Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang menganut dasar kesejahteraan sosial sesuai
dengan yang tertera dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
mengamanatkan bahwa tujuan didirikan Negara Republik Indonesia antara lain adalah
untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat
tersebut mengandung makna bahwa Negara Indonesia berkewajiban untuk
menyejahterakan kehidupan setiap warga negara/masyarakat melalui suatu system
pemerintahan yang mendukung terciptanya pelayanan publik yang berkualitas dalam
rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat guna mencapai sebuah kesejahteraan.
Ada banyak faktor yang mengakibatkan pelayanan publik di Indonesia tidak
dapat memenuhi keinginan masyarakat, diantaranya adalah kurangnya infrastruktur
pelayanan barang dan jasa publik. Dalam pelayanan barang publik
misalnya, pembangunan infrastruktur rumah sakit.
Kemitraan yang dilakukan didasarkan karena pemerintah mempunyai berbagai
keterbatasan dalam memecahkan permasalahan yang semakin beragam. Keterbatasan
tersebut berupa anggaran, sumberdaya, teknologi dan lain sebagainya. Dengan
demikian, pemerintah melakukan kerjasama dengan sektor lain terutama sektor swasta
Kemitraan dalam aspek perspektif New Public Management (NPM) yang
dikemukakan oleh (Christensen, J. and Leargreid, 2001) menuntut birokrasi publik
menggunakan cara mengarahkan (steering) daripada mengayuh (rowing). Gagasan
NPM menekankan perlu keterlibatan unsur dari stakeholder (pemerintah, swasta,
masyarakat) secara holistik dalam mengelola urusan publik khususnya masalah
sampah demi terwujudnya kota yang bersih, dan sehat. Kata kunci governance adalah
consensus building dan akomodasi kepentingan sebagai basis membangun sinergitas,
mendorong penguatan lembaga swasta dan komunitas masyarakat (civil society) untuk
terlibat dalam proses pembangunan. Hubungan antara kekuasaan pemerintah, swasta
dan masyarakat menjadi otonom dan horizontal. Implikasinya terjadi negoisasi
kepentingan menjadi sentral dari setiap perumusan, pengambilan dan implementasi
kebijakan publik.
Pemerintah harus lebih respon dan inovatif dalam menjawab kebutuhan dan
keinginan masyarakat. Persepsi selama ini cenderung menganggap masyarakat yang
konsumtif. Tetapi masyarakat harus dilihat sebagai pihak yang memiliki peran
sekaligus mitra pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
publik. Untuk itu, keterlibatan swasta, masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan
publik khususnya pengelolaan kebersihan terutama sampah menjadi sebuah keharusan.
Hal sejalan dengan pandangan (Keban, 2008), para administrator harus melihat warga
negara bukan sebagai pelanggan sehingga dapat saling membagi otoritas dan
melonggarkan kendali serta percaya terhadap pentingnya kolaborasi kemitraan. Para
administrator harus membangun Trust dan bersikap responsive terhadap kepentingan
dan kebutuhan masyarakat dan bukan semata mencari efisiensi yang lebih tinggi,
tetapi keterlibatan warga masyarakat dilihat sebagai investasi.
Hakikat dari dilaksanakannya kemitraan adalah bahwa kemitraan dapat
menyebabkan program menjadi lebih efektif (Brinkerhoff & Brinkerhoff, 2011). Hal
senada disampaikan oleh (McQuaid, 2000) bahwa kemitraan mempunyai potensi
manfaat yang besar seperti efektif dan efisien dalam meningkatkan program maupun
layanan publik, adanya pengalihan sumberdaya pada masing-masing mitra, serta
menyebabkan legitimasi yang besar terutama pelibatan aktor lain dalam kemitraan.
Setidaknya menurut The Shorter Oxford Dictionary (Davis & Meltzer, 2007) terdapat
karakteristik kemitraan yang dipandang efektif meliputi adanya kerjasama yang erat
diantara mitra dengan partisipasi dan keterlibatan diantara mitra, adanya pembagian
peran/kewenangan, mempunyai kemampuan, terdapat tujuan, adanya negosiasi,
adanya kepercayaan dan saling menghormati, keterbukaan dan kejujuran serta
kemunikasi yang baik diantara mitra. Walaupun demikian, menurut beberapa
penelitian, ada kalanya kemitraan yang dilakukan antara pemerintah dan swasta
mengalami ketidakefektifan dan tujuan yang tidak tercapai.
Penelitian yang dilakukan oleh (Klijn & Teisman, 2003) menunjukkan adanya
kelemahan dalam pelaksanaan kemitraan di Belanda. Kelemahan tersebut diantaranya
kesulitan dalam pengorganisasian dan pembuatan keputusan bersama dan praktek
kemitraan itu sendiri. (S. Osborne, 2000) pun mengungkapkan bahwa kemitraan tidak
akan efektif jika kondisi yang menunjukkan ketiadakjelasan tujuan bersama,
ketidaksetaraan posisi dalam kemitraan, serta masalah pengorganisasian kemitraan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kemitraan yang tidak berhasil untuk
dilakukan. (Rasdi & Kurniawan, 2019) menyatakan bahwa kemitraan terutama yang
dilakukan di Indonesia tidak berjalan dengan baik dikarenakan ketiadaan prinsif
transparansi dan akuntabilitas. Penyebab kegagalan tersebut berupa aturan yang tidak
dilaksanakan sesuai dengan semestinya, serta kompetensi dan kapabilitas lembaga
yang tidak mencukupi, budaya yang tidak mendukung, serta praktek KKN yang
semakin meluas. Selain itu, kemitraan pemerintah dan swasta juga dapat memberikan
dampak negatif berupa potensi kerugian sebagaimana disampaikan oleh (McQuaid,
2000) yaitu ketiadaan tujuan yang jelas, potensi pengeluaran biaya sumberdaya yang
besar disebabkan oleh pembahasan dalam pembuatan perjanjian dan keputusan,
kekuatan atau kewenangan yang tidak setara diantara mitra (unequal power), upaya
merebut kekuatan dalam melakukan kemitraan (Cliques usurping power), dampak dari
pelayanan publik yang mempengaruhi kemitraan (Impacts on other services),
kesulitan organisasi dalam melakukan koordinasi diantara mitra, serta mempunyai
nilai yang berbeda diantara mitra yang saling bekerjasama.
Untuk melihat kemitraan ini maka dilakukan penelitian kemitraan pemerintah
dan swasta dalam meningkatkan Service Quality pada Rumah Sakit. Oleh karena ini,
makalah ini berusaha untuk menjawab keluhan masyarakat tentang pengelolaan rumah
sakit oleh pemerintah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas maka rumusan
masalah dari penelitian ini adalah :
“Bagaimanakah Model Mitra government dan private Partnership Dalam
Meningkatkan Service Quality Pada Rumah Sakit ”
C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menentukan model ideal Mitra government dan
private Partnership Dalam Meningkatkan Service Quality Pada Rumah Sakit.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Governance dan Kemitraan


Konsep governance tidak sekedar melibatkan pemerintah dan Negara, tetapi juga
peran berbagai aktor di luar pemerintah dan negara sehingga pihak-pihak yang terlibat
juga sangat luas. Konsep governance tersebut, menegaskan bahwa dalam tatanan
pengelolaan kepemerintahan, ada tiga pilar governance, yaitu pemerintah, swasta, dan
masyarakat.Governance lebih merupakan kondisi yang menjamin adanya proses
kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran serta adanya saling
mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen yakni : pemerintah (government),
rakyat (citizen), dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta (Taschereau
dan Campos, 1997 dalam (Thoha, 2008). Sedangkan dalam konsep government,
Negara merupakan institusi publik yang mempunyai kekuatan memaksa secara sah
yang merepresentasikan kepentingan publik.
Governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial
yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non pemerintah dalam suatu
kegiatan kolektif.Selanjutnya dijelaskan governance merupakan praktek
penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan
urusan pemerintah secara umum dan pembangunan ekonomi pada khususnya.
Pengertian governance yang dikemukakan oleh UNDP tersebut, menurut
(Lembaga Administrasi et al., 2000) mempunyai tiga kaki yaitu ekonomi, politik, dan
administratif. Economic governance mencakup proses pembuatan keputusan yang
mempengaruhi aktivitas ekonomi Negara atau berhubungan dengan ekonomi lainnya
baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Olehnya itu, economic
governance memiliki pengaruh atau implikasi terhadap equity, poverty, dan quality of
life. Political governance merujuk pada proses pembuatan keputusan dan
implementasi kebijakan suatu negara/pemerintah yang legitimate dan authoritative.
Karena itu, negara terdiri atas tiga cabang pemerintahan yang terpisah, yaitu legislatif,
eksekutif, dan yudisial yang mewakili kepentingan politik pluralis dan membolehkan
setiap warga negara memilih secara bebas wakil-wakil mereka. Administrative
governance adalah system implementasi kebijakan yang melaksanakan sektor publik
secara efisien, tidak memihak, akuntabel, dan terbuka.
Dari uraian tersebut, maka unsur utama yang dilibatkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan menurut UNDP terdiri atas tiga macam, yaitu the state
(Negara/pemerintah), the private sector (swasta), dan civil society organization
(organisasi masyarakat). Hubungan diantara ketiga unsur utama dalam
penyelengaraan governance tentunya saling mempengaruhi, saling membutuhkan,
atau bahkan saling ketergantungan dalam upaya mewujudkan kepemerintahan yang
baik. Meskipun konsep governance lebih menonjolkan adanya interaksi sinergis
antara berbagai aktor (state-society-privat) namun (Pierre, J & Peters, 2000) memiliki
pandangan yang agak berbeda mengenai governance. Dalam pandangan mereka,
governance tetap merupakan pendekatan yang state-centric karena menurutnya
pemerintah tetap merupakan pusat kekuatan dan aktor politik dalam masyarakat serta
lebih berpengaruh dalam pengungkapan kepentingan umum. Selanjutnya Pierre dan
Peters menyatakan keyakinan mereka bahwa peran pemerintah (state) tidak akan
berkurang, hanya mengalami transformasi dari peran berbasis kekuasaan
konstitusional menjadi peran berbasis koordinasi dan integrasi antara sumber daya
publik dan privat. Dengan demikian, proses governance tidak semata-mata
dimonopoli oleh Negara, namun juga peran penting sektor swasta dan civil society.
Sektor swasta dan pasar memilki peranan yang penting dalam pembangunan,
sedangkan civil society yang merupakan hasil kreasi masyarakat, menyediakan
mekanisme check out balances yang penting terhadap kekuasaaan pemerintah dan
pada sektor swasta, namun mereka juga dapat memberikan kontribusi ataupun
memperkuat keduanya.
Dasar pemikiran kemitraan pada dasarnya berada dalam argument tentang peran
dan posisi negara yang berelasi dengan masyarakat. Hal ini jelas terlihat perspektif
New Public Services oleh (Denhardt, JV & Denhardt, 2007), bahwa pemenuhan
kebutuhan publik (masyarakat) dilakukan bersama-sama antara pemerintah, swasta,
dan masyarakat itu sendiri. Pada tahun 1990-an mulai dirasakan kebutuhan untuk
merubah organisasi publik menjadi tidak terlalu hierarkhis, semakin desentralisasi,
dan mau menyerahkan peranan dan kebijakan kepada sektor swasta. Perkembangan
teori administrasi selanjutnya mengarah pada penggunaan manajemen berbasis pasar
dan teknik alokasi sumberdaya, semakin mengandalkan pada organisasi sektor swasta
untuk menyampaikan pelayanan publik dan berusaha merampingkan dan melakukan
desentralisasi.
Implikasi dari perubahan kondisi tersebut adalah berkembangnya teori
Governance dan New Public Management dalam administrasi publik mendorong tata
pengelolaan dengan memperhatikan prinsip-prinsip manajemen yang efektif dan
efisien. (Kapucu, 2010) bahwa studi governance mempunyai dua kajian yaitu: (1)
institusionalisme yang menegaskan bahwa susunan struktural membentuk perilaku di
dalam organisasi, menentukan kinerja organisasi, struktur hubungannya dengan aktor
eksternal. (2) studi jaringan, menekankan pada peranan bermacam-macam aktor
dalam negosiasi jaringan, implementasi. Hal ini senada dengan Peter dan Pierre
(1998), ada empat karakteristik governance yaitu: (a) dominasi jaringan, dominasi
kumpulan aktor yang mempengaruhi bagaimana barang dan jasa publik diproduksi,
(2) kapasitas pemerintah melakukan pengendalian langsung menurun, (3) campuran
dari sumber daya publik dan swasta, (4) menggunakan metode tradisional dalam
membuat dan mengimplementasikan kebijakan public
Implementasi teori Governance dan NPM dalam bukunya (D. and G. T. Osborne,
1992) tentang Reinventing Government menekankan 10 prinsip dalam
mentransformasi birokrasi yang bercirikan kinerja organisasi privat, yaitu: (1)
Pemerintah kapitalis; yang lebih mementingkan pengarahan (steering) dari pada
pengerahan (rowing), (2) pemerintah miliki rakyat; lebih memberi wewenang dari
pada melayani, (3) pemerintah kompetitif yang menyuntikan persaingan dalam
memberikan pelayanan, (4) pemerintah yang digerakkan oleh misi bukan aturan, (5)
pemerintah yang berorientaasi hasil, membiayai hasil dan bukan membiayai masukan,
(6) pemerintah yang beorientasi pelanggan (masyarakat) bukan 11 kebutuhan
birokrasi, (7) pemerintah wirausaha; menghasilkan ketimbang pembelajakan, (8)
pemerintah partisipatif, mencegah dari pada mengobati (9) pemerintah desentralisasi,
(10) pemerintah yang berorientasi pada pasar.
Dalam teori Democratic Citizenship oleh (Denhardt, JV & Denhardt, 2007),
mendorong pemerintah untuk memaksimalkan nilai partisipasi dan kemitraan baru
(new partnership) kepada implementasi kebijakan publik. Pemerintah memberikan
ruang besar pelibatan warga negara untuk berpartisipasi dengan beberapa alasan: (a)
partisipasi berbagai pihak akan membantu menemukan harapan yang ingin dicapai
oleh warga negara, (b) partipasi berbagai pihak akan meningkatkan kualitas pelayanan
karena pemerintah akan memiliki sumber daya yang lebih besar, informasi, dan
kreativitas, (c) partisipasi yang besar akan membantu proses implementasi kebijakan,
(d) partisipasi yang besar akan meningkatkan kebutuhan warga negara untuk
transparansi dan akuntabilitas, (e) partisipasi yang besar akan meningkatkan
kepercayaan publik pada pemerintah, (f) partisipasi yang besar akan menumbuhkan
masyarakat informasi, (g) partisipasi yang besar akan menciptakan kemungkinan
pengembangan kemitraan baru antara pemerintah dan masyarakat, (h) partisipasi yang
besar akan menghasilkan publik yang melek informasi.
Menurut (Denhardt, JV & Denhardt, 2007) kemitraan antara pemerintah dan
warga negara, baik sebagai pelaku ekonomi privat maupun sebagai kekuatan civil
society, muncul dalam partisipasi yang didalamnya terdapat citizen power. Denhardt
and Denhardt mengoperasionalkan basis teori demokrasi citizenship tersebut diatas
dalam pendekatan baru administrasi public yang diberi nama New Public Service.
Partisipasi aktif adalah suatu hubungan yang berdasarkan pada suatu kemitraan 12
(partnership) dengan masyarakat dimana warga negara secara aktif mendefinisikan
proses dan isi dari pembuatan kebijakan. Di dalam hal ini ada pengakuan kesamaan
kedudukan untuk warga negara dalam menentukan agenda, usulan atas pilihan-
pilihan kebijakan dan pembentukan dialog-dialog kebijakan. Letak tanggung jawab
pengelolaan negara berada pada kekuatan kemitraan antara pemerintah dan warga
negara.Walaupun demikian, tanggung jawab akhir dalam pengambilan keputusan dan
perumusan kebijakan tetap berada di tangan pemerintah.
Basis pengelolaan dan argument pemerintah untuk bermitra dengan masyarakat
dan swasta, bukan dengan pendekatan berbasis pasar (market mechanism) tetapi lebih
pada pendekatan berbasis politik. (Denhardt, JV & Denhardt, 2007) menyebutkan
kepentingan utama pemerintah melakukan kemitraan adalah dalam rangka mencapai
tujuan kebijakan melalui pengembangan koalisi antara public, lembaga non profit dan
swasta untuk mencapai kesepakatan bersama dalam mewujudkan tujuan kebijakan.
Bell dan Watkins (1996) yang menyebutkan bahwa kemitraan tersebut berada
dalam ruang pembatasan 4 tipologi hubungan interorganisasi, yaitu : a. Kompetisi, b.
Kooperasi, c. Koordinasi, d. Kolaborasi. Menurut (Jamal, El Ahmas dan Getz, 1995)
yang diperlukan dalam partnership adalah kolaborasi bukan kooperasi (kerjasama)
dalam jangka pendek. (Mahmud, 2001) dalam kajiannya tentang organisasi kerjasama
di Shanghai, menunjukkan bahwa kemitraan merupakan suatu model kerjasama baru,
model ini berbeda dengan aliansi strategik. Konsep kemitraan mempunyai pengertian
yang berbeda dan mendasarkan pada keseimbangan kekuasaan antar partisipan.
Dengan pendekatan ini Shanghai Cooperation Organization lebih banyak membuat
kemitraan dari pada melakukan perluasan organisasi. Sistem kemitraan bertumpu pada
kepercayaan, dengan ciri- cirinya antara lain (a) persamaan dan organisasi yang lebih
landai, (b) hirarki aktualisasi yang luwes (dimana kekuasaan dipedomani oleh nilai-
nilai seperti caring dan care taking), (c) spiritual yang berbasis alamiah, (d) tingkat
kekacauan yang rendah yang terbentuk dalam sistem, dan (e) persamaan dan keadilan
gender.
Masa sekarang model komando dan kontrol ini selain tidak sesuai lagi juga makin
menjadi tidak berlaku. Kekakuan birokrasi bersifat mematikan organisasi yang
berkehendak mengarahkan secara efektif di lingkungan yang cepat berubah dimana
inovasi dan fleksibilitas merupakan faktor-faktor kunci. Dalam organisasi kemitraan
terkait dengan pola pengorganisasian yang mengarah pada bentuk hirarki yang lebih
landai dan tidak kaku, perubahan dalam peranan manajer, dari peran “polisi” ke arah
peranan fasilitator dan memberi dukungan. Dari power over menjadi power to/with
team work (kerja tim), diversity (keberagaman), gender balance (keseimbanagn
gender), kreativitas dan kewirausahaan.
Dalam Kemitraan di sektor publik, Bryden et al. (1998) pernah mengemukakan
bahwa keunggulan-keunggulan kemitraan lokal terletak pada : (a) persiapan dari
strategi setempat yang melihat seluruh kebutuhan bagi pembangunan pedesaan di
wilayah tersebut, dan kebijakan-kebijakan yang tersedia untuk mencapai semua ini;
(b) pertimbangan tentang cara pemberian pelayanan yang lebih efektif, termasuk kerja
bersama diantara mitra, penggunaan bersama atas gedung-gedung atau sumber daya
lainnya, dan pendekatan terpadu terhadap pemberian informasi kepada orang-orang
setempat, dan (c) penyediaan sebuah 14 pusat untuk promosi tentang prakarsa
masyarakat (community-led initiatives)(Bryden et al, 1998).
Syarat dasar bagi kemitraan adalah adanya prinsip saling menguntungkan (win-
win solutions atau positive sum game). Konsep kemitraan antara pemerintah daerah
dengan pihak swasta dikenal juga sebagai kebijakan privatisasi/swastanisasi.
Kemudian dijelaskan bahwa inti dari kemitraan ini adalah pemberian kewenangan dari
Pemerintah Daerah kepada swasta untuk melaksanakan sebagian atau seluruh
pekerjaan dalam komponen kegiatan pembiayaan, pembangunan, rahabilitasi,
pengoperasian, pemeliharaan atau pengelolaan pelayanan publik, melalui cara :
1. Memberikan kewenangan pada swasta untuk membangun, memakai,
memanfaatkan, melaksanakan atau mengelola pekerjaan, yang berkitan dengan
pelayanan publik dalam jangka waktu tertentu, dan kemudian menyediakan jasa
pelayanan kepada masyarakat dengan tarif tertentu yang ditetapkan Pemerintah
Daerah.
2. Hak yang diberikan dalam memanfaatkan kekayaan milik Daerah, dan Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD), baik dengan berdiri sendiri, bekerja sama atau
berkaitan dengan lembaga-lembaga tersebut.
3. Kegiatan dalam bentuk pola kerjasama kontrak jangka panjang dengan pemberian
konsesi pekerjaan kepada pihak swasta dan memungkinkan pelaksanaan melalui
pembiayaan proyek dengan investasi besar dan jangka pengembalian yang
panjang.
Kemitraan pada esensinya adalah dikenal dengan istilah gotong royong atau
kerjasama dari berbagai pihak, baik secara individual maupun kelompok. Menurut
(Notoatmodjo, 2003), kemitraan adalah suatu kerja sama formal antara
individuindividu, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai
suatu tugas atau tujuan tertentu. Ada berbagai pengertian kemitraan secara umum
(Promkes Depkes RI, (Ditjen P2L & PM, 2004)) meliputi:
1. Kemitraan mengandung pengertian adanya interaksi dan interelasi minimal antara
dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak merupakan “mitra” atau
”partner”.
2. Kemitraan adalah proses pencarian/perwujudan bentuk-bentukkebersamaan yang
saling menguntungkan dan saling mendidik secara sukarela untuk mencapai
kepentingan bersama.
3. Kemitraan adalah upaya melibatkan berbagai komponen baik sektor, kelompok
masyarakat, lembaga pemerintah atau non-pemerintah untukbekerja sama
mencapai tujuan bersama berdasarkan atas kesepakatan,prinsip, dan peran
masing-masing.
4. Kemitraan adalah suatu kesepakatan dimana seseorang, kelompok atau organisasi
untuk bekerjasama mencapai tujuan, mengambil dan melaksanakan serta
membagi tugas, menanggung bersama baik yang berupa resiko maupun
keuntungan, meninjau ulang hubungan masing-masing secara teratur dan
memperbaiki kembali kesepakatan bila diperlukan.
B. Model Kemitraan
(Provan & Milward, 2001), memperkenalkan pengelolaan pemerintahan baru
dengan konsep hollow state, dimana bentuk kemitraan dalam konsep ini pekerjaan
pemerintah akan lebih banyak dikontrakkan (contracting out) kepada pihak ketiga
sehingga aparat pemerintah hanya menangani urusan yang essential saja. Dalam
konsep ini ada 3 hal utama yang menjadi fokus dalam hubungan kemitraan antara
pemerintah dan swasta :
1. Mekanisme
Mekanisme yang terdapat dalam Hollow State yang membedakan dengan
pemerintahan pada umumnya adalah mekanisme birokrasi, dimana dalam
Hollow State memiliki sedikit order/perintah dan mekanisme kontrol.
Terdapat banyak potensi fleksibilitas untuk mengubah dan mengadaptasi
sesuai dengan kebutuhan yang ada. Mekanisme pada pemerintahan termasuk
didalamnya adalah bantuan dana, kontrak dan kesepakatan, dan tidak
berdasarkan semata-mata pada otoritas dan sanksi dari pemerintah. Dimensi
mekanisme dalam Hollow State melihat tiga tipe mekanisme yaitu mekanisme
pembiayaan, mekanisme penentuan kontrak, dan mekanisme evaluasi. Ketika
pemerintah mampu menjadi inti agency dalam mengontrol mekanisme
kemitraan maka proses kemitraan tersebut dilihat dari perspektif Hollow State
bersifat terintegrasi atau tidak terfragmentasi, dimana efektifitas kerjasama
bisa dicapai dengan baik. Sebaliknya ketiga mekanisme dalam proses
kemitraan/kerjasama terpisah-pisah, dan tidak terlihatnya pemerintah dalam
perannya sebagai inti agensi, maka mekanisme tersebut terfragmentasi.
2. Struktur
Tipe struktur dalam teori konsep Hollow State berfokus pada suatu kemitraan
yang dilakukan pemerintah kepada pihak swasta. Pembahasan struktur dalam
Hollow State tidak ada pemahaman konvensional mengenai struktur
organisasi/kerja pada suatu kemitraan, melainkan membahas tentang peran
dan tugas aktor-aktor 18 yang terlibat pada kegiatan kerja sama. Tipe struktur
dalam teori Hollow State menyatakan bahwa struktur akan efektif ketika
jaringan-jaringan aktor-aktor terintegrasi diana hanya ketika integrasi ini
tersentralisasi melalui satu inti agensi. Struktur ini memfasilitasi terciptanya
integrasi dan koordinasi dan relatif lebih efisien. Dalam pembahasan konsep
Hollow State, jaringan yang menjadi arus utama terpisahkan dari kelemahan.
Karena kebutuhannya untuk berkoordinasi dalam join produksi sehingga hal
ini yang menyebabkan jaringan memiliki kondisi yang tidak stabil. Pimpinan
(manager) sering diperhadapkan pada problem yang bermuara pada insabilitas
negosiasi, koordinasi, pengawasan, membuat pihak ketiga tetap bertanggung
jawab. Shared power akan menjadikan suatu lembaga lebih efektif.
Pemerintah dan swasta bekerjasama dalam penyelenggaraan pelayanan
publik, akan tetapi pemerintah tetap menjaga fungsi sistem integrasi dengan
bertanggung jawab dalam hal negosiasi, monitoring, dan evaluasi kontrak.
3. Insentif
Pengertian insentif berdasarkan perspektif ini merupakan hal-hal yang
diberikan oleh pihak pemberi kerja (pemerintah) kepada pihak swasta dalam
proses kemitraan yang dilakukan agar program kerjasama tersebut dapat
berlangsung dengan efektif. Efektifitas suatu kemitraan juga sangat
dipengaruhi oleh insentif yang terntegrasi. Teori ini mengemukakan bahwa
pendanaan yang baik menunjukkan performa atau kinerja yang lebih baik
dibandingkan sistem pendanaan yang minim. Ketika tingkat kewajaran dari
pendanaan dikombinasikan dengan desain kelembagaan atau kemitraan yang
sesuai stabilitas hubungan antar agen juga berpengaruh. Sebuah sistem yang
stabil akan meningkatkan modan dan 19 meningkatkan harga. Sistem yang
stabil, meskipun di desain secara minim atau pendanaan tidak cukup,
mengizinkan individu atau lembaga yang terdapat didalamnya mampu untuk
memecahkan masalah dan menyepakati pembagian kerja dalam sistem
tersebut. Stabilitas memberikan keyakinan bahwa kerjasama akan memiliki
hasil yang baik karena bertindak seperti barang hak milik yang jelas untuk
investor yang berarti bahwa jika mereka berinvestasi untuk memperoleh
keuntungan, tidak menempatkan sistem pelayanan untuk tawaran setiap tiga
tahun adalah cara untuk mencegah perilaku individu yang mungkin rasional
dalam jangka pendek tetapi secara kolektif akan merusah dalam jangka
panjang. Hal tersebut memberikan insentif kepada provider untuk mengatasi
masalah tindakan kolektif menjadi milik mereka. Ciri lain dari hollow state
adalah menjadikan sektor swasta sebagai sebuah model kesuksesan dan
pengelolaan terhadap lingkungan organisasi publik.
Secara umum, model kemitraan dalam sektor kesehatan dikelompokkan
menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) yaitu:
1. Model I
Model kemitraan yang paling sederhana adalah dalam bentuk jaring kerja
(networking) atau building linkages. Kemitraan ini berbentuk jaringan kerja
saja. Masing-masing mitra memiliki program tersendiri mulai dari
perencanaannya, pelaksanaannya hingga evalusi. Jaringan tersebut terbentuk
karena adanya persamaan pelayanan atau sasaran pelayanan atau karakteristik
lainnya.
2. Model II
Kemitraan model II ini lebih baik dan solid dibandingkan model I. Hal ini
karena setiap mitra memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap
program bersama. Visi, misi, dan kegiatan-kegiatan dalam mencapai tujuan
kemitraan direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi bersama
Menurut (Levinger & Mulroy, 2004), ada empat jenis atau tipe kemitraan
yaitu:
1. Potential Partnership Pada jenis kemitraan ini pelaku kemitraan saling peduli
satu sama lain tetapi belum bekerja bersama secara lebih dekat.
2. Nascent Partnership Kemitraan ini pelaku kemitraan adalah partner tetapi
efisiensi kemitraan tidak maksimal.
3. Complementary Partnership Pada kemitraan ini, partner/mitra mendapat
keuntungan dan pertambahan pengaruh melalui perhatian yang besar pada ruang
lingkup aktivitas yang tetap dan relatif terbatas seperti program delivery dan
resource mobilization.
4. Synergistic Partnership Kemitraan jenis ini memberikan mitra keuntungan dan
pengaruh dengan masalah pengembangan sistemik melalui penambahan ruang
lingkup aktivitas baru seperti advokasi dan penelitian.
C. Bentuk-bentuk Kemitraan
Kemitraan usaha baik swasta besar dengan swasta kecil atau pemerintah dengan
swasta atau pemerintah dan pemerintah yang kukuh adalah kerjasama yang saling
menguntungkan, memperkuat, membututuhkan kerjasama antar pelaku ekonomi dan
penyelenggara pembangunan termasuk pemerintah. Selanjutnya disebutkan bentuk-
bentuk kemitraan yakni kemitraan makro, kemitraan antar sektor, kemitraan
mikro/kemitraan sektoral dalam satu sektor, kemitraan regional dalam satu wilayah,
dan kemitraan nasional yang strategis. Kemitraan secara operasional yakni kemitraan
pembiayaan, atau kerjasama pengadaan modal sedangkan bentuk kemitraan secara
teknis antara lain adalah BOO, BOT, atau tukar guling (Tjokroamidjojo, 1995).
Atas dasar kemitraan diatas, dapat dilakukan dan dikembangkan bentuk
gabungan berikut ini :
1. Build, Operate, Transfer (BOT), pihak penyelenggara proyek (swasta)
melaksanakan kegiatan konstruksi (termasuk pembiayaan suatu fasilitas
infrastruktur), termasuk proses pengoperasian dan pemeliharaan proyek.
Kemudian proyek dioperasikan oleh pihak swasta selama jangka waktu tertentu
sesuai dengan perjanjian kontrak yang disepakati berakhir, pihak penyelenggara
proyek harus menyerahkan seluruh fasilitas aset proyek kepada Pemerintah
Daerah.
2. Build and Transfer, pihak penyelenggara proyek (swasta) melaksanakan
konstruksi dan pembiayaan suatu proyek dalam suatu jangka waktu tertentu, yang
disepakati dalam kontrak perjanjian. Setelah konstruksi proyek selesai pihak
penyelenggara menyerahkan proyek kepada pemerintah yang ditetapkan dalam
kontrak perjanjian. Kemudian pemerintah diwajibkan membayar pihak
penyelenggara sebesar nilai investasi yang dikeluarkan untuk proyek ditambah
nilai pengembalian yang wajr bagi investasi yang dilakukan.
3. Build-Own-Operate, pihak penyelenggara proyek (swasta) diberi kewenangan
untuk membangun (dan membiayai), mengoperasikan, dan memelihara suatu
fasilitas infrastruktur (proyek). Sebagai imbalannya, pihak penyelenggara diberi
kewenangan untuk mendapatkan biaya pengembalian investasi, serta biaya
operasional dan pemeliharaan, termasuk keuntungan yang wajar dengan cara
menarik biaya dari para pemakai jasa fasilitas infrastruktur tersebut.
4. Build-Own-Lease, pihak investor melaksanakan pembangunan diatas tanah milik
pemerintah, setelah selesai proyek langsung diserahkan eara hibah kepada
Pemerintah, namun pihak investor (swasta) itu memperoleh hak opsi untuk
menyewakan bangunan komersial tersebut.
5. Management Contract, pemerintah mengalihkan seluruh kegiatan operasional dan
pemeliharaan suatu bidang kegiatan tertentu kepada pihak swasta.
6. Service contract, pemerintah menyerahkan suatu kegiatan pelayanan jasa tertentu
kepada pihak swasta, sedangkan swasta harus memberikan jasa-jasa tertentu pada
pemerintah.
7. Bagi hasil, hampir sama dengan bentuk management contract, namun selain
memperoleh fee dari jasa yang diberikan, pihak swasta juga berhak untuk
menerima bagian tertentu dari keuntungan yang diperoleh.
8. Leasing, pemerintah menyewakan fasilitas tertentu kepada swasta. Pada
perjanjian ini pihak swasta wajib memikul resiko komersial dari kegiatan yang
dijalankannya.
9. Konsesi, pemerintah memberikan izin kepada swasta untuk melakukan suatu
kegiatan eksploitasi, sedangkan pihak swasta dibebani kewajiban untuk
membayar fee atau retribusi kepada Pemerintah.

Adapun model-mode penyediaan layanan publik yang dapat dikategorikan


sebagai alternatif di samping model pelayanan yang sepenuhnya dilakukan dan
diatur oleh pemerintah adalah lima model pengaturan yang digagas oleh Savas
yaitu intergovernmental agreement, government vending, contracts, franchise,
dan grants. Kelima model alternatif itulah yang akan banyak dibahas dalam makalah
ini. Apa kelebihan dan kelemahan dari masing-masing model alternatif tersebut,
sehingga kemungkinan dapat dipilih untuk diterapkan dalam praktek penyediaan
layanan publik di Indonesia, khususnya di daerah.
1. Intergovernmental agreement
Layanan publik dengan model kesepakatan antar lembaga pemerintah
pemerintah atau intergovernmental agreement adalah bentuk penyediaan layanan
publik dimana lembaga- lembaga pemerintah bertindak baik sebagai produsen
maupun arranger. Kerjasama ini dapat dilakukan baik antar satu lembaga
pemerintah dengan lembaga pemerintah lainnya dalam satu daerah, ataupun
antara satu lembaga pemerintah di satu daerah dengan lembaga pemerintah di
daerah lainnya. Melalui model ini dua atau lebih lembaga pemerintah dapat
menyewa atau membayar satu sama lain untuk menyediakan suatu layanan
publik. Bentuk layanan publik seperti ini menurut Savas sudah biasa dilakukan di
negara-negara maju. Misalnya suatu studi di Amerika Serikat pada tahun 1992
menunjukkan di 1.504 daerah yang ada telah menggunakan model layanan publik
dengan kesepakatan antarlembaga pemerintah untuk 64 jenis pelayanan publik.
Jenis-jenis layanan publik yang dilakukan dengan menerapkan model ini antara
lain pelayanan program kesehatan mental, program kesejahteraan anak, program
kesehatan masyarakat, lembaga pemasyarakatan, transportasi bis, pengawasan
sanitasi, perpustakaan, pengelolaan bandara,musium, dan lain sebagainya.
Penyediaan layanan publik dengan model pengaturan semacam ini menurut
(Levinger & Mulroy, 2004), dalam (Andrews & Entwistle, 2010) merupakan
solusi pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar ataupun tindakan-tindakan
sukarela lainnya. Di samping itu menurut (Andrews & Entwistle, 2010) ada
beberapa alasan mengapa layanan public dilakukan dengan model ini seperti ini,
suatu lembaga pemerintah penyedia layanan public bekerjasama dengan lembaga
atau daerah lainnya dengan tujuan ingin meningkatkan skala operasinya dan
memperoleh manfaat ekonomi dengan berbagai biaya produksi. Dengan kata lain
suatu lembaga pemerintah dapat melakukan penghematan atau efisiensi dalam
membiaya penyediaan suatu layanan publik. Inilah salah satu keuntungan model
layanan publik semacam ini antara lain pemerintah daerah dapat lebih menghemat
anggaran layanan publiknya dari pada menyediakannya sendiri. Apalagi apabila
suatu lembaga pemerintah atau daerah memiliki keterbatasan anggaran untuk
penyediaan layanan publiknya. Namun kelemahan yang harus diantisipasi dari
mode layanan seperti ini menurut (Caiden, 1982) adalah sulitnya untuk
mengidentifikasi tanggung jawab dan akuntabilitas. Selain itu (Andrews &
Entwistle, 2010) menambahkan model ini menuntut kerjasama dan koordinasi
yang sangat tinggi untuk mempertahankan efektivitas pelayanannya. Apabila
antar lembaga tidak dapat membangun suatu koordinasi yang selaras maka
kemungkinkan model layanan publik seperti ini akan menghadapi kegagalan dari
pada keberhasilan.
2. Government vending
Model penyediaan layanan publik melalui government vending ini
pemerintah bertindak sebagai produsen sedangkan pihak swasta sebagai
arranger atau pengatur. Dengan demikian pemerintah bersaing dengan
perusahaan-perusahaan swasta yang menyediakan layanan publik sejenis. (Savas,
2000) menyatakan bahwa model penyediaan layanan publik semacam ini dapat
diterapkan untuk jenis-jenis pelayanan di bidang pendidikan, perlindungan
keamanan, pemeliharaan jalan, taman dan tempat rekreasi, pengumpulan sampah
dan transportasi. Contohnya dalam perlindungan keamanan, suatu sponsor
kegiatan konser membayar kepada pemerintah daerah atas layanan penjagaan
polisi pada saat mereka menyelenggarakan konser. Namun demikian menurut
Savas mode penyediaan layanan publik semacam ini tidak sama pembayaran tarif
oleh konsumen atas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.Karena bila
pemerintah menetapkan tarif atas pelayanan publik yang diberikannya secara
langsung kepada konsumen maka pemerintah bukan bertindak sebagai produsen
tapi sebagai arranger, dalam hal ini mengatur penetapan tarif. Semantara dalam
model government vending, konsumen bertindak sebagai arranger.
3. Kontrak (Contracts)
Model penyediaan layanan publik dengan menggunakan model kontrak
pemerintah bertindak sebagai arranger dan perusahaan swasta sebagai produsen.
Harding dan Preker (dalam Murti, 2006) menyatakan bahwa kontrak adalah ”a
purchasing mechanism used to acquire a specified service, of a defined quantity,
quality, at an agreed-on price, from specific provider, for a specified period”.
Dengan kata lain kontrak adalah suatu mekanisme pembelian yang digunakan
untuk mendapatkan pelayanan tertentu, dengan kuantitas dan kualitas tertentu,
dan harga yang disepakati dari suatu penyedia pelayanan tertentu selama suatu
periode waktu tertentu. Dalam model ini menurut (Savas, 2000) idealnya
pemerintah adalah: ”(1) penerjemah tuntutan pelayanan publik yang
diekspresikan secara demokratis, (2) agen pembeli yang terampil, (3) pengawas
yang canggih dari barang atau pelayanan yang dibeli dari sektor swasta, (4)
pengumpul pajak yang efisien, dan (5) pembayar yang kuat yang membayar
secara tepat waktu kepada kontraktor.
Hotchkiss, Bose dan Bitran (dalam Murti, 2006) menyebutkan beberapa
karakteristik kunci dari model kontrak yaitu: (a) adanya pernyataan eksplisit
tentang elemen-elemen kontrak yang disepakati oleh pihak pemberi kontrak dan
kontraktor untuk diwujudkan dalam periode waktu tertentu; (b) Kontraktor
memiliki tanggung jawab penuh dalam hal manajemen internal untuk
menyediakan pelayanan, baik dalam mengangkat pekerja, memecat pekerja,
menentukan upah dan gaji, maupun mengadakan dan mendistribusikan barang
dan pelayanan, dan (c) adanya keterikatan yang jelas antara pembayaran dan
kinerja pemberi pelayanan yang didukung oleh sistem monitoring dan evaluasi.
Di Negara-negara maju model penyediaan layanan public semacam ini
sudah diterapkan sejak tahun 1980-an, khususnya dalam pelayanan- pelayanan
yang bersifat tangible  seperti penyediaan peralatan dan fasilitas-fasilitas publik.
Contoh penyediaan layanan publik semacam ini misalnya dalam pelayanan
bidang kesehatan, pemerintah mengontrakkan fungsi-fungsi dinas kesehatan
seperti pelayanan preventif dasar atau kampanye pendidikan kesehatan kepada
organisasi swasta yang beroperasi di luar fasilitas pemerintah atau publik.
Di Negara-negara maju, model kontrak ini sudah menjadi pilihan
pemerintah dalam penyediaan layanan publik. Hal ini karena menurut (Savas,
2000) model kontrak memiliki berbagai kelebihan antara lain sebagai berikut:
a. Lebih efisien karena mempergunakan dorongan kompetisi dan memberi
tekanan kepada pasar untuk memaksa mundur produsen yang tidak efisien,
memungkinkan pengelolaan yang lebih baik karena terbebas dari pengaruh-
pengaruh yang mengganggu yang biasanya menjadi karakteristik dari
organisasi politik, biaya dan keuntungan dari keputusan manajemen langsung
ditentukan oleh pembuat keputusan.
b. Pemerintah memperoleh keuntungan memperoleh keahlian khusus yang tidak
dimilikinya;
c. Lebih cepat dalam menanggapi kebutuhan baru dan berinovasi dengan
program-program baru
d. Lebih fleksibel untuk mengadaptasikan ukuran program dalam kaitannya
menghadapi tuntutan perubahan atau ketersediaan anggaran;
e. Membatasi ukuran pemerintahan terutama dalam kaitannya dengan jumlah
pegawai pemerintah;
f. Mencegah pembiayaan modal yang besar.
Namun demikian menurut (Savas, 2000) model layanan publik semacam itu
juga memiliki beberapa kelemahan yaitu antara lain:
a. Dapat menjadi lebih mahal, terutama apabila terjadi praktek-praktek korupsi
dalam pelaksanaan kontrak;
b. Membatasi fleksibilitas pemerintah dalam menanggapi hal-hal yang darurat;
c. Menghasilkan ketergantungan yang tidak diinginkan terhadap kontraktor dan
membuat lembaga pemerintah rapuh terhadap pemberontakan dan penurunan
kerja para pegawai kontraktor serta kebangkrutan kontraktor itu sendiri;
d. Model kontrak sangat tergantung pada kontrak tertulis yang biasanya sulit
untuk dirumuskan dan hasilnya menyebabkan hilangnya akuntabilitas dan
kontrol pemerintah
e. Mempercayakan pelayanan kepada organisasi swasta pada akhirnya
meningkatkan kekuasaan politis dan menciptakan lobi bagi anggaran
pemerintah.
Karena itulah menurut (Savas, 2000) dalam mengembangkan model
penyediaan layanan publik melalui model kontrak seperti ini, kondisi atau
prasyarat yang harus ada adalah (a) pelayanan yang akan disediakan adalah jenis
pelayanan yang terspesifisikan dengan baik, (b) tersedianya beberapa produsen
yang potensial dan adanya iklim kompetisi secara berkelanjutan, (c) pemerintah
dapat memonitor kinerja kontraktor, dan (d) kondisi-kondisi kontrak dirumuskan
secara tepat dalam dokumen kontrak dan selanjutnya dilaksanakan dengan
konsisten.
4. Franchise
Model penyediaan layanan publik yang disebut dengan franchise atau hak
monopoli didefinisikan (Savas, 2000) sebagai ”an award of monopoly privileges
to a private firm to supply a particular service in a specific area, usually with
price regulation by government agency”. Dengan kata lain franchise diartikan
sebagai pemberian hak monopoli dari pemerintah kepada perusahaan swasta
untuk memberikan pelayanan-pelayanan tertentu yang sistem pembayarannya
diatur oleh institusi pemerintah. Dalam model ini pemerintah bertindak sebagai
arranger sementara perusahaan swasta bertindak sebagai produsen pelayanan
publik. Peran kedua pihak tersebut dibedakan dari cara pembayaran kepada
produsen. Pemerintah selaku arranger  membayar kepada perusahaan swasta atas
pelayanan yang dikontrak, sementara konsumen membayar produsen atas
pelayanan yang diberikannya.
Model pelayanan ini terutama cocok untuk jenis-jenis pelayanan atau
barang yang bersifat toll-goods seperti pelayanan listrik, gas, distribusi air bersih,
pemeliharaan air limbah, pelayanan telekomunikasi, pelabuhan dan bandara, jalan
dan jembatan serta transportasi darat. Seperti halnya dalam model kontrak, dalam
model ini pun menurut Kitchen (2005) kesepakatan yang dituangkan dalam
dokumen hukum merupakan faktor penting yang akan mengikat kedua belah
pihak dan yang harus dilaksanakan oleh keduanya.
Keuntungan model ini seperti juga model-model lain masih menurut
Kitchen (2005) adalah terciptanya iklim kompetisi usaha di antara produsen,
adanya insentif bagi peningkatan efisiensi, pengurangan biaya, dan adanya
pelayanan yang berkualitas. Namun demikian menurutnya, salah satu masalah
yang biasanya terjadi dalam penerapan model ini adalah adanya kemungkinkan
masyarakat sebagai konsumen tidak melanjutkan penggunaan pelayanan karena
misalnya memandang tarif pelayanan tersebut terlalu mahal. Misalnya saja
pelayanan persampahan yang dikelolakan kepada pihak swasta yang tarifnya
dianggap mahal oleh konsumen dapat menyebabkan masyarakat tidak mau
membayarnya dan pada akhirnya dapat menimbulkan masalah kebersihan
lingkungan sertan adanya eksternalitas untuk mereka yang masih tetap membayar
pelayanan tersebut.
5. Grantsatau subsidi pemerintah
Model penyediaan layanan publik dengan menggunakan
mode grants menurut (Savas, 2000) adalah subsidi yang diberikan oleh
pemerintah kepada produsen atau penyelenggara layanan publik. Subsidi ini dapat
berbentuk uang, keringanan pajak atau keuntungan pajak lainnya, pinjaman
bunga rendah atau jaminan pinjaman. Dampak dari subsidi ini menurutnya adalah
untuk menurunkan tarif layanan publik tertentu untuk konsumen yang berhak
mendapatkannya sehingga konsumen memperoleh pelayanan tersebut dari
produsen yang diberi subsidi tersebut. Dengan demikian dalam model ini
organisasi baik perusahaan swasta yang mencari keuntungan ataupun organisasi
nir-laba bertindak sebagai produsen sedangkan pemerintah dan konsumen
bertindak sebagai co-arranger. Dalam hal ini pemerintah memilih produsen
tertentu yang akan menerima subsidi, dan konsumen memilih produsen tertentu.
Dengan demikian baik pemerintah maupun masyarakat sebagai konsumen
melakukan pembayaran kepada produsen. Contoh model penyediaan layanan
seperti ini misalnya dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah swasta
mendapatkan subsidi dari pemerintah untuk setiap murid yang mendaftar di
sekolah yang bersangkutan, subsidi bagi lembaga-lembaga kesehatan yang
nirlaba, subsidi kepada perusahaan swasta yang membangun dan mengelola
perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, dan lain sebagainya.
Dari lima model yang telah diuraikan tersebut terlihat bahwa dalam
model government vending dan intergovernmental agreements, pemerintah bertindak
sebagai produsen penyedia layanan publik. Tiga model lainnya yaitu
kontrak, franchise (hak monopoli) dan grants (subsidi) merupakan model pelayanan
dimana pemerintah bertindak sebagai arranger, sedangan pihak swasta atau
masyarakat bertindak sebagai produsen pelayanan publik. Di samping ketiga model
tersebut, ada satu model yang juga dikembangkan dan telah banyak diterapkan yaitu
model kemitraan antara pemerintah dan swasta atau disebut public-private
partnership (PPP). Model ini menurut Johnson (1992) merujuk kepada “suatu
hubungan formal dimana satu atau lebih unit kerja pemerintah dan kelompok non-
pemerintahan bergabung bersama-sama dalam menyediakan sumber daya dan
memelihara pengawasan terhadap projek kerjasama tersebut”. Sedangkan Klijn dan
Teisman (2000, dalam Yusuf, Wallace dan Hackbart: 2006) menyebutkan
bahwa public- private partnership  adalah “suatu komitmen di antara pemerintah dan
sektor swasta dalam jangka waktu tertentu dimana mitra-mitra kerja tersebut
membangun produk secara bersama-sama dan membagi resiko, biaya serta
keuntungan yang ditimbulkan dari produk tersebut”. Senada dengan pendapat tersebut
Lawther (2002, dalam Thai dan Viga: 2006) menyatakan bahwa Public-Private
Partnership adalah “suatu bentuk pengaturan peran dan hubungan dimana dua atau
lebih kelompok pemerintah dan swasta berkoordinasi atau menggabungkan sumber-
sumber daya komplementernya untuk mencapai tujuannya masing-masing melalui
pencapaian satu atau lebih sasaran secara bersama-sama”.
Menurut Savas model-model kontrak, franchise atau grants sebenarnya juga
dapat termasuk kepada model kerjasama antara pemerintah dan swasta. Karena pada
hakekatnya model kemitraan tersebut adalah suatu bentuk pengaturan dimana
pemerintah dan swasta bekerja bersama-sama untuk menghasilkan pelayanan publik
ataupun barang-barang. Hanya menurutnya model public-private partnership adalah
model kerjasama yang dikembangkan untuk melakukan penyediaan barang atau
layanan publik yang bersifat kompleks terutama penyediaan infrastruktur sehingga
terkadang mitra-mitra yang terlibat bersifat multipartner. Karena itu model ini sering
juga diistilahkan dengan kolaborasi formal antara pengusaha, pemimpin masyarakat
dan pemerintah daerah untuk meningkatkan kondisi daerahnya.
Kumar dan Prasad (2004, dalam Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan
Aparatur III LAN: 2008) mengidentifikasi 5 (lima) tipe umum darimodel public-
private partnership. Bentuk-bentuk tersebut adalah kontrak pelayanan, kontrak
pengelolaan, sewa, konsesi Build – Operates –Transfers (BOT), dan Build – Operates
– Own lepas. Dalam spektrum investasi tersebut menurut mereka kontrak pelayanan
(service contract) merupakan bentuk kemitraan yang lebih banyak menitikberatkan
pada peran pemerintah, baik dari sisi investasi maupun penyediaan jasa layanan.
Adapun pada sisi lain dengan bentuk build operates own secara lepas merupakan
bentuk kemitraan yang menitikberatkan investasi dan penyediaan pelayanan pada
sektor swasta. Dalam hal ini pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan
regulator.
Pertanyaannya sekarang model manakah yang dapat dipilih oleh pemerintah
dalam penyediaan layanan publik?. Dalam prakteknya model-model tersebut
menurut Savas (2000) dapat dikombinasikan satu sama lain sesuai dengan kebutuhan
dan jenis-jenis layanan. Menurutnya pemerintah dapat melakukan menerapkan
beberapa model untuk penyediaan satu jenis layanan publik di beberapa wilayah
daerah kekuasaannya. Misalnya di Indianápolis di Amerika Serikat menggunakan
lima model untuk pelayanan sampah perumahan di beberapa distrik yang berbeda.
Pemerintah dapat juga menerapkan pengaturan dua model layanan, seperti model
franchise  dengan model grants. Misalnya untuk pelayanan transportasi bis,
perusahaan yang dikontrak pemerintah dengan memberikan hak monopoli juga
mendapat subsidi dari pemerintah dalam pengoperasiannya. Selain itu, pemerintah
dapat mulai penerapkan model-model tersebut secara parsial, terutama untuk
layanan-layanan publik yang sifatnya kompleks yang terdiri dari sejumlah kegiatan
yang terpisah tapi tetap harus terkoordinasikan. Misalnya pelayanan lembaga
pemasyarakatan di dalamnya meliputi kegiatan penyediaan makanan, kesehatan,
konseling bagi para narapidana, pelatihan keahlian bagi narapidana, rekreasi,
fasilitas pemeliharaan, keamanan dan kegiatan lainnya. Pelayanan- pelayanan dalam
lembaga pemasyarakatan tersebut sebagian dapat dilakukan dengan model kontrak,
sebagian lagi dengan model dimana pemerintah menyelenggarakan pelayanan untuk
penjagaannya. Contoh lainnya pelayanan transportasi bus dilakukan sebagian oleh
pemerintah sebagian lainnya oleh kontraktor swasta.
D. Hubungan Sektor Publik-Privat
Domain pemerintah (state) menjadi domain yang paling memegang peranan
penting di antara ketiga domain dalam mewujudkan good governance. Memegang
peranan penting yang dimaksud bukan berarti state memiliki kekuasaan yang lebih
besar dan mendominasi domain-domain lainnya, melainkan karena pentingnya fungsi
pengaturan yang memfasilitasi berkembangnya domain sector swasta dan masyarakat
(society), serta fungsi administratif penyelenggaraan pemerintahan melekat pada
domain ini.
Peran pemerintah melalui kebijakan-kebijakan publiknya sangat penting dalam
memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi dapat dihindari. Oleh karena itu, menurut Adisasmita
(2010)upaya-upaya perwujudan kearah good governance dapat dimulai dengan
membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan Negara dan bersamaan dengan
itu dilakukan upaya pembenahan penyelenggara pemerintahan sehingga dapat
terwujud good governance. Sektor swasta secara umum dapat digolongkan menjadi :
1. Private for profit organization, termasuk dalam kategori ini adalah organisasi-
organisasi yang bergerak di bidang bisnis klasik, baik yang berskala kecil maupun
berskala besar, serta organisasi-organisasi bisnis modern yang berskala
internasional dengan berbasis bisnis jaringan; dan
2. Private for non- profit organization, termasuk dalam organisasi ini adalah
organisasi-organisasi non pemerintahan yang bersifat independen, yaitu lembaga-
lembaga swadaya masyarakat (LSM), yayasan-yayasan sosial, asosiasi-asosiasi
independen lainnya yang memposisikan dirinya bukan sebagai profit oriented
organization meskipun mereka adalah organisasi swasta.
Peran pemerintah melalui kebijakan-kebijakan publiknya sangat penting dalam
memfasilitasi terjadinya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi dapat dihindari. Oleh karena itu, menurut Adisasmita
(2010)upaya-upaya perwujudan kearah good governance dapat dimulai 24 dengan
membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan Negara dan bersamaan dengan
itu dilakukan upaya pembenahan penyelenggara pemerintahan sehingga dapat
terwujud good governance. Sektor swasta secara umum dapat digolongkan menjadi :
(1) Private for profit organization, termasuk dalam kategori ini adalah organisasi-
organisasi yang bergerak di bidang bisnis klasik, baik yang berskala kecil maupun
berskala besar, serta organisasi-organisasi bisnis modern yang berskala internasional
dengan berbasis bisnis jaringan; dan (2) Private for non- profit organization, termasuk
dalam organisasi ini adalah organisasi-organisasi non pemerintahan yang bersifat
independen, yaitu lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), yayasan-yayasan
sosial, asosiasi-asosiasi independen lainnya yang memposisikan dirinya bukan sebagai
profit oriented organization meskipun mereka adalah organisasi swasta.
Dalam konsep governance, keberadaan sektor swasta merupakan mitra strategis
pemerintah yang memiliki sumber daya yang tidak dimiliki oleh pemerintah, sehingga
kedudukan diantara mereka adalah sejajar. Peran sektor swasta sebagai mitra strategis
pemerintah dalam hal ini sangat diperlukan untuk mendukung terciptanya proses
keseimbangan kekuasaan yang berlangsung dalam tata kepemerintahan yang baik
(Thoha, 2003). Pemerintah tidak lagi tampil menjadi pusat kekuasaan yang mengatur
seluruh sendi kehidupan masyarakat melainkan merupakan fasilitator dalam
penyelenggaraan urusan-urusan publik. Sedangkan sector swasta semakin dituntut
perannya sebagai producer atau provider yang memproduksi barang dan jasa yang
diperlukan masyarakat, menciptakan lapangan pekerjaan, dan meningkatkan
pendapatan masyarakat (Effendi, 2001).
Menurut Hall, M. (1999) Pola kemitraan ini harus dibangun dalam model
sinergisitas yang mencakup pihak-pihak yang berkompeten. Secara umum model yang
direkomendasikan dalam pola-pola kemitraan, adalah dengan memberikan peran yang
setara antara tiga actor pembangunan, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Selanjutnya, dalam penyelenggaran governance melibatkan tiga unsur utama
(domain), yaitu state (Negara atau pemerintahan), private sector (sector swasta atau
dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan
fungsinya masing-masing (Taschereau dan Champos. 1997; UNDP, 1997 dalam
Thoha, 2003).
Institusi pemerintahan berfungsi menciptakan pekerjaan dan pendapatan,
sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik,
termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi
dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik.

State
Private Society

Gambar 1. Keseimbangan Tiga Komponen (Thoha, 2008)


Pemerintah atau Negara, sebagai satu unsur governance, di dalamnya termasuk
lembaga-lembaga politik dan lembaga-lembaga sektor publik. Sektor swasta meliputi
perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di bidang dan sektor informal lain di
pasar. Ada anggapan bahwa sektor swasta adalah bagian dari Private State Society
masyarakat karena sektor swasta mempunyai pengaruh terhadap kebijakan- kebijakan
sosial, politik, dan ekonomi yang dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif
bagi pasar dan perusahaan-perusahaan itu sendiri. Masyarakat (society) dalam konsep
governance terdiri dari individual maupun kelompok (baik yang terorganisasi maupun
tidak) yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi dengan aturan formal
maupun tidak formal. Society meliputi lembaga swadaya masyarakat, organisasi
profesi dan lain-lain.
Salah satu lembaga sektor publik yang memberikan kontribusi pada terciptanya
sinergi antara pilar governance adalah governance bodies yaitu suatu lembaga non
pemerintah yang diberi mandat dan kewenangan oleh pemerintah untuk mengambil
kebijakan dalam bidang tertentu. Governance bodies memiliki anggota yang
menggambarkan pilar dari governance seperti unsur pemerintah, masyarakat sipil, dan
dunia usaha (Dwiyanto, 2010). Konteks hubungan yang demikian merupakan refleksi
saling ketergantungan dalam penyediaan input atau sumberdaya yang dimiliki
masing-masing pihak yang jika diintegrasikan akan sangat penting dalam upaya
meningkatkan kinerja penyelenggaraan pelayanan publik.
Privatisasi atau swastanisasi dengan demikian mengandung arti suatu
keterkaitan atau keterlibatan swasta dalam ikut melakukan pelayanan atau urusan
publik, ikut melayani tugas-tugas pelayanan yang biasa dilaksanakan oleh dan
menjadi tanggung jawab pemerintah. Selanjutnya dikemukakanSavas(1987) bahwa
privatisasi adalah kunci untuk pemerintahan yang terbatas dan lebih baik, terbatas
dalam ukuran, ruang lingkup, dan kekuasaan relatifnya terhadap institusi-institusi lain
dalam masyarakat dan lebih baik dalam kebutuhan-kebutuhan masyarakat terpenuhi
secara efisien, efektif, dan berkeadilan
Menurut Mahsun (2006) memberikan pemahaman terhadap sektor publik
sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan umum dan penyediaan
barang atau jasa kepada publik yang dibayar melalui pajak atau pendapatan negara.
Luasnya ruang lingkup sektor publik menyebabkan dalam menyelenggaraannya sering
diserahkan ke pasar dengan regulasi dan pengawasan tetap dilakukan pemerintah.
Anggapan organisasi sektor publik non-profit menjadi tidak tepat karena ada
organisasi sektor publik yang bertipe quasi non profit yaitu mempunyai tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun memiliki motif laba untuk
keberlangsungan organisasi dan dapat memberikan kontribusi pada pendapatan negara
atau daerah. Organisasi sektor publik bukan hanya organisasi sosial atau organisasi
non profit, dan juga bukan hanya organisasi pemerintahan. Organisasi publik
merupakan organisasi yang berhubungan kepentingan umum dan penyediaan barang
atau jasa kepada publik yang dibayar melalui pajak atau pendapatan lain yang diatur
dengan hokum.
Cakupan sektor publik di Indonesia adalah lembaga pemerintahan pusat dan
daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah, bidang
pelayanan kebutuhan dasar masyarakat. Organisasi sektor dibutuhkan untuk menjamin
bahwa pelayanan publik dapat disediakan untuk masyarakat secara adil dan merata
serta memastikan bahwa pelayanan publik dilakukan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
Sedangkan organisasi sektor privat/bisnis merupakan organisasi yang
menyediakan barang atau jasa kepada konsumen yang dibedakan dari kemampuannya
membayar barang dan jasa tersebut sesuai dengan mekanisme pasar. Organisasi sektor
privat bertujuan untuk menghasilkan keuntungan dari barang atau jasa yang
dihasilkan, maka ukuran kinerjanya adalah seberapa besar organisasi tersebut mampu
memproduksi barang atau jasa untuk menghasilkan keuntungan bagi organisasi.

E. Peran Swasta dalam meningkatkan mutu pelayanan


Hal ini disebabkan belum jelasnya model kemitraan yang ada antara pemerintah
dan swasta. Ada berbagai peran swasta dalam meningkatkan kualitas pelayanan
diantaranya adalah :
1. Meningkatkan mutu dan efektivitas layanan kesehatan Misal : sertifikasi ISO
Salah satu peran dari swasta dalam meningkatkan dan menyediakan kualitas
layanan rumah sakit adalah dengan meningkatkan mutu dan efektivitas lyanan
melalui sertifikasi ISO, artinya bahwa dengan adanya sertifikasi ISO
menunjukkan bahwa kualitas layanan tersebut sudah baik. Harapan masyarakat
setiap rumah sakit sudah memiliki sertifikasi ISO sehingga menunjukkan
standarisasi kualitas layanan yang baku.
2. Mitra kerja pemerintah dalam meningkatkan kualitas layanan Misal : KSO alat
kesehatan, pendukung kegiatan promosi kesehatan, dll
Peningkatan kualitas layanan rumah sakit bukan hanya tanggung jawab
pemerintah tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak termasuk swasta.
Oleh karena itu swasta harus ikut berperan serta dalam meningkatkan dan
menyediakan kualitas layanan rumah sakit. Ada banyak cara untuk berperan
dalam meningkatkan kualitas layanan, diantaranya dengan penyediaan alat
kesehatan. Sebagaimana diketahui bahwa anggaran yang tersedia bagi rumah
sakit untuk masing-masing RSUD sangat terbatas, oleh karena itu terkadang
tidak mencukupi untuk mengadakan peralatan kedokteran yang harganya sangat
mahal. Hal ini menjadi kendala bagi rumah sakit untuk meningkatkan kualitas
layananya. Pada kondisi seperti ini peran swasta sangat dibutuhkan oleh
pemerintah. Sebagaimana yang dilakukan oleh pihak swasta kepada beberapa
rumah sakit yaitu dengan menyediakan peralatan kesehatan yang tidak
disediakan oleh rumah sakit kemudian melakukan kerjasama operasional.
Kerjasama operasional tersebut berkaitan dengan bagi hasil. Teknis pelaksanaan
kerjasama secara teknis kalau dilihat secara global sudah cukup sinergis dengan
menggunakan metode-metode yang cukup efektif sesuai prosedur sehingga
apabila didulang penuh untuk implementasinya akan menghasilkan sesuatu yang
bisa dan cukup maksimal dan memuaskan segala pihak.
3. Melaksanakan kajian permasalahan kesehatan sehingga mampu memberikan
masukan dalam pengembangan kualitas layanan sesuai permasalahan yang
dihadapi (evidence based).
Dalam upaya meningkatkan kualitas layanan, maka diperlukan adanya survey
atau kajian terhadap permasalahan kesehatan. Hal ini dibutuhkan untuk
mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap kualitas layanan rumah
sakit. Apabila persepsi yang diberikan kepada pengguna menunjukkan hal yang
negative maka pemerintah bisa melakukan perbaikan dan upaya peningkatannya.
Kajian ini tidak hanya berkaitan dengan kualitas layanan saja namun juga
meliputi permasalahan yang lain. Misal permasalahan pendanaan, ketersediaan
barang, ketersediaan dokter dll.
4. Dukungan dalam kegiatan pendanaan layanan kesehatan misal : Asuransi
kesehatan
Peran swasta dalam meningkatkan kualitas layanan dapat dilakukan dengan
support dalam pendanaan layanan kesehatan (asuransi). Dengan adanya asuransi
bagi masyarakat berarti akan menjamin pendanaan kesehatan bagi pasien.
Rumah sakit akan merasa nyaman apabila pasien yang ada tercover pada
asuransi, hal ini memberikan jaminan pembayaran. Pasien yang memiliki
asuransi relative lebih tertib dalam pembayarannya, terutama asuransi swasta.
Dengan asuransi, RSUD sebagai pemberi pelayanan kesehatan sedangkan
asuransi sebagai peyedia anggaran serta keanggotaan asuransi.
5. Mitra pemerintah dalam menyediakan layanan kesehatan
Peran swasta dalam upaya meningkatkan atau menyediakan layanan kesehatan
diantaranya pembangunan RS Swasta, Klinik, dll. Diharapkan dengan semakin
banyaknya rumah sakit swasta akan meningkatkan layanan kesehatan secara
umum, dengan catatan keberadaan rumah sakit swasta harus mengikuti aturan
yang ada, misal untuk pendirian rumah sakit swasta harus memenuhi aturan
ketenagaan seperti jumlah dokter minimal yang harus dimiliki oleh rumah sakit
baru, jumlah dokter spesialis yang harus ada, luas bangunan minimal yang harus
tersedia untuk mendirikan rumah sakit baru dan lain-lain.
Peraturan ini perlu ditegaskan karena ketika rumah sakit baru tidak memiliki
dokter sesuai yang di persyaratkan maka akan berdampak pada layanan dokter di
rumah sakit pemerintah (RSUD). Hal ini disebabkan rumah sakit swasta tersebut
masih membutuhkan tenaga dokter yang ada di rumah sakit pemerintah,
sehingga terkadang di rumah sakit pemerintah tersebut kekurangan dokter.
Permasalahan yg muncul sebenarnya adalah kekurangan tenaga dokter
6. Motivator untuk meningkatkan derajat kesehatan melalui peningkatan peran
organisasi masyarakat lokal seperti : karang taruna, organisasi keagamaan
(Aisiyah, Fatayat NU, dll).

F. Model Kemitraan Pemerintah dan Swasta


Contract Services - Operations and Maintanance. Mitra publik pemerintah
melakukan kontrak/perjanjian kerjasama dengan swasta untuk menyediakan dan/atau
memelihara jasa atau layanan tertentu. Berdasarkan pada pilihan operasi dan
pemeliharaan yang telah diberikan kepada swasta, mitra publik mempertahankan
kepemilikan dan seluruh manajemen fasilitas umum atau sistem.
- Operations, Maintanance, Management. Mitra publik melakukan kontak
kerjasama dengan swasta untuk mengoperasikan, memelihara, dan mengelola fasilitas
atau sistem untuk meningkatkan pelayanan. Berdasarkan kontrak/perjanjian ini, mitra
publik mempertahankan kepemilikan tetapi pihak swasta boleh menginvestasikan
modalnya pada fasilitas atau sistem tersebut. Swasta manapun sangat berhatihati dalam
memperhitungkan investasi pada setiap kerjasama dengan sistem operasional yang
efisien dan tabungan selama waktu kontrak.
Salah satu model kemitraan yang bisa ditawarkan kepada pemerintah dan swasta
berkaitan dengan upaya peningkatkan kualitas layanan adalah model BOT (Built
Operation Transfer), penyediaan peralatan medis baik dalam jumlah maupun kualitas
melalui kerjasama dengan MoU (Memory of Understanding).
SWASTA (PRIVAT dan DUDI)

4 1 5

PEMERINTAH

2 3

ORMAS PROFESIONAL

Gambar : Model Kemitraan Pemerintah dan Swasta

G. Strategi Pemerintah untuk Meningkatkan Kualitas Layanan


Keberhasilan peningkatan kualitas layanan bukan hanya tanggung jawab
pemerintah saja, melainkan merupakan tanggung jawab bersama baik pemerintah,
swasta, organisasi kemasyarakatan maupun masyarakat pada umumnya. Ada
beberapa strategi yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan
kualitas layanan, diantaranya dengan melakukan kerjasama dengan pihak swasta.
Pihak swasta merupakan pihak yang memiliki dana untuk meningkatkan kualitas
layanan.
Sebagai kepanjangan tangan pemerintah, rumah sakit memiliki kekuatan
dalam upaya memberikan layanan kesehatan pada masyarakat. Kekuatan yang
dimiliki oleh pemerintah (rumah sakit) adalah memiliki gedung sendiri, pengelolaan
anggaran dilakukan oleh pemerintah daerah, kebutuhan anggaran dipenuhi oleh
pemerintah, Kondisi seperti ini membuat keberadaan rumah sakit dari waktu ke
waktu pada posisi aman. Seiring berjalannya waktu, rumah sakit umum daerah
semakin ketinggalan dengan rumah sakit swasta, hal ini disebabkan salah satunya
karena keterbatasan anggara. Apalagi jika dalam satu kabupaten / kota terdapat dua
rumah sakit pemerintah, alhasil anggaran daerah harus di bagi menjadi dua, hal ini
akan berdampak pada semakin kecilnya lokasi dana untuk masing-masing rumah
sakit. Dampak selanjutnya upaya peningkatkan kualitas layanan semakin jauh dari
harapan.
Upaya meningkatkan kualitas layanan tidak lepas dari ketersediaan peralatan
medis yang ada di rumah sakit. Sementara ini masih ada rumah sakit daerah yang
belum memiliki peralatan medis tertentu yang seharusnya dimiliki, disamping itu ada
juga rumah sakit yang sudah memiliki peralatan tersebut, namun jumlahnya sangat
terbatas. Salah satu kelemahan dari pengelolaan rumah sakit umum daerah ada pada
prosedur pelayanan yang masih dirasa berbelit oleh pengguna. Oleh karena itu perlu
ada pembenahan pada sisi prosedur pelayanan. Selain itu, kelemahan yang dimiliki
oleh rumah sakit dalam memberikan layanan ada pada keterbatasan sumberdaya
manusia baik tenaga medis maupun non medis. Hal ini disebabkan masih banyak
rumah sakit swasta yang menggunakan dokter dari rumah sakit pemerintah, sehingga
berdampak pada ketidaksiapan tenaga dokter pada saat dibutuhkan.
Mengingat jumlah penduduk yang sangat banyak dan membutuhkan layanan
kesehatan maka rumah sakit memiliki peluang untuk meningkatkan kualitas
layanannya. Disamping itu kesadaran masyarakat akan arti penting kesehatan mulai
dirasakan oleh pemerintah, hal ini dibuktikan dengan makin banyaknya masyarakat
yang berobat ke rumah sakit. Peluang ini tidak akan bisa di capai kalau tidak ada
upaya untuk meningkatkan kualitas layanan baik dalam kapasitas maupun kualitas.
Upaya meningkatkan kualitas layanan merupakan tantangan bagi pemerintah
(rumah sakit), hal ini disebabkan image masyarakat terhadap rumah sakit umum
daerah yang kurang bagus. Rendahnya kualitas layanan rumah sakit daerah
berdampak pada munculnya rumah sakit swasta, baik yang dikelola swasta
perorangan maupun yang dikelola organisasi kemasyarakatan. Oleh karena itu
merupakan tantangan besar bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas
layanannya agar bisa bersaing dengan rumah sakit swasta. Salah satu upaya yang
dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan kualitas layanan rumah sakit adalah
melakukan kemitraan dengan swasta. Ada banyak kemitraan yang bisa di lakukan
antara pemerintah dengan swasta, baik kemitraan berkaitan dnegan penyediaan dan
peningkatkan peralatan medis maupun pembiayaan kesehatan.
H. Kebijakan Pemerintah Berkaitan dengan Kemitraan
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kualitas
layanan adalah melakukan kemitraan dengan swasta. Ada berbagai kemitraan yang
bisa dilakukan pemerintah dan swasta, diantaranya adalah kemitraan penyediaan
peralatan medis, penelitian dan pengembangan. Khusus pada kemitraan penyediaan
peralatan medis, perlu ada kesepakatan yang jelas berkaitan dengan bagi hasilnya.
Ada beberapa prinsip kemitraan yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan swasta
yaitu : kesetaraan (equity) dimana masing-masing pihak yang bermitra harus merasa
duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Keterbukaan (transparancy) kemitraan
bisa dilakukan apabila ada keterbukaan diantarakedua belah pihak dan yang ketiga
adalah saling menguntungkan (mutual benefit). Oleh karena itu salah satu cara agar
swasta bersedia melakukan kemitraan pemerintah harus mewajibkan rumah sakit
menjadi BLU supaya bisa menjadi rumah sakit yang profit. Kebijakan ini harus
dituangkan dalam peraturan perundangan yang jelas dan tegas.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kemitraan yang dilakukan didasarkan karena pemerintah mempunyai berbagai
keterbatasan dalam memecahkan permasalahan yang semakin beragam. Keterbatasan
tersebut berupa anggaran, sumberdaya, teknologi dan lain sebagainya. Dengan
demikian, pemerintah melakukan kerjasama dengan sektor lain terutama sektor
swasta. Hasil kajian menunjukkan bahwa model kemitraan yang menguntungkan bagi
pemerintah dan swasta adalah model kemitraan dengan KSO dan merubah bentuk
layanan dari rumah sakit umum daerah menjadi BLU.
B. Saran
1. Dalam membangun kemiteraan pemerintah swasta perlu memilih model yang idela
untuk dijalankan
2. Perlu kajian lebih lanjut terkait penerapan model model lainnya
DAFTAR PUSTAKA
Andrews, R., & Entwistle, T. (2010). Does Cross-Sectoral Partnership Deliver? An
Empirical Exploration of Public Service Effectiveness, Efficiency, and Equity.
Journal of Public Administration Research and Theory, 20(3), 679–701.
https://doi.org/10.1093/jopart/mup045
Brinkerhoff, D. W., & Brinkerhoff, J. M. (2011). Public–private partnerships: Perspectives
on purposes, publicness, and good governance. Public Administration and
Development, 31(1), 2–14. https://doi.org/https://doi.org/10.1002/pad.584
Caiden, G. E. (1982). Public Administration. Palisades Publishers.
Christensen, J. and Leargreid, P. (2001). New Public Management: The Transformation of
Ideas and Practice. Ashgate.
Davis, H., & Meltzer, L. (2007). Working with Parents in Partnership. 1–28.
http://dera.ioe.ac.uk/1928/1/working with parents in partnership.pdf
Denhardt, JV & Denhardt, R. (2007). The New Public Service: Serving, Not Steering
(Expanded Edition). M.E. Sharpe.
Jamal, El Ahmas dan Getz, W. (1995). A Introduction of Theory and Practice of Public
Analysis. Edward Elgar.
Kapucu, N. (2010). Collaborative Public Management and Collaborative Governance:
Conceptual Similarities and Differences. European Journal of Economic and
Political Studies, 2, 39–60.
Keban, Y. T. (2008). Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik. Gava Media.
Klijn, E. H., & Teisman, G. (2003). Institutional and Strategic Barriers to Public-Private
Partnership: An Analysis of Dutch Cases. Public Money & Management, 23, 137–
146. https://doi.org/10.1111/1467-9302.00361
Lembaga Administrasi, Keuangan, B. P., & Pembangunan, R. I. (2000). Akuntabilitas dan
Good Governance. Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (AKIP), Jakarta.
Levinger, B., & Mulroy, J. (2004). A Partnership Model for Public Health Five Variables
for Productive Collaboration (Issue July).
Mahmud, K. (2001). Shanghai Cooperation Organization: Beginning of A New
Partnership. Regional Studies, XX(1), 3–18.
McQuaid, R. (2000). The theory of partnership: Why have partnerships? Public-Private
Partnerships: Theory and Practice in International Perspective, 9–35.
Notoatmodjo. (2003). Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. CV.Rineka Cipta.
Osborne, D. and G. T. (1992). Reinventing Government: How The Enterpreneurial Spirit
is Transforming The Public Service.
Osborne, S. (2000). Public-Private Partnerships: Theory and Practice in International
Perspective. London: Routledge.
Pierre, J & Peters, B. (2000). Governance, Politics and The State. St. Martin’s Press.
Provan, K. G., & Milward, H. B. (2001). Do Networks Really Work? A Framework for
Evaluating Public-Sector Organizational Networks. Public Administration Review,
61(4), 414–423. http://www.jstor.org/stable/977503
Rasdi, D., & Kurniawan, T. (2019). EFEKTIVITAS KEMITRAAN PEMERINTAH DAN
SWASTA DALAM UPAYA PENANGGULANGAN KEMISKINAN: SEBUAH
TINJAUAN LITERATUR. Sosio Informa, 5, 97–112.
https://doi.org/10.33007/inf.v5i2.1728
Savas, E. S. (2000). Privatization and the New Public Management. Fordham Urban Law
Review, 28.
Thoha, M. (2008). Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Kencana Prenada Media
Group.
Tjokroamidjojo, B. dan A. M. (1995). Kebijaksanaan dan Administrasi Pembangunan.
LP3ES.

Anda mungkin juga menyukai