Anda di halaman 1dari 12

POTRET GAMBUT KALIMANTAN

Disusun Oleh:

1) Firman Dermawan Yuda, S.Hut., M.Sc. (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan Pada
Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH – P3E Kalimantan)
2) Riza Murti Subekti, S.Hut., MT (Staf Sub Bidang Hutan dan Hasil Hutan Pada
Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH – P3E Kalimantan)

Abstrak

Sebagai negara tropis terbesar di dunia, Indonesia mempunyai lahan gambut yang terluas
keempat di dunia dengan luasan mencapai 15 juta hektar. Dengan potensi yang besar
tersebut, informasi tentang gambut sendiri masih belum banyak dipahami oleh masyarakat.
Terdapat beberapa istilah pokok yang berkaitan dengan gambut. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut, Gambut adalah material organik yang terbentuk secara
alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 cm
atau lebih dan terakumulasi pada rawa

Keberadaan lahan gambut memiliki peranan yang sangat penting baik dalam lingkup lokal,
regional maupun global. Lahan gambut mempunyai 2 (dua) fungsi utama yaitu: fungsi
ekologis dan fungsi ekonomi dan sosial budaya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh
Wetlands International – Indonesia Programme Tahun 2004, lahan gambut di Kalimantan
seluas 5.769.246 Ha

Sebagian besar lahan gambut di Indonesia kini mengalami kerusakan yang cukup
mengkhawatirkan sebagai akibat dari adanya kegiatan-kegiatan yang kurang/tidak
berwawasan lingkungan. Hampir semua kerusakan lahan gambut disebabkan oleh aktivitas
manusia, baik disengaja maupun tidak antara lain pembakaran lahan gambut dalam rangka
persiapan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman dan lain-lain; penebangan hutan
gambut yang tidak terkendali untuk diambil kayunya, pembangunan saluran-saluran
irigasi/parit/kanal untuk tujuan pertanian maupun transportasi, pertambangan, dan konversi
lahan. Hanya sebagian kecil kerusakan yang disebabkan oleh alam, misalnya petir, tanah
longsor, banjir bandang, dan gempa bumi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia


Nomor: P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 Tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi
Ekosistem Gambut, Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut adalah aktivitas yang dilakukan
untuk mengembalikan sifat dan fungsi Ekosistem Gambut sesuai atau mendekati sifat dan
fungsi semula melalui suksesi alami, restorasi hidrologis, rehabilitasi vegetasi, dan/atau cara
lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
A. Pendahuluan

Sebagai negara tropis terbesar di dunia, Indonesia mempunyai lahan gambut yang
terluas keempat di dunia dengan luasan mencapai 15 juta hektar. Dengan potensi yang
besar tersebut, informasi tentang gambut sendiri masih belum banyak dipahami oleh
masyarakat. Terdapat beberapa istilah pokok yang berkaitan dengan gambut.

Gambut adalah tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65 % (berat
kering) dan ketebalan gambut lebih dari 0.5 m (Driessen, 1978). Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut, Gambut adalah material organik yang terbentuk
secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan
ketebalan 50 cm atau lebih dan terakumulasi pada rawa. Dari dua definisi tersebut,
gambut terbentuk dari bahan organik sehingga kandungan material organiknya tinggi.
Dalam peraturan tersebut, dinyatakan secara jelas bahwa gambut mempunyai
ketebalan minimal setengah meter.

Dari proses pembentukannya, gambut terjadi dalam waktu yang sangat lama.
Pembentukan gambut di beberapa daerah pantai Indonesia diperkirakan dimulai sejak
zaman glasial akhir, sekitar 3.000 - 5.000 tahun yang lalu. Gambut di Kalimantan
mempunyai umur yang cukup tua mencapai ribuan tahun, sebagaimana tabel berikut ini.

Tabel 1 – Estimasi umur lahan gambut beberapa lokasi di Kalimantan

Lokasi Umur (tahun) Sumber


Sungai Kahayan, Kalteng 11.000 Rieley dkk, 1992
Palangkaraya, Kalteng 8.145-96.00 Neuzil, 1997
Teluk Keramat, Kalbar 4.040-1.980 Staub dan Esterly, 1994
Sumber : Wetland International 1997 dalam Pokja PLG Nasional 2006

Ekosistem gambut adalah tatanan unsur gambut yang merupakan satu kesatuan utuh
menyeluruh yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas,
dan produktivitasnya. Ekosistem gambut ditetapkan fungsinya menjadi fungsi lindung
dan budidaya (PP Nomor 57 Tahun 2016). Ekosistem gambut ditandai dengan adanya
kubah gambut di bagian tengah dan mendatar/rata di bagian pinggir serta digenangi air
berwarna coklat kehitaman seperti teh atau kopi sehingga sering disebut ekosistem air
hitam. Kubah gambut (peat dome) adalah bagian tengah lahan gambut yang
puncaknya menaik menyerupai kubah. Bagian ini biasanya kurang subur karena unsur
hara hanya berasal dari air hujan (Pokja PLG Nasional, 2006). Pada pinggiran kubah
gambut dengan lapisan gambut dangkal terdapat “mixed forest” yang tersusun dari
pohon-pohon kayu besar-besar dan tumbuhan bawah yang lebat. Permukaan gambut
semakin naik apabila menuju ke pusat kubah. Di sana terdapat “deep peat forests” yang
vegetasinya semakin jarang dan keanekaragaman jenisnya menurun seiring dengan
semakin ekstrimnya keadaan lingkungan tanah gambut. Gambaran ekosistem gambut
dapat dilihat dalam gambar berikut.
Gambar 1 – Formasi Hutan Rawa Gambut Dari Tepi Hingga Ke Kubah Gambut
(Skema melintang kubah gambut ) (Pokja PLG Nasional, 2006)

Untuk keperluan perencanaan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut,


ekosistem gambut diinventarisasikan dalam kesatuan wilayah gambut (KHG). Kesatuan
hidrologis hambut adalah ekosistem gambut yang letaknya di antara 2 (dua) sungai, di
antara sungai dan laut dan/atau pada rawa.

Keberadaan lahan gambut memiliki peranan yang sangat penting baik dalam lingkup
lokal, regional maupun global. Lahan gambut mempunyai 2 (dua) fungsi utama yaitu:
fungsi ekologis dan fungsi ekonomi dan sosial budaya.

a. Fungsi Ekologis

Fungsi ekologis yang diperankan lahan gambut diantaranya menjaga


keanekaragaman hayati, penyimpan karbon, penghasil oksigen dan pengelolaan air.

Fungsi ekologis lahan gambut dalam menjaga keanekaragaman hayati dan


keseimbangan lingkungan, dipengaruhi oleh karakteristik dari lahan gambut yang
merupakan ekosistem unik dengan pH asam, miskin hara, bahan organik yang tebal
dan selalu terendam air. Hal tersebut yang menjadikan lahan gambut memiliki
kekhasan keanekaragaman hayati karena hanya mendukung keberadaan flora dan
fauna tertentu yang mampu beradaptasi dengan kondisi habitat tersebut.

Contoh flora endemik di gambut yaitu: ramin (Gonystylus bancanus), jelutung rawa
(Dyera costulata), kempas (Kompassia malaccensis), rengas (Melanorrhoea
walichii).

Contoh fauna endemik dan dilindungi di gambut: buaya sinyulong (Tomistoma


schlegelii), orang utan (Pongo pygmaeus), beruang madu (Helarctos malayanus).
b. Fungsi Ekonomi, Sosial dan Budaya

Fungsi ekonomi dan sosial budaya dari lahan gambut diantaranya sebagai
penghasil kayu dan sumber penghidupan masyarakat, ekowisata serta tempat
pendidikan dan penelitian.

Ketergantungan masyarakat terhadap lahan gambut dapat mencapai 80% yaitu


lebih tinggi dibandingkan ketergantungannya terhadap usaha pertanian. Hal
tersebut karena lahan gambut memiliki keanekaragaman hayati dengan nilai
ekonomi tinggi seperti tumbuhan penghasil produk kayu dan non-kayu, penghasil
ikan, jamur dan tanaman obat-obatan serta lebah hutan penghasil madu untuk
kebutuhan pangan masyarakat.

Berdasarkan fungsi ekosistemnya, Gambut dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:

1) Fungsi lindung ekosistem gambut

Fungsi Lindung Ekosistem Gambut adalah tatanan unsur Gambut yang memiliki
karakteristik tertentu yang mempunyai fungsi utama dalam perlindungan dan
keseimbangan tata air, penyimpan cadangan karbon, dan pelestarian
keanekaragaman hayati untuk dapat melestarikan fungsi Ekosistem Gambut

2) Fungsi budidaya ekosistem gambut

Fungsi Budidaya Ekosistem Gambut adalah tatanan unsur gambut yang memiliki
karakteristik tertentu yang mempunyai fungsi dalam menunjang produktivitas
Ekosistem Gambut melalui kegiatan budidaya sesuai dengan daya dukungnya untuk
dapat melestarikan fungsi Ekosistem Gambut

B. Potensi Gambut

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Wetlands International – Indonesia Programme


Tahun 2004, lahan gambut di Kalimantan seluas 5.769.246 Ha sesuai Peta dan Tabel di
bawah. Provinsi yang terbesar mempunyai luas lahan gambut berturut turut adalah
Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Dari
segi kedalaman, gambut Kalimantan mempunyai kedalaman dangkal (50-100 cm)
hingga sangat dalam (400-800 cm). Dari toal luas tersebut, Kalimantan mempunyai
lahan gambut dengan kandungan karbon yang besar, yaitu mencapai 11.274 jutan ton.
Gambar 2 – Peta Sebaran Gambut, Lahan, dan Kandungan Karbon di Kalimantan
(Wetlands Internasional, 2004)

Tabel 2 – Luas Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Kalimantan (Wetlands


Internasional, 2004)
Sedangkan untuk Kawasan Hidrologi Gambut, sesuai data yang ditetapkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2016, Kawasan Hidrologis
Gambut di Kalimantan seluas 8.786.000 hektar dengan jumlah Kawasan Hidrologis
Gambut 155 buah yang tersebar di lima provinsi di Kalimantan. Luas terbesar di
masing-masing provinsi berturut-turut adalah Kalimantan Tengah (53,86%), Kalimantan
Barat (34,36%), Kalimantan Timur (4,71%), Kalimantan Utara (4,19%), dan Kalimantan
Selatan (3,88%).

Tabel 3 – Luas Kawasan Hidrologi Gambut di Pulau Kalimantan (KLHK, 2016)

Gambar 3 – Peta Kesatuan Hidrologi Gambut Pulau Kalimantan (KLHK, 2016)


C. Permasalahan Gambut

Sebagian besar lahan gambut di Indonesia kini mengalami kerusakan yang cukup
mengkhawatirkan sebagai akibat dari adanya kegiatan-kegiatan yang kurang/tidak
berwawasan lingkungan. Hampir semua kerusakan lahan gambut disebabkan
oleh aktivitas manusia, baik disengaja maupun tidak antara lain pembakaran lahan
gambut dalam rangka persiapan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman dan lain-lain;
penebangan hutan gambut yang tidak terkendali untuk diambil kayunya, pembangunan
saluran-saluran irigasi/parit/kanal untuk tujuan pertanian maupun transportasi,
pertambangan, dan konversi lahan. Hanya sebagian kecil kerusakan yang disebabkan
oleh alam, misalnya petir, tanah longsor, banjir bandang, dan gempa bumi.

Beberapa kegiatan dan faktor utama yang menyebabkan rusaknya lahan gambut, yaitu:

a. Penebangan
Kondisi lahan gambut di Kalimantan yang sebagian besar adalah hutan dengan
potensi kayu yang besar. Penebangan kayu menjadi faktor yang penting yang
mempengaruhi kinjerja ekosistem gambut. Illegal logging yang terjadi pada masa lalu
menyebabkan hilangnya pohon-pohon besar maupun kecil yang akan
mempengaruhi fungsi hidro-orologis hutan gambut. Penebangan pohon-pohon kecil
untuk berbagai keperluan seperti kayu bakar dan konstruksi juga turut
mempengaruhi kerusakan lahan gambut. Salah satu spesies kayu yang banyak
dimanfaatkan dari hutan rawa gambut di Kalimantan adalah kayu galam (Melaleuca
cajuputi Roxb). Laju deforestasi baik pada kawasan hutan maupun di luar kawasan
hutan pada periode antara tahun 1997 sampai tahun 2000 di Indonesia sekitar 2,83
juta ha termasuk di dalamnya kerusakan hutan rawa gambut.
b. Kebakaran
Kebakaran lahan gambut adalah salah satu penyebab gagal atau rusaknya
ekosistem untuk menyimpan karbon yang berakibat terjadinya pemanasan global
dan perubahan iklim (Daryono, 2009). Kebakaran di lahan gambut sangat sulit
dipadamkan dan menyebabkan dampak lingkungan, sosial dan ekonomi yang sangat
besar. Pada tahun 2015 yang lalu, kebakaran hutan dan lahan Indonesia terjadi cukup
masif, dengan luas lebih dari 2,6 juta hektar hutan, lahan gambut dan lahan lainnya
(http://www.mongabay.co.id tanggal 26 Agustus 2016). Dampak langsung seperti infeksi
saluran pernapasan dan terganggunya aktivitas ekonomi masyarakat sangat dirasakan.
Bank Dunia mencatat total kerugian yang dialami mencapai Rp 221 triliun. Tahun 2015
luas lahan dan hutan yang terbakar di Kalimantan mencapai mencapai 1,2 juta hektar
dengan kerugian mencapai 116 triliun rupiah. Dari data tesebut, Kalimantan merupakan
daerah yang mengalami penurunan PDB paling parah atau terjadi perlambatan ekonomi
pada periode triwulan ketiga tahun 2015. (http://katadata.co.id tanggal 17 Desember
2015).
c. Pertambangan
d. Pembuatan Saluran Drainase (Parit, Kanal)
Pemanfaatan lahan gambut untuk kegiatan budiaya pertanian maupun perkebunan
seringkali diikuti dengan pembuatan saluran drainase (parit). Tidak terkontrolnya
saluran drainase akan menggangu fungsi hidrologi gambut. Saluran drainase yang
tidak tepat akan mengakibatkan keluarnya air, sehingga terjadi kekeringan. Padahal
gambut yang kering bersifat tidak dapat balik (irreversible). Dengan keringnya lahan
gambut, maka akan sangat rawan dan berpotensi tinggi terjadinya kebarakaran. Di sisi
lain, ketika musim hujan, akan terjadi banjir karena fungsinya yang terganggu.
e. Konversi Lahan
Lahan gambut yang berhutan merupakan objek yang rawan terjadi konversi untuk
penggunaan lain. Selain untuk diambil kayunya, kemudian lahan tersebut akan
dijadikan peruntukan lain, seperti perkebunan, pertanian, maupun permukiman.
Konversi lahan /hutan gambut untuk perkebunan kelapa sawit akan mengakibatkan
dampak ikutan, seperti pembuatan drainase yang akan menyebabkan kekeringan.

Kegiatan-kegiatan diatas tidak hanya menyebabkan rusaknya fisik lahan/hutan gambut


(seperti amblasan/subsiden, terbakar dan berkurangnya luasan gambut), tapi juga
menyebabkan hilangnya fungsi gambut sebagai penyimpan (sink) dan penyerap
(sequester) karbon, sebagai daerah resapan air yang mampu mencegah banjir pada
wilayah disekitarnya pada musim hujan dan mencegah intrusi air asin pada musim
kemarau.

Disamping itu, kerusakan hutan dan lahan gambut juga menyebabkan hilangnya
keanekaragaman hayati dan sumber daya alam didalamnya. Keberadaan parit dan
sluran di lahan gambut (baik untuk mengangkut kayu, produk pertanian maupun lalu
lintas air) tanpa adanya sistem pengatur air yang memadai telah menyebabkan
keluarnya air dari dalam tanah gambut ke sungai di sekitarnya tanpa kendali, sehingga
lahan gambut tersebut di musim kemarau menjadi kering dan mudah terbakar.

D. Pencegahan Kerusakan Ekosistem Gambut

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 Tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, Ekosistem Gambut dinyatakan
rusak apabila:

1) Pada Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung

a. Terdapat drainase buatan di Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung yang


telah ditetapkan;
b. Tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa di bawah lapisan Gambut;
dan/atau
c. Terjadi pengurangan luas dan/atau volume tutupan lahan di Ekosistem Gambut
dengan fungsi lindung yang telah ditetapkan.

2) Pada Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya

a. Muka air tanah di lahan Gambut lebih dari 0,4 m (nol koma empat meter) di
bawah permukaan Gambut; dan/atau
b. Tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa di bawah lapisan Gambut.

Dalam rangka pencegahan kerusakan ekosistem gambut, setiap orang dilarang:

a. Membuka lahan di Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung;


b. Membuat saluran drainase yang mengakibatkan Gambut menjadi kering;
c. Membakar lahan Gambut; dan/atau
d. Melakukan kegiatan lain yang mengakibatkan terlampauinya kriteria baku kerusakan
Ekosistem Gambut.

E. Penanggulangan Kerusakan Ekosistem Gambut

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 Tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, Penanggulangan kerusakan
Ekosistem Gambut terhadap kerusakan akibat:
a. Terjadinya kebakaran Gambut;
b. Tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa;
c. Pembangunan drainase yang mengakibatkan Gambut menjadi kering; dan/atau
d. Pembukaan lahan pada Ekosistem Gambut.

Penanggulangan kerusakan Ekosistem Gambut dilakukan melalui:


a. Pemadaman kebakaran;
b. Pengisolasian area yang sedimen berpiritnya dan/atau kwarsanya terekspos;
c. Pembuatan tabat atau bangunan pengendali air; dan/atau
d. Cara lain yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap Ekosistem Gambut.

F. Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia


Nomor: P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 Tentang Pedoman Teknis Pemulihan
Fungsi Ekosistem Gambut, Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut adalah aktivitas yang
dilakukan untuk mengembalikan sifat dan fungsi Ekosistem Gambut sesuai atau
mendekati sifat dan fungsi semula melalui suksesi alami, restorasi hidrologis,
rehabilitasi vegetasi, dan/atau cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Pemulihan fungsi Ekosistem Gambut dilakukan melalui berbagai cara yaitu:

a. Rehabilitasi Vegetasi

Rehabilitasi Vegetasi adalah upaya memulihkan dan meningkatkan fungsi


Ekosistem Gambut melalui penanaman vegetasi sehingga produktivitas dan
peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

Kegiatan rehabilitasi dilakukan dengan revegetasi atau penanaman kembali pada


areal bekas terbakar, areal bekas tebang habis, areal terbuka dengan kondisi
vegetasi jarang, areal bekas terbakar yang telah mengalami suksesi alami, dan
areal bekas tebang selektif.

b. Suksesi Alami

Suksesi Alami adalah pemulihan tanpa adanya campur tangan manusia.

Suksesi alami dilakukan terhadap Ekosistem Gambut berkanal yang telah disekat
dan tidak terdapat gangguan dari aktivitas manusia.

c. Restorasi Hidrologis

Restorasi Hidrologis adalah upaya pemulihan tata air lahan Gambut untuk
menjadikan Ekosistem Gambut atau bagian-bagiannya menjadi basah dan berfungsi
kembali sebagaimana semula.

Restorasi dilakukan melalui pembangunan infrastruktur pembasahan kembali


gamput yang meliputi bangunan air, penampungan air, penimbunan kanal, dan/atau
pemompaan air.

Badan Restorasi Gambut yang mempunyai tugas mengkoordinasikan dan memfasilitasi


restorasi gambut, akan melakukan kegiatan restorasi gambut yang salah satunya di
Daerah Kalimantan. Sudah ditetapkan peta indikasi restorasi gambut Kalimantan sesuai
gambar di bawah.
Gambar 4 – Peta Indikatif Prioritas Restorasi Provinsi Kalimantan Barat
(BRG, 2016)

Gambar 5 – Peta Indikatif Prioritas Restorasi Provinsi Kalimantan Selatan


(BRG, 2016)
Gambar 6 – Peta Indikatif Prioritas Restorasi Provinsi Kalimantan Tengah
(BRG, 2016)

G. Penutup

Sebagian besar lahan gambut di Indonesia kini mengalami kerusakan yang cukup
mengkhawatirkan sebagai akibat dari adanya kegiatan-kegiatan yang kurang/tidak
berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, kegiatan pemulihan ekosistem gambut
menjadi penting untuk dilakukan. Selain kegiatan pemulihan yang mesti dilakukan
akibat kebakaran lahan gambut, pencegahan adalah kegiatan yang penting dilakukan
agar tidak terjadi kerusakan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Pencegahan kerusakan ekosistem gambut dilakukan dengan cara. Pertama, penyiapan
regulasi teknis yang menyangkut penerapan peta kawasan hidrologis gambut (KHG),
penetapan fungsi lindung dan budidaya kawasan dalam KHG, serta evaluasi dan audit
perizinan pemanfaatan lahan gambut. Dikarenakan lahan gambut rawan kebakaran,
maka pengembangan sistem deteksi dini sangat diperlukan. Kegiatan yang dapat
dilakukan antara lain pemasangan alat pemantau kualitas udara atau teknologi
pendeteksi lainnya, pengolahan informasi dari berbagai sumber termasuk laporan
masyarakat. Dalam hal kelembagaan, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah
dalam pencegahan kebarakan perlu terus dikuatkan, termasuk penguatan kelembagaan
pengelola hutan di tapak (KPH). Keterlibatan masyarakat untuk mencegah kebakaran
hutan juga penting untuk dikuatkan seperti masyarakat peduli api, dan sekolah peduli
lingkungan gambut. Dalam rangka itu, peningkatan kesadaran hukum masyarakat akan
larangan merusakan termasuk membakar lahan gambut juga perlu terus dilakukan.
Sumber Pustaka

Badan Restorasi Gambut. Peta Restorasi. www.brg.go.id.


Daryono, Herman. 2009. Potensi, Permasalahan, dan Kebijakan Yang Diperlukan Dalam
Pengelolaan Hutan dan Rawa Gambut Secara Lestari. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan Vol. 6 No.2 Agustus 2009 : 71-101.
Kelompok Kerja Pengelolaan Lahan Gambut Nasional. 2006. Strategi dan Rencana Tindak
Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Departemen Dalam
Negeri. Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Pedoman Pemulihan Ekosistem
Gambut. Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan.
Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2016. Peta Kesatuan Hidrologi Gambut
Pulau Kalimantan. Webgis.dephut.go.id.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 Tentang Pedoman Teknis
Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut..
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Wetlands International – Indonesia Programme. 2004. Peta Sebaran Lahan Gambut, Luas
Dan Kandungan Karbon Di Kalimantan.

Anda mungkin juga menyukai