Anda di halaman 1dari 143

KEGIATAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN KELAS PERUSAHAAN Pinus merkusii KPH BANYUMAS BARAT PERUM

PERHUTANI UNIT I JAWA TENGAH


(PERIODE II TAHUN 2009)

Oleh: SYAMPADZI NURROH E14050515

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hutan merupakan kekayaan negara yang perlu dimanfaatkan dan dikelola secara baik dan lestari untuk kepentingan bersama. Potensi hutan tidak terbatas hanya pada satu jenis pemanfaatan hasil berupa kayu saja, tetapi juga berupa pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) diantaranya berupa rotan, madu, getah, jasa lingkungan, dan fungsi hidrologis serta fungsi HHNK lainnya. Indonesia memiliki potensi hutan yang sangat besar peranannya baik untuk keseimbangan ekosistem, peningkatan pendapatan negara, pemenuhan produksi, maupun sebagai pendukung pembangunan di sektor lain. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan upaya untuk menjaga dan memanfaatkan hutan dan hasilnya dengan bijaksana. Perum Perhutani meiliki tugas dan wewenang sesuai dengan PP Nomor 30 Tahun 2003 Pasal 2 adalah menyelengarakan pengelolaan hutan berdasarkan prinsip perusahaan dalam wilayah kerjanya. KPH Banyumas Barat Unit I jawa tengah merupakan KPH terbesar dalam produksi getah pinus (Pinus merkusii) dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Perhutani ke depan akan penuh berisis perubahan-perubahan baik di bidang sumber daya manusia, maupun orientasi bisnis yang ada. Hal ini untuk mengantisipasi turunya potensi sumber daya hutan serta melaksanakan amanat Meneg BUMN untuk lebih mengoptimalkan manfaat lingkungan yang dimiliki perhutani. Oleh karena itu Perum Perhutani ke depan harus menggali manfaat Non Kayu yang belum digali secara maksimal, dengan adanya keseimbangan pemanfaatan antara hasil hutan non kayu, maka eksistensi Perhutani dapat terjaga (Rosalina, 2009). Implikasi orientasi kebijakan tersebut adanya perubahan kelas perusahaan dari kayu menjadi kelas perusahaan getah dengan memperpanjang daur yang semula 35 tahun menjadi 50 tahun (surat nomor: 476/056.5/Can/Dir tanggal 6 September 2001). Sehingga optimalisai produksi Getah Pinus menjadi semakin mendesak dengan adanya perubhan kebijaksanaan Direksi tersebut (Hanafi 2003).

Upaya tersebut dapat dilakukan apabila didasari oleh pengalaman melihat, mengamati, memahami, merumuskan dan memecahkan masalah secara praktis maupun terkonsep secara teoritis dalam kegiatan-kegiatan kehutanan. Praktek Kerja Profesi (PKP) merupakan salah satu upaya untuk senantiasa membekali mahasiswa dengan ilmu pengetahuan, pengalaman serta peningkatan wawasan dan aplikasi bidang keilmuan yang diperoleh di kuliah terhadap dunia kehutanan. Pada kegiatan praktek ini, dilakukan proses pengumpulan data dan informasi, identifikasi serta perumusan masalah, memilih alternatif pemecahan masalah, rencana kerja serta evaluasi hasil kegiatan agar selanjutnya mampu memecahkan masalah-masalah tersebut secara mandiri. Sehingga dapat menjadi suatu pengalaman dalam mengelola potensi hutan baik dalam hal pelestarian maupun pemanfaatan hasil dengan bijaksana peranan potensi hutan yang ada dapat secara berkelanjutan dirasakan oleh masyarakat. Kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di KPH Banyumas Barat Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dilaksanakan pada tanggal 6 Juli sampai dengan 3 September 2009 dan terdiri atas kegiatan materi umum dan materi khusus. Kegiatan materi umum terdiri atas aspek perencanaan, silvikultur, pemungutan hasil, penelitian dan pengembangan, pengelolaan kawasan lindung, dan program pemberdayaan masyarakat. Sedangkan pada aspek materi khusus lebih ditekankan pada aspek pembangunan persemaian dan produksi bibit, penanaman, dan perlindungan hutan. Pelaksanaan kegiatan PKL secara keseluruhan baik materi umum maupun materi khusus dapat dijadikan sebagai masukan pengetahuan bagi pelaksana. Permasalahan-permasalahan yang terdapat di lapangan dapat dianalisis dan ditentukan solusi yang dapat direkomendasikan agar tercipta pengelolaan hutan secara lestari (sustainable forest management).

B. Tujuan Praktek Tujuan dari kegiatan Praktek Kerja Profesi di hutan tanaman antara lain: 1. Mahasiswa dapat mengenal dan memahami aktivitas dan sistem pengelolaan hutan tanaman secara menyeluruh yang dilakukan oleh perusahaan mencakup perencanaan, pembinaan hutan, dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan

2. Mahasiswa mampu melakukan pengambilan keputusan dalam kegiatan pengelolaan hutan tanaman berdasarkan ilmu pengetahuan silvikultur mencakup identifikasi masalah, perumusan masalah, pengumpulan data, analisis dan sintesis 3. Mahasiswa dapat menghayati kehidupan dan suasana kerja dalam pengelolaan hutan tanaman 4. Menumbuhkan dan mengembangkan etos kerja mahasiswa dalam lingkungan pengelolaan hutan tanaman.

II. KEADAAN UMUM LOKASI PRAKTEK

1. Letak dan Luas Perum Perhutani KPH Banyumas Barat merupakan salah satu KPH di wilayah Unit I Jawa Tengah yang memiliki hutan seluas 55.546,2 Ha. Secara administrasi pemerintahan terletak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Banyumas seluas 8.235,80 Ha (14,83%) dan Kabupaten Cilacap seluas 47.310,40 Ha (85,17%). Berikut ini Batas wilayah KPH Banyumas Barat, antara lain Batas Utara Batas Timur Batas Selatan Batas Barat : KPH Pekalongan Barat : KPH Pekalongan Timur dan KPH Banyumas Timur : Segara anakan, Samudra Indonesia : KPH Ciamis Unit III Jawa Barat

Luas kawasan hutan yang dikelola KPH Banyumas Baratberdasarkan wilayah kerja dapat dilihat pada Tabel 1 Tabel 1 Luas hutan berdasarkan jenis kawasan hutan (ha) KPH Banyumas Barat
Jenis Kawasan Hutan Hutan Produksi Hutan Lindung LDTI TBP Alur JUMLAH Sumber: KPH Banyumas Barat (2009) No 1 2 3 4 5 Luas (ha) 53.780,90 114,10 179 242,10 1.230,10 55.546,2 Presentasi luasan (%) 96,82 0,21 0,32 0,44 2,21 100

2. Wilayah Kerja dan Kelas Perusahaan Wilayah kerja KPH Banyumas Barat dibagi menjadi satu Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan (SKPH) yang terdiri dari delapan wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) antara lain: a. BKPH Wanareja b. BKPH Majenang c. BKPH Lumbir d. BKPH Sidereja e. BKPH Kawunganten f. BKPH Bokol g. BKPH Rawa timur h. BKPH Rawa Barat

Berdasarkan letak secara administrasi kehutanan, KPH Banyumas Barat di bagi menjadi empat Bagian Hutan, antara lain : a. Bagian hutan Dayeuhluhur Terdiri dari satu BKPH yaitu BKPH Wanareja yang berkantor di Kecamatan Wanareja, yang dibagi menjadi 2 RPH yaitu RPH Wanareja RPH Dayeuhluhur

b. Bagian Hutan Majenang Terdiri dari satu BKPH yaitu BKPH Majenang yang berkantor di kecamatan Majenang, yang dibagi menjadi empat RPH yaitu RPH Majenang RPH Cimanggu RPH Pesahangan RPH Surunsunda

c. Baguan Hutan Lumbir Terdiri dari satu BKPH yaitu BKPH Lumbir yang berkantor di kecamatan Wangon, yang dibagi menjadi empat RPH yaitu RPH Lumbir RPH Banteran RPH Samodra RPH Karangpucung

d. Bagian Hutan Sidareja Terdiri dari tiga BKPH yaitu BKPH Sidareja yang berkantor di kecamatan Sidareja, BKPH Bokol yang berkantor di kecamatan Jeruklegi, BKPH

Kawunganten yang berkantor di kecamatan Kawunganten. Diantara BKPH tersebut terbagi lagi menjadi RPH yaitu a. BPKH Sidareja, terdiri dari empat RPH, antara lain : RPH Sidareja RPH Ciporos RPH Gandrungmangu RPH Cidora

b. BKPH Bokol, terdiri dari tiga RPH, antara lain:

RPH Mentasan RPH Randegan RPH Citepus

c. BKPH Kawunganten terdiri dari empat RPH, antara lain : RPH Julangmanggu RPH Kubangkangkung RPH Kalijeruk RPH Kedungwadas

Berikut ini merupakan peta seluruh kawasan KPH Banyumas Barat

Gambar 1 Peta kelas hutan KPH Banyumas Barat Peta kelas perusahaan KPH Banyumas Barat dapat dilihat pada Lampiran 1 dan secara rinci luas KPH Banyumas Barat berdasarkan luas wilayah kerja. Tabel 2 Luas hutan berdasarkan wilayah kerja (ha) KPH Banyumas Barat
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Wanareja Majenang Lumbir Sidareja Kawunganten Bokol Rawa Timur Rawa Barat BKPH Luas Wilayah Kerja (Ha) HP ( Ha ) HL ( Ha ) Jumlah ( Ha ) 9.723,81 9.723,81 10.118,67 10.118,67 6.308,23 114,10 6.422,33 4.283,71 4.283,71 5.163,37 5.163,37 3.754,42 3.754,42 11.576,28 11.576,28 4.503,62 4.503,62 55.432,10 114,10 55.546.20

Jumlah : Sumber: KPH Banyumas Barat (2009)

Kelas

perusahaan

di

wilayah

KPH

Banyumas

Barat

berdasarkan

pertimbangan kesesuaian lahan dan jenis tanaman yaitu kelas perusahaan pinus, berikuut ini luasan pada setiap Bagian hutan antara lain: Tabel 3 Luas Kawasan Hutan KPH Banyumas Barat berdasarkan kelas perusahaan pinus
No 1 2 3 4 5 Bagian Hutan DayeuhLuhur Majenang Lumbir Sidareja Cilacap Jumlah Kelas Perusahaan Pinus Pinus Pinus Pinus Payau Luas (Ha) 10.132,80 7.896,70 8.235,30 13.201,30 16.079.90 55.546,20

Sumber: KPH Banyumas Barat (2009)

kelas perusahaan secara terperinci dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 4 Luas Kawasan Hutan KPH Banyumas Barat berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan
Bagian Hutan DayeuhLuhur Majenang Lumbir Lumbir Sidareja Sidareja JUMLAH Sumber: KPH Banyumas Barat (2009) No 1 2 3 4 5 6 Luas (ha) 10.132,80 7.896,70 1.968,60 6.266,70 10.481,15 2.350,80 49 Wilayah Administratif Kab. Cilacap Kab. Cilacap Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Cilacap Kab. Banyumas

3. Topografi dan Iklim Wilayah KPH Banyumas Barat pada kelas perusahaan pinus merupakan deretan pegunungan yang bersambung. Diantara pegunungan tersebut terdapat lembah-lembah sehingga terbentuk seungai yang merupakan daerah tangkapan air yang membentuk daerah aliran sungai. Oleh karena itu, persentase wilayah terbesar pada kategori bergelombang (tabel 5). Berikut ini tabel persentase topografi. Tabel 5 Persentase wilayah berdasarkan kelerengan KPH Banyumas Barat
No 1 2 3 4 5 Kategori Datar Landai Bergelombang Agak Curam Curam Persen Kelerangan (%) 0-8 8-15 15-25 25-40 >40 Persen Wilayah (%) 23.78 27.61 43.71 4.45 0.46

Sumber: KPH Banyumas Barat (2009)

Dalam wilayah kelas perusahaan pinus terdapat gunung dan bukit dengan ketinggian tempat yang berbeda mulai dari ketinggian 25 m dpl sampa 1300 m dpl berikut ini luas hutan KPH Banyumas Barat berdasarkan ketinggian tempat dengan luas perusahaan pinus 39.466,30 ha, dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 6 Persentase wilayah berdasarkan ketinggian di KPH Banyumas Barat
Kategori Ketinggian ( m dpl) 0-100 101-500 501-1000 1001-2000 Jumlah Sumber: KPH Banyumas Barat (2009) No 1 2 3 4 Luas Wilayah 13.389,25 16.364,25 9.712,40 39.466,30 Persen Wilayah (%) 33.9 41.5 24.6 100

Keadaan geologi khsusnya keadaan tanah di KPH Banyumas Barat terdiri dari berbagai jenis tanah sesuai dengan jenis batuan induk yang menyususnnya serta di pengaruhi oleh proses pembnetukan tanah itu sendiri. Geologi (Jenis Batuan) yang seperti Batu kapur, Batu Vulkan, Naval sedangkan Jenis Tanah seperti Latosol, Litosol, Gromosol, Regosol, Aluvial, Mediteran, dan Planosol. Berikut ini data mengenai jenis tanah pada bagian hutan di KPH Banyumas Barat, antara lain : Tabel 7 Kondisi bagian hutan berdasarkan jenis tanah di KPH Banyumas Barat
Jenis Tanah BH Dayeuluhur - Komplek latosol merah kekuningan, latosol coklat podsolik merah dan litosol - Latosol coklat tua kemerahan - Litosol coklat BH Sidareja - Grumosol Kelabu - Komplek grumusol dan Refosol serta mediteran - Litosol coklat - Latosol coklat tua kemerahan BH Lumbir - Komplek grumusol dan Refosol serta Bahan Induk Tuf dan batuan vulkan masam, intermedier dan basis Fisiografi Vulkan dan batuan lipatan

Tuf culkan intermedier Tuf vulkan intermedier

Vulkan Vulkan

Endapan liat Batu kapur dan napal

Dataran bukit lipatan Vulkan

Tuf bulkan intermedier Tuf vulkan intermedier

Vulkan dan bukit lipatan Vulkan

Batu kapur dan napal

Vulkan dan bukit lipatan

mediteran Komplek latosol merah Kekuningan dan latosol

Batuan vulkan

endapan

dan

Dataran bukit lipatan

BH Majenang - Aluvial kelabu kekuningan - Litosol

Endapan liat campuran batuan endapan tuf dan batuan vulkan batu kapur dan napal

Bukit lipatan Bukit lipatan

Komplek grumusol dan Refosol serta mediteran

Bukit lipatan

Sumber: KPH Banyumas Barat (2009)

Iklim wilayah KPH Banyumas Barat diklasifikasikan berdasarkan Sistem Klasifikasi Iklim Schmidt dan Fergusson. Sistem Schmidt dan Fergusson menentukan iklim berdasarkan persentase perbandingan jumlah rata-rata bulan kering dengan jumlah rata-rata bulan basah. Bulan basah tertinggi terdapat pada bulan nopember dan bulan basah terendah terdapat pada bulan april. Wilayah KPH Banyumas Barat memiliki ratarata curah hujan pertahun sebesar 3500 mm/tahun. Berdasarkan sistem Schmidt dan Fergusson, dengan perbandingan jumlah rata-rata bulan kering dengan jumlah rata-rata bulan basah sebesar 60.20 %, wilayah KPH Kedu Utara termasuk ke dalam tipe iklim B. 4. Sosial Ekonomi Masyarakat Masyarakat desa hutan BKPH Kawasan hutan KPH Banyumas Barat berdekatan dengan desa-desa yang masyarakatnya memiliki ketergantungan yang kuat terhadap hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Jumlah desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan di KPH Banyumas Barat sebanyak 124 desa, dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 132.548 KK (tidak ada data pendukung untuk jumlah total penduduk). Jarak rata-rata desa dengan kawasan hutan berkisar antara 1 - 5 Km. Sebagian besar penduduk merupakan masyarakat Jawa dan sunda yang kental dengan tradisi dan adat istiadat Jawa dan sunda. Sebagai besar penduduk sekitar hutan memiliki mata pencaharian sebagai petani dan buruh. Pada saat musim hujan masyarakat desa hutan bertani di sawah

maupun perladangan, sedangkan pada musim kemarau masyarakat desa hutan menjadi pesanggem atau penyadap getah pinus ke Perhutani. Adapun warga yang mencari keberutungan pergi ke kota menjadi tenaga kerja bangunan pada saat musim pembangunan kota. Masyarakat desa hutan di KPH Banyumas Barat termasuk kedalam kebudayaan yang unik karena mewakili kebudayaan jawa dan sunda. Wilayah yang dipangku oleh KPH bayak terdapat di perbatasan wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah, sehingga banyak terjadi akuluturasi budaya sunda dan jawa. Masyarakat desa hutan di wilayah KPH Banyumas Barat masih kental dan memegang teguh adat-istiadat yang telah berlangsung secara turun temurun, baik pada kawasan sunda maupun jawa seperti dalam bidang kesenian dan penggunaan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari serta keunikan dalam menentukan hari penebangan kayu harus memiliki hari yang baik dan melakukan syukuran terlebih dahulu serta setipa hari jumat seluruh masyarakat desa hutan tidak melakukan aktifitas seperti biasanya. Perum Perhutani KPH Banyumas Barat telah malakukan pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan/PHBM. Dari 12 Desa PHBM yang telah dibina, semuanya sudah melalui Tahapan Kegiatan Implementasi PHBM yang meliputi : Sosialisasi Dialog Multi Stake Holder, Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH), Pemberdayaan Forum Komunikasi Desa, Pemberdayaan Forum Komunikasi Kecamatan, Pemberdayaan Forum Komunikasi Kabupaten dan Penyusunan Strategi PHBM.

10

BAB III MATERI DAN METODE PRAKTEK


1. Waktu dan Tempat Praktek Kerja Lapang Dalam Praktek Kerja Lapang ini dilakukan pada : Waktu Tempat : 5 juli -5 September 2009 : Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyumas Barat Alamat : Alamat Kantor Perhutani KPH Banyumas Barat Jln. Laksda Yos Soedarso No.1 Purwokerto Telp.(0281) 632884 - 631417 Fax: (0281) 635208 2. Alat dan Bahan Praktek Kerja Lapang (PKL) dilaksanakan selama 2 bulan, tempat dilaksanakanya Praktek Kerja Lapang adalah di wilayah KPH Banyumas Barat Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah yang terdiri dari lima Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) yaitu BKPH Wanareja, BKPH Majenang, BKPH

Lumbir, BKPH Sidereja, BKPH Kawunganten, BKPH Bokol, BKPH Rawa timur, dan BKPH Rawa Barat. Alat dan bahan yang digunakan untuk praktek kerja lapang selama 2 bulan di KPH Banyumas Barat antara lain, 1. Tally Sheet 2. Alat tulis dan alat hitung 3. Laptop 4. Software Arcview 5. Tali rafia 6. Meteran 3. Materi Praktek Adapun materi kegiatan praktek kerja lapang dalam bidang kehutanan mencakup tujuh aspek,yaitu : 1. Perencanaan Hutan a. Penataan dan pengorganisasian kawasan hutan.

11

b. Inventarisasi hutan. c. Perhitungan etat, uji jangka waktu penebangan dan pembuatan bagan tebang habis selama jangka. d. Rencana pengaturan kelestarian hutan (RPKH). 2. Pembinaan Hutan a. Pengadaan benih, meliputi kebu benih dan tegakan benih, seleksi dan penyimpanan benih, kebutuhan benih dan perlakuan benih. b. Persemaian seperti luas dan lokasi, layout persemaian, pembutan unit persemaian, bedeng tabur, bendeng sapih, kontainer, selokan dan jalan pemeriksaan, penaburan, dan penyapihan bibit, pemeliharaan serta administrasi persemaian. c. Sistem pembuatan tanaman seperti tumpang sari, banjar harian dan borongan, cemplongan, sistem komplangan.. d. Teknik penanaman, dan pengaturan pola tanam (1) tanaman pokok, (2) tanaman sela, (3) tanaman tepi, (4) tanaman pengisi dan (5) tanaman peneduh, tanaman agroforestri. 3. Perlindungan hutan a. Pengendalian hama dan penyakit. b. Pengendalian kebakaran. c. Pengendalian perladangan berpindah. d. Pencegahan perambahan hutan. e. Pencegahan penggembalaan. f. Pencegahan pencurian kayu. 4. Konservasi Sumber Daya Hutan 1. Inventarisasi jenis-jenis kawasan lindung yang ada di tempat praktek baik kawasan lindung yang berfungsi melindungi sumber alam. 2. Mengenal dan mencatat ciri-ciri dari masing-masing jenis kawasan lindung. 3. Inventarisasi keanekaragaman hayati (flora dan fauna). 4. Mengatahui dan mancatat upaya-upaya pengelolaan jenis-jenis kawasan lindung.

12

5. Upaya-upaya pelestarian spesies tumbuhan langka. 6. Mengenal dan mencatat spesies fauna yang di lindungi serta upaya pelestarian yang telah dilakukan. 7. Mengenal dan mencatat jenis dampak linkungan kegiatan-kegiatan lingkungan. 5. Pemanenan Hasil Hutan 1. Rencana dan pelaksanaan PWH. 2. Teknik pemanenan kayu. 3. Majemen pemanfaatan hasil hutan kayu. 4. Pemanenan hasil hutan bukan kayu (HHBK). 6. Pembangunan Masyarakat Desa Hutan 1. Identifikasi dan pendataan ekonomi masyarakat. 2. Kebijakan dan program pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah desa. 3. Persepsi dan harapan pemerintahan desa tentang Perum Perhutani dan program kehutanan yang ada di Perum Perhutani. 4. Kelembagaan Kelompok Tani. 7. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Rehabilitasi Lahan & Hutan 1. Mengamati lahan kritis. 2. Memahami konsep rehabilitasi lahan dan hutan (RHL). 3. Menganalisis aspek-aspek konservasi tanah dan air (KTA). 4. Memahami dinamika sosial masyarakat tentang lahan. 5. Mengamati problema sosial yang terkait dengan DAS. 6. Mengetahui pemantauan DAS. 8. Kajian Pelaksanaan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) 1. Pengelolaan keanekargaman hayati (Manajemen Biodiversity) 2. Identifikasi kawasan manajemen biodervisity. Identifikasi lokasi hutan alam (minimal 10% kawasan). Survey hutan alam (flora). kondisi potensi dan masalah sosial

Pengelolaan HCVF Identifikasi HCVF

13

Flora di lindungi. Situs budaya. Obyek-obyek yang menjadi gantungan hidup masyrakat.

a. Musyawarah pengelolaan HCVF dengan stakeholder (situs, hutan lidung, obyek-obyek khusus). 3. Desain kawasan lindung 4. 5. Kawasan Perlindungan Setempat (KPS). HCVF. Manajemen Biodiversity.

Kajian manfaat hutan bagi masyarakat Tumpang sari. Penggunaan Lahan Di bawah Tegakan (PLDT). Rencek. Kayu bakar. Sumber air.

Identifikasi jenis tanaman eksotik : Penyebaran di kawasan produksi. Penyebaran di hutan alam.

Pengelolaan Daerah konflik tenurial: 7. Mengidentifikasi kronologis permasalahan. 8. Mengidentifikasi lokasi petak-petak, jumlah pelaku konflik, kendala yang dihadapi, dan menentukan target waktu penyelesaian konflik tenurial 9. Merumuskan stategi atau solusi tindak lanjut yang berpeluang memberikan kontribusi dalam penyelesaian kasus konflik tenurial di kawasan hutan

4. Metodologi Praktek Kerja Lapang 1. Perencanaan Hutan Pengumpulan informasi dan data mengenai materi perencanaan dilakukan dengan cara observasi lapang, pengamatan dan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait.

14

2.

Pembinaan Hutan Praktek Kerja Lapang pembinaan hutan dilakukan dengan mengumpulkan

informasi

mengenaimasing-masing

aspek

dengan

observasi

lapang

dan

wawancara mendalam dengan pihak-pihak yang terkait dalam masin-masing kegiatan tersebut. 3. Perlindungan Hutan Informasi mengenai materi perlindungan hutan diperoleh dengan cara observasi lapang dan wawancara mendalam dengan pihak-pihak yang terkait dalam masin-masing kegiatan tersebut. 4. Konservasi Sumberdaya Hutan Untuk memeperoleh data dan informasi inventarisasi keaneka ragaman hayati dilakukan Analisis Vegetasi dengan menggunakan metode jalur. Informasi lain di peroleh denga cara pengamatan langsung di lapangan dan wawancara pihak-pihak terkait. 5. Pemanenen Hasil Hutan Data dan informasi mengenai materi pemanenan hasil hutan dilakukan dengan cara observasi lapang, wawancara dengan pihak-pihak terkait, dan pengambilan dan pencatatan data sekunder yang diperlukan. 6. Pengembangan Masyarakat Desa hutan Informasi mengenai materi pengembangan masyarakat desa hutan diperoleh melalui kegiatan Focus Group Discusion (FGD) dan interview wawancara dengan menggunakan kuesioner kepada masyarakat desa hutan di wilayah KPH Banyumas Barat. 7. Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Praktek Kerja lapang mengenai pengelolaan Daerah Aliran Sungai dilakukan dengan cara melakukan pengukuran debit aliran sungai. Adapun tahaptahap dalam pengukuran debit air sebagai berikut: 1. Mengukur lebar sungai menggunakan meteran. 2. Mengukur sudut elevasi dan ketinggian tempat dilakukanya pengukuran debit sungai. 3. Membagi sungai menjadi tiga bagian yaitu pada bagian tepi 1, tengah, dan tepi 2 masing-masing di ukur kedalamnya dan dihitung kecepatan aliran

15

airnya dengan panjang lintasan masing-masing 2 meter. Masing-masing bagian kedalaman di ukur dengan tiga kali pengulangan. 4. Menghitung kecepatan rata-rata pada masing-masing bagian kedalaman yaitu pada bagian tepi 1, bagian tengah, dan bagian tepi 2.

5. Menghitung luas penampang masing masing bagian kedalaman Luas penampang (m2 ) = X Panjang Lintasan (m) X Kedalamam (m) 6. Menghitung debit sungai Debit sungai (Q) = Luas penampang total (A) X Kecepatan (V) dengan satuan m3/s 8. Pengelolaan Daerah konflik tenurial: 1. Mengidentifikasi kronologis permasalahan. 2. Mengidentifikasi lokasi petak-petak, jumlah pelaku konflik, kendala yang dihadapi, dan menentukan target waktu penyelesaian konflik tenurial 3. Merumuskan stategi atau solusi tindak lanjut yang berpeluang memberikan kontribusi dalam penyelesaian kasus konflik tenurial di kawasan hutan

16

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil dan Pembahasan Materi Perencanaan 1. Perencanaan Hutan Dalam pengelolaan hutan tahap awal adalah perencaaan hutan yang merupakan kegiatan analisis utama dan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan yang berdaya guna, berhasil guna dan tepat waktu. Perencanaan adalah penyusunan pola tentang peruntukan, penyediaan pengadaan dan kelola lestari serta menyusun pola kegiatannya menurut ruang dan waktu. Kegiatan perencanaan yang dilakukan di Perum Perhutani dilakukan oleh Biro Perencanaan Sumberdaya Hutan yang terdiri atas Seksi Pengukuran, Perpetaan, dan Pengukuran Prasarana Hutan (SP4H) dan Seksi Perencanaan Hutan (SPH). Dalam kegiatan perencanaan, SP4H bertugas melakukan pengukuran dan pemetaan serta penentuan titik-titik batas kawasan yang selanjutnya akan dilakukan tata batas oleh SPH. Mekanisme kegiatan penataan hutan yang dilakukan oleh SPH terdiri atas kegiatan tata batas, pembagian hutan, inventarisasi hutan, sampai dengan penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan dengan pengolahan data elektronik (RPKH-PDE).

Gambar 2 Mekanisme kegiatan tata hutan Perum Perhutani. Pada aspek perencanaan, KPH Banyumas Barat hanya menyusun rencana pelaksanaan secara teknis berdasarkan Rencana Pengaturan Kelestarian Hasil (RPKH) yang telah disusun oleh Seksi Perencanaan Hutan I Semarang Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah . Dalam perencanaan ini, kelas perusahaan dari setiap bagian hutan serta teknis pengelolaannya juga ditentukan oleh KPH Banyumas Barat dengan berdasarkan RPKH yang telah disusun oleh SPH I

17

Semarang. Rencana teknis tersebut disusun dalam Rencana Teknik Tahunan (RTT) yang dinilai oleh SPH I Semarang. KPH Banyumas barat Merupakan pelaksana teknis yang merupakan organisasi yang berkesinambungan, berikut ini susunan organisasi di KPH Banyumas Barat dan nama penjabat secara lengkap di lampiran.

Gambar 3. Susunan Oraganisasi KPH Banyumas Barat a. Penataan batas kawasan hutan Penataan batas kawasan dilaksanakan untuk memastikan batas hutan yang definitif yang sesuai dengan dasar hukumnya. Tujuan penataan batas kawasan adalah untuk mengembalikan kondisi garis batas kawasan ke posisi semula (batas yang tertera dalam dokumen penguasaan kawasan hutan). Selain itu penataan batas kawasan dilaksanakan dalam rangka pemantapan kawasan hutan berkaitan dengan kemungkinan terjadinya perubahan garis batas dan perubahan karena pengukuhan hutan yang terjadi dalam jangka perusahaan yang lalu. Kegiatan penataan batas kawasan di Perum Perhutani yang dilakukan oleh Seksi Perencanaan Hutan sehingga penataan batas kawasan KPH Banyumas Barat dilakukan oleh SPH I Semarang.

18

Penataan batas kawasan terdiri atas dua jenis, yaitu penetapan status kawasan hutan dan rekonstruksi batas (penataan hutan). Penetapan status kawasan hutan dilaksanakan untuk tujuan pengukuhan kawasan hutan, sedangkan rekonstruksi batas dilaksanakan dalam rangka pemeliharaan. Rekonstruksi batas merupakan kegiatan monitoring, evaluasi dan penegasan ulang terhadap batas-batas kawasan hutan di lapangan yang telah ditetapkan berdasarkan Berita Acara Tata Batas (BATB). Rekonstruksi batas dilaksanakan langsung oleh SPH setiap lima tahun sekali. Sebelum rekonstruksi batas dilaksanakan, dilakukan pengukuran kawasan hutan dari suatu kelas perusahaan oleh SP4H dan pemasangan patok bernomor sebagai titik-titik batas kawasan. Rekonstruksi batas dilaksanakan melalui beberapa tahap, yaitu pengadaan pal, angkut pikul, tanam, cat, dan letter. Batas-batas kawasan hutan ditandai dengan tanda batas yang disebut dengan pal batas. Pal batas terbuat dari besi dan cor semen dengan berat 30-35 kg. Bentuk pal Perhutani (Gambar 3) berbeda dengan bentuk pal Taman Nasional yang berbentuk persegi. Adapun yang dimaksud dengan pal batas adalah: a. Pal batas kawasan hutan, yang terdiri dari pal batas luar (pal B) dan batas enclave (pal E), b. Pal batas tanah perusahaan (pal DK), c. Pal batas antar KPH, d. Pal batas Lapangan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI) antara lain kuburan (KB), mata air (MA), cagar alam (CA), wana wisata (WW), tambang (TB), SUTT (ST), waduk (WD), dan lain-lain.

Gambar 4 Bentuk, ukuran, dan letter pada pal batas.

19

Pada kegiatan Praktek Kerja Lapang ini, dilaksanakan praktek pemeriksaan pal batas kawasan, yaitu pal batas luar (pal B) dan pal batas enclave (pal E). Pemeriksaan pal batas luar dilaksanakan di petak 27E RPH Cikonde BKPH Rawa Timur, pemeriksaan dilapangan hampir seluruh kawasan petak tersebut menjadi kawasan pertanian yaitu persawahan, keadaan di lapangan pal batas ada overlap dengan pal pihak PU (perencanan umum) terlihat pada gambar 5. Konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian menjadi konflik sosial antara pihak Perhutani, masyrakat dan pemerintahan setempat. Daya dukung lingkungan terhadap konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian dengan adanya agraria cilacap dengan di dukung dengan kebijakan mentri pertanian, seperti adanya saluran irigasi di kawasan lahan basah seperti rawa. pemeriksaan pal batas dapat dilihat pada Gambar 5. Kondisi pal dan kegiatan

Gambar 5 Kegiatan pemeriksaan dan kondisi pal batas di RPH Cikonde. Pada Gambar 5 dapat dilihat kondisi pal batas yang ditemukan di RPH Cikonde, sebagian besar sudah tidak jelas penomoran dan catnya. Hal itu dapat terjadi karena kualitas cat yang tidak tahan lama, mudah luntur dan mengelupas, yang diakibatkan oleh kondisi cuaca yang panas. Selain itu juga dapat terjadi akibat terlewatnya peletteran pal tersebut, namun kejadian seperti kemungkinan kecil terjadi. b. Pembagian hutan

20

Pembagian hutan berujuan untuk penataan kawasan hutan antara lain untuk pelaksanaan rehabilitasi kawasan hutan dan untuk pelaksanaan eksploitasi. Pembagian blok atau peta kerja digunakan untuk membagi areal sesuai dengan kesesuaian lahannya. Kawasan hutan Perum Perhutani dibagi ke dalam beberapa satuan unit pengelolaan secara berjenjang yakni bagian hutan, petak, dan anak petak. Antara petak yang satu dengan yang lain dipisahkan oleh alur induk atau anak alur, sedangkan antara anak petak dipisahkan oleh tanda markir pada pohon batas. Kegiatan yang dilakukan dalam rangka pembagian hutan, antara lain: 1. Orientasi lapangan, yaitu pembuatan peta proyeksi keadaan lapangan 2. Trase alur, yaitu dilakukan pengukuran di lapangan. 3. Babat alur Untuk alur induk dibabat selebar 5 meter, sedangkan anak alur dibabat selebar 3 meter. Alur yang membatasi antar KPH dibabat selebar 7 meter. 4. Pemancangan pal HM dan pal petak Kegiatan pemancangan pal HM dan pal petak pada prinsipnya sama dengan kegiatan pemancangan pal batas. Namun ukuran dan teknik letternya berbeda (Gambar 6). 5. Pengecatan, peleteran dan penomoran pal HM dan pal petak.

Gambar 6 Bentuk, ukuran, dan letter pada pal petak dan pal HM. c. Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH)] Rencana pengaturan kelestarian hutan (RPKH) merupakan rencana yang berupa buku teks/naskah. RPKH terdiri atas bab I sampai dengan Bab V.

21

menguraikan tentang pendahuluan, risalah umum dan sejarah, evaluasi RPKH jangka yang lalu. Tindakan-tindakan yang akan datang serta rencan kegiatan selama sepuluh tahun. Pada prinsipnya dalam penyususnan RPKH kata kunci yang harus dipegang adalah kelestarian. Jadi dalam RPKH semua perencanaan yang di susun harus memperhatikan prinsip hutan lestari. RPKH di Banyumas Barat yang berlaku disusun oleh biro perenacaan hutan di Semarang. RPKH Banyumas Barat dengan kelas perusahaan pinus untuk pelaksanaan pembuatan tanamannya mengacu pada surat keputusan direksi Perum Perhutani nomor 834/Perum/pPerhutani/X/1974 tentang pedoman penyelenggaran

pembuatan tanaman hutan pinus yang di kenal beberapa sistem kerja, tingkat kesuburan tanah, konfigurasi lapangan, dan pertimbangan-pertimbangan sosial. Sistem tersenut natara lain sistem tumpang sari dan sistem banjar harian (cemplongan) Kegiatan pemeliharaan tanaman dilaksanakan dalam masa kontrak tumpang sari dengan penjarangan terkahir sebelum penebangan. Selama masa kontrak tumpang sari, pesanggem berkewajiban untuk menyulam semua tnaman hutan andilnya, mengatur kembali jalur-jalur tanaman hutan, sisa-sisa tanaman pertanian diatur rapi. Mengatur kembali anggelan, trutuk dan lain-lain sarana pengendalian erosi dan membersihkan lapangan tanaman dari semua jenis tanaman pertanian yang masih ada masa kontrak berkahir, berhubung tanman pinus pada umur 3-5 tahun masih amat peka terhadap segala gangguan, maka dipandang perlu untuk melanjutkan pemeliharaan itu sampai umur 5 tahun, tanpa sistem tumpang sari. Pemungutan haasil hutan pada kelas perusahaan pinus berupa pemungutan kayu dan non kayu. Pemungutan kayu menghasilkan log pinus sebagai bahan baku industru. Pedoman persyaratan sortasi kayu bulat pinus diatur dalam SK direksi Perum Perhutani nomor 0572/Kpts/Dir/1993. Pemungutan non kayu menghasilkan getah pinus sebagai bahan baku industri gondorukem dan terpentin. Penydapan getah pinus diatur dalam SK. Direksi Perum Perhutani nomor 688/Kpts/Dir/1985 dan suplemen I/1990 pedoman penydap getah pinus (PHT 45- seri Produksi 24) yang

22

merupakan pedoman penyadapan getah pinus dengan sistem quare. Unutk pedoman sortasi mutu dan pengukuran berat getah pinus siatur sengan SK. Direksi Perum Perhutani nomor 2574//Kpts/Dir/1994 (PHT 16-seri produksi 85). Perum perhutani yang selama ini menitik beratkan pada hasil hutan kayu sebgai produk unggulan, kini seiring dengan dinamika sosial politik serta kondisi ekonomi perusahaan, mengalami pengalihan produk unggulan dari kayu ke

gondorukem serta derivatnya. Oleh karena itu biro perencanaan dan pengembangan perusahaan memberakukan kebijakan baru terhadap daur pinus untuk kelas perusahaan pinus seperti di KPH Banyumas Barat. Daur yang selama ini ditetapkan 25 tahun adalah lebih bersifat ekonomis. Kebijkan baru yang diambil perusahaan saat ini adalah menetapkan daur pinus menjadi 50 tahun dengan surat kepala biro renbang perusahaan no 1372/041.6/SPPU/Can/I tanggal 7 desembaer 2001, dengan pertimbangan bahwa secara biologis, pohon pinus mempunyai daur 60 tahun. Diharapkan apabila teknis penyadapan dilaksanakan dengan baik. Disiplin, dan penuh rasa tanggung jawab oleh pihak-pihak terkait. Maka diharapakan samapi umur 50 tahun, tegakan masih relatif aman salam arti tidak mengalami kerusakan akibat kesalahan teknis penyadapan seperti yang terjadi sekarang ini. Untuk mengantisipasi tingkat resiko kerusakan pohon, akibat penyadapan awal., maka sadap buka di mulai pada umur 15 tahun. Kegiatan penebangan, jenis-jenis tebangan mengacu pada surat keputusan direksi Perum Perhutani No. 142/kpts/Dir/1980 tanggal 8 April 1980 dibedakan bentuk-bentuk tebangan pinus yaitu tebangan A (AI, AII, dan AIII), tebangan B (BI, BII, dan BIII), tebangan C, tebangan D (DI dan DII) dan tebangan E. bentuk tebangan A sampai dengan D merupkan tebngan eksploitasi dalam pemungutan hasil akhir dari satu bidang hutan, sedangkan tebangan E merupkan tebangan pemeliharaan atau istilah lainnya penjarangan. Penyusunan RPKH diawali dengan dilakukannya inventarisasi hutan yaitu menghimpun data potensi hutan. Metode inventarisasi hutan yang digunakan ialah Systematic sampling with random start. Objek yang diinventarisasi yaitu tegakan, kondisi tanah, topografi, fisik lapangan, tumbuhan bawah, interaksi masyarakat, dan potensi lainnya. Dari hasil inventarisasi tegakan dapat ditentukan luas rencana

23

tanaman dan luas rencana tebangan, serta dapat digunakan sebagai evaluasi penanaman. Kegiatan risalah ulang (inventarisasi hutan) dilakukan dalam jangka waktu yang berbeda-beda setiap kelas perusahaan. Untuk kelas perusahaan dengan daur pendek (fast growing species), risalah ulang dilakukan setiap 5 tahun sekali. Untuk kelas perusahaan dengan daur menengah dan panjang, risalah ulang dilakukan setiap 10 tahun sekali. Penyusunan RPKH terdiri atas proses validasi data risalah dan tahapan penyusunan (register). Tahapan penyusunan RPKH antara lain: PDE-2 PDE-3 PDE-3A PDE-5 PDE-6 PDE-7 PDE-8 Register Risalah Hutan Ikhtisar Register Kelas Hutan Susunan Kelas Hutan Produktif (Ikhtisar PDE-3) Register Tanah Perusahaan Dalam Kawasan Hutan Volume pada UTR Sebelum Uji Etat Volume pada UTR pada Pengujian Terakhir Daftar Perhitungan Jangka Waktu Penebangan Komulatif dari Hasil Pengujian Terakhir PDE-9 PDE-10 PDE-10A PDE-11 PDE-11A PDE-12 PDE-12A PDE-13 PDE-13A PDE-14 PDE-14A PDE-14B Bagan Tebang Habis Selama Daur Ikhtisar Register Tebang Habis Menurut Waktu dan Tempat Rekapitulasi Ikhtisar Pembagian Tebang Habis Rencana Teresan Rekapitulasi Rencana Teresan Rencana Tanaman Umum Rekapitulasi Rencana Tanaman Umum Rencana Pemeliharaan dan Penjarangan Rekapitulasi Rencana Pemeliharaan dan Penjarangan Rencana Sadapan Rekapitulasi Rencana Sadapan Rencana Produksi Non Kayu Lainnya

Bagan alur penyusunan RPKH disajikan pada Gambar 7 sedangkan tata waktu penyusunan RPKH dapat dilihat pada Lampiran 6.

24

Gambar 7 Bagan alur penyusunan RPKH. d. Penyusunan Rencana Teknik Tahunan (RTT) Mempelajari rencana teknik tahunan bertujuan Mengetahui jenis dan volume pekerjaan teknis kehutanan sebagai penjabaralebih rinci pelaksanaan opersional RPKH yang berlaku (pada bagian hutan). Sarana yang digunakan adalah Buku RTT (rencana teknik tahunan) berlaku pad tahun pelaksanaan praktek pekerjaan kehutanan seperti tanaman, tebangan, dll Pelaksanaa/petunjuk kerja (juklak dan juklis) semua pekerjaan teknis kehutanan Dalam pelaksanaan tersebut harus mempelajari dokumen tersebut di atas yang berlaku satu bagian hutan, rencana teknis tahunan secara terperinci ke dalam BKPH, RPH, petak anak sesuai dengan jenis pekerjaan masing-masing. Secara Prosedur penyusunan RTT disusun oleh administratur/kepala kesatuan pemangkuan hutan (ADM/KKPH), dalam penyusunan dibantu oleh kepala seksi perencanaan hutan (KSPH) dan si sahkan oleh kepala biro perencanaan atas nama kepala unit, berikut ini tabel prosuder awal dalam penyusunan RTT. Berikut ini beberapa hal yang dalam prosuderal dalam pembuatan RTT: a) Adanya suplisi yang dapat dibagi dalam kategori sebagai berikut, 1. Suplisi dalam masa perencanaan Suplisi RTT di dalam masa perencanaan adalah perubhan RTT yang meliputi penambahan dan pengurangan serta pergeseran lokasi RTT termasuk perubhan jenis tanaman yang di usulkansebelum tahun pelaksanaan. Siplisi RTT dalam masa perencanaan diproses sesuai dengan prosedur. 2. Suplisi dalam tahun pelaksanaan

25

Suplisi dalam tahun pelaksanaan adalah perubahan rencana meliputi penambahan dan pengurangan dan penggeseran lokasi termasuk perubahan jenis tanaman dalam tahun pelasanaan Pada dasarnya suplisi tidak di ijinkan, apabila terjadi perubahan rencana yang telah di sahkan oleh pihak unit yang pertanggung jawabkan terhadap biro. Namun apabila ada perubahan tersebut terdapat prosedur diantaranya sebagai berikut : a. Dalam rencana tanaman dan pemeliharaan 1. Apabila pengurangan luas karena kesalahan rencana akibat penguasan lapangan tidak di suplisikan, akan tetapi dilaporkan oleh Adm/KKPH ke biro perencanaan dan biro pembinaan hutan untuk dibuatkan BAP 2. Apabila pengurangan/penambahan luas karena force majerur (bencana alam atau masalah agraria) dan perhutanan sosial dapat di usulkan dengan prosedur suplisi RTT oleh Adm/KKPH 3. Apabila perubahan jenis yang di usulkan ke direksi oleh biro perencanaan atas nama kepala unit dengan rekomendasi biro perencanaan hutan 4. Apabila perubahan sistem tanaman di rekomendasikan dengan persetujuan oleh biro pembinaan hutan sepanjang anggaran yang memungkinkan b. Dalam tebagan/pemungutan hasil hutan 1. Apabila penambahan atau pengurangan karena salah hitung, tidak perlu untuk disuplisikan 2. Apabila pengurangan kaarena jalan belum siap atau pergeseran ke tahun yang kan datang dengan dibuatkan BAP oleh KKPH pad kahir tahun untuk kemudian di rimkan ke biro perencanaan dan biro produksi 3. Apabila penambahan atau pengurangan karena kondisi pasar yang diusulkan oleh jepala unit direksi dengan persetujuan yang diproses suplisi RTT sesuai dengan prosedur 4. Apabila penambahan atau pengurangan kaena force majerur disusulkan perubahannya dengan prosedur suplisi RTT oleh KKPH

b) Gabungan RTT

26

Gabungan RTT di usulkan oleh kepala biro perencanaan dan dikirm ke direksi produksi. Dalam tahuna berjalan gabungan RTT tiap triwulan yang

memuat perubahan-perubhan rencan sesuai dengan ketentuan-ketentuan butir 2. Maka gabungan RTT triwulan dalam tahun berjalan tersbut harus dikirimkan kepada direksi direktur produksi.

a) Tata waktu Berikut ini tata waktu yang menjadi bahan pertimbangan dalam pembentukan RTT maupun dalam perubahan, 1. Selambat-lambatnya 19 (sembilan belas) bulan sebelum tahuna anggaran KKPH mengirimkan konsep RTT rangkap 2 (dua) dengan dilmpiri petakpetak (Vakaart) skala 1: 10.000 juga dalam rangkap 2 (dua) kepada kepala seksi perencanaan hutan 2. Selambat-lambatnya 17 bulan sebelum thaun anggaran kepala seksi perencanaan hutan mengembalikan 1 (satu) lembar konsep RTT dan 1 lembar peta petak yang telah selesai di koreksi kepada KKPH 3. Selambat-lambatnya 15 bulan sebelum tahun anggaran KKPH

mengirimkan net RTT rangkap 4 kepada kepala seksi perencanaan hutan 4. Selambat-lambatnya 14 bulan sebelum tahun anggaran kepala seksi perencanaan hutan mengirim net RTT dan pertimbangan rangkap 4 kepada kepala biro perencanan 5. Selambat-lambatnya 12 bulan sebelum tahun anggaran kepala biro perencanaan atas nama kepala unit mengesahkan RTT 6. Selambat-lambatnya 11 bulan sebelum tahun anggaran kepala biro perencanaan atas nama kepala unit mengirimkan gabungan RTT kepada direksi perum perhutani Cq Direktorat prosuksi dan segenap kepala biro. Pelaksanaan RTT perjenis kegiatan di KPH Banyumas Barat tahun 2009 Meliputi RTT persemaian pinus merkusii, RTT tanaman, RTT pemeliharaan , RTT tebangan, RTT penydapan getah pinus dapat dilihat pada lampiran Rencana taknik tahunan (RTT) merupkan rencana terperinci dalam pengelolaan hutan unutk jangja waktu setahun. Rencana teknik tahunan merupakan salah satu bahan penyusun rencana kerjadan anggaran perusahaan

27

(RKAP). Dalam RKAP tersusun rencana perusahaan (coorporate plan) unutk jangka waktu setahun . rencana teknik tahunan dapat menjelaskan seluruh rencana pengaturan kelestrian hutan (RPKH) dab rencana-rencana pengurusan hutan lainnya. Rencana taknik tahunan disusun berdasarkan data RPKH dengan

memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi di lapangan seperti tanaman mati, pencurian, bencana lam, penundaan tebangan dll denganketersediaan tenaga kerja. Sarana dan prasarana Dalam penyusunan rencan taknik tahunan dikenal dengan istilah suplisi . pengertian suplisi adalah pengurangan atau penambahan jenis pekerjaan atau pergeseran lokasi. Suplisi RTT hanya di ijinkan di dlaam masa erencanaan sebelum tahun pelaksanaan. Di dalam RTT dibuat perencanaan kegiatan teknis kehutanan yang akan di lakukan semala tahun berjalan. Adapun penyususnan rencan ini berdasarkan pada survei evaluaasi seumber daya hutan yang dilakukan oleh pihka KPH dan berdasarkan pada data-data yang ada dalam RPKH. Berikut ini dokumentasi dalam mempelajari RPKH dan RTT e. Rencana Pelaksanaan Pelaksanaan pengelolaan direncanakan oleh KPH Banyumas Barat dalam bentuk Rencana Teknik Tahunan (RTT). RTT adalah penjabaran RPKH yang memuat rencana rinci pengurusan hutan untuk jangka waktu satu tahun. RTT merupakan output dari inventarisasi hutan yang merupakan input dan penyusunan RPKH yang merupakan proses yang dilaksanakan SPH I Banyumas Barat

(Lampiran 5). RTT tersebut terdiri atas RTT tebangan, RTT teresan, RTT tanam, RTT persemaian, RTT pemeliharaan atau tebangan E, RTT sadapan, dan lain-lain disesuaikan dengan kelas perusahaan yang dikelola. Lingkup kerja pengelolaan KPH Banyumas Barat yaitu mulai dari kegiatan penanaman sampai dengan pemanenan. Dalam penyusunan RTT terdiri dari bidang kegiatan antara lain: Pembuatan persemaian Persiapan pelaksanaan tanaman yang terbagi menjadi dua sistem tanam: 1. Sistem tanam Tumpang Sari (TS)

28

2. Sistem tanam Banjar Harian (BH) Pelaksanaan tanaman Pemeliharaan tanaman yang tebagi menjadi Pemeliharaan I, Pemeliharaan II, dan Pemeliharaan IV-V tahun Pemeliharaan Penjarangan 1. Penjarangan menghasilkan 2. Penjarangan tanpa hasil Rencana tebangan terdiri dari: 1. Rencana tebangan hutan produktif sesuai etat (Tebangan habis dalam jangka berjalan/Tebangan A) 2. Rencana persiapan tebangan (Tebangan habis pada lapang tidak produktif/Tebangan B) 3. Penjarangan (Tebangan silvikultur yang dilaksanakan secara periodik untuk memberikan tempat dan ruang tumbuh yang optimal). Rencana sadapan Rencana inkonvensional

f. Rencana pengelolaan Manajemen perencanaan yang terdapat di Perum Perhutani, antara lain: RUP (Rencana Umum Perusahaan), adalah rencana jangka panjang yang bersifat menyeluruh. RPKH (Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan), adalah rencana-rencana pedoman pengusahaan suatu kelas perusahaan yang telah ditata pada suatu KPH guna manajemen azas ekonomis dan kelestarian hutan, hasil hutan serta pemanfaatan hutan. RLTP (Rencana Lima Tahun Perusahaan) RKTP (Rencana Kerja Tahunan Perusahaan), yaitu rencana terrinci dalam satu tahun sebagai dasar penyusunan Rencana Anggaran Perusahaan (RAP) RTT (Rencana Teknik Tahunan) adalah rencana fisik kegiatan yang akan dilaksanakan yang disusun oleh Administratur. RPKH disusun oleh Seksi Perencanaan Hutan (SPH), RTT disusun oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) yang dinilai oleh SPH, RKL disusun oleh

29

Biro Perencanaan Sumberdaya Hutan di tiap unit, dan RJP disusun oleh Direksi Perum Perhutani. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) Kelas Perusahaan Pinus merkusii disusun oleh Seksi Perencanaan Hutan I Semarang. Pelaksanaannya oleh KPH Banyumas Barat, berdasarkan Rencana Teknik Tahunan (RTT) yang telah dinilai oleh SPH I Semarang. Penilaian RPKH dilaksanakan oleh Kepala Biro Perencanaan dan Pengembangan Perusahaan, disetujui oleh Kepala Perum

Perhutani Unit I Jawa Tengah , dan disahkan oleh Direktur Utama Perum Perhutani. Berikut ini hasil pengaturan kelestarian hutan KPH Banyumas Barat kelas perusahan pinus. Dengan perhitungan etat, uji jangka waktu penebangan dan pembuatan bagan tebang habis selama jangka merupakan salah satu materi yang menjadi bahan dsar dalam ragka pengelolaan hutan secara lestari. Berikut ini ini hasil risalah sumber daya hutan yang dimiliki oleh KPH Banyumas Barat pada awal tahun 2009, Tabel 8 Susunan Kelas hutan pada Kelas perusahaan Pinus
N0. Kelas Hutan Untuk Produksi KU I KU II KU III KU IV KU V KU VI KU VII KU VIII KU IX KU X Masak Tebang (MT) Miskin Riap (MR) Tak Baik Untuk Tebang Habis (TBPTH) Tanah Kosong Tak Baik Untuk Jati (TKTBJ) Tan. Kayu Lain Tak Baik Utk Jati (TKLTBJ) Tan. Jenis Kayu Lain (TJKL) Jumlah Untuk Produksi Bukan untuk Produksi Tanaman Jati Bertumbuhan Kurang BH DY.LUH UR (Ha) 448,8 287,3 110,9 542,0 382,3 787,7 1.389,4 91,9 43,6 4.083,9 4.083,9 BH MAJENA NG (Ha) 205,8 447,6 436,2 356,1 978,1 1.351,2 2.021,5 8,0 5.804,5 5.804,5 BH LUMBIR (Ha) 712,6 792,3 697,7 132,8 699,9 601,6 3.383,1 443,1 125,2 7.588,3 7.588,3 BH SIDAREJA (Ha) 115,4 23,9 62,1 654,5 469,3 336,9 1.532,9 3.195,0 3.195,0 TOTAL KP PINUS (Ha) 1.482,6 1.551,1 1.306,9 1.685,4 2.529,6 3.077,4 8.326,9 543,0 168,8 20.671,7 20.671,7 -

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

17

30

18 19

20 21 22 23 24 25 26

(TJBK) Lapangan Tebang Habis Jangka Lampau (LTJL) Tanah Kosong ( TK ) Tanah Kosong Sengketa Jumlah TK Tanaman Kayu lain (TKL) Hutan Alam Kayu Lain (HAKL) Hutan Lindung Terbatas (HLT) Lapangan Dengan Tujuan Istimewa (LDTI) Hutan Lindung (HL) Tak Baik Untuk Produksi (TBP) Suaka Alam/Hutan Wisata (SA/HW) Jumlah Bukan Untuk Produksi Jml Utk Prod + Bukan Utk Prod. Alur

53,6 338,9 392,5 96,7 5.479,4 13,90 50,20 6.032,7 10.116,6 16,2 10.132,8

12,0 6,2 18,2 626,5 1.255,6 57,7 102,0 2.060,0 7.864,5 32,2 7.896,7

23,4 23,4 263,4 98,2 31,1 114,1 61,2

12,7 441,5 454,2 9.205,9 168,8 43,1 35,7

78,3 810,0 888,3 10.192,5 7.002,0 145,8 114,1 249,1

591,4 8.179,7 55,6 8.235,3

9.907,7 13.102,7 98,8 13.201,5

18.591,8 39.263,5 202,8 39.466,3

27

Total KP PINUS Sumber: KPH Banyumas Barat (2009)

Pada tabel berikut ini mengenai susunan kelas hutan mangrove yang dimiliki oleh KPH Banyumas Barat pada periode tahun 2009 Tabel 9 Susunan Kelas hutan mangrove tahun 2009
Kelas Hutan 1 Untuk produksi KU I KU II KU III KU IV KU V KU VI KU VII KU VIII KU IX KU X MT HMR HMBK HLMC TK TKL HAKL TBP TJKL HLT HAMC BKPH Rawa Barat 2 3.673,6 466,4 BKPH Rawa Timur 3 1.348,8 1.542,8 246,5 344,5 30,0 1.067,5 204,5 1.781,9 44,8 2.457,1 1.813,3 Hasil Audit 2007 4 1.348,8 1.542,8 246,5 344,5 30,0 1.067,5 204,5 5.447,1 44,8 2.931,9 1.813,3

31

HL Jumlah Utk Prod. Bukan Utk Prod. LDTI Jml Bkn Utk Prod Jumlah Alur Total KP Mangrove Sumber: KPH Banyumas Barat (2009)

4.140,0

10.881,7

15.021,7

10,9 10,9 4.150,9

20,0 20,0 10.901,7

30,9 30,9 15.052,6 1.027,3 16.079,9

Pengelolaan hutan lestari harus memiliki perencanaan hutan yang baik sehingga dalam perhitungan etat, uji jangka waktu penebangan dan pembuatan bagan tebang habis selama jangka harus lestari sesuai dengan kemampuan etatnya. Berikut ini tabel rekapitulasi KBD, bonita, dan kelas hutan KPH Banyumas Barat dalam menentukan etat.
Tabel 10 Volume Pada Umur tebang Rata-Rata Sebelum Uji Etat KP Pinus BH Dayeuhluhur Bagian Hutan Daur : Dayeuhluhur : 50 tahun Umur rata-Rata 32 26 24 18 13 10 5 Volume per Ha 137 156 173 213 191 196 172 Volume Total 18.180 123.880 256.317 131.570 91.279 44.904 31.356 697.486

Kelas Luas Bonita KBD Hutan (Ha) Rata-rata Rata-rata KU VII 132.70 2.00 0.78 KU VI 794.10 3.00 0.82 KU V 1.481,60 3.00 0.91 KU IV 617.70 3.00 1.12 KU III 445.90 4.00 0.93 KU II 229.10 3.00 1.03 KU I 214.30 2.00 0.98 Total 3.915,40 Sumber: KPH Banyumas Barat (2009)

Umur Rata-Rata (Th) : 21 Etat luas (Ha/Th) : 78.31

Umur tebang rata-rata (Th)

: 46

Etat volume (m3/ha) : 13.950 m3/thn

Tabel 11 Volume Pada Umur tebang Rata-Rata Sebelum Uji Etat KP Pinus Bagian Hutan Daur Kelas Hutan KU VI KU V KU IV KU III KU II KU I Total : Majenang : 50 tahun Luas (Ha) 1093,9 1901 1241,3 554,9 281,7 592,4 5.665.20 Bonita Rata-rata 3 3 3 3 2 3 KBD Rata-rata 1,03 0,9 1,09 0,99 1,16 0,95 Umur rata-Rata 26 24 18 13 7 5 Volume per Ha 196 171 20 189 203 181 Volume Total 214404 325071 258190 104879 54185 107224 1.066.950

32

Sumber: KPH Banyumas Barat (2009)

Umur Rata-Rata (Th) : 19 Etat luas (Ha/Th) : 113.30

Umur tebang rata-rata (Th)

: 44

Etat volume (m3/ha) : 21.339 m3/thn

Tabel 12 Volume Pada Umur tebang Rata-Rata Sebelum Uji Etat KP Pinus Bagian Hutan Daur : Lumbir : 50 tahun Umur rata-Rata 37 32 27 24 18 13 7 5 Volume per Ha 110 151 182 154 211 185 226 172 Volume Total 1738 54947 341341 358250 176185 26399 108028 229396 1.296.284

Kelas Luas Bonita KBD Hutan (Ha) Rata-rata Rata-rata KU VIII 15,3 2 0,63 KU VII 536,8 2 0,88 KU VI 1875,5 2 1,04 KU V 2326,3 3 0,81 KU IV 835 3 1,11 KU III 142,71 3 0,97 KU II 478 2 1,29 KU I 1333,7 2 0,98 Total 7.543,80 Sumber: KPH Banyumas Barat (2009)

Umur Rata-Rata (Th) : 20 Etat luas (Ha/Th) : 147.28

Umur tebang rata-rata (Th)

: 45

Etat volume (m3/thn) : 25.926 m3/thn

Tabel 13 Volume Pada Umur tebang Rata-Rata Sebelum Uji Etat KP Pinus Bagian Hutan Daur : Sidareja : 50 tahun Umur rata-Rata 28 25 18 12 7 Volume per Ha 183 169 196 200 351 Volume Total 205,033 111405 16151 145000 21060 643.649

Kelas Luas Bonita KBD Hutan (Ha) Rata-rata Rata-rata KU VI 1120,4 3 0,96 KU V 659,2 3 0,89 KU IV 22,2 3 1,03 KU III 725 3 1,05 KU II 60 2 2 Total 3.386,80 Sumber: KPH Banyumas Barat (2009)

Umur Rata-Rata (Th) : 21 Etat luas (Ha/Th) : 67.74

Umur tebang rata-rata (Th)

: 46

Etat volume (m3/ha) : 12.873 m3/thn

Berikut ini tabel volume pad umur tebang rat-arat pada pengujian terkahir kelas perusahaan pinus KHPH Banyumas Barat
Tabel 14 Volume Pada Umur tebang Rata-Rata pada pengujian terakhir Bagian Hutan Daur Kelas : Dayeuhluhur : 50 tahun Luas Bonita KBD Umur Volume Volume

33

Hutan (Ha) Rata-rata Rata-rata KU VII 132.70 2.00 0.78 KU VI 794.10 3.00 0.82 KU V 1.481,60 3.00 0.91 KU IV 617.70 3.00 1.12 KU III 445.90 4.00 0.93 KU II 229.10 3.00 1.03 KU I 214.30 2.00 0.98 Total 3.915,40 Sumber: KPH Banyumas Barat (2009)

rata-Rata 32 26 24 18 13 10 5

per Ha 133 149 173 221 200 204 180

Total 17.649 118.312 256.317 136.512 95.580 46.736 32.814 703.929

Tabel 15 Volume Pada Umur tebang Rata-Rata pada pengujian terakhir Bagian Hutan Daur : Majenang : 50 tahun Umur rata-Rata 31 42 49 54 51 54 Volume per Ha 187 175 215 196 212 188 Volume Total 204.559 332.675 266.882 108.760 59.720 111.371 1.083.965

Kelas Luas Bonita KBD Hutan (Ha) Rata-rata Rata-rata KU VI 1093,9 3 1,03 KU V 1901 3 0,9 KU IV 1241,3 3 1,09 KU III 554,9 3 0,99 KU II 281,7 2 1,16 KU I 592,4 3 0,95 Total 5.665.20 Sumber: KPH Banyumas Barat (2009)

Tabel 16 Volume Pada Umur tebang Rata-Rata pada pengujian terakhir Bagian Hutan Daur : Lumbir : 50 tahun Umur rata-Rata 37 33 36 46 52 51 47 52 Volume per Ha 111 515 783 159 219 191 235 179 Volume Total 1754 53811 343217 369.882 182.865 27.256 112.330 238.732 1.329.913

Kelas Luas Bonita KBD Hutan (Ha) Rata-rata Rata-rata KU VIII 15,3 2 0,63 KU VII 536,8 2 0,88 KU VI 1875,5 2 1,04 KU V 2326,3 3 0,81 KU IV 835 3 1,11 KU III 142,71 3 0,97 KU II 478 2 1,29 KU I 1333,7 2 0,98 Total 7.543,80 Sumber: KPH Banyumas Barat (2009)

Tabel 17 Volume Pada Umur tebang Rata-Rata pada pengujian terakhir Bagian Hutan Daur Kelas Hutan KU VI KU V KU IV : Sidareja : 50 tahun Luas (Ha) 1120,4 659,2 22,2 Bonita Rata-rata 3 3 3 KBD Rata-rata 0,96 0,89 1,03 Umur rata-Rata 28 25 18 Volume per Ha 183 169 196 Volume Total 205,033 111405 16151

34

KU III 725 3 KU II 60 2 Total 3.386,80 Sumber: KPH Banyumas Barat (2009)

1,05 2

12 7

200 351

145000 21060 643.649

Dalam perhitungan etat luas dan etat vlumedapat ditentukan dengan risalah hasil tabel diatas, etat merupkan suatu angka yang menunjukan besarnya (luas dan Volume) yang diperbolehkan ditebang atau dipungut hasil selama jangka waktu tertentu untuk mendapatkan kelestarian hasil yang diperoleh. Perhitungan etat luas dan etat volume sebagai berikut, Etat Luas = Luas/daur dan Etat Volume = Volume /daur , berikut ini hasil perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut bahwa didapat pada tabel di bawah ini
Tabel 18 Perhitungan Etat Luas dan Etat Volume KPH Banyumas Barat Bagian Hutan Dayeuhluhur Majenang Lumbir Sidareja Total Luas (Ha) 3.915 5.665,20 7.543,80 3.386.80 3.386.80 Total Volume ( m3 ) 697.486 1.033.950 1.296.284 643.649 643.649 Etat Luas (Ha/thn) 78.31 113.30 147.28 67.74 67.74 Etat Volume (m3/thn) 13.950 21.339 25.926 12.873 12.873

Dalam tabel tersebut etat volume tersebar terdapat di baagian hutn Lumbir dan terkecil pada bagian hutan Sidareja. Sedangkan etat luas tersebar di bagian hutan Lumbir dan terkecil pada bagian hutan Sidareja. Angka tersebut dapat menjelaskan bahwa luasan berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh, dengan perhitungan etat luas dan etat volume tersebut pemungutan hasil seumber daya lam dapat lestari karena sesuai dengan kemampuan hutan itu sendiri.

B. Analisis Permasalahan dan Alternatif Solusi Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan selama melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKP) pengelolaan Kelas Perusahaan Pinus merkusii BKPH CimangguKPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah , terdapat beberapa permasalahan yang dapat dijadikan studi kasus untuk dicari cara untuk mengatasi permasalahan tersebut. 1. Permasalahan hama dan penyakit persemaian Pada persemaian Pinus merkusii, hama yang menyerang ialah hama belalang (simeut) yang mengakibatkan daun-daun berlubang. Jika terjadi angin lada, biasanya semai akan terserang penyakit jamur karat (tumor daun) yang ditandai dengan munculnya benjolan pada daun. Selain itu, masalah penyakit fisiologis yaitu terjadinya defisiensi hara pada persemaian pun sering terjadi. Upaya pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengendalikan hama belalang ialah dengan diberikan insektisida secara rutin pada masa pemeliharaan persemaian. Untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan akibat

penggunaan insektisida maka dapat digunakan insektisida nabati. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial insektisida nabati ialah Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae, dan Rutaceae (Indiati 2009). Penyakit karat daun banyak terjadi pada bibit akasia umur 3-9 bulan, baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa. Di lapangan, tanaman akasia juga dapat terserang karat daun sampai berumur 3 tahun, terutama di daerah yang beriklim kering dan kondisi pertanaman yang kurang terawat (Suharti & Santoso 1984). Penyakit karat daun dapat menular dengan bantuan angin dan serangga (hama). Upaya pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan penyemprotan fungisida Terraclor Super X atau Orthocide 50 WP dengan konsentrasi 0,35% (Suharti & Santoso 1984). Mimba (Azadirachta indica A. Juss) merupakan salah satu tumbuhan dari famili Meliaceae yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama. Bagian tanaman mimba yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati adalah daun dan bijinya yang mengandung senyawa aktif utama azadiraktin. Selain bersifat sebagai insektisida, mimba juga memiliki sifat sebagai fungisida, virusida, nematisida,

bakterisida, maupun akarisida (Indiati 2009). Sehingga penggunaan daun atau biji mimba dapat diaplikasikan tidak hanya untuk pengendalian hama belalang di persemaian tetapi juga untuk pengendalian jamur karat yang timbul akibat serangan angin lodoh. Penyakit fisiologis pada persemaian Pinus merkusii (akasia) dan Melia azedarach (mindi) diakibatkan terjadinya defisiensi hara yaitu Kalsium (Ca) dan air pada semai akasia; Nitrogen (N) dan Kalium (K) pada semai mindi. Cara untuk mengatasinya ialah penyiraman harus secara intensif dilakukan yaitu 2 kali/hari pada pagi dan sore hari, pemberian tambahan kapur pada media semai akasia, serta pemberian tambahan pupuk NPK pada media semai mindi. Untuk menghasilkan bibit yang baik untuk penanaman dalam rangka memenuhi target produksi, maka kegiatan pemeliharaan pada persemaian terutama pengendalian hama dan penyakit harus dilakukan secara intensif. 2. Permasalahan sarana dan prasarana penunjang persemaian Permasalahan yang terjadi pada sarana dan prasarana penunjang persemaian ialah instalasi air yang sudah tua sehingga proses penyedotan air dari situ Cijantungeun untuk penyiraman sering terhambat. Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan terhadap instalasi air tersebut agar kegiatan pemeliharaan terutama penyiraman tidak terhambat. 3. Permasalahan hama dan penyakit pada tegakan hutan Hampir semua tegakan hutan tanaman Pinus merkusii di BKPH Cimangguterserang hama ulat kantong (Pteroma plagiopelps) dari famili Psychidae yang mengakibatkan daun-daun akasia berlubang. Jika satu pohon terserang ulat kantong maka pohon-pohon lain di sekitarnya akan cepat tertular diserang hama ulat kantong. Pengendalian ulat kantong dapat dilakukan dengan cara injeksi batang dengan Manuver 400 WSC dengan bahan aktif dimehipo 400 gram/liter. Teknologi injeksi batang ternyata ramah terhadap lingkungan sebab tidak mencemari lingkungan dan tidak membunuh serangga non target, baik serangga penyerbuk maupun serangga berguna lainnya. Cara ini pernah diaplikasikan pada Perkebunan Kelapa Sawit di PT. Lonsum dan PT. Soffindo, Sumatera Utara. Berdasarkan pengalaman pekebun dari PT. Lonsum dan PT. Soffindo

menunjukkan bahwa pengendalian ulat kantong dengan cara injeksi batang dengan Manuver 400 WSC terbukti efektif dan efisien mengendalikan hama tersebut (Rusmanto 2009). Selain itu dapat pula diaplikasikan insektisida nabati dari daun dan biji mimba seperti pada upaya pengendalian hama dan penyakit pada persemaian atau insektisida nabati dengan menggunakan air rebusan biji mahoni (Swietenia macrophylla) untuk disemprotkan ke tanaman yang terkena hama ulat kantung karena mahoni mengandung senyawa limonoid yang bersifat menghambat makan dan perkembangan serangga (Hamdani 2009). Selain serangan hama ulat kantong, terdapat pula serangan penyakit embun jelaga pada tegakan Pinus merkusii lokal maupun tegakan Pinus merkusii MHP walaupun penyerangan penyakit belum pada skala yang besar. Pengendalian penyakit embun jelaga dapat dilakukan dengan cara sanitasi kebun yaitu membersihkan gulma di sekitar pertanaman untuk menghilangkan inang alternatif jamur embun hitam, mengurangi sumber inokulum potensila, dan menekan populasi serangga yang menyebarkan penyakit ini. Penyakit embun hitam atau embun jelaga disebabkan oleh jamur Meliola sp. yang merupakan parasit obligat dan jamur Capmodium sp. yang tidak bersifat parasit tetapi cukup mengganggu proses fotosintesis. 4. Pertumbuhan Melia azedarach (mindi) yang tidak optimal sebagai tanaman pengisi pada hutan tanaman Pinus merkusii Pada hasil pengamatan pertumbuhan tegakan hutan tanaman Pinus merkusii diketahui bahwa pertumbuhan Melia azedarach (mindi) sebagai tanaman pengisi tidak optimal. Hal itu disebabkan karena pohon mindi kalah bersaing dengan Pinus merkusii dalam proses penyerapan unsur hara yang dibutuhkan pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, sebaiknya tanaman mindi diganti dengan tanaman lain yang dapat membantu peningkatan hara yang dibutuhkan tanaman baik tanaman pokok maupun pengisi, dapat tumbuh dengan baik atau mampu bersaing dengan akasia tanpa merugikan tanaman akasia yang menjadi tanaman pokok, serta tanaman yang tahan naungan. 5. Kebakaran hutan, bibrikan hutan, dan penggembalaan liar dalam kaitannya dengan perlindungan hutan

Kebakaran hutan cukup sering terjadi pada saat musim kemarau di BKPH Cimangguyang diakibatkan oleh kesengajaan maupun ketidaksengajaan dari masyarakat penggarap lahan yang berbatasan dengan kawasan hutan. Bibrikan hutan pun terjadi di areal kawasan hutan yang berbatasan dengan kawasan milik masyarakat desa walaupun dengan luasan yang cukup kecil. BKPH Cimangguyang sebagian besar daerahnya berupa dataran dengan sebaran kawasan hutan yang dikelilingi enclave mengakibatkan terciptanya interaksi sosial yang sangat kompleks, terutama dalam hal penggarapan lahan di kawasan hutan. Hampir seluruh lokasi enclave berupa sawah yang bentuknya menjari mengelilingi hutan sehingga tuntutan masyarakat untuk ikut menggarap kawasan hutan sukar untuk dikendalikan (SPH I Banyumas Barat 2005). Kawasan hutan BKPH Cimangguyang dijadikan jalur transportasi penggembalaan berpengaruh buruk terhadap kerusakan tanah dan pengurangan jumlah produksi pohon. Untuk mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan perlindungan hutan tersebut maka upaya pemberdayaan masyarakat desa hutan perlu lebih dioptimalkan dan diintensifkan. Manajemen Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) perlu dikuatkan lagi. Ide-ide usaha yang berasal dari hutan selain kerajinan kulit kayu akasia yang telah dilaksanakan LMDH Flora Jaya juga dapat dirintis oleh pengelola kawasan hutan yaitu BKPH CimangguKPH Banyumas Barat. Ide-ide usaha tersebut misalnya dengan pengusahaan briket arang, pembuatan kompos bokashi dari kotoran ternak gembala, dan pengusahaan kacang koro bukan melalui kerjasama penggunaan lahan dengan investor tetapi oleh masyarakat yang dibantu sampai dengan proses pemasarannya. Dengan adanya usaha-usaha tersebut, masyarakat desa hutan akan terbantu perekonomiannya secara merata sehingga kegiatan pengrusakan hutan seperti pembakaran hutan maupun bibrikan hutan tidak dilakukan. Selain itu, perlu dilakukan pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat desa hutan mengenai dampak negatif yang dihasilkan dari adanya kebakaran hutan, penggembalaan liar, maupun bibrikan hutan.

B. Hasil dan Pembahasan Materi Pembinaan Hutan Tanaman 1. Pembinaan Hutan Tanaman Pembinaan hutan tanaman yang dijelaskan pada Laporan Kegiatan Praktek Kerja Lapang ini dikhususkan pada Kelas Perusahaan Pinus Merkusii BKPH Cimanggu pada RPH Cimanggu di KPH Banyumas Barat. a. Teknik dan manajemen pengadaan benih Materi pembinaan hutan pada Praktek Kerja Lapang dilakukan di BKPH Ciamnggu pada kelas perusahaan pinus. BKPH Cimnaggu tidak memiliki Areal Produksi Benih (APB) untuk memenuhi kebutuhan benih dalam rangka kegiatan pengelolaan Kelas Perusahaan Pinus merkusii. BKPH Cimanggu mendapatkan benih yang siap di semaikan, benih yang diperoleh dari Biro Perencanaan di Semarang. Lokasi persemaian berada di petak 25C dengan luas 3.70 ha. Namun pada awal tahun 2009 yaitu bulan februari terjadi bencana alam longsor dan erosi maka banyak persemaian pinus yang rusak. Saat ini, persemaian memaksimalkan yang masih ada. Penyediaan benih Pinus merkusii dalam rangka produksi bibit untuk penanaman digunakan benih unggul dan benih lokal. Benih unggul yang digunakan yaitu benih tersertifikasi dari Biro Perencanaan Pengadaan benih dari benih lokal dilaksanakan hanya sampai tahun 2007. Sampai dengan tahun 2006, sumber benih lokal berasal dari APB Cimanggu. benih lokal yang digunakan yaitu benih yang diunduh dari Tegakan Benih Provenans Pinus merkusii. Kelas sumber benih dari tegakan benih tersebut yaitu Tegakan Benih Terseleksi. Metode pengunduhan benih yang dilakukan yaitu dengan cara memanjat (manual). Kondisi buah pada saat diunduh ialah cokelat. Ekstraksi benih yang dilakukan yaitu ekstraksi kering. Metode pengeringan yang digunakan ialah dengan dijemur matahari. Benih yang sudah terseleksi lalu disimpan dalam plastik.

36

b. Teknik dan manajemen persemaian a) Pembuatan bedeng dan lay-out persemaian Praktek pembuatan bedeng dan lay-out persemaian dilaksanakan di persemaian central yang terletak pada petak 25C RPH Cimanggu BKPH Majenang pada tanggal 15 Juli 2009. Bedeng dibuat dari bambu yang telah dipotong sesuai dengan ukuran 5 meter dan 1 meter sesuai dengan ukuran bedeng.

Gambar 8 Pembuatan bedeng dan bedeng yang dihasilkan. Satu hektar persemaian terdiri atas 800 bedeng yang masing-masing terdiri dari 1000 semai. Persemaian dibagi ke dalam beberapa blok, satu blok terdiri dari 10 bedeng. Ukuran bedeng, baik bedeng tabur maupun bedeng sapih, yaitu (5 x 1) m2 dengan letak bedengan menghadap utara-selatan. Antar bedengan terdapat jalan pemeriksaan selebar 50 cm yang bertujuan untuk memudahkan seleksi bibit dan kegiatan pemeliharaan persemaian. Lay-out persemaian dapat dilihat pada Gambar 19.

37

Skala 1 : 1500

Gambar 9 Lay-out persemaian RPH Cimanggu. b) Pembuatan Media Persemaian Praktek pembuatan media persemaian dilaksanakan di persemaian central yang terletak pada petak 25C RPH Cimanggu BKPH Majenag pada tanggal 15 Juli 2009 yaitu pada periode persiapan produksi bibit Pinus merkusii lokal dan Hevea brasiliensis azedarach (Karet) sebagai tanaman pengisi.

Gambar 10 Persemaian Karet sebagai tanaman pengisi. Jenis media yang digunakan untuk pengadaan bibit Pinus merkusii (Pinus) dan Hevea brasiliensis azedarach (Karet) yaitu top soil dan kompos dengan perbandingan 6 : 4. Pada pelaksanaan di lapangan, pencampuran media dilakukan dengan mencampurkan 1 m3 top soil, 12 pengki kompos, dan 1 kg

38

pupuk TSP dalam alat penakar campuran media yang kemudian diaduk rata dengan menggunakan cangkul (Gambar 20). Campuran media yang telah diaduk rata lalu dimasukkan ke dalam karung plastik yang akan diantar ke masing-masing bedeng yang ada di persemaian. Media yang telah berada di bedeng lalu dimasukkan kedalam kantong plastik (polybag) ukuran 10 cm x 10 cm x 15 cm sampai hampir penuh dan dipadatkan dengan tangan agar tanah tidak turun yang dapat menimbulkan lipatan plastik. Setelah dipadatkan, sisa plastik bagian atas ialah 1 cm. Peletakan polybag yang telah diisi media berdiri tegak dan diatur rapi pada bedeng sapih.

Gambar 11 Pengisian media pada polybag. c) Pembuatan bibit dari benih Produksi bibit yang dilaksanakan pada tahun 2009 di BKPH Cimanggu KPH Banyumas Barat yaitu produksi bibit Pinus merkusii (Pinus) sebagai tanaman pokok dan Hevea brasiliensis azedarach (Karet) sebagai tanaman pengisi. Selain karet yang digunakan unutk tanaman pengisi tanaman mindi juga menjadi tanaman samping. Dalam perlakuannya benih mindi harus diberi perlakuan dahulu dalam rangka pematahan dormansi agar dapat dikecambahkan. Perlakuan benih akasia yaitu direndam air panas dengan suhu 70-800C selama 30 menit, lalu direndam air dingin selama 1 hari. Perlakuan benih mindi dapat dilaksanakan dengan cara disangrai atau dijemur matahari sampai benih pecah. Aplikasi mindi sebagai tanaman samping ialah untuk tujuan insektisida alami. Berdasarkan kandungan bahan aktifnya, biji dan daun mimba mengandung azadirachtinmeliantriol, salanin, dan nimbin, yang merupakan hasil metabolit sekunder dari tanaman mindi.

39

Senyawa aktif tanaman mindi tidak membunuh hama secara cepat, tapi berpengaruh terhadap daya makan, pertumbuhan, daya reproduksi, proses ganti kulit, menghambat perkawinan dan komunikasi seksual, penurunan daya tetas telur, dan menghambat pembentukan kitin. Selain itu juga berperan sebagai pemandul. Selain bersifat sebagai insektisida, tumbuhan tersebut juga memiliki sifat sebagai fungisida, virusida, nematisida, bakterisida, mitisida dan rodentisida. Senyawa aktif tersebut telah dilaporkan berpengaruh terhadap lebih kurang 400 serangga sebagai senyawa aktif utama (Indiati 2009).

Gambar 12 Tanaman samping Melia azedarach (mindi). Selain mindi sebagai tanaman samping ada pula Calophyllum sp

(Nyamplung), berikut ini gamabr dilapangan nyamplung sebagai tanaman samping.

Gambar 13 Tanaman samping Calophyllum sp (Nyamplung).

40

Pada benih mindi, penaburan dilakukan pada bedeng tabur dengan jarak tanam 2 cm x 2 cm. Waktu penaburan ialah pada pagi hari. Apabila benih mindi telah berkecambah dan sudah dalam kondisi yang kokoh, dilakukan penyapihan.

Gambar 14 Benih (a), semai (b), dan bedeng tabur (c) Melia azedarach (mindi). d) Pemeliharaan persemaian Pemeliharaan persemaian yang dilaksanakan di Persemaian RPH Cimanggu ialah penyiraman, pemupukan, pengendalian gulma, dan pengendalian hama penyakit. Penyiraman di persemaian dilaksanakan pada pagi hari yaitu sampai dengan pukul 09.00 pagi atau sore hari setelah pukul 16.00 dengan cara disemprot melalui selang air. Pengendalian gulma jika terdapat gulma dengan cara dicabut sampai bersih. Terdapat dua periode pemberian pupuk pada persemaian yaitu pemberian pupuk TSP dan kompos yang diberikan pada saat pencampuran media dan pemberian pupuk daun Gandasil yang diberikan pada pemeliharaan persemaian sampai dengan siap tanam. Dosis pupuk TSP yang diberikan ialah 1 kg/m 3 top soil, dosis kompos yaitu 40% dari jumlah top soil, dan dosis pupuk daun Gandasil yaitu satu sendok ditambahkan 15 liter air. Pemberian pupuk TSP dan kompos hanya diberikan satu kali pada proses penyiapan media, sedangkan pupuk daun Gandasil dilakukan satu kali dalam dua minggu mulai ukuran tinggi semai 10 cm. Namun pemberian pupuk daun jarang dilakukan pada pelaksanaan di lapangan karena ketersediaan pupuk yang terbatas dan sumberdaya manusia yang kurang memadai.

41

Dalam persemaian pinus untuk mendapatkan bibit yang siap tanam dilapangan, biasanya ditandai dengan munculnya ekor banjing yang istilah ini digunakan dilapangan. Berikut ini gambar yang menunjukan bahwa bibit yang sudah siap ditanam dilapangan dengan munculnya ekor banjing. Selain dari kriteria kondisi pertumbuhan batang dan daun baik dan segar, daun berwarna hijau, daun ada 5 helai, ketinggian 25-30 cm dan batang lurus, batang berdiameter rata-rata 5 mm, batang bibit kuat dan segar, dan akar kuat dan padat, tidak menembus kantong plastik dan tumbuh ke tanah.

Gambar 15. Penanda ekor banjing sebagai bibit yang siap tanam Untuk melindungi proses pengecambahan semai Pinus merkusii dari pengaruh cuaca dan intensitas cahaya yang berlebih, maka diberikan naungan. Naungan yang diberikan seharusnya dengan menggunakan paranet, namun karena ketersediaan dana yang terbatas maka paranet yang tersedia hanya 50 meter sehingga naungan lain yang digunakan ialah jerami dan pelepah daun.

42

Gambar 16. Naungan dengan menggunakan jerami dan pelepah daun.

e) Evaluasi persemaian Dalam mengevaluasi persemaian, hal-hal yang perlu diperhatikan ialah kualitas bibit baik fisik maupun fisiologis, intensitas hama dan penyakit, sarana prasarana penunjang, dan permasalahan. Kualitas bibit secara fisik diketahui melalui pengukuran tinggi dan diameter semai untuk menentukan indeks kekekaran suatu bibit. Intensitas hama dan penyakit diketahui melalui inventarisasi bibit yang terserang hama maupun penyakit. Sarana prasarana penunjang diketahui dengan cara menginventarisasi sarana dan prasarana yang terdapat di persemaian. Intensitas hama dan penyakit Pengamatan terhadap intensitas serangan hama dan penyakit persemaian juga dilakukan pada semai Pinus merkusii. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah bibit yang terkena serangan hama atau penyakit berdasarkan gejala atau tanda yang berbeda. Pada pemeriksaan semai Pinus merkusii, hama yang menyerang ialah belalang yang menyebabkan daun berlubang. Penyakit yang menyerang persemaian ini tidak disebabkan oleh patogen tetapi karena terjadinya defisiensi hara. Pada semai Pinus merkusii menunjukkan gejala daun berbintik cokelat dan menunjukkan gejala kekeringan. Gejala daun berbintik cokelat disebabkan semai kekurangan Kalsium (Ca) dalam proses pertumbuhannya. Gejala kekeringan disebabkan oleh kurangnya pasokan air yang dibutuhkan semai.

43

Namun dari hasil pengamatan intensitas hama dan penyakit tersebut dapat diketahui bahwa pada kondisi tidak dilakukan pemeliharaan dan dengan jangka waktu yang sama. Semai Pinus merkusii tidak dapat tahan tanpa adanya penyiraman secara intensif dan perlu penambahan zat kapur pada saat pencampuran media semainya. Sarana dan prasarana penunjang Dalam rangka melaksanakan produksi bibit di persemaian maka diperlukan sarana prasarana yang mendukung. Sarana prasarana persemaian yang tersedia di persemaian central RPH Cimanggu BKPH Majenang, antara lain gubuk kerja, kantor, saluran air, kolam tandon air, papan pengenal persemaian, papan mutasi persemaian, papan pengenal blok, papan pengenal bedengan, serta perlengkapan kerja yang terdiri atas cangkul, parang, golok, linggis, skop, garpu, palu gergaji, gunting, dan ayakan (Gambar 26).

Gambar 17 Sarana dan prasarana persemaian.

44

Pembangunan persemaian Dalam pengelolaan kelas perusahaan Pinus merkusii di BKPH Majenang,

produksi bibit generatif terkonsentrasi pada persemaian central yang terletak di petak 25C RPH Cimanggu. Pemilihan lokasi persemaian central yang berada di wilayah RPH Cimanggu ditentukan berdasarkan persyaratan berikut: 1. Dekat dengan sumber air sepanjang tahun dengan volume yang mencukupi. 2. Dekat lokasi rencana tanaman 3. Topografi datar dengan kemiringan maksimal 5% 4. Aksesibilitas tinggi, terdapat akses jalan raya dan jalan masuk yang dapat dilalui oleh truk 5. Drainase tanah baik 6. Mudah dalam pengangkutan karena terdapat akses jalan yang sampai dengan persemaian 7. Iklim dan ketinggian dari permukaan laut sesuai dengan persyaratan tumbuh jenis tanaman yang diproduksi. Tipe persemaian yang dibangun ialah persemaian semi permanen dengan luas 3.7 ha. Persemaian seluas 3.7 ha tersebut terdiri atas bedeng tabur, bedeng sapih, gubug, kantor, akses jalan, dan penampungan air.

Pengadaan bibit dari benih Jenis yang dikembangkan pada persemaian ini yaitu Pinus merkusii

(mangium) sebagai tanaman pokok dan Hevea brasiliensis (Karet) sebagai tanaman pengisi. Pinus merkusii dipilih sebagai tanaman pokok karena merupakan jenis kelas perusahan, sedangkan pemilihan jenis karet sebagai tanaman pengisi karena metode pemanenan hampir sama dengan pinus yaitu penyadapan getah. Total kebutuhan bibit Pinus merkusii pada tahun 2009 yaitu 75.377 bibit dengan total kebutuhan bibit pinus pada tahun 2009 sebesar 271.018. Potensi kelas perusaahan pinus ini mencapai daur 50 tahun, sehingga kebutuhan bibit untuk penanaman menjadi dilema karena mengalami penurunan kebutuhan bibit dari tahun sebelum-sebelumnya.

45

Kelas perusahaan Pinus merkusii BKPH Cimanggu untuk memenuhi kebutuhan bibit tanaman untuk. Kebutuhan bibit untuk tanaman Tahun II di BKPH Cimanggu dapat dilihat pada Tabel 8 yang merupakan realisasi kebutuhan bibit. Sedangkan tabel 9 merupkan rencana kebutuhan bibit pada tanaman tahun II Tabel 19 Realisasi kebutuahan bibit untuk tanaman Tahun II BKPH Majenang
Realisasi No. BH / BKPH / RPH BKPH MAJENANG RPH Cimanggu Petak Luas Baku Jenis Anak Semai Jumlah bedeng Jumlah % (Bd) (9:6) Luas Luas % (Ha) (11:7) Jumlah Semai Jumlah % (Bt) (13:8)

25 C

Pinus Mindi

75 24

3,70 0,03

100

75.377 23.889

100,0 100

Sumber: BKPH Cimanggu(2009)

Tabel 20 Rencana bibit untuk tanaman Tahun II BKPH Majenang


No. 1 BH / BKPH / RPH Petak Luas Baku Jenis Anak Semai Jml Bedeng (Bd) 75 24 Rencana Luas Jml Anak Semai (Ha) (Bt) 3,70 0,03 75.377 23.889

BKPH MAJENANG RPH Cimanggu 25 C Pinus Mindi

Sumber: BKPH Cimanggu(2009)

Untuk memenuhi kebutuhan bibit tersebut, maka perlu manajemen waktu yang baik dalam pelaksanaannya. Tata waktu pelaksanaan pembuatan persemaian Pinus merkusii di BKPH Cimanggudapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 21 Tata waktu pembuatan persemaian Pinus merkusii
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jenis Kegiatan 1 2 3 Persiapan lapangan Persiapan media Pengadaan kantong plastik Pengisian kantong plastik Pengadaan benih Penaburan benih Penyapihan Pemeliharaan Seleksi bibit Penanaman Sumber: Biro Pembinaan SDH (2001) 4 50 50 5 100 100 50 Tata Waktu (%) 6 7 8 9 10 11 12

100 50 50 100 100 50 25

100 50 25

100 50 50

100 100 50

100

Manajemen persemaian Sumberdaya manusia pelaksanaan persemaian di persemaian central RPH

Cimanggu BKPH Cimanggu terdiri atas 10-20 orang dengan mayoritas tingkat

46

pendidikan yaitu SD dan SLTP, serta sedikit yang berpendidikan SMA. Pada kualifikasi SDM persemaian yang dituntut adalah kinerjanya bukan tingkat pendidikan dari SDM tersebut. Agar pelaksanaan kegiatan produksi bibit di persemaian berjalan dengan baik, maka kegiatan produksi bibit di persemaian central RPH Cimanggu BKPH Cimanggu dilaksanakan dengan sistem manajerial seperti pada Gambar 11.

Gambar 18 Struktur organisasi persemaian BKPH Cimanggu. Sistem upah yang berlaku ialah dengan sistem borongan atau harian. Upah borongan yaitu Rp 16.000/bedeng. Upah harian yaitu Rp 12.000 per setengah hari kerja atau Rp 22.500 per hari kerja bagi laki-laki dan Rp 10.000 per setengah hari atau Rp 17.500 per hari kerja bagi wanita. Prestasi kerja tenaga harian persemaian disajikan pada Tabel 10. Tabel 22 Prestasi kerja persemaian
No 1 2 3 4 5 Kegiatan Pembersihan lahan Pembuatan bedeng Pencampuran media Pengisian media kedalam polybag Penaburan benih Waktu 8 jam 20 menit 15 menit 4 jam 4 jam 1 jam Hasil 1 ha 1 bedeng 1 m3 media 1000 polybag (1 bedeng) 1000 polybag (1 bedeng) 2 ha Jumlah pelaksana 5 orang 6 orang 4 orang 1 orang 1 orang 10 orang Jenis kelamin Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Perempuan Laki-laki HOK 5 1/4 1/8 1/2 1/2 1/8

6 Penyiraman Keterangan: 1 HOK = 8 jam

c. Teknik dan manajemen penanaman Penanaman merupakan kegiatan inti dari budidaya hutan yang mencakup areal yang luas, memerlukan biaya yang besar, dan tenaga yang cukup banyak

47

dengan total waktu pelaksanaan yang kritis sehingga diperlukan perencanaan yang cukup matang. Perencanaan tanaman diarahkan dalam rangka optimalisasi fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dengan mempertimbangkan kelas perusahaan atau redesign sumberdaya hutan. Prosedur dan tata waktu mengacu kepada Pedoman Penyusunan RTT SK Direksi Nomor 1470/Kpts/Dir/1993 tanggal 30 Desember 1993 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Tahunan. SPK diterbitkan oleh Administratur berdasarkan RTT yang telah disahkan untuk dilaksanakan Asper/KBKPH sebagai dasar pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Rencana penanaman di BKPH Cimanggu pada tahun 2009 yaitu 1.236.744 bibit yang terdiri atas 390.722 bibit untuk kegiatan rutin dan 1.236.744 bibit untuk kegiatan pembangunan. Bibit yang ditanam pada kegiatan penanaman ini yaitu Pinus merkusii sebagai tanaman pokok dan Melia azedarach (mindi) sebagai tanaman pengisi. Penentuan jenis tanaman pokok didasarkan pada kesesuaian ekologis (fungsi hutan, kelas perusahaan, dan kesesuaian lahan) dengan

mempertimbangkan aspek finansial dan sosial. Tanaman pokok yang ditanam di BKPH Cimanggu KPH Banyumas Barat ialah Pinus merkusii yang dipilih berdasarkan kesesuaian tempat tumbuh yang sesuai dan sebagai kelas perusahaan.. Penanaman di KPH Banyumas Barat memiliki tujuan untuk pemenuhan kebutuhan terhadap tanaman Perhutani sebagai jenis tanaman produksi dan untuk keperluan rehabilitasi hutan. Penanaman di BKPH Cimanggu dengan kelas perusahaan Pinus merkusii bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan produksi. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka penanaman antara lain persiapan tanaman, persiapan sosial, pelaksanaan tanaman, sulaman tahun ke-2, dan sulaman tahun ke-3. Persiapan tanaman dimulai dari pemeriksaan lapangan, penentuan dan pemancangan patok batas, pembuatan jalan pemeriksaan, pembuatan blok tanaman, pembuatan plang tanaman, gubug kerja, pembersihan lahan, pengolahan tanah, pemasangan ajir, pembuatan lubang tanam, dan pemberian pupuk dasar. Pemilihan pengolahan lahan diusahakan seminimal mungkin menghindari dampak negatif terhadap tanah dan air. Pada persiapan sosial dilaksanakan kegiatan sosialisasi rencana tanaman ke anggota Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) sesuai dengan wilayah pangkuannya.

48

Tata waktu penanaman dilakukan pada awal musim hujan sampai dengan akhir musim hujan sesuai dengan jenis bibit yang digunakan. Penanaman disesuaikan dengan pola tanam sistem jalur dengan jarak tanam 3 m x 3 m. Sulaman awal tahun ke-2 dilaksanakan dengan menggunakan splilasi bibit 10% yang disediakan pada tahun pertama. Sulaman tahun ke-2 dilakukan pada awal musim hujan pada awal musim hujan pada tahun kedua sebesar maksimal 20% sari total bibit. Sistem tanam yang dilaksanakan ialah banjar harian. Bibit yang sudah siap tanam dapat dikemas dan kemudian diangkut ke lokasi penanaman. Syarat bibit sudah siap tanam antara lain: 1. Kondisi pertumbuhan batang dan daun baik dan segar, daun berwarna hijau, daun ada 5 helai 2. Ketinggian 25-30 cm dan batang lurus, batang berdiameter rata-rata 5 mm 3. Batang bibit kuat dan segar 4. Akar kuat dan padat, tidak menembus kantong plastik dan tumbuh ke tanah Pengemasan bibit harus dilakukan secara hati-hati, tidak ditumpuk, dan tidak boleh menyebabkan kerusakan bibit. Pengemasan harus dilakukan secermat mungkin dan disesuaikan dengan kemampuan penanaman pada hari itu. Bibit disusun dalam truk (tidak menggunakan keranjang) sehingga proses penyusunan bibit cukup membutuhkan waktu yang lama namun kapasitas angkut menjadi lebih banyak. Kerusakan banyak terjadi saat muat-bongkar dan pengangkutan. Alat angkut yang digunakan yaitu koldolak dengan kapasitas angkut 5000 bibit per rit. Pengangkutan dilakukan pada pagi hari sebelum jam 09.00 dan sore hari mulai jam 16.00 untuk mengurangi resiko kerusakan dan kematian bibit yang diangkut dan harus segera ditanam. Angkutan bibit dari persemaian ke lokasi tanaman diurus langsung oleh mandor persemaian dan mandor tanam. Di dalam pelaksanaan kegiatan penanaman di lapangan, dibutuhkan sistem manajemen penanaman yang baik. Manajemen penanaman di BKPH Cimanggud apat dilihat pada Gambar 12.

49

Gambar 19 Struktur organisasi penanaman di BKPH Cimanggu. Dalam pengamatan dilapangan teknik dan manajemen penanaman dilakukan dengan cara sebagai berikut: a) Pengamatan areal penanaman Pemantauan areal penanaman dilakukan dengan melakukan evaluasi penutupan lahan. Evaluasi penutupan lahan dilaksanakan pada petak 24A RPH Cimanggu yang merupakan salah satu lokasi penanaman Pinus merkusii pada tahun 2009. Pengamatan dilakukan yaitu pengamatan kondisi tutupan lahan, pada lokasi tersebut. Berikut ini gambar 28 kondisi tutupan lahan pada areal penanaman

Gambar 20 Kondisi tutupan lahan petak 24A RPH Cimanggu BKPH Majenang. Kondisi tutupan lahan ditanami oleh pinus dengan ditumbuhi oleh tanaman singkong. Penanaman singkong yang merupakan salah satu program PHBM oleh KPH Banyumas Barat yang bekerjasama dengan masyarakat desa hutan.

50

Pengamatan areal penanaman dilakukan dengan membuat petak contoh tanaman dengan ukuran 20 x 20 m. pengamatan tersebut bertujuan unutk melihat pola tanam antara tanaman pokok dan tanaman pengisi. Pengamatan dilakukan sekaligus membantu mandor tanam untuk melakukan crosscek evaluasi persentase pertumbuhan tanaman. Petak contoh dibuat sebanyak 30 petak contoh. berikut ini gambar 29 mengenai kondisi tanman pengisi yaitu karet..

Gambar 21 Kondisi tanaman pengisi Kondisi tanaman pengisi tumbuh dengan sehat, berdsarkan hasil pengamatan bahwa pola tanam yang dilakukan dilapang yaitu dengan mengkombinasikan tanaman pokok (pinus) sebanyak 60 % dan tanaman pengisi (karet) sebanyak 40 %. Dalam petak ukur yang berukuran 20 m x 20 m di tanami 5 baris untuk tanaman pokok (pinus) yang kurang lebih berisi 50 tanaman, sedangkan 2 baris berikutnya ditanami tanaman pengisi (karet) sebanyak 14 tanaman..

Gambar 22 Pola tanam hutan tanaman Pinus merkusii BKPH Majenang.

51

b) Kegiatan penanaman Berdasarkan tata waktu kegiatan persemaian Pinus merkusii, kegiatan penanaman dilaksanakan mulai bulan November tahun berjalan. Oleh karena itu, pada kegiatan Praktek Kerja Lapang ini tidak dilaksanakan kegiatan penanaman. Namun persiapan alat yang dibutuhkan dalam rangka kegiatan penanaman sudah dimulai (Gambar 31).

Gambar 23 Ajir yang telah disiapkan untuk kegiatan penanaman. Persiapan lapangan rangka kegiatan penanaman terdiri dari pembersihan lahan dari gulma dan vegetasi pengganggu lain, pembuatan batas-batas lapangan areal yang akan ditanam, pembuatan larikan tanaman dan pemasangan ajir yang mengikuti kontur, dan pembuatan lubang tanam. Belum ada teknik khusus dalam pengelolaan lapisan tanah maupun pengendalian erosi dan sedimentasi. Teknik penanaman telah dilaksanakan dengan baik dimana polybag dilepaskan dulu dari bibit sebelum ditanam. Sistem penanaman dilaksanakan dengan sistem Banjar Harian (BH). Pola tanam dilaksanakan dengan yaitu sistem jalur (Gambar 32).

52

Gambar 24 Sistem Penanaman Banjar Harian (BH). Sistem tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat desa hutan untuk melakukan tumpang sari dapat dilihat pada gambar 32. Dilapangan tumpang sari dikombinasikan dengan singkong pada gamabr 28 diatas dan kacang tanah pada gamabr 32. Sedangkan kombinasi dengan kacang panjang pada gambar 33. Kegiatan tumpang sari tersebut merupakan salah satu program PHBM oleh KPH Banyumas Barat yang bekerjasama dengan masyarakat desa hutan unutk mendapatkan nilai lebih ekonomi serta dapat meningkatkan kesejahteraan. Berikut ini gambar kondisi tumpang sari yang dilakukan oleh masyarakat.

Gambar 25 Kondisi tumpang sari. d. Teknik dan manajemen pemeliharaan tanaman Kegiatan pemeliharaan tanaman terdiri atas penyulaman tanaman, pendangiran, pemupukan, wiwil, penjarangan, pemangkasan cabang (prunning), serta pengendalian hama dan penyakit. Agar kegiatan pemeliharaan dapat terlaksana dengan baik, maka dilaksanakan dengan sistem manajemen seperti pada Gambar 13.

53

Gambar 26 Struktur organisasi pemeliharaan tanaman di BKPH Cimanggu.

54

C. Hasil dan Pembahasan Materi Perlindungan Hutan Tanaman a. Pengendalian Hama dan penyakit tegakan Pengamatan hama dan penyakit pada tegakan sengon (Paraserianthes falcataria) dari tanaman kayu lain (TKL) dari Tegakan LMDH Lodaya BKPH Sidareja RPH Dayuehluhur. Dari hasil pengamatan dengan dengan teknik sampling plot lingkaran (r = 17,84 meter). Tegakan sengon yanng terserang penyakit pada bagian tanaman seperti pucuk dan batang yang terserang mula-mula terdapat pembengkakan seperti sarang semut, selanjutnya membentuk sarang kerak berwarna cokelat tua yang bergelombang dan bulat-bulat. Bagian tanaman yang terinfeksi akan membentuk nekrotis bulat atau lonjong pada kulit yang akhirnya membentuk luka terbuka dibatasi oleh kallus. Apabila serangan penyakit ini menggelang batang, maka akan terjadi kematian pohon yang ditandai dengan layu dan gugurnya daun (Mardji 1994). Berikut ini gambar yang menunjukan batang yang sudah terinfeksi.

Gambar 27 Bentuk ulat kantong dan batang yang terserang. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan terdapat 22 pohon. Seluruh tegakan (100%) pada plot contoh tersebut terserang hama yaitu ulat kantong (Pteroma plangiopelps) dari ordo Lepidoptera dan famili Psychidae. Jika suatu pohon sudah terserang ulat kantong maka akan dengan mudah pohon-pohon lain di sekitarnya untuk terserang dengan cepat juga. Ulat kantong merupakan pemakan daun yang bisanya menyerang pada saplings muda. Berikut ini contoh gambar pucuk sengon yang telah terinfeksi oleh ulat kantong.

55

Gambar 28 Bentuk ulat kantong dan daun yang terserang. b. Pengendalian Kebakaran Hutan Kejadian kebakaran hutan di BKPH Rawa Timur cukup sering terjadi, terutama pada saat masyarakat mengkonversi lahan rawa menjadi lahan penambakan. Kejadian ini akibat kesengajaan atau ketidaksengajaan dari perilaku manusia. Proses kebakaran pada dasarnya sama dengan formasi atau terjadinya kebakaran yaitu bahan bakar, oksigen, dan sumber panas dimana kombinasi dari ketiga elemen tersebut merupakan unsur-unsur yang saling terkait terjadinya api atau yang sering disebut dengan segitiga api (fire triangle). Pada kegiatan praktek kerja Lapang aspek kebakaran hutan dilakukan dengan cara interview dengan ketua LMDH dan pengamtan langsung ke lokasi dilapangan pasca kebakaran dan analisis kerugian yang dihasilkan. a) Kerusakan hutan akibat kebakaran Inventarisasi kerusakan hutan akibat kebakaran dilaksanakan pada Petak 31A RPH Cikonde BKPH Rawa Timur. Kebakaran terjadi pada 31 Juli 2009. Kebakaran yang terjadi merupakan kebakaran permukaan dengan pembakaran api tidak sempurna yang ditandai dengan abu hasil kebakaran yang berwarna hitam dan abu-abu. Luas yang terbakar yaitu 1.5 ha. Kebakaran terjadi akibat ilaran api pembakaran lahan milik yang berada dekat dengan petak tersebut.

56

Gambar 29 Keadaan hutan rawa terbakar. Tipe kebakaran hutan yang sering kali terjadi di BKPH Rawa Timur ialah kebakaran permukaan. Kebakaran permukaan mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di lantai hutan, baik serasah, jatuhan ranting, log-log yang bergelimpangan di lantai hutan, tumbuhan bawah, dan sebagainya yang berada di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan tanah (Saharjo 2003). Muatan bahan bakar mempengaruhi perilaku api terutama laju penjalaran api, panas per satuan wilayah, dan persentase luas areal terbakar. Bahan bakar permukaan di BKPH Rawa Timur sangat mudah untuk mempercepat laju penjalaran api karena tingkat kekeringan serasah yang tinggi dan suhu udara (terutama pada musim kemarau) cukup tinggi. Tingkat kekeringan suatu bahan bakar mempengaruhi kecepatan pembakaran dan kemampuan terbakar dari bahan bakar. Dampak kebakaran hutan bergantung pada tingkat keparahan (fire severity) yang terjadi. Berdasarkan Hungeford (1996) dalam Saharjo (2003), tingkat keparahan kebakaran pada lokasi pengamatan termasuk terbakar ringan ( low fire severity). Hal itu ditandai dengan pemanasan tanah rendah, pengarangan bagian bawah yang ringan, serasah terbakar habis, lapisan duff tidak rusak walaupun permukaannya hangus, permukaan tanah hitam dan abu terjadi pada waktu singkat, serta suhu permukaan pada 1 cm kurang dari 500C. b) Analisis kerugian akibat kebakaran hutan Kebakaran hutan berdampak pada kerusakan pohon sebagai produk dari suatu perusahaan hutan tanaman juga berdampak pada kerusakan sifat fisik tanah,

57

pencemaran udara, dan sebagainya. Berdasarkan data yang peroleh dari KPH Banyumas Barat bahwa sampai bulan juni sehingga total kerusakan pohon yang masuk ke dalam laporan register dengan luas terbakar sebesar 5.62 ha diasumsikan 37 pohon terbakar. Berdasarkan tarif kerugian akibat gangguan hutan berdasarkan Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 789/SKPT/Dir/1999 (Lampiran 28), kerugian finansial akibat kebakaran hutan yang terjadi ialah sebesar Rp 811.500,(Tabel 21). Tabel 23 Kerugian akibat kebakaran hutan seluas 5.62 ha
No 1 2 Jumlah Kerusakan Pohon 37 pohon Perusakan tanah hutan 5.62 ha Total kerugian Bentuk kerusakan Tarif kerugian Rp 10.000 / pohon Rp 75.000/ha Jumlah kerugian Rp 390.000 Rp 421.500 Rp 811.500

Dari Tabel 23 dapat diketahui bahwa kerugian yang dihasilkan akibat kebakaran hutan yang merupakan hasil kecerobohan sangat besar. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran perlu lebih intensif lagi. c. Pencegahan perambahan dan pencurian kayu a) Kerusakan hutan akibat pembalakan liar Sampai bulan juni satuan polisi setempat dalam mengamankan wilyah dan aset perhutani dilakukan penggeledahan pada warga yang di curigai dari laporan masyarakat desa hutan telah melakukan pembalakan liar. Berdasarkan data yang diperoleh, berikut ini tabel hasil penggeledahan yang terjadi di BKPH Kawunganten RPH Kalijeruk. Tabel 24 Data kerugian kerusakan hutan akibat pembalakan liar
Tgl Kejadian BKPH RPH 17/03/2009 Kawunganten Kalijeruk MARET 11 0,54 27 0,4746 0 38 1,0146 1.896.110 Pt. Jenis Btg 0 11 A1 M3 0,54 Rp. Btg 27 PENGGELEDAHAN KAYU PERTUKANGAN Persegen M3 0,4746 Rp. 0 Jml Btg 38 Jml M3 1,01462 Jml Kerug. Rp. 1.896.110

Sumber: KPH Banyumas Barat (2009) b) Analisis kerugian akibat pembalakan liar

58

Analisis kerugian akibat pembalakan liar didasarkan pada hasil inventarisasi kerusakan akibat pembalakan dari data yang diperoleh. Berikut ini tabel kerugian akibat pembalakan Dari Tabel 25 dapat diketahui bahwa kerugian yang dihasilkan akibat kebakaran hutan yang merupakan hasil kecerobohan sangat besar. Oleh karena itu, upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran perlu lebih intensif lagi Tabel 25 Kerugian kerusakan hutan akibat pembalakan liar
No 1 Bentuk kerusakan Batang Jumlah Kerusakan 38 batang Total kerugian Jumlah (m3) 1.01462 Jumlah kerugian Rp Rp 1.896.110 1.896.110

Keterangan:

c) Pencurian Kayu Pengamatan pencurian kayu hutan dilaksanakan pada petak 69I RPH Bokol yang merupakan salah satu petak yang berbatasan langsung dengan kawasan milik masyarakat. jumlah total pencurian kayu hutan yang terjadi ialah 33 pohon (Tabel 26). Pencurian kayu tersebut terjadi untuk memperluas lahan garapan milik masyarakat agar dapat diperoleh hasil yang lebih banyak dan memberikan keuntungan yang. Sampai bulan april total kerugian yang terjadi sebesar Rp. 8.016.000,-. kerugian yang dihasilkan akibat pencurian kayu hutan yang merupakan hasil ketidak siapan petugas perhutani dalam menjaga aset . Oleh karena itu, perlu upaya pencegahan dan pengendalian pencurian kayu yang lebih intensif lagi. Tabel 26 Data kejadian pencurian kayu BKPH Bokol
PENCURIAN KAYU Ptk Tgl Kejadian Jenis BH Kls Hutan 13/1/2009 Bokol 18/01/2009 Sidareja 11/02/2009 Bokol 13/02/2009 69i Jati 20c Pinus JUMLAH 41a Jati 48c Sidareja KU I 1999 5 1,603 1.771 Sidareja JANUARI = KU III 1986 5 4 0,4668 0,6083 999 920 Sidareja KU VI 1975 2 0 277 Sidareja KU II 1996 Th. Tnm KAB CILACAP KAYU PERTUKANGAN Jml Phn 3 Vol M3 0,4668 Kerugian Rp.x 1000 722

59

Kawunganten 13/1/2009 Bokol 19/03/2009 Kawunganten Julangmangu 25/03/2009 Kawunganten 23/03/2009 Kawunganten 14/04/2009 Bokol 27/04/2009 Bokol

Jati JUMLAH 69i Jati 47b Jati 48c Jati 49c Jati JUMLAH 78c Jati 69k Jati JUMLAH APRIL = 7 1,187 1.868 Sidareja KU II 1996 4 0,7581 1.264 Sidareja MARET = KU II 1997 12 3 1,9158 0,4289 2.458 604 Sidareja KU I 2000 5 0,5213 592 Sidareja KU I 1999 2 0,568 668 Sidareja KU I 2001 2 0,1677 196 Sidareja FEBRUARI = KU II 1996 9 3 2,2113 0,6588 2.691 1002

Sumber: KPH Banyumas Barat (2009) d. Pencegahan Bencana alam Pengamatan bencana alam dilaksanakan pada petak 23A RPH Cimanggu yang merupakan salah satu petak yang terjadi bencana alam lngsor terbesar di KPH Banyumas Barat terjadi pada bulan februari yang menghasilkan kerugian yang cukup besar terhdap aset tegakan. Kondisi tegakan pinus pasca longsor pada gambar 35 dibawah ini.

Gambar 30 Kondisi tegakan pinus akibat longsor. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dan pengolahan data dari sekunder jumlah pohon yang tumbang pada petak 23A sebanyak 152 pohon.

60

Seluruh tegakan tidak bisa diselamatkan karena tumbang bersamaan dengan longsor yang cukup tinggi. Berikut ini tabel 25 bencana alam di RPH Cimanggu BPKH Majenang, terjadi pad petak 23A dan 2A dengan kelas umur masing-masing V dan VI. Dimana pada kelas umur tersebut menghasilkan getah yang optimal. Tabel 27 Bencana alam di RPH Cimanggu pada petak 23A
Tgl Kejadian BKPH RPH Ptk Jenis Kls Hutan KU VI Th. Tnm Luas Ha 07/02/2009 Majenang Majenang 01/02/2009 Majenang Cimanggu 23a Pinus KU V 1983 1 152 30,366 1312 2a Pinus 1977 0 Jml Phn 44 Vol M3 12,475 Kerugian Rp.x 1000 264 BENCANA ALAM KAB CILACAP

Sumber: KPH Banyumas Barat (2009) Kerugian mencapai Rp. 1.576.000,- untuk harga kayu bundar pinus, akan tetapi kerugian pada materi getah pinus belum diperhitungkan. Kerugian aset getah mungkin mencapai puluhan juta. Sehingga perlu adanya pertimbangan yang jangka panjang untuk mengantisipasi akibat erosi yang menyebabkan longsor.

61

D. Hasil dan Pembahasan Materi Konservasi Sumber Daya Hutan a. Pengelolaan kawasan lindung di KPH Banyumas Barat Kawasan lindung ialah kawasan-kawasan hutan yang dibebani fungsi perlindungan lingkungan, sistem ekologi, atau pelestarian alam. Kawasan lindung di hutan produksi adalah kawasan-kawasan yang terdapat di hutan produksi, baik hutan alam produksi maupun hutan tanaman industri yang dibebani fungsi perlindungan lingkungan, sistem ekologi, dan atau pelestarian alam. Pada umumnya, kawasan lindung yang terdapat di hutan produksi, yaitu sempadan sungai, sempadan pantai, sempadan waduk/danau, sempadan mata air, kawasan berhutan mangrove, kawasan bergambut, kawasan berketinggian tempat lebih dari 2.000 m dpl, kawasan berlereng curam (>40%), kawasan berhutan kerangas, koridor satwa, kawasan pelestarian plasma nutfah (KPPN), kawasan perlindungan satwa liar, buffer zone hutan lindung, zona penyangga kawasan pelestarian alam (KPA) atau kawasan suaka alam (KSA), areal konservasi atau HCVF (High Conservation Value Forest), kebun benih, dan areal sumberdaya genetik. Pengelolaan kawasan lindung di Hutan Tanaman Industri (HTI) bertujuan untuk mewujudkan kelestarian fungsi ekologis di HTI. Ada dua kriteria yang dipergunakan untuk menentukan kelestarian fungsi ekologis, yaitu kelestarian kualitas tata air dan kelestarian keanekaragaman hayati. Kelestarian kualitas tata air adalah terpeliharanya fungsi tata air dengan menggunakan pendekatan daerah tangkapan air (water catchment area) atau DAS (Daerah Aliran Sungai) sebagai satu unit analisis. Kelestarian keanekaragaman hayati adalah terpeliharanya keberadaan dan fungsi salah satu komponen ekosistem hutan yaitu komponen biotik, sumber plasma nutfah, tanaman pokok industri, tanaman penyangga, dan tanaman yang bermanfaat bagi masyarakat yang dapat menunjang kegiatan hutan tanaman dalam jangka panjang. Manfaat hutan yang bersifat intangible antara lain adalah pemanfaatan hutan sebagai jasa lingkungan, pemanfaatan hutan sebagai kawasan konservasi, suaka margasatwa, hutan lindung, kekayaan plasma nutfah dan sebagainya. Hutan

62

sebagai ekosistem harus dapat dipertahankan kualitas dan kuantitasnya dengan cara pendekatan konservasi dalam pengelolaan ekosistem. Pemanfaatan ekosistem hutan akan tetap dilaksanakan dengan mempertimbangkan dari keseluruhan fungsinya. Pemanfaatan kawasan lindung di KPH Banyumas Barat tidak dapat melalui pemanfaatan produksi kayu, tetapi lebih kepada pemanfaatan ekowisata, air, dan jasa lingkungan. Objek Wana Wisata KPH Banyumas Barat antara lain: Wana Wisata Tritih (BKPH Rawa Timur) Wana Wisata Hutan Alam Mangrove Sagara Anakan (BKPH Rawa Timur)

b. Pengelolaan kawasan lindung di BKPH Wanareja RPH Dayeuhluhur Hutan lindung seluas114,1 Ha di RPH Dayeuhluhur, BKPH Wanareja, Desa Cilumping KPH Banyumas Barat, maka dilakukan analisis vegetasi pada hutan lindung petak 28A. Kawasan lindung di Petak 28A di desa bolang memiliki komposisi vegetasi yang beragam, dengan kerapatan tajuk tegakan yang cukup rapat. Petak ini berbatasan dengan lahan milik PTP dan lahan sengketa yang ditanami tanaman kopi, luasan petak 28a ini adalah 5232.2 Ha, dengan topografi lereng, landai hingga agak curam dengan kemiringan antara 15 - 30 %. Di tetak 28A secara keseluruhan terdiri dari hutan lindung seluas114,1 Ha. dimana pada petak ini memiliki strata tajuk yang lengkap. Tumbuhan bawah dan semai cukup banyak ditemui, serasah mendominasi keadaan tanah di petak ini sehingga petak ini memiliki jenis tanah yang kaya akan humus, jenis tanah pada petak 28a adalah latosol merah kekuningan, sedikit berbatu dan labil dapat dilihat pada Gambar 31.

63

Gambar 31 Kondisi vegetasi Hutan Lindung RPH Dayeuhluhur. Praktek Kerja Lapang mengenai konservasi sumberdaya hutan dilakukan mempelajari komposisi vegetasi dengan membuat petak ukur. Menurut Soerianegara (1974) petak-petak tersebut dapat berupa petak tunggal, petak ganda ataupun berbentuk jalur atau dengan metode tanpa petak. Dari hasil analisis vegetasi yang dilakukan di petak 28a dengan petak contoh ukuran 20 m x 500 m, dan jumlah anak petak 20 m x 20 m sebanyak 25 petak, diperoleh data mengenai kerapatan tegakan, serta indeks nilai penting dari suatu jenis. Berikut hasil perhitungan INP (Indeks Nilai Penting), Kerapatan, Frekuensi, dan Dominansi pengamatan pada petak 28A. pengolahan data dan tally sheet dapat dilihat pada lampiran. Berdsarkan hasil pengolahan data diperoleh setiap strata tegakan sebagai berikut a) Tumbuhan Bawah Pada tingkat tumbuhan bawah ditemukan 17 jenis tanaman dimana INP terbesar yaitu jenis Pakis (Cycas rumphii) sebesar 32.75% pada perhitungan INP untuk 1 jalur, dengan nilai kerapatan relatif sebesar 14. 89 %. Tanaman pakis ditemukan hampir diseluruh petak yaitu 20 petak dengan total individu 77 rumpun, pada petak 4 nilai INP pakis mencapai 200%, artinya populasi tumbuhan bawah jenis ini mendominasi petak 4. Selain Pakis, tumbuhan bawah yang juga banyak ditemui adalah Rotan Cacing dengan persentase INP pada jalur sebesar 32,51%, dengan kerapatan relatif sebesar 16,44%. Tumbuhan Rotan Cacing hampir ditemukan pada setiap petak yaitu sebanyak 18 petak. Dengan Jumlah 85

64

rumpun pada jalur pengamatan, Rotan Cacing merupakan rumpun terbesar yang ditemukan dilapangan pada tingkat tumbuhan bawah. INP terbesar Rotan cacing ditemukan pada Petak 20 dengan nilai INP sebesar 120,07%. b) Semai Pada tingkat semai ditemukan 11 jenis tanaman dengan INP terbesar yaitu jenis Kibajing sebesar 49,72% , terdapat 27 individu semai jenis Kibajing pada satu jalur pengamatan, Kibajing merupakan jumlah individu terbesar yang ditemukan dilapangan pada tingkat semai. Tumbuhan Kibajing ditemukan pada 6 petak pengamatan, dimana INP terbesar terdapat pada petak 22 yaitu sebesar 200%. c) Pancang Pada tingkat pancang ditemukan 17 jenis individu, dengan INP terbesar yaitu jenis Pasang (Quercus sundaica) sebesar 38.48%, terdapat 15 individu Pasang pada satu jalur pengamatan. Pasang merupakan jumlah individu terbesar yang ditemukan pada tingkat pancang. Ditemukan pada 5 petak pengamatan, dengan nilai INP terbesar pada petak 11 yaitu 200%. d) Tiang Pada tingkat tiang ditemukan 10 jenis individu. Untuk jenis puspa INP tertinggi terdapat pada petak 2 dengan persentase 300%, untuk jenis huru INP tertinggi terdapat pada petak 5 dengan persentase 300%, untuk jenis kiteja INP tertinggi terdapat pada petak 6 dengan persentase 145.7382%, untuk jenis kisampang tertinggi terdapat pada petak 7 dengan persentase 250%, untuk jenis huru dapung INP tertinggi terdapat pada petak 8 dengan persentase 95.53704%, untuk jenis angrit INP tertinggi terdapat pada petak 9 dengan persentase 200.3625%, untuk jenis kibajing INP tertinggi terdapat pada petak 15 dengan persentase 300%, untuk jenis heas INP tertinggi terdapat pada petak 16 dengan persentase 300%, untuk jenis pasang INP tertinggi terdapat pada petak 17 dengan persentase 300%, dan untuk jenis kitaleus INP tertinggi terdapat pada petak 25 dengan persentase 300%. e) Pohon Pada tingkat pohon ditemukan 30 jenis individu, petak 1, dan petak 2, INP tertinggi yaitu jenis puspa sebesar 190.49%. Petak 3, 5, 13,dan petak 23, INP

65

tertinggi yaitu jenis Huru sebesar 211.6196% (terdapat pada petak 5), pada petak 4, 6, 7, 10, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 24, 25 INP terbesar yaitu pasang 219.0954% (terdapat pada petak 15), pada petak 8 INP terbesar yaitu jenis kiaratapok 184.77% , pada petak 9,11, dan 12 INP tertinggi yaitu jenis Huru Walang sebesar 133.15% (terdapat pada petak 9). Dari hasil analisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa Pasang merupakan jenis dengan nilai INP tertinggi jika dibandingkan dengan INP pada jenis lain. Hal ini dikarenakan jenis Pasang dapat ditemukan hampir disetiap petak pengamatan (20 petak pengamatan terdapat jenis pasang, 15 petak diantaranya didominasi oleh jenis Pasang dengan INP terbesar pada setiap petak)

66

E. Hasil dan Pembahasan Materi Hasil Hutan Kayu dan Non kayu a. Pemungutan hasil hutan kayu KPH Banyumas Barat mengelola hutan seluas 55.546,2 ha dengan hutan produksi seluas 53.780,90 ha yang terdiri dari KP Pinus di Bagian hutan DayeuhLuhur seluas, 10.132,80 ha, Majenang 7.896,70 ha, Lumbir 8.235,30 ha, Sidareja 13.201,30 ha, dan Cilacap KP Payau seluas 16.079.90 ha. KPH

Banyumas Barat telah melaksanakan tebangan setiap tahunnya dengan jenis kayu pinus, Pinus merkusii, dan rimba lainnya berdasarkan JPT (Jatah Produksi Tebangan). Berikut ini realisasi pada tahun 2004 sampai 2008 Tabel 28 Realisasi tebangan tahun 2004-2008 di KPH Banyumas Barat
BH / BKPH RPH KAB.CILACAP A. BH MAJENANG I. BKPH MAJENANG 1. RPH Cimanggu Jumlah JML. BKPH MAJENANG B. BH SIDAREJA II. BKPH KWNGANTEN 1. RPH Julangmangu Jumlah 2. RPH Kalijeruk 73 c 74 b Jumlah JML. BKPH KWNGANTEN BH. SIDAREJA BKPH BOKOL 1. RPH Besuki Jumlah 40 H 7,4 7,4 7,615 7,615 0,000 7,615 7,615 48 c 83,5 83,5 57,6 36,3 93,9 177,4 19,389 19,389 52,584 8,743 61,327 80,716 0,329 0,329 0,000 0,329 19,389 19,389 52,913 8,743 61,656 81,045 30 k 20,0 20,0 20,0 3,055 3,055 3,055 6,284 6,284 6,284 9,339 9,339 9,339 Petak Luas baku AI M3 A II M3 Kayu Perkakas A III M3 KBP M3 Jumlah M3

67

Jml BH Sidareja TOTAL E JATI BKPH MAJENANG BKPH KWNGANTEN KAB. BANYUMAS BKPH BOKOL 7,4 204,8 20,0 177,4

88,331 91,386 3,055 80,716 6,284 6,284 0,329 -

88,660 97,999 9,339 81,045

7,615 91,386

0,000 6,613

7,615 97,999

TOTAL E JATI 204,8 Sumber: KPH Banyumas Barat (2009)

Selain kayu, KPH Banyumas Barat memproduksi hasil hutan berupa getah pada Kelas Perusahaan Pinus. Getah pinus berasal dari sadapan pohon pinus yang diolah menjadi gondorukem dan terpentin sebagai bahan pembuatan kosmetika, cat, dan lainnya. Getah pinus dikirim ke PGT Cimanggu yang merupakan PGT terbesar di Unit I Jawa Tengah yang berada di kawssan BKPH Majenang untuk diproses menjadi gondorukem dan terpentin. Berikut ini realisasi getah pinus pada tahun 4004 sampai tahun 2008 Tabel 29 Realisasi produksi getah KP Pinus tahun 2004-2008
BAGIAN HUTAN BKPH WANAREJA MAJENANG LUMBIR SIDAREJA BOKOL KAWUNGANTEN Luas Baku 3098,4 6968 3959,7 2379,4 403,9 338,5 Luas Sadapan 3243,2 6853,3 3987 2334,1 387,9 338,52 Jumlah pohon 728015 1537100 978889 717935 105876 75334 4143149 Rencana Produksi 2184045 5041397 3152023 2297395 338803,2 241068,4 13254731 A Kg 2347200 5816674 3437414 2382376 386966 206141 14576771 B Kg 736 1221 3749 653 0 0 6359 Jumlah Kg 2347936 5817895 3441163 2383029 386966 206141 14.583.130

JUMLAH KPH 17.147,9 17144,02 Sumber: KPH Banyumas Barat (2009)

b. Perencanaan dan target produksi kayu Rencana produksi kayu perkakas dan kayu bakar dari kelas perusahaan Pinus merkusii KPH Banyumas Barat pada tahun 2009 ialah bagian hutan Cilacap rencana tebangan E jati tahun 2009 715 m3 dan bagian hutan Banyumas rencana tebangan E jati tahun 2009 700 m3. Sedangkan untu tebangan E kayu pinus ialah bagian hutan Cilacap rencana tebangan E kayu pinus sebesar 2697 m3 dan ayu perkakas dan 7764 sm kayu bakar dan bagian hutan Banyumas rencana tebangan E kayu pinus tahun 2009 sebesar 3.643 m3 dan 9.868 sm kayu bakar. Rencana dan realisasi produksi getah pinus KPH Banyumas Barat tahun 2009 sebesar

68

13.356.380 kg secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 9. Tata waktu pelaksanaan kegiatan perencanaan produksi dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 30 Tata waktu pelaksanaan kegiatan perencanaan produksi tebangan
KEGIATAN I RTT Tebangan 1. Usul RTT dari KPH ke SPH 2. Pengesahan RTT Tebangan (dari Biro Renbang) Cruising / Klem 1. Laporan hasil cruising (LHC) kepada Bupati 2. Cheking cruising 3. Herklem 4. Rekapitulasi LHC Tebangan Tahunan dari Dishut ke Bupati 5. Pengesahan rekapitulasi LHC & ijin Tebang Tahunan dari Bupati 6. Surat perintah tebang / Pemanenan hasil hutan tahunan Sumber: Perum Perhutani (2005) TATA WAKTU PELAKSANAAN T-2 T-1 II III IV I II III IV T-0 I Ket.

Paling lambat Desember T-2 Paling lambat Juni T-1 Paling lambat Desember T-2 Paling lambat Desember T-2 Paling lambat Juni T-1 Paling lambat Juni T-1 Paling lambat Juni T-1 Paling lambat Juni T-1

c. Perencanaan pembukaan wilayah hutan (PWH) Pembukaan Wilyah Hutan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum kegiatan tebangan, kegiatan seperti penyediaan sarana dan prasarana yang bertujuan mengoptimalkan produksi tebangan. Penyediaan sarana berupa jaringan jalan, peralatan kerja dan gubug kerja. Dalam pelaksanaan kegiatan PWH harus mempertimbangkan aspek teknis, ekonomis, sosial, dan ekolpgis secara terpadu. Sehingga diperleh bentuk jalan yang dapat dimanfaatkan secara optimal dan pemeliharaan yang baik. Dalam teknis dilapangan ada beberapa yang menjadi pertimbangan seperti bagaimana menggurangi beban pada truk angkut, memelihara saluran air di kanan- kiri jalan, dan Proses pemadatan menggunakan batu tanpa aspal. Tahap yang dilakukan adalah membuat trase jalan hutan yang merupakan proses pembuatan jalan sehingga dapat diperoleh prasarana yang akan dibuat. Trase jalan tersebut terdiri dari jalan utama, jalan cabang, dan jalan sarad. Dalam praktek kerja lapang ini dilakukan di RPH Cimanggu BKPH Majenang pata petak 26E yaitu pengmatan jalan cabang dan jalan utama. Berikut ini gambar 32 jalan cabang yang telah dibuat dengan lebar jalan 2,4 meter..

69

Gambar 32 kondisi jalan cabang RPH Cimanggu. Dalam pembuatan trase jalan ada beberapa fator yang harus diperhatikan antara lain menghindari tanjakan yang terlalu curam, menyeimbangkan serta meminimalisir galian dan timbunan, menghindari tikungan terlalu tajam, dan memilih rite yang terpendek serta menghindari tempat yang yang rentan terhadap longsor. Beriku ini gambar 33 mengenai tikungan jalan cabang yang dibuat dengan mempertimbangakan kontur, kelerangan dan tikungan terlalu tajam.

Gambar 33 Kondisi tikungan pada jalan cabang RPH Cimanggu Pertimbangan tanjakan menjadi permasalahan yang terjadi dalam pembuatan trase jalan. Tikungan yang curam dpat membahayakan pengangkutan kayu dan tanjakan jalan yang curam dapat meningkatkan beban angkutan. Berikut ini gambar 34 mengenai tikungan dan tanjkan yang dibuat untuk mempermudah pengakutan.

70

Gambar 34 kondisi Tanjakan jalan cabang RPH Cimanggu

d. Perencanaan penebangan Penebangan merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan hasil hutan yang beroreintsi pada hasil kayu. Sebelum kegiatan penebangan dilaksanakan Persiapan Penebangan , terlbih dahulu menyiapkan keterangan yang lengkap mengeani keadaan hutan yang akan ditebang. Kegiatan penebangan pada praktek kerja lapang ini dilakukan di RPH Cimanggu pada petak 25E BKPH Majenang. Pada kegiatan penebangan yang dilakukan berdsasrkan pad SPK (surat pertintah kerja) yang dikeluarkan pad bulan september sebelum tahun berjalan. Sebelum keluarnya SPK maka penentuna batas tebangan di lapangan yang ditandai dengan pemberian cat putih pada pohon berbentuk cicin dengan jarak 25 m unutk tiap tanda. Persiapan lapangan perbaikan jalan, jembatan, jalan sarad dan

pendukunya, mempersiapkan tenaga kerja, seperti penyiapan regu blandong, penyarad serta pemberitahuan kepada desa setempat karena tradisi jawa masih digunakan seperti penentuan hari baik penebangan. Persiapan peralatan, seperti chainsaw, meteran, phiband, teer, baji, cat, dan pendukung lainya serta mempersiapkan sarana dan prasarana, seperti papan larangan, buku klem,

blangko model DK, absensi, petunjuk kerja, dsb dan hal yang menentukan kulaitas kayu yaitu penentuan kayu vinir atau hara. Kegiatan penebangan ditargetkan akan selesai dalam kurun waktu 24-25 hari bila menggunakan 4 tim dengan 4 chainsaw, asumsi bahwa 1 chainsaw

71

memiliki produktivitas 25 m3/hari, dan 1 pohon memiliki volume sebesar 1 m3. Namun target tersebut belum memperhitungkan kendala-kendala yang mungkin terjadi di lapangan seperti musim hujan, kapasitas modal, keterampilan pekerja. Hasil pengamatan dalam proses kerjanya yaitu menentukan blok yang

didahulukan penebanganya dengan ketentuan sebagainya. Dalam praktek penabangan hanya dilakukan pada penebagan jati, karena pada bulan kerja tersebut hanya ada penebangan jati saja. Penebangan jati ada perlakukan khusus sebelum di tebangan yaitu peneresan batang agar pada saat ditebangan kadar air pohon bekurang sehingga mengurangi cacat pada kayu. Berikut ini gambar (35) kondisi jati pada saat di teres.

Gambar 35 kondisi jati pada saat peneresan Pada saat penebangan dilaksanakan dan pohon rebah, mandor tebang bertugas untuk melakukan pembagian batang. Penandaan pembagian batang dilakukan dengan memberi tanda 3 strip dengan teer atau cat hitam, dimana tanda strip di tengah merupakan tempat pemotongan kayu . Dalam pembagian batang harus sesuai Bucking Policy yang berlaku yaitu KSS PRIOBAGIPENA dimana urutan pelaksanaan pemotongan dimulai dari pangkal ke ujung dengan memperhatikan sortimen, status, dan mutu kayu yang akan dihasilkandan mutu kayu yang akan dihasilkan. Perhutani memiliki stadard yang harus dikuasai oleh mandor tebang dalam pertimbagan pembagian batang karena kualitas kayu memperngaruhi harga jual. Tabel 31. Ukuran prioritas pembagian batang kayu bundar jati

72
No. 1 Jenis Kayu Bundar Vinir (Vi) Kayu Bundar Hara : A III : Ukuran Panjang 2,40 - 2,90 2,20 2,30 2 2,50 2, 90 2,20 2,40 1,20 1,90 0,40 0,90 2,50 2,90 2,20 2,40 1,20 1,90 0,70 0,90 3 Kayu Bundar Lokal Industri (IN) A III : 2,50 2,90 2,20 2,40 1,20 1,90 0,70 0,90 2,50 2,90 2,20 2,40 1,20 1,90 0,70 0,90 4,10 up 3,10 3,90 2,50 2,90 2,10 2,40 1,10 - 1, 90 0,70 0,90 0,40 0,60 4,00 up 3,00 3,90 2,00 2,90 1,00 - 1, 90 0,70 0,90 0,40 0,60 4,00 up 3,00 3,90 2,00 2,90 1,00 - 1, 90 0,70 0,90 0,40 0,60 4,00 up 3,00 3,90 2,00 2,90 1,00 - 1, 90 0,70 0,90 0,40 0,60 4,00 up 3,00 3,90 2,00 2,90 1,50 - 1, 90 1,00 - 1, 90 Keterangan Diameter 30 up 30 up Digunakan panjang 2,50 2,90 Dibuat atas dasar pelarian optimalisasi pembagian batang

atau

30 up 30 up 30 up 30 up 25 28 25 28 25 28 25 28

Diutamakan panjang 0,70 0,90

A II : Diutamakan

30 up 30 up 30 up 30 up 22 28 22 28 22 28 22 28 30 up 30 up 30 up 30 up 30 up 30 up 30 up 22 28 22 28 22 28 22 28 22 28 22 28 16 19 16 19 16 19 16 19 16 19 16 19 10 -13 10 -13 10 -13 10 -13 10 -13 10 -13 47 47 47 47 30 up

Diutamakan

A II : Diutamakan Kayu doreng penuh, buncak buncak berat dan laku di pasar

Kayu Besar Lokal

Bundar A III)

Akibat peningkatan mutu dan status Tidak mengandung dua sortimen Tidak boleh mengandung A III Diutamakan panjang 2 m up

Kayu Bundar Sedang ( A II) Lokal

Kayu Bundar Kecil (AI)

Tidak mengandung dua sortimen Diutamakan panjang 3 m up

Tidak mengandung dua sortimen Diutamakan panjang 3 m up

Laku dipasar Memenuhi persyaratan KBP

Kayu Bahan Parket

73

(KBP)

0,40 0,90 1,00 - 1, 90 0,40 0,90 1,00 - 1, 90 0,40 0,90 0,50 0,50 1,00 Max. 0,90

30 up 22 28 22 28 16 19 16 19 9 15 58 2-4 Tidak terbatas

Kayu Bundar Limbah /KBL (Kayu Bakar) Brongkol

Diproduksi atas ijin tertulis ADM/KPH Asal kayu remuk atau tolak uji

Sumber: KPH Banyumas Barat (2009) Setelah Mandor tebang selesai memberikan tanda pada log berdasarkan ukuran prioritas maka chaisaw-man langsung membagi batang sesuai di garis tangah. Biasaya sebelum dilakukan pembagian batang kenek chaisaw-man akan mengepras dan membersihkan bila ada ranting kecil menggunakan chainsaw berukuran lebih kecil, sedangkan untuk cabang yang cukup besar akan dikepras dan dan diratakan oleh chainsawman. Berikut gambar (36) chainsawman pada saat pembagian batang.

Gambar 36 Chainsawman pada saat pembagian batang.. Setelah pohon terdiri dari beberapa sortimen kayu, mandor tebang memberikan penomoran dan penandaan terhadap kayu bernomor, kayu tak bernomor, dan tunggak yang penomorannya dilakukan mengikuti nomor pohon pada LHC/Daftar Klem Tebangan Tahunan. Bucking policy (vinir, hara, dan kayu bakar) dilakukan sesuai dengan kriteria kayu yang dapat dijadikan mutu terbaik dengan harga jual yang tinggi (memperhatikan sortimen, status, dan mutu kayu) atau disesuaikan dengan permintaan konsumen.

74

Berikut ini gambar mengenai penomoran pada saat pembagian batang untuk kayu yang bernomor.

Gambar 37 Penomoran pada bontos kayu yang bernomor. Pelasahan pada sortimen kayu dilakukan pada kayu AI, AII, AIII. Berikut ini merupakan informasi yang terdapat pada bontos tiap sortimen, berikut ini contoh informasi pada masing-masing bontos:

Gambar 38. Informasi penomoran pada kayu AI

75

Gambar 39. Informasi penomoran pada kayu AII

Gambar 40. Informasi penomoran pada kayu AII Penebangan petak 24 E dimulai pada tanggal 16/3/2009 menggunakan 2 tim, dimana 1 tim terdiri dari 8 orang, yakni 3 orang mandor, 1 chainsaw man dan operator dan 4 orang tenaga bm. Dan untuk seterusnya akan dikerahkan 3 tim sebanyak 21 orang. Pengamatan terhadap waktu kerja para pekerja dilakukan untuk mengetahui HOK serta efektifitas kerja. Pengamatan dilakukan pada setiap komponen kerja dalam penebangan, dengan pengambilan sample dilakukan sebanyak lima kali pengamatan.

76

Tabel 32. Pengamatan waktu produktivitas kerja pada saat penebangan :


No Kegiatan I II III Pengamatan IV V Rata-rata (menit detik) 18 52 64 37 4 38 8 54 4 42 64

2 3 4 5 6 7

Persiapan penebangan - Persiapan alat - Pembersihan semak Takik rebah Tebang Pembersihan ranting Pengukuran Bucking Muat Jumlah

18 36 50 1 51 5 29 8 4 2 15 15 25

5 24 1 13 29 4 24 7 41 8 10 21

1 1 1 37 58 21 5 35 7 44 5 54 9 34

5 1 8 1 20 27 4 15 11 49 340 16 28

5 40 1 6 28 5 29 11 31 243

Keterangan: data dilapangan Hari pertama dengan 1 tim berhasil menyelesaikan sebanyak 11 pohon dengan volume 9.6 m3. Produktivitas penebangan untuk hari pertama 25 menit/pohon x 11 pohon = 275 atau sebesar 8 jam 10 menit (HOK). Pengelolaan hutan lestari merupakan cita-cita setiap pengusahaan hutan, KPH Banyumas Barat sedang menuju hal tersebut. Dalam pengelolaan hutan lestari ada salah satu kriteria mengenai lacak balak kayu. Kegiatan ini memberikan informasi pada tunggak dan bontos dari penebangan kayu pada gambar (41). 16/3/2009
BI 22 51 110

24E/53
260 d 32 0,22

Gambar 41 Contoh informasi pada bontos atau tunggak

Tetapi dilapangan kegiatan tersebut tidak dilakukan oleh pegawai perhutani, dalam wawacara dengan mandor tebang bahwa bontos atau tunggak menjadi nilai ekonomi yang tinggi. setiap satu bontos atau tunggak biasanyaharga

77

berkisar pada Rp. 250.000,- sampai dengan Rp. 350.00,-. Berikut ini gambar penggalian tunggak kayu jati yang telah berhasil digali.

Gambar 42 kondisi tunggak pada saat setelah digali. Selain tungga, jenis kayu bakar menjadi kebutuhan primer masyarakat desa hutan. Pada sat penebangan dilakukan masyarakat desa hutan berlomba unutk mencari kayu bakar dari hasil penebangan. Berikut ini masyarakat desa hutan yang sedang mengumpulkan kayu bakar dari hasil penabangan kayu jati.

Gambar 43 Pengumpulan kayu bekas tebangan untuk kayu bakar oleh masyarakat desa hutan. Sedangkan pada gambar dibawah ini masyarakat desa hutan yang sedang memuat hasil kumpulan kayu bakar kayu jati

78

Gambar 44 Pengambilan kayu bakar oleh masyarakt desa hutan.

e. Perencanaan penyaradan dan muat-bongkar Kegiatan penyaradan adlah memindahkan produk pohon dari areal tebangan ke tempst pegumpulan kayu atau tempat membongkar muatan. Kegiatan penyaradan di petak 25E, dilakukan dengan menggunakan tenaga manual yaitu manusia. Pada teak 25E memiliki topografi yang curam karena kiri kanan areal tebangan merupakan lembah. Sehingga penyaradan lebih baik menggunakan tenaga manusia. Hampir di pulau jwa penyradan menggunakan tenaga manusia. Di lapangan regu penyarad ada 2 regu kerja yang terdiri dari empar orang dalam satu regu kerja. Berikut ini gambar pada saat pekerja sedang menyarad kayu dari lembah .

Gambar 45 Kondisi penyaradan menggunakan tenaga manusia.

79

Kegiatan muat bongkat kayu dilakukan secara manual yaitu menggunakan tenaga manusia, sedangkan untuk mengatur posisi kayu menggunakan linggis. Kegiatan muat kayu dilakukan oleh 8 orang penyarad, dan 2 orang yang bertugas merapihkan kayu di atas truk. Kegiatan muat ditempuh dalam waktu rata-rata 52 menit untuk kapasitas truk 5 m3. Kegiatan angkut menggunakan truk koldolak, dimana terdiri dari dua operator, yaitu supir dan satu orang kenek. Kenek pertama berada di dekat supir, dan kenek lainnya bertugas untuk kegiatan muat bongkar. Dalam satu perjalanan dari petak tebang 25E menuju TPK Cimanggu yang berjarak 12 km, membutuhkan solar 4 litter. Waktu yang ditempuh saat bermuatan menuju ke TPK Cimanggu yaitu selama 28 menit, sedangkan pada saat tidak bermuatan (menuju ke petak tebangan) hanya memerlukan waktu 15 menit. Berikut ini gambar pada saat muat kayu menuju TPK

Gambar 46 Kondisi muat kayu ke TPK Cimanggu. Kegiatan bongkar muat di TPK Cimanggu dilakukan oleh 1 orang dengan menggunakan alat linggis. Kayu di turunkan langsung pada blok-blok kayu yang sesuai di TPK. Berikut ini gambar pada saat memuat ke TPK.

80

Gambar 47 Kondisi mobil pada saat muat kayu ke TPK Cimanggu Kegiatan bongkar membutuhkan waktu 25 menit, dan dalam kegiatan bongkar ini supir menyerahkan DK 304 dan DK 304C pada mandor penerimaan di TPK. Kegiatan di TPK yaitu setelah mandor penerima melakukan serah terima dan dibuktikandengan kayu tersebut diberi pelabelan. Pelasahan kayu di TPK dilakukan setelah pengkoreksian ulang pada DK 304 di TPK dilakukan.

f. Produktivitas tenaga kerja Tenaga kerja yang bekerja dilapangan seperti chainsawman dan pegawai penyarad tidak memiliki ikatan dinas, sehingga upah yang diberikan berbeda karena menggunakan sistem kontrak atau borongan. Upah tenaga kerja sebesar Rp. 20.000/m3. Dalam 1 tim tenaga kerja pada penebangan jati terdapat 13 orang, yang terdiri dari 3 orang mandor (mandor tebang, mandor bucking, mandor sarad), chainsawman, operator chainsaw, dan 8 orang buruh mandor. Pembagian upah dilakukan oleh mandor dengan bagian sebesar 50% untuk mandor dan 50% untuk chainsawman + operator dan tenaga kerja buruh mandor. Potensi tegakan sebesar 2444 m3, sehingga upah yang didapat oleh 1 tim sebesar Rp. 20.000/m3 x 2444 m3 = Rp. 48.880.000/66 hari

PENGUPAHAN Upah chainsaw+operator = Rp 11.000/m3.

81

Biaya variable = Penggunaan oli sebanyak 3 liter/hari, bensin 5 liter/hari, perbaikan rantai setiap 18 hari sekali, harga rantai Rp 150.000. kemampuan kerja chainsaw setiap harinya sebesar 20-25 pohon per hari. Data yang diperoleh: 1 tim rata-rata mampu menebang 12 m3/hari. Setiap harinya menghasilkan 36 pohon Upah chainsaw + operator = Rp 11.000/m3. Biaya variable = Penggunaan oli sebanyak 3 lt/hari, bensin 5 lt/hari perbaikan rantai setiap 18 hari sekali harga rantai Rp 150.000. Upah tenaga kerja sebesar Rp. 20.000/m3 tenaga kerja pada penebangan jati terdapat 13 orang/tim Potensi tegakan sebesar 2444 m3 kemampuan kerja chainsaw setiap harinya sebesar 20-25 pohon per hari. Perhitungan-perhitungan dalam kegiatan penebangan

A. Perhitungan Biaya operasional variabel sebesar : 1. biaya perbaikan rantai 2. bensin 3. oli = Rp.150.000/18 hari = Rp. 8.333,33/hari

= Rp. 4.500/L x 5L/hari = Rp. 22.500/hari = Rp. 10.000/L x 3L/hari = Rp. 30.000/hari = Rp. 60.833,33/hari

Total biaya variable tiap harinya B. Perhitungan Upah Hari ke-1 Potensi tegakan yang dihasilkan sebesar 22,797 m3

Tim yang melaksanakan penebangan sebanyak 2 tim (2 chainsaw + operator) Upah yang didapat sebesar 22,797 m3 x Rp.11.000/m3 = Rp. 250.767 Upah 1 team sebesar Rp. 125.383,5/tim Hari ke-2 Potensi tegakan yang dihasilkan sebesar 31,991 m3 Tim yang melaksanakan penebangan sebanyak 3 tim Upah yang didapat sebesar 31,991 m3 x Rp.11.000/m3 = Rp.351.901 Upah 1 tim sebesar Rp.117.300,33 Hari ke-3

82

Potensi tegakan yang dihasilkan sebesar 39,425 m3 Tim yang melaksanakan penebangan 3 tim (untuk selanjutnya sampai akhir penebangan) Upah yang didapat sebesar 39,425 m3 x Rp.11.000/m3 = Rp. 433.675 Upah 1 tim sebesar Rp.144.558,33 Hari selanjutnya hingga akhir penebangan Potensi tegakan yang sudah di dapat sebesar (22,797 + 31,991 + 39,425)m3 = 94,213 m3 Upah yang dapat diperoleh sebesar 2.349,787 m3 x Rp. 11.000/m3 = Rp. 25.847.657 Upah 1 tim yang dapat diperoleh sebesar Rp. 8.615.888,67/63 hari = Rp. 136.760,09/hari

Total upah yang dapat diperoleh tiap 1 timnya selama HOK (66 hari) sebesar Rp. 125.383,5 + Rp.117.300,33 + Rp.144.558,33 + (Rp.136.760,09 x 63 hari) = Rp. 387.242,16 + Rp. 8.615.888,67 = Rp. 9.003.130,83 / Tim

Upah bersih yang dapat diterima oleh tim chainsaw + operator Biaya variable Upah bersih = Rp. 60.833,33/hari x 66 hari = Rp. 4.014.999,78 = Rp. 9.003.130,83 Rp.4.014.999,78 = Rp. 4.988.131,05 / HOK/Tim UMR di Temanggung = Rp. 750.000/bulan Upah rata-rata/hari Upah tiap bulan = Rp. 75.577,74/hari = Rp. 2.267.332,2/bulan = Rp. 20.000/m3 x 2444 m3 = Rp. 48.880.000/66 hari Upah mandor : Rp. 48.880.000 : 66 hari = Rp. 740.606,06/hari x 50% = Rp. 370.303,03/hari Upah Masing-masing mandor Rp. 370.303,03/hari : 3 Orang = Rp. 123.434,34/hari/orang

Upah yang di dapat oleh 1 team

Upah tiap bulan sebesar Rp. 3.703.030,30/bulan/orang

83

Upah tenaga kerja selain mandor : Rp. 370.303,03/hari / 10 orang = Rp. 37.030,30/hari Upah tiap bulan tiap orang sebesar Rp. 1.110.909,09/bulan/orang

g. T empat pengumpulan kayu (TPK) BKPH Majenang RPH Cimanggu memiliki TPK yaitu TPK Cimanggu yang khusus mengumpulkan hasil kayu dari RPH Cimanggu, RPH surunsunda, RPH Majenang dan RPH Pesangahan yang mengumpulkan hasil kayu. Personil di TPK terdiri atas Kepala TPK, yang secara administrasi setingkat KRPH, dibantu oleh tata usaha, mandor penerimaan, mandor kavling, mandor bongkar, mandor pengarah, mandor penyerahan, dan penumpuk (blandong). Blandong merupakan mitra perhutani yang berasal dari masyarakat Desa desa hutan. Blandong yang aktif yaitu sebanyak 30 orang yang dibagi kedalam reguregu. Berikut ini gapura TPK Cimanggu pada gambar (35).

Gambar 48 Lokasi TPK Cimanggu. Sistem upah yang dilaksanakan oleh Perhutani yaitu dengan sistem borongan. Sistem upah yang dilaksanakan oleh pihak ketiga yaitu per kubikasi. TPK memiliki fungsi sebagai tempat menerima, menyimpan, mengkavling serta melayani pembelian kayu hasil tebangan. Sistem penjualan yang digunakan antara lain sistem kontrak, penjualan langsung, BBI (Bahan Baku Industri) dan lelang yang terdiri dari lelang besar dan lelang kecil. Lelang besar merupakan sistem penjualan kayu yang berasal dari seluruh KPH dalam satu unit, sedangkan

84

lelang kecil merupakan sistem penjualan kayu yang antara lain beraasal dari bencana alam, pencurian, penjarahan, dsb. Berikut ini layout TPK Cimanggu untuk memenuhi fungsi tempatnya.

Gambar 49 Lay-out TPK Cimanggu TPK Cimanggu memiliki luas 16 Ha dengan kapasitas tampung sebesar 1500-2000 m kayu. Jenis kayu yang ditampung antara lain Jati, Pinus, Salam, dan Akasia. Kayu tersbut disimpan sesuai dengan jenis dan ukuran. Berikut ini contoh pengkavlingan yang dilakukan di TPK Cimanggu

Gambar 50 Kondisi pengkavlingan pada setiap jenis dan kualitas sortimen. Kegiatan kerja di TPK Cimanggu diawali saat kayu diterima di TPK dengan menbawa DK.304. Kemudian kayu dilasah untuk diukur ulang.

85

Selanjutnya dicocokkan dengan data yang terdapat pada DK.304. Bila ada ketidakcocokkan langsung dikoreksi di lembar DK.304 oleh Kepala TPK. Tahap selanjutnya adalah pengkavlingan sesuai sortimen-sortimen dan kebutuhan pembeli. Untuk kayu curian peletakkan kayu terpisah dari kayu lainnya. Setelah pengkavlingan hasilnya dikirimkan ke General Manager yang selanjutnya berwenang untuk melakukan pemasaran. Pembeli membawa kuitansi pembelian ke TPK untuk mengangkut kayu. Setelah itu TPK mengeluarkan FAKB (Faktur Angkut Kayu Bulat) sebagai surat jalan kayu kepada konsumen. Kegiatan Penandaan fisik pada kayu setelah kayu diterima di TPK maka dilakukan Pengujian kembali dengan mengukur diameter, panjang dimasukkan ke dalam DK 304 a dan 304 b. bila telah tepat maka tidak perlu dikoreksi namun bila tidak maka diperlukan pengkoreksian ulang.

h. Penjualan kayu (Kesatuan Bisnis Mandiri) Sistem penjualan yang berlaku di Perum Perhutani terdiri atas tiga sistem, antara lain Bon Penjualan, Sistem Kontrak, dan Sistem Lelang. 1. Bon Penjualan berlaku pada sistem penjualan langsung 2. Sistem Kontrak yaitu sistem penjualan berdasarkan perjanjian dalam jangka waktu dapat menghasilkan jumlah kayu sebanyak yang ditentukan dalam kontrak 3. Sistem Lelang dilaksanakan jika kayu belum terjual dalam jangka waktu yang lama. Pelelangan skala besar dilakukan di Kantor Negara sedangkan pelelangan skala kecil dilakukan di Kantor Kabupaten. Pada kayu akasia sistem pelelangan biasanya jarang terjadi. Jenis yang sering dilakukan pelelangan yaitu kayu mahoni dan jati. Harga jual kayu yang berlaku yaitu berdasarkan harga jual dasar (HJD). Harga jual kayu yang berlaku pada sistem lelang terdapat pada daftar lelang yang biasanya lebih kecil dari harga jual dasar. Pembayaran untuk pembelian kayu dilakukan di Kesatuan Bisnis Mandiri (KBM) dengan dilengkapi Surat Izin Pembelian (SIP) yang dikeluarkan oleh General Manager Unit. Pelelangan Kayu

86

Pelelangan kayu merupakan salah satu sistem pemasaran kayu di KPH Kedu Utara. Berdasarkan wawancara dengan petugas KBM karena dalam praktek kerja lapang tidak ada tempat pelelangan. Jenis pelelangan kayu ada dua, yaitu lelang besar dan lelang kecil. Lelang besar merupakan sistem penjualan kayu yang berasal dari seluruh KPH dalam satu unit, sedangkan lelang kecil merupakan sistem penjualan kayu yang antara lain berasal dari bencana alam, pencurian, penjarahan, dsb. Setelah kayu dibeli melalui pelelangan, konsumen memiliki tenggang waktu 30 hari untuk mengambil kayu tersebut. Selama masa itu konsumen tidak dikenai biaya letak. Jika lewat dari masa tenggang 30 hari pertama mulai dikenai biaya letak tiap bulannya. Dan jika mencapai 6 bulan tidak diambil, maka kayu tersebut akan menjadi milik Perhutani kembali. i. Pemungutan hasil hutan bukan kayu Pengamatan dilakukan di lapangan berdasarkan kartu pengendali sadapan. kartu pengendali sadapan merupakan data yang harus diisi sesuai dengan keadaan di lapangan, karena jika tidak sesuai akan mengakibatkan kesalahan dalam pengambilan keputusan di tingkat direksi. Kartu pengendali sadapan terdiri dari input, proses dan ouput. Sistem ini saling mempengaruhi dalam meningkatkan produksi getah yang lestari. Input terdiri dari potensi pohon, sarana dan prasarana, penyadap, upah, dan sistem keselamatan kerja. Proses terdiri dari persiapan sadapan, pelaksanaan sadapan, penyetoran getah, mutu getah, dan pembinaan penyadap. Output terdiri dari target volume sesuai dengan NPS (Normal Progress schedule) dan Mutu Getah A. Komponen Input Dalam Kelestarian Produksi Getah Komponen input dalam kelestarian produksi getah terdiri dari potensi pohon, sarana dan prasarana, penyadap, upah, dan sistem keselamatan kerja. Berikut ini analisis input klestarian produksi : 1. Potensi Pohon Di kawasan BKPH Majenang terdiri dari kelas umur yang berbeda dengan keluasan berbeda pula. Berikut ini tabel keluasan lahan berdasarkan kelas umur , Tabel 33 Luas lahan berdasarkan kelas umur
No 1 KU I Luas (Ha) 205.8

87

2 3 4 5 6 7 8

II III IV V VI VII VIII

447.6 436.2 356.1 978.1 1351.2 2021.5 8

Berdasarkan luasan pada tiap kelas umur, KU VII merupakan luasan terbesar sebesar 2021.5 ha dan kelas KU VII sebesar 1351.2 ha. Besarnya luasan KU tersebut dapat mencerminkan besar kecilnya produksi getah. Produksi getah akan stabil atau meningkat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dalam analisis BKPH Majenang lebih di fokuskan terhadap faktor jumlah quare ke dalam faktor yang mempengaruhi kelestarian produksi getah. Berdasarkan jumlah luas yang dimiliki oleh tiap KU, maka sadapan mati merupakan luasan lahan terbesar karena KU VI dan KU VII yang dimiliki oleh BKPH Majenang. Jika kegiatan sadapan mati pada KU tersebut maka produksi akan meningkata dalam beberapa periode, akan tetapi tidak berkelanjutan karena KU III, IV dan V memiliki luasan yang tidak sebesar jumlah KU VI dan VII. Total luasnya sebesar 1770,4 ha hanya 40% luasan dari penjumlahan KU VI dan VII. Berdasarkan literatur penelitian bahwa Pohon tusam (Pinus merkusii Jungh et de. Vriese) merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang memegang peranan penting dalam berbagai bidang industri, karena selain menghasilkan kayu juga menghasilkan getah. Pada proses penyadapan pohon untuk menghasilkan getah, faktor yang dapat berpengaruh terhadap produksi getah adalah genotip, asal pohon umur, diameter pohon, cara penyadapan, macam dan kadar bahan perangsang (CAS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh umur, kadar stimulan dan diameter pohon terhadap produktivitas getah pinus (Yunista et all 2001). . Berikut ini tabel hubungan antara kelas umur tegakan pinus dengan produksi getah. Produksi getah terbesar pada KU V dan setelah mencapai KU VI produksi getah turun dratis. Gambar 51. Hubungan Antara Kelas Umur Tegakan Pinus Dengan Produksi

88

Hubungan Ke las Um ur dan Produk tifitas


90 80 70

81,94

prduktifitas (gram)

60 50 40 30 20 10 0

50,15

9,17

1 KU III (15 tahun) KU V (25 tahun) KU VII (31 tahun) 50,15 81,94 9,17 Kelas UMur

KU III (15 tahun)

KU V (25 tahun)

KU VII (31 tahun)

Sumber : (Yunista et all 2001) Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur pohon sangat berpengaruh terhadap produktivitas getah. Pohon yang berumur 15, 25 dan 30 tahun, masingmasing menghasilkan getah sebesar 50,15 gram, 81,94 gram dan 9,17 gram per pohon, Pemanenan getah pinus untuk tegakan pohon umur 15 tahun, penggunaan kadar stimulan yang menghasilkan getah optimum adalah 15% atau 20% dengan arah sadapan Timur. Tegakan pohon umur 25 tahun dengan penggunaan kadar stimulan 15% dengan arah sadapan Selatan atau Utara. Sedangkan untuk tegakan pohon umur 31 tahun hasil getah optimum pada pemakaian kadar stimulan 25% dengan arah sadapan Barat. Sehingga KU V merupakan kelas umur saat puncak produksi getah. Berikut ini grafik produktifitas getah dalam kelas umur yang berbeda berdasarkan penelitian Departemen Kehutanan, nilai tersebut merupakan nilai pendekatan untuk membuat grafik puncak produktifitas getah pinus berdasarkan KU. Karena hasil pengmatan mendekati nilai trend bahwa puncak produksi dari getah pinus berada pada kelas umur pohon 30 tahun atau KU V.

89

2. Sarana dan Prasarana Berdasarkan rencana operasional pelaksanaan kegiatan Perum Perhutani KPH Banyumas Barat, menganggarkan kebutuhan mengenai sarana dan prasarana dalam produksi getah pinus antara lain : tempurung, talang, pecok, CAS, batu asah, peti pikul, sprayer, nozel, dan kerok. Berikut ini gambar cairan asam stimulan

Gambar 52 CAS dalam jerigen Kebutuhan tersebut di penuhi oleh pihak KPH Banyumas Barat, karena telah dianggaran dalam biaya operasiona. Sehingga hambatan dalam mengadakan saran dan prasarana terletak pada pendistribusian ke lapangan berdasarkan interview dilapangan. 3. Masyarakat Penyadap Masyarakat penyadap merupakan sumberdaya manusia yang menjadi potensial dalam peningkatan jumlah produksi getah dan dapat terciptanya kelestarian produksi. Informasi dari Masyarakat penyadap terdiri dari jumlah penyadap dalam satu lokasi atau petak hutan, mata pencaharian penyadap yaitu buruh atau petani. Berdasarkan observasi dilapangan bahwa jumlahnya secar umum penyadap tidak sesuai dengan standard operating prosedure (SOP) yang ditetapkan oleh pihak direksi/Biro. Areal hutan dibagi seluas 2-5 Ha serta dengan pengawasan 1 mandor antara 50-75 ha atau 1 mandor dapat mengawasi sampai 25 orang penyadap. Permasalahan yang dihadapi adalah luasan yang terlalu luas untuk satu orang sadapan apabila penyadap tersebut bermata pencaharian petani maka beberapa bulan luasan yang besar itu akan terabaikan, petani tersebut sementara menggarap pertanian. Masyarakat penyadap mendekati 90 % adalah

90

petani dengan umur penyadap relatif besar pada umur > 45 tahun. Sehingga regenerasi tenaga kerja/penyadap menjadi resiko terbesar pada kelestarian produksi getah. Masyarakat penyadap secara umum merupakan petani, resiko ketika musim penghujan maka penyadap akan mengganti profesinya menjadi petani. Dampak yang terjadi akibat ini produksi getah akan turun drastis selama periode musim penghujan. Akan tetapi, ada dampak lain ketika musim hujan tegakan pinus tidak disadap oleh penyadap maka pinus tersebut dalam masa istirahat implikasi tersebut menjadi contoh pada penyadapan karet. Berdasarkan hasil interview masyarakat dan LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan), ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk memberikan motivasi kepada masyarakat penyadap bahwa walaupun secara status bahwa penyadap tidak memiliki ikatan dinas dengan perhutani adalah

memberikan jaminan dan kemudahan dalam sistem kredit motor. Hal ini membantu dalam kelancaran produksi getah sesuai dengan target volume NPS per periode, akan tetapi ada dampak negatif dari model jaminan tersbut adalah kelangsungan produksi. Sebaiknya dibuat sebuah kontrak perjanjian antar pihak ketiga (kreditur), perhutani, dan masyarakt penyadap, jika terjadi sesuatu ada bentuk pertanggung jawaban serta hak dan kewajiban antara ketiga belah pihak tersebut. Karena selama 1 tahun bulan efektif untuk penyadap karet adalah 9 bulan (Anwar, 2001). Oleh karena itu, perlakuan selama petani pada musim penghujan merupakan bentuk implikasi secara tidak langsung dari bulan efektif penyadapan. Berdasarkan interview dengan mandor sadapan bulan rawan penurunan produksi adalah pada bulan juni, juli dan agustus. Karena bulan tersebut pada saaat musim penghujan, jumlah bulan tersebut 3 bulan, jadi implikasi yang secara tidak langsung diterapkan pada penyadapan getah pinus. Hal ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan pada direksi/biro dalam penentuan NPS pada tiap periode berjalan.

91

Gambar 53 Kondisi lapangan penyadapan getah pinus 4. Upah Penyadap Berdasarkan rencana operasional pelaksanaan kegiatan Perum Perhutani KPH Banyumas Barat, menganggarkan kebutuhan terhadap upah tenaga kerja/ penyadap. Biaya yang disediakan dalam rencana opersional adalah biaya penerimaan getah yang terdiri dari penerimaan, pikul, dan timbang. Berdasarkan hasil observasi dilapangan bahwa masyarakat penyadap tidak mengeluhkan harga satuan getah per Kg. Hal ini menjadi nilai positif bagi KPH Banyumas Barat karena harga satuan getah telah menjadi harga keseimbangan antara demand dan supply (Equiblium) sehingga dapat dikatakan bahwa harga pasar. Biaya lain seperti biaya pikul dan timbang berdasarkan hasil wawancara kepada penyadap bahwa penyadap diberi biaya pikul berdasarkan petak bagian hutan dimana penyadap tersebut menyadap getah menempuh jarak ke TPG. Dalam rencana operasional biaya pikul berdasarkan jarak hm yang ditempuh oleh penydap ke TPG terdekat. B. Komponen Proses Dalam Kelestarian Produksi Getah Komponen Proses dalam kelestarian produksi getah terdiri dari persiapan sadapan, pelaksanaan sadapan, penyetoran getah, mutu getah, dan pembinaan

92

penyadap. Dalam komponen proses produksi getah yang akan dititik beratkan terhadap persiapan sadapan dan pelaksanaan sadapan. Berdasarkan observasi dilapangan bahwa kondisi tegakan pinus mengalami perubahan mengenai pelaksaaan penyadapan karena kondisi tegakan mengenai jumlah quare tidak sesaui dengan standard operating prosedure. Oleh karena itu dibuat plot sampling untuk memberikan data, informasi dan gambaran sebenarnya dilapangan. Berikut ini tabel KU dengan luasan hutan pinus Tabel 34. Kondisi Fisik Plot Sampling
No 1 2 3 4 5 KU III IV V VI VII Petak 23G 26A 25A 26G 26E Luas (Ha) 12,1 17,9 47,4 3,8 22,5 Jumlah Plot 2 2 2 2 2

Penentuan plot sampling berdasarkan kelas umur (KU) yang berbeda, penentuan plot sampling menggunakan metode simple random sampling ,tujuan dalam pembuatan plot sampling ini adalah mengidentifikasi dan mengetahui potensi produksi getah agar tercipta kelestarian produksi dan berkelanjutan. Pembuatan plot sampling ini sebagai representative keadaan fisik tegakan pinus sesuai yang terjadi dilapangan., pengolahan data dengan parameter metode simple random sampling. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dengan membuat plot sampling dengan menggunakan penerapan simple random sampling. Plot sampling yang dibuat dengan berukuran 0,1 Ha dengan diameter 17,8 m. Jarak antar petak ukur dibuat 200 m. Faktor dalam menenrukan plot sampling berdasarkan kelas umur (KU) dan jumlah quare sebagai aset dalam produksi getah pinus untuk hasil 1. Variable Mengenai Jumlah Quare Total, hidup, dan mati Variable mengenai jumlah quare total dengan menggunakan metode simple random sampliung pada tiap kelas umur. Jumlah total quare terdiri dari quare yang terdapat dalam satu pohon yang masih aktif dan mati. Variable mengenai jumlah quare hidup dengan menggunakan metode simple random sampliung pada tiap kelas umur. Jumlah quare yang tidak aktif atau mati merupakan investasi produksi getah pinus yang sudah tidak

93

menghasilkan getah sehingga terjadi penurunan produksi getah, Karena pohon sudah tidak menghasilkan getah Variable mengenai jumlah quare hidup dengan menggunakan metode simple random sampliung pada tiap kelas umur. Jumlah quare yang aktif atau hidup merupakan investasi produksitifitas getah. Berdasarkan hasil perhitungan parameter statistik Rata-rata jumlah Quare per plot, SK bagi rata-rata Jumlah Quare per plot minimum, SK bagi rata-rata Jumlah Quare per plot maximum, Rata-rata Jumlah Quare per hektar, SK bagi rata-rata Jumlah Quare per hektar, SK bagi rata-rata jumlah Quare per plot, dan Kesalahan penarikan contoh Kelas umur merupakan faktor penentu jumlah quare yang harus dibuat, kelas umur berhubungan dengan besar diameter. Dalam standard operating prosedur (SOP) penambahan quare berdasarkan besar keliling 65-124 cm sejumlah 1 quare, keliling 125-175 cm sejumlah 2, dan keliling > 176 cm sejumlah 3 quare. Ketentuan tersebut mengacu kepada pohon pinus dalam memproduksi getah. Hasil data pengamatan rata-rata jumlah total Quare per plot pada KU IV ialah 4,00 buah, KU V sebanyak 6,95 buah, KU VI 5 buah, dan KU VII sebanyak 6,71. berdasarkan SOP maka jumlah Quare tersebut sudah tidak sesuai dengan ketentuan. Pada KU IV dengan rata-rata keliling sebesar 88 cm, KU V sebesar 105 cm, KU VI sebesar 110 cm, dan KU VII sebesar 113 cm. Berdasarkan besar keliling yang teramati terkecil 2. Variable Mengenai Jumlah Quare Mati Hasil data pengamatan rata-rata jumlah total Quare per plot pada KU IV ialah 1.71 buah, KU V sebanyak 5.59 buah, KU VI 2.81 buah, dan KU VII sebanyak 6,71. berdasarkan SOP maka jumlah Quare tersebut sudah tidak sesuai dengan ketentuan. Pada KU IV dengan rata-rata keliling sebesar 88 cm, KU V sebesar 105 cm, KU VI sebesar 110 cm, dan KU VII sebesar 113 cm. Berdasarkan besar keliling yang teramati terkecil keliling sebesar 88 cm dan terbesar 113, nilai tersebut masuk kedalam range dengan jumlah quare 1 buah. Perbedaan nilai dipengaruhi oleh kelas bonita. Sehingga besar kecilnya bonita sangat mempengaruhi pertumbuhan keliling pohon pinus. Oleh karena itu, perlu adanya produksi getah pinus yang dapat meningkatkan

94

faktor kelas bonita sebagai bahan pertimbangan kebijakan dalam menentukan target produksi. 3. Variable Mengenai Jumlah Quare Hidup Dalam parameter selang kepercayaan bagi rata-rata jumlah quare total per plot dalam satu pohon minimun dan maksimum adalah 1.6 dan 1.82. Nilai ini mencerminkan bahwa minimal jumlah quare yang sudah terbentuk pada KU IV berjumlah 1.6 buah dan maksimal jumlah quare ialah 1.82 buah. Sedangkan pada KU V sebesar 5.26 buah unutk minimum dan 5.92 buah untuk maksimum, pada KU VI sebesar 2.55 buah untuk minimum dan 3.08 untuk maksimum, dan pada KU VII sebesar 6.38 buah dan maksimum sebesar 7.04 buah. Pola (Trend) Jumlah quare mati dalam satu pohon per plot cenderung meningkat semakin besar kelas umur pohon pimus. Berikut grafik mengenai pola jumlah quare totat Gambar 54. Pengamatan Parameter Jumlah Quare Total Pada Tiap Kelas Umur
KU III 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Quare per plot Jumlah Quare per plot min Quare per hektar Jumlah Quare per plot max penarikan contoh Kesalahan KU IV KU V KU VI KU VII KU VIII

Rata-rata jumlah SK bagi rata-rata Rata-rata Jumlah SK bagi rata-rata Parameter

Gambar 55. Pengamatan Parameter Jumlah Quare Hidup Pada Tiap Kelas Umur

95

30 27,37 25

23,41 21,85

20 KU III 16,19 15 12,43 10 9,25 8,01 7,8 KU IV KU V KU VI KU VII KU VIII

5 2,74 2,34 2,19 1,62 0 0 Quare per plot Rata-rata jumlah Jumlah Quare per Quare per hektar plot min SK bagi rata-rata Rata-rata Jumlah Parameter Jumlah Quare per penarikan contoh plot max SK bagi rata-rata Kesalahan 0 2,52 2,16 1,98 1,4 0 0 2,96 2,52 2,39 1,8 0 0 0 0 0 0

Gambar 56. Pengamatan Parameter Jumlah Quare Mati Pada Tiap Kelas Umur
80

70

67,11

60

55,91

50

KU III KU IV KU V KU VI KU VII 28,15 KU VIII

40

30

20

17,14 9,43 7,17 5,84 4,85 0 0

10

5,59 6,71 1,71 2,81 0 0 Quare per plot Rata-rata jumlah

1,6

5,26 6,38 2,55 0

5,92 7,04 1,84 3,08 0 0 Jumlah Quare per plot maxi SK bagi rata-rata

0 Jumlah Quare per plot min SK bagi rata-rata Quare per hektar Rata-rata Jumlah Parameter penarikan contoh Kesalahan

Pengolahan data yang menjadi acuan produksi getah salah satunya adalah parameter jumlah quare hidup,mati dan total per ha. Jumlah quare pada kelas umur berbeda berdasarkan hasil olahan data tersebut. Perbedaan nilai tersebut mempengeruhi performa peningkatan produksi getah yang berkelanjutan. Berikut ini analisis per kelas umur berdasarkan jumlah quarae dan dampaknya. Pada kelas umur III (KU III), saat pengambilan data plot sampling pada KU III dilapangan ternyata belum dilakukan penyadapan, walaupun ketika pengambilan data keliling pohonya sudah bisa dilakukan penyadapan dan umur pohon pun sudah mencapai 11 tahun. Sesuai dengan SOP umur pohon 11 tahun sudah bisa disadap. Pada kelas umur IV (KU IV), hasil yang diperoleh dari analisis data bahwa jumlah total quare terkecil dibandingkan dengan KU lainnya, tetapi

96

nilainya setengah dari KU terbesar. KU terbesar dengan quare total adalah KU V, hal ini membuktikan bahwa puncak produksi berada pada KU V. Tetapi ironisnya, jumlah quare matinya lebih besar daripada jumlah quare hidup. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada saat KU III dan IV, sudah terjadi ekploitasi aset getah yang berlebihan. Dampak dari total jumlah quare tersebut adalah pegurangan aset getah, karena produksi getah merupakan aset/cadangan getah pada pohon yang disadap. Berkurangnya jumlah quare yang akan disadap pada saat bertambahnya kelas umur akan mempengaruhi kelestarian dan berkelanjutan produksi getah. Menjadi permasalahan produksi getah berdasarkan hal tersebut adalah ketika produktifitas getah pada saat puncak produksi, akan tetapi pembuatan quare sudah habis/berkurang. Sehingga pada titik tertentu grafik produksi getah akan turun drastis/kolaps. Hal ini disebabkan ekploitasi quare yang berlebihan sehingga produksi tidak lestari dan berkelanjutan.

B. Komponen Output dalam kelestarian produksi getah Komponen Output terdiri dari target volume sesuai dengan NPS (Normal Progress schedule) dan Mutu Getah. Kawsan KPH Banyumas Barat terbagi menjadi sub Majenang dan sub Cilacap. Pembagian tersebut berdasarkan kemampuan dan potensi sumber daya hutan. Sub Majenang merupakan Produksi getah terbesar di KPH Banyumas Barat, bagian hutan tersebut dalam kawasan BKPH Majenang, BKPH Lumbir dan BKPH Sidereja. Target volume sesuai dengan NPS telah ditetapkan oleh pihak direksi/Biro berdasarkan bahan pertimbangan laporan kartu pengendali sadapan. Target tiap BKPH Majenang, BKPH Lumbir dan BKPH Sidereja masing-masing adalah 5.110.939 kg/tahun, 3.177.463 Kg/tahun, dan 2.309.996 Kg/tahun. NPS pada akhir periode ini mencapai 61 %, hasil tersebut sangat luar biasa karena

pertengahan periode sudah dapat mencapai lebih dari setengah target yang akan dicapai. Sintesis Kartu pengendali sadapan terdiri dari input, proses dan ouput. Sistem ini saling mempengaruhi dalam meningkatkan produksi getah yang lestari. Input

97

terdiri dari potensi pohon, sarana dan prasarana, penyadap, upah, dan sistem keselamatan kerja. Proses terdiri dari persiapan sadapan, pelaksanaan sadapan, penyetoran getah, mutu getah, dan pembinaan penyadap. Output terdiri dari target volume sesuai dengan NPS (Normal Progress schedule) dan mutu getah. berikut ini sintesis dari permasalahan berdasarkan data dari analisis yang telah dijelaskan diatas. 1. Persiapan Sadapan/Pelaksanaan Sadapan dan Target Volume Berdasarkan hasil observasi dan pengamatan dilapangan bahwa baik itu pembuatan mal sadap dan pembaharuan tidak sesuai dengan standard operating prosedure (SOP), jika menggunakan CAS (Cairan Asam Stimulansia) maka pembaharuan quare selama selang 5 hari dan tidak menggunakan hanya 3 hari. Biasanya pembaharuan tanpa CAS rata-rata 4-5 hari yang terjadi di

lapangan. Salah satu faktor yang mempengaruhi dari pelaksanaan sadapan adalah tenaga kerja/penyadap. Karena penyadap tidak memiliki ikatan kerja secara kelembagaan dalam perhutani. Sehingga penyadap bekerja di bidang sadapan hanya sebagai sampingan (part time). Kendala tersebut menjadi hambatan untuk produksi yang lestari dan berkelanjutan. Akibat dari faktor pembaharuan yang tidak sesuasi dengan SOP maka target yang diberikan oleh pihak Biro/Direksi tidak sesuai dengan kemampuan potesial dilapangan, salah satu dampak yang sangat signifikan terhadap hubungan antara target volume yang diberikan sesuai NPS (normal progress schedule) dengan pembaharuan quare yang tidak sesuai dengan SOP maka jumlah quare menjadi kunci untuk pemenuhan dalam mencapai target volume. Kondisi fisik tegakan pinus dilapangan menjadi dampak yang signifikan terhadap pencapaian target volume, karena masyarakat penyadap hanya menarget kwantitas tanpa mempertimbangkan aspek ekologi pohon dan aspek keberlanjutan. Sehingga jumlah quare yang dibuat tidak sesuai dengan SOP dan kondisi fisiologi tegakan pinus. Berdsarakan hal tersebut, maka dibuat plot sampling dengan metode simple random sampling (SRS). Metode tersebut akan membuktikan bahwa ekplotasi aset getah yang tidak lestari dan berkelanjutan. Berdasarkan pengolahan dan pengamatan data

98

maka dapat disimpulkan bahwa pada saat KU IV jumlah quare sudah tidak sesuai dengan SOP dan pada saat puncak produksi di KU V pembuatan mal dan quare baru sudah berkurang untuk di eksploitasi. Sehingga semakin tinggi KU maka jumlah quare total dalam satu pohon akan lebih besar dan jumlah quare hidup kan lebih kecil dari jumlah quare yang hidup. Hal tersebut pada titik tertentu dapat menyebakan grafik produksi yang kolaps, yaitu penurunan produksi yang signifikan. Sehingga kelestarian produksi getah pinus akan rentan dan tidak berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan produksi secara suistananble. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan mengenai penentuan target volume getah per tahun dikondisikan dengan keadaan representatif dilapangan. Pohon dengan semakin bertambah kelas umur maka hasil yang dipanen akan lebih tinggi karena memiliki kurva eksponensial, sedangkan penyadapan getah merupakan aset yang dipanen dalam bentuk deposit getah yang

produktifitasnya mempunyai sehingga perlu eksploitasi yang sesuai dengan etat volume getah atau penydapan dengan kemampuan potensial produksi getah berdasarkan kelas umur. Pencapaian target volume berdasarkan pengamatan dan observasi di lapangan selama ini merupakan pencapaian melalui kuantitas pohon dengan kata lain jumlah quare yang diperbanyak bukan pencapaian melalui kualitas pohon yaiut kemampuan potensial berdasarkan KU pohon. Sehingga perlu pertimbangan hal tersebut dalam menentukan target volume tahunan agar tercipta kelestarian ekonomi, ekologi dan sosial. 2. Kelestarian Produksi Getah Pinus Berdasarkan Kualitas Fisiologi Pohon Pinus Penentuan target volume produksi dapat melalui pendekatan jumlah quare hidup dalam suatu kawasan bagian hutan tegakan pinus. Berikut ini rekapitulasi potensi quare yang hidup KPH Banyumas Barat pada periode Juli tahun 2009. Tabel 35. Rekapitulasi Potensi Sadapan KPH Banyumas Barat

99

BPKH Majenang Wanareja Kawung aten Bokol Lumbir Sidareja Total Jumlah

Jumlah Pohon Jumlah Quare Hidup Rasio 1,273,993 1,474,614 1,15 240,202 95,153 108,871 1,042,145 674,247 3,434,611 361,973 171,457 234,785 1,574,673 1,348,494 5,165,996 1,5 1,8 2,15 1,5 2 1,5

Sumber: KPH Banyumas Barat (2009) Sintesis dari permasalahan kelestarian produksi getah ini dalam kawasan BKPH Majenang. Sumberdaya hutan yang dimiliki berupa kelas perusahaan pinus seluas 5804.5 Ha terdiri dari KU I sampai KU VIII dengan luas terbesar pada KU VII. Berikut ini tabel luasan kelas perusahaan pinus . Berdasarkan data sekunder bahwa jumlah pohom sebanyak 1.273.993 pohon dengan jumlah quare hidup sebanyak 1.474.614 quare dengan nilai rasio atau rata-rata jumlah quare sebesar 1.15, nilai tersebut menjelaskan bahwa dalam satu pohon terdapat 1 atau 2 pohon yang hidup. Dalam observasi dan pengamatan di lapangan membuat plot sampling dengan metode SRS (Simple Random Sampling), diperoleh data bahwa jumlah pohon dalam plot sampling sebesar 22 pohon dalam luasan 0.1 Ha, sehingga luasan BKPH Majenang sebesar 5804.5 ha maka jumlah total populasi sebebesar 1.276.990 Pohon. Perbandingan jumlah dilapangan 1.273.993 dengan jumlah menggunakan metode SRS sebesar 1.276.990 hampir mendekati 99.77%. sehingga metode tersebut memiliki keakuratan data yang baik. Berikut ini tabel mengenai pengolahan data menggunakan metode SRS pada lampiran tersajikan. Dalam periode juli laporan kemajuan produksi getah pinus tahun 2009 BKPH Majenang sampai pada periode telah mencapai target NPS sebesar 61%, dengan realisasi produksi sebesar 3.108.943 Kg. Berdasarkan data awal bahwa jumlah quare hidup sebesar 1.474.614 quare, sehingga dapat diperoleh setiap quare menghasilkan berat getah yang dikeluarkan. Jadi berat setiap quare menghasilkan getah sebesar 2.1 Kg.

100

Berat getah sebesar 2.1 Kg atau sebesar 2100 gram merupakan aset getah yang telah di ekploitasi selama periode juli dengan bulan efektif sebesar 7 bulan. Sehingga selama periode tersebut 300 gram/bulan atau tanpa penggunaan CAS sebesar 30 gram per pembaharuan dan Menggunakan CAS 50 gram per pembaharuan. Berikut ini tabel kemajuan produksi getah pinus periode juli tahun 2009. Bilamana data tersebut dibandingkan dengan dat literatur dapat disimpulkan produksi getah per pohon dengan sekali pembaharuan masih dalam range rata-rata literatur sebesar 10-80 gram. Tabel 36. Kemajuan Produksi Getah Periode Juli Tahun 2009
No 1 2 3 4 5 6 Rencana Produksi Realisasi Produksi (kg) Prosentase RTT/RKAP 2009 s/d Periode lalu Dalam Periode IniS/d Periode ini Wanareja 2,207,493 1,234,234 89,218 1,323,452 60 Majenang 5,110,939 2,842,388 266,555 3,108,943 60,8 Lumbir 3,177,463 1,831,556 170,29 2,001,846 63 Sidareja 2,309,996 1,299,246 120,443 1,419,689 61,5 Bokol 354,192 199,403 18,517 217,92 61,5 Kawunganten 196,297 126,456 11,275 137,731 70,2 Jumlah 13,356,380 7,533,283 676,298 8,209,581 61,5 BPKH

Sumber : KPH Banyumas Barat (cat: S/d periode II Juli 2009) Berdasarkan data tersebut bahwa seluruh kawasan BKPH Majenang Tahun 2008 menghasilkan rata-rata per pohon dalam satu pembaharuan quare sebesar 30 gram. Akan tetapi berdasarkan luasan kelas umur perusahaan pinus bahwa ada KU I dan II seluas 653.4 Ha dengan pendekatan metode SRS jumlah pohon sebesar 143.748 pohon. Jumlah pohon tersebut belum produktif sehingga ada data yang tidak sesuai dengan reprensentatif di lapangan . Berdasarkan data penelitian Departemen Kehutanan bahwa bahwa umur pohon sangat berpengaruh terhadap produktivitas getah. Pohon yang berumur 15, 25 dan 30 tahun, masing-masing menghasilkan getah sebesar 50,15 gram, 81,94 gram dan 9,17 gram per pohon (Yunista et all 2001). Maka produksi getah pinus BKPH Majenang jika mengikuti prosedur dan pelaksanaan jadwal yang terpadu dengan kemampuan produksi potensial tegakan pinus akan mendapatkan produksi sebagai berikut* : Tabel 37. Produksi Potensial Getah Pinus Pada setiap KU

101

No 1 2 3 4 5 6 7 8

KU I II III IV V VI VII VIII Total

LUAS (ha) Jumlah Pohon Produksi Potensial

205,8 447,6 436,2 356,1 978,1 1351,2 2021,5 8


5804,5

45276 98472 95964 78342 215182 297264 444730 1760


1276990

50,15 50,15 81,94 9,17 5,17 3,17

Produktifitas (Gram) Pembaharuan 4812594,6 3928851,3 17632013,08 2725910,88 2299254,1 5579,2 31404203,16

Produktifitas (Kg) s/d Periode Per 2 periode Juli II -

4812,5946 336881,622 3928,8513 275019,591 17632,01308 1234240,92 2725,91088 190813,762 2299,2541 160947,787 5,5792 390,544 31404,20316 2198294,22

*Ket: ada perlakuan CAS dalam sadapan Berdasarkan produksi potensial getah pinus sesuai dengan kualitas fisiologi pohon pinus bahwa produksi lestari dengan jumlah Quare hidup per pohon satu mencapai target volume samapi periode Juli/ 7 bulan efektif sebesar 2.198.294,221 Kg. Nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan potensial produksi getah berdasarkan kualitas pohon hanya sebesar 2.198.294,221 Kg.

102

F. Hasil dan Pembahasan Materi Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan Aspek umum pemberdayaan masyarakat desa hutan pada laporan hasil Praktek Kerja Lapang ini secara khusus difokuskan kepada masyarakat desa hutan yang berada di BKPH Rawa Timur dan BKPH Majenang. a. Kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat Objek pengamatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat desa hutan BKPH Rawa Timur yaitu masyarakat di wilayah Kecamatan Kawunganten di RPH Cikonde, Kecamatan Binangun di RPH Cikonde. Masyarakat desa hutan BKPH Majenang yaitu LDMH Sadabumi RPH Majenang. LMDH Sadabumi merupakan salah satu LMDH di RPH Majenang yang menghasi getah Pinus merkusii terbesar di BKPH Cimanggu sehingga pemberdayaan masyarakat di wilayah ini sangat berpengaruh kepada Pengelolaan Hutan Lestari di BKPH. Mata pencaharian utama penduduk ialah petani, baik sawah, ladang, maupun ternak. Mata pencaharian sebagian besar masyarakat bekerja di kota Jakarta sebagai buruh. b. Program Pemberdayaan Masyarakat Prinsip pengelolaan kawasan hutan Perum Perhutani yaitu Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Pelaksanaan PHBM yaitu melalui rekayasa teknik dan rekaya sosial. Rekaya teknik dilaksanakan pada kegiatan perencanaan, dalam bentuk partisipatif dan integral dengan pembangunan daerah atau wilayah, dan pemilihan jenis tanaman. Rekayasa sosial dilaksanakan dengan adanya kerja sama multipihak, baik Pemerintah Daerah, LSM, maupun masyarakat. Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui

pengembangan usaha, yaitu kegiatan usaha Perum Perhutani dengan mitra (perorangan, kelompok, atau badan usaha) diluar usaha pokok Perum Perhutani. Tujuan pengembangan usaha adalah meningkatkan nilai produktivitas kawasan hutan, manfaat sosial dan fungsi ekologi berpola kemitraan. Sasaran pengembangan usaha adalah pemanfaatan celah ruang, celah waktu, dan celah lingkungan di luar usaha pokok Perhutani yang saat ini tidak atau belum

103

diberdayakan. Secara umum sharing atau bagi hasil dari usaha kemitraan ini ialah 70% : 20% : 10 % untuk Pemunya: Perhutani: Mitra Kelola. Adapun dasar kegiatan pengembangan usaha yaitu: a. SK Dir Perum Perhutani No.269/Kpts/Dir/2007 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat Plus, b. SK Dir Perum Perhutani No.400/Kpts/Dir/2007 tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Perum Perhutani, c. Permenhut RI No P.50/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Kegiatan Kerjasama Usaha Perum Perhutani dalam Kawasan Hutan. Dalam rangka usaha pemberdayaan masyarakat desa sekitar hutan, maka dibentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Sejak tahun 2002 Perum Perhutani KPH Banyumas Barat telah menerapkan Program PHBM yang dalam pelaksanaannya Berjiwa Berbagi sesuai kaidah-kaidah keseimbangan,

keberlanjutan, kesesuaian dan keselarasan. Pada PHBM dikemas dalam Desa Model yang masing-masing BKPH memiliki Desa Model s/d Juni 2009 sudah terbentuk : Kabupaten Cilacap : BKPH Wanareja BKPH Majenang BKPH Sidareja BKPH Rawa Barat BKPH Rawa Timur BKPH Kawunganten BKPH Bokol BKPH Lumbir :14 LMDH : 24 LMDH : 16 LMDH : 7 LMDH : 16 LMDH : 4 LMDH : 4 LMDH : 3 LMDH :88 LMDH

Jumlah Kab. Cilacap Kabupaten Banyumas : BKPH Lumbir BKPH Sidareja BKPH Bokol

: 19 LMDH : 2 LMDH : 4 LMDH : 25 LMDH

Jumlah Kab. Banyumas

104

Dalam praktek kerja lapang, pengamatan dilakukan pada LMDH di BKPH Rawa Timur dan BKPH Sidareja. LMDH yang dikunjungi adalah LMDH Dadi Makmur dan LMDH Perintis BKPH Rawa Timur dan LMDH Sadabumi BKPH Majenang. Berrikut ini hasil pengamatan pada masing-masing LMDH dengan berbagai potensi yang dimiliki. a) Budidaya air payau (Tambak Ikan dan Udang) Salah satu pengembangan usaha dalam rangka program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di BKPH Rawa Timur yaitu penambakan ikan dan udang. usaha penambakan ini dilakukan oleh Kelompok Masyarakat Penambak LMDH Perintis Desa Binangun Kecamatan Bantarsari. Berikut ini pada gambar (35) kondisi pengembangan usaha penambakan di hutan tanaman mangrove.

Gambar 57 Kondisi pengembangan usaha tambak di hutan mangrove. Pengamatan dilakukan pada petak 32J dengan jumlah anggota LMDH sebanyak 37 orang. LMDH Peritis ini diketuai oleh Tumiran. Pengembangan usaha yang dilaksanakan oleh LMDH Perintis ialah sektor usaha

perikanan/tambak yang dikerjakan oleh

Kelompok Penambak. Daya dukung

ekosistem di daerah ini mendukung untuk melakukan budidaya tambak karena jenis air payau. Pencampuran antara air tawar dan air asin. Kelompok penambak melakukan penambakan disekeliling kawasan magrove per petak. Berdasarkan data dari KPH Banyumas Barat BPKH Rawa Timur, hasil perolehan dari tambak masyarakat desa hutan samapi bulan juni 2009 dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 38 Data Hasil Produksi Tambak BKPH Rawa Timur

105

Realisasi BKPH Uraian Satuan Kab. Cilacap BKPH Rawa Timur Ikan bandeng Udang Sumber: KPH Banyumas Barat (2009) ton ton 15,4 8,8 Kab.Bms --

Dengan potensi hasil yang diperoleh dari budidaya air payau seperti ikan bandeng dan udang sebesar 15.4 ton dan 8.8 ton tersebut memiliki potensi untuk lebih dikembangjkan agar tercipta manfaat sosial dan fungsi ekologi berpola kemitraan. Sasaran pengembangan usaha adalah pemanfaatan celah ruang, celah waktu, dan celah lingkungan di luar usaha pokok Perhutani Dalam budidaya tambak hasil panen baik udang dan ikan dilakukan pada enam bulan sekali per periode. Dalam satu tahun dapat menghasilkan dua kali panen. Hasil prosukdi tergantung dari luasan yang di budidaya kan oleh masingmasing anggota LMDH. Hasil produksi dipasarkan ke langsung ke ketua kelompok penambak, hal tersebut untuk mencegah tengkulak untuk mengusai pasar dan merugikan kelompok penambak. Berikut ini pada gambar (36) anggota kelompok LMDH sedang menimbang hasil panen yang diserahkan pada ketua kelompok penambak.

Gambar 58 Hasil panen tambak udang LMDH Perintis. Berdasarkan hasil wawancara dengan anggota kelompok penambak, bagi hasil atau sharing dilakukan dan diatur oleh LMDH. Pihak LMDH menghimpun hasil peroleh dari seluruh anggota kelompok, setelah itu pihak LMDH memberikan sharing kepada pihak pemerintah desa dan Perhutani. Persentase pembagian sebesar 60: 30:10 yaitu LMDH, Perhutani dan Pemerintah desa.

106

Kondisi sosial penambak pada gambar (37) selain melakukan budidaya tambak juga mengembalakan binatang ternak seperti sapi, kambing dan ayam. Lokasi pemukiman penambak berada dekat lokasi penambakan, untuk memenuhi kebutuhan air bersih penambak mendapatkan air bersih harus beli atau mendapatkan jatah air bersih daro pemerintah daerah setempat. Anggota LMDH mempunyai kewajiban unutk menjaga dan memelihara tanaman Perhutani khusunya tanaman mangrove seperti bakau dan tancang. Selain itu, dengan adanya tegakan tersebut dapat meningkatkan hasil produksi karena tegakan mangrove merupakan ekosistem yang disukai oleh udang maupun ikan. Berikut ini gambar kondisi sosial, pemukiman dan saat melakukan wawancara dengan anggota LMDH.

Gambar 59 Kelompok Masyarakat Penambak LMDH Perintis. Dengan adanya pengembangan usaha ini, masyarakat desa hutan sangat terbantu dalam meningkatkan kesejahteraannya. b) Penyulingan kayu putih Salah satu pengembangan usaha dalam rangka program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di BKPH Rawa Timur yaitu penyulingan kayu putih. usaha ini dilakukan oleh Kelompok Masyarakat LMDH Dadimakmur Desa Ujungmanik Kecamatan Kawungaten. Berikut ini pada gambar (38) kondisi pengembangan usaha Penyulingan kayu putih.

107

Gambar 60 Kondisi penyulingan kayu putih LMDH Dadimakmur. Program PHBM yang juga dilaksanakan oleh KPH Banyumas Barat di kawasan BKPH Rawa Timur ialah kerjasama dalam penyulingan kayu putih dengan bahan baku daun kayu putih. Antara perhutani dan anggota LMDH. Berikut ini bahan baku minyak kayu putih yaitu daun kayu putih, gamabr ini diambil pada petak 32C

Gambar 61 Kondisi tegakan kayu putih pada petak 32C RPH Cikonde. Pengamatan dilakukan pada petak 32C RPH Cikonde dengan jumlah anggota LMDH sebanyak 46 orang. LMDH Dadimakmur ini diketuai oleh

Tarsono. Pengembangan usaha yang dilaksanakan oleh LMDH Dadimakmur ialah sektor usaha pabrik penyulingan kayu putih dengan dana swadaya anggota LMDH. Berikut ini gambar (39) proses penyulingan kayu putih dengan bahan baku daun kayu putih yang dimiliki oleh pihak Perhutani. Anggota LMDH merupakan petani pesanggem Perhutani dalam memetik daun kayu putih. Pihak Perhutani memperoleh keuntungan dari daun kayu putiih. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa hutan pihak Perhutani memberikan kesempatan pengmebangan usaha meallui pabrik penyulingan kayu putih.

108

LMDH Dadimakmur merupakan salah satu LMDH yang berhasil menghimpun anggotanya untuk swadaya membuat pabrik kayu putih. Dengan demikian akan meningkatkan kesejahteraan masyarkat desa hutan. Berikut ini gambar (39) proses penyulingan kayu putih

Gambar 62 Proses Penyulingan minyak kayu putih. Pabrik penyulingan kayu putih dipimpin oleh ketua LMDH. Setiap proses produksi membutuhkan 3 orang pekerja, berdasarkan wawancara dengan ketua LMDH bahwa setiap proses produksi di pabrik ini memerlukan 5 ton daun kayu putih dengan hasil minyak kayu sebsar 5 liter. Pihak perhutani memberikan tarif harga minyak kayu putih sebesar Rp. 200.000,-/liter. Proses penyulingan kayu sangat ramah lingkungan karena daun sisa penyulingan digunakan kembali untuk bahan bakar proses penyulingan. Setiap hari dapat dilakukan dua kali proses penyulingan. Berdasarkan data yang diperoleh dari BKPH Rawa Timur bahwa hasil produksi LMDH Dadimakmur dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 39 Data hasil produksi daun dan minyak kayu putih LMDH BKPH Rawa Timur
Produksi No 1 2 3 Pabrik Daun / Kg LMDH Dadi Makmur LMDH Perintis LMDH Marha Rahayu 751.490 195.605 140.200 Minyak / Kg 5.151,8 1.335,7 947,0 Keterangan

109

Jumlah Sumber: KPH Banyumas Barat (2009)

1.087.295

7.434,5

Dengan hasil produksi sebesar 5.151,8 kg minyak kayu putih sanpai bulan juni 2009. Maka LMDH Dadimakmur mendapatkan sharing laba yang didapatkan yang menguntungkan msyarakat desa hutan. Dengan adanya pengembangan usaha ini, masyarakat desa hutan sangat terbantu dalam meningkatkan kesejahteraannya. c) Sharing hasil produksi getah pinus dan kayu Program PHBM yang juga dilaksanakan oleh KPH Banyumas Barat di kawasan BKPH Majenang ialah kerjasama dalam bagi hasil atau sharing hasil produksi getah pinus kepada LMDH. Program ini merupakan kerjasama dengan LMDH BPKH Majenang untuk dapat meningkatkan hasil penydapan getah pinus dengan lestari. Pengamatan LMDH Sadabumi dilaksanakan di lokasi Petak 1E RPH

Majenang. Pengamatan dilakukan dengan FGD (Focus Group Discussion) (Gambar 17).

Gambar 63 Kondisi pada saat FGD dengan LMDH Sadabumi RPH Majenang. Berdasarkan hasil data yang di peroleh berupa hasil wawancara dan FGD dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Sadabumi. Berikut ini struktur organisasi LMDH:

110

Kepala Desa (Pelindung)

Ketua LMDH

Wak.LMDH

Sekretaris

Bendahara

Sek. Keamanan

Sek. Perlengkapan

Sek. Humas

Gambar 64 Bagan pengurus LMDH Sadabumi RPH Majenang. LMDH Sadabumi berdiri sejak tahun 2003 dan saat ini memiliki 18 orang anggota pengurus dengan 350 jumlah anggota masyarakat. Pembentukan LMDH ini bertujuan sebagai meningkatan kesejahteraan dengan kerjasama yang saling menguntungkan. Dengan kerjasama tersebut antara Perhutani dengan masyarakat mendapatkan sharing hasil produksi kayu maupun bukan kayu. Sedangkan untuk pihak Perhutani dalam membantu pada kegiatan diantaranya penanaman, pemeliharaan, keamanan dan lain-lain. Program kerja utama pada LMDH adalah kegiatan Pemanfaatan areal eklive yaitu lahan 30 ha yang dikerjasamakan dengan Perhutani. Selain itu pembuatan sentral persemaian dengan jumlah bibit sebanyak 143.000 bibit dengan dana dan usaha swadaya masyarakat desa hutan yang tergabung dalam anggota LMDH. Sedangkan program kerja yang akan dilaksanakan di desa ini adalah menanam pohon picung yang dipercaya masyarakat dapat memperbaiki kualitas ekosistem di daerah mata air, kawasan mata air yang dimiliki ada di LMDH ini sebanyak 12 mata air. Dengan berdirinya LMDhH, manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari adanya hutan tersebut juga selain meningkatkan pendapatan dengan sharing dari hasil getah dan kayu sebesar Rp. 171.000.000,- dengan dana bantuna tersebut

111

akan semkin membantu dalam pembangunan dan pengembangan masyarakt desa hutan. Selain itu masyarakat dapat memanfaaatkan air untuk keperluan hidup dan Kayu bakar yang sangat dimanfaatkan oleh masyarakat desa hutan sehingga hutan yang ada dijaga oleh masyarakat desa tersebut. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh LMDH Sadabumi adalah komunikasi masyarakat desa hutan dan pihak LMDH sering tidak sejalan, karena kepentingan kelompok. Dalam penyadapan getah, anggota LMDH akan beralih profesi sebagai buruh ketika di kota besar sedang ada proyek pembangunan. Pada musim hujan beralih menjadi petani sawah dan ladang, sehingga penyapan getah menjadi berkurang sehingga produksi getah pada bulan-bulan tertentu menurun. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada dilakukan melalui beberapa cara diantaranya memberikan reward kepada anggota LMDH sebagai penyadap untuk pengambilan cicilan sepeda motor dengan konsisten

meningkatkan produksi getah sesuai dengan target NPS (normal proggres schedule). Selain itu pihak LMDH agar menjaga produktifitas getah pada sat bulan-bulan tertentu melakukan sadap mati pada tegakan pinus tebangan E (penjarangan).

112

G. Hasil dan Pembahasan Materi Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan a. Pengamatan kondisi daerah aliran sungai Pengamatan Daerah Aliran Sungai (DAS) dilakukan di sungai Cijolang yang terletak di RPH Dayeuhluhur BKPH Sidaraeja. Sub Das Cijolang mengalir melewati bebepa desa di Kecamatan Dayeuhluhur diantaranya Desa Cilumping. Sungai Cijolang termasuk kedalam aliran sungai dalam kawasan Daerah aliran Sungai (DAS) Serayu. Jenis tanah yang terdapat di kawasan aliran sungai tersebut adalah jenis litosol, grumosol, dan regusol. Sedangkan iklim menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk kedalam iklim zona B. Pengamatan terhadap lahan kritis dilakukan di Petak 25A, yang merupakan salah satu petak BKPH Majenang yang termasuk ke dalam RPH Cimanggu. Memiliki luas 27.6 Ha, berada pada ketinggian 980 mdpl. Jenis tanaman yang terdapat pada petak ialah tegakan Pinus. Keadaan topografi yang ada pada petak ini curam hingga mencapai kelerengan >450. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan diperoleh data sebagai berikut: Lebar sungai sebesar 20 meter dan Elevasi sebesar 712. Berikut ini gambar dilpangan dalam pengukura lebar sungai

Gambar 65 Kondisi pengukuran lebar sungai. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dan pengolahan data, berikut ini tabel hasil pengolahan data dari data di langan.

113

Tabel 40. Data hasil pengukuran kecepatan arus sungai SUB DAS Cijolang Bagian Kedalaman sungai (cm) Debit Panjang lintasan (m) Waktu (s) Kecepatan rata-rata(m/s) Kec.Total rata-rata(m/s) Tabel 41 .Pengolahan data Luas Penampang sungai 30 I II 2 2 4,2 4,7 0,43 III 2 5,5 I 2 2,3 1,13 52 II 2 1,7 III 2 1,5 I 2 2,7 0,73 47 II 2 2,6 III 2 2,9 Tepi 1 Tengah Tepi 2

0,76

Penampang I II III IV

Panjang tepi (m) 4 8 4 4

Kedalaman (cm) 30 52 52 (tengah) 47 (tepi) 47

Luas Penampang (m) x 4 x 0,3 = 0,6 (8 x 0,3) + ( x 0,22x 8) = 3,28 (4 x 0,47) + ( x 0,05 x 4) = 1,98 x 4 x 0,47 = 0,94 6,8

Luas Penampang Total (m) Debit (Q) = Luas Penampang (A) x Kecepatan (V) = 6,8 m2 x 0,76 m/s = 5,168 m3/s

KPH Banyumas Barat memiliki wilayah dengan ketinggian tempat yang berbeda. Tetapi daerah yang dominan dengan kategori Bergelombang dengan besar persentase 4.71% dari keseluruhan wilayah. Karena itu banyak areal-areal hutan yang topografinya cukup terjal, curam dan bergunung. Kondisi tersebut menyebabkan timbulnya kesulitan dalam pemeliharaan areal sehingga lahan berpotensi menjadi lahan kritis. Untuk menjaga keseimbangan ekosistem, maka perlu dilakukan kegiatan rehabilitasi dalam pengelolaan lahan kritis. Namun, rehabilitasi tidak hanya dilakukan pada lahan kritis tetapi juga dapat dilakukan pada lahan produktif, agar kondisi lahan tetap terjaga. Salah satu fungsi dari rehabilitasi lahan adalah untuk menjaga Daerah Aliran Sungai (DAS) agar tidak rusak dan tetap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

114

Pengukuran debit air pada salah satu sungai yang terdapat di BKPH Sidareja RPH Dayeuhluhur dilakukan dengan cara manual, yaitu dengan menghitung lebar dari sungai tersebut dan melakukan perhitungan kecepatan air pada 3 bagian sungai (bagian tepi kiri, bagian tengah, bagian tepi kanan). Kegunaan dari pengukuran ini antara lain adalah untuk mengetahui debit terendah dari sungai, mengetahui berapa besar volume air yang dapat digunakan oleh masyarakat sekitar setiap harinya, dan manfaat aliran sungai bagi masyarakat sekitar. Perhitungan dilakukan pada pukul 12.00 WIB karena pada waktu tersebut merupakan titik terendah air sungai sehingga kita dapat memperhitungkan debit minimal pada sungai tersebut. Hal ini dilakukan agar dapat mengetahui kondisi minimum sungai, sehingga dapat memprediksi terjadinya kekurangan air untuk keperluan masyarakat setempat.

. Gambar 66 Kondisi daerah ailran sungai Sub DAS Cijolang di wilayah RPH Dayeuhluhur. Kecepatan air rata-rata berkisar pada 0,76 m/sekon. Dengan lebar sungai sebesar 20 meter dan kedalaman rata-rata 45 cm, debit yang dihasilkan dari sungai tersebut sebanyak 5,168 m/s. Ini berarti sungai Lutut mengalirkan 5,168 m atau sekitar 51,68 Liter air tiap detiknya. Dari hasil pengamatan, debit yang dihasilkan dari sungai tersebut dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat. Hal tersebut karena pada daerah sempadan sungai terdapat tumbuhan-tumbuhan yang kondisinya masih sangat baik. Tumbuhan-tumbuhan trsebut dapat mempengaruhi debit air yang ada secara

115

optimal. Adanya tumbuhan-tumbuhan tersebut juga dapat menjaga kestabilan dari debit sungai yang dihasilkan, sehingga saat debit air tinggi, sungai tidak merugikan masyarakat dan saat debit kurang, air tidak berkurang. Adapun tanaman yang terdapat di sempadan sungai diantaranya adalah persawahan dan tanaman buah-buahan, dengan kondisi vegetasi tersebut dapat menyebabakan tingkat erosi menjadi tinggi dan berpotensi menjadi lahan kritis yang harus dilakukan rehabilitasi. Jenis tanah pada daerah ini berupa tanah litosol yang berwarna cokelat kehitaman dengan struktur tanah dari keras hingga lunak. b. Pengamatan kondisi Lahan Kritis Kondisi tanah yang berbatu, tipis hara, serta sulitnya medan pada Petak 2A menyebabkan tanaman sulit untuk berkembang. Kegagalan penanaman sering terjadi pada lahan ini. Beberapa contohnya antara lain pada penanaman pinus I tahun 1977. Tanaman Pinus mati saat baru mencapai ketinggian sekitar 2 meter. Saat penanaman II dilakukan kembali, jenis tanaman yang ditanam antara lain Pinus, Kayu Manis, Suren, Bintami dengan jarak tanam (3 x 2) m2. Namun dari total penanaman II ini hanya sekitar 5% yang berhasil. Kondisi lahan yang cukup terjal dan curam, mengakibatkan sering terjadinya bencana alam seperti longsor. Hal ini akan menyebabkan lahan semakin minim akan unsur-unsur hara dan humus tanah. Petugas dan masyarakat sekitar tidak dapat melakukan pengelolaan dan pemeliharaan secara optimal untuk memulihkan kondisi lahan tersebut. Ini dikarenakan kondisi areal yang terjal dengan topografi berbatu. Walaupun demikian, masyarakat masih berusaha untuk memanfaatkan lahan yang ada semaksimal mungkin. Salah satunya yaitu dengan adanya penanaman kopi yang diusahakan masyarakat, walaupun hanya dengan luas sekitar 1,5 Ha. Letak/posisi petak berada 100 Timur. Kondisi ini menyebabkan lahan tersebut tidak mendapat sinar matahari pada pagi hari. Hal ini akan sangat berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Jenis tanah latosol yang tipis dan disetai bebatuan, menyebabkan tanaman tidak mampu menyerap air serta unsur hara dengan baik.

116

Gambar 67 Kondisi petak hutan tegakan pinus akibat longsor. Pengelolaan untuk memulihkan lahan tesebut dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan memilih tanaman yang tepat untuk ditanam pada lahan tersebut. Sebaiknya lahan dengan kondisi terjal dan miskin hara ditanami dengan tanaman yang memiliki perakaran yang mampu menopang terhadap bahaya longsor sekaligus juga berguna bagi masyarakat sekitar. Beberapa jenis tanaman tersebut antara lain tanaman Duren, Bambu, Kelapa dan Aren. Jenis tanaman ini juga merupakan jenis tanaman yang dapat tumbuh pada kelerengan >450 pada ketinggian 1130 mdpl terutama tumbuhan Duren dan Bambu.

117

G. Hasil dan Pembahasan Materi Indentifikasi HCVF a. Pengelolaan kawasan HCFV di KPH Banyumas Barat High Conservation Value Forest (HCVF) merupakan salah satu pedoman dalam pengelolaan hutan lestari yang diperlukan oleh para pengelola hutan dalam menerapkan pengelolaan hutan secara tepat. Pada dasarnya, semua kawasan hutan memiliki nilai-nilai ekologi dan sosial, akan tetapi guna menjadikan hutan yang memiliki nilai konservasi yang tinggi , maka nilai-nilai tersebut harus memiliki keistimewaan. Dalam rangka implementasi pengelolaan hutan lestari di KPH Banyumas Barat telah melakukan identifikasi keberadaan HCVF (High Conservation Value Forest) yang sesuai dengan 9 prinsip FSC (Forest Stewardship Council) beserta kriterianya. Konsep ini digunakan untuk mengetahui apakah suatu unit management hutan memiliki hutan yang bernilai konservasi tinggi. Konsep tersebut terdiri dari : HCVF 1 : Kawasan hutan yang mempunyai konsentrasi nilai-nilai keanekaragaman hayati yang penting secara global, regional dan lokal (misalnya spesies endemi, spesies hampir punah, tempat menyelamatkan diri (refugia)). HCVF 2 : Kawasan hutan yang mempunyai tingkat lanskap yang luas yang penting secara global, regional dan lokal, yang berada di dalam atau mempunyai unit pengelolaan, dimana sebagian besar populasi species, atau seluruh species yang secara alami ada di kawasan tersebut berada dalam pola-pola distribusi dan kelimpahan alami. HCVF 3 : Kawasan hutan yang berada di dalam atau mempunyai ekosistem yang langka, terancam atau hampir punah. HCVF 4 : Kawasan hutan yang berfungsi sebagai pengatur alam dalam situasi yang kritis (e.g. perlindungan daerah aliran sungai, pengendalian erosi). HCVF 5 : Kawasan hutan yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal (mis, pemenuhan kebutuhan pokok, kesehatan).

118

HCVF 6 : Kawasan hutan yang sangat penting untuk identitas budaya tradisional masyarakat lokal (kawasan-kawasan budaya, ekologi, ekonomi, agama yang penting yang diidentifikasi bersama dengan masyarakat lokal yang bersangkutan). Utnuk mengidentifikasi keiistimewaan nilai konservasi yang tinggi tersebut, dapat digunakan dokumen Proforest toolkit yang secara metodologi akan menggunakan dua tahapan proses untuk mengidentifikasi keberadaan HCVF. Tahapan tersebut tertuang dalam bagan alur sebagai berikut :

Penilaian Pendahuluan Identifikasi keberadaan potensial HCVF Kebera daan potensi al HCVF Penilaian Penuh Identifikasi keberadaan potensial HCVF HCVF tidak ada HCVF tidak ada

I. Dokumen yang menyatakan justifikasi setiap nilai-nilai HCVF tidak ada II. Setiap nilai HCVF yang teridentifikasi harus dikelola secara benar III. Untuk FSC, hal ini harus dilakukan sebagai bagian dalam memenuhi persyaratan prinsip 1.8

HCVF ada Pemantauan HCVF bahwa untuk HCVF Pemantauan HCVF untuk

Pengelolaan Pengelolaan menegaskan

memberi konfirmasi apakah HCVF dipelihara dan

dipelihara dan ditingkatkan

ditingkatkan

Gambar 68. Kerangka pikir identifikasi HCVF

119

Maksud dari identifikasi keberadaan potensial HCVF (High Conservation Value Forest) ini sebagai penilaian awal dari keseluruhan penilaian HCVF yang akan dilakukan oleh KPH Banyumas Barat dalam menuju sertifikasi Pengelolaan hutan Lestari (PHL). Sedangkan tujuannya, antara lain : 1. Mengetahui tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang ada di wilayah KPH Banyumas Barat, yang dihimpun dari pengamatan secara rutin oleh KPH berupa laporan triwulan dan pengamatan langsung. 2. Mengetahui pemanfaatan seluruh kawasan hutan di KPH Banyumas Barat yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial. b. Pengelolaan kawasan HCVF di BKPH Wanareja RPH Dayeuhluhur Kawasan lindung di Petak 28A di desa bolang memiliki komposisi vegetasi yang beragam, dengan kerapatan tajuk tegakan yang cukup rapat. Petak ini berbatasan dengan lahan milik PTP dan lahan sengketa yang ditanami tanaman kopi, luasan petak 28a ini adalah 5232.2 Ha, dengan topografi lereng, landai hingga agak curam dengan kemiringan antara 15 - 30 %. Di tetak 28A secara keseluruhan terdiri dari hutan lindung seluas114,1 Ha. dimana pada petak ini memiliki strata tajuk yang lengkap. petak ini memiliki jenis tanah yang kaya akan humus, jenis tanah pada petak 28a adalah latosol merah kekuningan, sedikit berbatu dan labil dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 69 Kondisi vegetasi Hutan Lindung RPH Dayeuhluhur. Praktek Kerja Lapang mengenai konservasi sumberdaya hutan dilakukan dengan untuk mempelajari komposisi vegetasi perlu dilakukan pembuatan petakpetak pengamatan yang sifatnya permanen atau sementara. Menurut Soerianegara

120

(1974) petak-petak tersebut dapat berupa petak tunggal, petak ganda ataupun berbentuk jalur atau dengan metode tanpa petak. Dari hasil analisis HCFV yang dilakukan di petak 28a dengan petak contoh ukuran 20 m x 500 m, dan jumlah anak petak 20 m x 20 m sebanyak 25 petak. Berdsarkan hasil pengamatan diperoleh data HCFV dari nilai ekologis dan sosial, sebagai berikut: c. Pengelolaan HCVF dengan nilai-nilai Ekologis 1. HCVF 1: Unit Management berisi (mungkin) spesies langka, terancam dan hampir punah. Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang dilakukan di bagian hutan Dayeuhluhur, RPH Dayeuhluhur, BKPH Wanareja ditemukan beberapa jenis spesies yang termasuk dalam RTE (rare, threatened, and endangerd). Diantaranya pada kelas mamalia a) Surili (Presbytis comata) Surili menempati hutan primer dan sekunder mulai dari hutan pantai, hutan bakau, hutan pegunungan pada ketinggian sekitar 2000 m dpl. Seringkali dijumpai di zona antara hutan dan kebun. Presbytis comata tersebar hanya di Jawa Barat, terutama di beberapa taman nasional, cagar alam, dan hutan lindung. Surili memiliki kelompok relatif kecil, bila dibandingkan dengan jenis lutung lainnya. Jumlah individu dalam kelompok antara 7-12 ekor. Sistem perkawinannya multimale, tetapi monogami, dengan satu ekor jantan dalam kelompok. Jenis suara yang dikeluarkan adalah kik...kik...kik..., dan umumnya dikeluarkan oleh jantan atau anggota kelompok saat ada bahaya Suara ini diulang terus-menerus, hingga keadaan dirasa aman. Daerah jelajah tergantung dari besar kecilnya kelompok. Kelompok dengan jumlah individu 4-19 ekor berkisar antara 9-20 ha. Kadang-kadang daerah jelajah tumpang tindih dengan daerah kelompok lain. Pergerakan hariannya ratarata mencapai 900 meter per hari. Surili aktif di siang hari (diurnal) dan menempati lapisan atas dan tengah kanopi hutan (arboreal). Surili menggunakan hanya 30% dari waktunya untuk makan dan 5% untuk pergerakan, sedangkan porsi waktu yang lebih besar (60%) digunakan untuk istirahat. Pertemuan melalui suara pada pukul 12.15 WIB. Pada petak pengamatan No. 7

121

Gambar 70 Surili (Presbytis comata) RPH Dayeuhluhur. b) Babi Hutan (Sus crofa) Babi Hutan (Sus scrofa) atau celeng adalah nenek moyang liar yang menurunkan babi budidaya (Sus domesticus). Babi hutan yang hidup secara liar di hutan sangat mudah ditemui. Sifatnya yang suka merusak terutama lahan garapan masyarakat menjadikan hewan ini banyak diburu. Berat babi hutan dapat mencapai 200 kg (400 pound) untuk jantan dewasa, serta panjangnya dapat mencapai 1,8 m (6 kaki). Jika terkejut atau tersudut, mereka dapat menjadi agresif - terutama bila betina dewasa sedang melindungi anaknya - dan jika diserang akan mempertahankan dirinya dengan taringnya. Daerah penyebaran adalah di hutanhutan Eropa Tengah, Mediterania (termasuk Pegunungan Atlas di Afrika Tengah) dan sebagian besar Asia hingga paling Selatan di Indonesia. Penemuan Jejak Babi Hutan pada pukul 11.00 WIB Pada petak pengamatan No. 4

Gambar 71 Babi Hutan (Sus scrofa) Hutan Lindung RPH Dayeuhluhur c) Trenggiling (Manis javanica syn Paramis javanica)

122

Trenggiling biasa (Manis javanica syn Paramis javanica) adalah wakil dari ordo philidota yang masih ditemukan di Aia Tenggara.. Trenggiling merupakan hewan menyusui pemakan serangga, terutama semut dan rayap. Trenggiling hidup di hutan hujan tropis dataran rendah. Tubuhnya tertutup sisik yang tersusun seperti genteng atap, sebagian saling menutupi. Bagian perut, sebelah dalam anggota tubuh, tenggorokan dan bagian-bagian kepala tidak tertutup sisik tetapi ditutupi bulu-bulu. Sisik berupa tonjolan kulit yang keluar dari epidermis. Kepala berbentuk kerucut, mata kecil, begitu pula telinga luar. Oleh karena hewan ini tidak mempunyai gigi maka lidah digunakan untuk makan. Lidah panjang berbentuk cacing, kakinya kuat dan pendek lengkap dengan cakar. Cakar jari-jari benar-benar cakar penggali. Trenggiling yang hidup di tanah mempunyai ekor berotot kuat. Panjangnya kira-kira sama dengan tubuhnya dan seluruhnya bersisik. Trenggiling yang hidup di pohon mempunyai ekor yang lebih panjang dari tubuhnya. Pada ujung ekor itu terdapat bagian yang gundul. Ekor digunakan sebagai lengan untuk berpegang waktu memanjat pohon. Trenggiling Jawa yang terdapat di Pulau Sumatera mempunyai panjang kepala 50 - 60 cm, panjang ekor 50 - 80 cm, dengan warna sisik kuning sawo sampai coklat kehitam-hitaman dan kulit berwarna agak putih. Daerah penyebaran Trenggiling Jawa (M. javanica) terdapat di Semenanjung Malaysia, Birma, Indocina (Vietnam, Laos, Kamboja) dan pulaupulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Pertemuan melalui jejak pencarian semut pukul 11.20 WIB Pengamatan pada petak 9

123

Gambar 72 Trenggiling biasa (Manis javanica syn Paramis javanica) Hutan Lindung RPH Dayeuhluhur d) Macan Kumbang (Panthera pardus) Informasi mengenai keberadaan macan tutul di daerah Dayeuhluhur didapatkan dari hasil wawancara dengan petugas lapang yang biasa melakukan patroli malam. Meskipun populasi macan tutul di daerah ini cenderung sedikit tetapi keberadaannya di hutan lindung Dayeuhluhur perlu diperhatikan. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan berapa banyak macan tutul yang ada di kawasan hutan lindung ini. Macan Kumbang atau Macan Tutul Jawa, atau Harimau Hitam, yang dalam nama ilmiahnya Panthera pardus melas adalah salah satu subspesies dari Macan Tutul yang hanya ditemukan di hutan tropis, pegunungan dan kawasan konservasi pulau Jawa, Indonesia. Seperti Macan Tutul lainnya, Macan Kumbang berukuran besar, dan mempunyai indra penglihatan dan penciuman yang tajam. Subspesies ini pada umumnya memiliki bulu seperti warna sayap kumbang yang hitam mengkilap, dengan bintik-bintik gelap berbentuk kembangan yang hanya terlihat di bawah cahaya terang. Bulu hitam Macan Kumbang mungkin merupakan hasil evolusi dalam beradaptasi dengan habitat hutan yang lebat dan gelap. Macan Kumbang betina serupa, dan berukuran lebih kecil dari jantan. Macan Kumbang adalah hewan soliter, kecuali pada musim berbiak. Hewan ini lebih aktif berburu mangsa di malam hari. Mangsanya yang terdiri dari aneka hewan biasanya diletakkan di atas pohon.Macan Kumbang merupakan satusatunya kucing besar yang masih tersisa di Pulau Jawa. Subspesies ini jika disilangkan dengan Macan Tutul biasa, memiliki anak macan yang berwarna seperti kedua induknya, kuning tutul ataupun hitam. Sebagian besar populasi Macan Kumbang dapat ditemukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Berdasarkan dari hilangnya habitat hutan, penangkapan liar, serta daerah dan populasi dimana hewan ini ditemukan sangat terbatas, Macan Kumbang dievaluasikan sebagai Terancam Punah di dalam IUCN Red List dan didaftarkan dalam CITES Appendix I. Satwa ini dilindungi di

124

Indonesia, yang tercantum di dalam UU No.5 tahun 1990 dan PP No.7 tahun 1999. e) Kijang (Muntiacus muntjak) Kijang (Muntiacus muntjak) memiliki tubuh bagian atas berwarna coklat kemerahan kadang lebih gelap di sepanjang garis punggungnya. Sedangkan bagian bawah berwarna putih dan sering bercorak abu-abu. Panjang Kijang dari moncong sampai ekor mencapai 98-111 cm (dewasa). Tinggi bahu lebih dari 50 cm panjang rongga tanduk 73-130 cm panjang pedisel 69-149 cm berat Kijang umumnya 20 kg, bertubuh kecil dan ramping. Rata-rata umur Kijang bisa mencapai 16 tahun. Kijang biasanya ditemukan di daerah yang mempunyai vegetasi yang rapat di daerah perbukitan dengan ketinggian sampai 3000 m, semak-semak dan di bawah pohon yang berbuah.

Gambar 73 Kijang (Muntiacus muntjak) Hutan Lindung RPH Dayeuhluhur Hewan ini aktif pada malam hari, tetapi dapat juga sepanjang hari pada habitat yang tidak terganggu. Makanannya terutama daun-daun muda, rumputrumputan, buah-buahan yang jatuh dan biji-bijian serta akar tanaman. Untuk memberi tanda batas pada wilayahnya Kijang jantan melakukannya dengan merundukkan kepala dan menggaruk kukunya di atas permukaan tanah. Mereka juga menandai pohon dengan menggaruk batangnya dengan menggunakan tanduknya dan gigi seri bagian bawah. f) Kelelawar (Pteropus aruensis) Kelelawar merupakan satu-satunya jenis hewan Mammalia yang dapat terbang dengan menggunakan sayap. Kelelawar aktif mencari makan dan terbang hanya pada malam hari. Hal ini dikarenakan kelelawar sangat sensitif terhadap

125

dehidrasi (kekurangan air). Apabila siang hari ia tidur dengan bergelantungan terbalik. Habitat (tempat tinggalnya) biasanya di gua-gua, alam terbuka, atau di pepohonan. Selain mempunyai penglihatan yang baik, kelelawar lebih mengandalkan pada suaranya yang nyaring untuk menuntunnya terbang. mengeluarkan bunyi yang dinamakan ultrasonik yang tidak dapat didengar manusia. Getaran bunyi ini mempunyai frekuensi antara 25.000 - 50.000 Hz. Apabila menabrak suatu objek atau benda, getaran suaranya memantul kembali, lalu ditangkap telinganya yang lebar yang berfungsi sebagai radar baginya. Proses ini hanya memakan waktu sepersepuluh detik, cukup bagi kelelawar untuk mengetahui apa yang ada di depannya, ke mana arahnya, dan berapa kecepatannya. Hidungnya yang berbentuk aneh seperti kaki kuda atau trisula dengan tonjolan membuatnya dapat mengeluarkan suara ultrasonik. Kelelawar akan mengunci posisi mangsa yang berada dalam jangkauannya begitu siap menangkap. Teknik ini mirip dengan penguncian target yang dilakukan pesawat-pesawat tempur untuk memandu arah tembakan misilnya. Untuk menyelesaikan perburuan mangsanya tidaklah mudah, kelelawar harus selalu mengarah ke target yang terbang dan bergerak bebas. Kelelawar mengunci arah kepalanya ke target layaknya pemain baseball mengarahkan matanya ke bola yang akan ditangkap. Bedanya, kelelawar mengubah-ubah sudut dan arah gerakannya mengikuti gerakan mangsanya. Tidak lurus dan satu sudut saja. Apabila mangsanya, misalnya serangga terlihat di arah barat laut, kelelawar akan bermanuver agar calon mangsanya itu selalu berada di arah barat laut sambil mendekat. Kelelawar hanya membutuhkan waktu singkat untuk mendeteksi, mengunci, dan menangkap mangsa selincah apapun. Pengamatan dilakukan di Goa peninggalan Jepang di RPH Dayeuhluhur Pada pukul 14.00 WIB

126

Gambar 74 Kelelawar Hutan Lindung RPH Dayeuhluhur Sedangakan yang ditemukan pada kelas Aves diantaranya, a) Ayam Hutan Ayam hutan adalah nama umum bagi jenis-jenis ayam liar yang hidup di hutan. Dalam bahasa Jawa disebut dengan nama ayam alas. Ayam hutan adalah pemakan segala, meskipun cenderung sebagai pemakan biji-bijian. Namun sebagaimana ayam umumnya, ayam hutan juga memakan pucuk-pucuk rumput, serangga dan berbagai hewan kecil yang ditemuinya. Burung ini biasanya hidup berpasangan atau dalam kelompok kecil. Tidur di atas ranting perdu atau semak, tidak terlalu jauh dari atas tanah. Pada musim bertelur, betina membuat sarang sederhana di atas tanah dan mengerami telurnya hingga menetas. Anak-anak ayam hutan diasuh oleh induk betinanya. Tidak seperti ayam peliharaan, ayam hutan pandai terbang; tidak lama setelah meninggalkan sarang tempatnya menetas. Ayam hutan merupakan salah satu jenis unggas yang telah didomestikasi manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Ayam-hutan merah diketahui sebagai nenek-moyang langsung dari aneka jenis ayam peliharaan. Sedangkan persilangan ayam-hutan hijau dengan ayam peliharaan menghasilkan ayam bekisar, yang sangat terkenal di Jawa Timur karena suara kokoknya yang merdu dan bulunya yang indah.

127

Seluruhnya, ada empat spesies ayam hutan yang menyebar mulai dari India, Sri Lanka sampai ke Asia Tenggara termasuk Kepulauan Nusantara. Keempat spesies itu adalah: 1. Ayam-hutan merah, Gallus gallus 2. Ayam-hutan Srilangka, Gallus lafayetii 3. Ayam-hutan kelabu, Gallus sonneratii 4. Ayam-hutan hijau, Gallus varius Dua jenisnya terdapat di Indonesia, menyebar alami terutama di bagian barat kepulauan. Kedua jenis itu ialah (1) Ayam-hutan merah, yang menyukai bagian hutan yang relatif tertutup; dan (2) Ayam-hutan hijau, yang lebih menyenangi hutan-hutan terbuka dan wilayah berbukit-bukit. Pertemuan melalui jejak kaki pada pukul 12.46 WIB Pengamatan pada petak 21

Gambar 75 Ayam hutan Hutan Lindung RPH Dayeuhluhur b) Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) Burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) merupakan salah satu spesies elang berukuran sedang yang endemik (spesies asli) di Pulau Jawa. Satwa ini dianggap identik dengan lambang negara Republik Indonesia, yaitu Garuda. Dan sejak 1992, burung ini ditetapkan sebagai maskot satwa langka Indonesia. Pertemuan pertama dengan elang jawa terjadi pada tanggal 27 Juli 2009 pukul 10.15 WIB, BKPH Rawa Timur, Desa Kutawaru. Kemudian pertemuan juga terjadi dengan 1 ekor elang jawa melalui pengenalan suara ketika berkunjung ke Desa Sadabumi, BKPH Majenang. Pertemuan melalui suara pukul 10.15 WIB Secara fisik, Elang Jawa memiliki jambul menonjol sebanyak 2-4 helai dengan panjang mencapai 12 cm, karena itu Elang Jawa disebut juga Elang

128

Kuncung. Ukuran tubuh dewasa (dari ujung paruh hingga ujung ekor) sekitar 6070 sentimeter, berbulu coklat gelap pada punggung dan sayap. Bercoretan coklat gelap pada dada dan bergaris tebal coklat gelap di perut. Ekornya coklat bergarisgaris hitam. Ketika terbang, Elang Jawa hampir serupa dengan Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus) bentuk terang, namun cenderung nampak lebih kecoklatan, dengan perut terlihat lebih gelap, serta berukuran sedikit lebih kecil. Bunyi nyaring tinggi, berulang-ulang, klii-iiw atau ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga tiga suku kata. Atau bunyi bernada tinggi dan cepat kli-kli-kli-kli-kli. Sedikit banyak, suaranya ini mirip dengan suara Elang Brontok meski perbedaannya cukup jelas dalam nadanya. Populasi burung Elang Jawa di alam bebas diperkirakan tinggal 600 ekor. Badan Konservasi Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengategorikannya terancam punah. Konvensi Perdagangan Internasional untuk Flora dan Fauna yang Terancam Punah memasukkannya dalam Apendiks 1 yang berarti mengatur perdagangannya ekstra ketat. Berdasarkan kriteria keterancaman terbaru dari IUCN, Elang Jawa dimasukan dalam kategori Endangered atau Genting (Collar et al., 1994, Shannaz et al., 1995). Melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional, Pemerintah RI mengukuhkan Elang Jawa sebagai wakil satwa langka dirgantara. Status konservasi

Terancam Habitat burung Elang Jawa hanya terbatas di Pulau Jawa, terutama di wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan.

129

Gambar 76 Burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) Hutan Lindung RPH Dayeuhluhur c) Burung Rangkong (Buceros rhinoceros) Burung rangkong atau dalam Bahasa latinnya Buceros minoceros merupakan spesies terbesar dalam suku burung Bucerotidae. Jenis burung ini sangat unik dan memiliki keindahan yang tidak dapat dijelaskan dengan hanya melihat gambar. Burung Rangkong termasuk hewan yang dilindungi berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar No. 226 tahun 1931, UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang dipertegas dengan SK Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-II/1991 tentang Inventarisasi Satwa yang dilindungi UU dan No. 882/Kpts-II/1992 tentang Penetapan Tambahan Beberapa Jenis Satwa yang dilindungi UU. Burung ini dicirikan oleh ukuran tubuh yang besar, kurang lebih dua kali ayam kampung dan memiliki paruh yang sangat besar menyerupai tanduk sehingga dinamakan hornbill, yang berarti paruh tanduk. Dari kejauhan, burung ini dapat dikenali melalui suara yang parau lantang. Burung ini memiliki suara yang keras serta beberapa jenis memiliki warna tubuh yang mencolok, merupakan burung yang sangat jarang dijumpai. Kelompok burung Rangkong (Bucerotidae) mempunyai paruh besar dan kokoh tetapi ringan serta bersifat arboreal. Umumnya burung jantan memiliki ukuran tubuh lebih besar dari burung betina. Jenis kelamin Rangkong yang telah dewasa dapat diketahui berdasarkan perbedaan warna balung atau cula, warna sayap, paruh dan mata. Kelompok burung Rangkong mempunyai ukuran panjang total antara 381 - 1600 mm. Bulu berwarna coklat, hitam, putih, atau hitam dan putih. Paruh berwarna merah atau kuning, sangat besar dan melengkung dan sebagian besar

130

burung ini mempunyai cula. Kulit dan bulu di sekitar tenggorokan berwarna terang. Sayap kuat, ekor panjang, kaki pendek, jari-jari kaki besar dan S indaktil. Rangkong menghuni puncak pepohonan tinggi secara berpasangan, hidup di Asia Tenggara, terutama di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan & Jawa. Burung pemakan buah dan serangga ini memilih daun ara sebagai penganan favorit. Pertemuan melalui suara pada pukul 12.24 WIB Pengamatan pada petak 17

Gambar 77 Burung rangkong (Buceros minoceros) Hutan Lindung RPH Dayeuhluhur d) Burung Bangau Bluwok (Mycteria cinerea) Pertemuan dengan burung bangau Bluwok (Mycteria cinerea) atau Milky Stork terjadi pada saat dilakukan pengamatan rencana tanaman kayu putih di petak 10f, RPH Ciawilayan, BKPH Rawa Barat, pada pukul 10.30 WIB. Burung ini menyatu dengan koloni kuntul dan bangau lain, berdasarkan pengamatan, burung ini memiliki warna bulu yang putih dengan berukuran sangat besar (92 cm). Berbulu putih, kecuali bulu terbang dan sayap hitam. Kulit muka tanpa bulu berwarna merah jambu sampai merah, kaki abu-abu. Sebaran burung ini menyebar secara merata di daerah selatan laut Jawa. Di Jawa Tengah banyak ditemukan di sekitar Nusa Kambangan. Koloni-koloni tempat berbiak diketahui di Propinsi Riau, pesisir timur Sumatera selatan, dan P. Rambut di Jawa barat. Tercatat sejumlah burung di beberapa tempat yang sesuai di Jawa tengah bagian selatan dan Jawa timur, tetapi tidak dipastikan berbiak. Mencari makan di tempat yang luas. Akhir-akhir ini ditambahkan dalam daftar burung di Bali.

131

Sering mengunjungi daerah berlumpur dan daerah tergenang termasuk rawa, gosong lumpur di pantai, mangrove, dan sawah. Biasanya hidup sendirian atau dalam kelompok kecil dan agak besar, di dekat pantai. Tetapi di Sumatera menyebar sampai ketinggian 900 m. Bergabung dengan cangak dan bangau lain, kadang-kadang melayang tinggi di angkasa. Ketika makan, katupan paruhnya bisa terdengar dari kejauhan. Bersarang dalam koloni campuran dengan burung air lain. Burung Bangau ini dipercaya memiliki masalah dalam penyebarannya sehingga CITES menempatkannya dalam Appendix 1, sedangkan IUCN menempatkan burung ini pada status VU (Vulnerable) dimana populasi burung ini masih terus mengalami penurunan dan beresiko terancam punah. e) Burung Belibis Batu (Dendrocygna javanica) Pertemuan dengan burung ini terjadi pada saat perjalanan menuju petak 10 c, 10 a RPH Ciawilayan, BKPH Rawa Barat, pada pukul 10.00 WIB. Sekelompok Belibis Batu terbang membentuk suatu koloni ke arah Nusa Kambangan, beberapa meter dari petak 10 c, dan 10 a. Sekelompok burung belibis batu Pertemuan pada pukul 10.00 WIB

Gambar 78 Burung Belibis Batu (Dendrocygna javanica) Hutan Lindung RPH Dayeuhluhur Ukuran tubuh belibis batu sekitar 41 cm, warna coklat kemerahan merupakan warna tubuh burung ini, pada bagian kepala terdapat warna gelap dan kuning hingga leher. Warna punggung kecoklatan dan pada bagian bawah coklat kemerahan, belibis batu cenderung lebih kecil dari belibis kembang, iris berwarna coklat, paruh berwarna hitam kaki abu-abu gelap. Burung ini biasanya mengeluarkan suara yang cukup berisik ketika terbang, dan ditemukan dalam

132

jumlah yang banyak. Habitat asal burung ini adalah danau, rawa, hutan mangrove, dan sawah. Burung ini merupakan jenis penetap, dan ditemukan dalam jumlah yang besar. Status keberadaan burung ini ada dalam keadaan aman karena populasinya yang cukup banyak dan menyebar. 2. HCVF 2 : Unit management mempunyai populasi spesies yang ada secara alami dalam jumlah yang layak. Spesies yang interest di kawasan hutan KPH Banyumas Barat yakni elang jawa (Spizaetus bartelsi) yang masih dapat dijumpai, terutama pada saat kami melakukan pengamatan di daerah Rawa Timur dan Majenang. Selain itu di bagian hutan Dayehluhur desa Cilumping masih didengar suara Surili (Presbytis comata). 3. HCVF 3 : Kawasan hutan yang berada dalam ekosistem jarang, terancam atau hampir punah Kawasan hutan mangrove yang berada di bagian hutan Cilacap merupakan salah satu kawasan ekosistem hutan yang sangat berguna untuk menahan abrasi pantai akibat gelombang laut pantai selatan yang terkenal ombaknya besar. Selain itu, dengan adanya Pulau Nusakambangan menjadikan daerah Cilacap masih terlindungi dari bahaya gelombang laut maupun tsunami. Oleh karena itu, di bagian hutan Cilacap menanam segara anakan mangrove. 4. HCVF 4 a) Sumber mata air yang unik untuk pemanfaatan sehari-hari. Sumber mata air yang digunakan oleh masyarakat di wilayah KPH Banyumas Barat banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan air bersih, terutama di kabupaten Cilacap. Sumber mata air yang digunakan antara lain : 1. Sumber mata air Pamijahan 1 yang digunakan oleh PDAM Cilacap. 2. Sumber mata air Pamijahan 2 yang dimanfaatkan oleh Pabrik Aci di Margasari. 3. Sumber mata air Cikelapa yang dikelola untuk kolam renang Tirta Famili 4. Sumber mata air yang dimanfaatkan bersama SPBU.

133

b) Kawasan hutan yang penting untuk tangkapan air dan pengendalian kontrol. Secara administrasi pemerintahan + 85 % wilayah KPH Banyumas Barat masuk kedalam kabupaten cilacap, dimana kabupaten ini memiliki puluhan mata air yang tersebar di wilayah kabupaten Cilacap mulai dari wilayah Dayeuhluhur hingga ke wilayah Cilacap Tengah. Masing-masing mata air ini masuk ke dalam DAS Serayu di wilayah Kesigihan dan beberapa Sub DAS, yakni Sub DAS Cijolang di wilayah Dayeuhluhur, Sub DAS Cikawung di wilayah Wanareja hingga Karangpucung, dan Sub DAS Cimeneng di wilayah Cipari hingga Cilacap Tengah. Sebagian besar aliran DAS yang terdapat di kabupaten Cilacap mengalir ke Samudra Hindia. c) Kawasan hutan dengan dampak penting pada pertanian, budidaya perairan dan perikanan. Kawasan mangrove yang terdapat di bagian hutan Cilacap memberikan dampak yang positif terhadap berkembangnya spesies kepiting dan udang sehingga banyak berkembangbiak di sekitar kawasan mangrove cocok. Dengan berkembangnya kepiting dan udang, banyak lahan-lahan di sekitar kawasan mangrove yang dimanfaatkan sebagai budidaya bandeng, kepiting dan udang. Hal ini karena di sekitar kawasan mangrove cocok air untuk pengembangan tambak tersebut. Selain itu, kawasan mangrove juga melindingi daerah pantai di sepanjang pantai Cilacap dari hantaman ombak pantai selatan sehingga daerah pantai Cilacap dapat digunakan sebagai objek wisata. d. Pengelolaan HCVF dengan Nilai-Nilai Sosial HCVF 4: Sumber mata air yang unik untuk pemanfaatan sehari-hari.

Sumber mata air yang digunakan oleh masyarakat di wilayah KPH Banyumas Barat banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan air bersih, terutama di kabupaten Cilacap. Sumber mata air yang digunakan antara lain : 1. Sumber mata air Pamijahan 1 yang digunakan oelh PDAM Cilacap. 2. Sumber mata air Pamijahan 2 yang dimanfaatkan oleh Pabrik Aci di Margasari. 3. Sumber mata air Cikelapa yang dikelola untuk kolam renang Tirta Famili

134

4. Sumber mata air yang dimanfaatkan bersama SPBU. HCVF 5 : Kawasan hutan yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal (mis, subsisten, kesehatan)

Masyarakat desa hutan di wilayah KPH Banyumas Barat masih bergantung kepada lahan hutan sebagai mata pencaharian utama. Program PHBM yang dijalankan merupakan salah satu jalan menjalin hubungan integrasi antara perhutani dengan masyarakat. Beberapa nilai yang dianggap penting memberikan dukungan terhadap masyarakat sekitar antara lain sistem tanam tumpang sari, pemenuhan kebutuhan kayu bakar, hijauan makan ternak (HMT), pengembangan peternakan dengan kerjasama LMDH, seperti ternak kambing dan sapi, pengembangan tanaman pangan, serta pengembangan kayu putih untuk menghasilkan miyak kayu putih atau atsiri.

HCVF 6 : Kawasan hutan yang sangat penting untuk identitas budaya tradisi masyarakat lokal (kawasan budaya, ekologi, ekonomi dan agama bagi masyarakat lokal).
Bagian hutan Dayeuhluhur tepatnya di desa cilumping terdapat gua peninggalan jepang yang biasa dikunjungi oleh masyarakat baik masyarakat sekitar desa tersebut maupun dari luar desa. Selain itu di dalam hutannya masih jumpai dan terdengar suara jenis burung rangkong. Tabel 42. Objek Wisata budaya KPH Banyumas Barat
Bagian Hutan Dayeuhluhur Cilacap Obyek Situs Budaya Gua Peninggalan Jepang Ekowisata Tritih Pantai Mangrove Cilacap

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


A. Kesimpulan Berdasarkan hasil kegiatan selama Praktek Kerja Lapang (PKL) yang telah dilakukan di KPH Banyumas Barat Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, pengamatan dari sistem pengelolaan Kelas Perusahaan Pinus merkusii secara menyeluruh yang mencakup berbagai bidang seperti perencanaan, pembinaan hutan, perlidungan hutan, pemungutan hasil, dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. KPH merupakan struktur organisasi secara teknis melakukan pengelolaan hutan dari mulai membuat persemaian sampai penebangan pohon yang dikelola dan diatur dengan suatu perencanaan dalam bentuk Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) disusun oleh Seksi Perencanaan Hutan yang kemudian direncanakan secara teknis oleh Administratur KPH melalui Rencana Teknik Tahunan (RTT) dan menjadi partner kerja dari KBM (Kesatuan Bisnis Bersama) sebagai unit dalam pemasaran produk yang dihasilkan dari KPH (Kesatuan

Pemangkuan Hutan). Kegiatan pembinaan hutan terdiri atas pengadaan benih, produksi bibit, penanaman, pemeliharaan, dan perlindungan hutan. Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dilaksanakan dengan pembentukan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Untuk mendukung pengelolaan kelas perusahaan tersebut, dilaksanakan pengelolaan kawasan lindung serta bidang penelitian dengan stakeholder yang terkait dan pengembangan yang bekerjasama dengan pihak ketiga. Seluruh tujuan dalam pencapai aspek ekonomi, sosial dan ekologi yang menjadi misi dan visi perhutani, pada dasarnya terciptanya pengelolaan hutan yang lestari (PHL) dengan pengeloaan tersebut maka pihak perhutani akan mendapatkan reward berupa sertifikat PHL, akan tetapi dalam menuju tujuan tersebut tidak mudah. Sehingga perlu adanya kerjasama yang berkesinambungan dan kosisten dari pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, masyarakat dan perhutani untuk mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup.

140

B. Rekomendasi Untuk mengatasi masalah-masalah yang terdapat pada kegiatan pengelolaan hutan tanaman Kelas Perusahaan Pinus merkusii KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, maka direkomendasikan upaya-upaya berikut: 1. Pemberantasan hama dan penyakit persemaian dengan menggunakan insektisida nabati dari daun atau tembakau dari puntung rokok. 2. Perlu adanya pengawasan yang ketat dan tepat terhadap kawasan hutan lindung di RPH Dayeuhluhur BKPH Sidareja, karena terjadi kasus pencurian kayu di hutan lindung. Apabila hal ini tidak diperhatikan maka berpotensi terhadap perusakan hutan secara luas, dengan demikian hutan lindung yang berfungsi sebagai penyangga hidrologi hutan akan menyebabkan terjadinya erosi yang dapat menyebakan banjir dan longsor. Hal tersebut akan

merugikan masyarakat desa hutan juga. 3. Konflik sosial seperti konflik tenurial dengan masyarakart desa hutan secara dini harus lebih diperhatikan, karena permasalahan sosial di masyarakatcepat berkembang unutk mengantisipasi permasalahan yang muncul perlu pengawasan yang tepat dan cepat terhadap LMDH sebagai pihak ketiga dalam memecahkan permasalahan sehingga masalah yang terjadi tidak berkembang secara luas. 4. Penyadapan getah pinus perlu adanya penentuan bulan efektif untuk

mendapatkan hasil produksi yang efektif dan efisien. Karena kendala dari masyarakat penyadap bahwa tiga bulan pada saat musim hujan para penyadap getah berahli profesi menjadi petani. Sehingga penentuan target produksi mempertimbangkan aspek tersebut. 5. Dalam pencapaian keberhasilan pengelolaan hutan, maka pelaksanaan

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) perlu dioptimalkan dan pertemuan-pertemuan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) harus lebih diintensifkan secara rutin dan program yang konsisten yang saling mengutungkan dan penyuluhan akan pengembangan usaha tertentu dengan demikian roda ekonomi masyarakat akan berjalan dan menigkatkan kesejahteran masyarakat desa hutan.

141

DAFTAR PUSTAKA
[ [BKPH Parung Panjang] Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Parung Panjang. 2009. Laporan Kemajuan Pekerjaan BKPH Parung Panjang sampai dengan Periode 1 Juli 2009. Bogor: BKPH Parung Panjang. Darma IGKT. 1989. Ilmu Penyakit Hutan. Bogor: Bagian Perlindungan Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Hamdani. 2009. Selamatkan tanaman dengan insektisida http://www.lampungpost.com/cetak/cetak.php [2 September 2009]. nabati.

Indiati SW. 2009. Mimba pestisida nabati ramah lingkungan. http://balitkabi.litbang.deptan.go.id/index.php [7 September 2009]. Khaerodin. 1994. Pembibitan Tanaman HTI. Jakarta: PT Penebar Swadaya. [KPH Bogor] Kesatuan Pemangkuan Hutan Bogor. 2009. Sekilas Profil KPH Bogor. Bogor: KPH Bogor Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Perum Perhutani. 2005. Petunjuk Pelaksanaan Penatausahaan Hasil Hutan. Jakarta: Perum Perhutani. ______________. 2007. Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM Plus). Jakarta: Perum Perhutani. [Perum Perhutani Unit III] Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. 2008. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penjarangan Hutan Tanaman. Bandung: Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Rusmanto. 2009. Manuver 400 WSC kendalikan hama utama kelapa sawit. http://biotis.co.id/index.php [2 September 2009]. Saharjo BH. 2003. Pengendalian Kebakaran Hutan. Suratmo FG et al., penyunting. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. [SPH I Bogor] Seksi Perencanaan Hutan I Bogor. 2005. Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH-PDE) Kelas Perusahaan Acacia mangium Kesatuan Pemangkuan Hutan Bogor. Bogor: Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.

Anda mungkin juga menyukai