menyatakan bahwa terdapat 31.957 desa yang berinteraksi langsung dengan hutan, 71,06 persen
dari desa-desa ini masih menggantungkan penghidupannya dari sumberdaya hutan. Sekitar 12 juta
masyarakat hidup di pinggiran hutan dan 66 persen di antaranya adalah miskin.[4] Ini artinya jika
tata kelola perhutanan sosial diurus dengan baik, maka dapat memberikan dampak yang cukup
signifikan bagi desa-desa sekitar hutan.
Jika hanya melihat pada hasil kayu, memang perhutanan sosial pada hutan produksi dapat
berdampak positif pada pemenuhan kayu secara nasional dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Namun, jika melihat pada proses tidaklah mudah bagi pemegang izin perhutanan sosial
untuk memenuhi prosedur penebangan dan dokumentasi legalitas kayu. Seperti telah disinggung di
atas, bahwa pemegang izin juga harus mematuhi SIPUHH.
Menurut PermenLHK Nomor P.67/2019, Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan Kayu atau
disebut SIPUHH adalah adalah sistem informasi berbasis web yang digunakan sebagai sarana
pencatatan dan pelaporan secara elektronik dalam pelaksanaan penatausahaan hasil hutan.
Sedangkan, Penatausahaan Hasil Hutan Kayu atau disebut PUHH adalah kegiatan pencatatan dan
pelaporan perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, pengukuran dan pengujian,
penandaan, pengangkutan/ peredaran, serta pengolahan hasil hutan kayu.
Menurut Javlec (2020), bahwa untuk memenuhi penatausahaan hasil hutan kayu pada hutan
kemasyarakatan, kelompok tani pemegang izin hutan kemasyarakatan dapat menjalankan SIPUHH
karena adanya pendampingan secara terus menerus dalam mendokumentasikan hasil penebangan
dan aplikasi SIPUHH.[5] Dengan keterbatasan kapasitas sebagai petani hutan dalam tahapan
prosedur legalitas penatausahaan kayu, pendampingan dapat berasal dari dinas kehutanan,
perguruan tinggi, atau pun lembaga swadaya masyarakat.
Memang berbeda dengan pemegang izin dari korporasi, kelompok tani memiliki keterbatasan dalam
kapasitas sumberdaya manusia maupun limitasi modal untuk penebangan. Keterbatasan kapasitas
SDM dapat dilakukan dengan peningkatan kapasitas dan pendampingan. Ini dapat dilakukan oleh
dinas kehutanan atau Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Namun, untuk menjawab limitasi modal penebangan diperlukan “bapak angkat” dari pihak lain.
Seperti diketahui, bahwa provisi sumberdaya hutan (PSDH) harus dibayar ketika kayu masih di
Tempat Penampunag Kayu. Artinya, kayu belum dapat diperdagangkan karena pemegang izin
harus menyelesaikan kewajiban membayar provinsi sebagai penerimaan negara bukan pajak. Ini
yang membutuhkan kerjasama dengan pemodal atau pengusaha industri kayu.
Di sinilah, fasilitasi akses pemasaran kayu diperlukan untuk kelompok tani. Fasilitasi dapat dibantu
oleh lembaga swadaya masyarakat atau dinas kehutanan untuk membangun kerjasama antara
pemodal dengan kelompok tani sebelum penebangan kayu dilakukan.
Jika perhutanan sosial akan diproyeksikan untuk dapat berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan
kayu secara nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakt maka diperlukan perbaikan tata
kelola perhutanan sosial pada hutan produksi. Beberapa opsi yang dapat dipertimbangkan oleh
pemerintah adalah sebagai berikut:
Pemerintah dapat menerbitkan prosedur penatausahaan hasil hutan kayu untuk perhutanan
sosial yang lebih sederhana, mudah diakses dan dioperasikan oleh kelompok tani hutan.
Pemerintah dapat memberikan fasilitasi pendampingan dalam operasional Sistem Informasi
Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) dan subsidi untuk PSDH bagi kelompok tani HKm.
Pemerintah dapat menunjuk Kesatuan Pengelolaan Hutan untuk melakukan kerjasama
teknis penebangan kayu dengan kelompok tani HKm, termasuk di dalamnya operasional
Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH).
Pemerintah dapat membangun fasilitasi skema kemitraan penebangan kayu antara industri
primer dengan kelompok pemegang izin perhutanan sosial. Ini untuk menjawab keterhubungan
hulu-hilir sektor perhutanan sosial agar dapat menjamin keterserapan kayu dengan harga yang
wajar sesuai mekanisme pasar kayu. Hal ini diperlukan karena pemegang izin perhutanan
sosial memiliki keterbatasan teknis dan pengetahuan pasar kayu.
=====
=====
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL)
KLHK, hasil pemantauan hutan Indonesia Tahun 2019, menunjukkan bahwa luas lahan berhutan
seluruh daratan Indonesia adalah 94,1 juta ha atau 50,1% dari total daratan.
"Dari jumlah tersebut, 92,3% dari total luas berhutan atau 86,9 juta ha, berada di dalam kawasan
hutan," kata Direktur Jenderal PKTL Sigit Hardwinarto.
======
Perhutanan Sosial adalah Sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan
negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan
kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya. Pemerintah untuk periode
2015-2019 mengalokasikan 12,7 juta hektare untuk Perhutanan Sosial, melalui skema:
1. Hutan Desa (HD) dengan tenurial HPHD atau Hak Pengelolaan Hutan Desa;
2. Hutan Kemasyarakatan (HKm), izin yang diberikan adalah IUP HKm atau Izin Usaha Pemanfaatan
Hutan Kemasyarakatan;
3. Hutan Tanaman Rakyat (HTR), izin yang diberikan adalah IUPHHK-HTR atau izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Rakyat;
5. Kemitraan Kehutanan (KK) dalam bentuk KULIN KK atau Pengakuan Perlindungan Kemitraan
Kehutanan dan IPHPS atau Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial di Pulau Jawa.
Permohonan HPHD, IUP HKm dan IUPHHK HTR dapat ditujukan melalui Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan atau Gubernur setempat.
=====
Dari total luas hutan tersebut, sebanyak 30% hutan dipakai untuk
keperluan produksi kayu dan non-kayu. Hanya 10% atau 424 juta
hektare untuk keperluan proteksi dan perlindungan keragaman hayati.
Lainnya seluas 339 juta hektare sebagai sumber air dan 180 juta
hektare untuk layanan sosial seperti ekoturisme
======
Bogor, 17 Agustus 2020. Selama 75 Tahun Merdeka, Indonesia telah tujuh kali
berganti rezim pemerintahan dan telah kehilangan hutan alam lebih dari 23
juta hektare atau setara dengan 75 kali luas Provinsi Yogyakarta. Setidaknya
kehilangan hutan seluas itu adalah angka yang tercatat di FWI sejak tahun
2000-2017. Sejak saat itu, kita belum juga mampu menghadirkan tata kelola
hutan yang baik. Kondisi hutan alam yang terus berkurang dan terdegradasi
merupakan akumulasi dari lemahnya tata kelola hutan yang terjadi dari tahun
ke tahun. Pada rentang tahun 2000-2009, Indonesia kehilangan hutan alam
seluas 1,4 juta ha/tahun. Pada periode selanjutnya (2009-2013) luasan hutan
alam yang hilang berkurang menjadi 1,1 juta ha/tahun dan kembali naik pada
periode 2013-2017 menjadi 1,4 juta ha/tahun. Temuan ini tentu menjadi alarm
bagi pemerintah khususnya KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan) untuk lebih serius dalam mencegah kerusakan hutan alam di
Indonesia demi menjaga keberlangsungan hajat hidup rakyat Indonesia.
======
Terkait dengan pemanfaatan Hutan Produksi untuk dimanfaatkan sebagai perkebunan, bisa dikritisi
dengan memahami regulasi mengenai Hutan Produksi Terbatas (HPT), menurut Pasal 1 angka 10
Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi
Kawasan Hutan (PP 104/2015), bahwa HPT adalah Kawasan Hutan dengan faktor-faktor kelas lereng,
jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai
jumlah nilai antara 125 sampai dengan 174 di luar kawasan Hutan Lindung, hutan suaka alam, hutan
pelestarian alam, dan Taman Buru.
Di sini diasumsikan bahwa lahan berstatus HPT tersebut merupakan hutan negara. Oleh karena itu,
pengalihan status hutan menjadi lahan perkebunan adalah pengalihan status tanah milik negara menjadi
Hak Guna Usaha (HGU).
HGU diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU 39/2014),
Jenis Usaha Perkebunan terdiri atas usaha budi daya Tanaman Perkebunan, usaha Pengolahan Hasil
Perkebunan, dan usaha jasa Perkebunan. Kegiatan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dan/atau
usaha Pengolahan Hasil Perkebunan hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah
mendapatkan hak atas tanah dan/atau izin Usaha Perkebunan.
Pada dasarnya pelaku usaha perkebunan dapat diberi hak atas tanah untuk Usaha Perkebunan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal terjadi perubahan status kawasan hutan
negara atau Tanah terlantar, Pemerintah Pusat dapat mengalihkan status atas hak kepada Pekebun
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perubahan HPT diatur berdasarkan PP 104/2015, kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan
oleh pemerintah daerah berdasarkan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang dan berdasarkan tata ruang yang berlaku tetap sesuai dengan tata ruang
sebelumnya namun berdasarkan UU Kehutanan, areal tersebut menurut peta Kawasan Hutan yang
terakhir:
a. Merupakan kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi, diproses melalui Pelepasan Kawasan
Hutan; atau
b. Merupakan kawasan Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Terbatas diproses melalui Tukar
Menukar Kawasan Hutan, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya PP
104/2015 dapat mengajukan permohonan Pelepasan Kawasan Hutan atau Tukar Menukar Kawasan
Hutan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia.
Maka pelepasan Kawasan Hutan dan Tukar Menukar Kawasan Hutan ini merupakan Perubahan
Peruntukan Kawasan Hutan secara parsial. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan adalah perubahan
Kawasan Hutan menjadi bukan Kawasan Hutan.
Tukar Menukar Kawasan Hutan adalah perubahan kawasan Hutan Produksi Tetap dan/atau Hutan
Produksi Terbatas menjadi bukan Kawasan Hutan yang diimbangi dengan memasukkan lahan pengganti
dari bukan Kawasan Hutan dan/atau Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi yang produktif menjadi
kawasan Hutan Tetap.
a. Tetap terjaminnya luas Kawasan Hutan paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari luas Daerah
Aliran Sungai (DAS), pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional; dan
b. Mempertahankan daya dukung kawasan Hutan Tetap layak kelola.
Tukar Menukar Kawasan Hutan dapat dilakukan dengan lahan pengganti dari:
Permohonan Tukar Menukar Kawasan Hutan diajukan oleh pemohon kepada Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan. Menteri LHK kemudian membentuk tim terpadu yang menyampaikan hasil penelitian
dan rekomendasi kepada Menteri LHK. Berdasarkan hasil penelitian dan rekomendasi tim terpadu,
Menteri LHKI menerbitkan persetujuan prinsip Tukar Menukar Kawasan Hutan atau surat penolakan.