Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan
hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi
interaksi kompleks antara sifat fisika dan sifat biologi. Karena sifat fisiknya, mangrove
mampu berperan sebagai penahan ombak serta penahan intrusi dan abrasi laut. Proses
dekomposisi bakau atau mangrove yang terjadi mampu menunjang kehidupan makhluk
hidup di dalamnya. Keunikan lainnya adalah fungsi serbaguna hutan mangrove sebagai
penghasilan masyarakat desa di daerah pesisir, tempat berkembangnya biota laut
tertentu dan flora-fauna pesisir, serta dapat juga dikembangkan sebagai wahana wisata
untuk kepentingan pendidikan dan observasi/penelitian. Ekosistem hutan mangrove
adalah suatu sistem ekologi yang terdiri dari komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang
pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000).
Kerusakan ekosistem hutan mangrove adalah perubahan fisik biotik maupun
abiotik didalam ekosistem hutan mangrove menjadi tidak utuh lagi atau rusak yang
disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia (Tirtakusumah, 1994). Pada umumnya
kerusakan ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh aktivitas manusia dalam
penyalahgunaan sumberdaya alam di wilayah pantai tidak memperhatikan kelestarian,
seperti : penebangan untuk keperluan kayu bakar yang berlebihan, tambak,
permukiman, industri dan pertambangan (Permenhut, 2004).
Kualitas lingkungan pesisir saat ini terus mengalami penurunan seiring dengan
semakin meningkatnya jumlah penduduk di kawasan pesisir. Kenaikan jumlah
penduduk di kawasan pesisir secara otomatis meningkatkan kebutuhan terhadap
sandang, pangan, papan, air bersih dan energi, hal ini mengakibatkan eksploitasi
terhadap sumber daya pesisir semakin meningkat. Dalam pengeksploitasiannya
masyarakat cenderung mengabaikan aspek-aspek lingkungan dan bersifat merusak.

1
Salah satu sumber daya pesisir yang saat ini mulai terancam adalah ekosistem
mangrove yang mempunyai fungsi sebagai penyeimbang kawasan pesisir. Ekosistem
mangrove sebagai salah satu ekosistem penting di kawasan pesisir, saat ini di seluruh
dunia terus mengalami tekanan.
Menurut F.A.O (2003) mencatat bahwa luas mangrove dunia pada tahun 1980
mencapai 19,8 juta ha, turun menjadi 16,4 juta ha pada tahun 1990, dan menjadi 14,6
juta ha pada tahun 2000, sedangkan di Indonesia, luas mangrove mencapai 4,25 juta ha
pada tahun 1980, turun menjadi 3,53 juta ha pada tahun 1990 dan tersisa 2,93 juta ha
pada tahun 2000.
Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga
kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing 3 sungai,
mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar.
Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk
hidup dan mencari makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan
nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber
plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu,
arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan
(Gunarto, 2004).
Hutan mangrove sebagai suatu ekosistem di daerah pasang surut, kehadirannya
sangat berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lain di daerah tersebut. Terjadinya
kerusakan/gangguan pada ekosistem yang satu tentu saja akan mengganggu ekosistem
yang lain. Sebaliknya keberhasilan dalam pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrove
akan memungkinkan peningkatan penghasilan masyarakat pesisir khususnya para
nelayan dan petani tambak karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu
faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya (Sudarmadji,
2001).
Hutan mangrove sebagai suatu ekosistem di daerah pasang surut, kehadirannya
sangat berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lain di daerah tersebut. Terjadinya
kerusakan/gangguan pada ekosistem yang satu tentu saja akan mengganggu ekosistem

2
yang lain. Sebaliknya keberhasilan dalam pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrove
akan memungkinkan peningkatan penghasilan masyarakat pesisir khususnya para
nelayan dan petani tambak karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu
faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya (Sudarmadji,
2001).
Pada dasarnya ini terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan mangrove secara
drastis. Ironisnya, sampai sekarang tidak ada data aktual yang pasti mengenai luasan
hutan mangrove, baik yang kondisinya masih alami maupun yang telah berubah
tutupan lahannya
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah bagaimana gambaran pengelolaan hutan mangrove khususnya di daerah pesisir
dan pulau-pulau kecil ?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh gambaran
pengelolaan hutan mangrove khususnya di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil
D. Manfaat
Makalah ini dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran bagi mahasiswa dalam
pengelolaan hutan mangrove.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Wilayah dan masyarakat pesisir dan pulau pulau kecil


Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari
17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km2 dan 75 persen adalah Zona
Ekonomi Eksklusif (Dahuri, 1998). Sejumlah besar (lebih dari 10.000 buah) dari pulau-
pulau tersebut merupakan pulau-pulau berukuran kecil yang tersebar di Kepulauan
Indonesia
Definisi pulau-pulau kecil disini adalah kumpulan pulau-pulau secara fungsional,
baik secara individual maupun secara sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari
pengelolaan sumberdaya (DKP, 2001b). Sebagai kawasan kecil keberadaan pulau-
pulau kecil baik dari segi ekosistem pulau itu sendiri maupun keragaman hayati
(biodiversity) yang ada di dalam ekosistem sekitar pulau yang sangat rentan terhadap
berbagai aktivitas manusia yang terjadi di kawasan daratan
Pulau kecil juga dapat didefinisikan sebagai pulau dengan luas areanya kurang
dari 10.000 km2 dan mempunyai penduduk berjumlah kurang dari 500.000 jiwa
(Beller et al 1990 diacu dalam Retraubun, 2001). Sementara itu, menurut Dahuri
(1998) pulau-pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain,
keterisolasian suatu pulau akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di
pulau tersebut. Keterisolasian ini juga dapat membentuk kehidupan yang unik di pulau
tersebut. Selain itu pulau juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi
spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Pulau kecil juga
mempunyai tangkapan air tawar yang relatif kecil. Selajutnya dilihat dari aspek
budaya, masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau
kontinen dan daratan.
Secara umum, sumberdaya alam di kawasan pulau-pulau kecil terdiri dari
sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources), sumberdaya yang tidak
dapat pulih (non renewable resources), dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan lautan

4
(environmental service). Sumberdaya dapat pulih, terdiri berbagai ikan, plankton,
benthos, molusca, mamalia laut, rumput laut (seaweeds), lamun (seagrass), mangrove,
terumbu karang, dan krustasea. Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi minyak bumi
dan gas, biji besi, pasir, timah, bauksit, dan mineral serta bahan tambang lainnya. Jasa-
jasa lingkungan pesisir dan lautan antara lain adalah pariwisata dan perhubungan laut
B. Definisi mangrove
Istilah ‘mangrove’ tidak diketahui secara pasti asal usulnya. Ada yang
mengatakan bahwa istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari bahasa
Portugis dan Inggris. Bangsa Portugis menyebut salah satu jenis pohon mangrove
sebagai ‘mangue’ dan istilah Inggris ‘grove’, bila disatukan akan menjadi
‘mangrove’ atau ‘mangrave’. Ada kemungkinan pula berasal dari bahasa Malay,
yang menyebut jenis tanaman ini dengan ‘mangi-mangi’ atau ‘mangin’. Mangrove
adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan
daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali
ditemukan di tempat pertemuan antara muara sungai dan air laut yang kemudian
menjadi pelindung daratan dari gelombang laut yang besar. Sungai mengalirkan air
tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon mangrove dikelilingi oleh air
garam atau air payau (Irwanto, 2006).
Hutan bakau atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang di dominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1988).
Mangrove disebut juga sebagai hutan pantai, hutan payau atau hutan bakau.
Pengertian mangrove sebagai hutan pantai adalah pohon-pohonan yang tumbuh di
daerah pantai (pesisir), baik daerah ynag dipengaruhi oleh pasang surut air laut
maupun wilayah daratan pantai yang dipengaruhi oleh ekosistem pesisir.

Sedangkan pengertian mangrove sebagai hutan payau atau hutan bakau adalah
pohon-pohonan yang tumbuh di daerah payau pada tanah aluvial atau pertemuan
air laut dan air tawar di sekitar muara sungai. Pada umumnya formasi tanaman di

5
dominasi oleh tanaman bakau. Oleh karena itu istilah bakau digunakan hanya
untuk jenis-jenis tumbuhan dari genus Rhizophora. Sedangkan istilah mangrove
digunakan untuk segala tumbuhan yang hidup di sepanjang pantai atau muara
sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Dengan demikian pada suatu
kawasan hutan yang terdiri dari berbagai ragam tumbuhan atau hutan tersebut
bukan hanya jenis bakau yang ada, maka istilah hutan mangrove lebih tepat
digunakan (Harahap, 2010).

C. Penyusun mangrove
Komponen-komponen penyusun ekosistem mangrove terdiri dari 2 komponen
yaitu komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik terdiridari :
1. Produsen yaitu organism yang bisa membuat makanannya sendiri (autotropik)
karena memiliki butir-butir klorofil sehingga mapu melakukan prosesfotosintesis.
Secara sepintas dapat dilihat bahwa ekosistem mangrove dipenuhi oleh tumbuhan
pepohonan berdaun hujau, diantaranya yaitu:
Aegiceras corniculatum, Avicennia alba, Avicennia officinalis, Bruguieraclyndric
a, ruguiera hainessii, Ceriops decandra, Ceriops tagal, Excoecariaagallocha,
Lumnittzera littorea, Lumnitzera racemosa, Nypa
fruticans, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Schyphypora
hydrophyllacea, Sonneratia alba, Sonneratia ovate, Xylocarpus granatum, dan
Xylocarpusmoluccensis. Di dalam kawasan ekosistem mangrove yang selalu
tergenangair kemungkinan dapat ditemukan fitoplankton atau plankton nabati.
Planktonadalah mikroorganisme atau larva yang melayang dalam air, tidak
dapat bergerak sendiri, atau daya geraknya lemah sehingga mudah terpengaruh
olehgelombang atau arus air. Beberapa fitoplankton laut diantaranya adalah :
“Asterionella, Amphiphora, Bacillaria,  Coscinodiscus,Dytilum, Eucampia,
Guinardia, Hemiaulus, Licmophora, Mastogloia, Nitzschia,
Planktoniella, Pleurosigma, Rhizosolenia, Skeletonema,
Surirella, Thalassionema,Thalassiosira, (Diatom),

6
Amphisolenia,  Ceratium,  Ceratocory, Dinophysis,Gonyauulax, Gymnodinium,
Noctiluca, Ornithocerus, Peridinium, Prorocentrum, dan Pyrocycistis
(Dianoflagellata).

2. Konsumen yaitu organism yag tidak dapat membuat makanannya


sendiri(heterotropik) sehingga harus mengambil makannya dari organisme
produsen. Di dalam ekosistem mangrove, organisme konsumen terdiri atas :
a. Zooplankton atau plankton hewani, misalnya : Tintinnopsis,
Dyctiota, Rhabdonella, Globigerina, Aulosphaera, (protozoa), Calanus,
Centropages, Oithona, Euchaeta, Evadne, Pyrocypris, Lucifer (crustacean),
Clione, Carinaria, Janathina (moluska), dan beberapa larvaikan yang masih
bersifat planktonik (iktioplankton). 
b. Bentos yaitu organism yang hidup di dasar ekosistem mangrove. Bentosdapat
dibedakan atas epifauna (hidup di atas permukaan dasar) dan infauna
(hidup membenamkan diri di dalam dasar).
c. Neuston yaitu organism yang hidup pada daerah permukaan air.
d. Perifiton yaitu organism yang hiodup pada batang, daun, atau akartumbuhan
yang terdapat di dalam ekosistem mangrove.
e. Nekton yaitu organism yang dapat berenang masuk ke dalam dan keluardari
kawasan ekosistem mangrove.

D. Mangrove di Indonesia
Menurut Dahuri (2003), kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara
merupakan pusat penyebaran hutan mangrove dunia. Kawasan ini mewakili 25%
dari luas mangrove dunia, dan 75% dari luas mangrove di Asia Tenggara. Sampai
saat ini wilayah Indonesia masih diakui sebagai wilayah yang memiliki habitat
mangrove terluas di dunia. Purnobasuki (2005) menjelaskan, luas hutan
mangrove di Indonesia berdasarkan penafsiran potret udara dan citra satelit serta
inventarisasi yang telah dilakukan mencapai ±4,251 juta ha dengan daerah
penyebaran utama adalah pantai timur Pulau Sumatra (Aceh, Riau, Sumatra

7
Utara, Jambi, Sumatra Selatan, dan Lampung), muara-muara sungai di
Kalimantan Barat, Kalimantan timur, pantai timur dan tenggara Kalimantan
Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Papua. Luas hutan mangrove yang telah
ditunjuk sebagai kawasan konservasi adalah seluas 738.175 ha atau hanya 17,3
% dari luas seluruh hutan mangrove di Indonesia.
Sejauh ini di Indonesia tercatat setidaknya 202 jenis tumbuhan mangrove,
meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah,
44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33
jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true
mangrove), sementara jenis lain ditemukan disekitar mangrove dan dikenal
sebagai jenis mangrove ikutan (associate asociate) (Noor dkk, 2006).
Bakau (Mangrove) merupakan suatu komponen ekosistem yang terdiri
atas komponen mayor dan komponen minor. Komponen mayor merupakan
komponen yang terdiri atas mangrove sejati, yakni mangrove yang hanya dapat
hidup di lingkungan mangrove (pasang surut). Komponen minor merupakan
komponen mengrove yang dapat hidup di luar lingkungan mangrove (tidak
langsung kena pasang surut air laut). Mangrove yang merupakan komponen
mayor disebut juga dengan mangrove sejati, sedangkan mangrove yang termasuk
komponen minor disebut dengan mangrove ikutan (Erlin, 2011).
Yang termasuk mangrove sejati menurut Noor dkk (2006), meliputi :
Acanthaceae, Pteridaceae, Plumbaginaceae, Myrsinaceae, Loranthaceae,
Avicenniaceae, Rhizophoraceae, Bombacaceae, Euphorbiaceae, Asclepiadaceae,
Sterculiaceae, Combretaceae, Arecaceae, Myrtaceae, Lythraceae, Rubiaceae,
Sonneratiaceae, Meliaceae. Sedangkan untuk mangrove tiruan meliputi :
Lecythidaceae, Guttiferae, Apocynaceae, Verbenaceae, Leguminosae,
Malvaceae, Convolvulaceae, Melastomataceae.
Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang
banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau
(Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau pedada (Sonneratia

8
sp.), merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis
mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan
endapan dan menstabilkan tanah habitatnya (Irwanto, 2006).
E. Fungsi mangrove meliputi fungsi fisik, fungsi kimia, fungsi biologi, fungsi ekonomi
Arifin (2008) menjelaskan tentang fungsi dan manfaat hutan mangrove secara
garis besar dibedakan menjadi lima, yaitu:
1. Fungsi fisik, contohnya: menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi
pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi, dan menahan atau
menyerap tiupan angina kencang dari laut ke darat.
2. Fungsi kimia, contohnya: sebagai tempat terjadinya proses daur ulang dan
menghasilkan oksigen dan sebagai penyerap karbondioksida.
3. Fungsi biologi, contohnya: Sebagai penghasil bahan pelapukan yang
merupakan sumber makanan penting bagi hewan invertebrate kecil pemakan
bahan detiritus (pelapukan) dan sebagai habitat alami bagi berbagai jenis biota
darat dan laut lainnya.
4. Fungsi ekonomi, contohnya: penghasil bahan baku industry, seperti kertas,
makanan, obat – obatan, alcohol, kosmetik dan zat pewarna.
5. Fungsi lain (wanawisata), contohnya: sebagai kawasan wisata alami pantai
dengan keindahan vegetasi dan satwa, serta berperahu sekitar mangrove dan
sebagai tempat Pendidikan, konservasi, dan penelitian.

F. Potensi pengembangan sumber pangan


Sumber daya alam yang melimpah  disekitar pantai, yaitu tanaman  mangrove
dapat mejadi bagian  untuk memenuhi kebutuhan pangan,maka hutan mangrove dapat
pula menyediakan pangan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia
makanan bagi biota laut, penahan abrasi pantai, penahan gelombang pasang dan
tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, hutan mangrove juga bisa
berfungsi untuk menyediakan kebutuhan pangan penduduk di sekitarnya.

9
Masyarakat umum belum begitu mengenal akan potensi hutan mangrove sebagai
penghasil cadangan pangan untuk membantu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat
pesisir. Bagi masyarakat yang tinggal dan berinteraksi dengan hutan mangrove dalam
kehidupan sehari-hari,sudah sangat paham akan manfaat mangrove sebagai sumber
cadangan pangan.
Masyarakat pesisir secara tradisional sudah sejak dulu telah memanfaatkan
mangrove sebagai pengganti nasi. Ketika negara Indonesia mengalami krisis pangan
pada tahun 1963 sampai 1965, masyarakat pesisir memanfaatkan mangrove sebagai
bahan pangan. Masyarakat meyakini bahwa buah mangrove bisa dimakan dan tidak
beracun karena secara logika buah ini sering dimakan oleh satwa yang hidup
didalamnya misalnya kera, burung dan ular pohon.Sebagai contoh, beberapa
masyarakat pesisir  sudah biasa memanfaatkan buah mangrove sebagai pengganti nasi.
Maka buah mangrove jenis ini dapat pula  sebagai komoditi agrobisnis andalan masa
mendatang, sehingga perlu dukungan kajian ilmiah untuk mendukung
pengembangannya. Komoditi ini akan menjadi komoditi alternatif pengganti beras dan
ubi yang akan digunakan jika sewaktu-waktu terjadi gagal panen.
Komposisi buah mangrove jika dibandingkan dengan singkong, ubi jalar, beras
dan sagu, maka komposisi buah mangrove lebih menyerupai singkong, dimana
kandungan karbohidratnya hampir sama, yaitu 92 %.  juga sebagai penyedia
karbohidrat maupun sebagai bahan baku industri, kendala yang dihadapi adalah jika
dibandingkan dengan komoditi lain misalnya beras atau ubi, pengolahan buah
mangrove cukup rumit dan membutuhkan waktu yang lama.  
Pemanfaatan pangan lokal wilayah pesisir seperti buah mangrove sangatlah
diperlukan. Buah mangrove jenis lindur (Bruguiera gymnorrhiza Lamk.) dapat
dieksplorasi sebagai sumber pangan lokal baru terutama di daerahdaerah yang
memiliki potensi hutan mangrove yang luas, tetapi harus memperhatikan dan menjaga
kelestarian dari ekosistem hutan mangrove tersebut. Buah lindur memiliki bentuk buah
yang silinder, licin, dengan diameter 1,7–2,0 cm, panjang 20-30 cm, berwarna hijau
gelap hingga keunguan dengan bercak coklat. Kelopak buah menyatu saat buah jatuh,

10
buah lindur berbuah sepanjang tahun tetapi masa puncaknya pada bulan Juli-Agustus,
dengan pohon yang kokoh dan tingginya mencapai 35 meter, pohon yang berumur 2
tahun sudah produktif menghasilkan buah. Buah lindur dan api-api memiliki
kandungan karbohidrat dan pati yang lebih tinggi dari jenis buah mangrove lainnya.
Kalori yang terkandung dalam buah lindur (Bruguiera gymnorrhiza Lamk.) yaitu,
kadar air 74%, lemak 1,2%, protein 1,1%, dan karbohidrat 23,5% (BPHM, 2012). Buah
lindur (Bruguiera gymnorrhiza Lamk.) mempunyai peluang untuk dieksplorasi sebagai
bahan pangan alternatif karena mengandung karbohidrat yang tinggi sehingga dapat
diolah menjadi tepung.
Mangrove jenis Osbornia octodonata biasanya digunakan sebagai bumbu
penyedap masakan, bagian yang dimanfaatkan adalah daunnya. Ada pula mangrove
jenis Avicennia marina, yang buahnya biasa digunakan sebagai sayuran. Kandunagan
pati dari buah Kandelia candel dan Bruguiera gymnorrhiza menghasilkan pasta yang
enak bisa dibuat kue atau roti kering. Cara memperoleh pastanya adalah dengan
memotong kecil-kecil buah Kandelia candel dan Bruguiera gymnorrhiza kemudian
direndam dalam air dan dicuci taninnya. Daun muda tanaman mangrove jenis
Acrostichum dan hipokotil Bruguiera merupakan makanan pokok pada beberapa suku
di Irian. Tanaman mangrove jenis Metroxylon sagu juga merupakan makanan pokok.
Pada bagian batang dapat menghasilkan sagu yang lezat. Cairan nira dari mangrove
jenis Nypa dan Borassus dapat dibuat tuak yang memabukkan. Cairan nira yang keluar
dari Nypa dapat menghasilkan gula, yang selanjutnya dapat difermentasi menjadi
alkohol dan cuka. Hasli lain yang dapat dimanfatkan dari tanaman ini adalah minyak
goreng (Setyawan, 2002). Mangrove lain yang dapat diolah menjadi produk makanan
antara lain jenis Pidada (Somnneratia spp) yang dapat diolah menjadi sabun, sirup,
selai, dodol.
G. Kondisi mangrove saat ini (kerusakan, eksploitasi, alih fungsi) dampak kerusakan
Menurut (DKP, 2008) tingkat kerusakan ekosistem mangrove dapat dikategorikan
menjadi tiga kondisi, yaitu rusak berat, rusak sedang dan tidak rusak. Kondisi
mangrove rusak berat ditandai: habisnya hutan mangrove yang rusak berat, rusaknya

11
keseimbangan ekologi, intrusi air laut yang tinggi dan menurunnya kualitas tanah. Ciri
rusak sedang: masih tersisa sedikit hutan mangrove dalam satu wilayah, keseimbangan
ekologi dalam tingkatan sedang dan intrusi yang terjadi tidak terlalu parah. Sedangkan
untuk ekosistem mangrove yang tidak rusak dicirikan dengan tutupan area pohon
tinggi, siklus energi berjalan baik dan keseimbangan lingkungan terjaga
Alih fungsi hutan mangrove ke dalam pemanfaatan lain akan memberikan dampak
yang sangat luas. Pengambilan manfaat hasil hutan dan alih fungsinya mangrove dapat
memberikan peningkatan pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja, tapi di lain
pihak, akan terjadi penyusutan luas hutan mangrove, dimana pada akhirnya dapat
mengganggu ekosistem perairan kawasan sekitar. Penggunaan tambak secara terus
menerus untuk budidaya akan menurunkan produktivitas ikan maupun udang karena
daya dukung dan daya tampung lingkungan yang tidak mampu lagi menopang
pertumbuhan (Abubakar, 2008). Menurunnya daya dukung lingkungan disebabkan
karena penggunaan pakan yang berlebih, pemakaian obat-obatan dan pupuk anorganik
secara terus menerus selama kegiatan budidaya ikan di tambak berlangsung tanpa
terkendali. Dengan hilangnya hutan mangrove maka limbah tambak akan sulit
terdekomposisi, sebagaimana fungsi alami hutan mangrove sebagai biofilter yang
mampu mengurangi limbah dari pesisir, sehingga tidak terjadi proses alamiah dalam
pengolahan limbah tambak tersebut (Kordi, 2012).
Konversi lahan merupakan berubahnya sebagian atau seluruh kawasan lahan dari
fungsi sebelumnya menjadi fungsi lain, yang dapat memberikan dampak negatif
terhadap lingkungan (Arizona and Tandjung, 2009). Demikian juga dengan perubahan
lahan mengrove menjadi lahan tambak, disebut juga dengan konversi lahan sebab
berubahnya fungsi lahan sebagai ekosistem mangrove, berubah fungsi menjadi lahan
tambak perikanan. Meningkatnya populasi manusia yang terkonsentrasi pada garis
pantai, akan menggeser vegetasi asli. Seperti dijelaskan (Romañach et al., 2018)
konversi habitat mangrove untuk pertanian dan perikanan merupakan faktor utama
hilangnya mangrove. Faktor lainnya yang berdampak langsung adalah pertambangan
dan eksploitasi yang berlebihan dari kayu, termasuk penebangan. Sedangkan dampak

12
tidak langsung termasuk faktor-faktor seperti perubahan di air tawar atau arus pasang
surut, polusi dari eksplorasi minyak, dan run off dari limbah padat. Hasil kajian
(Raharjo et al., 2015) juga menunjukkan bahwa daerah yang mengalami kerusakan
ekosistem bakau, mengalami abrasi yang lebih parah daripada daerah yang tidak
mengalami kerusakan/ mengalami relatif lebih sedikit. Sedangkan pada daerah yang
rehabilitasi mangrovenya berhasil justeru mengalami akresi.
Perubahan ekosistem mangrove akibat kegiatan antropogenik, seperti konversi
mangrove menjadi tambak akan berpengaruh pada perubahan iklim seperti: banjir
pesisir, topan, kekeringan, curah hujan, naiknya permukaan laut hingga fluktuasi suhu
pantai (Ahmed and Glaser, 2016). Perubahan variabel iklim ini tentu berpengaruh
terhadap ekosistem tambak itu sendiri, dimana ikan sangat sensitif terhadap perubahan
ekologi sehingga mempengaruhi kelangsungan hidup, pertumbuhan serta produksinya

H. Dampak kerusakan
Kerusakan hutan mangrove ini menimbulkan dampak bagi kehidupan di dalam
kawasan maupun di luar kawasan hutan adalah:
1. Hilangnya pelindung pantai  dari angin, arus dan ombak laut, sehingga apabila
musim   angin kencang, atap-atap rumah penduduk sekitar banyak yang rusak.
Diwaktu pasang besar air laut dapat masuk kepemukiman penduduk sehingga
terganggunya aktifitas.
2. Intruksi air laut. Dampak intruksi air laut sangat penting karena bercampurnya air
laut dan air tawar dapat tercemar, tidak baik untuk dikosumsi karena bisa
menyebabkan keracunan dan dapat merusak perakaran tanaman sehingga dapat
menyebabkan kematian. 
3. Terancamnya regenerasi ikan dan udang diperairan lepas pantai, karena hutan
bakau sebagai nursery ground larva atau stadium muda ikan dan udang. Dampak
ini langsung dapat dirasakan oleh nelayan karena semakin berkurangnya hasil
tangkapan.

13
Permasalahan-permasalahan hutan di Indonesia disebabkan penebangan liar dan
ilegal, sedikitnya reboisasi yang dilakukan dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk
menjaga dan melestarikan hutan sehingga menimbulkan dampak:
1. Rendahnya kualitas oksigen. Dampak dari rusaknya hutan adalah rendahnya
kualitas oksigen, karena tumbuhan berperan penting dalam pembentukan oksigen.
2. Pemanasan global. Zat carbon yang ditimbulkan industri, pembakaran dan knalpot
kendaraan tidak dapat diubah menjadi oksigen karena semakin sedikitnya
tumbuhan.
3. Pengikisan tanah disekitar pantai, disebabkan oleh gelombang laut. Abrasi
akan  menjadi jika pohon yang ada disekitar pantai jumlahnya sedikit bahkan tidak
ada sama   sekali.
4. Kehidupan manusia menjadi terganggu. Habitat fauna yang rusak akibat hutan
rusak membuat fauna yang ada didalamnya keluar  menyelamatkan diri atau
pindah dari habitat yang rusak, tidak jarang fauna tersebut kedalam perkampungan
penduduk. 
5. Sumber daya menjadi langka. Sumber daya yang dimaksud adalah hewan dan
tumbuhan.
6. Menurunnya kualitas kesehatan.

I. Upaya rehabilitasi mangrove


Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No.03/MENHUT-V/2004 rehabilitasi
hutan mangrove adalah upaya mengembalikan fungsi hutan mangrove yang mengalami
degradasi, kepada kondisi yang dianggap baik dan mampu mengemban fungsi ekologis
dan ekonomis.
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep
utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep ini pada dasarnya memberikan legitimasi
dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan
agar dapat tetap lestari. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove
dan rehabilitasi hutan mangrove.

14
Kegiatan penghijauan yang dilakukan terhadap utan-hutan yang telah gundul,
merupakan salah satu upaya rehabilitasi yang bertujuan bukan saja untuk
mengembalikan nilai estetika, namun yang paling utama adalah untuk mengembalikan
fungsi ekologis kawasan hutan mangrove tersebut. Kegiatan seperti ini menjadi salah
satu andalan kegiatan rehabilitasi di beberapa kawasan hutan mangrove yang telah
ditebas dan dialihkan fungsinya kepada kegiatan lain. Kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove sendiri telah dirintis sejak tahun 1960 di kawasan pantai utara Pulau Jawa.
Sekitar 20.000 ha hutan mangrove yang rusak di pantai utara Pulau Jawa
dilaporkan telah berhasil direhabilitasi dengan menggunakan tanaman
utama Rhizophora spp dan Avicennia spp dengan persentumbuh hasil penanaman
berkisar antara 60-70%.
Rehabilitasi hutan mangrove dilaksanakan untuk memulihkan dan meningkatkan
fungsi lindung, fungsi pelestarian dan fungsi produksi (Kementrian Lingkungan Hidup,
1994). Program rehabilitasi dan konservasi dimaksudkan untuk memulihkan atau
memperbaiki kualitas tegakan yang sudah rusak serta mempertahankannya. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk menjaga fungsi hutan baik sebagai penghasil kayu,
penjaga intrusi air laut, abrasi, serta sebagai penyangga kehidupan tetap terjaga (Aqsa,
2010).
Rehabilitasi hutan mangrove merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan
mangrove yang merupakan bagian integral dari pengelolaan kawasan pesisir secara
terpadu yang ditempatkan pada kerangka Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit
manajemen. Penyelenggaraan rehabilitasi hutan mangrove yang dimaksud ditujukan
untuk memulihkan sumberdaya hutan yang rusak sehingga berfungsi optimal dalam
memberikan manfaat kepada seluruh pihak yang berkepentingan, menjamin
keseimbangan lingkungan dan tata air Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kawasan
pesisir, mendukung kelangsungan industri berbasis sumberdaya mangrove. Tujuan
tersebut dapat dicapai jika penanganan kawasan dilakukan secara tepat, adanya
kelembagaan yang kuat, dan teknologi rehabilitasi yang tepat guna berorientasi pada
pemanfaatan yang jelas (DKP, 2010).

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Mangrove merupakan vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut,
tumbuhan yang hidup diantara lautan dan daratan
2. Jenis mangrove yang biasa ditemukan di Indonesia seperti Avicennia, Bruguiera,
Ceriops, Rhizophora dan Sonneratia
3. Di Indonesia, sudah banyak terjadi kerusakan hutan mangrove terutama akibat alih
fungsi sehingga tidak lagi memiliki fungsi
4. Dampak kerusakan mangrove antara lain hilangnya pelindung pantai  dari angin,
arus dan ombak laut, intruksi air laut, terancamnya regenerasi ikan dan udang
diperairan lepas pantai
5. Upaya rehabilitasi mangrove, melalui Peraturan Menteri Kehutanan
No.03/MENHUT-V/2004 rehabilitasi hutan mangrove
B. Saran
Hutan mangrove harus dapat digunakan secara bijak sehingga dapat memberikan
dampak positif terhadap kehidupan manusia

16
DAFTAR PUSTAKA

https://kkp.go.id/djprl/p4k/artikel/19048-karakteristik-masyarakat-pesisir-dan-pulau-pulau-
kecil
https://dlhk.bantenprov.go.id/read/article/261/Buah-Mangrove-Sebagai-Sumber-Pangan-
Alternatif.html
https://himiteka.lk.ipb.ac.id/2017/10/02/zonasi-mangrove/
https://kkp.go.id/djprl/bpsplpadang/page/1349-pengenalan-jenis-mangrove
https://myforestblogasta.blogspot.com/2018/01/dampak-kerusakan-hutan-mangrove.html

17

Anda mungkin juga menyukai