Anda di halaman 1dari 15

ZONASI KPH

Disusun Oleh :
Tamara Islahunnufus
NIM L1A120050
Kelas B R002
Mata Kuliah : Manajemen Sumberdaya Hutan

Dosen Pengampu :
Dr. Ir. Eva Achmad, S.Hut., M.Sc. IPM

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
2022
A. KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan)
Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di tingkat lokal
sebagai entitas manajemen baru dan permanen secara langsung menangani
permasalahan yang ada dan memberikan dasar untuk tata kelola hutan
yang lebih baik, perencanaan, (co-) manajemen sumber daya hutan,
pemantauan dan keterlibatan pemangku kepentingan. Selain KPH akan
memainkan peran kunci dalam upaya lokal menuju pembangunan
berkelanjutan ekonomi, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta
konservasi keanekaragaman hayati.
Suatu Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah suatu penyedia
layanan publik di bawah tanggung jawab pemerintah pusat, daerah dan
kabupaten,
suatu unit operasional yang dikelola dan dikendalikan utamanya tertutup
oleh hutan, suatu entitas permanen yang didirikan secara legal dengan tata
batas hutan yang jelas KPH memiliki tujuan pengelolaan ekonomi, sosial
dan ekologi yang jelas yang ditetapkan melalui rencana pengelolaan
jangka panjang, rencana kerja tahunan dan rencana usaha yang terkait erat
dengan fungsi hutan utama (misalnya hutan produksi, hutan lindung).
Tugas operasional dan administrasi ditentukan oleh tujuan pengelolaan
jangka panjang dan oleh pengelola hutan (perusahaan komersial,
masyarakat, perusahaan hutan negara) yang beroperasi di wilayah tersebut
Selain sebuah KPH mungkin mencakup berbagai jenis hutan termasuk
konservasi, hutan lindung dan hutan produksi dan akan diberi nama sesuai
dengan jenis hutan yang paling dominan sebagai berikut:
 KPH Konservasi - Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi
(KPHK) dengan fungsi utama konservasi keanekaragaman
tumbuhan dan hewan dan ekosistemnnya.
 KPH Lindung - Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL),
dengan fungsi utama perlindungan sistem pendukung kehidupan
untuk mengatur air, mencegah banjir, mengontrol erosi, mencegah
intrusi air laut dan menjaga kesuburan tanah.
 KPH Produksi - Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP)
dengan fungsi utama menghasilkan produk hutan.
Sejalan dengan upaya peningkatan operasionalisasi dan
optimalisasi pengelolaan hutan oleh KPH, banyak sumberdaya khususnya
anggaran yang dikerahkan untuk mencapai hal tersebut, bisa berasal dari
APBN, APBD, dan sumber-sumber pendanaan lain seperti dari
Donor. Carbon Investment Fund (CIF) melalui World Bank dan Danida
merupakan salah satu sumber pendanaan luar negeri yang masuk ke
Indonesia dengan tujuan utama mengurangi emisi karbon melalui
pengelolaan hutan lestari dengan menguatkan dan mengoptimalkan 
pengelolaan tapak. Proyek tersebut adalah Proyek Program Investasi
Hutan - II (Forest Investment Program), atau lebih sering disebut dengan
Proyek II FIP, dengan tema “Mempromosikan Pengelolaan Sumber Daya
Alam Berbasis Masyarakat yang Berkelanjutan” atau "Promoting
Sustainable Community-Based Natural Resource Management and
Institutional Development Project". Proyek ini bertujuan untuk
memperkuat kapasitas kelembagaan dan lokal di bidang pengelolaan hutan
terdesentralisasi yang menghasilkan peningkatan mata pencaharian
berbasis hutan di 10 (sepuluh) wilayah KPH terpilih sebagai wilayah
percontohan. Dalam rangka memperkaya “aset pengetahuan” khususnya
pada manfaat intervensi dari proyek terhadap perkembangan proyek di
tingkat lapangan, diperlukan suatu informasi ringkas yang
menggambarkan kondisi masing-masing KPH.

Salah satu KPH tersebut adalah Kelembagaan KPHP Limau Unit VII
Hulu Sarolangun dengan wilayah kelola KPHP Unit VII, dengan nama
populer KPH Limau. KPHP Model Limau (Unit VII) di Kabupaten
Sarolangun telah ditetapkan sebagai KPHP Model sesuai SK Menhut
Nomor SK. 714/Menhut-II/2011 tanggal 19 Desember 2011 dengan luas ±
121.102 ha, terdiri dari :
- Hutan Lindung ± 54.793 ha
- Hutan Produksi Tetap ± 22.502 ha
- Hutan Produksi ± 54.793 ha

Berdasarkan  Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:


SK.77/MENHUT-II/2010 tanggal 10 Februari 2010, Provinsi Jambi terdiri
dari 17 (tujuh belas) unit KPH yang terdiri dari 1 (satu) Unit KPHL dan 16
(enam belas) unit KPHP. Salah satunya adalah KPHP Unit VII yang
dikelola KPHP Limau Unit VII Hulu Sarolangun .

1. Zonasi Taman Nasional Bukit Duabelas

Taman Nasional Bukit Duabelas merupakan kawasan


Pelestarian Alam yang ditunjuk dengan salah satu pertimbangan
utama sebagai tempat kehidupan Orang Rimba/SAD. Keberadaan
Orang Rimba/SAD menjadi entitas penting dalam pengelolaan
kawasan, terutama yang berkaitan dengan pengaturan ruang atau
zonasi. Pada tahun 2018, muncul keberatan dari Orang Rimba/SAD
Makekal Hulu yang menganggap zonasi TNBD belum
mengakomodir ruang adat mereka, salah satu penyebabnya adalah
kekhawatiran komunitas tersebut terhadap perubahan pola hidup dan
naiknya populasi OR yang mengancam eksistensi mereka sebagai
komunitas adat. Pengakuan terhadap ruang adat merupakan upaya
mereka untuk mempertahankan adat dan budaya OR yang dianggap
sudah mulai luntur. Disisi lain terdapat aktivitas wisata pada beberapa
zona yang tidak sesuai peruntukannya, dan adanya keterlanjuran
perladangan berupa kebun-kebun karet masyarakat desa yang saat ini
dialokasikan pada zona khusus. Faktor-faktor tersebut mendorong
perlunya peninjauan kembali zonasi yang saat ini digunakan sebagai
dasar pengelolaan atau revisi zonasi TNBD. Revisi Zonasi TNBD
merupakan bagian dari agenda bersama yang memadukan aturan adat
Orang Rimba/SAD dan aturan negara. Keseluruhan proses dibangun
secara partisipatif melibatkan 13 Temenggung, dan 4 LSM
Pendamping, dan unsur pemerintah setempat. Mulai dari tahapan
perencanaan, sensus Orang Rimba/SAD, survey lapangan, perpaduan
ruang adat dan ruang zona.

Setelah melalui proses penyusunan yang panjang pada tahun 2018


hingga 2019 diresmikan lah SK Zonasi/tata ruang adat BTNBD yang
terbaru dengan Nomor : SK.191/KSDAE/PIKA/KSA.0/5/2019
Tentang Zonasi/Tata Ruang Adat Pengelolaan Taman Nasional Bukit
Duabelas, Kabupaten Tebo, Batanghari dan Sarolangun Provinsi
Jambi. Berikut dijelaskan rincian Zona atau Ruang adat yang telah
dipadukan antara aturan Negara dan Aturan Adat ;

Taman Nasional Bukit Duabelas merupakan kawasan Pelestarian


Alam yang ditunjuk dengan salah satu pertimbangan utama sebagai
tempat kehidupan Orang Rimba/SAD. Keberadaan Orang
Rimba/SAD menjadi entitas penting dalam pengelolaan kawasan,
terutama yang berkaitan dengan pengaturan ruang atau zonasi. Pada
tahun 2018, muncul keberatan dari Orang Rimba/SAD Makekal Hulu
yang menganggap zonasi TNBD belum mengakomodir ruang adat
mereka, salah satu penyebabnya adalah kekhawatiran komunitas
tersebut terhadap perubahan pola hidup dan naiknya populasi OR
yang mengancam eksistensi mereka sebagai komunitas adat.
Pengakuan terhadap ruang adat merupakan upaya mereka untuk
mempertahankan adat dan budaya OR yang dianggap sudah mulai
luntur. Disisi lain terdapat aktivitas wisata pada beberapa zona yang
tidak sesuai peruntukannya, dan adanya keterlanjuran perladangan
berupa kebun-kebun karet masyarakat desa yang saat ini dialokasikan
pada zona khusus. Faktor-faktor tersebut mendorong perlunya
peninjauan kembali zonasi yang saat ini digunakan sebagai dasar
pengelolaan atau revisi zonasi TNBD. Revisi Zonasi TNBD
merupakan bagian dari agenda bersama yang memadukan aturan adat
Orang Rimba/SAD dan aturan negara. Keseluruhan proses dibangun
secara partisipatif melibatkan 13 Temenggung, dan 4 LSM
Pendamping, dan unsur pemerintah setempat. Mulai dari tahapan
perencanaan, sensus Orang Rimba/SAD, survey lapangan, perpaduan
ruang adat dan ruang zona.

Setelah melalui proses penyusunan yang panjang pada tahun 2018


hingga 2019 diresmikan lah SK Zonasi/tata ruang adat BTNBD yang
terbaru dengan Nomor : SK.191/KSDAE/PIKA/KSA.0/5/2019
Tentang Zonasi/Tata Ruang Adat Pengelolaan Taman Nasional Bukit
Duabelas, Kabupaten Tebo, Batanghari dan Sarolangun Provinsi
Jambi. Berikut dijelaskan rincian Zona atau Ruang adat yang telah
dipadukan antara aturan Negara dan Aturan Adat ;

1. Zona Inti/Tali Bukit (Jungut/Tanoh Teperuang) : Punggung-


punggung bukit yang berada antara sungai Batanghari dan
Sungai Tembesi, mulai dari Bukit Penonton, Bukit Pal, Bukit
Mati, Bukit Teregang sampai ke Bukit Duabelas yang sama
sekali tidak boleh dibuka untuk ladang karena ketinggian dan
kecuramannya, mata air dan pencegah longsor. Luas : 8.258,1
Ha
2. Zona Rimba/Tali Bukit (Jungut/Tanoh Teperuang)/RImbo
Bungaron/Tengkuruk Sungoi/Ngengentingon : Merupakan
rimba utuh yang berada di hutan atau Kawasan TNBD.
Merupakan pematang di Tali Bukit dan daerah yang
menyempit diantara sebalik bukit. Biasanya berada di hulu
sungai. Luas : 1.804,5 Ha
3. Zona Pemanfaatan/Wisata
alam/Talon/Benuaron : Zona/Ruang adat tempat wisata
berupa panorama alam perbukitan, air terjun (Talon),
Benuaron (kebun buah Orang Rimba) yang diperuntukan
sebagai objek Wisata baik itu Alam maupun Wisata Budaya
Orang Rimba. Luas : 645,3 Ha
4. Zona Tradisional/Tanah Huma/Pehuma'on/Tanah
Perano'on/Benuaron : Zona/tata ruang adat tempat Orang
Rimba melahirkan dan juga tempat berladang/berkebun Orang
Rimba/SAD. Biasanya dipilih dengan memperhatikan hal-hal
sebagai berikut, yaitu : Tanahnya datar atau bergelombang,
lebih diutamakan yang datar, Kesuburan tanah serta jenis
yang cocok ditanam pada daerah tersebut, apabila terdapat
daerah terlarang seperti Kleko/Subon/Benteng tidak boleh
dijadikan ladang karena akan dapat nasib sial. Luas : 36.810,7
5. Zona Religi/Tanoh
Bedewo/Pasoron/Suban/Tempelanai/Benteng/Bukit
Betempo/Kelaka/Tanoh Nenek uyang/Balubalai. Zona/Ruang
Adat ini merupakan tempat Orang Rimba melaksankan
peribadatan dengan sang pencipta tempat untuk menikah dan
pada ruang ini juga tempat Orang Rimba menyimpan mayat
anggota keluarga yang telah tiada serta diyakini pula di zona
ini terdapat Ruang Adat yang selalu dijaga oleh dewo (dewa)
dan ruang adat itu tidak boleh diganggu. Luas 5.113,4 Ha
6. Zona Rehabilitasi. Yang termasuk zona rehabilitasi adalah
kawasan yang terbuka karena kebakaran, perambahan, dan
lahan kritis serta bekas kebun masyarakat desa. Luas : 179.7
Ha
7. Zona Tradisional Masyarakat Lokal. Sebelum dilakukan
Revisi Zonasi zona ini awalnya dikenal dengan Zona Khusus
tetapi mengalami perubahan pada Zonasi yang terbaru. Zona
ini merupakan kebun-kebun karet masyarakat desa yang
sudah ada sebelum TN ditunjuk. Luas 1968,6 Ha.

2. Zonasi Taman Nasional Kerinci Seblat

Pengembangan dan pengelolaan Taman Nasional Kerinci


Seblat merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk melindungi
sumberdaya alam hutan. Dinamika pembangunan menuntut agar
upaya pelestarian alam bukan hanya demi kelestarian alam itu
sendiri tetapi juga untuk kelangsungan pembangunan bangsa dan
kesejahteraan manusia sepanjang masa. Dijelaskan dalam
Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No.
P.56/Menhut-II/2006 tentang Zonasi Taman Nasional bahwa yang
dimaksud Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam baik
daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola
dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
pariwisata dan rekreasi.  Oleh karena itu, konsep penetapan Taman
Nasional sebagai kawasan konservasi sangat ideal untuk menopang
tigafungsi utama suatu kawasan alami, yaitusebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati
dansumber plasma nutfah serta pemanfaatan yang lestari
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
Zonasi  Taman Nasional Kerinci Seblat telah dilakukan 
revisi pada tahun 2017. Revisi Zonasi TNKS bertujuan untuk
meninjau ulang pembagian zona-zona yang telah ditetapkan
sebelumnya dan untuk menentukan zona-zona sesuai dengan
kondisi terkini sehingga dapat diwujudkan langkah arah dan tujuan
pengelolaan TNKS. Kawasan TNKS seluas 1.389.509,87 ha
terletak di 4 propinsi, yaitu: Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan
Sumatera Selatan  kawasan TNKS, terdiri dari zona inti, zona
rimba, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, zona khusus dan zona
tradisional. Perkembangan pengelolaan TNKS sejak ditetapkannya
zonasi pada tahun 2007 sampai saat ini telah mengalami banyak
perubahan terkait dengan struktur dan fungsi TNKS baik dari sisi
kondisi fisik kawasan berupa tutupan hutan, habitat dan
keanekagaraman hayati yang ada maupun perkembangan aturan
pemanfaatan di dalam kawasan TNKS.
Zona dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat menurut hasil
revisi terakhir tahun 2017 terdiri dari:
1. Zona Inti seluas 738.831 ha
2. Zona Rimba seluas 492.354 ha
3. Zona Rehabilitasi seluas 108.760 ha
4. Zona Pemanfaatan seluas 22.738 ha
5. Zona Khusus seluas 15.219 ha
6. Zona Tradisional seluas 11.606 ha

Secara Geografis TNKS memanjang dari barat laut ke tenggara


di tengah-tengah Pengunungan Bukit Barisan Sumatra
pada koordinat 100˚31’18’’E102˚44’01’’E dan 1˚07’13’’S-
1˚26’14’’S. Secara Administrasi, wilayah TNKS berada di 13 (tiga
belas) Kabupaten dan 2 (dua) Kota yang termasuk dalam 4 (empat)
Profinsi. Secara administrasi pengelolahan, Kawasan TNKS
dikelolah oleh Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat
berkedudukan di kota Sungai Penuh yang membawahi 3 (tiga)
Bidang Wilayah Pengelolahan masing-masing yaitu:
 Kantor BPTN Wilayah I Pengelolahan TNKS – Jambi,
berkedudukan di Bangko Kabupaten Merangin, Jambi;
 Kantor BPTN Wilayah II Pengelolahan TNKS – Sumatra Barat,
berkedudukan di Padang, Sumatra Barat;
 Kantor BPTN Wilayah III Pengelolahan TNKS – Bengkulu &
Sumatra Selatan, berkedudukan di Curup, Kabupaten Rejang
Lebong, Provinsi Bengkulu. Secara Administratif Wilayah
pengelolahan kawasan TNKS yang berada pada masing masing
bidang wilayah

Zonasi Taman Nasional Kerinci Seblat tersebut dirancang


dari hasil analisis secara komprensif dan menyeluruh
berdasarkan data dan informasi terkait kondisi fisik kawasan
dan potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, potensi
obyek dan daya tarik wisata alam, kondisi hidroorlogi dan
potensi sumber daya air, kondisi infrustuktur dan rencana
pengembangan wilayah, dan permasalahan serta potensi konflik
di dalam dan sekitar kawasan.
3. Zonasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh
Penandaan batas zona tradisional merupakan salah satu rangkaian
kegiatan pemantapan kawasan TN Bukit Tiga Puluh (TNBT).
Penandaan batas zona tradisional digesa untuk mendukung
pelaksanaan program kemitraan dengan masyarakat dusun tradisional
TNBT. Target penandaan batas zona tradisional meliputi 2 (dua)
dusun yaitu Dusun Tualang (Desa Siambul) dan Dusun Bengayauan
(Desa Rantau Langsat), kedua desa tersebut secara administratif
berada di Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau
dan terletak di wilayah kerja Resort Siambul, Seksi Pengelolaan
Taman Nasional Wilayah II Belilas Riau. Lokasi zona tradisional ini
didominasi oleh suku asli tradisional Talang Mamak dan Melayu Tua.
Kegiatan telah dilaksanakan pada akhir Oktober 2017, dengan tahapan
awal berupa koordinasi dengan perangkat desa dan dusun setempat.
Masyarakat dusun dilibatkan dan membantu dalam teknis penandaan
batas zona tradisional. Hal ini merupakan bagian misi TNBT dalam
memantapkan kawasan TNBT dengan dukungan para pihak.
Untuk Dusun Bengayauan, lokasi penandaan batas dilaksanakan di
2 (dua) lokasi yaitu lokasi 1 (sebelah barat Sungai Gansal ) dan lokasi
2 (sebelah timur Sungai Gansal). Pada lokasi 1 yang berada di Dusun
Bengayauan ini, telah dipasang tanda batas zona tradisional sebanyak
43 tanda dengan panjang track 10 km. Zona tradisional di lokasi 1
berbatasan dengan zona rimba TNBT. Kondisi zona tradisional di
lokasi ini; berupa belukar, kebun karet tua masyarakat dan hutan
sekunder berbatasan dengan zona rimba TNBT ;berupa kebun tua dan
hutan sekunder. Pada lokasi 2 (sebelah timur Sungai Gansal) telah
dipasang tanda batas zona tradisional sebanyak 44 tanda dengan
panjang track 9 km. Lokasi 2 memanjang dari Dusun Bengayauan
sampai ke Dusun Nunusan. Zona tradisional di lokasi 2; berupa
belukar, kebun karet masyarakat dan hutan sekunder; berbatasan
dengan zona rimba TNBT; berupa kebun tua dan hutan sekunder.
Untuk Dusun Tualang, telah dipasang 42 tanda batas sepanjang 8,2
km. Dari total luas 300 Ha, direncanakan 13 Ha dari zona tradisional
tersebut menjadi lokasi Role Model pengelolaan zona tradisional
masyarakat suku Talang Mamak. Tanda batas terbuat dari plat seng
berukuran 40 x 60 cm, dicat warna cokelat sesuai dengan warna peta
pembagian zonasi untuk zona tradisional. Selain melakukan
penandaan batas zona tradisional, tim petugas melakukan observasi
terkait potensi yang bisa dikembangkan oleh masyarakat setempat.
Beberapa potensi yang ditemukan di zona tradisional berupa hasil
hutan bukan kayu (hhbk), antara lain: jernang (Daemonorops draco /
dragon blood), kelukup, durian, aren, lebah madu trigona dan apis
dorsata. Masyarakat dusun tradisional telah memanfaatkan berbagai
macam produk HHBK di zona tradisional TNBT dengan menerapkan
ilmu pengetahuan bersifat lokal tradisional.

4. Taman Nasional Berbak Sembilang


Berdasarkan undang – undang Republik Indonesia nomor 5
tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, taman nasional adalah kawasan pelestarian alam
yang mempunyai ekosistem asli,  dikelola dengan sistem zonasi
yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Dalam
rangka melaksanakan amanat di dalam undang – undang tersebut
pada tahun 2001 Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam telah menetapkan petunjuk zonasi Taman
Nasional Berbak sesuai SK. nomor 18/Kpts/DJ/V/2001 tanggal 18
februari 2001.  Dalam keputusan tersebut zonasi TN Berbak
terbagi menjadi 143.780 hektar sebagai zona inti, 18.280 hektar
sebagai zona rimba dan 700 hektar sebagai zona
pemanfaatan. Seiring dengan berjalannya waktu dan kondisi aktual
di lapangan, pada tahun 2012 Balai Taman Nasional Berbak
mengusulkan dilakukannya revisi penataan zonasi,  dengan
mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan no.
56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.
Usulan revisi zonasi terbagi menjadi 79.884,99 hektar sebagai zona
inti, 44.687,57 hektar sebagai zona rimba, 3.563,19 hektar sebagai
zona pemanfaatan dan 14.614,38 hektar sebagai Zona Rehabilitasi. 

TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN


HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG
(KPHL) DAN KESATUAN PENNGELOLAAN HUTAN
PRODUKSI (KPHP)

PEMBAGIAN BLOK.
1. Berdasarkan hasil inventarisasi hutan yang menghasilkan peta, data
dan informasi potensi wilayah KPHL dan KPHP, dilakukan
pembagian Blok.
2. Pembagian Blok memperhatikan: karakteristik biofisik lapangan;
kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar; potensi sumberdaya
alam; dan keberadaan hak-hak atau izin usaha pemanfaatan hutan
dan penggunaan kawasan hutan.
3. Pembagian blok juga harus mempertimbangkan peta arahan
pemanfaatan sebagaimana diarahkan oleh Rencana Kehutanan
Tingkat Nasional (RKTN)/Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi
(RKTP)/Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten/Kota (RKTK), dan
fungsi kawasan hutan di wilayah KPHL dan KPHP yang
bersangkutan.
4. Pembagian Blok dilakukan pada wilayah KPHL dan KPHP yang
kawasan hutannya berfungsi Hutan Lindung (HL) dan wilayah
KPHL dan KPHP yang kawasan hutannya berfungsi Hutan Produksi
(HP).
5. Pembagian Blok pada wilayah KPHL dan KPHP yang kawasan
hutannya berfungsi HL terdiri atas satu Blok atau lebih, sebagai
berikut:
a. Blok Inti;
b. Blok Pemanfaatan;
c. Blok Khusus.
6. Pembagian Blok pada wilayah KPHL dan KPHP yang kawasan
hutannya berfungsi HP terdiri atas satu Blok atau lebih, sebagai
berikut:
a. Blok Perlindungan;
b. Blok Pemanfaatan kawasan, Jasa Lingkungan, HHBK;
c. Blok Pemanfaatan HHK-HA;
d. Blok Pemanfaatan HHK-HT;
e. Blok Pemberdayaan Masyarakat;
f. Blok Khusus.
7. Arahan pemanfaatan pada RKTN/RKTP/RKTK harus menjadi acuan
awal dalam proses merancang Blok. Oleh karena itu perlu dilakukan
penyelarasan antara arahan pemanfaatan (yang terdapat dalam
RKTN/RKTP/RKTK)
8. Dengan memperhatikan rancangan pembagian blok dan
keterkaitannya dengan arahan pemanfaatan kawasan hutan menurut
RKTN/RKTP/RKTK, maka deskripsi dari masing-masing blok
diuraikan sebagai berikut:
a. Blok pada wilayah KPHL dan KPHP yang kawasan hutannya
berfungsi sebagai HL:
1. Blok Inti merupakan Blok yang difungsikan sebagai
perlindungan tata air dan perlindungan lainnya serta sulit
untuk dimanfaatkan. 11 Kriteria Blok ini antara lainyaitu
Kurang memiliki potensi jasa lingkungan, wisata alam,
potensi hasil hutan non kayu dan dalam
RKTN/RKTP/RKTK termasuk dalam Kawasan untuk
perlindungan Hutan Alam dan Lahan Gambut atau untuk
kawasan rehabilitasi.
2. Blok Pemanfaatan merupakan blok yang difungsikan
sebagai areal yang direncanakan untuk pemanfaatan
terbatas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan pemanfaatan hutan pada kawasan
hutan yang berfungsi HL. Kriteria Blok ini antara lain:
Mempunyai potensi jasa lingkungan, wisata alam, potensi
hasil hutan non kayu, terdapat ijin pemanfaatan kawasan,
jasa lingkungan, hasil hutan non kayu, arealnya dekat
masyarakat sekitar atau dalam kawasan hutan,
mempunyai aksesibilitas yang tinggi, dalam
RKTN/RKTP/RKTK dimungkinkan masuk dalam
Kawasan untuk perlindungan Hutan Alam dan Lahan
Gambut atau untuk kawasan rehabilitasi.
3. Blok Khusus merupakan Blok yang difungsikan sebagai
areal untuk menampung kepentingan-kepentingan khusus
yang ada di wilayah KPHL dan KPHP yang bersangkutan
Kriteria Blok ini antara lain:
 Terdapat pemakaian wilayah kawasan hutan untuk
kepentingan antara lain: religi, kebun raya, kawasan
dengan tujuan khusus (KHDTK), wilayah adat/ulayat;
 Dalam RKTN/RKTP/RKTK dimungkinkan masuk
dalam Kawasan untuk perlindungan Hutan Alam dan
Lahan Gambut atau untuk kawasan rehabilitasi.

b. Blok pada wilayah KPHL dan KPHP yang kawasan hutannya


berfungsi sebagai HP:
1. Blok Perlindungan merupakan Blok yang difungsikan
sebagai perlindungan tata air dan perlindungan lainnya
serta direncanakan untuk tidak dimanfaatkan. Kriteria
Blok ini antara lain:
- Termasuk dalam kriteria kawasan lindung;
- Dalam RKTN/RKTP/RKTK dimungkinkan
masuk dalam Kawasan untuk perlindungan Hutan
Alam dan Lahan Gambut atau untuk kawasan
rehabilitasi atau kawasan hutan untuk
pengusahaan hutan skala besar atau kecil. 12
2. Blok Pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan HHBK
adalah merupakan blok yang telah ada ijin pemanfaatan
kawasan, jasa lingkungan dan HHBK dan yang akan
difungsikan sebagai areal yang direncanakan untuk
pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan HHBK sesuai
dengan potensi kawasan yang telah dihasilkan dari proses
inventarisasi. Dalam Blok ini diupayakan berintegrasi
dengan upaya solusi konflik atau upaya pemberdayaan
masyarakat melalui Pemanfaatan kawasan atau jasa
lingkungan atau HHBK. Kriteria Blok ini antara lain:
- Mempunyai potensi jasa lingkungan, wisata alam,
potensi hasil hutan non kayu;
- Terdapat ijin pemanfaatan kawasan, jasa
lingkungan, hasil hutan non kayu; - Dalam
RKTN/RKTP/RKTK dimungkinkan masuk dalam
Kawasan untuk perlindungan Hutan Alam dan
Lahan Gambut atau untuk kawasan rehabilitasi
atau kawasan hutan untuk pengusahaan hutan
skala besar atau kecil.
3. Blok Pemanfaatan HHK-HA merupakan blok yang telah
ada ijin pemanfaatan HHK-HA dan yang akan
difungsikan sebagai areal yang direncanakan untuk
pemanfaatan HHK-HA sesuai dengan potensi kawasan
yang telah dihasilkan dari proses tata hutan. Kriteria Blok
ini antara lain:
- Dalam RKTN/RKTP/RKTK diarahkan sebagai
Kawasan hutan untuk pengusahaan hutan Skala
Besar;
- Mempunyai potensi hasil hutan kayu cukup
tinggi;
- Terdapat ijin pemanfaatan HHK-HA.
- Dalam RKTN/RKTP/RKTK dimungkinkan
masuk dalam Kawasan hutan untuk pengusahaan
hutan skala besar.
4. Blok Pemanfaatan HHK-HT merupakan blok yang telah
ada ijin pemanfaatan HHK-HT dan yang akan
difungsikan sebagai areal yang direncanakan untuk
pemanfaatan HHK-HT sesuai dengan potensi kawasan
yang telah dihasilkan dari proses tata hutan. Kriteria Blok
ini antara lain:
- Dalam RKTN/RKTP/RKTK diarahkan sebagai
Kawasan hutan untuk pengushaan hutan Skala
Besar;
- Mempunyai potensi hasil hutan kayu rendah;
- Merupakan areal yang tidak berhutan; - Terdapat
ijin pemanfaatan HHK-HT.
- Dalam RKTN/RKTP/RKTK dimungkinkan
masuk dalam Kawasan rehabilitasi atau kawasan
hutan untuk pengusahaan hutan skala besar atau
kecil
5. lok Pemberdayaan Masyarakat merupakan blok yang
telah ada upaya pemberdayaan masyarakat (al: Hutan
Kemasyarakatan/HKM, Hutan Desa, Hutan Tanaman
Rakyat/HTR) dan yang akan difungsikan sebagai areal
yang direncanakan untuk upaya pemberdayaan
masyarakat sesuai dengan potensi kawasan yang telah
dihasilkan dari proses tata hutan. Kriteria Blok ini antara
lain:
- Dalam RKTN/RKTP/RKTK diarahkan sebagai
Kawasan hutan untuk pengusahaan hutan skala
kecil;
- Mempunyai potensi hasil hutan kayu rendah;
- Merupakan areal yang tidak berhutan;
- Terdapat ijin pemanfaatan hutan untuk HKm,
Hutan Desa, HTR; - Arealnya dekat masyarakat di
dalam dan sekitar hutan;
- Dalam RKTN/RKTP/RKTK dimungkinkan
masuk dalam kawasan rehabilitasi atau kawasan
hutan untuk pengusahaan hutan skala besar atau
kecil.
6. Blok Khusus merupakan Blok yang difungsikan sebagai
areal untuk menampung kepentingan-kepentingan
khusus yang ada di wilayah KPHL dan KPHP yang
bersangkutan Kriteria Blok ini antara lain:
- Terdapat pemakaian wilayah kawasan hutan
untuk kepentingan antara lain: religi, kebun raya,
kawasan dengan tujuan khusus (KHDTK),
wilayah adat/ulayat;
- Dalam RKTN/RKTP/RKTK dimungkinkan
masuk dalam Kawasan untuk perlindungan Hutan
Alam dan Lahan Gambut atau untuk kawasan
rehabilitasi atau kawasan hutan untuk
pengusahaan hutan skala besar atau kecil
Pada setiap Blok sebagaimana telah diuraikan di atas
tidak tertutup kemungkinan terdapat beberapa kondisi
sebagai berikut:
- Kawasan atau areal yang memerlukan reboisasi
dan rehabilitasi kawasan
- Areal yang telah ada penggunaan kawasan
hutan untuk keperluan non kehutanan dalam
bentuk ijin pinjam pakai kawasan hutan.

c. Pada setiap Blok sebagaimana telah diuraikan di atas tidak


tertutup kemungkinan terdapat beberapa kondisi sebagai
berikut:
1. Kawasan atau areal yang memerlukan reboisasi dan
rehabilitasi kawasan
2. Areal yang telah ada penggunaan kawasan hutan
untuk keperluan non kehutanan dalam bentuk ijin
pinjam pakai kawasan hutan.
d. Pada setiap Blok pemanfaatan baik di wilayah KPHL dan
KPHP yang berfungsi HL atau berfungsi HP agar dirancang
areal-areal yang direncanakan akan dikelola sendiri oleh
KPH dalam bentuk ”Wilayah Tertentu”
e. Pada setiap Blok pemanfaatan baik di wilayah KPHL dan
KPHP yang berfungsi HL atau berfungsi HP agar dirancang
areal-areal yang direncanakan akan dikelola sendiri oleh
KPH dalam bentuk ”Wilayah Tertentu”. 14 Pemanfaatan
pada “Wilayah Tertentu” mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
f. Blok-blok tersebut selanjutnya dijabarkan menjadi “kelas-
kelas hutan” sesuai dengan arahan pengelolaan ke depan.
Jabaran “kelas hutan” tersebut akan dipergunakan sebagai
acuan dalam menentukan “kelas perusahaan” dari suatu
KPHL dan KPHP pada saat menyusun Rencana Pengelolaan
Hutan.

Anda mungkin juga menyukai