POTENSI BUDAYA
a. TRADISI LISAN
1. Martutur atau Martarombo Marga
Martutur atau martarombo penting diketahui oleh suku batak agar tidak dikatakan manusia
yang tidak mengerti tata keramah atau sopan santun . Tradisi ini artinya saling mengenal margamu
apa marga saya apa, nanti di urut silsilah marganya hingga ketemu benang merahnya maka kita tahu
apakah martulang apa Amang Boru.
Misal seorang anak laki laki yang ber Marga Situmorang, bertemu orang yang lebih muda
dari dia dengan marga Sinaga, Simatupang , Nainggolan , aritonang, Siregar, kedua laki laki ini
martutur dan martarombo sehinnga mereka tahu rumpun mereka sama. Demikian juga marga-
marga lain yang ada di Daerah ini.
Biasanya dalam tutur sapa atau memanggil orang yang ada di Desa kita masih sangat kental
ditekankan, antara lain :
Panggilan atau sebutan ini masih sangat lekat di lingkungan masyarakat kita sekarang ini,
dikarenakan jika kita menyapa atau memanggil orang lain tanpa sebutan tersebut maka kita
dikatakan “ Orang yang tidak memiliki Sopan santun”.
Apakah tuhor ni boru harus mahal? jawabannya tidak karena kembali kedua pihak calon
pengantinnya jika Marsada Roha atau satu hati maka uang bukan segalanya pernikahan tetap bisa
berlangsung dengan nominal tuhor ni boru semampu ekonominya.
a. Jelang Tahun baru setelah Natal pas di tengah pergantian tahun umat Kristen dan Katolik
merayakan hari Raya.
b. Mandok Hata atau Kata yang di utarakan adalah mengakui kesalaha selama tahun
sebelumnya dan meminta maaf ke setiap keluarga yang ada pada kumpulan malam itu dan
Sungkem pada kedua Orang tua, semoga di tahun baru ini di maafkan, intinya silaturahmi.
”Secara teknis Mandok hata ini semacam Sharing Session atau Kumpul Silaturahmi, bermaaf
maafan”.
b. Manuskrip
c. Adat Istiadat
Falasafah adat Batak Toba dikenal dengan Dalihan Na Tolu artinya 3 adat yang
harus dipahami seorang keturunan batak. Dalihan Na Tolu ini sebagai modal
keturunan batak ketika akan merantau jauh dari bona pasogit. Seperti saya dan
suami harus menjalankan falsafah adat Batak Toba ini dimanapun kami berada.
1. Somba Marhula-hula
Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi
yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-
suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat
kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
2. Manat Mardongan Tubu
Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki
satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang
pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking
dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat
hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah
dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada
semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada
saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
3. Elek Marboru
Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga
(keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai ‘parhobas’ atau
pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap
upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa
diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil
hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Kedua, kelahiran anak pasti diadakan adat batak namanya “Makkaroani”. Nah,
pada saat posesi ini si anak disahkan namanya dan diperkenalkan kepada seluruh
keluarga dan kerabat. Karena bagi adat batak anak pertama adalah pembawa
nama keluarga. Dalam proses semua adat batak nama anak pertama yang selalu
disebut. Maka anak pertama sangat dinanti-nantikan keluarga batak.
B. Jambar yang dibagi-bagikan untuk pihak laki-laki adalah dengke (baca : dekke/
ikan mas arsik) dan ulos yang dibagi sesuai peraturan. Pesta Adat Unjuk ini diakhiri
dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak.
8. Paulak Une
Acara ini dimasukkan sebagai langkah agar kedua belah pihak bebas saling
kunjung mengunjungi setelah beberapa hari berselang setelah upacara
perkawinan yang biasanya dilaksanakan seminggu setelah upacara perkawinan,
pihak pengantin laki-laki dan kerabatnya, bersama pengantin pergi ke rumah
pihak orang tua pihak pengantin perempuan. Kesempatan inilah pihak
perempuan mengetahui bahwa anak perempuanya betah tinggal di rumah
mertuanya.
9. Manjae
Setelah beberapa lama pengantin laki-laki dan perempuan menjalani hidup
berumah tangga (kalau laki-laki tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan
dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat tinggal) dan mata pencarian. Biasanya
kalau anak paling bungsu mewarisi rumah orang tuanya.
9. Maningkir Tangga
Upacara ini pihak perempuan pergi mengunjungi pengantin dirumah pihak laki-
laki, dimana mereka makan bersama melakukann pembagian jambar. Pada
hakekatnya maningkir tangga ini dimaksudkan agar pihak perempuan secara
langsung melihat dari keadaan putrinya dan suaminya karena bagaimanapun
mereka telah terikat oleh hubungan kekeluargaan dan sekaligus memberi
nasehat dan bimbingan kepada pengantin dalam membina rumah tangga.
Kelima, Kematian dalam tradisi Batak, orang yang meninggal akan mengalami
perlakuan khusus, terangkum dalam sebuah upacara adat kematian. Upacara adat
kematian tersebut diklasifikasi berdasar usia dan status yang meninggal. Untuk
yang meninggal ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) belum
mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Tetapi bila
meninggal ketika masih bayi (mate poso-poso), meninggal saat anak-anak (mate
dakdanak), meninggal saat remaja (mate bulung), dan meninggal saat sudah
dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut
mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas
masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-
poso berasal dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate
bulung, ulos dari tulang (saudara laki-laki Mamak) yang meninggal .
Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila
orang yang meninggal :
1. Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-
alangan / mate punu),
2. Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil
(mate mangkar),
3. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang
kawin, namun belum bercucu (mate hatungganeon),
4. Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate
sari matua), dan
5. Telah bercucu tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua). Mate
Saurmatua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena meninggal
saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat
kematian tertinggi diatasnya, yaitu mate saur matua bulung (meninggal ketika
semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya
cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan). Namun
keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan
tidak memiliki tanggungan anak lagi).
Ketujuh, Mangokkal Holi atau menggali dan memindahkan tulang belulang leluhur
merupakan tanda menghormati para leluhur. Lewat mangokal holi juga, orang
Batak Toba berharap mendapat limpahan berkat, berupa banyak keturunan,
panjang umur, dan kekayaan. Dan Mangokal holi juga akan mengangkat martabat
sebuah marga dengan menghormati orangtua dan para leluhur. Kuburan dan tugu
leluhur yang megah nan indah semakin menandakan kemakmuran ke suksesan
keturunan marga tugu tersebut.
Dalam upacara Mongokal Holi, tulang-tulang para leluhur dari keturunan marga
batak yang mengadakan acara mengali kembali kuburan atau makam para leluhur
mereka yang dulunya dikuburkan secara terpisah. Setelah tulan-berulang para
leluhur sudah dikumpulkan dan dicuci bersih, maka kemudaian tulang-tu;ang
tgersebut akan dimasukkan ke dalam kotak atau peti dan dikuburkan dalam sebuah
tugu peringatan yang telah dibangun. Di tugu peringatan inilah tulang-tulang leluhur
tersebut disatukan, Adapun proses dari menggali tulang hingga dikuburkan kembali
dalam Tugu memakan waktu berhari-hari dan membutuhkan dana yang besar.
Sangat panjang dan rumit sekali adat Batak Toba. Selain rumit, pasti sangat
membutuhkan energi, materi dan effort yang besar. Beginilah adat saya Batak
Toba dari jaman dahulu kala bergulir sampai sekarang. Dengan kelangsungan adat
istiadat Batak Toba mempererat tali persaudaraan dan memperkuat kekeluargaan
serta saling mengenal kerabat dekat maupun jauh.
Karena begitu banyaknya kerabat Batak Toba maka dibuatlah silsilah keturuan dari
jaman nenek moyang sampai generasi saat ini. Dan harus perlu dipelajari tentang
silsilah marga dan adat istiadat. Supaya saat merantau di negeri orang dan ketemu
dengan keturunan Batak Toba sudah tahu silsilah dan keturunannya
d. Permainan Rakyat
1. Marjalengkat
Marjalengkat biasaya dilakukan oleh anak-anak laki-laki menggunakan pohon bambu
terdiri dari 2 batang dengan ukuran panjang ±2 M, dan dibagian bawah biasaya
dipasangkan batok kelapa menjadi pijakaqn kaki untuk bisa berdiri dan berjalan.
2. Margala
Margala dewasa ini sudah mulai jarang dimainkan oleh anak-anak di Desa kita karena
harus dimainkan oleh lebih dari 10 orang. Permainan ini terlebih dulu membuat gambar
kotak berbentuk kamar-kamar yang masing-masing kamar dijaga oleh satu orang supaya
tidak bisa dimasuki oleh lawan bermain.
e. Olahraga Tradisional
1. Main Karet
2. Main Kelereng (Main Guli)
3. Jingkrak/Engklek/Kotak Sembilan
4. Main Perang-perangan
f. Pengetahuan Tradisional
Beberapa contoh pengetahuan tradisonal yang masih terdapat di Desa Barambang antara lain
: teknik pengobatan, ilmu tentang meramal, tafsir mimpi, maniti ari (melihat hari baik),
memanggil arwah, teknik pembuatan racun dan tawar, sampai kepada yang berkaitan
dengan ilmu perbintangan (astrologi).
g. Teknologi Tradisional
1. Bidang Transportasi : Rakit Bambu/ Rumbia.
2. Mengayam tikar dari daun pandan
3. Keranjang ayam dari kulit rumbia
4. Atap rumah dari daun Rumbia.
h. Seni
1. Seruling bambu
Seruling bambu bisa kita dengar hampir setiap harinya di Desa ini, seruling bambu
dimainkan oleh gembala-Gembala kerbau pada umumnya.
2. Gondang Batak
Gondang Batak biasanya digunakan pada acara-acara kematian.
i. Bahasa
1. Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia sebenarnya masih jarang kita gunakan di Desa ini, adapaun Bahasa ini
kita gunakan biasanya hanya untuk menyapa pendatang baru atau pada saat perantau
pulang kampung biasaya pada hari Lebaran atau Natal dan Tahun Baru.
3. Bahasa Pesisir/Baikko
Bahasa pesisir biasanya digunakan masyarakat Barangbang bisa kita dapati disekitar
pinggiran laut Barangbang, Bahasa ini di Gunakan oleh Orang-Orang yang beragama
Islam pada Khususnya. Di Desa ini disebut dengan “Bahasa Baikko”
j. Ritus
Tata cara upaca keagamaan.
Tata cara keagamaan di Desa kita ini sudah seperti tata cara keagamaan di Kota-kota pada
Umumnya. Di Desa ini sudah tidak bisa kita temukan lagi aliran-aliran kepercayaan seperti
crita-crita orang tua kita terdahulu.