Disusun Oleh:
1) Firman Dermawan Yuda, S.Hut., M.Sc. (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan Pada
Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH – P3E Kalimantan)
2) Riza Murti Subekti, S.Hut., MT (Staf Sub Bidang Hutan dan Hasil Hutan Pada
Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH – P3E Kalimantan)
Abstrak
Sebagai negara tropis terbesar di dunia, Indonesia mempunyai lahan gambut yang terluas
keempat di dunia dengan luasan mencapai 15 juta hektar. Dengan potensi yang besar
tersebut, informasi tentang gambut sendiri masih belum banyak dipahami oleh masyarakat.
Terdapat beberapa istilah pokok yang berkaitan dengan gambut. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut, Gambut adalah material organik yang terbentuk secara
alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 cm
atau lebih dan terakumulasi pada rawa
Keberadaan lahan gambut memiliki peranan yang sangat penting baik dalam lingkup lokal,
regional maupun global. Lahan gambut mempunyai 2 (dua) fungsi utama yaitu: fungsi
ekologis dan fungsi ekonomi dan sosial budaya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh
Wetlands International – Indonesia Programme Tahun 2004, lahan gambut di Kalimantan
seluas 5.769.246 Ha
Sebagian besar lahan gambut di Indonesia kini mengalami kerusakan yang cukup
mengkhawatirkan sebagai akibat dari adanya kegiatan-kegiatan yang kurang/tidak
berwawasan lingkungan. Hampir semua kerusakan lahan gambut disebabkan oleh aktivitas
manusia, baik disengaja maupun tidak antara lain pembakaran lahan gambut dalam rangka
persiapan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman dan lain-lain; penebangan hutan
gambut yang tidak terkendali untuk diambil kayunya, pembangunan saluran-saluran
irigasi/parit/kanal untuk tujuan pertanian maupun transportasi, pertambangan, dan konversi
lahan. Hanya sebagian kecil kerusakan yang disebabkan oleh alam, misalnya petir, tanah
longsor, banjir bandang, dan gempa bumi.
Sebagai negara tropis terbesar di dunia, Indonesia mempunyai lahan gambut yang
terluas keempat di dunia dengan luasan mencapai 15 juta hektar. Dengan potensi yang
besar tersebut, informasi tentang gambut sendiri masih belum banyak dipahami oleh
masyarakat. Terdapat beberapa istilah pokok yang berkaitan dengan gambut.
Gambut adalah tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65 % (berat
kering) dan ketebalan gambut lebih dari 0.5 m (Driessen, 1978). Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut, Gambut adalah material organik yang terbentuk
secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan
ketebalan 50 cm atau lebih dan terakumulasi pada rawa. Dari dua definisi tersebut,
gambut terbentuk dari bahan organik sehingga kandungan material organiknya tinggi.
Dalam peraturan tersebut, dinyatakan secara jelas bahwa gambut mempunyai
ketebalan minimal setengah meter.
Dari proses pembentukannya, gambut terjadi dalam waktu yang sangat lama.
Pembentukan gambut di beberapa daerah pantai Indonesia diperkirakan dimulai sejak
zaman glasial akhir, sekitar 3.000 - 5.000 tahun yang lalu. Gambut di Kalimantan
mempunyai umur yang cukup tua mencapai ribuan tahun, sebagaimana tabel berikut ini.
Ekosistem gambut adalah tatanan unsur gambut yang merupakan satu kesatuan utuh
menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas,
dan produktivitasnya. Ekosistem gambut ditetapkan fungsinya menjadi fungsi lindung
dan budidaya (PP Nomor 57 Tahun 2016). Ekosistem gambut ditandai dengan adanya
kubah gambut di bagian tengah dan mendatar/rata di bagian pinggir serta digenangi air
berwarna coklat kehitaman seperti teh atau kopi sehingga sering disebut ekosistem air
hitam. Kubah gambut (peat dome) adalah bagian tengah lahan gambut yang
puncaknya menaik menyerupai kubah. Bagian ini biasanya kurang subur karena unsur
hara hanya berasal dari air hujan (Pokja PLG Nasional, 2006). Pada pinggiran kubah
gambut dengan lapisan gambut dangkal terdapat “mixed forest” yang tersusun dari
pohon-pohon kayu besar-besar dan tumbuhan bawah yang lebat. Permukaan gambut
semakin naik apabila menuju ke pusat kubah. Di sana terdapat “deep peat forests” yang
vegetasinya semakin jarang dan keanekaragaman jenisnya menurun seiring dengan
semakin ekstrimnya keadaan lingkungan tanah gambut. Gambaran ekosistem gambut
dapat dilihat dalam gambar berikut.
Gambar 1 – Formasi Hutan Rawa Gambut Dari Tepi Hingga Ke Kubah Gambut
(Skema melintang kubah gambut ) (Pokja PLG Nasional, 2006)
Keberadaan lahan gambut memiliki peranan yang sangat penting baik dalam lingkup
lokal, regional maupun global. Lahan gambut mempunyai 2 (dua) fungsi utama yaitu:
fungsi ekologis dan fungsi ekonomi dan sosial budaya.
a. Fungsi Ekologis
Contoh flora endemik di gambut yaitu: ramin (Gonystylus bancanus), jelutung rawa
(Dyera costulata), kempas (Kompassia malaccensis), rengas (Melanorrhoea
walichii).
Fungsi ekonomi dan sosial budaya dari lahan gambut diantaranya sebagai
penghasil kayu dan sumber penghidupan masyarakat, ekowisata serta tempat
pendidikan dan penelitian.
Fungsi Lindung Ekosistem Gambut adalah tatanan unsur Gambut yang memiliki
karakteristik tertentu yang mempunyai fungsi utama dalam perlindungan dan
keseimbangan tata air, penyimpan cadangan karbon, dan pelestarian
keanekaragaman hayati untuk dapat melestarikan fungsi Ekosistem Gambut
Fungsi Budidaya Ekosistem Gambut adalah tatanan unsur gambut yang memiliki
karakteristik tertentu yang mempunyai fungsi dalam menunjang produktivitas
Ekosistem Gambut melalui kegiatan budidaya sesuai dengan daya dukungnya untuk
dapat melestarikan fungsi Ekosistem Gambut
B. Potensi Gambut
Sebagian besar lahan gambut di Indonesia kini mengalami kerusakan yang cukup
mengkhawatirkan sebagai akibat dari adanya kegiatan-kegiatan yang kurang/tidak
berwawasan lingkungan. Hampir semua kerusakan lahan gambut disebabkan
oleh aktivitas manusia, baik disengaja maupun tidak antara lain pembakaran lahan
gambut dalam rangka persiapan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman dan lain-lain;
penebangan hutan gambut yang tidak terkendali untuk diambil kayunya, pembangunan
saluran-saluran irigasi/parit/kanal untuk tujuan pertanian maupun transportasi,
pertambangan, dan konversi lahan. Hanya sebagian kecil kerusakan yang disebabkan
oleh alam, misalnya petir, tanah longsor, banjir bandang, dan gempa bumi.
Beberapa kegiatan dan faktor utama yang menyebabkan rusaknya lahan gambut, yaitu:
a. Penebangan
Kondisi lahan gambut di Kalimantan yang sebagian besar adalah hutan dengan
potensi kayu yang besar. Penebangan kayu menjadi faktor yang penting yang
mempengaruhi kinjerja ekosistem gambut. Illegal logging yang terjadi pada masa lalu
menyebabkan hilangnya pohon-pohon besar maupun kecil yang akan
mempengaruhi fungsi hidro-orologis hutan gambut. Penebangan pohon-pohon kecil
untuk berbagai keperluan seperti kayu bakar dan konstruksi juga turut
mempengaruhi kerusakan lahan gambut. Salah satu spesies kayu yang banyak
dimanfaatkan dari hutan rawa gambut di Kalimantan adalah kayu galam (Melaleuca
cajuputi Roxb). Laju deforestasi baik pada kawasan hutan maupun di luar kawasan
hutan pada periode antara tahun 1997 sampai tahun 2000 di Indonesia sekitar 2,83
juta ha termasuk di dalamnya kerusakan hutan rawa gambut.
b. Kebakaran
Kebakaran lahan gambut adalah salah satu penyebab gagal atau rusaknya
ekosistem untuk menyimpan karbon yang berakibat terjadinya pemanasan global
dan perubahan iklim (Daryono, 2009). Kebakaran di lahan gambut sangat sulit
dipadamkan dan menyebabkan dampak lingkungan, sosial dan ekonomi yang sangat
besar. Pada tahun 2015 yang lalu, kebakaran hutan dan lahan Indonesia terjadi cukup
masif, dengan luas lebih dari 2,6 juta hektar hutan, lahan gambut dan lahan lainnya
(http://www.mongabay.co.id tanggal 26 Agustus 2016). Dampak langsung seperti infeksi
saluran pernapasan dan terganggunya aktivitas ekonomi masyarakat sangat dirasakan.
Bank Dunia mencatat total kerugian yang dialami mencapai Rp 221 triliun. Tahun 2015
luas lahan dan hutan yang terbakar di Kalimantan mencapai mencapai 1,2 juta hektar
dengan kerugian mencapai 116 triliun rupiah. Dari data tesebut, Kalimantan merupakan
daerah yang mengalami penurunan PDB paling parah atau terjadi perlambatan ekonomi
pada periode triwulan ketiga tahun 2015. (http://katadata.co.id tanggal 17 Desember
2015).
c. Pertambangan
d. Pembuatan Saluran Drainase (Parit, Kanal)
Pemanfaatan lahan gambut untuk kegiatan budiaya pertanian maupun perkebunan
seringkali diikuti dengan pembuatan saluran drainase (parit). Tidak terkontrolnya
saluran drainase akan menggangu fungsi hidrologi gambut. Saluran drainase yang
tidak tepat akan mengakibatkan keluarnya air, sehingga terjadi kekeringan. Padahal
gambut yang kering bersifat tidak dapat balik (irreversible). Dengan keringnya lahan
gambut, maka akan sangat rawan dan berpotensi tinggi terjadinya kebarakaran. Di sisi
lain, ketika musim hujan, akan terjadi banjir karena fungsinya yang terganggu.
e. Konversi Lahan
Lahan gambut yang berhutan merupakan objek yang rawan terjadi konversi untuk
penggunaan lain. Selain untuk diambil kayunya, kemudian lahan tersebut akan
dijadikan peruntukan lain, seperti perkebunan, pertanian, maupun permukiman.
Konversi lahan /hutan gambut untuk perkebunan kelapa sawit akan mengakibatkan
dampak ikutan, seperti pembuatan drainase yang akan menyebabkan kekeringan.
Disamping itu, kerusakan hutan dan lahan gambut juga menyebabkan hilangnya
keanekaragaman hayati dan sumber daya alam didalamnya. Keberadaan parit dan
sluran di lahan gambut (baik untuk mengangkut kayu, produk pertanian maupun lalu
lintas air) tanpa adanya sistem pengatur air yang memadai telah menyebabkan
keluarnya air dari dalam tanah gambut ke sungai di sekitarnya tanpa kendali, sehingga
lahan gambut tersebut di musim kemarau menjadi kering dan mudah terbakar.
a. Muka air tanah di lahan Gambut lebih dari 0,4 m (nol koma empat meter) di
bawah permukaan Gambut; dan/atau
b. Tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa di bawah lapisan Gambut.
a. Rehabilitasi Vegetasi
b. Suksesi Alami
Suksesi alami dilakukan terhadap Ekosistem Gambut berkanal yang telah disekat
dan tidak terdapat gangguan dari aktivitas manusia.
c. Restorasi Hidrologis
Restorasi Hidrologis adalah upaya pemulihan tata air lahan Gambut untuk
menjadikan Ekosistem Gambut atau bagian-bagiannya menjadi basah dan berfungsi
kembali sebagaimana semula.
G. Penutup
Sebagian besar lahan gambut di Indonesia kini mengalami kerusakan yang cukup
mengkhawatirkan sebagai akibat dari adanya kegiatan-kegiatan yang kurang/tidak
berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, kegiatan pemulihan ekosistem gambut
menjadi penting untuk dilakukan. Selain kegiatan pemulihan yang mesti dilakukan
akibat kebakaran lahan gambut, pencegahan adalah kegiatan yang penting dilakukan
agar tidak terjadi kerusakan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Pencegahan kerusakan ekosistem gambut dilakukan dengan cara. Pertama, penyiapan
regulasi teknis yang menyangkut penerapan peta kawasan hidrologis gambut (KHG),
penetapan fungsi lindung dan budidaya kawasan dalam KHG, serta evaluasi dan audit
perizinan pemanfaatan lahan gambut. Dikarenakan lahan gambut rawan kebakaran,
maka pengembangan sistem deteksi dini sangat diperlukan. Kegiatan yang dapat
dilakukan antara lain pemasangan alat pemantau kualitas udara atau teknologi
pendeteksi lainnya, pengolahan informasi dari berbagai sumber termasuk laporan
masyarakat. Dalam hal kelembagaan, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah
dalam pencegahan kebarakan perlu terus dikuatkan, termasuk penguatan kelembagaan
pengelola hutan di tapak (KPH). Keterlibatan masyarakat untuk mencegah kebakaran
hutan juga penting untuk dikuatkan seperti masyarakat peduli api, dan sekolah peduli
lingkungan gambut. Dalam rangka itu, peningkatan kesadaran hukum masyarakat akan
larangan merusakan termasuk membakar lahan gambut juga perlu terus dilakukan.
Sumber Pustaka