Pendahuluan Pengelolaan hutan di Indonesia telah dilaksanakan semenjak jaman kolonial Belanda. Berbagai model pengelolaan telah diterapkan sebagai bentuk penyesuaian terhadap dinamika pembangunan serta tuntutan zaman. Pengelolaan hutan pasca kemerdekaan Indonesia telah menempatkan hutan sebagai salah satu penyumbang devisa non migas terbesar dengan tidak memperhatikan aspek kelestarian hutan sebagai sumber daya alam hayati. Pemberian izin konsesi hutan secara berlebihan menyebabkan tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan secara simultan meliputi penurunan fungsi ekologis, ekonomi dan sosial budaya. Perubahan paradigma dan adanya desakan dunia luar serta
berkembangnya pola pikir menuju pembangunan hijau yang berorientasi pada kelestarian sumber daya alam secara langsung menyebabkan pergeseran orientasi pengelolaan hutan yang dilaksanakan di indonesia. Perubahan orientasi pengelolaan hutan secara frontal tentunya tidak dapat dilaksanakan mengingat masih besarnya tingkat kebutuhan hasil hutan (kayu) yang sampai dengan saat ini belum ditemukan subtitusinya. Perubahan orientasi pengelolaan hutan yang timber oriented menuju pengelolaan hutan forest sustainable oriented dilaksanakan secara bertahap melalui kebijakan soft landing yang mengurangi serta mengatur dengan lebih ketat pemanfaatan hasil hutan kayu. Pada sisi yang berbeda pengelolaan hutan telah mengesampingkan dinamika sosial budaya masyarakat di sekitar kawasan hutan, bahkan cenderung menutup mata terhadap eskistensi masyarakat serta dinamika sosial budaya yang terjadi. Pengelolaan hutan yang berorientasi pada keuntungan profit oriented management secara langsung telah menyebabkan kemiskinan dan termarginalkannya masyarakat.
Pengelolaan hutan tentunya tidak dapat dipisahkan dari dinamika sosial ekonomi dan budaya masyarakat disekitar hutan, oleh karena itu pengelolaan hutan seyogyanya mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat serta mengutamakan pola partisipatif secara integral. Bertolak dari kedua pemikiran tersebut, Kementerian Kehutanan sebagai penanggungjawab pengelolaan hutan di Indonesia berupaya memperkecil rentang pengelolaan hutan hingga tingkat pengelolaan terkecil, yaitu pada tingkat tapak dengan membentuk unit-unit pengelolaan hutan. Pembangunan Kesatuan Unit Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai salah satu bentuk pola pengelolaan hutan yang berorientasi pada kelestarian dan bersifat partisipatif diharapkan mempu menjawab dinamika pembangunan kehutanan di Indonesia. Pengelolaan hutan melalui KPH tentunya bukan tanpa hambatan. Keefektifan pengelolaan menjadi kunci utama dan harga mati keberhasilan suatu KPH, untuk itu diperlukan adanya suatu perencanaan yang handal dan bersifat multi aspek dalam pembangunan KPH yang meliputi tata hutan dan rencana pengelolaan yang spesifik berdasarkan karakteristik dari setiap unit KPH.
II. Tinjauan Pustaka Dalam Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan : a. b. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; c. d. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Untuk dapat mewujudkan keempat hal tersebut diatas diperlukan adanya suatu bentuk pengelolaan hutan yang tepat sampai dengan unit terkecil, yaitu pada tingkat tapak. Salah satu bentuk pengelolaan hutan pada tingkat tapak yang dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan adalah dengan pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). KPH adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari (Permenhut Nomor P.6 Tahun 2010). Tahap awal dalam pengelolaan KPH terdiri atas dua kegiatan yaitu pentaan hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan. Penataan hutan merupakan kegiatan prakondisi yang meliputi kegiatan sebagai berikut :
1. 2. 3. 4. 5.
inventarisasi hutan pembagian blok pembagian petak penataan batas, dan pemetaan. Hasil inventarisasi akan memberikan gambaran kondisi faktual sebagai bahan pertimbangan rekomendasi keberlanjutan suatu unit KPH, selain itu inventarisasi juga memberikan data dasar dalam penyusunan rencana pengelolaan yang meliputi tujuan, kondisi yang dihadapi, dan strategi serta kelayakan pengembangan pengelolaan hutan. Rencana pengelolaan KPH terdiri atas rencana jangka pendek yang disusun setiap tahun dan rencana jangka panjang yang disusun setiap sepuluh tahun. Rencana pengelolaan merupakan arah pelaksanaan pengelolaan dan menjadi instrumen dalam evaluasi secara berkala.
III. Rumusan Masalah dan Pembahasan Pembentukan Wilayah kelola KPH Wae Masiwang yang direncanakan, meliputi kawasan hutan seluas 202.735,44 Ha. Berdasarkan administrasi pemerintahan, wilayah kelola KPH tersebut masuk dalam wilayah administrasi kabupaten Seram Bagian Timur. Berdasarkan rencana tersebut muncul dua pertanyaan mendasar sebagai berikut : 1. Apakah wilayah kelola KPH Wae Masiwang layak dan memenuhi standar untuk ditetapkan sebagai wilayah KPH 2. Bagaimana bentuk pengelolaan yang dapat diterapkan
A. Kelayakan KPH Wae Masiwang Ditinjau dari komposisi fungsi kawasan hutan, KPH Wae Masiwang terdiri dari Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 8.945,67 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 139.789,64 Ha dan fungsi Kawasan Hutan Lindung (HL) seluas 54.000,13 Ha. Wilayah kelola KPH ini tercakup dalam 4 (empat) wilayah Daerah Aliran Sungai yaitu DAS Bubi, DAS Masiwang, DAS Watubela dan DAS Gorom. Kawasan Hutan Produksi tersebut di atas merupakan areal kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) PT. Mangole Timber Producers Unit II dan PT. Primabumi Saktidaya yang masih memiliki izin konsesi. Berdasarkan pada komposisi luasan masing-masing fungsi kawasan hutan yang terdapat dalam wilayah kelola KPH dimana fungsi produksi seluas 148.735,31 Ha (73,36%) lebih dominan daripada fungsi hutan lindung seluas 54.000,13 Ha (26,64%) dan telah ada kegiatan IUPHHK yang sementara beroperasi, dengan demikian KPH Wae Masiwang cenderung menjadi Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Konsekuensi dari penetapan KPHP adalah pengelolaan hutan akan cenderung mengarah pada produksi hasil
hutan kayu dan bukan kayu daripada fungsi lainnya. Namun demikian pemanfaatan hutan tersebut harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan sumberdaya. Kawasan hutan yang terletak pada wilayah KPH tersebut merupakan catchment area (daerah tangkapan air) yang sangat vital terutama dalam fungsinya sebagai pengatur tata air. Sebagai kesatuan ekologis, KPH Wae Masiwang dengan luasan 202.735,44 Ha perlu dikelola secara tersendiri karena pengaruhnya terhadap pemenuhan kebutuhan air masyarakat menyangkut air bersih. Masyarakat yang masih mengandalkan air sungai, akan memberi pengaruh terhadap aktifitas pertanian dan kebutuhan hidup sehari-hari serta pendapatan masyarakat yang bertumpu pada sektor pertanian tradisional. Luas hutan produksi yang cukup dominan yaitu mencapai 75,76% menyebabkan pengelolaan hutan akan mengarah pada pemanfaatan hutan produksi yang meliputi produksi hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan. Meskipun KPH Wae Masiwang mempunyai efektifitas luasan dan yang sangat yang luas namun didukung oleh aksesibilitas yang tinggi karena beroperasinya IUPHHK. Pertimbangan efisiensi dicerminkan oleh aksesibilitas menyebabkan pengelolaan KPH Wae Masiwang akan lebih efisien jika dikelola tersendiri. Berdasarkan uraian diatas gambaran umum KPH Wae Masiwang dan penilaian tingkat kelayakannya berdasarkan standar pembentukan KPH dapat dijelaskan dengan tabel barikut : kemampuan dalam memperbaiki kondisi
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa kawasan KPH Wae Masiwang memenuhi kriteria standar dan dapat ditetapkan sebagai wilayah KPH
B. Bentuk Pengelolaan KPH Wae Masiwang PEMBAGIAN BLOK DAN PETAK Berdasarkan data rencana pembentukan wilayah KPH Wae Masiwang dapat digambarkan sebagai berikut :
Berdasarkan peta rencana wilayah kelola KPH Wae Masiwang dapat dibagi kedalam 2 (dua) blok yaitu : Blok I Blok II : Seram daratan : Kepulauan Gorom
Pada Blok I dapat dibagi sub blok berdasarkan fungsi kawasan hutan dan petak pada setiap sub blok sebagai berikut : Tabel 2. Pembagian Petak Pada Blok I Sub Blok Fungsi Jumlah Keterangan I.A I.B I.C I.D I.E I.D I.F I.G I.H I.I I.J HP HPT HL HPT HL HL HL HP HP HP HL Jumlah Petak 2 2 3 4 1 1 1 10 3 5 1 33 Utara Tuntuat Utara HL HL Gn Gn
Gn
Tuntuat HL. Gn Manuklola HL. Gn Marualean HL. Gn. Suru Petak Tersebar / Spot Petak Spot Petak Tersebar Tersebar / /
Spot HL P. Parang
Pada Blok II pembagian petak dapat mengacu pada sebaran pulau sebagai berikut : Tabel 3. Pembagian Petak Pada Blok II Sub Blok Fungsi Jumlah I.A I.B HL HL Petak 3 7 3 13
Keterangan
P. Rei, Geser, Seram Laut, P. Kanauli, Makula, Neding, Kidang, Nukus, Grogus, Koon P. Panjang, Manawoka, Gorom
I.C HL Jumlah
Pembagian blok dan petak tersebut selanjutnya menjadi dasar dalam pelaksanaan luasannya. penataan batas blok dan petak untuk diketahui
STRUTUR OGANISASI KPH Bentuk organisasi dan kelembagaan KPH Wae Masiwang dapat digambarkan pada diagram berikut :
Kepala KPH
Kabag Tata Usaha Kabag Perencanaan Kabag Produksi Kabag Bina Hutan Kabag Humas - SDM Tenaga Fungsional
Kemitraan/Tidak Tetap
Ka BKPH
Ka BKPH
Ka Resort I-V
Ka Resort I-II
Adapun kedudukan dan peran pengelola KPH, Pemerintah Pusat, LSM/PT dan masyarakat dapat dijelaskan pada diagram berikut :
Gambar 4. Tata Hubungan KPH Wae Masiwang KEBUTUHAN SDM Kebutuhan SDM pada KPH Wae Masiwang dapat dibedakan atas struktural, non struktural, dan pelaksana teknis. Struktural merupakan pengisi struktur organisasi dari kepala KPH hingga kepala Rersort. Non struktural adalah tenaga non teknis yang membantu struktur, sementara pelaksana teknis merupakan pelaksana kegiatan pada tingkat resort. Kebutuhan tenaga pada tiap jenjang dapat diuraikan sebagai berikut
Tabel 4. Kebutuhan SDM KPH Wae Masiwang No Jenis Pendidikan Jumlah Struktural S2 1 S1 Non D3 SLTA 7 7 21 21 35 92
Jumlah SDM tersebut merupakan tenaga tetap pengelola KPH, dalam pelaksaan kegiatan pengelolaan dibutuhkan tenaga lainnya yang bersifat tidak tetap dan atau kemitraan yang berasal dari masyarakat disekitar KPH Wae Masiwang. IV. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Wilayah kelola KPH Wae Masiwang memenuhi kriteria standar untuk ditetapkan sebagai KPH. 2. Wilayah kelola KPH Wae Masiwang dapat dibagi kedalam 2 (dua) Blok dan 46 Petak yang terdiri atas fungsi Produksi, Produksi Terbatas, dan Lindung 3. Kebutuhan SDM pada KPH Wae Masiwang 92 orang dengan klasifikasi dan kualifikasi tertentu. Saran Untuk dapat mengoptimalkan pengelolaan hutan di wilayah Wae
V. Daftar Pustaka Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.6/MenhutII/2010 Tentang Norma, Standar, Prosedur Dan Kriteria Pengelolaan Hutan Pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Kabupaten Seram Bagian Timur Dalam Angka Tahun 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Seram Bagian Timur.