Anda di halaman 1dari 101

Siapa yang tau Wisata Tangkahan? hmm...pasti semua tahu.

Itu loh guys wisata air dan yang ada gajah


nya. 🙂

Ternyata ekowisata tangkahan berada di areal kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) loh. Areal ini
berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser. Jadi untuk kedepannya, pengelolaan wisata ini akan
bekerjasama antara UPT. KPH I Stabat, masyarakat setempat dan TNGL.

Selain menikmati keindahan alam wisata Tangkahan kita juga dapat beristirahat di tempat -tempat
penginapan yang telah disesiakan pengelola. Salah satu artis juga konon katanya memiliki tempat
penginapan di sini guys.

a. Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah I berkedudukan di Stabat, terdiri dari:

1. Sub Bagian Tata Usaha

2. Seksi Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan

3. Seksi Perlindungan Hutan dan Pemberdayaan Masyarakat

http://kph.menlhk.go.id/sinpasdok/pages/detail/1

berkedudukan di Stabat dengan wilayah kerja KPH Unit I KPHP Langkat dan Unit V KPHP Deli Serdang. \

Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan

SK Penetapan Model / Fasilitasi & Tanggal Penetepan SK.831/Menlhk/Setjen/PLA.0/11/2016 -


09/11/2016

Nama KPH: KPHP UNIT I SUMUT


Nama Lain / Alias: KPH WILAYAH I STABAT
Organisasi Pengelola: KPH Wilayah I Stabat
3° 40′ 58″ N
98° 04′ 49″ E

SK Penetapan Provinsi / Tanggal Penetapan


SK.102/Menhut-II/2010 - 05/03/2009
SK Kelembagaan / Tanggal Penetepan
Peraturan Gubernur Provinsi Sumatera Utara No. 38 Tahun 2016 - 27/12/2016

1. UPT. KPH Wilayah I dengan wilayah kerja KPHP Unit I dan KPHP Unit V;

KPH Produksi (KPHP)


Jumlah SDM KPH : 71

1.Sejarah Singkat Dinas Kehutanan KPH Wilayah I Stabat

Kesatuan Pengelolaan Hutan( KPH) merupakan sebuah lembaga yang mengurus lebih detail tentang
model pengelolaan di tingkat tapak. Pengelolaan ditingkat tapak meliputi tata hutan, rehabilitasi dan
reklamasi lahan, pemanfaatan kawasan hutan, pengendalian dan pengamanan hutan yang melibatkan
semua stakeholder terkait dalam perencanaan pengelolaan yang bekesinambungan. Secara Geografis
Kantor KPHP Unit 1 terletak di kota Stabat ± 40 km dari kota Medan dengan waktu tempuh 1 jam 27
menit Wilayah KPHP unit 1 berada di antara 97º50’’50.0’ - 98º35’’30,0’ bujur timur dan 03º20’’11,7’

Adapun wilayah batas-batas administrasi sebagai Wilayah kerja KPHP Unit I sebagai antara lain: - Di
sebelah utara dengan selat Malaka dan Provinsi Nangro Aceh Darusalam. - Di Sebelah selatan
berbatasan dengan Kabupaten Karo. - Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. - Di
sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Nangro Aceh Darusalam. Sedangkan batas-batas areal KPHP
Unit I berdasarkan batas alam adalah sebagai berikut: - Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka -
Sebelah Selatan berbatasan dengan kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 pasal 9, Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008
yang dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.6/Menhut-II/2010
Tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Pengelolaan Hutan di KPHL dan KPHP, secara eksplisit
dijabarkan tugas KPH dalam pengelolaan hutan di tingkat tapak dengan menyusun rencana pengelolaan
Hutan di tingkat wilayah KPH, termasuk rencana pengembangan organisasi KPH.

Rencana pengelolaan hutan di wilayah tapak yang disusun akan dijadikan sebagai payung hukum dalam
rencana pengelolaan ke depannya guna menuju pengelolaan hutan yang lestari dan berkelanjutan.
Penyusunan dan pengesahan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi (KPHP) wilayah 1 Stabat 2017-2026 meliputi kegiatan tata hutan, rehabilitasi dan reklamasi
hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam serta pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan
serta monitoring, evaluasi dan pengendalian sehingga kawasan hutan yang menjadi areal kerja KPH
dapat dikelola secara intensif, optimal dan lestari serta dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi
masyarakat sekitar hutan. RPHJP KPH Wilayah 1 Stabat ( Unit 1) telah di terima oleh kementerian dan
telah disahkan di Jakarta An Menteri lingkungan hidup dan Kehutanan.

Visi Pengelolaan Hutan KPHP Unit I Visi pembangunan Nasional tahun 2015-2019 adalah “Terwujudnya
Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkelanjutan Berlandaskan Gotong Royong’’. Sementara itu, Visi
dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara yang terkait dengan pengurusan hutan yaitu
meningkatkan ekonomi kerakyatan dan memulihkan keseimbangan lingkungan demi pembangunan
berkelanjutan, maka dirumuskan visi KPHP unit I. Atas dasar itu, maka visi KPHP unit I tahun 2017-2026
‘’KPHP UNIT I menjadi salah satu pilar ekonomi Sumatera Utara melalui pengelolaan hutan lestari,
pemanfaatan dan industrialisasi jasa lingkungan ekosistem hutan serta ekowisata’’. Visi ini ditetapkan
berawal dari sebuah kesadaran bahwa pengelolaan hutan yang berorientasi hasil kayu sudah tidak
relevan dengan kondisi wilayah KPHP unit I sehingga harus beralih ke pengelolaan berbasis ekosistem
untuk mewujudkan kehidupan masyarakat sekitar hutan yang lebih sejahtera, dengan komitmen
mengoptimalkan pemanfaatan jasa lingkungan ekosistem hutan. Pengelolaan hutan lestari merupakan
suatu kondisi dimana tujuan pengelolaan hutan yang ditetapkan dapat tercapai secara efisien dan lestari
berdasarkan sinergi basis ekologi, ekonomi, dan sosial. Dimana di dalam pengelolaan hutan yang baik
dapat memberikan manfaat bagi masyarakat yang sekarang maupun yang akan datang.

Misi pengelolaan Hutan KPHP Unit I Visi KPHP unit I tersebut diupayakan pencapaiannya melalui misi
pengelolaan hutan sebagai berikut:

a. Penetapan kawasan hutan serta meningkatkan kualitas data dan informasi kehutanan Misi tersebut
bertujuan untuk melaksanakan penataan kawasan hutan menjadi blok dan petak yang mantap serta
meningkatkan kualitas data dan informasi melalui inventarisasi hutan secara berkala dengan basis blok
dan petak sebagai bahan penyusun rencana pengelolaan hutan.

b. Meningkatkan tata kelola hutan yang baik melalui penegasan wewenang dan penguatan kapasitas
pengelolaan KPHP unit I yang professional, efektif dan efisien. Misi ini bertujuan untuk menyiapkan
perangkat peraturan, penguatan kelembagaan KPHP dan peningkatan kapasitas SDM di organisasi KPHP
Unit I.

c. Meningkatkan pengelolaan hutan dan hasil hutan melalui tata kelola hutan yang bertanggung jawab
pada areal yang telah dibebani izin (konsesi) di dalam wilayah KPHP secara terpadu, Transparan dan
bertanggung jawab untuk mendukung pengelolaan hutan lestari. Misi ini bertujuan untuk membentuk
dan membina pemegang ijin kelompok tani hutan, membentuk lembaga usaha masyarakat (koperasi),
meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap seluruh kegiatan pengelolaan hutan, meningkatkan
kapasitas keterampilan masyarakat serta meningkatkan nilai-nilai kreatif local dalam pengelolaan hutan
lestari.

d. Meningkatkan perlindungan serta pengamanan hutan dan hasil hutan. Misi ini bertujuan untuk
menurunkan gangguan keamanan hutan melalui upaya-upaya pengamanan dan resolusi konflik serta
pengembangan konservasi alam pada KPHP Unit I.

e. Mengembangkan secara aktif kegiatan produktif yang berkelanjutan pada wilayah didalam dan diluar
wilayah konsensi. Misi ini bertujuan untuk mengoptimalkan hasil hutan kayu (HHK), hasil hutan bukan
kayu (HHBK), jasa wisata dan jasa lingkungan lainnya melalui skema kemitraan kehutanan melalui skema
kemitraan kehutanan pada wilayah tertentu.

Terciptanya Komunikasi stakeholder menjalin kerjasama antara Dinas Kehutanan KPH Wilayah I Stabat,
masyarakat, Pemerintah Kabupaten langkat, Dinas Kehutanan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, TNI,
POLRI, LSM, Dinas Perikanan dan Kelautan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,Dunia usaha.

Tugas Pokok dan Fungsi KPH

a. UPT KPH Wilayah I sampai dengan XVI mempunyai tugas membantu Kepala Dinas dalam
menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang ketatausahaan, administrasi, perencanaan tata kelola,
pemenfaatan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan lahan, silvikultur dan perlindungan hutan, serta
pembinaan jabatan fungsional dan unit KPHL/KPHP.

b. Unit Pelaksanaan Teknis KPH Wilayah I sampai dengan XVI, menyelenggarakan fungsi
1) Penyelenggaraan pembinaan pegawai pada lingkup kesatuan pengelolaan hutan.

2) Penyelenggaraan arahan, bimbingan kepada pejabat structural pada lingkup Kesatuan Pengelolan
Hutan.

3) Penyelenggaraan penyusunan rencana pengelolaan hutan dan Penataan Hutan wilayah di Kesatuan
Pengelolaan Hutan.

4) Penyelenggaraan koordinasi kegiatan perencanaan dan tata hutan, pemanfaatan dan penggunaan
hutan, Perlindungan dan Pengamanan serta pengendalian kebakaran hutan dan lahan, Rehabilitasi
hutan dan lahan, dengan instansi terkait di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan.

5) Penyelenggaraan Rehabilitasi hutan dan lahan serta Reklamasi hutan di wilayah Kesatuan Pengelolaan
Hutan.

6) Penyelenggaraan Perlindungan hutan dan penegakkan hukum serta konservasi sumber daya alam di
Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan.

7) Penyelenggaraan Pengendalian Kebakaran Hutan dan lahan di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan.

8) Penyelenggaraan Kegiatan Pengelolaan hutan mulai dari perencanaan, pengorganisasian,


pelaksanaaan dan pengawasan serta pengendalian di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan.

9) Penyelenggaraan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan Kesatuan
Pengelolaan Hutan.

10) Penyelenggaraan investasi, kerja sama dan kemitraan dalam pengelolaan hutan di Kesatuan
Pengelolaan Hutan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

11) Pelaksanaan Kebijakan Hutan nasional dan daerah dalam pengelolaan hutan.

12) Penyelenggaraan penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di bidang Kehutanan, serta


pelaksanaan program Perhutanan Sosial pada Kesatuan Pengelolaan Hutan.

13) Penyelenggaraan dan pengelolaan sistem informasi dan perpetaan dalam pengelolaan Kesatuan di
Kesatuan Pengelolaan Hutan .

14) Penyelenggaraan kegiatan bidang Kehutanan di luar kawasan hutan.

15) Penyelenggaraan tugas lain yang diberikan Kepala Dinas sesuai bidang tugas dan fungsinya.

16) Penyelenggaraan Pemberian masukan yang perlu kepada kepala Dinas sesuai bidang tugas dan
fungsinya.

17) Penyelenggaraan pelaporan pertanggung jawaban atas pelaksanaan tugas dan fungsinya kepada
kepala Dinas, sesuai standard yang ditetapkan.

h.Jabatan Fungsional peyuluhan Kehutanan adalah jabatan yang mempunyai runang lingkup tugas,
tanggung jawab, wewenang,untuk melakukan kegiatan penyuluhan Kehutanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang di duduki oleh Pegawai Negri Sipil. Tugas pokok Penyuluhan Kehutanan
1) Penyuluhan kehutanan mempunyai tugas pokok melakukan kegiatan persiapan, pelaksannan,
pengembangan, pemantauan evaluasi dan peaporan ppelaksanaan peyuluhan kehutanan.

2) Tugas pokok penyuluhan kehutanan terbagi dalam unsur dan sub unsure kegiatan penyuluhan
kehutanan dan dapat di nilai angka kreditnya.

3) Rincian unsur dan sub unsur kegiatan penyuluhan kehutanan sebagiamana di peruntukkan sebagai
pejabat Fungsional penyuluh kehutanan ; Tingkat terampil, dan tingkat ahli

Sejarah Luas Kawasan Hutan Kabupaten Langkat

Wilayah KPH Unit I berada di kawasan Hutan Kabupaten Langkat seluas ± 101.809 Ha. Berdasarkan pada
surat keputusan Menteri Kehutanan No 102/ Menhut-II/2010 tanggal 05 Maret 2010 Tentang
Pengelolaan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit I perincian kawasan hutan
tersebut adalah hutan lindung (HL) ± 3.745 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas ±57.979 Ha dan
Hutan produksi tetap (HP) seluas ±40,085 Ha. Luasan tersebut masih mengacu pada Keputusan Menteri
No. SK. 44 MenhutII 2005, tentang Penunjukkan kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utaras
seluas ±3.742.120 Ha.

Berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No SK. 579 MenhutII/2014 tanggal 24 Juni 2014
tentang kawasan hutan di Sumatera Utara, kawasan hutan yang berada di Kabupaten Langkat adalah
seluas 69.907,89 Ha. Kawasan hutan yang menjadi wilayah KPHP Unit I tersebut menjadi penyusaian dan
perubahan luas seperti yang disajikan pada tabel berikut ini :

Hutan Lindung 4.401,81 Ha, Hutan Produksi Tetap 25.101,22 Ha, Hutan Produksi Terbatas 40.404,86 Ha,
JUMLAH 69.907,89 Ha.

Kec. Batang Serangan 5.879,78 Ha, 8,41 %

=========

Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara adalah merupakan unsur Pelasana Otonomi Daerah
Pemerintah Provinsi yang dipimpin oleh seorang Kepala Dinas berkedudukan dibawah dan
bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Disamping itu, kedudukan Dinas
Kehutanan sebagai wakil Gubernur urusan kehutanan untuk melakukan koordinasi pelaksanaan
pembangunan di bidang kehutanan di provinsi, baik dalam penyusunan, pelaksanaan, pengendalian dan
evaluasi sebagaimana yang diamanatkan PP Nomor 19 Tahun 2010 pasal 3 huruf d
Sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 8 Tahun 2008 tanggal 28 November
2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah Provinsi Sumatera Utara, Dinas Kehutanan
menyelenggarakan tugas dan fungsi sebagai berikut : 
 
Tugas
Dinas Kehutanan melaksanakan urusan pemerintahan daerah/kewenangan provinsi, dibidang
inventarisasi dan penatagunaan hutan, pengusahaan hutan, rehabilitasi hutan lahan dan perlindungan
hutan serta tugas pembantuan.
Fungsi
Untuk melaksanakan tugas, Dinas Kehutanan menyelenggarakan fungsi :

1. Perumusan kebijakan teknis dibidang inventarisasi dan penatagunaan hutan, pengusahaan


hutan, rehabilitasi hutan dan perlindungan hutan
2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang inventarisasi dan
penatagunaan hutan, pengusahaan hutan, rehabilitasi dan perlindungan hutan
3. Pelaksanaan pemberian izin  dibidang kehutanan
4. Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kehutanan
5. Pelaksanaan tugas pembantuan di bidang kehutanan
6. Pelaksanaan pelayanan administrasi internal dan eksternal
7. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur, sesuai dengan tugas dan fungsinya

=======

Kawasan Hutan produksi tetap seluas 1.021.063 Ha yang terletak di Kabupaten Asahan, Labuhan Batu,
Dairi, Deli Serdang, Humbang Hasundutan, Labuhan Batu Selatan, Labuhan Batu Utara, Langkat,
Mandailing Natal, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Pakpak Barat, Samosir, Serdang Bedagai,
Simalungun, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Nias Selatan, Nias Utara,
Nias Barat, Kota Padang Sidempuan.

 Belum optimalnya peran masyarakat dalam program HTR

 Terjadinya perambahan dan pencurian hasil hutan

 Data dan potensi sumber daya hutan belum tersedia

 Lemahnya koordinasi antara Dinas Kehutanan dengan institusi penegak hukum lainnya dalam
penegakan tindak pidana kehutanan

 Belum optimalnya penatausahaan hasil hutan dan iuran hasil hutan

 Adanya klaim lahan oleh masyarakat di areal IUPHHK HT atau HA

 Belum terbentuknya KPH HP

 Belum terbentuknya masyarakat yang mampu mengelola hutan produksi.

 Kinerja pengeloaan IUPHHK HT dan HA belum maksimal.

 Belum adanya tim terpadu yang menangani gangguan keamanan hutan

 Kegiatan dilapangan oleh pemegang Izin IUPHHK HT dan HA belum optimal.


 Belum terbentuknya KPH HP

Adanya kabupaten belum respon terhadap pembangunan KPH diwilayahnya.

Penerbitan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam dan atau Restorasi Ekosistem
(IUPHHKHA/RE) pada areal bekas tebangan (logged over area/LOA)seluas 2,5 juta ha.

Kerangka posisi dan peran pembangunan kehutanan dalam arah kebijakan dan strategi pembangunan
daerah di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2013-2018, dititik
beratkan pada prioritas Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara adalah merupakan unsur Pelaksana
Otonomi Daerah Pemerintah Provinsi yang dipimpin oleh seorang Kepala Dinas berkedudukan dibawah
dan bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Disamping itu, kedudukan Dinas
Kehutanan sebagai wakil Gubernur urusan kehutanan untuk melakukan koordinasi pelaksanaan
pembangunan di bidang kehutanan di provinsi, baik dalam penyusunan, pelaksanaan, pengendalian dan
evaluasi sebagaimana yang diamanatkan PP Nomor 19 Tahun 2010 pasal 3 huruf d.

Sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2016 Pembentukan dan
Susunan Perangkat Daerah Provinsi Sumatera Utara, Peraturan Gubernur No. 38 Tahun 2016 tentang
Susunan Organisasi Dinas-Dinas Daerah Provinsi Sumatera Utara dan Peraturan Gubernur No. 48 Tahun
2017 tentang Tugas, Fungsi, Uraian Tugas dan Tata Kerja Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara,
maka Dinas Kehutanan menyelenggarakan tugas dan fungsi sebagai berikut :

Tugas

Dinas Kehutanan melaksanakan urusan pemerintahan daerah/kewenangan provinsi, dibidang


penatagunaan hutan, pengusahaan hutan, rehabilitasi hutan dan lahan, perlindungan hutan serta tugas-
tugas dekonsentrasi dan pembantuan.

Fungsi

Untuk melaksanakan tugas, Dinas Kehutanan menyelenggarakan fungsi :

a. Menyelenggarakan perumusan kebijakan pengelolaan hutan konservasi sumber daya hayati dan
ekosistem, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan
pengelolaan daerah aliran sungai dan pengawasan kehutanan sesuai dengan lingkupnya;

b. Penyelenggaraan kebijakan pengelolaan hutan konservasi sumber daya hayati dan ekosistem,
pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan pengelolaan
daerah aliran sungai dan pengawasan kehutanan sesuai dengan lingkup tugasnya;
c. Penyelenggaraan evaluasi dan pelaporan pengelolaan hutan konservasi sumber daya hayati dan
ekosistem, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan
pengelolaan daerah aliran sungai dan pengawasan kehutanan sesuai dengan lingkup tugasnya;

d. Penyelenggaraan administrasi pengelolaan hutan konservasi sumber daya hayati dan ekosistem,
pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan pengelolaan
daerah aliran sungai dan pengawasan kehutanan sesuai dengan lingkup tugasnya;

e. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur, sesuai dengan tugas dan fungsinya

UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan

Kepala UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) mempunyai tugas membantu Kepala Dinas dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketatausahaan, administrasi, perencanaan tata
kelola, pemanfaatan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan lahan, silvikultur dan perlindungan hutan,
serta pembinaan jabatan fungsional dan Unit KPHL/ KPHP. Kepala UPT. Kesatuan Pengelolaan Hutan
menyelenggarakan fungsi-fungsi :

1) Menyelenggarakan pembinaan pegawai pada lingkup Kesatuan Pengelolaan Hutan;

2) Menyelenggarakan arahan, bimbingan kepada pejabat structural pada lingkup Kesatuan Pengelolaan
Hutan;

3) Menyelenggarakan penyusunan rencana pengelolaan hutan dan penataan hutan di wilayah Kesatuan
Pengelolaan Hutan;

4) Menyelenggarakan koordinasi kegiatan perencanaan dan tata hutan, Pemanfaatan dan penggunaan
hutan, Perlindungan dan pengamanan serta pengendalian kebakaran hutan dan lahan, rehabilitasi hutan
dan lahan dengan instansi terkait di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan;

5) Menyelenggarakan rehabilitasi hutan dan lahan serta reklamasi hutan di wilayah Kesatuan
Pengelolaan Hutan;

6) Menyelenggarakan perlindungan hutan dan penegakan hukum serta konservasi sumber daya alam di
wilayah kesatuan pengelolaan hutan;

7) Menyelenggarakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di wilayah kesatuan pengelolaan hutan;

8) Menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan mulai dari perencanaan, pengorganisasian,


pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian di wilayah kesatuan pengelolaan hutan;

9) Menyelenggarakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan


kesatuan pengelolaan hutan;

10) Menyelenggarakan Investasi, kerja sama dan kemitraan dalam pengelolaan hutan di kesatuan
pengelolaan hutan sesusai dengan peraturan perundang-undangan;

11) Menyelenggarakan kebijakan kehutanan nasional dan daerah dalam pengelolaan hutan;
12) Menyelenggarakan penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan, serta
pelaksanaan program perhutanan sosial pada kesatuan pengelolaan hutan;

13) Menyelenggarakan pengembangan dan pengelolaan sistem informasi dan perpetaan dalam
pengelolaan hutan di kesatuan pengelolaan hutan;

14) Menyelenggarakan kegiatan bidang kehutanan di luar kawasan hutan;

15) Menyelenggarakan tugas lain yang diberikan kepala dinas, sesuai bidang tugas dan fungsinya;

16) Menyelenggarakan pemberian masukan yang perlu kepada kepala dinas sesuai bidang tugas dan
fungsinya;

17) Menyelenggarakan pelaporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas dan fungsinya kepada
kepala dinas sesuai standard yang ditetapkan;

Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, Kepala UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan dibantu oleh :

a. Kepala Sub Bagian Tata Usaha

b. Kepala Seksi Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan

c. Kepala Seksi Perlindungan Hutan dan Pemberdayaan Masyarakat

d. Kelompok jabatan fungsional

e. Unit KPHL dan/ atau KPHP

Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utaramempunyai visi Tahun 2009-2013 :

“Terwujudnya sumber daya hutan yang lestari untuk kesejahteraan rakyat melalui mekanisme
pengelolaan yang partisipati, terpadu, transparan dan bertanggung jawab”

Selanjutnya dalam pencapaian Visi Dinas Kehutanan yang tertuang dalam Renstra Dinas Kehutanan
Provinsi sumatera Utara Tahun 2009-2013 tersebut dijabarkan dalam Misi Dinas Kehutanan Provinsi
Sumatera Utara sebagai berikut :

1) Memantapkan status kawasan hutan.

2) Meningkatkan perlindungan hutan dan hasil hutan.

3) Mencegah meningkatnya lahan kritis dan memulihkan lahan terdegradasi.

4) Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari dan distribusi manfaat secara
proporsional.

5) Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan sejalan dengan otonomi


daerah.
Penjelasan makna dari pernyataan Misi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Memantapkan Status Kawasan Hutan dengan tujuan meningkatkan kepastian hukum kawasan hutan
di Provinsi Sumatera Utara sebagai dasar pengelolaan sumber daya hutan yang lestari.

2. Meningkatkan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dengan tujuan meningkatkan kualitas kondisi, fungsi dan
daya dukung hutan dan lahan sehingga dapat mengurangi resiko bencana alam dan dikelola secara
berkelanjutan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

3. Meningkatkan pengelolaan hutan dan hasil hutan dengan tujuan optimalisasi pengelolaan hutan
produksi secara lestari dan partisipatif dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan, sehingga
meningkatkan produksi dan diversifikasi hasil hutan serta memperluas kesempatan berusaha dan
lapangan pekerjaan.

4. Meningkatkan perlindungan hutan dan hasil hutan dengan tujuan menurunkan gangguan keamanan
hutan dan hasil hutan dalam penyelenggaraan perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam.

5. Meningkatkan kualitas perencanaan dan sumber daya manusia kehutanan dengan tujuan
meningkatkan tata kelola administrasi penyelenggaraan kepemerintahan di bidang kehutanan secara
efektif dan efisien serta tersedianya SDM Kehutanan yang profesional.

TUJUAN DAN SASARAN JANGKA MENENGAH

4.2.1 Tujuan

1. Meningkatkan kepastian hukum kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara.

2. Meningkatkan kualitas kondisi, fungsi dan daya dukung hutan dan lahan.

3. Optimalisasi pengelolaan hutan secara lestari.

4. Menurunkan gangguan keamanan hutan dan hasil hutan.

5. Meningkatkan tata kelola administrasi penyelenggaraan kepemerintahan di bidang kehutanan secara


efektif dan efisien serta tersedianya SDM Kehutanan yang profesional.

4.2.2 Sasaran Jangka Menengah

Sasaran strategis merupakan ukuran kinerja pencapaian misi sesuai dengan tujuannya. Sasaran strategis
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi kurun waktu 2013-
2018 adalah sebagai berikut :

1. Mantapnya status dan tata batas kawasan hutan


2. Peningkatan jumlah pengelolaan hutan tingkat tapak (terbentuknya 33 Unit KPH, dimana 11 Unit KPH
adalah KPH lintas kabupaten/kota yang merupakan kewenangan Provinsi Sumatera Utara dan sisanya
hanya menfasilitasi pembentukkannya).

3. Meningkatnya produktifitas sumber daya hutan dan luas hutan tanaman.

4. Menurunnya tingkat gangguan keamanan hutan (pencurian hasil hutan dan perambahan kawasan
hutan) dan kerusakan kawasan hutan

Strategi pencapaian sasaran tersebut dituangkan melalui peningkatan produksi dan produktifitas
pertanian dengan arah kebijakan pengawasan dan mengendalikan pemanfaatan sumber daya hayati
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, melalui :

a. Peningkatan rehabilitasi hutan dan lahan;

b. Menyiapkan prakondisi pemantapan kawasan hutan;

c. Meningkatkan perlindungan dan pengamanan kawasan hutan;

d. Meningkatkan pengelolaan hutan yang partisipatif, terpadu, transparan dan berkelanjutan;

e. Meningkatkan pengelolaan hutan tanaman rakyat, hutan desa dan hutan kemasyarakatan.

Strategi

Strategi merupakan langkah untuk memecahkan permasalahan yang penting dan mendesak untuk
segera dilaksanakan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun serta memiliki dampak yang besar terhadap
pencapaian visi, misi, tujuan, dan sasaran. Untuk mewujudkan Visi Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera
Utara Tahun 2013-2018, maka Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara akan melaksanakannya melalui
5 (lima) misi yang telah disusun dan strategi-strategi pembangunan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
mendatang.

Strategi pembangunan kehutanan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013-2018 adalah :

1. Peningkatan kepastian kawasan hutan di Sumatera Utara

2. Peningkatan jumlah pengelolaan hutan tingkat tapak (terbentuknya 33 Unit KPH, dimana 11 Unit KPH
adalah KPH lintas kabupaten/kota yang merupakan kewenangan Provinsi Sumatera Utara dan sisanya
hanya memfasilitasi pembentukkannya).

3. Meningkatkan mutu dan produktifitas sumberdaya hutan.

4. Meningkatkan keamanan kawasan hutan dan hasil hutan

5. Meningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan;


ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERDASARKAN TUJUAN DAN SASARAN STRATEGIS 2018
- 2023

5.1. TUJUAN DAN SASARAN PERIODE 2018 – 2023 :

5.1.1 Tujuan

1. Mengoptimalkan kepastian hukum kawasan hutan lindung dan produksi di Provinsi Sumatera Utara.

2. Meningkatkan kualitas kondisi, fungsi dan daya dukung hutan dan lahan serta pengelolaan hutan
secara lestari.

3. Meningkatkan pengelolaan hutan lindung dan produksi secara partisipatif.

5.1.2 Sasaran Jangka Menengah

Sasaran strategis merupakan ukuran kinerja pencapaian misi sesuai dengan tujuannya. Sasaran strategis
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi kurun waktu 2018-
2023 adalah sebagai berikut :

1. Terwujudnya status dan tata batas kawasan hutan lindung dan produksi yang terjaga dan terpelihara
dengan baik;

2. Terwujudnya pengelolaan hutan lestari tingkat tapak yang produktif dan berkelanjutan.

3. Meningkatnya peran serta aktif masyarakat dalam menjaga, memelihara dan meningkatkan
pengelolaan sumber daya hutan lestari dan lahan secara berkelanjutan .

ARAH KEBIJAKAN

Guna teta pmenjaga serta meningkatkan keberlanjutan pembangunan kehutanan, dalam 5 (lima) tahun
ke depan, Kerangka posis idan peran pembangunan kehutanan dalam arah kebijakan pembangunan di
dalam Rencana Strategis Dinas Kehutanan Tahun 2018-2023 dititik beratkan pada 5 (lima) kebijakan
prioritas pembangunan sector kehutanan, meliputi:

1) Peningkatan dukungan dan pemeliharaan tata batas kawasan hutan.

2) Peningkatan fasilitasi peranserta masyarakat dalam pemanfaatan kawasan hutan.

3) Peningkatan cakupan layanan pengamanan hutan.

4) Peningkatan pelaksanaan penanaman untuk mengurangi luas lahan kritis.

5) Peningkatan pelaksanaan perhutanan social untuk kesejahteraan masyarakat.

Sesuai dengan paradigma baru pembangunan kehutanan yaitu pengelolaan sumberdaya alam hutan
untuk mewujudkan sebesar-besarnya kesejahteraan seluruh rakyat secara adil, demokratis, transparan
dan meningkatkan pelayanan masyarakat, maka kebijakan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
adalah mengelola dan mendayagunakan sumberdaya hutan secara lestari serta meningkatkan
pemanfaatannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sasaran merupakan penjabaran dari setiap tujuan yang akan dicapai atau dihasilkan dalm jangka waktu
tertentu. Sasaran juga menggambarkan tindakan-tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan
yang bersifat spesifik, terinci dan dapat terukur.

Secara umum, beberapa isu strategis yang dirumuskan dalam pelayanan Dinas Kehutanan Provinsi
Sumatera Utara saat ini adalah :

1) Pelestarian Lingkungan Hidup (Hutan dan Lahan) dan Climate Changing/ Reduksi Emisi Karbon.

2) Belum tuntasnya penataan batas Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara, dimana Kawasan Hutan
yang ditunjuk belum seluruhnya ditata batas.

3) Tingginya Gangguan Terhadap Kawasan Hutanterutama perambahan, perubahan peruntukan


kawasan hutan menjadi perkebunan, pemukiman, dan lain-lain.

4) Terbatasnya Tenaga Pengamanan Hutan, sarana prasarana dan dana untuk perlindungan kawasan
hutan. Jumlah tenaga pengamanan hutan ideal yang harus dimiliki di Provinsi Sumatera Utara + 1.000
orang, saat ini sudah ada 126 orang sehingga dibutuhkan penambahan tenaga pengamanan hutan
sekitar 884 orang.

5) Tingginya intensitas kebakaran hutan di beberapa kabupaten, serta belum terbentuknya Satuan
Pengendali Kebakaran Hutan di Kabupaten/Kota sampai ke tingkat desa.

6) Rendahnya Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan

7) Masih Luasnya Lahan Kritis +339.633,10 Hayang ada di Provinsi Sumatera Utara.

8) Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD) dan
Hutan Rakyat belum terealisasi seperti yang diharapkan.

9) Belum adanya penunjukan kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara oleh Menteri Kehutanan pasca
Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor 47/P/HUM/2011 tanggal 23 Desember 2011.

1. Program Pelayanan Administrasi Perkantoran

Program ini bertujuan Meningkatkan kapasitas kelembagaan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
dalam pengelolaan hutan, dengan kegiatan sebagai berikut :

1) Penyediaan jasa surat menyurat

2) Penyediaan jasa komunikasi, sumber daya air dan listrik


3) Penyediaan jasa jaminan pemeliharaan kesehatan PNS

4) Penyediaan jasa administrasi perkantoran

5) Penyediaan jasa kebersihan kantor

6) Penyediaan alat tulis kantor

7) Penyediaan barang cetakan dan penggandaan

8) Penyediaan komponen instalasi listrik/penerangan bangunan kantor

9) Penyediaan Peralatan dan Perlengkapan Kantor

10) Penyediaan bahan bacaan dan peraturan perundang-undangan

11) Penyediaan makanan dan minuman

12) Rapat-rapat kordinasi dan konsultasi ke luar daerah

13) Rapat-rapat koordinasi dan konsultasi ke dalam daerah

2. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur

Program ini bertujuan Meningkatkan kapasitas kelembagaan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
dalam pengelolaan hutan, dengan kegiatan sebagai berikut:

1) Pengadaan kendaraan dinas/operasional

2) Pemeliharaan rutin/berkala rumah dinas

3) Pemeliharaan rutin/berkala gedung kantor

4) Pemeliharaan rutin/berkala kendaraan dinas/operasional

5) Pemeliharaan rutin/berkala peralatan gedung kantor

6) Pemeliharaan rutin/berkala Meubeleur

3. Program Peningkatan Disiplin Aparatur

Program ini bertujuan Meningkatkan kapasitas kelembagaan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
dalam pengelolaan hutan, dengan kegiatan sebagai berikut:

1) Pengadaan Pakaian Dinas beserta perlengkapannya

2) Pengadaan Pakaian olahraga

3) Pengadaan Pakaian Batik Etnis Daerah


4. Program Fasilitas Pindah/Purna Tugas PNS

Program ini bertujuan Meningkatkan kapasitas kelembagaan Dinas KehutananProvinsi Sumatera Utara
dalam pengelolaan hutan, dengan kegiatan Pemindahan tugas PNS

5. Program Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Aparatur

Program ini bertujuan Meningkatkan kapasitas kelembagaan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
dalam pengelolaan hutan, dengan kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Formal serta Peningkatan Kualitas
Jasmani dan Rohani

6. Program Peningkatan Pengembangan Sistem Pelaporan Capaian Kinerja dan Keuangan

Program ini bertujuan Meningkatkan kapasitas kelembagaan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara
dalam pengelolaan hutan, dengan kegiatan sebagai berikut :

1) Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP)

2) Penyusunan rencana dan pelaksanaan program dan kegiatan serta monitoring dan pengendaliannya

3) Evaluasi dan monitoring Pelaksanaan kegiatan APBD

4) Pembuatan dan Pengembangan Website Dinas Kehutanan

5) Penyusunan CAL, LRA dan Neraca

6) Kegiatan Pembinaan dan Pengelolaan Barang/Asset dan Neraca pada SKPD

7) Pengumpulan data dan penyusunan laporan mingguan, bulanan, triwulan pelaksanaan program dan
kegiatan

8) Pembuatan laporan evaluasi tahunan (LKPJ)

9) Pengembangan sistem informasi kinerja aparatur/keuangan/barang daerah

10) Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA-SKPD) dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA-
SKPD) Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara

7. PROGRAM PEMANFAATAN POTENSI SUMBER DAYA HUTAN

Program ini bertujuan Meningkatnya pemanfaatan sumber daya hutan yang optimal dan lestari, dengan
kegiatan sebagai berikut :

1) Inventarisasi potensi hasil hutan non kayu


2) Penyusunan desain tapak Pengelolaan Pariwisata alam dan Pemberian tanda batas areal pengusahaan
pariwisata alam di Tahura Bukit Barisan

3) Peningkatan Arena dan Pengadaan Peralatan Softgun/paintball, outbond dan permainan lainnya di
Tahura BB

4) Pelaksanaan Pameran-pameran tentang Hutan dan Kehutanan

5) Kajian dan analisa teknis pemanfaatan hutan dan hasil hutan

6) Pengembangan Kawasan Ekowisata Mangrove dalam rangka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir
Berkelanjutan

7) Penyusunan data base potensi jasa lingkungan dan wisata di Tahura Bukit Barisan

8) Inventarisasi dan identifikasi potensi wisata dan jalur wisata (track hase) di Tahura Bukit Barisan

9) Penyusunan SIG untuk pengembangan kawasan Tahura Bukit Barisan

10) Analisis Karakteristik Kondisi Fisik Lahan THRBB dengan Remote Sensing dan SIG

11) Pembinaan dan pengembangan atraksi Fauna di Tahura Bukit Barisan

12) Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Daerah Tentang Pengelolaan Hutan Produksi dan Hutan
Lindung Provinsi Sumatera Utara

13) Peningkatan Jasa Lingkungan di TAHURA Bukit Barisan melalui peningkatan sarana dan prasarana

14) Pembinaan dan Pengembangan Penangkaran Kupu-Kupu, Outbond dan Softgun di TAHURA Bukit
Barisan

15) Penyusunan data base potensi jasa lingkungan dan wisata di KPH

16) Perencanaan dan Koordinasi Pengelolaan KPH

17) Pengawasan Pengelolaan Hutan Lindung dan Produksi pada KPH

8. PROGRAM PEMBINAAN DAN PENERTIBAN INDUSTRI HASIL HUTAN

Program ini bertujuan Meningkatnya daya saing industri primer kehutanan dan mantapnya
penatausahaan dan peredaran hasil hutan, dengan kegiatan sebagai berikut :

1) Optimalisasi Iuran Kehutanan Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), dan Iuran
Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPHH)

2) Pemantauan dan Pelaksanaan Pelimpahan Tunggakan-Tunggakan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
dan Dana Reboisasi (DR) ke Kantor Pengurusan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN)

3) Rekonsiliasi Iuran Kehutanan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR)
4) Pembinaan Penatausahaan Hasil Hutan (TUK)/Peredaran Hasil Hutan

5) Pemantauan Dokumen Pengangkutan Hasil Hutan Antar Provinsi

6) Pengadaan sarana prasarana Pengujian peredaran hasil hutan

7) Evaluasi dan Pembinaan Kerja Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (P2SKSHH),
Pejabat Pengesah Laporan Hasil Produksi (P2LHP) dan Pejabat Pemeriksan Penerimaan Kayu Bulat
(P3KB)

8) Perencanaan koordinasi kegiatan penertiban pengusahaan hutan

9) Pemantauan dan Pengendalian Peredaran Hasil Hutan Lintas Kabupaten/Kota

10) Pengendalian dan Pengawasan Penggunaan Bahan Baku pada Industri Primer Hasil Hutan

11) Pembinaan dan Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) dan Penatausahaan Iuran Kehutanan (PUIK)
Kepada Pemegang IUPHHK Alam/Tanaman, Industri Primer Hasil Hutan dan Ijin Sah Lainnya

12) Pemeriksaan Realiasasi Pemenuhan Bahan Baku Industri RPBI dan Persediaan (stock) Bahan Baku
kayu

13) Pemantauan Penggunaan, Pengendalian, dan Pembinaan Distribusi Dokumen SKSHH

14) Monitoring Peredaran Kayu Rakyat

15) Sosialisasi Peraturan Penatausahaan Hasil Hutan

16) Inventarisasi Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu/Non Kayu, Penampungan Hasil Hutan, dan Sentra
Penjualan Hasil Hutan

17) Pengawasan dan pembinaan ijin pemanfaatan hasil hutan

18) Bimbingan Teknis Kinerja P3KB/P2LHP/P2SKB/Penerbit FA-KO/FA -KB

19) Uji Petik Croscheck dokumen LHC/LHP/LMK dan SKSKB/FA

20) Koordinasi dan Perencanaan Kegiatan pada UPTD PPHH

21) Monitoring dan evaluasi produksi IUIPHHK/ISL

22) Monitoring dan evaluasi peralatan IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IPK, IUPHH-BK

23) Monitoring Pembayaran Iuran Kehutanan Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan
(PSDH) dan Iuran Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPHH)

24) Pengadaan Sarana Prasarana Pengujian Peredaran Hasil Hutan

25) Restrukturisasi/ Revitalisasi IUPHHK (perluasan industri, kapasitas produksi, reenginering dan
relokasi
9. PROGRAM PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN

Program ini bertujuan Mantapnya status kawasan hutan guna terwujudnya keterpaduan pembangunan
kehutanan dan berkurangnya kasus-kasus permasalahan tata batas kawasan hutan, dengan kegiatan
sebagai berikut :

1) Perencanaan dan Koordinasi Pembangunan Kehutanan

2) Pembinaan dan Pengembangan Kemitraan Usaha Pengelolaan Kehutanan

3) Pengumpulan Data dan Penyusunan Statistik Kehutanan

4) Pembinaan dan Pengendalian Rencana Karya (RK) pada Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK) pada Hutan Alam dan atau Hutan Tanaman

5) Koordinasi Pembangunan Kehutanan Regional dan lintas sektoral

6) Publikasi Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang Kehutanan

7) Pemantauan Pelaksanaan Pengelolaan DAK/DBH Bidang Kehutanan Pada Dinas Kabupaten/Kota Yang
Membidangi Urusan Kehutanan

8) Bimbingan Teknis Penyusunan Anggaran Pembangunan Kehutanan

9) Sosialisasi/Penyebarluasan Informasi di Bidang Hutan dan Kehutanan

10) Penyusunan buku kamus kehutanan

11) Penyusunan standar kegiatan pembangunan bidang kehutanan Provinsi Sumatera Utara

12) Fasilitasi penataan batas kawasan hutan

13) Perencanaan dan koordinasi Kegiatan Pemantapan Kawasan Hutan

14) Evaluasi Areal Pinjam Pakai Kawasan Hutan

15) Inventarisasi dan identifikasi permasalahan tenurial kawasan hutan

16) Pemetaan bentuk Lahan Daerah Aliran Sungai (DAS)

17) Pembuatan peta tematik kehutanan Provinsi Sumatera Utara

18) Penanganan Permasalahan Kawasan Hutan

19) Penyusunan Neraca Sumber Daya Hutan Provinsi

20) Pengendalian batas kawasan hutan

21) Pemasangan plang pengumuman kawasan hutan

22) Sosialisasi Penunjukkan kawasan hutan di Sumatera Utara

23) Penyusunan Rencana Pengelolaan TAHURA Bukit Barisan

24) Pemeliharaan dan pengamanan batas hutan di kawasan TAHURA Bukit Barisan
25) Koordinasi Perencanaan Kegiatan pada UPTD Pengukuran dan Perpetaan Kehutanan

26) Orientasi batas kawasan hutan

27) Monitoring dan evaluasi pinjam pakai kawasan hutan

28) Pemeliharaan batas kawasan hutan

29) Percepatan pembangunan KPH Lintas di Provinsi Sumatera Utara

30) Fasilitasi KPH di Kabupaten/kota

31) Reposisi Batas Kawasan Tahura Bukit Barisan Berdasarkan Peta Register

32) Pengadaan sarana dan prasarana pengukuran dan perpetaan

33) Pembinaan pengukuran dan pemetaan penyiapan areal hutan kemasyarakatan (HKm)

34) Inventarisasi sosial budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan

35) Fasilitasi Diiklat/bimtek pengukuran dan perpetaan kehutanan (GPS,GIS,perpetaan dll)

36) Penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi (RKTP) Sumatera Utara

37) Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Lindung Lintas Kabupaten/Kota Utara

38) Penyusunan Rencana zonasi pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil Provinsi Sumatera Utara

39) Penyelesaian kasus-kasus/permasalahan tata batas kawasan hutan

40) Pengumpulan dokumen tata batas

41) Perencanaan dan Koordinasi Kegiatan ke Pusat/ Departemen Kehutanan dalam rangka Mengikuti
Rapat kerja Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kehutanan

42) Perencanaan dan Koordinasi Kegiatan ke Pusat/ Departemen Kehutanan dalam rangka mengikuti
Rapat Koordinasi/ Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Pembangunan Kehutanan

43) Pembinaan dan Pengembangan Kemitraan Usaha Pengelolaan Hutan

44) Pengumpulan Data dan Penyusunan Statistik Kehutanan

45) Pembinaan dan Pengendalian Rencana Karya (RK) pada Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK) pada Hutan Alam dan atau Hutan Tanaman

46) Koordinasi Pembangunan Kehutanan Regional dan lintas sektoral

47) Publikasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Kehutanan

48) Pemantauan Pelaksanaan Pengelolaan DAK/ DBH Bidang Kehutanan

49) Bimbingan Teknis Penyusunan Anggaran Pembangunan Kehutanan

50) Sosialisasi/ Penyebarluasan Informasi di Bidang Hutan dan Kehutanan

51) Penyusunan Buku Kamus Kehutanan


52) Penyusunan standar kegiatan pembangunan bidang kehutanan provinsi sumatera utara

53) Identifikasi, Inventarisasi Sosial Budaya Masyarakat dan Penanganan Permasalahan Kawasan Hutan

54) Penyusunan RPHJP ( Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang )

55) Penyusunan RPHJPd ( Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang )

56) Finalisasi dan Pengesahan RPHJP

57) Pembangunan Sarana dan Prasarana Operasional KPH, Tahura dan Hutan Kota

58) Identifikasi Hak-hak Pihak Ketiga dalam rangka Program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dalam
kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara

59) Koordinasi penyiapan bahan perencanaan, monitoring dan pelaporan kegiatan DBH-DR

60) Penataan Areal Kerja UPT. Lingkup Dinas Kehutanan

61) Operasionalisasi KPH

10.PROGRAM PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

Program ini bertujuan Meningkatnya pengamanan kawasan hutan, hasil hutan dan pengendalian
kebakaran hutan, dengan kegiatan sebagai berikut :

1) Patroli Pencegahan dan Pembatasan kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan

2) Operasi Penindakan Kejahatan Kehutanan Dan Penanganan Pasca Operasi Penindakan Kejahatan
Kehutanan Di Wilayah Sumatera Utara

3) Pencegahan Dan Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan

4) Tindak Lanjut Pengaduan Masyarakat Tentang Permasalahan Kehutanan

5) Penyidikan kasus tindak pidana kehutanan

6) Pengamanan barang bukti tindak pidana kehutanan

7) Pengurusan Legalitas Penggunaan Senjata Api

8) Peningkatan Profesionalisme Polisi Kehutanan

9) Pembinaan Dan Monitoring Pengelolaan AMDAL Di HTI

10) Pembinaan Dan Monitoring Pengelolaan AMDAL IUPHHK-HA

11) Monitoring Pos Peredaran hasil hutan lintas kabupaten/kota

12) Pembinaan Dan Monitoring AMDAL Ijin Lainnya (IPK, Jasa Lingkungan, pinjam pakai kawasan dll)

13) Perlindungan Dan Pengamanan Hutan Pada Kawasan Tahura Bukit Barisan

14) Pembentukan dan pembinaan kelompok masayarakat pengaman hutan swakarsa


15) Pembentukan dan pembinaan kelompok masayarakat pengendali kebakaran hutan swakarsa

16) Identifikasi dan inventarisasi ijin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dalam kawasan hutan

17) Inventarisasi penangkar satwa yang tidak dilindungi

18) Perencanaan, Koordinasi, Pembinaan Dan Pengembangan Pengelolaan Tahura Bukit Barisan

19) Analisis Tutupan Vegetasi pada Kawasan Tahura Bukit Barisan di 4 Kabupaten

20) Pengadaan sarana prasarana pengamanan hutan dan perlengkapan Kepolisian Kehutanan

21) Pembuatan peta kerawanan kebakaran hutan di DTA Danau Toba

22) Konservasi jenis flora dan fauna pada Tahura Bukit Barisan

23) Pemantauan titik api (hotspot)

24) Pembuatan poster, leaflet dan sticker pengendalian api pada kawasan hutan

25) Pengadaan dan pemasangan plang-plang larangan/kawasan hutan dalam rangka pengamanan hutan

26) Pengembangan sarana prasarana pengendalian kebakaran hutan dan lahan

27) Peningkatan sistem kemitraan pada masyarakat peduli api

28) Pelatihan/ Pembekalan/ inhousetraining/ penyegaran/ bimtek pengendalian kebakaran hutan dan
lahan

29) Patroli pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan

30) Kampanye pencegahan kebakaran hutan dan lahan dalam rangka penyadartahuan pencegahan
kebakaran hutan dan lahan

31) Pembuatan pemasangan dan sosialisasi rambu-rambu dan papan peringatan pencegahan kebakaran
hutan dan lahan

32) Pembuatan, Penyajian dan penyebarluasan informasi kerawanan, kebakran hutan dan lahan melalui
peta atau sejenisnya

33) Perlindungan dan Pengamanan hutan

34) Pembentukan Masyarakat Peduli Api (MPA)

35) Pembentukan Masyarakat Mitra Polisi Kehutanan

36) Monitoring dan evaluasi pengendalian kebakaran hutan dan lahan pada pemegang ijin (IUPHHK-HT/
HA, IPPKH dan ijin lainnya)

37) Perlindungan dan Pengamanan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan

38) Perencanaan Pencegahan, Penanggulangan dan Pengembangan sarana dan prasarana pengendalian
kebakaran hutan dan lahan

39) Penyelenggaraan dan penata upaya pencegahan, pengendalian kebakaran hutan dan lahan
40) Pembinaan dan Pengendalian Penangkar Tumbuhan Satwa Liar (TSL)

41) Monitoring dan Evaluasi Perlindungan kawasan bernilai penting dan daerah penyangga kawasan
suaka alam serta kawasan pelestarian alam

42) Monitoring peredaran tumbuhan satwa liar (TSL)

11.PROGRAM REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN

Program ini bertujuan Berkurangnya lahan kritis dan dan meningkatnya fungsi dan daya dukung DAS
berbasis pemberdayaan masyarakat, dengan kegiatan sebagai berikut :

1) Pembinaan pohon induk dan penangkar bibit

2) Pembinaan agroforestry (silvofishery, silvopasture, tumpangsari dan aneka usaha kehutanan)

3) Pembangunan persemaian permanen

4) Pengadaan bibit pohon langka

5) Pengadaan bibit simbolis

6) Pengadaan bibit dataran rendah untuk masyarakat

7) Pengadaan bibit dataran tinggi untuk masyarakat

8) Pengadaan bibit mangrove untuk masyarakat

9) Pembuatan Tanaman Reboisasi/Rehabilitasi Lahan-Lahan Kritis di kawasan Tahura Bukit Barisan

10) Temu Rimbawan Sumatera Utara

11) Pengadaan bibit MPTS

12) Temu Usaha Aneka Usaha Kehutanan

13) Pengadaan dan distribusi bibit maskot jenis pohon kabupaten/kota dan provinsi

14) Rehabilitasi Hutan dan Lahan untuk mendukung Toba go green

15) Fasilitasi Rehabilitasi hutan dan lahan

16) Koordinasi Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Kawasan Tahura Bukit Barisan

17) Pembuatan bibit (operasional persemaian Sibolangit)

18) Studi ketersediaan lahan untuk agromarine di Pantai Timur Sumatera Utara

19) Kampanye Indonesia Menanam dan Memelihara Pohon

20) Rehabilitasi Lahan oleh Masyarakat


21) Temu Aneka guna hutan

22) Pembuatan peta arahan jenis tanaman hutan di Sumatera Utara

23) Identifikasi hutan rakyat

24) Fasilitasi pembangunan arboretum

25) Identifikasi jenis-jenis tanaman hutan sebagai sumber cadangan tanaman pangan/obat di Sumatera
Utara

26) Identifikasi kearifan lokal dalam konservasi hutan di Sumatera Utara

27) Kampanye Sumatera Utara Menanam dan Memeliharan Pohon

28) Percontohan budidaya tanaman hutan dalam rangka pemberdayaan masyarakat sekitar hutan

29) Sosialisasi RAD Penurunan emisi GRK

30) Tagging pohon

31) Kemah Kerja rehabilitasi lahan sumatera utara

32) Pengembangan sumberdaya genetik

33) Pemuliaan Tanaman Hutan

34) Penyediaan Benih

35) Penyediaan Bibit

36) Pendampingan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

37) Pemberdayaan Kelompok Tani Hutan (KTH) dalam persiapan, pelaksanaan dan monitoring RHL

38) Pemberdayaan Kelompok Tani Hutan (KTH) melalui peningkatan kelola kelembagaan, kelola kawasan
dan kelola usaha; peningkatan kelas

39) Penyusunan Program Penyuluhan

40) Penyiapan Perhutanan Sosial dalam bentuk HKm, HTR, HD, Hutan adat & Kemitraan

41) Pengembangan usaha

42) Penanganan Konflik, Tenurial dan Hutan Adat

43) Pembinaan Pemberdayaan masyarakat setempat dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan

44) Pembuatan tanaman reboisasi

45) Pemeliharaan Tanaman Reboisasi tahun-1

46) Pemeliharaan Tanaman Reboisasi tahun-2

47) Pengembangan dan Penerapan Teknologi Demplot Kehutanan


48) Peningkatan sarana media penyuluh kehutanan

49) Pembuatan/ pembangunan tanaman edukasi untuk mendukung Geopark Kaldera Toba

50) Kampanye Indonesia Menanam dan Memelihara Pohon

51) Pembangunan Arboretum

52) Peningkatan saran media penyuluh

53) Rehabilitasi Hutan dan Lahan secara Vegetatif

54) Rehabilitasi Hutan dan Lahan secara Sipil Teknis

55) Penyusunan Materi Penyuluhan

56) Penyediaan Bibit/ Pengadaan Bibit untuk masyarakat dan Penghijauan

57) Rehabilitasi DAS DTA Danau Toba

58) Pengadaan Bibit Mangrove

59) Perencanaan Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan

60) Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

61) Penyiapan bahan pemantauan dan pelaporan kegiatan RHL

62) Penyelenggaraan dan Pengembangan perbenihan serta pembibitan tanaman berkayu/ MPTs

63) Penyelenggaraan program penyuluhan kehutanan dan pengembangan sarana dan prasarana
penyuluhan

64) Penataan pembinaan, pengawasan dan pengendalian RHL

12.PROGRAM PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI

Program ini bertujuan Mendorong peran serta masyarakat dan kelompok tani hutan dalam
penegelolaan hutan, dengan kegiatan sebagai berikut :

1) Fasilitasi Hutan Kemasyarakatan (HKm)

2) Fasilitasi Hutan Tanaman Tanaman Rakyat (HR)

3) Fasilitasi Hutan Desa (HD)

4) Fasilitasi pemberdayaan masyarakat sekitar hutan

13.PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL DAN KEMITRAAN


Penambahan program ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Menteri Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Permen LHK RI Nomor P.83/MENLHK/ SETJEN/ KUM.1/ 10/ 2019 tentang
Perhutanan Sosial serta Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor : 188.44/ 765/ KPTS/ 2016
tentang Pembentukan Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Provinsi Sumatera Utara 2016-
2019

1) Fasilitasi/ Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm)

2) Fasilitasi/ Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)

3) Fasilitasi/ Pembangunan Hutan Desa (HD)

4) Fasilitasi/ Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan

5) Pengembangan sarana dan prasarana usaha ekonomi produktif melalui Kelompok Tani Hutan (KTH)

6) Penyiapan Perhutanan Sosial

7) Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial

8) Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan dan Hutan Adat

9) Pembinaan dan Pengendalian pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan

=============

Hutan Produksi Terbatas menurut Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015
tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (“PP 104/2015”) adalah Kawasan
Hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing
dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai antara 125 sampai dengan 174 di luar
kawasan Hutan Lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan Taman Buru.

Di sini kami asumsikan bahwa lahan berstatus Hutan Produksi Terbatas tersebut merupakan hutan
negara. Oleh karena itu, pengalihan status hutan menjadi lahan perkebunan adalah pengalihan status
tanah milik negara menjadi Hak Guna Usaha (“HGU”).

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (“UU 39/2014”), Jenis Usaha
Perkebunan terdiri atas usaha budi daya Tanaman Perkebunan, usaha Pengolahan Hasil Perkebunan,
dan usaha jasa Perkebunan.[2] Kegiatan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dan/atau usaha
Pengolahan Hasil Perkebunan hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah
mendapatkan hak atas tanah dan/atau izin Usaha Perkebunan.[3]
Pada dasarnya pelaku usaha perkebunan dapat diberi hak atas tanah untuk Usaha Perkebunan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[4] Dalam hal terjadi perubahan status kawasan
hutan negara atau Tanah terlantar, Pemerintah Pusat dapat mengalihkan status alas hak kepada
Pekebun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[5]

Perubahan Hutan Produksi Terbatas

Berdasarkan PP 104/2015, kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh pemerintah daerah
berdasarkan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang ditetapkan dengan
peraturan daerah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
dan berdasarkan tata ruang yang berlaku tetap sesuai dengan tata ruang sebelumnya namun
berdasarkan UU Kehutanan, areal tersebut menurut peta Kawasan Hutan yang terakhir:[9]

a. merupakan kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi, diproses melalui Pelepasan Kawasan
Hutan; atau

b. merupakan kawasan Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Terbatas diproses melalui Tukar
Menukar Kawasan Hutan, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya PP 104/2015
dapat mengajukan permohonan Pelepasan Kawasan Hutan atau Tukar Menukar Kawasan Hutan kepada
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (“Menteri LHKI”).

Pelepasan Kawasan Hutan dan Tukar Menukar Kawasan Hutan ini merupakan Perubahan Peruntukan
Kawasan Hutan secara parsial.[10] Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan adalah perubahan Kawasan
Hutan menjadi bukan Kawasan Hutan.[11]

Tukar Menukar Kawasan Hutan adalah perubahan kawasan Hutan Produksi Tetap dan/atau Hutan
Produksi Terbatas menjadi bukan Kawasan Hutan yang diimbangi dengan memasukkan lahan pengganti
dari bukan Kawasan Hutan dan/atau Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi yang produktif menjadi
kawasan Hutan Tetap.[12]

Tukar Menukar Kawasan Hutan dilakukan dengan ketentuan:[13]

a. tetap terjaminnya luas Kawasan Hutan paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari luas Daerah
Aliran Sungai (DAS), pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional; dan

b. mempertahankan daya dukung kawasan Hutan Tetap layak kelola.

Tukar Menukar Kawasan Hutan dapat dilakukan dengan lahan pengganti dari:[14]
a. lahan bukan Kawasan Hutan; dan/atau

b. kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi

Permohonan Tukar Menukar Kawasan Hutan diajukan oleh pemohon kepada Menteri LHKI. Menteri
LHKI kemudian membentuk tim terpadu yang menyampaikan hasil penelitian dan rekomendasi kepada
Menteri LHKI. Berdasarkan hasil penelitian dan rekomendasi tim terpadu, Menteri LHKI menerbitkan
persetujuan prinsip Tukar Menukar Kawasan Hutan atau surat penolakan.[15]

Hutan produksi

Hutan Produksi Merupakan Kawasan hutan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan
masyarakat pada umumnya, khususnya untuk pembangunan, industri dan ekspor. Di Indonesia sebagian
besar hutan produksi juga adalah Hutan alam yang dieksploitasi dalam rangka Hak Pengusahaan Hutan
dan hutan buatan atau hutan tanaman, misalnya hutan jati, tusam, mahoni, damar, jabon, bambu di
Pulau Jawa dan hutan tanaman tusam di Sumatra Utara. Hutan-hutan produksi umumnya berlokasi di
dataran rendah, sehingga penebangannya tidak akan menganggu tata air. Selain nilai kayunya yang
tinggi untuk penghara industri, seperti balok gergajian, kayu pulp, kayu lapis dan lain-lain. Ciri-ciri hutan
produksi ialah pengolahan yang intensif berdasarkan asas-asas kelestarian, murni jenis pohonnya dan
kebanyakan seumur. Selain menghasilkan kayu juga memberi hasil hutan ikutan seperti getah buah
tengkawang, rotan dan sebagainya.[1]

Tipe-tipe hutan produksi

Hutan produksi terdiri dari:[2]

1.Hutan produksi tetap (HP) adalah: hutan yang dapat di eksploitasi dengan perlakuan cara tebang pilih
maupun dengan cara tebang habis.

2.Hutan produksi terbatas (HPT) adalah: merupakan hutan yang hanya dapat dieksploitasi dengan cara
tebang pilih. Hutan Produksi Terbatas merupakan hutan yang dialokasikan untuk produksi kayu dengan
intensitas rendah. Hutan produksi terbatas ini umumnya berada di wilayah pegunungan di mana lereng -
lereng yang curam mempersulit kegiatan pembalakan.

3.Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK)

a. Kawasan hutan dengan faktor kelas lereng jenis, tanah dan intensitas hujan setelah masing - masing
dikalikan dengan angka penimbang mempunyai nilai 124 atau kurang di luar hutan suaka alam dan
hutan pelestarian alam.

b. Kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transmigrasi,
permukiman pertanian dan perkebunan.
Ciri-ciri hutan produksi

Adapun yang termasuk Ciri-ciri hutan produksi sebagai berikut:[3]

1. Dalam satu kawasan hanya terdapat satu jenis tanaman atau pohon, contohnya hutan karet
maupun hutan jati.
2. Dipergunakan untuk kebutuhan konsumtif.
3. Area yang digunakan relatif luas dikarenakan memang untuk memenuhi kebutuhan manusia.
4. Biasanya dimiliki oleh perusahaan swasta yang sudah besar ataupun pemerintah daerah
setempat.
5. Pemanfaatan dan penggunaannya sangat diawasi.

PEMAHAMAN HUTAN PRODUKSI TERBATAS

Salah satu dari tiga fungsi kawasan hutan yang tak habis untuk dibahas dan didiskusikan karena seksi
dan menarik adalah hutan produksi. Kenapa demikian? Hutan produksi salah satu fungsi kawasan hutan
yang sengaja disediakan untuk usaha kegiatan kehutanan yang dapat memberikan manfaat langsung
(tangible) secara ekonomi bagi masyarakat.

Sebagai contoh izin usaha pemafaatan hutan hutan yang sebelumnya dikenal dengan izin hak
pengusahaan hutan (HPH) yang mengambil kayu dari hutan alam. Meskipun dalam undang undang no.
41/1999 tentang kehutanan , tidak disebut adanya turunan (derivate) hutan produksi sebagaimana
hutan konservasi, namun dalam peraturan pemerintah no. 44 tahun 2004 tentang perencanaan hutan,
pasal 24 ayat (1) dinyatakan bahwa hutan produksi terdiri dari hutan produksi terbatas, hutan produksi
biasa dan hutan produksi yang dapat dikonversi.

Kriteria hutan produksi terbatas adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah
dan intensitas hujan, setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai
antara 125-174 (seratus dua puluh lima sampai dengan seratus tujuh puluh empat), diluar kawasan
lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian alam dan taman buru.

Sedangkan hutan produksi tetap adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah
dan intensitas hujan, setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai
di bawah 125 (seratus dua puluh lima), di luar kawasan lindung, hutan suaka alam, hutan pelestarian
alam dan taman buru. Sementara yang dimaksud hutan produksi yang dapat dikonversi mempunyai
kriteria sebagai kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan
setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai 124 (seratus dua
puluh empat) atau kurang, di luar hutan suaka alam dan hutan pelestarian alam dan kawasan hutan
yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transmigrasi, permukiman,
pertanian, perkebunan.

Data terakhir (2019) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas kawasan hutan
Indonesia ), luas kawasan hutan menjadi 125,2 juta ha kawasan hutan yang dibedakan sesuai dengan
fungsinya. Rinciannya adalah 29,1 juta ha sebagai kawasan hutan produksi tetap, 26,7 juta ha sebagai
kawasan hutan produksi terbatas, 29,5 juta ha sebagai kawasan hutan lindung, 27,3 juta ha sebagai
kawasan konservasi, dan 12,8 juta ha hutan produksi yang dapat dikonversi untuk kebutuhan
pembangunan.

Apa Beda Hutan Produksi Biasa dan Terbatas

Dari peraturan perundangan yang masih berlaku sekarang hanya disebut yang membedakan hutan
produksi biasa dan hutan produksi terbatas hanya dibedakan berdasarkan nilainya dari faktor lereng,
jenis tanah dan intensitas hujan. Hutan produksi terbatas nilainya 125 -- 174. Sedangkan hutan produksi
tetap nilainya dibawah 125. (PP no.44 tahun 2004). Dalam peraturan pemerintah 104/2015 tentang tata
cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, hanya disebutkan bahwa antar fungsi kawasan,
apalagi dalam fungsi kawasan dapat diubah antara satu dengan yang lain.

Hutan produksi terbatas dapat diubah menjadi hutan produksi biasa begitu sebaliknya. Peraturan
Menteri LHK no. 69/2019 tentang tata cara penetapan peta indikatif arahan pemanfaatan hutan pada
kawasan hutan produksi yang tidak dibebani izin pemanfaatan hasil hutan kayu, menyatakan bahwa
kawasan hutan produksi biasa dan hutan produksi terbatas diarahkan untuk Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada hutan tanaman industri atau hutan tanaman rakyat; Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada hutan alam atau restorasi ekosistem; atau Izin Pemanfaatan di bidang
perhutanan sosial.

Hanya untuk kawasan hutan produksi terbatas diarahkan pada kawasan hutan produksi terbatas yang
tidak produktif. Untuk menentukan kriteria kawasan hutan produksi terbatas yang tidak produktif
dilakukan kajian adiminstrasi dan lapangan oleh Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan bertanggung
jawab di bidang pengelolaan hutan produksi.

Sampai disini, saya tetap masih gagal paham, untuk apa dibedakan hutan produksi biasa dan hutan
produksi terbatas. Apa ada yang bisa membantu menjelaskan ?

=========

Sedangkan hutan produksi adalah kawasan hutan yang berfungsi untuk menghasilkan atau dieksploitasi
hasil hutannya. Contohnya adalah Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), serta
jenis hutan untuk kepentingan produksi lainnya yang dapat menghasilkan berbagai jenis kayu dan non
kayu.

Pengertian Hutan Produksi

Hutan produksi adalah kawasan hutan yang dimanfaatkan untuk menghasilkan produk hasil hutan.
Produk yang dihasilkan dapat berupa hasil hutan berupa kayu atau hasil hutan non kayu. Secara lebih
luas, hutan jenis produksi juga meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan
pengambilan hasil hutan, baik kayu serta non kayu.

Kebutuhan masyarakat akan bahan baku yang bersumber dari hutan dapat dipenuhi dari pengelolaan
hasil hutan produksi. Hutan jenis ini memiliki luas area yang besar dan umumnya dikelola oleh
perusahaan swasta atau pemerintah daerah setempat. Selain di Pulau Jawa, pengelolaan hutan produksi
dikelola oleh Perum Perhutani

Untuk dapat mengelola hutan produksi, maka harus memiliki izin usaha, seperti:

1. Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK)


2. Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL)
3. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)
4. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK)
5. Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK)
6. Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK)

Secara keseluruhan, Indonesia memiliki 129 juta hektar kawasan hutan. 72 hektar diantaranya adalah
kawasan hutan produksi. Sedangkan jumlah lainnya berupa hutan konservasi dan hutan lindung. Oleh
karena itu, hutan fungsi produksi merupakan kawasan hutan terluas dibanding jenis hutan lainnya.

Tipe Hutan Produksi

Berdasarkan peraturan di Indonesia, hutan produksi dibagi menjadi 3 jenis hutan, yaitu:

1. Hutan Produksi Tetap (HP)

Hutan Produksi Tetap adalah hutan produksi yang dapat dieksploitasi hasil hutannya melalui cara tebang
pilih atau tebang habis. Hutan produksi tetap umumnya berupa kawasan hutan yang topografinya landai
dan tanah rendah erosi, serta memiliki curah hujan yang sedikit.

Indeks areal Hutan Produksi Tetap harus berada dibawah 125 dan bukan termasuk hutan lindung, hutan
suaka alam, dan hutan taman buru. Penghitungan indeks tersebut dilakukan berdasarkan metode
skoring.

2. Hutan Produksi Terbatas (HPT)

Hutan Produksi Terbatas adalah hutan yang dikhususkan untuk dieksploitasi kayunya dalam intensitas
rendah. Untuk mendapatkan hasil hutan berupa kayu, metode yang dilakukan adalah dengan tebang
pilih.

Hutan jenis ini biasanya berada di wilayah pegunungan dengan lereng-lereng curam. Berdasarkan indeks
skoring, skor HPT berada antara 125 hingga 174 dan bukan berupa kawasan yang dilindungi seperti
hutan konservasi atau hutan lindung.

3. Hutan Produksi Konservasi (HPK)


Hutan Produksi Konservasi adalah kawasan hutan cadangan yang digunakan untuk pembangunan diluar
hutan. Patokan untuk menetapkan jenis hutan ini adalah skor kelerengan, erosi dan curah hujan
dibawah 124. Kawasan hutan dapat berupa wilayah yang dicadangkan untuk pemukiman, transmigrasi,
pertanian dan perkebunan. Hutan jenis ini merupakan hutan produksi yang tidak produktif.

Ciri Hutan Produksi

Hutan produksi yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan kayu atau non
kayu memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Berupa hutan homogen, yaitu pada kawasan hutan hanya terdapat satu jenis tanaman atau
pohon. Contohnya hutan karet maupun hutan jati
2. Pemanfaatan hutan untuk kebutuhan konsumtif
3. Areal hutan luas untuk memenuhi kebutuhan hasil hutan bagi manusia
4. Dimiliki dan dikelola oleh perusahaan swasta atau pemerintah daerah setempat
5. Pengawasan ketat terhadap pemanfaatan dan penggunaannya

Sebaran Hutan Produksi

Di Indonesia, secara keseluruhan hutan tersebar secara heterogen. Beragam jenis hutan dapat
ditemukan mulai dari Sabang sampai Merauke.

Luas total hutan di Indonesia adalah 129 juta hektar, dimana 72 hektar adalah kawasan hutan produksi.
Sebagian besar hutan tersebut berada di wilayah Kalimantan, Sumatera dan Jawa.

Pengelolaan hutan produksi memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan, industri dan
ekspor, sehingga tanaman yang terdapat di dalam hutan umumnya berupa jati, tusam, mahoni, damar,
jabon, dan bambu yang memiliki nilai fungsi dan nilai ekonomi.

Hasil Hutan Produksi

Produk hasil dari hutan produksi meliputi hasil hutan kayu dan non kayu, antara lain:

1. Kayu

Kayu adalah hasil hutan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Kayu merupakan bagian batang /
cabang / ranting tumbuhan yang mengeras akibat proses lignifikasi atau pengayuan secara alami. Kayu
terbentuk akibat akumulasi selulosa dan lignin pada bagian dinding sel berbagai jaringan pada batang
pohon.

Hasil hutan jenis produksi berupa kayu diperoleh dari pohon-pohon komersial, seperti jati, mahoni,
kamper, jabon, meranti, eboni dan lain sebagainya.
2. Non Kayu

Hutan produksi juga menghasilkan hasil hutan non kayu (HHNK) atau hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Hasil Hutan Bukan Kayu adalah hasil hutan hayati meliputi nabatu atupun hewani serta produk
turunannya kecuali kayu yang berasal dari hutan. HHBK merupakan sumber daya alam yang memiliki
potensi untuk dikembangkan serta jumlahnya sangat melimpah.

Hasil hutan jenis ini diperoleh dari flora dan fauna yang hidup di dalam hutan. Contohnya adalah rotan,
getah, damar, getah pinus, buah-buahan, bambu, sagu, madu, nipah dan lainnya.

3. Pemanfaatan Kawasan Hutan

Kawasan hutan yang luas dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti budidaya tanaman
obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, budidaya ulat sutra, penangkaran satwa,
budidaya sarang walet, budidaya pakan ternak.

4. Pemanfaatan Jasa Lingkungan

Hutan memiliki potensi untuk memberikan jasa lingkungan, antara lain pemanfaatan aliran air,
pemanfaatan sumber air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan
perlindungan lingkungan, penyerapan dan atau penyimpan karbon.

Pemanfaatan jasa lingkungan ini tentunya tidak dilakukan dengan merusak lingkungan dan mengurangi
fungsi utamanya.

======

Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) mempunyai mandat untuk dapat menjaga kelestarian hutan
sekaligus mempertahan fungsinya. Adanya tanggung jawab yang demikian berat ini tentu harus
dikerjakan bersama mitra yang benar-benar mempunyai komitmen untuk bekerjasama dengan KPH
menuju kelestarian hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan
Peraturan Menetri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 diketahui ada beberapa
program Perhutanan Sosial (PS) yang bisa dan harus dilaksanakan di suatu KPH dalam menjawab kondisi
dan tantangan di lapangan.

Khusus untuk menjawab pemasalahan perambahan maka KPH hendaknya melaksanakan program
perhutanan sosial yang harus mempertimbangkan kondisi sosial secara cermat dalam menjalankan
setiap programnya. Khusus tentang Perhutanan Sosial telah keluar peraturannya di tahun 2016 atau
lengkapnya berupa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 yang harus menjadi acuan dalam pelaksanaan di lapangan.
Disamping itu KPH juga harus pula mempertimbangkan aspek ekonomi dan ekologi yang ada di
lingkungannya. Harus ada keseimbangan ketiga aspek tersebut dalam menjalankan suatu program
kehutanan di lapangan agar tujuan program dapat tercapai [13].

Lesson learned tentang perlunya keseimbangan 3 aspek tersebut telah dibuktikan ketika implementasi
program pemberdayaan masyarakat lebih dari 5 tahun di Tahura Register 19 dan di sekitar Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan atau TNBBS [11], [14].

Bila hanya memperhatikan salah satu aspek maka capaian program tidak akan optimal karena
masyarakat tetap memerlukan adanya kecukupan kebutuhan keseharian. Aspek ekonomi dan
pemanenan hasil hutan akan dapat berkelanjutan jika kondisi ekologi KPH tetap terjaga dengan baik.
Dengan demikian bisa dipahami kompleksitas yang ada dalam mengimplementasikan suatu program
sehingga KPH memerlukan mitra agar tetap dapat menjaga adanya keseimbangan 3 aspek tersebut
dalam mengoperasionalkan suatu program perhutanan sosial.

Kondisi nyata perlunya ada keseimbangan 3 aspek tersebut ketika implementasikan program dapat
ditemui di salah satu unit yaitu di KPH Batutegi yang sebagian besar wilayahnya adalah hutan lindung.
Kepala KPH ini menerapkan beberapa skema dalam menjaga kelestarian hutan disesuaikan dengan
kondisi di lapang, yaitu kemitraan dan HKm. Pada 2 skema yang dijalankannya KPH Batutegi berusaha
untuk bisa menggandeng mitra, baik itu kelompok masyarakat, pemerintah, LSM ataupun swasta.
Kondisi serupa dalam menggandeng mitra untuk impelementasikan program juga dilakukan oleh hampir
semua KKPH di Provinsi Lampung, termasuk kemitraan di KPH Gedong Wani dan Way Terusan yang
merupakan hutan produksi. [10] maupun [7] menyebutkan bahwa bekerjasama dengan mitra atau
bermitra atau kemitraan bisa mempunyai arti bentuk suatu persekutuan oleh berbagai pihak, yaitu dua
pihak maupun lebih.

Persekutuan ini adalah suatu ikatan kerja sama berdasar adanya kesepakatan para pihak yang saling
memerlukan dalam meningkatkan kapabilitas dan kapasitas untuk melakukan suatu usaha dan tujuan
tertentu sehingga bisa memperoleh hasil lebih baik.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kemitraan bisa terjadi jika empat persyaratan sebagai berikut ini
terpenuhi, yaitu:

a. Merupakan dua pihak ataupun lebih,

b. Punya kesamaan dalam visi untuk suatu capai tujuan,

c. Mempunyai kesepakatan antara pihak-pihak yang lakukan kemitraan,

d. Pihak-pihak yang bekerjasama merasa saling memerlukan satu sama lain. Keempat syarat tersebut
adalah syarat minimum untuk dapat diberlangsungkannya program kemitraan di suatu wilayah sehingga
diharapkan bisa menguntungkan bagi semua pihak yang bermitra atau kemitraan yang mutualitik atau
mutualism partnership [10].

Berdasarkan cermatan di lapang ternyata tidak semua kemitraan bersifat mutualistic karena ada pula
yang merupakan kemitraan semu (Pseudo partnership) atau kemitraan sebagai proses peleburan atau
pengembangan program yang telah dilakukan mitra (Conjugation partnership). Dengan demikian
kemitraan tersebut belum tentu akan menguntungkan bagi masyarakat.
Penelitian ini melakukan cermatan kemitraan dalam lingkup perhutanan sosial atas kecenderungan yang
terjadi di Provinsi Lampung. Pada dokumen usulan percepatan PS bulan Agustus tahun 2018 Provinsi
Lampung diketahui bahwa sebagian besar atau 45 dari 70 (64,29%) usulan para KKPH akan
mengembangkan program kemitraan.

Mengapa demikian? Hingga saat ini belum ada penelitian tentang kondisi tersebut. Apa sebenarnya
tujuan kemitraan yang mereka jalin? Bagaimana mereka dapat mewujudkan kemitraan dengan
spesifikasi yang sesuai agar tujuan programnya tercapai? Apa peran mereka dalam kemitraan tersebut?
Bagaimana cara mereka menyusun strategi dalam bermitra? Berdasarkan beberapa pertanyaan tersebut
maka penelitian ini mempunyai tujuan: Mengidentifikasi dan Memformulasikan Peran KPH yang ideal
terhadap Program Perhutanan Sosial yang dilaksanakan oleh Mitra

Berdasarkan analisis data didapatkan hasil bahwa faktor pendukung internal yang tertinggi nilainya
adalah kemitraan menghasilkan benefit sharing yang lebih jelas, diikuti dengan masyarakat memerlukan
lahan kelola sehingga mereka mau mengelola lahan dengan skema kemitraan, selanjutnya karena
masyarakat harus memenuhi kebutuhan ekonominya secara berkelanjutan. Faktor pendukung pertama,
adanya pembagian keuntungan yang jelas juga mempunyai posisi penting dalam penelitiannya [1]
tentang kemitraan dalam pengusahaan hasil hutan kayu.

Adanya permintaan yang tinggi, perolehan izin kemitraan lebih simpel, ketersediaan sumberdaya hutan
dan dukungan pemda adalah faktor-faktor eksternal yang secara berurutan mendukung
implementasinya program kemitraan antara KPH dengan masyarakat. Tingginya permintaan hasil hutan
kayu juga menjadi faktor pendorong adanya program kemitraan dalam penelitiannya [1], juga dalam
penelitiannya [13] di Kemitraan yang terjadi di Way Kanan, Provinsi Lampung. Simpelnya proses
perizinan memang sangat mungkin jadi faktor pendorong terjadinya kemitraan di KPH, terutama
sebelum terbitnya Perdirjen KSDAE Nomor P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018. Ketika implementasi harus
berdasarkan Perdirjen terbaru tersebut maka sesungguhnya proses pengembangan kemitraan tidak lagi
sesimpel sebelumnya. Terkait dengan ketersediaan sumbedaya alam, ternyata temuan ini seperti hasil
penelitian yang dilakukan oleh [15] tentang kemauan masyarakat untuk mengikuti program kemitraan
konservasi karena adanya sumberdaya alam hayati yang dapat mereka manfaatkan.

Adapun faktor penghambat internal yang tertinggi nilainya adalah masih banyaknya masyarakat yang
bermukim dalam hutan sehingga harus segera dicari jalan keluarnya agar mereka tidak lagi bermukim
dalam hutan, kemudian faktor modal karena dalam bermitra masyarakat memerlukan modal awal yang
tidak sedikit. Pada posisi ketiga yaitu minimnya keahlian yang dimiliki masyarakat untuk
mengembangkan program kemitraan misal lewat modifikasi hasil.

Banyak penelitian yang membuktikan bahwa lama masyarakat bermukim di suatu wilayah akan
berpengaruh terhadap suatu program termasuk kemitraan sebagaimana penelitian [9] di Mozambique
dan [3] di Sulawesi Selatan. Periode bermukim berpengaruh, demikian pula dengan jumlah
pemukimnya. Adanya banyak masyarakat yang bermukim dalam hutan lindung maupun hutan produksi
menjadikan implementasi program kemitraan tidak bisa berjalan secara optimal karena peraturan
kehutanan di Indonesia melarang adanya pemukiman di 2 kawasan hutan tersebut. Disisi lain, masih
ditemukan di lapangan bahwa sesungguhnya masyarakat ingin memiliki kawasan hutan tempat mereka
bermukim sehingga ketika ada program pemerintah diaplikasikan maka mereka akan sangat berhati-hati
dalam menerimanya. Hal ini adalah pemasalahan yang spesifik ditemukan dalam pembangunan
kehutanan di Indonesia karena banyak ditemukan kawasan hutan yang ternyata sudah tidak merupakan
hutan lagi namun sudah berupa suatu kawasan pemukiman yang lengkap dengan berbagai sarana
umum termasuk kantor kepala desa.

Urutan nilai tertinggi untuk variabel penghambat eksternal yaitu fluktuasi harga pasar, kemudian minim
kapasitas untuk bisa akses informasi pasar, dan minimnya respon lembaga keuangan untuk bisa
memberikan pinjaman atau hibah ke kelompok masyarakat yang bermitra dengan KPH. Selain itu juga
jaringan pasar yang masih terbatas juga jadi pembatas eksternal. Fluktuasi harga pasar komoditas
menjadi penghambat karena masyarakat belum mempunyai akses yang memadai terhadap informasi
harga pasar. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap persepsi dan kemauan masyarakat untuk bermitra.
[2] telah menemukan bahwa fluktuasi harga komoditas yang dihasilkan berpengaruh terhadap
diselenggarakannya program REDD. Dengan demikian diperlukan peran yang spesifik dari KKPH untuk
mengatasi pemasalahan ini. Salah satu KKPH lokasi penelitian telah lakukan program memotong jalur
pemasaran hasil hutan dari produsen atau masyarakat langsung ke konsumen tanpa melalui perantara.
Upaya ini membuat harga komoditas lebih stabil dan lebih pasti margin (keuntungan) yang didapat oleh
masyarakatnya.

Berdasarkan 4 kategori yang disebutkan sebagai faktor pendukung dan faktor penghambat sebagaimana
yang terlihat pada Tabel 1. maka dapat dikatakan bahwa hasil penelitin ini bisa digunakan untuk dasar
penyusunan strategi pengelolaan bagi para KKPH dalam bermitra dengan kelompok masyarakat

Alternatif yang bisa diambil untuk dapat aplikasikan kemitraan secara optimal adalah
mempertimbangkan fungsi pihakpihak yang bermitra. [4] menyatakan bahwa jika pihak yang bermitra
adalah pemerintah, swasta dan masyarakat maka:

a. Pemerintah mempunyai fungsi yang terkait dengan pelayanan publik dan kebijakan baik membuat,
mengendalikan, mengawasi kebijakan yang digunakan atau yang sesuai.

b. Swasta mempunyai fungsi menggerakan aktivitas ekonomi yang mendukung kesejahteraan


masyarakat dan bangsa secara umum.

c. Masyarakat mempunyai fungsi: 1) Sesuai dengan posisinya: subjek dan atau juga sebagai objek dari
program kemitraan 2) Turut aktif sebagai pengontrol atas kinerja swasta juga pemerintah.

=====

Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rabu, 9 Oktober 2019.
Membangun tata hubungan kerja antara Pemerintah Pusat dan Daerah  merupakan wujud
kepedulian pemerintah pusat dan daerah untuk percepatan Program Perhutanan Sosial. Terutama
kaitannya dengan kejelasan peran dalam pelaksanaan tugas, wewenang dan tanggung jawab serta
kerjasama dan integrasi program dengan berbagai pihak yaitu lembaga pemerintah pusat, daerah
maupun para pihak lainnya seperti LSM, Perguruan Tinggi, Swasta serta masyarakat sebagai
pelaku utama.

Pemberian izin Perhutanan Sosial, selain diharapkan untuk menjaga kelestarian hutan juga dapat
menjadikan masyarakat yang mandiri secara ekonomi. "Sistem bisnis Perhutanan Sosial bersifat
terpadu, dari subsistem hulu (on-farm), industry pasar (off-farm) dan susbsistem pendukungnya
seperti kelembagaan, modal, teknologi, inovasi dan sebagainya yang keseluruhannya
memerlukan dukungan dari berbagai pihak terkait yang di pusat maupun daerah", jelas Direktur
Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Bambang Soepriyanto pada acara
Kolaborasi Kreasi (Ko-Kreasi) Tata Hubungan Kerja Perhutanan Sosial yang dilakukan pertama
kali di Padang, Sumatera Barat, Rabu (09/10/2019).

Dalam rangka menjaga kelestarian hutan tentu diperlukan integrasi dan sinkronisasi dengan KPH
selaku pengelola kawasan hutan di tingkat tapak. Dengan demikian peran KPH selaku pemangku
dan pengelola kawasan sangat penting dalam hal memfasilitasi pelaksanaan kegiatan. 
Sedangkan untuk menjadikan masyarakat mandiri secara ekonomi dibutuhkan sistem bisnis
perhutanan sosial mulai dari hulu, hilir dan pasarnya. "Bisnis yang dilakukan masyarakat ini
yang akan kita dorong agar terjadi sentra-sentra ekonomi berbasis desa", tambah Bambang.

Pemerintah melalui KLHK telah menetapkan target areal pengelolaan hutan oleh masyarakat seluas 12,7
juta hektar melalui skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat dan
Kemitraan Kehutanan

=====

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) bisa berperan penting dalam


mengembangkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat sekaligus
melestarikan hutan. Ia bagus bagi lingkungan, dan bisa meningkatkan ekonomi
masyarakat.  

”KPH fokus dikelola masyarakat sekitar hutan dengan skema perhutanan sosial.
Ini untuk pemberdayaan masyarakat sekitar hutan secara ekonomi,” 

Selama ini, katanya, KPH yang dikelola warga sudah memiliki beragam usaha,
tetapi secara kelembagaan masih lemah.

Harapannya, KPH, antara lain bisa jadi kelompok usaha hutan kelola masyarakat
yang memiliki rencana kerja jangka panjang hingga mendorong peningkatan
ekonomi sejalan kelestarian lingkungan di tingkat tapak.

”Selama ini, pemasaran (produk hutan non kayu) jadi penting, kunci pemasaran
itu jaringan dan pengemasan, serta kontinuitas pemasok,” katanya.
KPH pun harus menyusun rencana kerja usaha (RKU) hingga memiliki tujuan
dan hasil lebih jelas serta terukur. “Ini jadi modal bagi lintas sektoral maupun
swasta dalam menggandeng dan meyakinkan usaha kehutanan.”

Untuk itu, katanya, perlu ada identifikasi setiap KPH. Rufi’ie, Direktur
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Ditjen Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari menginginkan kluster industri berdasarkan potensi keunggulan
komoditas daerah.

Dia contohkan, madu hutan jadi unggulan KPH Sumbawa tetapi  perlu sinergitas
lintas daerah dalam mengelola hasil hutan bukan kayu bahkan sampai
pengelolaan produk turunan.

Kementerian, katanya, akan mengupayakan pengelolaan lintas sektoral dengan


pendekatan integratif. Caranya, dengan penguatan kapasitas KPH,
kelembagaan, pengembangan klaster industri dan pendanaan usaha
perhutanan tingkat tapak secara bersinergi dan terpadu. “Pemasaran akan lebih
mudah.”

Terpenting dalam pengembangan KPH lintas sektoral ini, kata Rufi’ie, fokus
koordinasi dan integrasi pada tujuan sama. Meski diakui, aturan sektoral
seringkali menghambat.

Sejak UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, kala alih kewenangan


pengelolaan kehutanan dari pemerintah kabupaten ke provinsi, sudah ada unit
pelaksana teknis daerah (UPTD) KPH di 18 provinsi. Jumlah itu, 10 KPH sudah
ada payung hukum berupa peraturan daerah maupun peraturan gubernur,
delapan provinsi masih belum.

”KPH merupakan harapan terakhir pengelolaan hutan di KLHK, ini berbasis


masyarakat,” kata  Madani Mukarom, Kepala Dinas LHK NTB.

Dia mengatakan, peran KPH sangat penting sebagai langkah nyata


implementasi Nawacita Presiden Joko Widodo.

Maidiward, Kepala Subdirektorat Penataan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari


(PHPL), mengatakan, KPH perlu dukungan komitmen pemerintah daerah,
kabupaten dan kota.
Pengembangan model bisnis pun disesuaikan kesiapan setiap daerah dan
respon pemerintah daerah.

Model pertama

Rasyidi, Sekretaris Daerah Sumbawa mengatakan, 30% luas hutan Nusa


Tenggara Barat ada di Sumbawa. ”KPH ini penyumbang penurunan kantong
kemiskinan, jadi salah satu wakil pemerintah di tapak untuk mendorong
program pemda, kabupaten kota dan provinsi,” katanya.

Salah satu produk andalan, madu hutan.”Ke depan, madu bisa jadi ikon dan
nilai tambah masyarakat untuk tetap menjaga kelestarian hutan.”

Sumbawa, jadi model atau percontohan, berdasarkan pada penilaian laporan


kinerja Ditjen PHPL dari 2015-2016. KPH Puncak Ngengas Batulanteh, satu dari
enam KPH yang mendapatkan sertifikasi PHPL dari 147 KPH di Indonesia.

Enam lainnya, KPH Yogyakata, Tasik Besar Serkap (Riau), Berau Barat
(Kalimantan Timur), Gularaya (Sulawesi Tenggara), dan KPH Gunung Sinopa
(Maluku Utara).

Pendanaan

Dalam usaha kehutanan berbasis masyarakat, pendanaan jadi masalah krusial.


Agus Isnantio Rahmadi, Kepala Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan
Pembangunan Hutan (BLU P3H) yakin dengan skema lintas sektoral melalui
kerjasama akan mempermudah dana bergulir dimanfaatkan KPH.

”Kami siap bekerjasama dengan KPH NTB dalam mengembangkan usaha kecil
menengah kehutanan sekaligus meningkatkan fungsi sosial, ekonomi, dan
ekologi hutan KPH,” katanya.

Pada kesempatan ini, BLU P3H langsung menandatangani nota kesepahaman


dengan dua KPH,  Batulanteh dan Ampang Plampang guna menyiapkan calon
penerima dana bergulir BLU.

Dana ini, baik untuk sosialisasi, identifikasi potensi usaha kekuatan,


penguatan/pembinaan kelembagaan kewirausahaan, bimbingan penyusunan
proposal dan pelatihan keparalegalan.
Selain itu, sembilan KPH di Sumbawa tergabung dalam Forum KPH Sumbawa
dan Jaringan Madu Hutan Sumbawa menandatangani nota kesepahaman
dengan swasta, distributor madu PD Dian Niaga Jakarta dan PT Wira Usaha
Lebah Kreasi Bali.

”Perlu ada garansi kualitas dan kuantitas agar tetap kontinyu,” kata I Wayan
Surya Dhiyana, Direktur PT Wira Usaha Lebah Kreasi.

Swasta meminta pasokan stabil bahkan meningkat agar bisa konsisten


menggunakan sumber dari KPH.

Komitmen daerah

Guna menguatkan komitmen daerah dalam percepatan pengembangan


ekonomi berbasis masyarakat di KPH NTB, nota kesepahaman ditandatangani
antara KLHK, dan Pemerintah NTB.

Ida Bagus Putera Parthama, Dirjen PHPLmewakili KLHK dan Pemerintah NTB
diwakili Wakil Gubernur Muhammad Amin.

Putera mengatakan, penandatanganan memorandum of understanding (MoU)


sebagai langkah untuk meningkatkan kualitas sumber daya hutan negeri ini.

Langkah ini, katanya, memberikan akselerisasi KPH provinsi, kabupaten/kota


lewat peningkatan kelembagaan dan pemasaran.

Amin mengatakan, MoU ini komitmen antara pemerintah pusat dan daerah
dalam membangun kolaborasi, dan sinkronisasi guna mempercepat kinerja
KPH.

Langkah konkrit lain, Forum Bisnis Berbasis Kemasyarakatan di KPH se-


Sumbawa pada 19 Juli 2017  bekerjasama dengan Pemerintah Sumbawa dan
KPH Batulanteh.

Pada acara itu, sembilan KPH di Sumbawa menandatangani nota kesepahaman


untuk berkoordinasi dalam mendukung kegiatan ekonomi berbasis masyarakat
mulai dari produksi, pengolahan dan pemasaran.
 

=====

Isu-isu Sumber Daya Alam (SDA) khususnya Kehutanan tak bisa dilepaskan dari
kawasan hutan (Negara), yang sesuai dengan amanat Undang-undang menjadi
tanggung jawab Negara  (Pemerintah) untuk mengurusnya. Dalam konteks
pengelolaan, seluruh kawasan hutan di Indonesia dibagi dalam wilayah-wilayah
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Maka segala macam isu kehutanan yang
muncul akan bersentuhan dengan KPH. Isu-isu kehutanan tersebut antara lain
permasalahan konflik tenurial dalam kawasan hutan, pemberdayaan
masyarakat, kebakaran hutan, deforestasi dan degradasi hutan, illegal logging,
perambahan hutan, bencana banjir dan longsor, permasalahan
hilangnya biodiversity hutan.

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan bidang Kehutanan,


KPH merupakan Institusi Tapak. Aspek-aspek penting terkait KPH meliputi
Wilayah KPH, Kelembagaan Pengelola, dan Pengelolaan/Operasionalisasi KPH.
Dengan demikian isu-isu atau permasalahan yang muncul dari kawasan hutan
pasti akan mempengaruhi aspek-aspek tersebut. Tertatanya wilayah KPH,
berjalannya kelembagaan KPH serta pengelolaan/operasionalisasi KPH yang
baik dan lestari, akan sangat mendorong tertanganinya isu-isu kehutanan
tersebut. Penting untuk mengetahui kira-kira mengapa harus KPH yang mesti
dibentuk, bagaimana pengelolaannya, serta apa peran strategis KPH.

Mengapa Harus KPH ?

Ilustrasi sederhana berikut menggambarkan mengapa harus KPH yang


dibangun untuk pengelolaan hutan yang lestari.

1. Ada KPH dan Potensi hutannya bagus.


Apabila suatu kawasan hutan mempunyai potensi SDH yang bagus dan ada
institusi tingkat tapaknya maka wilayah kawasan hutan tersebut akan terjaga
dan dikelola oleh institusi tersebut. Dengan demikian diharapkan SDH yang ada
di wilayah tersebut dapat dikelola secara lestari.

2. Ada KPH dan Potensi hutannya minim bahkan rusak.

Apabila suatu kawasan hutan potensinya sudah terdegradasi, maka apabila ada
institusi di tingkat tapak, diharapkan penyelenggaraan rehabilitasi kawasan
akan ada yang bertanggung jawab, sehingga kegiatan rehabilitasi di wilayah
tersebut akan berhasil yang sekaligus dapat memperbaiki kualitas SDH yang
ada.

3. Tidak ada KPH dan Potensi hutan masih bagus.

Apabila suatu kawasan hutan mempunyai potensi SDH yang bagus, namun
tidak ada institusi di tingkat tapak, maka SDH tersebut tidak ada yang menjaga
sekaligus mengelola, kondisi demikian akan mengakibatkan wilayah tersebut
rawan akan kegiatan-kegiatan illegal (misalnya penebangan liar, perambahan,
kebakaran hutan).

4. Tidak ada KPH dan Potensi hutannya minim bahkan rusak.

Apabila suatu kawasan hutan potensinya sudah terdegradasi dan tidak ada
institusi di tingkat tapak, maka dapat dipastikan kegiatan-kegiatan
pembangunan dalam rangka mencapai peningkatan kualitas SDH di wilayah
tersebut akan terkendala dan bukan tidak mungkin wilayah tersebut akan
semakin rusak.

Pengelolaan Hutan oleh KPH

Sesuai peraturan perundang-undangan yang ada tugas pokok dan fungsi  KPH
adalah:
1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi:
1. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;
2. Pemanfaatan hutan;
3. Penggunaan kawasan hutan;
4. Rehabilitasi hutan dan reklamasi (Catatan: Khusus untuk
Rehabilitasi dan Reklamasi yang berada dalam Kawasan
Hutan, karena sesuai UU 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah kewenangannya ada di Pusat, saat ini
sedang dicarikan solusi dan kebijakan agar KPH sebagai
Institusi Tapak dapat berperan karena bagaimanapun KPH
yang mempunyai tanggung jawab terhadap keberadaan
kondisi dan potensi hutan yang ada di dalamnya); dan
5. Perlindungan hutan dan konservasi alam.
2. Menjabarkan kebijakan kehutanan Nasional, Provinsi, Kab/Kota untuk
diimplementasikan.
3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta
pengendalian.
4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan
pengelolaan hutan di wilayahnya.
5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan
pengelolaan. Hutan.

Sebagai Organisasi tingkat tapak, maka tupoksi KPH tersebut akan benar-benar
memastikan  KPH untuk melaksanakan:

1. Penataan wilayah kelolanya dengan mempergunakan data dan


informasi detail yang ada di lapangan, melalui langkah: inventarisasi di
wilayah kelola termasuk mengidentifikasi izin/hak ada, pembagian blok
dan petak, menata batas blok dan petak tersebut, menyajikan hasil
penataan dalam suatu peta.
2. Perencanaan pengelolaan hutan berdasarkan hasil inventarisasi dan
penataan hutan yang telah dilakukan. Rencana Pengelolaan Hutan ini
akan memberikan arahan terhadap letak (lokus) kegiatan
pengelolaannya, rincian rencana kegiatannya, serta kesesuaian dan
sinergi dengan rencana kehutanan nasional, provinsi dan kab/kota.
3. Penyajian data/informasi detail bagi pemegang kewenangan kebijakan
publik untuk menerbitkan suatu hak atau izin pemanfaatan hutan atau
izin penggunaan kawasan hutan.
4. Penyelanggaraan fungsi pemanfaatan hutan, dengan kondisi sebagai
berikut:
o Apabila di wilayah kelolanya sudah ada izin/hak maka KPH
melakukan pembinaan, pemantauan dan evaluasi, sekaligus
melaporkan hasilnya untuk bahan tindak lanjut bagi
pengambil kebijakan.
o Apabila di wilayah kelolanya tidak ada izin/hak maka KPH
dapat melakukan pemanfatan, melalui mekanisme penugasan
oleh Menteri Kehutanan untuk pemanfaatan wilayah tertentu
5. Penyelenggaraan fungsi penggunaan kawasan hutan, melalui
pembinaan, pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggara izin
penggunaan kawasan hutan sekaligus melaporkan hasilnya untuk
bahan tindak lanjut bagi pengambil kebijakan.
6. Menyelenggaraan fungsi rehabilitasi hutan dan reklamasi, dengan
kondisi sebagai berikut:
o Apabila di wilayah kelolanya sudah ada hak atau izin
pemanfaatan hutan maka KPH melakukan pembinaan,
pemantauan dan evaluasi rehabilitasi hutan pada wilayah
yang ada izin/haknya, sekaligus melaporkan hasilnya untuk
bahan tindak lanjut bagi pengambil kebijakan.
o Apabila di wilayah kelolanya sudah ada izin penggunaan
kawasan hutan, maka KPH melakukan pembinaan,
pemantauan dan evaluasi reklamasi pada wilayah yang ada
izin penggunaan kawasan hutannya, sekaligus melaporkan
hasilnya untuk bahan tindak lanjut bagi pengambil kebijakan
o Apabila di wilayah kelolanya tidak ada izin/hak maka KPH
melakukan kegiatan rehabilitasi hutan di wilayah tersebut
(yang saat ini sedang dicarikan solusi karena UU 23 tahun
2014 pengaturannya diselenggarakan oleh Pusat).
7. Menyelenggarakan fungsi perlindungan hutan, dengan kondisi sebagai
berikut:
o Apabila di wilayah kelolanya sudah ada izin/hak maka KPH
melakukan pemantauan dan penilaian, sekaligus melaporkan
hasilnya untuk bahan tindak lanjut bagi pengambil kebijakan.
o Apabila di wilayah kelolanya tidak ada izin/hak maka KPH
menyelenggarakan perlindungan di wilayah tersebut.
8. Menjalankan fasilitasi pemberdayaan masyarakat untuk memastikan
penyelenggaraan pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan,
rehabilitasi dan reklamasi hutan serta perlindungan hutan tepat sesuai
dengan kondisi lokal serta kondisi masyarakat setempat.
9. Menyajikan informasi potensi peluang investasi pengembangan
kehutanan di wilayah kelolanya.

Peran Strategis KPH

Dengan posisi keberadaan KPH di tingkat tapak serta dengan tugas dan fungsi
KPH tersebut,  sangat terlihat peran-peran strategis KPH, antara lain:

1. Optimalisasi akses masyarakat terhadap hutan serta merupakan salah


satu jalan bagi resolusi konflik. Keberadaan KPH di tingkat lapangan
yang dekat masyarakat, akan memudahkan pemahaman
permasalahan riil di tingkat lapangan, untuk sekaligus memposisikan
perannya dalam penetapan bentuk akses yang tepat bagi masyarakat
serta saran solusi konflik.
2. Optimalisasi potensi melalui pemanfaatan hutan (kayu, non kayu, jasa
lingkungan, dll) sesuai dengan kondisi yang ada di tingkat lapangan.
3. Menjadi salah satu wujud nyata bentuk desentralisasi sektor
kehutanan, karena organisasi KPHL dan KPHP adalah organisasi
perangkat daerah.
4. Keberadaan KPH mempunyai nilai strategis bagi kepentingan Nasional,
antara lain mendukung komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi
karbon dimana sektor kehutanan mempunyai eran yang dominan.
5. Menjamin penyelenggaraan pengelolaan hutan akan tepat lokasi, tepat
sasaran, tepat kegiatan, tepat pendanaan.
6. Menjembatani optimalisasi pemanfaatan potensi pendanaan dari Hibah
Luar Negeri di sektor kehutanan untuk kepentingan pembangunan
masyarakat.
7. Kemudahan dalam investasi pengembangan sektor kehutanan, karena
ketersediaan data/informasi detail tingkat lapangan.
8. Peningkatan keberhasilan penanganan rehabilitasi hutan dan
reklamasi, karena adanya organisasi tingkat lapangan yang mengambil
peran untuk menjamin penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan
reklamasi. Sekaligus akan menjalankan peran penanganan pasca
kegiatan seperti: pendataan, pemeliharaan, perlindungan, monev.

Dengan memperhatikan peran strategis yang harus dimainkan serta dalam


menjalankan Tupoksi Pengelolaan yang harus diemban KPH. Terlihat bahwa
semua aktivitas, program dan kegiatan pembangunan kehutanan,
permasalahan-permasalahan kehutanan (sosial, konfik, illegal logging,
degradasi lahan,  deforestasi, kebakaran hutan dan lain sebagainya) akan
bersentuhan dengan KPH.

Dengan demikian dalam konteks Pengelolaan hutan lestari, Keberadaan KPH


akan menjamin keberhasilan kelola sosial, kelola lingkungan dan kelola
ekonomi, dengan gambaran sebagai berikut: Pertama, untuk kelola sosial,
khususnya dalam pemberdayaan masyarakat, akan terjamin masyarakat yang
berdaya dan adanya sinergi hutan dan masyarakat yang akan berdampak
kepada terjaganya keberadaan dan fungsi hutan; Kedua, untuk kelola
lingkungan, melalui keberadaan organisasi tapak dapat terjamin keberadaan
hutan dari ancaman  gangguan keamanan hutan, selanjutnya sinergi dengan
masyarakat sekitar hutan akan sangat mendukung proses kelola lingkungan.
Ketiga, untuk kelola ekonomi, melalui keberadaan organisasi tapak akan
terjaminoptimalisasi potensi dan sumber daya yang ada di wilayahnya, dan
akan berkembang menuju kemandirian ekonomi yang pada akhirnya akan
memandirikan KPH dalam mengelola wilayahnya.

Tantangan

Akan ada tantangan internal dan eksternal untuk mewujudkan peran strategis
itu. Tantangan KPH sebagai Organisasi Tapak antara lain: Kuatnya kelembagaan
KPH, Dukungan kuat para pihak, Sinergi dan sinkronisasi dengan pembangunan
sektor lain.

Pertama, Kelembagaan KPH yang kuat antara lain melalui ketersediaan Sumber
Daya Manusia (SDM) pengelola KPH secara kualitas dan kuantitas. Karena
bersifat operasional pengelolaan hutan, maka SDM pengelola harus memenuhi
syarat kompetensi dan profesionalisme di bidangnya. Peraturan Menteri
Kehutanan (sekarang Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
No.P.42/Menhut-II/2011 tentang Kompetensi Bidang Teknis Kehutanan pada
KPH, menjadi rujukan untuk menempatkan personil pengelola KPH.

Kedua, Dukungan kuat pihak terkait di Pusat dan Daerah antara lain:
Kementerian/lembaga (KLHK, Kemendagri, Bappenas, Kemenkeu dll), DPR,
DPRD, Gubernur, Dinas yang menangani kehutanan, Instansi terkait,
masyarakat. Para pihak paham dan sadar akan adanya manfaat keberadaan
KPH, sehingga diwujudkan dalam komitmen untuk dimasukkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dukungan ini untuk memastikan salah
satunya ketersediaan sumber daya pendanaannya.

Ketiga, Mewujudkan sinergi dan sinkronisasi dengan pembangunan sektor lain.


Harus disadari bahwa pembangunan dan pengembangan suatu wilayah
(termasuk wilayah KPH) tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, disana akan ada
peran dan kepentingan sektor lain yang bisa jadi mempunyai tujuan yang sama,
sehingga akan optimal apabila bisa disinergikan dan disinkronkan antara sektor
satu dengan lainnya. Contoh pemanfaatan dana desa untuk usaha produktif
bagi pengembangan potensi yang ada di wilayah KPH, pembangunan sarana
infrastruktur ke sentra-sentra produksi hasil hutan dari wilayah KPH untuk
membuka isolasi transportasi barang dan jasa.

Teratasinya tantangan-tantangan tersebut akan benar-benar menunjukkan


peran strategis KPH, yang dengan sendirinya memastikan tercapainya
pengelolaan hutan lestari melalui KPH.

=====

1. Mengapa memiliki Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)? Indonesia adalah salah satu negara
yang memiliki hutan yang luas di dunia dengan berbagai jenis hutan, rumah bagi lebih dari 10%
spesies tumbuhan dan hewan di dunia. Sekitar 130 juta ha (lebih dari 70% dari daratan
Indonesia) diklasifikasikan sebagai kawasan hutan. Hutan sangat penting, tidak hanya untuk
pembangunan ekonomi nasional dan mata pencaharian masyarakat setempat, tetapi juga
berfungsi sebagai sistem lingkungan global. Kegiatan berbasis hutan dan industri kehutanan
merupakan penyerap utama tenaga kerja di Indonesia dan sampai 30 juta orang secara langsung
bergantung pada pengelolaan sumber daya hutan. Namun kurangnya tata kelola hutan yang
memadai, struktur manajemen dan penegakan hukum di tingkat lokal memicu deforestasi besar-
besaran dan degradasi hutan di seluruh negeri memberikan kontribusi hampir 60% dari emisi gas
rumah kaca nasional.

Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di tingkat lokal sebagai entitas manajemen
baru dan permanen secara langsung menangani permasalahan yang ada dan memberikan dasar
untuk tata kelola hutan yang lebih baik, perencanaan, (co-) manajemen sumber daya hutan,
pemantauan dan keterlibatan pemangku kepentingan. Selain KPH akan memainkan peran kunci
dalam upaya lokal menuju pembangunan berkelanjutan ekonomi, mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim serta konservasi keanekaragaman hayati.
Apa itu Kesatuan Pengelolaan Hutan Suatu Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah: • Suatu penyedia
layanan publik di bawah tanggung jawab pemerintah pusat, daerah dan kabupaten. • Suatu unit
operasional yang dikelola dan dikendalikan utamanya tertutup oleh hutan. • Suatu entitas permanen
yang didirikan secara legal dengan tata batas hutan yang jelas KPH memiliki tujuan pengelolaan
ekonomi, sosial dan ekologi yang jelas yang ditetapkan melalui rencana pengelolaan jangka panjang,
rencana kerja tahunan dan rencana usaha yang terkait erat dengan fungsi hutan utama (misalnya hutan
produksi, hutan lindung). Tugas operasional dan administrasi ditentukan oleh tujuan pengelolaan jangka
panjang dan oleh pengelola hutan (perusahaan komersial, masyarakat, perusahaan hutan negara) yang
beroperasi di wilayah tersebut.

Apa jenis-jenis KPH saat ini? Suatu KPH umumnya terdiri dari berbagai kawasan hutan, termasuk: •
Kawasan dengan ijin pengusahaan berjangka waktu panjang yang meliputi areal hutan alam dan hutan
tanaman (HPH, HTI, HTR); • Area yang lebih kecil dari desa, masyarakat, budaya hutan, area yang lebih
kecil hutan kemasyarakat (HKM); dan • Kawasan dengan berbagai luasan tanpa izin pengusahaan
(wilâyah tertentu) (sebagian besar wilayah bekas konsesi tanpa cukup stok kayu yang tersisa). Semua
wilayah ini, meskipun menjadi bagian dari KPH yang sama, dikelola atau harus dikelola secara berbeda
dan memerlukan pendekatan yang berbeda. Selain sebuah KPH mungkin mencakup berbagai jenis hutan
termasuk konservasi, hutan lindung dan hutan produksi dan akan diberi nama sesuai dengan jenis hutan
yang paling dominan sebagai berikut: • KPH Konservasi - Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK)
dengan fungsi utama konservasi keanekaragaman tumbuhan dan hewan dan ekosistemnnya. • KPH
Lindung - Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dengan fungsi utama perlindungan sistem
pendukung kehidupan untuk mengatur air, mencegah banjir, mengontrol erosi, mencegah intrusi air laut
dan menjaga kesuburan tanah. • KPH Produksi - Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dengan
fungsi utama menghasilkan produk hutan

Oleh karena itu pengelolaan wilayah ini akan didasarkan pada rencana pengelolaan jangka panjang dan
jangka pendek yang sesuai bagi daerah masing-masing dengan berbagai jenis manajemen.

Apa tugas pokok dan fungsi dari suatu KPH dan apa hubungannya dengan Kementerian Kehutanan dan
Dinas Kehutanan, pemegang konsesi dan masyarakat? Sementara di tingkat nasional (Kementerian
Kehutanan) dan subnasional (Dinas Kehutanan) menyediakan kerangka administrasi hutan, KPH
bertanggung jawab atas pengelolaan hutan dari hari ke hari di tingkat tapak dengan memastikan bahwa
semua fungsi dan layanan dari hutan di daerah tersebut terjaga, dan bahwa pengelolaan hutan lestari
(PHL) diimplementasikan. Hal ini dicapai dengan: • Pemantauan dan pengendalian rencana pengelolaan
hutan dan operasional pengelola hutan swasta (konsesi hutan). • Memberikan saran/jasa, menyetujui,
pemantauan dan pengendalian rencana pengelolaan hutan dan operasional hutan yang dilakukan oleh
masyarakat lokal (misalnya masyarakat dan hutan desa). • Pengelolaan hutan negara tidak diberikan
kepada pihak ketiga secara langsung untuk pengusahaan (misalnya hutan ‘open access’) termasuk
rehabilitasi hutan, reklamasi, perlindungan dan konservasi alam. • Membantu untuk menyelesaikan
klaim tumpang tindih yang menyebabkan konflik dan dapat mengancam fungsi hutan.
Berapa luas rata-rata KPH? Luas rata-rata dari 60 Model KPH adalah sekitar 133.000 ha namun dapat
bervariasi secara signifikan, mulai dari 4.500 ha hingga 780.000 ha tergantung pada karakteristik dari
jenis hutan, manajemen dan kepemilikan. Luas optimal suatu KPH sulit untuk ditetapkan, karena itu
kriteria yang digunakan yang bisa menjamin organisasi KPH yang efektif dan efisien yang akan dibentuk,
seperti tujuan pengelolaan, kondisi daerah tangkapan sungai dan batas administrasi.

Bagaimana pengembangan dan pengoperasian KPH dibiayai dan dihubungkan dengan pemerintah pusat
dan daerah? Sumber-sumber pendanaan untuk pembangunan KPH berasal dari: • APBN • APBD •
Sumber lain sesuai peraturan dan perundangan Namun, bantuan keuangan yang signifikan dari sumber-
sumber lokal, nasional dan internasional akan diperlukan untuk menyiapkan struktur manajemen serta
infrastruktur teknis KPH. Pembiayaan operasional KPH tergantung pada jenis KPH. KPH Konservasi
diharapkan tergantung pada anggaran lokal, regional dan nasional, sedangkan untuk pembiayaan
operasional bagi KPH Produksi dan KPH Lindung disarankan berasal dari sistem manajemen keuangan
penyedia pelayanan publik seperti Badan Layanan Umum (PPK-BLU) atau Badan Layanan Umum Daerah
(PPK-BLUD).

Apa kewenangan masing-masing tingkat pemerintahan di Indonesia berkaitan dengan pembentukan


wilayah KPH? Pembentukan wilayah KPH didasarkan pada karakteristik lahan, batas administrasi, tipe
hutan dan izin pemanfaatan, kondisi DAS, kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat serta hukum
adat. Baik pemerintah pusat dan daerah memiliki kewenangan bersama atas hutan negara. Peran dan
tanggung jawab kabupaten, regional dan pemerintah pusat didefinisikan sebagai berikut: • Pemerintah
pusat: Penentuan norma, standar, prosedur dan kriteria untuk pembentukan KPH dan menentukan
pembentukan dan pelaksanaan KPH Konservasi (KPHK = Taman Nasional) termasuk penentuan wilayah,
zonasi dan manajemen. • Pemerintah provinsi: Mendesain dan mengusulkan pembentukan dan zonasi
KPH Lindung dan KPH Produksi termasuk teknis dan penyiapan kelembagaan jika suatu KPH terletak di
lebih dari satu kabupaten. • Pemerintah kabupaten/kota: Mendesain dan mengusulkan pembentukan
dan zonasi KPH Lindung dan KPH Produksi termasuk teknis dan penyiapan kelembagaan jika suatu KPH
terletak di satu kabupaten.

Apa peran KPH dalam mitigasi perubahan iklim (REDD+, Rencana Pengurangan Emisi Nasional dan
Regional) dan adaptasi perubahan iklim? KPH adalah elemen kunci dalam mitigasi perubahan iklim lokal
dan upaya adaptasi. Dengan melakukan perencanaan hutan (inventarisasi dan penilaian stok),
manajemen (termasuk penanaman, penjarangan, pemanenan) serta kegiatan konservasi, yang
kesemuannya menyediakan dasar untuk berfungsinya MRV (Measurement, Reporting, Verification) dan
menjaga sistem informasi (Safeguarding Information System - SIS) di bawah Rencana Pengurangan Emisi
Indonesia (RAN/RAD-GRK) dan mekanisme REDD+ di masa mendatang. Selain penerapan teknik-teknik
pengelolaan hutan lestari dan konservasi hutan memberikan kontribusi signifikan terhadap adaptasi
perubahan iklim dan kapasitas adaptif masyarakat lokal misalnya dengan menanam jenis pohon yang
diadaptasi secara lokal, mengamankan sumber daya air tawar, stabilisasi tanah dan menyediakan pilihan
mata pencaharian alternatif (misalnya penggunaan kayu dan hasil hutan bukan kayu), pengendalian
kebakaran hutan dll.

Apa peran KPH dalam konservasi keanekaragaman hayati? Tujuan utama dari KPH Konservasi adalah
menjaga keanekaragaman hayati tumbuhan darat dan fauna dan fungsi lingkungan serta jasa
lingkungan. Namun, lebih dari 70% dari keanekaragaman hayati terestrial di Indonesia yang ditemukan
di luar taman nasional dan kawasan lindung dan terancam terutama akibat degradasi hutan dan
konversi lahan hutan. KPH Lindung dan KPH Produksi yang dikelola secara efektif juga memiliki potensi
tinggi untuk melestarikan keanekaragaman hayati ekosistem hutan yang tersisa. Hutan lindung dan
hutan produksi di bawah pengelolaan KPH dapat berfungsi sebagai zona penyangga untuk kawasan
lindung, secara efektif melestarikan habitat spesies dan pada saat yang sama mengurangi ancaman
terhadap keanekaragaman hayati. Dalam hal lainnya, KPH mendukung pemeliharaan koridor hutan
antara kawasan lindung dan sistem penggunaan lahan lain untuk migrasi spesies. Kontribusi lain
terhadap konservasi keanekaragaman hayati adalah implementasi pendekatan pengelolaan hutan
bersama yang jelas dan tepat dalam melayani kepentingan dan kebutuhan pengguna hutan lokal.
Pengeloaan yang efektif di tingkat tapak, kerja sama yang intensif dengan masyarakat lokal melalui
skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), seperti pengelolaan hutan desa, hutan
kemasyarakatan dan hutan adat akan memastikan tata kelola hutan yang baik dengan keterlibatan
masyarakat dan pembagian keuntungan

Apa peran KPH dalam pembangunan berkelanjutan/ekonomi hijau? KPH memiliki potensi yang signifikan
untuk berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan dan pembangunan hijau di Indonesia dengan
melindungi sumber daya alam (hutan berkelanjutan dan konservasi DAS terpadu, menjaga jasa
lingkungan), mengurangi emisi gas rumah kaca dari hutan dan lahan gambut, meningkatkan mata
pencaharian masyarakat lokal dan mengembangkan konsep-konsep ekonomi yang berkelanjutan.
Terutama KPH Produksi memiliki potensi tinggi untuk mengembangkan manajemen yang baik dan
rencana bisnis berdasarkan komoditas utama hutan dan produk bukan kayu, termasuk kayu yang
dipanen secara lestari, produk dan jasa hutan bukan kayu (misalnya rotan, kakao, bambu, karet, gaharu,
madu, obat tanaman, pariwisata dll). Pengelola KPH Produksi juga dapat mempromosikan solusi dan
konsep inovatif untuk melibatkan masyarakat dan sektor swasta dalam menyusun rantai nilai yang
berkelanjutan bagi produk kayu dan hasil hutan bukan kayu, termasuk produksi, pengolahan dan
pemasaran, memberikan pekerjaan tambahan lokal dan pendapatan.

Forests and Climate Change Programme (FORCLIME)

https://www.forclime.org/documents/Brochure/Bahasa/FAQ%20KPH%20_Bahasa.pdf

======
KPH juga menjadi pendorong perwujudan pengelolaan hutan
berkelanjutan, pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat," ujar Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono, Selasa
(7/8).

Ia menjelaskan, dinamika dan proses pembangunan KPH sudah mulai


sejak ditetapkannya UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Hingga Juli 2018, secara nasional telah ditetapkan sebanyak 679 unit
wilayah KPH yang terdiri dari KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL)
dan KPH Produksi (KPHL) yang dikelola oleh 379 lembaga
KPHK/KPHL/KPHP.

Dari jumlah tersebut, ia melanjutkan, sebanyak 147 unit wilayah KPHK


ditangani oleh 58 lembaga KPHK sebagai organisasi pusat. Sedangkan,
sebanyak 532 unit wilayah KPHL/KPHP ditangani oleh 321 lembaga
KPHL/KPHP sebagai organisasi daerah.

Ia meminta KPH mampu menjadi bagian dalam proses-proses


pemberdayaan masyarakat dan harus mendorong inisiasi program
Perhutanan Sosial (PS) di wilayahnya masing-masing. Selain itu, sebagai
anggota tim inventarisasi dan verifikasi (inver) penyelesaian penguasaaan
tanah dalam kawasan hutan (PPTKH) dan program Tanah Obyek
Reformasi Agraria (TORA), KPH harus berperan aktif dalam proses
tersebut. KPH juga harus aktif melakukan pencegahan karhutla, terutama
di wilayah KPH pada tujuh Provinsi yang rawan kebakaran hutan dan
lahan (karhutla).

"Yang tidak kalah penting yaitu dalam merancang dan mendesain


kegiatan pengelolaan hutan, harus benar-benar berdasarkan kebutuhan-
kebutuhan lapangan, serta dengan memperhatikan skala prioritas yang
obyektif dan selalu mengacu pada Rencana Pengelolaan Hutan Jangka
Panjang (RPHJP) yang telah disusun," ujarnya dalam acara Rakornas KPH
yang digelar 7-9 Agustus di Gedung Manggala Wanabakti.
diharapkan dapat terwujud komitmen penguatan kelembagaan dan
keberlanjutan operasionalisasi atas pelaksanaan program prioritas
nasional dalam pemanfaatan hutan, rehabilitasi hutan, perhutanan sosial,
kemitraan lingkungan, penanggulangan kebakaran lahan dan hutan, serta
implementasi TORA," kata Sigit.

=====

Pemerintah juga telah menetapkan prioritas pembangunan KPH sebagai


bagian dari upaya penyelamatan hutan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat.

Hingga tahun 2018, telah terbentuk 390 Lembaga KPH Lindung (KPHL)/KPH
Produksi (KPHP)/KPH Konservasi (KPHK).

64 lembaga KPHK sebagai Organisasi Pusat yang mengelola 147 Unit Wilayah
KPHK, dan 326 Lembaga KPHL/KPHP sebagai UPT Daerah yang mengelola
532 Unit Wilayah KPHL/KPHP.

Tahun 2019 ini, merupakan tahun yang sangat penting bagi pembangunan
KPH. Memasuki RPJMN 2019-2024, pembangunan KPH sudah harus beranjak
dari permasalahan kelembagaan yang menjadi fokus selama beberapa
tahun sebelumnya.

Saat ini, telah berkembang cara-cara baru pengelolaan hutan oleh UPTD
KPH. Yaitu kerjasama KPH dengan masyarakat/para pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung.

KPH telah mampu menghasilkan produk-produk hutan, khususnya Hasil


Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan jasa lingkungan yang tumbuh sesuai dengan
karakteristik KPH.
=====

Perbaikan Tata Kelola Melalui Pengelolaan Hutan di Tingkat Tapak


Potret hutan Indonesia saat ini merupakan cermin tata kelola hutan yang
kurang baik. Hal ini terlihat dari tingginya tingkat deforestasi akibat konversi
hutan melalui proses-proses ektraksi kayu dan juga alih fungsi penggunaan
lahan untuk budidaya kehutanan dan non kehutanan. Forest Watch Indonesia
mencatat selama kurun waktu 2009 – 2013 laju kehilangan hutan alam di
Indonesia mencapai 1,13 juta hektare per tahun. Selain itu, konflik lahan di
kawasan hutan juga terjadi. Kementerian Kehutanan (2013) memperkirakan
seluas 17,6 juta Ha – 24,4 juta Ha wilayah kawasan hutan terjadi kon?ik.

Permasalahan kehutanan yang timbul akibat kegiatan konversi dan alih


fungsi, penurunan kinerja usaha kehutanan, maupun konflik-konflik hutan dan
lahan, terus terjadi di Indonesia. Hal ini dikarenakan program/kebijakan yang
didorong bersifat responsif dan terkesan hanya menyelesaikan potongan-
potongan dari persoalan tersebut sehingga tidak secara kuat menyentuh
masalah pokok di sektor kehutanan, yaitu kelemahan tata kelola. Selain itu
kawasan hutan yang “open acces” dimana pengelola tidak dirasakan
kehadirannya juga sangat besar serta pengawasan terhadap konsesi izin juga
kurang. Hal ini menyebabkan kebijakan-kebijakan seperti SVLK, Penundaan
Izin Baru, REDD menjadi kurang kuat dalam tataran implementasi di tingkat
tapak.

Walaupun secara umum permasalahan kehutanan yang dihadapi mirip


namun antar lokasi memiliki pendalaman dan kontekstual yang beragam.
Sehingga pendekatan penyelesaian masalah bisa berbeda antara satu lokasi
dengan lokasi yang lain. Oleh karena itu sangat diperlukan kehadiran
pengelola hutan di tingkat tapak yang akan lebih fokus dalam penyelesaian
masalah.

KPH atau Kesatuan Pengelolaan Hutan adalah organisasi yang berkerja di


tingkat tapak dan diharapkan menjadi prasyarat dari terlaksananya sistem
pengelolaan hutan yang lestari dan berkeadilan. Secara konseptual kebijakan
pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan proses
pergeseran institusi yang membawa perubahan fundamental pada cara
ber????kir, sistem nilai dan budaya pengurusan hutan Indonesia. Peran KPH
akan menggeser titik tumpu peran birokrat kehutanan dari forest administrator
menjadi forest manager, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
tata kelola hutan (Kartodihardjo dan Suwarno 2014). Sebagai lembaga di
tingkat tapak, KPH dapat menjadi simpul informasi dan koordinasi lintas
sektoral serta mengakomodir setiap kepentingan secara adil. KPH juga
diharapkan mampu memastikan program-program kehutanan yang lebih
efektif dan efisien, baik dalam rangka rehabilitasi lahan kritis, pemanfaatan
hutan yang lestari, pemberdayaan masyarakat, maupun perlindungan hutan.

Sebagai sebuah gagasan dalam perbaikan tata kelola hutan, KPH menjadi
proritas nasional yang tertuang dalam RPJMN Subsektor Kehutanan. Maka
dari itu hal ini menjadi pertimbangan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dalam menyusun Rencana Strategis 2015-2019. Salah satu
sasaran strategis yang dicapai dalam pelaksanaan Renstra Tahun 2010-2014
adalah wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) ditetapkan di setiap
provinsi dan beroperasinya 120 KPH (20% wilayah KPH yang telah
ditetapkan). Sampai dengan akhir desember 2014 telah terbentuk 120 Unit
KPHL/KPHP Luas: 16,44 juta Ha.
Tantangan Pembangunan dan Operasionalisasi KPH
Latar belakang pembangunan KPH menjadi Prioritas Nasional adalah dalam
rangka menyiapkan Integrated Forest Base Clustering Industry, yang
diharapkan dapat lebih mendistribusikan usaha-usaha kehutanan
(mengurangi praktek monopoli dan oligopoli). KPH yang operasional
diharapkan dapat menjadi pengungkit dalam membangkitkan kembali industri
kehutanan hulu-hilir pada ruang yang efektif, sehingga dapat memacu
perkembangan perekonomian lokal.

Semangat Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,


khususnya pasal 66, dalam rangka penyelenggaraan kehutanan Pemerintah
menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintah Daerah. KPH
awalnya dibangun sebagai wujud nyata desentralisasi pengelolaan hutan
lindung dan hutan produksi di tingkat tapak berdasarkan UU No 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah. Dengan dikeluarkannya UU No 23 Tahun
2014 sebagai pengganti UU Pemerintah Daerah maka tatanan pembangunan
KPH yang saat ini sudah dibentuk akan mengalami beberapa perubahan.

Dengan demikian proses pembangunan dan operasionalisasi KPH pun


mengalami hambatan, kewenangan kabupaten/kota dalam pembangunan
KPH terpaksa harus ditarik ke Provinsi. Maka beban provinsi dalam
pembangunan KPH akan semakin berat, tantangannya adalah bagaimana
provinsi dapat meneruskan berbagai inisiatif yang sudah dibangun oleh
pemerintah kabupaten/kota serta bagaimana mengembangkan program yang
lebih besar dan menyeluruh untuk pembangunan dan operasionalisasi KPH.
Tantangan lain bagaimana alokasi sumber daya (termasuk keuangan) yang
bisa dialokasikan pemerintah provinsi untuk memenuhi tuntutan tugas yang
baru ini.

Posisi dan peran masyarakat dalam pembangunan kehutanan


Partisipasi masyarakat merupakan salah satu faktor penting yang
menentukan efektivitas implementasi kebijakan KPH di Indonesia. Walaupun
konsep KPH sendiri masih menjadi perdebatan, namun kebijakan ini sudah
berjalan dan menjadi bagian dari strategi pengelolaan hutan Indonesia. Oleh
karena itu, fungsi kontrol dan pengawasan terhadap implementasi KPH oleh
masyarakat mau tidak mau harus dilakukan.

Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan secara tegas juga


memberikan ruang kepada masyarakat untuk memberikan informasi, saran,
pertimbangan serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung (pasal 68
ayat 2c dan 2d). Mandat tersebut menjadi landasan bagi Forest Watch
Indonesia sebagai bagian dari elemen masyarakat Indonesia untuk
melakukan serangkaian pemantauan terhadap kinerja pembangunan KPH,
dalam upaya mendorong terwujudnya pengelolaan hutan yang profesional,
adil dan lestari di tingkat tapak.

Forest Watch Indonesia sebagai bagian dari elemen masyarakat Indonesia


telah membangun sebuah buku Panduan Penilaian Kinerja Pembangunan
KPH FWI 1.0. Buku ini dibangun berdasarkan ruang lingkup tugas pokok dan
fungsi organisasi KPH sebagaimana telah diatur di dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kriteria dan Indikator (K&I) penilaian
dalam panduan ini disusun sesederhana mungkin agar memudahkan
penggunaannya bagi masyarakat yang memiliki keberagaman perspektif dan
pemahaman. Sehingga dengan panduan ini, masyarakat dapat secara
mandiri menilai bagaimana kinerja pembangunan KPH dan siap atau tidaknya
KPH untuk beroperasional.

=====
Perhutanan Sosial, Kini Masyarakat Legal Mengelola
Hutan
Perhutanan Sosial adalah Sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam
kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat
untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial
budaya. Pemerintah untuk periode 2015-2019 mengalokasikan 12,7 juta hektare untuk
Perhutanan Sosial, melalui skema:
1. Hutan Desa (HD) dengan tenurial HPHD atau Hak Pengelolaan Hutan Desa
2. Hutan Kemasyarakatan (HKm), izin yang diberikan adalah IUP HKm atau Izin Usaha
Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan
3. Hutan Tanaman Rakyat (HTR), izin yang diberikan adalah IUPHHK-HTR atau izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu -     Hutan Tanaman Rakyat
4. Hutan Adat (HA), tenurialnya adalah Penetapan Pencantuman Hutan Adat
5. Kemitraan Kehutanan (KK) dalam bentuk KULIN KK atau Pengakuan Perlindungan
Kemitraan Kehutanan dan IPHPS atau     Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial di
Pulau Jawa

Permohonan HPHD, IUP HKm dan IUPHHK HTR dapat ditujukan melalui Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau Gubernur setempat.

Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial atau PIAPS adalah alokasi kawasan hutan yang bisa diajukan
oleh masyarakat untuk Perhutanan Sosial. Peta PIAPS lebih rinci dapat di lihat melalui webgis
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

======
Pada 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan
Peraturan Menteri No. 83 tentang Perhutanan Sosial, yang bertujuan
menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat setempat
dan masyarakat hukum adat di dalam atau sekitar kawasan hutan.
Demikesejahteraan masyarakat dan pelestarian fungsi hutan.  Dalam peraturan
menteri itu, disebutkan, perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan
lestari dalam hutan Negara atau hutan hak (hutan adat) oleh masyarakat
setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama. Bentuk-bentuk
perhutanan sosial terdiri dari hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm),
hutan tanaman rakyat (HTR), hutan adat (HA), dan kemitraan kehutanan.

Khusus untuk implementasi perhutanan sosial di Pulau Jawa, selain mendorong


Kemitraan Kehutanan sebagaimana diatur dalam P.83/2016– dipandang sebagai
perbaikan atas program PHBM yang sudah jalan selama 20 tahun– yang banyak
sekali mendapat kritik. KLHK juga menerbitkan Permenhut No.39/2017 tentang
Izin Pengelolaan Hutan Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani.

Dalam P39 ini, disebutkan, perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani
dilaksanakan pada kawasan hutan dengan penutupan hutan kurang dari 10%
secara terus menerus dalam kurun waktu lima tahun atau lebih. Baik dalam
P83/2016 maupun P39/2017 ditegaskan sejumlah kewajiban pemegang izin
perhutanan sosial, antara lain melakukan penanaman dan pemeliharaan hutan
di areal kerja; mempertahankan fungsi hutan dan perlindungan hutan.

Dari uraian mengenai sejarah kebijakan perhutanan sosial di atas, terlihat sekali
sejatinya program perhutanan sosial tak melulu bertujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat tetapi merehabilitasi kawasan hutan yang rusak
karena model pengelolaan hutan sebelumnya.

Hal ini jelas mematahkan pernyataan soal perhutanan sosial sebagai bentuk
legalisasi deforestasi sebagaimana disampaikan penulis. Tak ada ketentuan
yang memungkinkan terjadi alih fungsi hutan secara permanen melalui skema
perhutanan sosial. Yang ada justru penegasan, bahwa,  pemberdayaan
masyarakat melalui program perhutanan sosial tanpa mengganggu fungsi
pokok hutan.

Dalam konteks implementasi, meskipun sudah berumur cukup panjang dan


cukup banyak kebijakan perhutanan sosial terbit harus diakui, pergerakan
masih sangat lamban. Ada berbagai persoalan yang dihadapi mulai dari
birokrasi, kelembagaan dan pendanaan.

Meskipun demikian,  dari sejumlah kecil areal perhutanan sosial, sesungguhnya


dapat menyaksikan keberhasilan program ini dalam menjaga kelestarian hutan
maupun dalam peningkatan kesejahteraan atau pendapatan masyarakat.

Pada tahun-tahun awal,  kita bisa menyebutkan keberhasilan pengelolaan hutan


Damar oleh masyarakat Krui, Pesisir Barat Lampung. Ada juga keberhasilan
masyarakat Adat Ngata Toro menjaga kelestarian hutan adat di Sulawesi
Tengah. Begitu juga keberhasilan masyarakat Desa Durian Rambun di Jambi
yang berhasil menjaga dan memulihkan kelestarian hutan di desa mereka yang
ditinggal perusahaan HPH dalam kondisi rusak.

Ada pula masyarakat Sungai Utik yang diakui lembaga sertifikasi berhasil
mengelola hutan secara lestari. Dari sisi ekonomi, kita tentu bisa dengan mudah
menemukan keberhasilan perhutanan sosial. Salah satu contoh, keberhasilan
masyarakat Pegunungan Menoreh mengelola HkM Kalibiru jadi salah satu
tujuan wisata di Yogyakarta dengan pendapatan mencapai lebih Rp1 miliar
pertahun.

Dalam konteks perhutanan sosial di Perhutani, meskipun banyak mendapat


kritik, Perhutani juga seringkali menyampaikan keberhasilan PHBM dalam
menekan pencurian kayu dan perambahan lahan.

Penyesatan kedua,  adalah pernyataan yang mengatakan lebih dari separuh


(51,87%) lahan di kawasan hutan Jawa dibagi-bagi kepada petani dalam
program perhutanan sosial.

Sayang sekali, penulis tidak menyebutkan darimana sumber data itu. Juga tak
menyebutkan program perhutanan sosial yang mana, apakah dalam bentuk
IPHPS, hutan desa, HKm, atau Kemitraan Kehutanan.

Saya menduga, penulis justru salah mengambil data, karena bisa jadi yang
dimaksud adalah data luasan program PHBM yang sudah dijalankan Perhutani
sejak 2001.

Sejauh pengetahuan saya, dalam rapat kerja percepatan  perhutanan sosial


pada 31 Mei 2018 oleh KLHK diikuti para pihak terkait, untuk seluruh Region
Jawa, Bali dan Nusatenggara, kementerian ini hanya menetapkan target
perhutanan sosial sampai akhir 2018 seluas 176.069 hektar. Artinya,  hanya
7,16% dari luas hutan kelola Perhutani.  Dari target itu, sampai akhir April 2018,
baru terealisasi 10.833 hektar.

Penyesatan ketiga, pernyataan soal program perhutanan sosial adalah


pembagian lahan secara legal melalui SK dalam bentuk ‘sertifikat tanah’ dengan
jangka pengelolaan sampai 35 tahun yang dapat diperpanjang.  Benar, menurut
P.39/2017 masyarakat pemegang izin IPHPS berhak mengelola hutan selama 35
tahun dan dapat diperpanjang. Namun izin bukanlah dalam bentuk ‘sertifikat
tanah’ melainkan surat izin pemanfaatan perhutanan sosial yang diberikan
kepada kelompok tani (kolektif) bukan kepada individu atau perorangan. Dalam
salah satu surat izin IPHPS yang saya dapatkan, di dalam dokumen tegas
disebutkan, tidak boleh ubah fungsi, tak boleh diperjualbelikan, dan tak boleh
diagunkan. Ia sangat berbeda dengan sertifikat tanah.

Saya , sampai saat ini pelaksanaan program perhutanan sosial masih jauh dari
sempurna. Masih ada banyak kendala baik bersumber dari pemerintah,
kesiapan masyarakat, kapasitas aktor pendukung, prosedur kurang mantap dan
lain-lain. Namun, mengatakan, perhutanan sosial sebagai bentuk legalisasi
deforestasi adalah pernyataan tak berdasar dan ahistoris.

Yang benar, program perhutanan sosial adalah upaya legal reforestasi dengan
jadikan masyarakat sebagai pelaku utama.

Penulis: aktivis Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam dan Koordinator


Koalisi Pemulihan Hutan Jawa

=====
Apa itu Program Perhutanan
Sosial? Ini Dia Penjelasan
Lengkapnya
Tahukah Anda, sekarang ini pemerintah punya program menarik agar
masyarakat bisa meningkatkan kesejahteraan dengan mengelola hutan.
Namanya Program Perhutanan Sosial. Perhutanan sosial adalah program
nasional untuk pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan melalui tiga
pilar yakni lahan, kesempatan usaha dan sumber daya manusia.

Perhutanan sosial adalah program legal yang membuat masyarakat bisa turut
mengelola hutan dan mendapatkan manfaat ekonomi. Program ini menepis
ketakutan banyak orang yang selama ini menghadapi banyak kesulitan ketika
hendak memanfaatkan area hutan di sekitar tempat tinggal mereka.

Ada lima skema dalam program ini yaitu Pertama, Skema Hutan Desa yakni
hutan negara yang hal pengelolaannya diberikan kepada lembaga desa untuk
kesejahteraan desa. Kedua, Hutan Kemasyarakatan yaitu hutan negara yang
pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat
setempat.

Ketiga, Hutan Tanaman Rakyat yaitu hutan tanaman pada hutan produksi


yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan
kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin
kelestarian sumber daya hutan. Keempat adalah Hutan Adat yakni hutan yang
terletak di dalam wilatah masyarakat hutan adat.

Kelima adalah Sistem Kemitraan Hutan yakni kerjasama masyarakat


setempat dengan pengelolaan hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan (IUP)
hutan, jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha
industry primer hasil hutan.

Sebenarnya program Kehutanan Sosial sudah mulai dijalankan sejak 1999


tetapi isu ini kurang terdengar karena tenggelam oleh berbagai peristiwa politik
pada masa itu. Sebaliknya, justru banyak terjadi kasus yang menyeret warga
desa ke meja pengadilan karena berbagai tuduhan melakukan tindakan
melanggar hukum karena ketidakpahaman aturan.

Dalam Perhutanan Sosial membuka kesempatan bagi warga masyarakat di


sekitar hutan untuk mengajukan hak pengelolaan area hutan kepada
pemerintah. Setelah disetujui maka masyarakat dapat mengolah dan
mengambil manfaat dari hutan dengan cara-cara yang ramah lingkungan.
Dengan cara ini maska masyarakat akan mendapatkan insentif berupa
dukungan teknis dari pemerintah dalam mengelola perkebunan tanaman dalam
area yang mereka ajukan. Hasil panen dari perkebunan ini dapat kemudian
dijual oleh masyarakat demi pemenuhan kebutuhan ekonominya sehari-hari.

Pemerintah sudah menetapkan hutan seluas 12,7 juta area hutan disediakan
untuk program perhutanan sosial ini. Bukan itu saja, untuk menjaga kelestarian
hutan sekaligus bisa menciptakan tambahan kesejahteraan warga, pemerintah
akan membentuk Kelompok Kerja Daerah yang bakal bertugas melakukan
pendampingan dan pembinaan bagi masyarakat yang ingin mengajukan diri
dalam program ini. Jadi, kenapa tidak dimulai sekarang? (aj)\

==== =

Perhutanan Sosial: Pengertian, Skema, PIAPS,


dan Implementasi
Perhutanan sosial merupakan program yang saat ini mejadi salah satu fokus utama
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia. Perhutanan
sosial sendiri memiliki tujuan untuk menyejahterakan masyarakat sekitar hutan.
Program ini dilatarbelakangi karena pada saat sekarang pemerintah dalam hal ini
pemerintah pusat yang diwakili oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) memiliki 2 agenda besar. Sebanyak dua agenda besar tersebut adalah
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan juga penciptaan model
pelestarian hutan yang efektif. Agenda besar dari KLHK ini menjadi fokus utama dalam
program-program yang akan dijalankan nantinya.

Berdasarkan dua agenda tersebut maka pemerintah dalam hal ini KLHK membuat suatu
program yang dapat menciptakan keharmonisan antara peningkatan kesejahteraan
rakyat dan pelestarian hutan. Program yang diusung ini adalah program Perhutanan
Sosial.

Program ini memiliki paradigma bahwa pembangunan tidak hanya dilakukan mulai dari
kota, melainkan pembangunan juga dapat dilaksanakan oleh masyarakat pinggiran
(masyarakat sekitar hutan). Program ini juga memiliki tiga pilar dalam pelaksanaannya,
yaitu lahan, kesempatan berusaha, dan sumberdaya manusia.

Komitmen KLHK ini tidak main-main, buktinya adalah adanya lahan seluas 12,7 juta
hektare lahan yang siap untuk dijadikan objek program unggulan KLHK ini.

Program ini pula adalah penjabaran dari “Nawacita” yang diusung oleh kabinet kerja
presiden Jokowi.

1. Pengertian dan Tujuan Perhutanan Sosial


Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam
kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat
setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan
kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk
Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan
Adat, dan Kemitraan Kehutanan.

Tujuan dari program ini sendiri adalah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
melalui mekanisme pemberdayaan dan tetap berpedoman pada aspek kelestarian hutan.
Berdasarkan hal tersebut maka hal ini menjadi kesempatan yang sangat besar bagi
masyarakat sekitar hutan untuk dapat mengelola dan memberadayakan lahan hutan.

Beradasarkan Permen LHK Nomor 83 tahun 2016 tujuan dari program ini adalah
memberikan pedoman pemberian hak pengelolaan, perizinan, kemitraan dan Hutan Adat
di bidang perhutanan sosial. Program ini juga bertujuan untuk menyelesaikan
permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat setempat dan masyarakat hukum
adat yang berada di dalam atau sekitar kawasan hutan dalam rangka kesejahteraan
masyarakat dan pelestarian fungsi hutan.

Program ini memiliki prinsip-prinsip dasar, di antaranya adalah keadilan, keberlanjutan,


kapasitas hukum, partisipatif, dan bertanggung gugat.

2. Skema Perhutanan Sosial

Program ini memiliki berbagai skema yang memiliki inti yang masih sama. Skema yang
diusung dalam program ini adalah Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm),
Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS), Hutan Adat (HA), dan Kemitraan Kehutanan.

Hutan Desa (HD) adalah hutan negara yang dalam pengelolaannya dilakukan oleh
lembaga desa dengan tujuan untuk menyejahterakan suatu desa.

Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara yang mana pengelolaannya


dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar
agar tercipta kesejahteraan.

Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang
dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan
produksi dengan menerapkan sistem silvikultur untuk menjamin kelestarian hutan.

Hutan adat adalah hutan yang dimiliki oleh masyarakat adat yang sebelumnya
merupakan hutan negara ataupun bukan hutan negara.

4. Peraturan mengenai Perhutanan Sosial


Peraturan mengenai program yang sedang naik daun ini dibahas dalam Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 83 tahun 2016. Selain itu, terdapat berbagai peraturan
lainnya yang membahas lebih detail mengenai program ini dan hal terkait lainnya, di antaranya adalah:

Peraturan Kementerian Kehutanan Nomor 89 tahun 2014 tentang Hutan Desa (download di sini).

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 88 tahun 2014 tentang Hutan Kemasyarakatan (download di sini).

Peraturan Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Nomor 13 tahun 2016
tentang Pedoman Verifikasi Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) (download di sini).

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2012 tentang pengelolaan hutan adat yang
dikembalikan kepada masyarakat hutan adat dan hutan adat bukan merupakan hutan negara,
melainkan tanah adat yang harus dilestarikan (download di sini).

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 39 tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial
di Wilayah Kerja Perum Perhutani (download di sini).

6. Implementasi Program Perhutanan Sosial

Implementasi program ini dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
Republik Indonesia. Dalam perjalanannya program ini mendapat berbagai dukungan dari berbagai pihak,
tak terkecuali lembaga donor dari berbagai negara. Sebut saja negara Norwegia yang memberikan
bantuan kepada KLHK dalam pembuatan sistem program ini melalui program REDD+ yang difasilitasi
oleh UNDP.

Sebenarnya program ini mulai dicanangkan pada tahun 1999, di mana waktu itu semangat reformasi
masih terasa. Namun dalam pelaksanaannya mengalami ketersendatan yang berarti. Pada tahun 2007
baru program ini mulai dilaksanakan, namun lagi-lagi selama kurang lebih 7 tahun sampai dengan tahun
2014 program ini mengalami ketersendatan kembali. Pada periode tahun 2007 sampai dengan 2014
hanya seluas 449.104,23 hektare lahan yang berhasil melaksanakan skema perhutanan sosial.

Berdasarkan kondisi tersebut kemudian KLHK melakukan program-program percepatan perhutanan


sosial. Hasil dari program-program percepatan ini cukup menggembirakan di mana seluas 604.373,26
hektare lahan hutan legal dibuka oleh masyarakat sekitar hutan dengan tetap memerhatikan aspek-
aspek kelestarian.

Sampai saat ini terdapat 239.341 kepala keluarga yang mendapatkan izin dalam skema pengelolaan
hutan berbasis perhutanan sosial. KLHK juga mengklaim bahwa mereka telah melakukan sosialisasi dan
fasilitasi bagi 2.460 kelompok untuk mengembangkan usaha program unggulan KLHK ini. Target KLHK
sendiri pada tahun 2019 terdapat 5.000 kelompok yang akan difasilitasi.

Akhir kata, akses legal masyarakat untuk mengelola hutan ini diharapkan menjadi jembatan bagi negara
untuk menyejahterakan masyarakat terdepan Indonesia.

Referensi:
Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan. 2015. Tentang Program Perhutanan
Sosial. [http://pskl.menlhk.go.id/akps/index.php/site/cara_pendaftaran] diakses pada 12 Desember
2017.

Firdaus A Y. 2017. Perhutanan Sosial dan Tata Cara Permohonannya. Bogor (ID): Center for International
Forestry Research (Cifor)

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.

WEBGIS KLHK. 2017. Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (Revisi I).
[http://webgis.dephut.go.id:8080/kemenhut/index.php/id/peta/petapiaps] diakses pada 12 Desember
2017.

Sumber: https://foresteract.com/perhutanan-sosial/

======

Pengertian Perhutanan Sosial


Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam
kawasan hutan negara atau hutan hak / hutan adat oleh masyarakat sekitar hutan atau
masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk tujuan kesejahteraan,
keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya demi mewujudkan Hutan Desa,
Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan
Kemitraan Kehutanan.

Program ini adalah legal dan membuat masyarakat dapat turut mengelola hutan dan
memperoleh manfaat ekonomi. Perhutanan sosial menepis anggapan masyarakat
mengenai sulitnya memanfaatkan kawasan hutan di sekitar mereka.

Tujuan Perhutanan Sosial


Tujuan dari porgram ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
proses pemberdayaan dengen berpegang pada aspek kelestarian hutan.

Berdasarkan Peraturan Menteri LHK No 83 tahun 2016, program perhutanan sosial


memiliki tujuan memberi pedoman akan pemberian hak pengelolaan, perizinan,
kemitraan dan hutan adaat.

Selain itu, program dari pemerintah ini juga bertujuan sebagai solusi atas permasalahan tenurial
dan keadilan bagi masyarakat sekitar hutan dalam memanfaatkan hutan untuk kesejahteraan
dan pelestarian melalui prinsip keadilan, keberlanjutan, kapasitas hukum, partisipatif, dan
bertanggung gugat.

Program Perhutanan Sosial merupakan perwujudan dari Nawacita, yakni:


 Ke-1, Negara hadir melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman
pada seluruh warga negara Indonesia
 Ke-6, Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
 Ke-7, Mewujudkan kemandirian ekonomi dan menggerakkan sektor-sektor
strategis ekonomi domestik

Sesuai dengan Nawacita yang diusung oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo,
Perhutanan Sosial bertujuan untuk pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan
melalui tiga pilar, yaitu lahan, kesempatan berusaha dan sumberdaya manusia. Hal ini
dibuktikan dengan adanya lahan seluas 12,7 hektar yang siap dijadikan objek program
ini.

Pelaku Perhutanan Sosial


Pada pelaksanaannya, program ini dilakukan oleh:

 Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) / Lembaga Adat


 Kelompok Tani, Gabungan kelompok Tani (Gapoktan), Koperasi
 Masyarakat Hukum Adat (MHA)
 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH)

Skema Perhutanan Sosial


Akses legal dalam mengelola kawasan hutan dibuat dalam lima skema yang memiliki
inti atau tujuan yang sama, antara lain:

 Skema Hutan Desa (HD), yaitu hutan negara yang hak pengelolaannya diberikan
kepada lembaga desa bagi kesejahteraan desa.
 Skema Hutan Kemasyarakatan (HKm), yaitu hutan negara yang hak pemanfaatan
utamanya ddiberikan untuk pemberdayaan masyarakat setempat.
 Skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHS), berupa hutan tanaman pada hutan
produksi yang dibuat oleh sekelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan
kualitas hutan produksi melalui sistem silvikulur demi menjamin kelestarian hutan.
 Skema Hutan Adat (HA), yakni hutan yang berada di wilyah masyarakat hutan adat.
 Skema Kemitraan Kehutanan adalah adanya kerjasama antara masyarakat sekitar
hutan dengan pengelola hutan, sperti pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan, jasa
hutam izin pinjam pakai kawasan hutan atau pemegang izin usaha industri primer hasil
hutan.

Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial – PIAPS


Untuk melihat areal perhutanan sosial secara lengkap, Kementerian LHK memberikan
akses resmi berupa peta digital (PIAPS) sesuai lampiran dari Surat Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 4685 tahun 2017.
Dalam peta ini, kita dapat melihat lokasi atau wilayah program perhutanan sosial pada
tiap-tiap zona. PIAPS menjadi acuan dalam perijinan perhutanan sosial, seperti HPHD
(Hak Pengelolaan Hutan Desa), IUPHKm (Izin Usaha Pemanfaatan Hutan
Kemasyarakatan), dan IUPHHK-HTR (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
dalam Hutan Tanaman Rakyat) yang selalu mengalami revisi setiap 6 bulan sekali.

Adanya Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) sangat membantu dalam
menyelesaikan konflik, kegiatan restorasi gambut serta ekosistem.

Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial atau PIAPS pada tiap provinsi dapat diunduh
pada PIAPS Provinsi Indonesia.

SiNav PS – Sistem Navigasi Perhutanan Sosial


Selain PIAPS, terdapat pula Sistem Navigasi Perhutanan Sosial untuk mendukung
program utama KLHK ini. SiNav PS adalah sebuah keterpaduan antara kelembagaan,
aplikasi serta sarana dan prasarana pendukung pengelolaan Perhutanan Sosial
sebagai acuan penentu arah kebijakan serta pengenalan ke publik tentang Perhutanan
Sosial Dan Kemitraan Lingkungan.

Sistem keterbukaan ini dapat diakses melalui situs SiNav yang akan menampilkan


detail jumlah luas ijin, jumlah KK, serta jumlah SK berkaitan dengan perhiutanan sosial.

Pelaksanaan Program Perhutanan Sosial


Sebenarnya program ini telah direncanakan pasca reformasi, akan tetapi kondisi
Indonesia pada tahun 1999 yang masih belum kondusif menjadikan agenda ini
terbengkalai. Pada tahun 2007 barulah program ini dapat dilaksanakan meski
mengalami berbagai hambatan hingga tahun 2014.

Hingga saat ini, sejumlah 239.341 Kepala Keluarga telah memiliki akses legal
mengelola kawasan hutan negara. Selain itu, sosialisasi dan fasilitasi telah diberikan
pada 2.460 kelompok dalam bidang Pengembangan Usaha Perhutanan Sosial. Pada
tahun 2019, capaian yang menjadi target adalah 5.000 kelompok usaha perhutanan
sosial.

Tujuan program guna memberi kesejahteraan pada masyarakat Indonesia menghadapi


berbagai tantangan. Salah satunya adalah jangkauan masyarakat akibat akses
infrastruktur yang belum merata.

Pendampingan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan


menggandeng beberapa pihak serta juga LSM. Pendampingan ini diperlukan agar
masyarakat dapat memperoleh pengetahuan dan mengenai potensi kawasan hutan,
pengembangan usaha, serta pemasaran hasil usaha masyarakat.
Akses legal masyarakat dalam mengelola hutan diharapkan menjadi bentuk nyata dari
kehadiran negara dalam melindungi setiap warga negara dan memberi kesejahteraan
bagi masyarakat.

Perhutanan Sosial sejatinya merupakan program hutan untuk rakyat agar terwujud
masyarakat yang mandiri secara ekonomi melalui sektor-sektor ekonomi strategis
domestik.

======

Konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) pertama kali diperkenalkan


pada tahun 1970-an yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama
pengelolaan hutan.   Tujuan utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan
masyarakat  sekaligus menjaga kelestarian hutan. Perhutanan sosial merupakan
medium bagi masyarakat untuk   memanfaatkan dan mendapatkan penghasilan
tambahan dari pengelolaan hutan.

Konsep yang kini menjadi Perhutanan Sosial di era pemerintahan Jokowi


menargetkan 12,7 juta hektar lahan dijadikan perhutanan sosial untuk para petani
hingga 2020.   Sejumlah kendala menghadang terutama terkait dengan kawasan yang
dapat dimasukkan dalam skema Perhutanan Sosial, kesiapan perangkat masyarakat,
lembaga pendamping hingga alokasi anggaran pemerintah yang cenderung makin
mengecil.

Sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan kehutanan


Indonesia, TFCA-Sumatera mengambil peran aktif dalam
menyukseskan program strategis kehutanan nasional
termasuk Perhutanan Sosial.  Dengan dukungan dana
pengalihan utang untuk lingkungan, sampai saat ini para
mitra telah menerapkan skema Perhutanan Sosial di 6
propinsi di Sumatera yang meliputi Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Jambi dan Lampung.   
Total luasan skema perhutanan sosial yang digarap
mencapai lebih dari 129 ribu hektar.
Skema yang diterapkan terdiri dari Hutan Kemasyarakatan,
Hutan Desa, Hutan Adat dan Hutan Tanaman Rakyat yang
dijalankan oleh 9 konsorsium mitra.   Tabel berikut
menyajikan dukungan TFCA-Sumatera ada skema
Perhutanan Sosial
Sejalan dengan motto Masyarakat Sejahtera Hutan Lestari, penerapan skema
Perhutanan Sosial dimaksudkan agar masyarakat di sekitar hutan mendapat manfaat
dan menjadikan mereka sebagi subjek dari pengelolaan sumberdaya alam.   Sudah
saatnya masyarakat berdaulat dan memiliki komitmen untuk menjaga hutan.   Namun
yang tak boleh dilupakan adalah tujuan besar dari konservasi itu sendiri yang
menciptakan keseimbangan antara pemanfaatan, perlindungan dan pengawetan.  (as)

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Siti Nurbaya Bakar mengeluarkan SK Men
LHK Nomor 22/2017. Salah satu yang diatur di dalamnya adalah Peta Indikatif Areal
Pehutanan Sosial (PIAPS). Sumatera utara, dari 33 kabupaten/kota, 25 kabupaten di
antaranya terdapat PIAPS dengan total 550.887 hektare.

Dia menuturkan, syarat pengajuan Perhutanan Sosial (PS), lahan tersebut harus bebas
konflik. Faktanya di Indonesia, Sumatera Utara dan Kalimantan adalah dua daerah dengan
konflik yang tinggi. PS, kata dia, lahir untuk proses penyelesaiannya.

Dia menjelaskan, pengalaman land reform di masa lalu belum kongkret dalam pemberian
akses kelola sumber daya alam. PS menjadi salah satu model manajemen hutan, juga
dipandang sebagai strategi soft agrarian reform, di mana kelompok masyarakat diberikan
akses kelola selama 35 tahun dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi hutan.

Selain memberikan akses kelola, pemerintah bermaksud dapat menyelesaikan berbagai


bentuk konflik sosial terkait dengan penguasaan lahan yang tidak seimbang antara
pemegang izin skala besar dengan masyarakat, secara damai dan mengedepankan dialog.

Terkait PS, Manajer Program Wilayah kelola Rakyat Walhi Sumut, Antonio Sipayung
memberi catatan. Dalam Peraturan Menteri Nomor 83/2016 tentang Perhutanan Sosial,
masyarakat diberikan hak untuk untuk mengelola hutan, baik hutan lindung maupun hutang
produksi selama 35 tahun. Tapi dalam rancangan peraturan daerah (ranperda) pengelolaan
hutan, baik hutan lindung maupun hutan produksi di Sumut justru hanya 10 tahun.

"Agak membingungkan karena di peraturan yang lebih tinggi yakni Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah selama 35 tahun. Tapi di ranperda justru hanya
10 tahun. Nah, itu apakah perbedaan memang seperti itu atau masih bisa diubah karena
ranperda itu harus melihat aturan yang lebih tinggi," katanya.

Menurutnya, hak kelola masyarakat belum dipandang serius. Hal tersebut bisa dilihat
bahwa Hak Guna Usaha (HGU) atau hak untuk hak perusahaan misalnya, dalam
penguasaan hutan bisa sampai 25 tahun atau bahkan 100 tahun.

"Dan sangat berbading jauh dengan hak masyarakat dalam pengelolaan hutan hanya 10
tahun. Sangat jauh perbedaannya padahal mereka tinggal di sekitar kawasan hutan
sebagai kehidupannya," ujarnya.
Secara terpisah, Manajer Advokasi Yayasan Bitra Indonesia, Hawari Hasibuan menilai
bahwa selama ini sudah cukup banyak lahan petani yang hilang dan belum terlihat langkah
penyelesaian persoalan. Karenanya, dibutuhkan upaya untuk melindungi hak-hak petani.
Hal senada diungkapkan Direktur Badan Advokasi Pembelaan Hukum (Bakumsu),
Manambus Pasaribu bahwa Hari Tani yang selalu diperingati tiap tanggal 24 September
merupakan momen untuk menguatkan komitmen bersatu untuk memperjuangkan hak-hak
petani atas tanahnya.

"Saya melihat masih ada tiga masalah yakni Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012,
mekanisme Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Kenapa begitu,
karena konflik ini terus terjadi. Pemerintah harus menyelesaikannya dari bawah, bertemu
dengan masyarakat sehingga mereka tahu apa maunya masyarakat," katanya.

======

KPH

➢ Kepentingan: Terealisasinya target skema PS (terutama skema Kemitraan Kehutanan) dan


beroperasinya usaha pemegang izin sehingga ada kontribusi pendapatan melalui bagi hasil kerja sama
pemanfaatan dengan mitra,
➢ Peran: sebagai UPT Dinas Kehutanan; Fasilitasi implementasi PS di tingkat tapak

➢ Komitmen : Dukungan terhadap implementasi Program PS cukup baik terutama skema Kemitraan
Kehutanan; Masih terdapat keterbatasan anggaran, SDM, pengetahuan, dan informasi.
➢ Perilaku: Bekerja sama dengan BPSKL dan pihak lainnya memfasilitasi implementasi program PS;
Menjadikan program PS sebagai program Pemberdayaan Masyarakat pada RPHJP maupun RPHJPd
KPH

Nurhidayati, Kepala Departemen Advokasi Walhi Nasional, mengatakan,


Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bertugas mewujudkan
komitmen hutan kelola rakyat 12,7 juta hektar melalui skema hutan tanaman
rakyat (HTR), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan desa (HD), hutan adat dan
kemitraan.

KLHK, katanya, memiliki peta indikasi alokasi perhutanan sosial (PIAPS). Namun,
sementara PIAPs hanya mengalokasikan wilayah-wilayah clean and clear  (CnC),
atau belum terbebani izin. Padahal, banyak kasus konflik agraria sumberdaya
alam (SDA), antara warga atau komunitas di wilayah-wilayah terbebani izin.
Untuk itu, resolusi konflik harus menjadi bagian tak terpisahkan dalam
pengalokasian hutan rakyat. “PIAPS perlu direvisi berkala, berdasarkan hasil
verifikasi dan padu-serasi dengan peta-peta organisasi masyarakat sipil.”

Potensi areal perhutanan sosial KLHK sekitar 13.548.082 hektar, hutan produksi
(5.998.967 hektar), hutan lindung (3.169.978), dan lahan gambut (2.266.006). Ia
untuk pemanfaatan jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu. Di izin HTI
terkait kemitraan 20% (2.134.286 hektar).

Saurlin P Siagian, Pendiri HaRI, menyatakan, kalau perhutanan sosial hanya


kepada wilayah CnC menjadi problematik. Gerakan masyarakat sipil di Sumut
guna memastikan revisi tanah-tanah berkonflik.

“Ini problema utama PIAPS atau peta indikatif. Kita tegas mengatakan tanah
berkonflik harus menjadi bagian tak boleh dilepaskan dari 12,7 juta hektar.”

Pengalokasian 12,7 juta hektar buat warga ini, perlu dikawal. Jika tak, katanya,
bukan tak tidak mungkin muncul mafia-mafia mengatasnamakan rakyat,
mencaplok wilayah kelola rakyat.

“Mafia ini bersembunyi di balik koperasi, organisasi rakyat, dan lain-lain. Dengan
kemampuan modal pembiayaan, mudah mengusulkan izin pengelolaan, namun
peruntukan kemudian jadi perkebunan monokultur, dan ekstraktif, hingga
muncul konflik baru,” katanya.

Kusnadi, Direktur Walhi Sumut, menyatakan, alasan Sumut layak mendapatkan


hak kehutanan sosial 1,3 juta hektar, karena provinsi terbesar ketiga di
Indonesia ini, memiliki hutan luas dengan banyak masyarakat adat hidup di
dalam dan sekitar hutan.

Data jaringan ini, luas hutan lindung, ada di Tapanuli Selatan 134.178 hektar.
Disusul Mandailing Natal hutan lindung 127.706 hektar, dan Tapanuli Utara
123.670 hektar. Sedangkan luas hutan lindung terkecil di Kabupaten Batubara
1.324 hektar, disusul Langkat 4.700 hektar, dan Serdang Bedagai 5.452 hektar.

======

======
Provinsi Sumatera Utara yang memiliki wilayah Administrasi seluas 7.298.123 Hektar memiliki kawasan
hutan seluas 3.010.160,89 hektar atau 41,25 % dari total luas wilayah daratan Provinsi Sumatera Utara
yang terdiri dari fungsi kawasan hutan konservasi seluas 424.476,01 hektar, hutan lindung seluas
1.197.174,58 hektar dan hutan produksi seluas 1.388.510,31 hektar. Hal ini disampaikan Gubernur
Sumatera Utara diwakili Plt. Kadis Kominfo H.M. Ayub, SE, pada apel pagi di halaman Kantor Dinas
Kominfo Provsu. Senin (6/1).

Peran sumber daya hutan sangat erat kaitannya dengan isu strategis saat ini yaitu Global Warning
(pemanasan Global), anomali iklim , penurunan keanekaragaman hayati dan krisis ketersediaan sumber
air baku. Berkenaan dengan hal tersebut Gubsu berharap kelestarian sumber daya hutan (Sustaible
Forest Management) menjadi sangat dibutuhkan dalam keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan.

Gubsu menjelaskan pengelolaan hutan di Sumut saat ini dengan memaksimalkan pengelolaan pada
tingkat sunit Kesatuan Pengelolahan Hutan (KPH) pada kawasan hutan lindung maupun hutan produksi
dengan melakukan konservasi sumber daya hutan, rehabilitasi hutan dan lahan serta pencegahan,
pengendalian kerusakan hutan  yang sejalan dengan Program Perhutanan Sosial dalam rangka
mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera.

Program Perhutanan Sosial dapat berupa pengelolaan kawasan hutan yang memiliki Izin Usaha
Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKM), Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan
Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR), Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD), Hutan Adat dan Kemitraan
Kehutanan.

Untuk menjaga kawasan hutan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara akan terus menekan terjadinya
gangguan keamanan terhadap kawasan hutan terutama akibat perambahan, perubahan kawasan hutan
menjadi perkebunan, pemukiman, kebakaran hutan dan lahan untuk mendukung upaya menuju proses
pemberhasilan pencapaian sumautera utara yang bermartabat dalam lingkungan hidup, harap Gubsu.

===== =

Substansi materi penyuluhan kehutanan meliputi kegiatan :

Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan

Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan

Rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan

Perlindungan hutan dan konservasi alam.

Tata hutan dan penyusunan rencana, Pengelolaanhutan :

1. Pemetaan sederhana secara partisipatif;

2. Mengenal tata batas kawasan hutan;

3. Penataan kawasan hutan.


Pemanfaatan hutan dan penggunaan kws hutan

Pemanfaatan hasil hutan kayu;

Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (resin, lebah madu, getah-getahan, rotan, bambu, dan lain-lain);

Pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam (ekowisata-ekotourism);

Izin pinjam pakai kawasan hutan;

Teknologi mikrohidro;

Sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK);

Sistem pengelolaan hutan lestari (SPHL)/sustainable forest management (SFM);

Teknik sederhana mengukur volume kayu;

Teknik silvikultur;

Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reduced Emission from Deforestation and
Forest Degradation/REDD+).

Rehabilitasi dan reklamasi hutan :

Pembibitan;

Penanaman dan pemeliharaan pohon/tanaman kehutanan;

Pola rehabilitasi;

Konservasi tanah dan air;

Wanatani, wanaternak, wanamina;

Rehabilitasi kawasan mangrove;

Hutan kemasyarakatan;

Hutan desa;

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS).

penyalahgunaan izin perhutanan sosial dilakukan pengusaha untuk melindungi


sawitnya.

Hal yang sama juga terjadi di Desa Namo Sialang, Kabupaten Langkat, bahwa ada sebuah wilayah dusun yang
sudah diajukan pihak yang tidak diketahui menjadi areal perhutanan sosial tanpa diketahui masyarakat dusun.
“Kenapa ada rumah dan perkampungan serta perladangan yang orang sudah menempatinya selama 3 generasi
kemudian jadi kawasan hutan dan diklaim oleh pihak yang tidak bertanggung jawab?

Perhutanan Sosial kan setau saya dibuat untuk kesejahteraan rakyat, bahkan ada desa, kantor polisi dan lain
sebagainya, masuk dalam kawasan hutan, kenapa dalam verifikasi, proses indentifikasinya janganlah abai,
Pemerintah harus serius menangani hal gini” Ungkapnya.

Melakukan penelusuran luasan kawasan hutan (30 %) kawasan hutan di Sumatera Utara dan
kesesuaian dengan daya dukung yang berpihak pada lingkungan dan rakyat.
2. Menginventarisasi izin-izin yang ada di kawasan hutan, untuk mengetahui, yang mana kawasan
hutan dan bukan kawasan hutan.
3. Turut terlibat dan bersumbangsih pada penyelesaian konflik tenurial di kawasan hutan dan
terlibat dalam mendorong kebijakan perhutanan sosial yang akses hutan memang diberikan hak
kepada masyarakat.
4. Hasil hutan bukan kayu yang bisa dikelola masyarakat lokal di sekitaran kawasan hutan. Dan,
5. Mendorong Tim atau Kelompok Kerja Bersama antara DPRD Sumatera Utara, Pemerintah
Sumatera Utara, dan Organisasi Masyarakat Sipil yang akan secara khusus menangani berbagai
persoalan-persoalan kejahatan di kawasan hutan.

  legalitas masyarakat yang disediakan pemerintah melalui Permen LHK


Nomor 83 Tahun 2016 tentang kehutanan sosial dan kemasyarakatan,
ternyata belum berjalan maksimal di lapangan. Pasalnya, banyak masalah
dihadapi kelompok tani pemegang izin HKm. Sementara data-data yang
dibawa Dishut Sumut dan Balai PSKL Sumut terkait kepemilikan konsesi
HKm, justru membuat kesal kalangan legislator.

data yang disajikan Dishut Sumut dan Balai PSKL Sumut amburadul dan
tidak benar. “Lebih baik kita bahas masalah orang-orang yang butuh
kepastian. Saya rasa sekarang ada kelompok tani datang. Kita mulai saja
dari mereka. HKm kan untuk kesejahteraan rakyat,” cetusnya. Pantur
Banjarnahor mempertanyakan apakah masyarakat setempat di daerah
punya peta HKm. Hal itu dipastikannya penting supaya warga dapat
melakukan kegiatan secara baik. Sedangkan Tuani Lumbantobing
meminta Dishut Sumut dan Balai PSKL Sumut memvalidasi serta
mensinkronkan 30 ribu Ha data HKm sesuai peta yang disiapkan.

=====

Begitu pula beberapa izin HKm yang dimiliki kelompok tani belum
kunjung membuahkan hasil akibat gangguan dan intimidasi pihak-pihak
tertentu. Termasuk desa-desa lain yang menolak dimasukkan sebagai
kawasan hutan dan HKm. Alasannya, kata Tarigan, masyarakat
mengklaim sudah 3 generasi hidup di desa dan memiliki bukti makam-
makam leluhur. “Lokasi izin HKm harusnya clean and clear,” ucapnya.
Tarigan pun mencontohkan konflik horizontal masyarakat Kelompok Tani
Namo Serdang di Kampung Namo Sialang Kab Langkat. Dia menyebut,
warga menolak izin kawasan HKm sebab saat verifikasi tidak ada
pemberitahuan. “Kelompok Tani Namo Serdang malah banyak orang luar.
Warga setempat gak mau masuk dan keberatan dengan HKm. Muncul
HKm, timbul juga konflik horizontal,” cetusnya.

Sebelumnya, Plt Kepala Balai PSKL Sumut M Rizal Pahlevi menerangkan,


sedikitnya ada 30 ribu Ha lahan yang dipersiapkan untuk kawasan HKm di
Sumut. “Kami ada peta indikasi perhutanan sosial. Areal-areal itu
berpotensi. Nanti data yang dikritik anggota Dewan akan kami perbaiki.
Kawasan 30 ribu Ha diperuntukkan buat 66 kelompok tani di Sumut,”
ungkap Rizal. Kasi THA Dishut Sumut Manase P Sirait Manasye Sirait
berjanji, pihaknya segera turun ke Langkat pada Rabu 1 Juli 2020. “Izin
HKm untuk 1 desa dan bukan 1 dusun aja,” terangnya. Kabid RHL Dishut
Sumut Ahmad Safei Hutasuhut menyatakan, tidak ada perbedaan data
Dishut Sumut dan Balai PSKL Sumut. “Memang BPSKL Sumut sudah
mencakup semua data,” tepisnya.

Ketua Komisi B DPRDSU Viktor Silaen akhirnya menskors RDP untuk


dilanjutkan pada waktu ditentukan kelak. “Masalah yang saya lihat, ada
izin tapi tak bisa dikuasai. Jadi tolong Dishut Sumut dan Balai PSKL
Sumut mensinkronisasi data. Kurang siap bapak-bapak menyajikan data,”
sindirnya. Politisi Partai Golkar itu meyakini, keberadaan SK Nomor 44
Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Provinsi
Sumatera Utara dan SK Menhut RI Nomor 579/Menhut-
II/2014 tertanggal 24 Juni 2014 tentang kawasan hutan, seyogianya
disosialisasikan pemerintah terhadap masyarakat pemegang izin HKm.
Viktor pun berharap Dishut membuat program sosialisasi secara berkala
agar masyarakat memahami situasi berkembang.

=== =

adanya penurunan luas kawasan hutan lindung, dan perluasan hutan


produksi yang telah mengklaim tanah-tanah masyarakat dan wilayah
desa,” tegas Dana Tarigan ketika RDP Komisi B DPRD Sumut dengan
BPSKL Regional Sumatera, Walhi dan Kelompok Tani, Selasa
(30/6/2020).
Kawasan Hutan Lindung juga turut dialihfungsikan akibat adanya
pembangunan infrastruktur jalan lintas Karo-Langkat, bukannya kita anti
infrastruktur, tapi kalau mengalihfungsikan hutan, tentu akan kita kritisi.
Belum lagi masalah hutan mangrove di pesisir Sumatera Utara, bahwa
sejak tahun 1999, ada alih fungsi 45 % kawasan hutan menjadi
perkebunan sawit, tambak 35 %, dan sisanya adalah areal-areal yang
dimanfaatkan oleh masyarakat,” bebernya\

Samsul, Ketua Kelompok Tani Nipah, Desa Kuala Serapuh menyayangkan sikap
pemerintah dan aparat penegak hukum yang cenderung abai akan konflik areal
HKM yang mereka kelola diganggu dan turut dikelola perkebunan sawit.

“Sejak 2016 saya bersama kelompok siap melestarikan hutan, 2018 HKM kita
keluar, justru malah kondisi pandemi corona gini, hutan kelola kami itu dirusak
oleh kebun sawit,” ungkap Pak Samsul.

Masih di wilayah Langkat, Kelompok Tani Mangrove Jaya juga menyesalkan


bahwa areal kelola HKM yang diperuntukkan kepada kelompok tersebut sama
sekali belum bisa mereka kelola. Seperti yang disampaikan salah satu pengurus
Kelompok Mangrove Jaya, Ismail Marzuki.

“Saat ini bahkan ketua kami diduga dikriminalisasi, dengan diduga delik kasus
narkoba, belakangan ini, ada pengusaha kebun sawit yang mengelola di areal
HKM kami masuk ke lahan diduga tanpa izin, bersama polisi, dan bersama
kepala desa, yang seolah memicu conflict of interest. Kita ingin sawit itu
ditebang dan akan ditanam hutan mangrove. Kami mengharapkan KPH dan
aparat penegak hukum harus bertindak tegas, dan jangan abaikan meskipun
sudah beberapa kali membuat pelaporan atas kasus yang kami alami dan
bahkan penyelesaian ini harus libatkan polisi,” terang relawan Jokowi dan pria
berkacamata ini.

Peristiwa konflik yang dialami kedua kelompok tani ini pun turut ditegaskan
kasusnya oleh Khairul Bukhari, Kepala Departemen Advokasi Walhi Sumatera
Utara. Ari turut menyayangkan bahwa beberapa kali pelaporan kasus Tani
Nipah dan Mangrove Jaya ke Intitusi Kehutanan dan Penegak Hukum belum
ditindaklanjuti sampai saat ini.

Jika kedua kelompok Tani Nipah dan Mangrove Jaya, berkonflik di areal kelola
perhutanan yang sudah diperuntukkan kepada mereka, berbeda halnya dengan
yang Kelompok masyarakat Naga Jaya, di Desa Naga Kisar, Kecamatan Pantai
Cermin Kabupaten Serdang Bedagai.

Sumardiono, salah satu anggota kelompok tersebut yang hadir dalam


pertemuan, mengatakan bahwa areal leluhur mereka sejak turun temurun
justru diusulkan menjadi areal perhutanan sosial oleh kelompok Gapoktan Desa
tanpa adanya pemberitauan kepada Kelompok Naga Jaya. Dalam
penyampaiannya, Pak Sumardiono menerangkan bahwa terdapat pemakaman
leluhur mereka yang sejak tahun 1900-an awal adalah bukti bahwa kawasan
tersebut adalah warisan leluhur mereka. Hal yang sama juga terjadi di Desa
Namo Sialang, Kabupaten Langkat, bahwa ada sebuah wilayah dusun yang
sudah diajukan pihak yang tidak diketahui menjadi areal perhutanan sosial
tanpa diketahui masyarakat dusun.

Kemudian, ada juga dari kelompok masyarakat yang hadir masih dalam proses
pengajuan yang disetujui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK). Hal ini disampaikan Medi Kembaren, salah satu pengurus Kelompok
Tani Melati, Desa Adin Tengah Kecamatan Salapian, Langkat, yang turut hadir
menyampaikan keluhannya akan pengajuan perhutanan sosial mereka yang
belum diakomodir.

“Kami sudah mengajukan IUPHKM perhutanan sosial, di kawasan sebuah


perusahaan kayu logging. Kami niat untuk mengelola dan menanam, namun
kami justru dikriminalisasi, dan kami justru direkomendasi oleh KPH 1 Stabat
dan Dinas Kehutanan untuk bermitra dengan perusahaan,” terangnya.

Mendengar beberapa permasalahan yang dialami oleh Walhi dan beberapa


kelompok tani hutan, beberapa anggota DPRD Sumut yang berhadir turut
prihatin atas kondisi rumitnya persoalan konflik di kawasan hutan ini.

Seperti yang disampaikan oleh Sugianto Makmur, anggota Komisi B DPRD


Sumut. “Kenapa ada rumah dan perkampungan serta perladangan yang orang
sudah menempatinya selama 3 generasi kemudian jadi kawasan hutan dan
diklaim oleh pihak yang tidak bertanggung jawab? Perhutanan Sosial kan
setahu saya dibuat untuk kesejahteraan rakyat, bahkan ada desa, kantor polisi
dan lain sebagainya, masuk dalam kawasan hutan, kenapa dalam verifikasi,
proses indentifikasinya janganlah abai, Pemerintah harus serius menangani hal
gini,” ungkap Dapil Sumut XII Binjai-Langkat ini.  

beberapa masalah yang ia dengar dari masyarakat langsung.  Menurutnya,


terhadap masalah yang masih terjadi, tidak boleh tutup mata pada pengusaha
dan kepentingannya. Masyarakat, juga berkepentingan dan merasa memiliki
lingkungan. Beberapa masyarakat yang dapat izin tapi masih ada oknum
tertentu tanpa izin masih mengelola tanah yang diperuntukkan masyarakat.

“Mohon kepada BPSKL dan dinas kehutanan provinsi, hutan akan lestari jika
kita kelola dengan baik, oleh masyarakat dan  jangan dibiari terus terus alih
fungsi yang akhirnya menjadikan hutan jadi kebun-kebun sawit dan lain
sebagainya. Lestarikan hutan itu, kita kan terbantu karena masyarakat
mengelola hutan.” Ujarnya.

Beberapa anggota Dewan Lainnya, turut mempertanyakan hal yang sama,


yakni kejelasan terkait sejauh mana perhutanan sosial dan kawasan hutan
sudah dimanfaatkan oleh masyarakat dan belum menyebarnya perhutanan
sosial di seluruh kawasan hutan di Sumut. Begitu halnya menyangkut
perubahan aturan penunjukan kawasan hutan, peta kawasan hutan, tumpang
tindih dan konflik tanah di kawasan hutan.

Lalu, kebijakan perhutanan sosial pun terus menjadi pertanyaan-pertanyaan


yang dilayang kan oleh beberapa anggota DRPD Sumut yang terlibat. Ahmad
Fauzan, anggota DPRD Sumatera Utara yang meminta peta hutan yang
sesungguhnya. “Saya juga heran, kenapa data nya berbeda-beda antara
BPSKL dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara,” tanyanya.

Berbagai permasalahan di dalam kawasan hutan, termasuk konflik tenurial


yang Walhi Sumut terus mengadvokasi sekalipun hak legal pengelolaan
kawasan hutan sudah dipegang oleh masyarakat.   Direktur Walhi Sumut,
Dana Prima Tarigan mengatakan, perubahan status kawasan hutan turut
berkontribusi pada terakomodirnya alih fungsi hutan menjadi perkebunan,
pertambakan, hutan tanaman industri, dan telah menunjuk wilayah-wilayah
desa yang telah dihuni selama beberapa generasi masuk ke dalam kawasan
hutan.

Mulai tahun 2005, adanya SK 44 sampai SK 8088 yang terbaru telah


mengakibatkan adanya penurunan luas kawasan hutan lindung, dan
perluasan hutan produksi yang telah mengklaim tanah-tanah masyarakat dan
wilayah desa. Kawasan Hutan Lindung juga turut dialihfungsikan akibat
adanya pembangunan infrastruktur jalan lintas Karo-Langkat.

Dijelaskannya, pihaknya bukanlah anti infrastruktur, tapi kalau


mengalihfungsikan hutan, lanjutnya, tentu harus dikritisi. “Belum lagi masalah
hutan mangrove di pesisir Sumut, sejak tahun 1999, ada alih fungsi 45 %
kawasan hutan menjadi perkebunan sawit, tambak 35 %, dan sisanya adalah
areal-areal yang dimanfaatkan oleh masyarakat,” ujarnya.

Dana Tarigan meminta agar DPRD Sumatera Utara, dalam hal ini Komisi B
untuk menginisiasi terbentuknya tim terdiri dari DPRD, Pemerintah, dan
elemen masyarakat sipil yang bisa bekerja sama beberapa hal terkait
penyelesaian  berbagai permasalahan dalam kawasan hutan seperti.

Dana meminta agar dilakukan penelusuran luasan kawasan hutan (30 %)


kawasan hutan di Sumatera Utara dan kesesuaian dengan daya dukung yang
berpihak pada lingkungan dan rakyat. Menginventarisasi izin-izin yang ada di
kawasan hutan, untuk mengetahui, yang mana kawasan hutan dan bukan
kawasan hutan.

Turut terlibat dan bersumbangsih pada penyelesaian konflik tenurial di


kawasan hutan  dan terlibat dalam mendorong kebijakan perhutanan sosial
yang akses hutan memang diberikan hak kepada masyarakat. Hasil hutan
bukan kayu yang bisa dikelola masyarakat lokal di sekitaran kawasan hutan.

“Kami mendorong tim atau kelompok kerja bersama antara DPRD Sumut,
Pemerintah Sumut, dan organisasi masyarakat sipil yang akan secara khusus
menangani berbagai persoalan-persoalan kejahatan di kawasan hutan,”
katanya.

Ketua Kelompok Tani Nipah, Desa Kuala Serapuh, Samsul menyayangkan


sikap pemerintah dan aparat penegak hukum  yang cenderung abai akan
konflik areal HKM yang mereka kelola diganggu dan turut dikelola perkebunan
sawit. “Sejak 2016 saya bersama kelompok siap melestarikan hutan, 2018
HKM kita keluar, justru malah kondisi pandemi Corona gini, hutan kelola kami
itu dirusak oleh kebun sawit,”ungkapnya.

Kelompok Tani Mangrove Jaya juga menyesalkan bahwa areal kelola HKM
yang diperuntukkan kepada kelompok tersebut sama sekali belum bisa
mereka kelola. Salah satu pengurus Kelompok Tani Mangrove Jaya, Mail
mengatakan, saat ini bahkan ketua kelompok taninya dikriminalisasi, dengan
delik kasus narkoba.

Belakangan ini, kata dia, ada pengusaha kebun sawit yang mengelola di areal
HKM masuk ke lahan tanpa izin, bersama polisi, dan bersama kepala desa,
yang seolah memicu conflict of interest. “Kita ingin sawit itu ditebang dan akan
ditanam hutan mangrove, Kami mengharapkan KPH dan aparat penegak
hukum harus bertindak tegas, dan jangan abaikan meskipun sudah beberapa
kali membuat pelaporan atas kasus yang kami alami dan bahkan
penyelesaian ini harus libatkan polisi,” ujarnya.

Peristiwa konflik yang dialami kedua kelompok tani ini pun turut ditegaskan
kasusnya oleh Kepala Departemen Advokasi Walhi Sumut, Khairul Bukhari.
Dia menyayangkan beberapa kali pelaporan kasus Tani Nipah dan Mangrove
Jaya ke intitusi kehutanan dan penegak hukum belum ditindaklanjuti sampai
saat ini.

Jika kedua kelompok Tani Nipah dan Mangrove Jaya, berkonflik di areal
kelola perhutanan yang sudah diperuntukkan kepada mereka, berbeda halnya
dengan yang Kelompok masyarakat Naga Jaya, di Desa Naga Kisar,
Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai.

Sumardiono, salah satu anggota kelompok tersebut yang hadir dalam


pertemuan, mengatakan bahwa areal leluhur mereka sejak turun temurun
justru diusulkan menjadi areal perhutanan sosial oleh kelompok Gapoktan
Desa tanpa adanya pemberitauan kepada Kelompok Naga Jaya. Sumardiono
menerangkan, terdapat pemakaman leluhur mereka yang sejak tahun 1900-
an awal adalah bukti kawasan tersebut adalah warisan leluhur mereka.

Hal yang sama juga terjadi di Desa Namo Sialang, Kabupaten Langkat, ada
sebuah wilayah dusun yang sudah diajukan pihak yang tidak diketahui
menjadi areal perhutanan sosial tanpa diketahui masyarakat dusun.

Kemudian, ada juga dari kelompok masyarakat yang hadir masih dalam
proses pengajuan yang disetujui oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK). Hal ini disampaikan Medi Kembaren, salah satu pengurus
Kelompok Tani Melati, Desa Adin Tengah Kecamatan Salapian, Langkat,
yang turut hadir menyampaikan keluhannya akan pengajuan perhutanan
sosial mereka yang belum diakomodir.

“Kami sudah mengajukan IUPHKM perhutanan sosial, di kawasan sebuah


perusahaan kayu logging. Kami niat untuk mengelola dan menanam, namun
kami justru dikriminalisasi, dan kami justru direkomendasi oleh KPH 1 Stabat
dan Dinas Kehutanan untuk bermitra dengan perusahaan,” ujarnya.

==== =

Menurutnya, perhutanan sosial mampu meningkatkan ragam ekonomi kelompok sampai ke tingkat desa.
Selain itu, juga membangun lapisan kesadaran baru yang membumi di desa-desa pinggir hutan.

“Fenomena ini sebagai membangun socioculture and economic buffer. Masyarakat yang mampu menggerakan
ekonomi di desanya tanpa harus urbanisasi, justru orang kota yang harus datang ke desa,”tutur alumnus
Fakultas Kehutanan UGM ini.
Wiratno mengatakan perhutanan sosial sangat site specific  atau local specific  dan pada umumnya berskala
kecil. Replikasi keberhasilan program ini di suatu tempat tidak sekaligus menunjukkan potensi dan arah
keberhasilan yang sama di tempat lain.

Oleh sebab itu, diperlukan pengawasan dan evaluasi secara berkelanjutan dalam pelaksanaan program
perhutanan sosial ini. Dengan begitu, proses pembelajaran dapat secara terus dilakukan secara bersama-sama.

“Melalui sekolah lapangan yang digagas Guru Besar Fakultas kehutanan UGM, Prof. San Afri Awang,
replikasi berpotensi akan berhasil lebih cepat. Dengan model farmer to farmer share learning   dapat dilakukan
lebih efektif dan relatif cepat dibandingkan model penyuluhan konvensional,”paparnya. (Humas UGM/Ika:
foto: Firsto)
Dalam rangka menjaga kelestarian hutan tentu diperlukan integrasi dan sinkronisasi dengan KPH
selaku pengelola kawasan hutan di tingkat tapak. Dengan demikian peran KPH selaku pemangku
dan pengelola kawasan sangat penting dalam hal memfasilitasi pelaksanaan kegiatan. 
Sedangkan untuk menjadikan masyarakat mandiri secara ekonomi dibutuhkan sistem bisnis
perhutanan sosial mulai dari hulu, hilir dan pasarnya. "Bisnis yang dilakukan masyarakat ini
yang akan kita dorong agar terjadi sentra-sentra ekonomi berbasis desa", tambah Bambang.

Pemerintah melalui KLHK telah menetapkan target areal pengelolaan hutan oleh masyarakat
seluas 12,7 juta hektar melalui skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman
Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan. Sampai saat ini areal pengelolaan hutan oleh
masyarakat telah mencapai sekitar 3,41 juta hektar, dengan jumlah SK kurang lebih 6.503 unit 
bagi sekitar 755 ribu Kepala Keluarga. Rincian per skema, yaitu : Hutan Desa (HD) seluas 1,43
juta hektar, Hutan Kemasyarakatan (HKm) seluas 692, 69 ribu hektar, Hutan Tanaman Rakyat
(HTR) seluas 347,10 ribu hektar, Kulin KK seluas 336,86 ribu hektar, IPHPS seluas 25,97 ribu
hektar dan Hutan Adat (yang terdiri dari Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat) seluas
578,62 ribu hektar.

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) memegang peran penting dalam upaya percepatan
implementasi program Perhutanan Sosial. KPH juga terkait langsung dalam rencana
pengelolaan dan rencana kerja perhutanan sosial.

"KPH mampu mendorong tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya yang bertempat tinggal
di sekitar hutan dan memfasilitasi penyelesaian konflik terkait kehutanan di wilayahnya.
Kemudian, KPH juga bisa mengelola hutan bersama masyarakat melalui Perhutanan Sosial,"
ujar Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Hardwinarto, dalam keterangan tertulis, Senin (6/8/2018).

Keberadaan KPH di tingkat tapak juga menjadikannya bagian dari tim verifikasi permohonan
Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS).
mengkoordinasikan KPH dan para pihak dalam memperkuat kelembagaan dan keberlanjutan
operasionalisasi KPH. Hal ini bertujuan untuk mengimplementasikan program Prioritas Nasional
Kehutanan.

Selain Perhutanan Sosial, topik lain yang akan turut dibahas pada rakornas tersebut di
antaranya bidang pemanfaatan hutan, perlindungan hutan, rehabilitasi hutan, kemitraan
lingkungan, dan penanggulangan kebakaran lahan serta hutan.

Selanjutnya, akan ada pembahasan mengenai pelaksanaan TORA, kemitraan pengelolaan


hutan, dan dukungan IPTEK Kehutanan serta kompetensi sumber daya manusia di KPH.

"Tujuan dan hasil yang diharapkan dari Rakornas KPH 2018 adalah untuk meningkatkan
pemahaman para pihak tentang penguatan kelembagaan dan keberlanjutan operasionalisasi
KPH, mengidentifikasi dan mereview permasalahan, hambatan dan tantangan penguatan
kelembagaan dan keberlanjutan operasionalisasi, serta mewujudkan komitmen dalam
penguatan kelembagaan dan keberlanjutan operasionalisasi KPH," jelas Sigit.

Melalui Rakornas KPH 2018 ini, ia berharap semua pihak yang hadir dan terlibat bisa
merumuskan langkah-langkah penting untuk memperkuat kelembagaan dan keberlanjutan
operasionalisasi KPH secara lebih nyata dan terukur.
"Langkah-langkah itulah yang akan diimplementasikan dalam mendorong percepatan
perwujudan kemandirian KPH, keberlanjutan operasionalisasi KPH dan peningkatan
keberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan," pungkas Sigit.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Supriyanto meminta Kesatuan


Pengelolaan Hutan aktif menjadi pendamping masyarakat setelah mereka mendapatkan izin
perhutanan sosial. “Karena KPH menjadi ujung tombak pengelolaan hutan di tingkat tapak,”
kata Bambang di Palembang, 28 Juni 2019.

Peran KPH sangat krusial untuk mencapai percepatan untuk mencapai


target luas perhutanan sosial,” kata Bambang.

Saran Bambang muncul karena keluhan Kepala Dinas Kehutanan Sumatera


Selatan Pandji Tjahjanto tentang lambatnya realisasi perhutanan sosial dan
ketiadaan pendamping bagi masyarakat setelah mereka mendapatkan izin.
“Padahal ini program di Sumatera Selatan menurunkan angka kemiskinan,”
katanya.

Perhutanan sosial merupakan sebuah konsep yang menjadi andalan


kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo menurunkan angka
kemiskinan sejak 2015. Masyarakat, melalui kelompok petani, diberikan
akses mengelola kawasan hutan selama 35 tahun. Jokowi punya target
memberikan akses 12,7 juta hektare lahan hutan kepada masyarakat.
Menurut Bambang, luas perhutanan sosial tahun 2019 sudah bertambah
menjadi 13,8 juta hektare. Sampai 1 Juni 2019, izin perhutanan sosial
mencapai 3,09 juga hektare untuk 679.467 ribu keluarga.

Pemberian izin akses masyarakat sekitar hutan melalui surat keputusan ini
dilakukan melalui lima skema: hutan adat, hutan desa, kemitraan kehutanan
(masyarakat dengan pemegang izin kawasan hutan), hutan tanaman rakyat,
dan hutan kemasyarakatan.

Bambang mengakui problem utama kebijakan perhutanan sosial adalah


langkanya pendamping bagi masyarakat mencapai tujuan perhutanan sosial,
yakni kesejahteraan secara ekonomi melalui usaha hasil hutan, meredam
konflik sosial akibat sengketa lahan di kawasan hutan negara, dan tujuan
ekologi yakni tercapainya tutupan hutan di wilayah izin perhutanan sosial.
“Saya berharap KPH menjadi desainer pendampingan sampai membantu
petani menemukan pasar produk mereka,” kata dia.

Selama ini para pendamping datang dari lembaga-lembaga nonpemerintah


yang mendapat dukungan pembiayaan dari lembaga donor menjadi
pendamping masyarakat hingga bisa mendapatkan manfaat ekonomi dari
produk hasil hutan mereka. Padahal jumlah KPH kini mencapai 309 unit di
28 provinsi.

Kepada para Kepala KPH, peneliti, dan rimbawan Sumatera Selatan yang
hadir dalam diskusi, Bambang bahkan lebih jauh mendorong KPH berperan
aktif dengan menjadi verifikator pengajuan izin perhutanan sosial. Menurut
dia, lima balai KLHK di lima lokasi tak cukup personel memverifikasi dari
banyaknya izin perhutanan sosial yang masuk ke KLHK.

Ia menganjurkan KPH bekerja sama dengan Dinas Kehutanan Provinsi dan


gubernur membentuk tim percepatan verifikasi agar izin-izin yang masuk
segera diperiksa dari segi clear and clean lahan yang diajukan. Selama ini,
tersendatnya realisasi pemberian izin terhambat karena verifikasi yang lama
akibat personel tak seimbang dengan pengajuan.

Bambang mencontohkan Sumatera Barat yang dianggap berhasil


mengembangkan perhutanan sosial karena ada tujuh lembaga yang
menopang program ini. Badan Pelaksana DAS dan Hutan Lindung,
misalnya, menyuplai bibit pohon kepada petani, lembaga lain mencarikan
pasar, dan KPH serta NGO menjadi pendamping masyarakat.

Dekan Fakultas Kehutanan IPB Rinekso Soekmadi punya saran lain yang
lebih jitu: memberdayakan mahasiswa Fakultas Kehutanan. Menurut dia, kini
ada 68 perguruan tinggi yang memiliki jurusan kehutanan yang berpotensi
menjadi pendamping dalam program ini. “Apalagi kami sedang memperbarui
kurikulum pengajaran agar sesuai dengan perkembangan zaman,” katanya.

Generasi milenial, kata Rinekso, tak lagi cocok dengan gaya kurikulum
pedagogik berupa pengajaran di kelas. IPB, kata dia, sedang merancang
kurikulum yang akan memperbanyak jumlah waktu praktik di lapangan.
Mereka bisa diberdayakan menjadi pendamping perhutanan sosial. “Kami
bisa mengisikan 1-2 SKS tentang khusus materi perhutanan sosial,” kata
dia.

Realisasi perhutanan sosial di Sumatera Selatan seluas 105.367 hektare


lewat 146 surat keputusan untuk 22.651 kepala keluarga dari alokasi total
361.897 hektare. Angka kemiskinan Sumatera Selatan sebesar 12,82 persen
pada September 2018, lebih besar dari angka nasional sebesar 9,66 persen.
“Saya percaya perhutanan sosial menjadi solusi menurunkan kemiskinan,”
kata Bambang.

======

Haryanto, Ketua Tim menegaskan bahwa angka ini didapat dengan melakukan penapisan
dalam tiga skenario, dimana pengembangan PS akan diterapkan pada kawasan Hutan Produksi
dan Hutan Produksi Terbatas untuk produk hutan dan non hutan. Sementara masyarakat juga
bisa memanfaatkan jasa lingkungan dalam kawasan Hutan Lindung yang didorong sebagai area
PS.

KLHK sendiri sudah mengeluarkan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) berdasarkan
SK No 22 Tahun 2017. PIAPS merupakan instrumen yang disiapkan untuk memberikan arahan
kawasan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat dibawah skema Perhutanan Sosial, yakni
pengelolaan Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan dan
Hutan Hak berupa Hutan Adat. Saat ini, KLHK merasa hambatan terbesar yang dihadapi adalah
minimnya anggaran yang dialokasikan untuk program PS.

Hal tersebut bisa diatasi bila kehadiran Negara dalam menerapkan program percepatan PS
tidak hanya menunggu permohonan yang datang dari masyarakat. Pemerintah juga dapat
melakukan penunjukkan terhadap areal yang sudah dialokasikan melalui skema
pemberdayaan Desa.
“Bila Desa diberikan kewenangan untuk mengatur hak kelola hutannya, saya masih optimis bahwa capaian
12,7 juta Ha bukan isapan jempol belaka” Tegas Yando Zakaria dari Kantor Staf Kepresidenan. “Baru
nanti kemudian Desa yang melakukan tata ruang sesuai fungsi dari hutan itu, akankah dikelola sebagai HKM,
Hutan Desa, atau bahkan Hutan Adat. Saat ini ijin yang dikeluarkan justru hanya berpatokan pada
peruntukkan hutan saja, maka tak jarang bila yang diusulkan juga kadang ada di area yang sangat kecil.
Masa mau minta 60 ha aja harus ijin menteri”

Para ahlipun berpendapat untuk mewujudkan target 12,7 juta ha perhutanan sosial, perlu
sebuah gebrakan perubahan. Penguatan kapasitas, optimalisasi KPH dan Pokja PPS,
pendekatan berbasis komoditas lokal, penghapusan hambatan administrasi, perlu adanya
skema pembiayaan yang inovatif, dan perbaikan dalam aturan kebijakan yang berlaku. Revisi
terhadap P.83 tahun 2016 perlu dilakukan. Aturan turunan diperbaiki untuk dapat
mengakomodir sistem pelaksanaan PS yang berlaku secara dua arah.

======

Data terakhir (2019) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas kawasan hutan
Indonesia ), luas kawasan hutan menjadi  125,2 juta ha kawasan hutan yang dibedakan sesuai dengan
fungsinya. Rinciannya adalah  29,1 juta ha sebagai kawasan hutan produksi tetap, 26,7 juta ha sebagai
kawasan hutan produksi terbatas, 29,5 juta ha sebagai kawasan hutan lindung, 27,3 juta ha sebagai
kawasan konservasi, dan 12,8 juta ha hutan produksi yang dapat dikonversi untuk kebutuhan
pembangunan. 

Berdasarkan indentifikasi yang dilakukan Kementerian Kehutanan tahun 2007


dan 2008, jumlah desa yang berada didalam dan/atau berbatasan langsung
dengan kawasan hutan dengan kawasan hutan sebanyak 25.863 desa atau
26,66%. Sedangkan menurut Potensi Desa (PODES) tahun 2006 dan 2008, luas
desa hutan mencapai 88.942.792 ha. Jumlah penduduk yang mendiami desa
didalam dan disekitar hutan tersebut tercatat 37.197.508 jiwa atau 17,12%
dengan jumlah keluarga diperkirakan mencapai 9.221.299 KK atau 17,17%.

Ditinjau dari tipe/fungsi kawasan hutannya, sebagian terbesar desa terletak


pada Areal Penggunaan Lain (APL) mendominasi 61,7%. Porsi hampir
berimbang, kawasan hutan lindung dan hutan hutan produksi menguasai 21,2%
desa hutan. Secara terperinci, jumlah desa hutan yang berada dikawasan hutan
lindung mencapai 9.882 desa dan pada hutan produksi 9.116 desa.

Mengacu data survei rumah tangga di kawasan hutan, Departemen Kehutanan


dan BPS (2007), menyebutkan persentase rumah tangga miskin di sekitar
kawasan hutan sebanyak 18,5%, sehingga diperkirakan terdapat 1.720.384 KK
miskin (setara 6.881.539 jiwa) yang hidup pada seluruh desa di Indonesia.
Sumber penghasilan utama masyarakat desa hutan adalah sektor pertanian
dengan porsi terbesar pada budidaya tanaman pangan.
Berdasarkan data terakhir dari Kementerian LHK (2019), luas hutan di
Indonesia adalah 125,2 juta ha. Berdasarkan kawasan fungsinya terdiri dari
29,1 juta ha sebagai kawasan hutan produksi tetap, 26,7 juta ha sebagai
kawasan hutan produksi terbatas, 29,5 juta ha sebagai kawasan hutan lindung,
27,3 juta ha sebagai kawasan konservasi, dan 12,8 juta ha hutan produksi yang
dapat dikonversi untuk kebutuhan pembangunan.

Sedangkan areal penggunaan lain (APL) luasnya mencapai 67,4 juta ha. Meski
bukan kawasan hutan, ternyata 12% diantaranya masih memiliki tutupan hutan
luasnya 7,9 juta ha. Status sebuah lahan sebagai area penggunaan lain (APL)
menjadi wewenang mutlak pemerintah daerah. APL merupakan area di luar
kawasan hutan yang dapat digunakan untuk kegiatan  pembangunan non
kehutanan.

Pemerintah cq KLHK akhir tahun 2019 telah merilis bahwa program perhutanan
sosial telah menerbitkan  6.411 izin perhutanan sosial dan seluas 4,04 juta ha
untuk 818.457 kepala keluarga dan 5.208 izin kelompok usaha perhutanan
sosial (KUPS) diantaranya telah dilakukan penilaian/evaluasi oleh Ditjen
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK, dengan hasil baru
48 KUPS (0,92%) yang benar-benar mandiri/platinum. Sisanya,  433 (8,31%)
ada di tahap maju (emas/gold), 1.286 (24,69%) di tahap moderat
(silver/perak), dan yang terbanyak 3.441 (66,07%) masih di tahap awal (biru).

Meskipun KLHK belum merilis berapa unit izin yang telah dikeluarkan bagi hak
pengelolaan hutan desa (HPHD), namun dapat dipastikan bahwa unit HPHD
jumlahnya paling dominan dan banyak diantara 6.411 unit izin yang telah
diterbitkan. Bila  rata- rata satu unit HPHD diasumsikan luasnya 500 ha saja
maka izin HPHD yang telah dikeluarkan sebanyak kurang lebih 3.103 unit HPHD
atau hampir 48% total izin program perhutanan sosial yang ada. Termasuk
diantara dari 48 KUPS platinium dan 433 KUPS emas/gold -meskipun datanya
belum ada- dapat dipastikan HPHD termasuk yang paling dominan diantara
keduanya. Oleh karena itu, masuk akal apabila hutan desa dapat dikatakan
sebagai primadona perhutanan sosial diantara lima skema perhutanan sosial
yang ada.

Namun di balik prestasi yang membanggakan dari hutan desa tersebut ternyata
terdapat beberapa catatan kelemahan yang kurang menggembirakan dari
keberadaan kegiatan hutan desa selama ini. Izin HPHD boleh banyak
jumlahnya, tetapi setelah ditelisik dari Kementerian Desa (Kemendes) dan
informasi pendamping kegiatan perhutanan sosial khususnya skema desa
hutan, implementasi di lapangan (di tingkat tapak) mengalami banyak kendala.
Khususnya dalam hal pendanaan sebagai pengungkit unit usaha kegiatan hutan
desa. Sebagai primadona, jumlah izin perhutanan sosial, hutan desa memang 
nyata. Namun sebagai satu kesatuan unit usaha kehutanan yang harus
melakukan kegiatan on farm maupun off farm hutan desa belum dapat disebut
primadona perhutanan sosial.

Sinergitas Program Lainnya

Sejak Joko Widodo diangkat menjadi presiden RI tahun 2014 lalu, desa sebagai
unit terkecil pemerintahan di Indonesia menjadi fokus utama pembangunan
mulai dari pinggiran di wilayah kesatuan Republik Indonesia.

Lihat saja, salah satu usaha presiden dalam melakukan pemerataan di seluruh
wilayah Indonesia diwujudkan melalui dana desa yang dialokasikan khusus
dalam APBN. Dana desa pertama kali digulirkan pada tahun 2015 dengan
jumlah anggaran sebesar Rp20,76 triliun.

Alokasi dana desa terus meningkat. Di tahun 2016 menjadi Rp46,9 triliun,
kemudian Rp60 triliun pada tahun 2017, dan tahun 2018. Tahun 2019 sebesar
Rp70 trillun dan tahun 2020, sebesar Rp72 trilliun.

Sejak digulirkannya dana desa, tercatat telah mewujudkan pembangunan yang


cukup besar di desa. Hingga akhir 2016 saja, tercatat sebanyak 66.884 km
jalan desa berhasil terbangun, 511,9 km jembatan, 1.819 unit pasar desa,
14.034 unit sumur, 686 unit embung, 65.998 drainase, 12.596 unit irigasi,
11.296 unit PAUD, 3.133 unit Polindes, 7.524 Posyandu, 38.184 unit penahan
tanah, 1.373 unit tambatan perahu, 16.295 unit air bersih, dan 37.368 unit
MCK.

Sayangnya dari total anggaran sebesar Rp329,66 trillun dari tahun 2015-2020,
belum terdapat dana desa yang  yang menyentuh pembangunan, peningkatan
dan pengembangan kegiatan hutan desa secara signifikan.

Namun di balik prestasi yang membanggakan dari hutan desa tersebut ternyata
terdapat beberapa catatan kelemahan yang kurang menggembirakan dari
keberadaan kegiatan hutan desa selama ini. Izin HPHD boleh banyak
jumlahnya, tetapi setelah ditelisik dari Kementerian Desa (Kemendes) dan
informasi pendamping kegiatan perhutanan sosial khususnya skema desa
hutan, implementasi di lapangan (di tingkat tapak) mengalami banyak kendala.
Khususnya dalam hal pendanaan sebagai pengungkit unit usaha kegiatan hutan
desa. Sebagai primadona, jumlah izin perhutanan sosial, hutan desa memang 
nyata. Namun sebagai satu kesatuan unit usaha kehutanan yang harus
melakukan kegiatan on farm maupun off farm hutan desa belum dapat disebut
primadona perhutanan sosial.

Sinergitas Program Lainnya

Sejak Joko Widodo diangkat menjadi presiden RI tahun 2014 lalu, desa sebagai
unit terkecil pemerintahan di Indonesia menjadi fokus utama pembangunan
mulai dari pinggiran di wilayah kesatuan Republik Indonesia.

Lihat saja, salah satu usaha presiden dalam melakukan pemerataan di seluruh
wilayah Indonesia diwujudkan melalui dana desa yang dialokasikan khusus
dalam APBN. Dana desa pertama kali digulirkan pada tahun 2015 dengan
jumlah anggaran sebesar Rp20,76 triliun.
Alokasi dana desa terus meningkat. Di tahun 2016 menjadi Rp46,9 triliun,
kemudian Rp60 triliun pada tahun 2017, dan tahun 2018. Tahun 2019 sebesar
Rp70 trillun dan tahun 2020, sebesar Rp72 trilliun.

Sejak digulirkannya dana desa, tercatat telah mewujudkan pembangunan yang


cukup besar di desa. Hingga akhir 2016 saja, tercatat sebanyak 66.884 km
jalan desa berhasil terbangun, 511,9 km jembatan, 1.819 unit pasar desa,
14.034 unit sumur, 686 unit embung, 65.998 drainase, 12.596 unit irigasi,
11.296 unit PAUD, 3.133 unit Polindes, 7.524 Posyandu, 38.184 unit penahan
tanah, 1.373 unit tambatan perahu, 16.295 unit air bersih, dan 37.368 unit
MCK.

Sayangnya dari total anggaran sebesar Rp329,66 trillun dari tahun 2015-2020,
belum terdapat dana desa yang  yang menyentuh pembangunan, peningkatan
dan pengembangan kegiatan hutan desa secara signifikan.

Kondisi ini mengisyaratkan bahwa meskipun koordinasi dan sinkronisasi


program perhutanan sosial di tingkat dua kementerian (KLHK dan Kemendes)
sudah cukup baik dengan terbitnya Permendes yang mengizinkan penggunaan
sebagian dana desa untuk kegiatan hutan desa , namun sayang di tingkat
tapak, implementasinya tidak berjalan sesuai dengan harapan akibat dari
egosektoral masing masing pendamping (pendamping desa dan
pendamping/penyuluh kehutanan) dan kepala desa untuk kegiatan hutan desa.

Bilamana program perhutanan sosial khususnya skema hutan desa yang banyak
memberdayakan masyarakat desa itu, dapat berjalan dengan baik sesuai
dengan harapan presiden Joko Widodo pada launching Rembug Nasional tahun
2017 yang lalu, nampaknya kedua kementerian (KLHK dan Permendes) perlu
memberikan dorongan yang lebih tegas lagi dalam bentuk regulasi bersama
(peraturan menteri bersama antara Menteri KLHK dan Menteri Kemendes) yang
mengatur tentang maksimum prosentase penggunaan dana desa untuk
kegiatan hutan desa berikut mekanisme pemanfaatannya ditingkat tapak bagi
desa desa yang mempunyai wilayah kawasan hutan negara yang mengajukan
izin HPHD.

Di tingkat tapak, sosialisasi dan pemahaman tentang hutan desa, unit usaha
kehutanan  yang dilakukan dan pemanfaatan dana desa untuk kegiatan hutan
desa, wajib dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Dinas/Kantor  Pemberdayaan
Masyarakat Desa di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan  maupun desa dan
dilakukan secara intensif sehingga dapat mengikis dan menghilangkan
egosektoral yang selama ini terjadi. Dengan demikian, para pihak (stake
holder) yang terlibat dalam kegiatan hutan desa, tidak ada alasan lagi untuk
tidak tahu, tidak paham dan sebagainya tentang kegiatan hutan desa dan
pemanfaatan dana desa.

Presiden sangat berharap dengan program reformasi agraria, khususnya


kegiatan perhutanan sosial dan lebih khusus lagi kegiatan hutan desa yang
banyak memberdayakan masyarakat desa hutan itu berjalan baik dan berhasil
sesuai dengan rencana. Masa periode pertama pemerintahan Jokowi-JK,
kegiatan perhutanan sosial diharapkan mampu memanfaatkan kawasan hutan
seluas 12,7 juta ha. Namun, faktanya sampai akhir tahun 2019, realisasinya
hanya mampu memanfaatkan kawasan hutan seluas 4,04 juta ha saja atau
sekitar 31,81%.

Padahal menurut Dirjen PSKL KLHK, apabila 12,7 juta ha kawasan hutan dapat
terealisasi semua (100%), maka akan mampu melibatkan tiga juta Kepala
Keluarga (KK) atau 12 juta orang yang artinya membantu mengurangi angka
kemiskinan. Namun sayang , progres saat ini baru 4,04 juta ha yang melibatkan
818.457 KK, atau 3.273.828 jiwa.

Sayang memang. Kita berharap pada  akhir pemerintahan Jokowi- Ma’ruf Amin
tahun 2024 nanti, target 12,7 juta ha pada  program reforma agraria khususnya
perhutanan sosial dapat terealisasi semua dengan baik. Semoga.
====

Berdasarkan penelitian kami, terdapat empat rekomendasi bagi pemerintah


untuk mengoptimalkan peran Hutan Desa dalam mengentaskan kemiskinan
dan menekan laju deforestasi:

1) Fokus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membantu


mereka mendapatkan sumber penghasilan dari hasil hutan nonkayu
(contohnya karet), dan mengakui adanya pengetahuan tradisional atau adat
yang bisa digunakan dalam mengelola hutan.

2) Tingkatkan sumber daya manusia dan finansial untuk menunjang program


dan memastikan keberlangsungan restorasi lahan gambut kritis, terutama di
Hutan Desa sekitar hutan tanaman industri dan perkebunan sawit.

Sekitar 40% area di bawah skema Perhutanan Sosial berlokasi dekat dengan
hutan tanaman industri dan perkebunan sawit dan tersebar di Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan bagian selatan Provinsi Papua
Barat.

3) Integrasi skema Perhutanan Sosial di sekitar area hutan tanaman industri


atau perkebunan sawit dengan mekanisme sertifikasi, seperti Indonesian
Sustainable Palm Oil (ISPO) atau _Roundtable on Sustainable Palm
Oil _(RSPO).
Harapannya, integrasi ini mampu memberikan posisi tawar bagi penduduk
desa di hadapan pengusaha kebun atau hutan, terutama ketika mereka ingin
memperoleh bantuan finansial.

4) Sebar data Kementerian Agraria dan Tata Ruang ke publik.

Hal ini penting untuk meningkatkan transparansi, serta menurunkan risiko


saling menyalahkan dan membuat kita kembali kepada posisi awal.

=======

Jika diproyeksikan secara nasional, menurut data PIAPS bahwa perhutanan sosial pada Hutan
Produksi (HP) ditargetkan seluas 4.328.612 hektar dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas
4.445.521 hektar.[2] Artinya, setidaknya alokasi 8,7 juta hektar dapat dimanfaatkan untuk
memproduksi hasil hutan kayu.

Mengacu data series 2015-2019 yang dirilis oleh KLHK (2020), hutan alam dapat menghasilkan
kayu rata-rata sebesar 6,78 juta m3 per tahun dan hutan produksi sebesar 36,36 juta m3 per tahun.[3]
Dengan demikian, secara total dihasilkan kayu bulat sebesar 43,14 juta m3 per tahun. Selanjutnya,
ekspor kayu olahan pada tahun 2019 secara nasional sebesar 17.958.160 m 3. Dengan asumsi
rendemen 30%, estimasi kebutuhan kayu bulat secara nasional sebesar 58,86 juta m 3.

Artinya, alokasi areal perhutanan sosial (PIAPS) dan kayu perhutanan sosial masih berpeluang
untuk ikut berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan kayu bulat nasional. Dengan pembuktian
pemanenan kayu dari Yogyakarta, perhutanan sosial sangat relevan untuk terus dikawal dan
dikembangkan di Indonesia.

Perhutanan sosial juga dapat memberikan  kontribusi pada pengentasan kemiskinan bagi
masyarakat sekitar hutan. Dengan hasil penebangan kayu tersebut, masyarakat sekitar hutan dapat
memperoleh pendapatan tambahan dari pengusahaan kayu kehutanan.

Setidaknya jika mengulas perhutanan sosial dan penurunan kemiskinan dapat diperoleh dari
beberapa referensi perhutanan sosial. Kemitraaan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan (2018),
menyatakan bahwa terdapat 31.957 desa yang berinteraksi langsung dengan hutan, 71,06 persen
dari desa-desa ini masih menggantungkan penghidupannya dari sumberdaya hutan. Sekitar 12 juta
masyarakat hidup di pinggiran hutan dan 66 persen di antaranya adalah miskin.[4]   Ini artinya jika
tata kelola perhutanan sosial diurus dengan baik, maka dapat memberikan dampak yang cukup
signifikan bagi desa-desa sekitar hutan.

Jika hanya melihat pada hasil kayu, memang perhutanan sosial pada hutan produksi dapat
berdampak positif pada pemenuhan kayu secara nasional dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Namun, jika melihat pada proses tidaklah mudah bagi pemegang izin perhutanan sosial
untuk memenuhi prosedur penebangan dan dokumentasi legalitas kayu. Seperti telah disinggung di
atas, bahwa pemegang izin juga harus mematuhi SIPUHH.

Menurut PermenLHK Nomor P.67/2019, Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan Kayu atau
disebut SIPUHH adalah adalah sistem informasi berbasis web yang digunakan sebagai sarana
pencatatan dan pelaporan secara elektronik dalam pelaksanaan penatausahaan hasil hutan.
Sedangkan, Penatausahaan Hasil Hutan Kayu atau disebut PUHH adalah kegiatan pencatatan dan
pelaporan perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, pengukuran dan pengujian,
penandaan, pengangkutan/ peredaran, serta pengolahan hasil hutan kayu.

Menurut Javlec (2020), bahwa untuk memenuhi penatausahaan hasil hutan kayu pada hutan
kemasyarakatan, kelompok tani pemegang izin hutan kemasyarakatan dapat menjalankan SIPUHH
karena adanya pendampingan secara terus menerus dalam mendokumentasikan hasil penebangan
dan aplikasi SIPUHH.[5] Dengan keterbatasan kapasitas sebagai petani hutan dalam tahapan
prosedur legalitas penatausahaan kayu, pendampingan dapat berasal dari dinas kehutanan,
perguruan tinggi, atau pun lembaga swadaya masyarakat.

Memang berbeda dengan pemegang izin dari korporasi, kelompok tani memiliki keterbatasan dalam
kapasitas sumberdaya manusia maupun limitasi modal untuk penebangan. Keterbatasan kapasitas
SDM dapat dilakukan dengan peningkatan kapasitas dan pendampingan. Ini dapat dilakukan oleh
dinas kehutanan atau Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).

Namun, untuk menjawab limitasi modal penebangan diperlukan “bapak angkat” dari pihak lain.
Seperti diketahui, bahwa provisi sumberdaya hutan (PSDH) harus dibayar ketika kayu masih di
Tempat Penampunag Kayu. Artinya, kayu belum dapat diperdagangkan karena pemegang izin
harus menyelesaikan kewajiban membayar provinsi sebagai penerimaan negara bukan pajak. Ini
yang membutuhkan kerjasama dengan pemodal atau pengusaha industri kayu.

Di sinilah, fasilitasi akses pemasaran kayu diperlukan untuk kelompok tani. Fasilitasi dapat dibantu
oleh lembaga swadaya masyarakat atau dinas kehutanan untuk membangun kerjasama antara
pemodal dengan kelompok tani sebelum penebangan kayu dilakukan.
Jika perhutanan sosial akan diproyeksikan untuk dapat berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan
kayu secara nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakt maka diperlukan perbaikan tata
kelola perhutanan sosial pada hutan produksi. Beberapa opsi yang dapat dipertimbangkan oleh
pemerintah adalah sebagai berikut:

 Pemerintah dapat menerbitkan prosedur penatausahaan hasil hutan kayu untuk perhutanan
sosial yang lebih sederhana, mudah diakses dan dioperasikan oleh kelompok tani hutan.
 Pemerintah dapat memberikan fasilitasi pendampingan dalam operasional Sistem Informasi
Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) dan subsidi untuk PSDH bagi kelompok tani HKm.
 Pemerintah dapat menunjuk Kesatuan Pengelolaan Hutan untuk melakukan kerjasama
teknis penebangan kayu dengan kelompok tani HKm, termasuk di dalamnya operasional
Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH).
 Pemerintah dapat membangun fasilitasi skema kemitraan penebangan kayu antara industri
primer dengan kelompok pemegang izin perhutanan sosial. Ini untuk menjawab keterhubungan
hulu-hilir sektor perhutanan sosial agar dapat menjamin keterserapan kayu dengan harga yang
wajar sesuai mekanisme pasar kayu. Hal ini diperlukan karena pemegang izin perhutanan
sosial memiliki keterbatasan teknis dan pengetahuan pasar kayu.

=====

Program silvopastura adalah bentuk agroforestri yang menggabungkan kegiatan kehutanan


dan peternakan dalam satu sistem pengelolaan lahan

Silvofishery adalah sistem pertambakan teknologi tradisional yang menggabungkan antara


usaha perikanan dengan penanaman mangrove, yang diikuti konsep pengenalan sistem
pengelolaan dengan meminimalkan input dan mengurangi dampak terhadap lingkungan

=====

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL)
KLHK, hasil pemantauan hutan Indonesia Tahun 2019, menunjukkan bahwa luas lahan berhutan
seluruh daratan Indonesia adalah 94,1 juta ha atau 50,1% dari total daratan.

"Dari jumlah tersebut, 92,3% dari total luas berhutan atau 86,9 juta ha, berada di dalam kawasan
hutan," kata Direktur Jenderal PKTL Sigit Hardwinarto.

======

Perhutanan Sosial adalah Sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan
negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan
kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya. Pemerintah untuk periode
2015-2019 mengalokasikan 12,7 juta hektare untuk Perhutanan Sosial, melalui skema:

1. Hutan Desa (HD) dengan tenurial HPHD atau Hak Pengelolaan Hutan Desa;

2. Hutan Kemasyarakatan (HKm), izin yang diberikan adalah IUP HKm atau Izin Usaha Pemanfaatan
Hutan Kemasyarakatan;

3. Hutan Tanaman Rakyat (HTR), izin yang diberikan adalah IUPHHK-HTR atau izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Rakyat;

4. Hutan Adat (HA), tenurialnya adalah Penetapan Pencantuman Hutan Adat;

5. Kemitraan Kehutanan (KK) dalam bentuk KULIN KK atau Pengakuan Perlindungan Kemitraan
Kehutanan dan IPHPS atau Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial di Pulau Jawa.

Permohonan HPHD, IUP HKm dan IUPHHK HTR dapat ditujukan melalui Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan atau Gubernur setempat.

=====

Luas hutan Indonesia, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup


dan Kehutanan, seluas 125 juta hektare. Dari luas tersebut setiap tahun
sejak 1990 hutan yang hilang (forest loss) sebanyak 178 juta hektare
atau setara luas satu negara Libya. Meski begitu laju kehilangan
tutupan hutan menurun tiap dekade. Pada 1990-2000 kehilangan
tutupan hutan seluas 7,8 juta hektare, menurun menjadi 5,2 juta
hektare pada 2000-2010, dan turun tinggal 4,7 juta hektare pada 2010-
2020.

FAO (2000) merumuskan bahwa hutan adalah lahan yang luasnya


minimal 0,5 hektare dan ditumbuhi pepohonan dengan persentase
penutupan tajuk minimal 10% yang pada usia dewasa mencapai tinggi
minimal 5 meter.

Menteri Kehutanan Indonesia pada 2004 melalui peraturan nomor 14


mendefinisikan hutan sebagai lahan seluas minimal 0,25 hektare yang
ditumbuhi pepohonan dengan persentase penutupan tajuk minimal
30% yang pada akhir pertumbuhan mencapai tinggi minimal 5 meter.

Jika pada 1990-2000 deforestasi seluas 16 juta hektare, pada 2000-


2010 turun menjadi 15 juta hektare, turun lagi pada 2010-2015
menjadi 12 juta hektare, dan lima tahun terakhir tinggal 10 juta
hektare.

Penurunan deforestasi ini berkaitan dengan penghutanan kembali


sejumlah wilayah. Seluas 3,75 miliar hektare atau 93% luas hutan di
dunia merupakan hutan regeneratif alamiah dan 7% berupa hutan
tanaman. Meski begitu, kecepatan penghutanan kembali hutan alam
menurun dari tahun ke tahun, dari 12 juta hektare pada 1990-2000
menjadi 8 juta hektare pada sepuluh tahun terakhir.

Yang mencemaskan dari laporan ini adalah makin berkurangnya luas


hutan publik dibanding hutan milik (22%). Kandungan kayu di hutan
global juga menurun dari 560 juta meter kubik kayu menjadi 557 juta
meter kubik. Artinya, meski hutan alam bertambah, pohonnya makin
mengecil dibanding 30 tahun lalu.

Kaitan hutan dengan pemanasan global adalah cadangan karbon yang


bisa disimpan oleh ekosistem hutan. Cadangan karbon terbesar (45%)
terdapat dalam tanah, sementara biomassa yang ada di dahan, daun,
ranting hanya 44%. Sisanya terdapat di serasah (6%), dan kayu lapuk
(4%).

Dari total luas hutan tersebut, sebanyak 30% hutan dipakai untuk
keperluan produksi kayu dan non-kayu. Hanya 10% atau 424 juta
hektare untuk keperluan proteksi dan perlindungan keragaman hayati.
Lainnya seluas 339 juta hektare sebagai sumber air dan 180 juta
hektare untuk layanan sosial seperti ekoturisme

======
Bogor, 17 Agustus 2020. Selama 75 Tahun Merdeka, Indonesia telah tujuh kali
berganti rezim pemerintahan dan telah kehilangan hutan alam lebih dari 23
juta hektare atau setara dengan 75 kali luas Provinsi Yogyakarta. Setidaknya
kehilangan hutan seluas itu adalah angka yang tercatat di FWI sejak tahun
2000-2017. Sejak saat itu, kita belum juga mampu menghadirkan tata kelola
hutan yang baik. Kondisi hutan alam yang terus berkurang dan terdegradasi
merupakan akumulasi dari lemahnya tata kelola hutan yang terjadi dari tahun
ke tahun. Pada rentang tahun 2000-2009, Indonesia kehilangan hutan alam
seluas 1,4 juta ha/tahun. Pada periode selanjutnya (2009-2013) luasan hutan
alam yang hilang berkurang menjadi 1,1 juta ha/tahun dan kembali naik pada
periode 2013-2017 menjadi 1,4 juta ha/tahun. Temuan ini tentu menjadi alarm
bagi pemerintah khususnya KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan) untuk lebih serius dalam mencegah kerusakan hutan alam di
Indonesia demi menjaga keberlangsungan hajat hidup rakyat Indonesia.

Berdasarkan hasil kajian FWI, pada periode 2013-2017 angka deforestasi


hutan alam di indonesia sebesar 5,7 juta hektare dengan 2,8 juta hektare
berada dalam konsesi dan 2,9 juta hektare lainnya berada di luar konsesi.
Angka deforestasi tersebut seharusnya menjadi trigger untuk mendalami lebih
lanjut apa penyebab deforestasi  yang terjadi di Indonesia. Apakah akibat
aktivitas illegal logging, kinerja konsesi yang belum sejalan dengan upaya
pencegahan deforestasi atau memang justru bagian dari deforestasi yang
direncanakan.

Angka yang berbeda justru dikeluarkan oleh pemerintah, KLHK menyatakan


bahwa deforestasi di Indonesia terus berkurang dari tahun ketahun. Melihat
data resmi pemerintah, pada periode tahun yang sama (2013-2017) hutan
yang terdeforestasi di Indonesia seluas 2,7 juta hektare. Perbedaan mengenai
makna deforestasi disinyalir menjadi salah satu landasan munculnya
perbedaan angka yang cukup timpang. “Pendefinisian deforestasi saat ini
dapat mengaburkan realitas atas kehilangan hutan alam yang sebenarnya,
sehingga perlu dikembalikan motivasinya dalam kerangka penyelamatan
hutan alam Indonesia” terang Mufti Barri, Manajer Kampanye FWI.

Beberapa instrumen dalam upaya penurunan laju deforestasi seperti


sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan verifikasi legalitas
kayu (VLK) juga belum mampu menjawab permasalahan deforestasi di
Indonesia. Meski sebagian besar izin konsesi pemanfaatan kayu sudah
bersertifikat, tetapi masih menunjukkan adanya deforestasi yang terjadi.
Deforestasi terjadi di konsesi IUPHHK-HA (HPH) dan IUPHHK-HT (HTI) yang
sudah tersertifikasi sekitar 356 ribu hektare.  Dalam IUP perkebunan kelapa
sawit, dengan skema ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) pun ternyata belum
terbebas dari deforestasi. Analisa FWI menunjukan dari 2,3 juta hektare yang
sudah bersertifikat ISPO masih terdapat deforestasi sekitar 52 ribu hektare.
Deforestasi di konsesi tambang sekitar 700 ribu hektare dan deforestasi di
wilayah yang tumpang tindih antara HPH, HTI, kebun dan tambang sekitar
786 ribu hektare. Begitu juga untuk deforestasi di luar konsesi sekitar 2,9 juta
hektare, yang bahkan menjadi samar apa penyebabnya.

Sehingga solusi tawaran perlindungan hutan alam oleh pemerintah melalui


moratorium hutan dan sawit, penurunan emisi atau perlindungan untuk areal
dengan nilai keanekaragaman hayati tinggi, ataupun sistem sertifikasi yang
berkelanjutan belum secara optimal menjawab persoalan deforestasi di
Indonesia. Terlepas dari efektif atau tidaknya semua kebijakan-kebijakan
tersebut. Atau bisa jadi memang solusi tersebut belum bisa menjangkau
seluruh penyebab deforestasi.
“Pemerintah perlu untuk mendalami apa saja yang menjadi penyebab
langsung atau tidak langsung berikut dengan motif dari pelaku kerusakan,
agar bisa dipahami persoalannya dengan benar dan solusi tawarannya
menjadi lebih tepat. Identifikasi dan upaya pencegahan deforestasi juga harus
didorong hingga level tapak, karena disetiap tapak kompleksitas
permasalahannya sangat mungkin berbeda satu sama lainnya dan solusinya
pun bisa sangat berbeda.” tutup Mufti F. Barri (Manajer Kampanye FWI).

======

Perkebunan dan Hutan Produksi Terbatas

Terkait dengan pemanfaatan Hutan Produksi untuk dimanfaatkan sebagai perkebunan, bisa dikritisi
dengan memahami regulasi mengenai Hutan Produksi Terbatas (HPT), menurut Pasal 1 angka 10
Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi
Kawasan Hutan (PP 104/2015), bahwa HPT adalah Kawasan Hutan dengan faktor-faktor kelas lereng,
jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai
jumlah nilai antara 125 sampai dengan 174 di luar kawasan Hutan Lindung, hutan suaka alam, hutan
pelestarian alam, dan Taman Buru.

Di sini diasumsikan bahwa lahan berstatus HPT tersebut merupakan hutan negara. Oleh karena itu,
pengalihan status hutan menjadi lahan perkebunan adalah pengalihan status tanah milik negara menjadi
Hak Guna Usaha (HGU).

HGU diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU 39/2014),
Jenis Usaha Perkebunan terdiri atas usaha budi daya Tanaman Perkebunan, usaha Pengolahan Hasil
Perkebunan, dan usaha jasa Perkebunan. Kegiatan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dan/atau
usaha Pengolahan Hasil Perkebunan hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah
mendapatkan hak atas tanah dan/atau izin Usaha Perkebunan.

Pada dasarnya pelaku usaha perkebunan dapat diberi hak atas tanah untuk Usaha Perkebunan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal terjadi perubahan status kawasan hutan
negara atau Tanah terlantar, Pemerintah Pusat dapat mengalihkan status atas hak kepada Pekebun
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perubahan HPT diatur berdasarkan PP 104/2015, kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan
oleh pemerintah daerah berdasarkan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang
ditetapkan dengan Peraturan Daerah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang dan berdasarkan tata ruang yang berlaku tetap sesuai dengan tata ruang
sebelumnya namun berdasarkan UU Kehutanan, areal tersebut menurut peta Kawasan Hutan yang
terakhir:
a. Merupakan kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi, diproses melalui Pelepasan Kawasan
Hutan; atau
b. Merupakan kawasan Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi Terbatas diproses melalui Tukar
Menukar Kawasan Hutan, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya PP
104/2015 dapat mengajukan permohonan Pelepasan Kawasan Hutan atau Tukar Menukar Kawasan
Hutan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia.

Maka pelepasan Kawasan Hutan dan Tukar Menukar Kawasan Hutan ini merupakan Perubahan
Peruntukan Kawasan Hutan secara parsial. Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan adalah perubahan
Kawasan Hutan menjadi bukan Kawasan Hutan.

Tukar Menukar Kawasan Hutan adalah perubahan kawasan Hutan Produksi Tetap dan/atau Hutan
Produksi Terbatas menjadi bukan Kawasan Hutan yang diimbangi dengan memasukkan lahan pengganti
dari bukan Kawasan Hutan dan/atau Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi yang produktif menjadi
kawasan Hutan Tetap.

Tukar Menukar Kawasan Hutan dilakukan dengan ketentuan:

a. Tetap terjaminnya luas Kawasan Hutan paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari luas Daerah
Aliran Sungai (DAS), pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional; dan
b. Mempertahankan daya dukung kawasan Hutan Tetap layak kelola.

Tukar Menukar Kawasan Hutan dapat dilakukan dengan lahan pengganti dari:

a. Lahan bukan Kawasan Hutan; dan/atau


b. Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi

Permohonan Tukar Menukar Kawasan Hutan diajukan oleh pemohon kepada Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan. Menteri LHK kemudian membentuk tim terpadu yang menyampaikan hasil penelitian
dan rekomendasi kepada Menteri LHK. Berdasarkan hasil penelitian dan rekomendasi tim terpadu,
Menteri LHKI menerbitkan persetujuan prinsip Tukar Menukar Kawasan Hutan atau surat penolakan.

Anda mungkin juga menyukai