Anda di halaman 1dari 22

I.

PENDAHULUAN

Hutan mangrove (bakau) merupakan salah satu jenis hutan di Indonesia

yang merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai ciri khas dipengaruhi oleh

ekosistem darat dan laut. Hutan mangrove ini mempunyai spesifikasi terutama

dilihat dari segi morfologis tumbuhan yang mempunyai perakaran yang khas,

yang menyebabkan hutan mangrove ini mempunyai fungsi dan manfaat yang

sangat penting, antara lain sebagai tempat breeding jenis-jenis hewan laut seperti

ikan dan udang, mencegah dan mengurangi terjadinya intrusi air laut ke daratan,

serta menahan abrasi air laut. Selain itu, mangrove juga menghasilkan berbagai

produk yang berguna antara lain : (1) Tannin, pestisida, bahan celup dan bahan

kimia yang disuling dari kulit kayunya, (2) Buah dari berbagai spesies untuk

persediaan makanan, dan (3) Getahnya untuk memproduksi gula dan alkohol

(Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 1999).

Soesanto dan Sudomo (1994) menyatakan, bahwa hutan mangrove

merupakan lingkungan yang khusus karena dibutuhkan oleh hampir 80% dari

seluruh jenis ikan laut yang dimakan manusia. Selain fungsi hutan mangrove

tersebut, terdapat beberapa peran dari hutan mangrove antara lain : (1)

menyediakan berbagai hasil hutan, misalnya kayu bakar, arang, bahan baku pulp

dan kertas, bahan penyamak kulit, bahan bangunan, bahan perahu dan bahan baku

alat kontrasepsi Keluarga Berencana, (2) berfungsi sebagai pelindung alami yang

paling kuat dan praktis untuk menahan erosi pantai (abrasi), perembesan air laut

ke daratan (intrusi) maupun gelombang tsunami, (3) berfungsi sebagai lahan

tempat rekreasi yang baik untuk olah raga pancing, berperahu, berkemah, melukis,

memotret alam dan sebagainya karena hutan mangrove dan segala isinya

1
merupakan tempat yang khas, unik dan indah, dan (4) tempat hidup bagi satwa

liar, misalnya burung, monyet, ular dan buaya. Untuk kepentingan lain,

diantaranya daerah pemukiman, areal pertanian, areal pertambakan dan areal

perkebunan pada bagian-bagian yang tidak produktif.

Hutan mangrove terluas di Indonesia dijumpai di lrian Jaya dan berturut-

turut di Sumatera, Kalimatan, Sulawesi, Maluku, Bali, Jawa dan Nusa Tenggara.

Tumbuhan mangrove di lndonesia di dominasi oleh jenis-jenis antara lain : Bakau

{Rizophora spp), api-api (Aviennia spp), pedada (Sonneratia spp) , Tanjang

(Bruguiera spp), Nyirih (Cylocarpus spp), Tengar (Ceriops spp) dan batu-batu

(Exocaria spp).

Hutan mangrove di Kabupaten Ciamis terletak di muara Sungai Citanduy,

tepatnya di Dusun Majingklak Desa Pamotan Kecamatan Padaherang Kabupaten

Ciamis, yang merupakan perbatasan antara Propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Hutan mangrove yang ada di Majingklak tersebut merupakan satu kesatuan

dengan areal hutan mangrove yang mengelilingi Sagara Anakan, dimana secara

keseluruhan areal hutan mangrove tersebut merupakan areal hutan mangrove

terbesar di Pulau Jawa, dimana pada tahun 1987 hutan mangrove tersebut tercatat

seluas 14.371 hektar (Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 1999).

Terdapat 36 spesies mangrove yang hidup di dalamnya, dimana tiga

diantaranya memiliki nilai komersial yang sangat penting. Spesies-spesies yang

terdapat antara lain Boge (Sonneratia acida), Api-api (Avicenia alba), Bakau

(Rhizopora apiculata), Tancang (Bruguera gymnorhiza), Dungun (Heriteria

littoralis), Wrakas (Crostichum aurem) dan Jaruju (Acanthus ebracteatus dan

Acanthus ilicifolius).

2
Kawasan hutan mangrove Majingklak menyediakan habitat bagi jenis-jenis

ikan, udang dan kepiting. Jenis-jenis satwa lain yang ada di sekitar kawasan hutan

mangrove antara lain adalah Lutung (Presbytis cristata), Kera (Macaca

fascicularis), babi hutan, Dugong (Dugon dugon), Dolphins (Orcaella sp.) yang

kadang-kadang masuk ke muara dalam kelompok-kelompok kecil; serta berbagai

jenis burung seperti Walik, Cangakak, Kareo, Raja Udang, Pecuk Ular, Blekek

Sawah, Kuntul Putih, Sri Gunting, Kuntul Karang, Kapinis, Bangau Botak,

Bangau Tongtong, Elang Jawa, Kuntul Kerbau, dan lain-lain. Dari hasil

inventarisasi pada bulan Maret 1994 ditemukan 47 jenis burung di kawasan hutan

mangrove Majingklak (SBKSDA Jawa Barat II, 1994).

Luas kawasan hutan mangrove Majingklak tersebut terus mengalami

penurunan yang disebabkan oleh kegiatan penebangan dan alih fungsi lahan yang

dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan tersebut. Selain terjadinya penurunan

luas kawasan hutan mangrove tersebut, kegiatan masyarakat tersebut akan

mengancam kelestarian hutan dan flora serta fauna yang hidup di dalamnya

(Isyanto, 2003).

Fungsi, Manfaat dan Potensi Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang

mempunyai manfaat ganda baik aspek ekologi maupun sosial ekonomi. Besarnya

peranan hutan mangnove atau ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat

diketahui dari banyak jenis hewan, baik yang hidup diperairan, diatas lahan

maupun ditajuk-tajuk pohon mangrove serta. Ketergantungan manusia terhadap

hutan mangrove tersebut.

3
Fungsi Ekologi Hutan Mangrove

Fungsi ekologi ekosistem hutan mangrorre dapat dilihat dari beberapa aspek

antara lain aspek fisika, kimia dan biologi. Fungsi ekologis ditinjau dari aspek

fisika adalah sebagai : l) dalam ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme

hubungan antara komponen-komponen dalam ekosistem, mangrove serta

hubungan antara ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti

padang lamun dan terumbu karang, 2) dengan sistem perakaran yang kuat dan

kokoh ekosistem hutan mangrove mempunyai kemampuan meredam gelombang,

menahan lumpur dan melindungi pantai dari erosi, 3) sebagai pengendali banjir,

hutan dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir. Fungsi ini akan hilang

apabila hutan mangrove ditebangi.

Dari aspek kimia, hutan mangrove dengan kemampuannya melakukan

proses kimia dan pemulihan (self purification) memiliki beberapa fungsi : 1)

hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar (enviromental

service), khususnya bahan-bahan organik, 2) sebagai sumber energi bagi

lingkungan perairan sekitarnya. Ketersediaan berbagai jenis makanan yang

terdapat pada ekosistem hutan mangrove telah menjadikannya sebagai sumber

energi bagi berbegai jenis biota yang bernaung didalamnya seperti udang,

kepiting, burung, kera, ular dan lain-lain telah menjadikan rantai makanan yang

sangat kompleks sehingga terjadi pengalihan energi dari tingkat tropik yang lebih

rendah ke tingkat tropik yang lebih tinggi, 3) pensuplai bahan-bahan organik bagi

lingkungan perairan dalam ekosistem hutan mangrove, terjadi mekanisme

hubungan memberikan sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya.

Serasah mangrove yang telah jatuh dan gugur ke dalam air akan menjadi substrat

4
yang baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses pembusukan

daun tersebut menjadi detritus. Selanjutya detritus ini menjadi makanan binatang

pemakan detritus seperti Amphipoda, Mysidaceae dan lain-lain, dan akhirnya

binatang-binatang ini akan menjadi makan larva-larva udang, kepiting dan

lainnya.

Sedangkan aspek biologis hutan mangrove sangat penting, untuk tetap

menjaga kestabilan produktivitas dan ketersediaan sumberdaya hayati wilayah

pesisir, mengingat karena hutan mangrove juga merupakan daerah asuhan (nurseri

ground) hewan-hewan muda (juvenil stage) yang akan bertumbuh kembang

menjadi hewan-hewan dewasa dan juga merupakan daerah pemijahan (spawning

ground) beberapa hewan perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan.

Beberapa fungsi ekologis hutan mangrove tersebut sangat ditunjang oleh

karakteristik hutan mangrove itu sendiri, namun mementingkan fungsi ekologis

bukan berarti meniadakan fungsi ekonomis yang dimilikinya, tetapi yang

diharapkan adalah bagaimana menempatkan kepentingan ekonomi yang tidak

merusak fungsi-fungsi ekologi tersebut.

Fungsi Ekonomi Hutan Mangrove

Potensi ekonomis ditunjukkan dengan kemanpuannya dalam menyediakan

produk yang dapat diukur dengan uang. Produk yang dimaksud adalah secara

ekonomis potensial dapat diambil langsung seperti hutan dan produksi perikanan.

Darsono V, 1995 meracatat sekitar 58 produk langsung dan tidak lagsung dari

mangrove berupa kayu bakar, bahan bangunan, alat dan teknik penangkapan ikan,

pupuk, bahan baku kertas, bahan makanan, obat-obatan, minuman, peralatan

rumah tangga, bahan baku tekstil dan kulit, madu, lilin, dan tempat rekreasi.

5
Pemanfaatan hutan mangrove untuk skala. komersial (skala besar) adalah

untuk menghasilkan kayu, chip dan arang; konversi hutan mangrove untuk

kawasan pertanian, pertambakan, pemukiman, ladang garam dan daerah

transmigrasi; dan manfaat hutan mangrove untuk beberapa jenis obat-obatan.

II. KEADAAN UMUM HUTAN MANGROVE MAJINGKLAK

Letak Geografis

Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang Kabupaten Ciamis memiliki wilayah

seluas 1.239 hektar, dengan jumlah penduduk sebanyak 3.785 orang, dan terdapat

1.096 KK (Kepala Keluarga). Secara administratif, batas wilayah Desa Pamotan

sebagai berikut :

- Sebelah Utara, berbatasan dengan Propimsi Jawa Tengah dan Samudra

Indonesia.

- Sebelah Selatan, berbatasan dengan Desa Bagolo Kecamatan Kalipucang

Kabupatan Ciamis.

- Sebelah Barat, berbatasan dengan Desa Emplak Kecamatan Kalipucang

Kabupaten Ciamis.

- Sebelah Timur, berbatasan dengan Desa Putrapinggan Kecamatan Kalipucang

Kabupaten Ciamis dan Samudera Indonesia

Topografi dan Iklim

Sebagian wilayah Desa Pamotan merupakan daerah yang datar

bergelombang dan sebagian lagi merupakan daerah perbukitan, ketinggian tempat

0-25 meter di atas permukaan laut (dpl), suhu udara berkisar antara 24-32 oC, jenis

tanah aluvial, dan memiliki curah hujan tipe C dengan sifat agak basah.

6
Luas Lahan dan Penggunaannya

Luas lahan yang terdapat di Desa Pamotan 1.239 hektar dengan berbagai

jenis penggunaan lahan. Selengkapnya mengenai penggunaan lahan di Desa

Pamotan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel Penggunaan Lahan di Desa Pamotan Tahun 2006

No Penggunaan Lahan Luas (Ha) Persentase (%)


1 Sawah irigasi pedesaan 60 4,84
2 Sawah tadah hujan 51 4,12
3 Sawah rawa 59 4,76
4 Pekarangan 14 1,13
5 Tegalan 145 11,70
6 Pemukiman 140 11,30
7 Hutan rakyat 168 13,56
8 Hutan Negara 25 2,02
9 Perkebunan rakyat 532 42,94
10 Lahan pengangonan 26 2,10
11 Kolam 5 0,40
12 Lain-lain 14 1,13
Jumlah 1.239 100,00
Sumber : Desa Pamotan, 2006

Tabel di atas menunjukkan bahwa lahan di Desa Pamotan didominasi oleh

pertanian lahan kering berupa perkebunan rakyat, ladang, dan hutan, baik hutan

rakyat maupun hutan negara. Karakteristik dari pertanian lahan kering adalah

kepemilikan lahan yang sempit, pendapatan rendah, rendahnya penggunaan

teknologi budidaya, dan sebagainya.

Mengingat dominasi lahan di Desa Pamotan digunakan untuk lahan pertanian,

maka pelaksanaan pembangunan pertanian di desa tersebut perlu dilaksanakan

dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat.

7
Keadaan Penduduk

Jumlah penduduk Desa Pamotan 3.785 orang, yang terdiri dari 1.736 orang

penduduk laki-laki dan 2.022 orang penduduk perempuan. Data selengkapnya

mengenai jumlah penduduk Desa Pamotan berdasarkan kelompok umur dan jenis

kelamin dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel Penduduk Desa Pamotan Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis


Kelamin
Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
No
(tahun) (orang) (tahun) Orang %
1 < 15 371 402 773 20,42
2 15 – 64 1.299 1.519 2.818 74,45
3 > 64 93 101 194 5,13
Jumlah 1.763 2.022 3.785 100,00
Sumber : Desa Pamotan, 2006

Tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Pamotan

termasuk dalam usia produktif, yaitu 2.818 orang atau 74,45 persen dari jumlah

penduduk. Menurut Rusli (1995), penduduk usia produktif adalah penduduk yang

berumur 15-64 tahun. Pada usia produktif ini, kekuatan fisik masih mendukung

dalam melaksanakan usahanya. Selain itu relatif masih mudah dan lebih cepat

dalam mengadopsi suatu inovasi yang diperlukan untuk meningkatkan efisiensi

usahanya.

Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 3 dan 4, maka dapat dihitung

beberapa indikator kependudukan sebagai berikut :

(a) Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk Desa Pamotan dapat dihitung dengan menggunakan

rumus menurut Rusli (1995) :

8
Jumlah penduduk (orang)
Kepadatan Penduduk =
Luas wilayah (km2)

3.785 orang
Kepadatan Penduduk = = 305 orang/km2
2
12,93 km

Kepadatan penduduk Desa Pamotan sebesar 305 orang/km2 menunjukkan

adanya ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dengan luas wilayahnya. Hal

ini sesuai dengan pendapat Sajogyo dan Pudjiwati (1984), bahwa apabila suatu

daerah mempunyai kepadatan penduduk lebih dari 300 orang/km 2 termasuk

daerah padat dan kritis.

(b) Struktur Umur

Struktur umur penduduk Desa Pamotan dapat dihitung dengan

menggunakan Uji 40% menurut Rusli (1995) :

Jumlah penduduk umur 0-14 tahun


Uji 40% = x 100%
Jumlah penduduk

773
Uji 40% = x 100% = 20,42%
3.785

Dari hasil perhitungan diketahui bahwa penduduk Desa Pamotan yang

berumur 0-14 tahun lebih kecil dari 40%, artinya penduduk Desa Pamotan

termasuk ke dalam struktur usia kerja. Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah

penduduk usia produktif lebih besar daripada jumlah penduduk usia non

produktif.

9
(c) Dependency Ratio (DR)

Beban ketergantungan (dependency ratio) untuk Desa Pamotan dapat

dihitung dengan menggunakan rumus menurut Rusli (1995) :

Jumlah penduduk umur 0-14 tahun + Jumlah penduduk umur >64 tahun
DR = x 100
Jumlah penduduk umur 15-64 tahun

773 + 194
DR = x 100 = 34
2.818

Nilai DR 34 menunjukkan bahwa 100 orang penduduk Desa Pamotan yang

berumur produktif harus menanggung 34 orang penduduk usia bukan produktif.

Hal ini menunjukkan besarnya ketergantungan penduduk yang bukan usia

produktif terhadap penduduk usia produktif.

(d) Man Land Ratio (MLR)

MLR merupakan rasio antara jumlah penduduk suatu daerah dengan luas

lahan pertanian. MLR untuk Desa Pamotan dapat dihitung dengan menggunakan

rumus menurut Rusli (1995) :

Jumlah penduduk (orang)


MLR =
Luas lahan pertanian (ha)

3.785
MLR = =4
1.071

MLR Desa Pamotan sebesar 4 menunjukkan bahwa setiap satu hektar lahan

pertanian di desa tersebut harus dapat menghidupi 4 orang penduduknya.

10
Keadaan Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi

di perdesaan. Data selengkapnya mengenai keadaan pendidikan dari penduduk

Desa Pamotan dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel Penduduk Desa Pamotan Berdasarkan Pendidikan


Jumlah
No Pendidikan
Orang %
1 Tamat PT 6 0.24
2 Tamat SLTA/sederajat 57 2.24
3 Tamat SLTP/sederajat 215 8.45
4 Tamat SD/sederajat 2.265 89.07
Jumlah 2.543 100,00
Sumber : Desa Pamotan, 2006

Tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Pamotan

berpendidikan tamat SD (Sekolah Dasar). Banyaknya penduduk dengan

pendidikan yang rendah tersebut berpotensi menjadi kendala dalam kegiatan

pembangunan perekonomian desa tersebut. Untuk itu perlu dilakukan upaya

peningkatan pendidikan, baik melalui pendidikan formal maupun informal.

Mata Pencaharian

Penduduk Desa Pamotan memiliki mata pencaharian pada berbagai sektor,

dengan dominasi penduduk bekerja pada sektor pertanian. Selengkapnya data

mengenai penduduk Desa Pamotan berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat

pada tabel berikut.

11
Tabel Penduduk Desa Pamotan Berdasarkan Mata Pencaharian

Jumlah
No Mata Pencaharian
Orang %
1 Petani 469 42,79
2 Buruh tani 281 25,64
3 Nelayan 136 12,41
4 PNS 58 5,29
5 TNI/Polri 2 0,18
6 Wiraswasta 136 12,41
7 Pensiunan 14 1,28
Jumlah 1.096 100,00
Sumber : Desa Pamotan, 2006

Tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk desa Pamotan

memiliki mata pencaharian di sektor pertanian, baik sebagai petani sebanyak 469

orang (42,79%) maupun buruh tani sebanyak 281 orang (25,64%). Dominasi

penduduk yang bekerja di sektor pertanian ini menunjukkan pentingnya

pelaksanaan pembangunan pertanian di desa tersebut dalam upaya meningkatkan

pendapatan penduduknya.

Luas Kepemilikan Lahan

Luas kepemilikan lahan berkaitan dengan produktivitas usahatani, dimana

semakin luas kepemilikan lahan maka biasanya semakin tinggi produktivitas

usahatani disebabkan oleh semakin besarnya peluang penggunaan teknologi yang

diperlukan dalam meningkatkan efisiensi usahatani. Data selengkapnya mengenai

kepemilikan lahan di Desa Pamotan dapat dilihat pada tabel berikut.

12
Tabel Penduduk Desa Pamotan Berdasarkan Luas Kepemilikan Lahan

Luas Kepemilikan Jumlah


No
Lahan (Ha) Orang %
1 0,00 – 0,25 257 54,80
2 0,26 – 0,50 158 33,69
3 0,50 – 0,75 39 8,32
4 0,76 – 1,00 13 2,77
5 > 1,00 2 0,43
Jumlah 469 100,00
Sumber : Desa Pamotan, 2006

Tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Desa Pamotan

memiliki lahan pertanian 0,00-0,25 hektar, dengan demikian sebagian besar

penduduk desa tersebut termasuk dalam golongan petani kecil. Hal ini sesuai

dengan pendapat Mardikanto (1990) yang menyatakan bahwa golongan petani

kecil adalah golongan petani yang memiliki lahan pertanian maksimal 0,25 hektar.

Golongan petani kecil ini biasanya mempunyai ciri rendahnya produktivitas

usahatani, rendahnya penggunaan teknologi pertanian, rendahnya permodalan

usahatani, rendahnya pendidikan, rendahnya tingkat tabungan (saving), serta

rendahnya tingkat pendapatan.

Selain dari kondisi tersebut, sebagian masyarakat terkontamisi oleh paham

bahwa tanah negara dalah milik rakyat untuk kesejahteraan rakyat. Hal tersebut

yang mengakibatkan sebagian masyarakat Dusun Majingklak menjadi masyarakat

yang “tertutup”.

III. FENOMENA DI LAPANGAN

Salah satu faktor pengurangan luas areal mangrove di majingklak adalah

adanya pembangunan pelabuhan penyebrangan feri Majingklak, ditambah dengan

13
adanya pemahaman dari sekolompok masyarakat yang menggemborkan bahwa

hutan negara adalah milik rakyat yang digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Dampak yang terjadi dari hal tersebut mengakibatkan alih fungsi lahan dari

hutan mangrove menjadi lahan pertanian. Dimana pada awal pengalihannya

mengeluarkan biaya yang cukup besar, namun pada saat digunakan dalam bentuk

lahan pertanian (lahan sawah) tidak begitu menguntungkan, bahkan dapat

dikatakan merugi. Hal tersebut di akibatkan oleh keadaan pasang surut air sungai

Citanduy ataupun terjadi abrasi. Kondisi bekas lahan mangrove yang berubah

fungsi menjadi lahan pertanian saat ini menjadi terlantar akibat kerugian yang

diterima oleh petani.

Selain hal tersebut di atas, dampak pengurangan areal luas hutan mangrove

berdampak pula pada penurunan pendapatan nelayan, akibat berkurangannya hasil

tangkapan ikan yang diperoleh. Hal ini terjadi karena perakaran mangrove yang

biasanya digunakan sebagai tempat betelur dan berkembang biak di daerah

tersebut berkurang. Akibatnya perahu nelayan yang biasanya digunakan untuk

menangkap ikan ke laut saat ini hanya disewakan kepada wisatawan yang datang

ke daerah Majingklak, yang biasanya hanya ramai di musim liburan atau hari

sabtu dan minggu Hal ini pun yang mengakibatkan dari dua TPI (Tempat

Pelelangan Ikan) yang sebelumnya terdapat dua unit di daerah Majingklak, saat

ini hanya berjalan satu unit TPI.

Degradasi hutan mangrove

Degradasi hutan maangrove, dalam bentuk penurunan luas tutupan hutan

permanen (kuantitas) dan hilangnya fungsi-fungsi hutan mangrove (kualitas),

seperti halnya yang banyak terjadi di banyak negara memang tidak bisa

14
dilepaskan dari dampak kegiatan manusia. Menurut Kusmana (1995) yeng

menyebabkan rusaknya ekosistem mangrove dapat dikategorikan kedalam 3 jenis

gangguan ;

(1) Gangguan fisik-mekanis

(a) Abrasi pantai/pinggir sungai

(b) Sedimentasi dengan laju yang tidak terkendali

(c) Banjir yang menyebabkan melimpahnya air tawar

(d) Gempa bumi/tsunami

(2) Gangguan kimia

(a) Pencemaran air, tanah dan udara

(b) Hujan asam

{3} Gangguan biologi

(a) Reklamasi mangrove untuk perumahan., industri, Pertanian,

pertambakan, sarana anggkutan dan penguna hasil hutan.

(b) Penebangan pohon yang tidak memperhatikan azas kelestarian hutan.

(c) Invasi Acrostichurn aureum (piang)

Berbagai fenomena alam seperti amukan badai, angin topan maupun

serangan isopoda memang bisa meninbulkan kerusakan yang serius terhadap

hutan mangrove (Nybakken, 1992) namun pengaruh dari tindakan manusia.

cenderung lebih merusak (Saenger, Hegerl dan Davie, 1983). Tindakan manusia

yang merusak tersebut dapat bersumber dari dua bentuk pemanfaatan terhadap

hutan mangrove, yaitu lewah panen dari penggunaan tradisional maupun

komersial modern dan kerusakan yang diakibatkan oleh tindakan di luar maupun

15
di dalam ekosistem hutan mangrove yang mengabaikan keterkaitan hutan

mangrove dengan ekosistem lain di sekelilingnya.

Pemanfaatan tradisional terhadap hutan mangrove bisa merusak karena sifat

kepemilikan bersama dari sumberdaya ini. Suatu sumberdaya dimiliki secera

bersama jika hak kepemilikan yang melekat kepadanya sangat lemah.

sumberdaya ini tidak dimiliki atau diawasi secara eksklusif oleh satu orang atau

satu kelompok pemilik, sehinga penggunaan tidak terbatas oleh siapapun.

Valuasi Hutan mangrove

Tidak sedikit konflik dan kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir dan

lautan yang tidak dapat diselesaikon. ini disebabkan oleh kurangnya data dan

informasi yang dimiliki sehingga berapa besar kerugian yang akan diperoleh tidak

diketahui. Misalnya untuk sumberdaya yang belum diketahui manfaat dan

fungsinya untuk sekarang dan masa datang menyebabkan nilai tersebut luput dari

pertritungan ekonomi dan kemusnahannya tidak diangap sebagai kerugian.

Salah satu yang dapat membantu untuk memecahkan masalah ini adalah

dengan menghitug potensi ekonomi dari sumberdaya tersebut. Secara konseptual

nilai total ekonomi (total economic value) suatu sumberdaya terdiri dari : a.) use-

value dan b) non-use-value. Use-value ini dibedakan lagi menjadi manfaat

langsung (direct use value), nilai manfaat tidak langsung (indirect-use-value) dan

option value, sedangkan untuk kategori non-use-value yaitu nilai keberadaan

suatu sumberdaya alam (existence value)dan bequest value

Dalam mengestimasi nilai ekonomi sebuah sistem, mangrove ada dua

pendekatan, yang pertama penilaian total (total valuation) dan kedua melalui

16
klasifikasi nilai rnangrove kedalarn empat fungsi hutan mangrove yang berguna

bagi manusia dalam menyediakan barang dan jasa

Pendekatan penilaian total ekonomi yaitu rnengestimasi nilai total ekonomi

hutan mangrove berdasarkan pada klasifikasi use-value dan non-use-value,

sedangkan pendekatan keempat fungsi hutan mangrove yaitu :1) barang dan jasa

di dalam ekosistem dan dapat dipasarkan, 2) barang dan jasa di luar ekosistem dan

dapat dipasarlen, 3) barang dan jasa didalam ekosistem tetapi tidak dapat

dipasarkan dan 4) barang dan jasa di luar ekositem tetapi tidak dapat dipasarkan.

Analis rnanfaat dan biaya sebagian besar digunakan di dalam penilaian

secara parsial. Hanya pengaruh-pengaruh mendasar dari kebijakan ekonomi dan

ekosistem yang dipertirnbangkan karena sifat pendekatannya yang parsial.

Analisis manfat dan biaya yang dibangun berdasarkan arsumsi ekonomi neo-

klasik, dimana asumsi tersebut paling sesuai untuk menemukan alternatif

pemanfaatan suamberdaya yang alokasinya paling effisien dengan menggunakan

harga pasar sebagai petunjuk dan kegunaan analisis manfaat biaya untuk

mengklaim pihakpihak yang telah menimbulkan kerugian sehingga besarnya

klaim tersebut dapat ditentukan sesuai dengan nilai manfaat.

Ruitenbeek (1994) menyatakan bahwa penggunaan beberapa bentuk

analisis ekonomi yang terpenting mampu menyatukan hubungan ekologis dari

berbagai komponennya. HaI ini penting di dalam memberikan informasi

pengambilan kebijakan dalam memilih strategi pengelolaan atau penggunaan

seluruh sumberdaya secara optimal.

17
IV. STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE

Justifikasi Perlunya Ekosistem Mangrove Dikelola Secara Berkelanjutan

Beberapa justifikasi untuk mengelola ekosistem mangrove secara berkelanjutan

adalah :

1 Mangrove merupakan SDA yang dapat dipulihkan (renewable resources atau

flow resources yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan

ekologis). Berdasarkan sejarah, sudah sejak dulu hutan mangrove merupakan

penyedia berbagai keperluan hidup bagi berbagai masyarakat lokal. Selain itu

sesuai dengan perkembangan IPTEK, hutan mangrove menyediakan berbagai

jenis sumber daya sebagai bahan baku industri dan berbagai komoditas

perdagangan yang bernilai ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa

negara. Secara garis besar, manfaat ekonomis dan ekologis mangrove adalah :

a. Manfaat ekonomis, terdiri atas :

1) Hasil berupa kayu (kayu konstruksi, tiang/pancang, kayu bakar, arang,

serpihan kayu (chips) untuk bubur kayu)

2) Hasil bukan kayu

 Hasil hutan ikutan (tannin, madu, alcohol, makanan, obat-obatan, dll)

 Jasa lingkungan (ekowisata)

b. Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindung lingkungan, baik

bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagaia

jenis fauna, diantaranya :

 Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang

 Pengendali intrusi air laut

 Habitat berbagai jenis fauna

18
 Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak

berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya.

 Pembangunan lahan melalui proses sedimentasi

 Memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air)

 Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibandingkan tipe

hutan lain.

2. Mangrove mempunyai nilai produksi primer bersih (PPB) yang cukup tinggi,

yakni : biomassa (62,9-398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8-25,8 ton/ha/th) dan

riap volume (20 ton/ha/th, 9 m3/ha/th pada hutan tanaman bakau umur 20

tahun). Besarnya nilai produksi primer ini cukup berarti bagi penggerak rantai

pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan

masyarakat pesisir itu sendiri.

3. Dalam skala internasional, regional dan nasional, hutan mangrove luasnya

relatif kecil bila dibandingkan, aik dengan luas daratan maupun luasan tipe

hutan lainnya, padahal manfaatnya (ekonmis dan ekologis) sangat penting bagi

kelangsungan kehidupan masyarakat (khususnya masyarakat pesisir),

sedangkan dipihak lain ekosistem mangrove bersifat rentan (fragile) terhadap

gangguan dan cukup sulit untuk merehabilitasi kerusakannya.

4. Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun bersama dengan ekosistem

padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu

ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun biologis.

5. Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi yang

saat ini sebagaian besar manfaatnya belum diketahui.

19
Bentuk Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Pengelolaan ekosistem (hutan) mangrove hendanya mencakup tiga benruk

kegiatan pokok, yakni :

a. Pengusahaan hutan mangrove yang kegiatannya dapat dikendalikan dengan

penerapan sistem silvikultur dan pengaturan kontrak (pemberian konsensi).

b. Perlindungan dan pelestarian hutan mangrove yang dilakukan dengan cara

menunjuk, menetapkan dan mengukuhkan hutan mangrove menjadi hutan

lindung, hutan konservasi (Suaka Alam, Taman Nasional, Taman Hutan

Raya, Hutan Wisata, dll) dan kawasan lindung lainnya (Jalur hijau, sempadan

pantai/sungai, dll)

c. Rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak sesuai dengan tujuan

pengelolaannya dengan pendekatan pelaksanaan dan penggunaan iptek yang

tepat guna.

Dalam pelaksanaan pemberdayaan hutan mangrove, sangat erat kaitannya

dengan kondisi sosial ekonomi penduduk di sekitarnya. Dilihat dari kepentingan

masyarakat di sekitar hutan mangrove diperlukan tingkat kesadaran yang tinggi

untuk tetap mempertahankan keberadaan hutan magrove sesuai dengan fungsinya

yang sangat mempengaruhi kehidupan penduduk di sekitar hutan mangrove.

Strategi pemberdayaan hutan magrove Majingklak dapat dilakukan melalui :

1. Sosialisasi/penyuluhan hukum perundang-undangan tentang hukum agraria.

2. Sosialisasi/penyuluhan tentang pentingnya pendidikan dan informasi dari

luar.

3. Sosialisasi/penyuluhan tentang fungsi dan manfaat hutan mangrove.

20
4. Sosialisasi/penyuluhan tentang perbanyakan vegetasi magrove beserta

prakteknya

5. Sosialisasi/penyuluhan tentang pembuatan Peraturan Desa (Perdes) mengenai

pengelolaan hutan mangrove

6. Sosialisasi/penyuluhan tentang peningkatan ekonomi atau pendapatan

keluarga.

21
DAFTAR PUSTAKA

Darsono, V. 1995. Pengantar Ilmu Lingkungan. Penerbitan Universitas Atma Jaya


Yogyakarta. Yogyakarta.

Desa Pamotan. 2006. Data Potensi Desa Pamotan Kecamatan Kalipucang


Kabupaten Ciamis. Ciamis.

Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 1999. Mengenal Hutan


Mangrove. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.

Isyanto, A.Y. 2003. Konservasi Kawasan Hutan Mangrove Majingklak


Kabupaten Ciamis. Jurnal Geografi GEA UPI Bandung, Vol. 1, No. 5, April
2003.

Kusmana, C., S. Takeda, and H. Watanabe. 1995. Litter Production of a


Mangrove Forest in East Sumatera, Indonesia. Prosidings Seminar V:
Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6 Agustus 1994: 247-265. Kontribusi MAB
Indonesia No. 72-LIPI, Jakarta.

Mardikanto, T. 1990. Pembangunan Pertanian. Penerbit Tri Tunggal Tata Fajar.


Surakarta

Nybakken, J .W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.

Rusli, S. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. LP3ES. Jakarta.

Sajogyo dan Pudjiwati, S. 1984. Sosiologi Pedesaan. Jilid II. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

SBKSDA Jawa Barat II, 1994. Laporan Kegiatan Penilaian Potensi Kawasan
Lindung Hutan Mangrove di Majingklak Seluas 150 Ha. Departemen
Kehutanan. Ciamis

Soesanto, S.S., dan Sudomo, M. 1994. Ekosistem Mangrove dan Pembangunan


Lingkungan Hidup. Dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove,
Jember 3-6 Agustus 1994. Jember.

22

Anda mungkin juga menyukai