Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

TEMA
“PELAYANAN PUBLIK UNTUK MEWUJUDKAN GOOD
GOVERNANCE”
BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia telah memulai berbagai inisiatif yang dirancang untuk mempromosikan


Good Governance, akuntabilitas dan partisipasi yang lebih luas. Ini sebagai awal
yang penting dalam menyebarluaskan gagasan yang mengarah pada perbaikan
governance dan demokrasi partisipasi di Indonesia. Good Governance dipandang
sebagai paradigma baru dan menjadi ciri yang perlu ada dalam sistem administrasi
publik.

salah satu pilihan strategis untuk menerapkan good governance di Indonesia adalah
melalui penyelenggaraan pelayanan publik. Ada beberapa pertimbangan mengapa
pelayanan publik menjadi strategis untuk memulai menerapkan good governance.
Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dianggap penting oleh semua aktor
dari unsur good governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat
sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki kepentingan terhadap perbaikan kinerja
pelayanan publik.

Pelayanan publik di Indonesia seringkali dicirikan oleh inefisiensi yang tinggi,


prosedur yang berbelit-belit, serta tidak adanya kepastian waktu dan biaya yang
diperlukan dalam penyelenggaraan layanan. Lebih dari itu, penyelenggaraan
pelayanan publik masih sangat dipengaruhi oleh subjektivitas, dimiliki oleh
penyelenggara. Upaya pengembangan pelayanan publik dengan memperhatikan
prinsip - prinsip good governance menjadi sangat penting. Prinsip – prinsip good
governance yang di maksud diantaranya adalah Transparansi/Keterbukaan,
Akuntabilitas (Accountability) Pelayanan Publik, Responsivitas (Responsiveness)
Pelayanan Publik, Keadilan (Fairness) yang merata, Efesiensi dan Efektivitas
(Efficiency & Effectiveness), Partisipasi (Participation) dalam pelayanan publik.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan Governance, Pelayanan Publik, dan


Good Governance?
2. Bagaimana penerapan prinsip-prinsip good governance dalam
pelayanan publik?
3. Bagaiamankah penyelesaian persoalan terhambatnya pelayanan
publik?

2
BAB II
Pembahasan

A. Governement VS Governance

Konsep dasar dari pemerintah atau government lebih berkaitan dengan


lembaga yang mengemban fungsi memerintah dan mengemban fungsi mengelola
administrasi pemerintahan. Di tingkat pemerintahan pusat maka konsep pemerintah
atau government merujuk pada presiden sebagai kepala pemerintahan negara
beserta para kabinet pemerintahan. Sedangkan pemerintahan atau governance lebih
menggambarkan pada pola hubungan yang sebaik baiknya antar elemen yang ada.
Di tingkat pemerintahan negara konsep pemerintahan, governance merujuk pada
pola hubungan antara pemerintah Indonesia presiden dan kabinet, kelembagaan
politik, kelembagaan ekonomi dan kelembagaan sosial dalam upaya menciptakan
kesepakatan bersama menyangkut pengaturan proses pemerintahan.
Perbedaan lainnya yaitu tentang sifat dari hubungan jika government
bersifat hirarki yang memerintah berada di atas, sedangkan warga negara atau
masyarakat yang diperintah berada di bawah. Sedangkan governance sama-sama
berbentuk hirarki yang mempunyai arti adanya kesetaraan kedudukan antara semua
elemen, tetapi hanya berbeda dalam fungsi dari masing-masing elemen. Selain itu
perbedaannya dalam hal komponen yang terlibat di dalam government dan
governance, jika government hanya sebagai subyek dan hanya ada satu institusi
yaitu pemerintahan, sedangkan governance Ada tiga komponen yang terlibat yaitu
negara (state), pihak swasta (privat) dan masyarakat (society). Pebedaan lainnya
dalam pemegang peran yang dominan jika government hanyak di sektor
pemerintah sedangkan governance semua memegang peran sesuai dengan
fungsinya masing-masing.
Selain itu, perbedaan dalam hal pencapaian hasil akhir yang diharapkan jika
government pencapaian tujuan negara melalui kepatuhan warganegara sedangkan
governance pencapaian tujuan negara dan tujuan masyarakat melalui partisipasi
sebagai warga negara maupun sebagai masyarakat.

3
Dengan demikian cakupan pemerintahan atau governance lebih luas
dibandingkan dengan pemerintah atau government, karena unsur yang terlibat
dalam pemerintahan mencakup semua kelembagaan yang ada pada pemerintahan
Indonesia, termasuk di dalamnya ada unsur pemerintah atau government. Dalam
hal ini pemerintahan atau governance melibatkan unsur swasta dan masyarakat di
dalamnya selain pemerintah itu sendiri. Karena bangunan governance merupakan
bangunan yang multi stakeholders. Hubungan antara pemerintah atau government
dengan pemerintahan atau governance terletak pada proses pelaksanaannya. Jika
kita hanya ingin menciptakan pemerintah atau government yang baik, maka
pemerintahan atau governance yang baik tidak tumbuh. Tapi jika kita menciptakan
pemerintahan atau governance yang baik, maka pemerintah atau government yang
baik juga akan tercipta.

B. Good Governance

World Bank merupakan pencetus gagasan yang memperkenalkan good


governance sebagai “program pengelolaan sektor publik” (public sector
management program), dalam rangka penciptaan ketatapemerintahan yang baik
dalam kerangka persyaratan bantuan pembangunan. World Bank (1992a)
mendefinisikan governance sebagai “exercise of political power to manage nation”,
dimana legitimasi politik dan konsensus merupakan prasyarat bagi pembangunan
berkelanjutan. Aktor negara (pemerintah), bisnis dan civil society harus bersinergi
membangun konsensus dan peran negara tidak lagi bersifat regulator, tetapi hanya
sebatas fasilitator. Oleh karena itu, legitimasi politik dan konsensus yang menjadi
pilar utama bagi good governance versi World Bank hanya bisa dibangun dengan
melibatkan aktor non-negara yang seluas- luasnya dan membatasi keterlibatan
negara atau pemerintah.

Menurut dokumen United Nations Development Program (UNDP), tata


pemerintahan adalah: “Penggunaan wewenang ekonomi politik dan administrasi
guna mengelola urusan-uruan negara pada semua tingkat”. Tata pemerintahan
mencakup seluruh mekanisme proses dan lembaga- lembaga di mana warga dan
kelompok- kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka

4
menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-
perbedaan diantara mereka. Namun untuk ringkasnya, good governance pada
umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ di
sini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-
prinsip dasar good governance.

Good governance merupakan suatu kesepakatan menyangkut pengaturan


Negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani dan sektor
swasta dimana kesepakatan tersebut mencakup pembentukan selunih mekanisme,
proses, dan lembaga- lembaga dimana warga dan kelompok- kelompok masyarakat
mengutarakan kepentingan rriereka, menggunakan hak hukum, memenuhi
kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan di antara mereka. (Masyarakat
Transparansi Indonesia : 2002:9)

Menurut LAN & BPKP (2005:5) yang dimaksud dengan good governance
adalah: “Bagaimana pemerintah berinteraksi dengan masyarakat dan mengelola
sumber-sumber daya dalam pembangunan”. Peraturan Pemerintah Nomor 101
Tahun 2000, merumuskan arti good governance sebagai berikut: “Kepemerintahan
yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas,
akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivias,
supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat”.

"Good Govenance" sering di artikan sebagai "kepemerintahan yang baik".


Adapula yang mengartikannya sebagai "tata pemerintahan yang baik" dan ada pula
yan mengartikannya sebagai "sistem pemerintahan yang baik". Selanjutnya
dijelaskan pula bahwa istilah "governance" sebagai proses penyelenggaraaan
kekuasaan Negara dalam melaksanakan publik good and services. Sedangkan arti
"good' dalam "good gevernace" mengandung dua pengertian, pertama, nilai-nilai
yang menjujung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat
meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional)
kemandirian, pembngunan, berkelanjutan dan keadilan sosial; kedua , aspek-aspek
fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam melaksanakan tugasnya
untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Praktek terbaiknya di sebut "good

5
governance" atau kepemerintahan yang baik. Sehingga dengan demikian "good
governance" didefinisikan sebagai "penyelenggaraan pemerintah yang solid dan
bertangung jawab, serta efektif dan efisien dengan menjaga kesinergian interaksi
yng konsrtuktif di antara domain-domain Negara, sektor swasta dan masyarakat".

1. Konsep Good Governance

Konsep good governance sebenarnya telah lama dilaksanakan oleh semua


pihak yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat. Namun demikian, masih banyak
yang rancu memahami konsep governance. Secara sederhana, banyak pihak
menerjemahkan governance sebagai tata pemerintahan. Tata pemerintahan di sini
bukan hanya dalam pengertian struktur dan manajemen lembaga yang disebut
eksekutif, karena pemerintah (government) hanyalah salah satu dari tiga aktor besar
yang membentuk lembaga yang disebut governance. Dua aktor lain adalah private
sector (sektor swasta) dan civil society.(Dwiyanto, 2005:82) Karenanya,
memahami governance adalah memahami bagaimana integrasi peran antara
pemerintah (birokrasi), sektor swasta dan civil society dalam suatu aturan main
yang disepakati bersama.

Lembaga pemerintah harus mampu menciptakan lingkungan ekonomi,


politik, sosial, budaya, hukum dan keamanan yang kondusif. Sektor swasta
berperan aktif dalam menumbuhkan kegiatan perekonomian yang akan memperluas
lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan, sedangkan civil society harus
mampu berinteraksi secara aktif dengan berbagai macam aktivitas perekonomian,
sosial dan politik termasuk bagaimana melakukan kontrol terhadap jalannya
aktivitas-aktivitas tersebut.

Berdasarkan pemahaman atas pengertian governance tersebut, maka


penambahan kata sifat good dalam governance bisa diartikan sebagai tata
pemerintahan yang baik atau positif. Letak sifat baik atau positif itu adalah
manakala ada pengerahan sumber daya secara maksimal dari potensi yang dimiliki
masing-masing aktor tersebut atas dasar kesadaran dan kesepakatan bersama
terhadap visi yang ingin dicapai. Governance dikatakan memiliki sifat- sifat yang
‘good’, apabila memiliki ciri-ciri atau indikator-indikator tertentu.

6
2. Prinsip-prinsip Good Governance

Menurut UNDP, prinsip-prinsip Good Governance terdiri dari:

1. Partisipasi (participation) Sebagai pemilik kedaulatan, setiap warga Negara


mempunyai hak dan kewajiban untuk mengambil bagian dalam proses
bernegara, berpemerintahan, serta bermasyarakat. Partisipasi tersebut dapat
di lakukan secara langsung ataupun melalui institusi intermediasi.
2. Penegakan Hukum (Rule of law) Good Governance di laksanakan dalam
rangka demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu syarat
kehidupan demokrasi adalah adanya penegakan hukum yang adil dan tidak
pandang bulu. Tanpa penegakan hukum yang tegas tidak akan tercipta
kehidupan yang demokratis, tetapi anarki. Tanpa penegakan hukum, orang
secara bebas berupaya mencapai tujuannya sediri tanpa mengindahkan
kepantingan orang lain, dengan menghalalkan segala cara. Oleh karena itu,
langkah awal penciptaan Good Governance adalah menghubungkan system
hukum yang sehat, baik perangkat lunaknya (software), perangkat
kerasnya(hardware) maupun sumberdaya manusia yang menjalankan
sistemnya (human ware)
3. Transparansi (Transparancy) Salah satu karakteristik Good Ggovernance
adalah keterbukaan. Karakteristik ini sesuai dengan semangat zaman yang
serba terbuka akibat adanya revolusi informasi. Keterbukaan itu mencakup
semua aspek aktifitas yang menyangkut kepentingan publik, dari proses
pengambilan keputusan , penggunaan dana-dana public, sampai pada
tahapan evaluasi.

4. Daya Tanggap (Responsiveness) Sebagai konsekuensi logis dari


keterbukaan , setiap komponen yang terlibat dalam proses pembangunan
good governance harus memiliki daya tanggap terhadap keinginan atau
keluhan para pemegang saham (stake holder). Upaya peningkatan daya
tanggap tersebut, terutama di tujukan pada sector publik yang selama ini
cenderung tertutup, arogan, serta berorientasi pada kekuasaan. Untuk
mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang di berikan oleh

7
sector public, secara periodik perlu di lakukan suvei untuk mengetahui
tingkat kepuasan konsumen.
5. Beroriantasi pada consensus (consensus orientation) Kegiatan bernegara,
berpemerintahan, dan bermasyarakat pada dasarnya merupakan akktifitas
politik, yang berisi dua hal utama, yaitu konflik dan consensus. Dalam Good
Governance, pengambilan keputusan ataupun pemecahan masalah bersama
lebih di utamakan berdasarkan consensus, yang di lanjutkan dengan
kesediaan untuk konsisten melaksanakan konsensus yang telah di putuskan
bersama. Consensus bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukan lah hal yang
abaru, karena nilai dasar kita dalam memecahkan persoalan bangsa adalah
melalui musyawarah untuk mufakat.
6. Keadilan (equity) Melalui prinsip Good Governance, setiap warga Negara
memiliki kesempatan yang sama untuk memproleh kesejahteraan. Akan
tetapi karena kemampuan masing-masing warga Negara berbeda-beda,
sector publik harus memainkan peranan agar kesejahteraan dan keadilan
dapat berjalan seiring sejalan.
7. Efisiensi dan Efektifitas (Efficiency and Effectiveness) Agar mampu
berkompetisi secara sehat dalam pencaturan dunia, kegiatan ketiga domain
dan Governance harus mengutamakan efektifitas dan efesiensi dalam setiap
kegiatan. Tekanan perlunya efektifitas dan efisiensi terutama di tujukan
pada sector public karena sector ini menjalankan aktifitasnya secara
monopolistic.tanpa kompetisi, tidak akan ada efisiensi.
8. Akuntabilitas (Accountability) Setiap aktifitas yang berkaitan dengan
kepentingan publik perlu mempertanggungjawabkannya kepada publik.
Tanggung gugat dan tanggung jawab tidak hanya di berikan kepada atasan
saja, tetapi juga pada pemegang saham (stake holder), yaitu masyarakat
luas, secara teoritis, akuntabilitas dapat di bedakan menjadi lima macam,
yaitu:
a. Akuntabilitas organisasi
b. Akuntabilitas legal
c. Akuntabilitas politik
d. Akuntabilita professional

8
e. Akuntabilitas moral

9. Visi Strategis (Strategic vision) Dalam era yang berubah secara dinamis,
setiap domain dalam Good Governence harus memiliki visi yang strategis.
Tanpa visi semacam itu, suatu bangsa dan Negara akan mengalami
ketinggalan. visi itu, dapat di bedakan antara visi jangka panjang (long term
vision) antar 20 samapai 25 tahun, serta visi jangka pendek (short term
vision) sekitar 5 tahun.

Arti Good dalam Good Governence mengandung dua pengertian. Pertama,


nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai nilai yang dapat
meningkatkan kemampuan rakyat dalam mencapai tujuan (nasional) kemandirian,
pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari
pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai
tujuan tersebut. berdasarka pengertian ini, good governance berorientasi pada, yaitu
pertama orientasi ideal negara yang di arahkan pada pencapaian tujuan nasional,
dan yang kedua pemerintah yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan
efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional (Adisasmita.2011:23)

Terselenggaranya Good Governence merupakan prasyarat bagi setiap


pemerintah untuk mewujutkan anspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan serta
cita cita berbangsa dan bernegara. Dalam rangka itu di perlukan pengembangan dan
penerapan sistem pertanggung jawaban yang tepat, jelas, dan legitimate sehingga
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berdaya guna, berhasil
guna, bersih dan bertanggung jawab, serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
(Rosidin, 2004:184)

3. Pelaksanaan Good Governance di Indonesia

a. Penerapan good governance di Indonesia dilatarbelakangi oleh dua hal yang


sangat mendasar: Tuntutan eksternal: Pengaruh globalisasi telah memaksa
kita untk menerapkan good governance. Istilah good governance mulai

9
mengemuka di Indonesia pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan interaksi
antara pemerintah Indonesia dengan negara-negara luar dan lembaga-
lembaga donor yang menyoroti kondisi objektif situasi perkembangan
ekonomi dan politik dalam negeri Indonesia.
b. Tuntutan internal: Masyarakat melihat dan merasakan bahwa salah satu
penyebab terjadinya krisis multidimensional saat ini adalah terjadinya juse
of power yang terwujud dalam bentuk KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme), dan sudah sedemikan rupa mewabah dalam segala aspek
kehidupan. Masyarakat menilai praktik KKN yang paling mencolok
kualitas dan kuantitasnya adalah justru yang dilakukan oleh cabang-cabang
pemerintahan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Pelaksanaan good governance yang baik adalah bertumpu pada tiga pilar
dan penerapannya akan berjalan dengan baik jika didukung oleh tiga pilar yang
saling berhubungan, yaitu negara/pemerintah dan perangkatnya sebagai regulator,
dunia usaha atau swasta sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna
produk dari dunia usaha, sehingga menjalankan good governance seyogyanya
dilakukan bersama- sama pada tiga pilar/elemen tersebut. Bila pelaksanaan hanya
dibebankan pada pemerintah saja maka keberhasilannya kurang optimal dan

bahkan memerlukan waktu yang panjang. .


C. Pelayanan Publik.

Pelayanan menurut Moenir (2002 : 6) adalah kegiatan yang diteruskan oleh


organisasi atau perseorangan kepada konsumen yang bersifat tidak berwujud dan
tidak dapat dimilikki, konsumen yaitu masyarakat yang mendapat manfaat dan
aktivitas yang dilakukan oleh organisasi yang memberikan pelayanan.

Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik


mendefinisikan pelayanan publik sebagai berikut. Pelayanan publik adalah kegiatan
atau rangkaian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang,

10
jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan public.

Pelayanan publik menurut Roth (1926 : 1) adalah didefinisikan sebagai


layanan yang tersedia untuk masyarakat, baik secara umum atau secara khusus.
Sedangkan Lewis dan Gilman (2005 : 22) mendefinisikan pelayanan publik sebagai
berikut. Pelayanan publik adalah kepercayaan publik. Warga negara berharap
pelayanan publik dapat melayani dengan kejujuran dan pengelolaan sumber
penghasilan secara tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Pelayanan publik yang adil dan dapat dipertanggungjawabkan menghasilkan
kepercayaan publik sebagai dasar untuk mewujudkan pemerintah yang baik.

1. Penyelenggara Pelayanan Publik

Penyelenggara Pelayanan Publik Dalam melaksanakan pelayanan publik


pemerintah membentuk Organisasi Penyelenggara. Penyelenggara adalah setiap
institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk
berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik dan badan hukum
lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Penyelenggara
dan seluruh bagian organisasi penyelenggara bertanggung jawab atas ketidak
mampuan, pelanggaran, dan kegagalan penyelenggaraan pelayanan.
Organisasi penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,
sekurang-kurangnya meliputi:
a) Pelaksanaan pelayanan
b) Pengelolaan pengaduan masyarakat
c) Pengelolaan informasi
d) Pengawasan internal
e) Penyuluhan kepada masyarakat
f) Pelayanan konsultasi.

Dalam melaksanakan pelayanan publik, menurut ketentuan Pasal 15


Undang-Undang No. 25 tahun 2009, penyelenggara berkewajiban:
a) Menyusun dan menetapkan standar pelayanan.

11
b) Menyusun, menetapkan, dan memublikasikan maklumat pelayanan
c) Menempatkan pelaksana yang kompeten.
d) Menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik
yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai.
e) Memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas
penyelenggaraan pelayanan publik.
f) Melaksanakan pelayanan sesuai dengan standard pelayanan.
g) Berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.
h) Memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang
diselenggarakan.
i) Membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung
jawabnya.
j) Bertanggung jawab dalam pengelolaan organisasi penyelenggara
pelayanan publik.
k) Memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang
berlaku apabila mengundurkan diri atau melepaskan tanggung
jawab atas posisi atau jabatan.
l) Memenuhi panggilan atau mewakili organisasi untuk hadir atau
melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas permintaan
pejabat yang berwenang dari lembaga negara atau instansi
pemerintah yang berhak, berwenang, dan sah sesuai dengan
peraturan perundangundangan.

Adapun asas-asas pelayanan publik menurut Pasal 4 Undang-Undang No


25 Tahun 2009 adalah:
a) Kepentingan umum, yaitu pemberian pelayanan tidak boleh
mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan.
b) Kepastian hukum, yaitu Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban
dalam penyelenggaraan pelayanan.
c) Kesamaan hak, yaitu Pemberian pelayanan tidak membedakan
suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.

12
d) Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu Pemenuhan hak harus
sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh
pemberi maupun penerima pelayanan.
e) Keprofesionalan, yaitu Pelaksana pelayanan harus memiliki
kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas.
f) Partisipatif, yaitu peningkatan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi,
kebutuhan, dan harapan masyarakat.
g) Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, yaitu setiap warga negara
berhak memperoleh pelayanan yang adil.
h) Keterbukaan, yaitu setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah
mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang
diinginkan.
i) Akuntabilitas, yaitu proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
j) Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, yaitu
pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta
keadilan dalam pelayanan.
k) Ketepatan waktu, yaitu penyelesaian setiap jenis pelayanan
dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan.
l) Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, yaitu setiap jenis
pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.

Komponen standar pelayanan public menurut Pasal 21 Undang-Undang No 25


Tahun 2009 sekurang-kurangnya meliputi:
a) Dasar hukum, yaitu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
penyelenggaraan pelayanan.
b) Persyaratan, yaitu syarat yang harus dipenuhi dalam pengurusan suatu jenis
pelayanan, baik persyaratan teknis maupun administratif.
c) Sistem, mekanisme, dan prosedur, yaitu tata cara pelayanan yang dibakukan
bagi pemberi dan penerima pelayanan, termasuk pengaduan.

13
d) Jangka waktu penyelesaian, yaitu jangka waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan seluruh proses pelayanan dari setiap jenis pelayanan.
e) Biaya/tarif, yaitu ongkos yang dikenakan kepada penerima layanan dalam
mengurus dan/atau memperoleh pelayanan dari penyelenggara yang
besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara penyelenggara dan
masyarakat.
f) Produk pelayanan, yaitu hasil pelayanan yang diberikan dan diterima sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
g) Sarana, prasarana, dan/atau fasilitas, yaitu peralatan dan fasilitas yang
diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan, termasuk peralatan dan
fasilitas pelayanan bagi kelompok rentan.
h) Kompetensi pelaksana, yaitu kemampuan yang harus dimiliki oleh
pelaksana meliputi pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan pengalaman.
i) Pengawasan internal, yaitu Pengendalian yang dilakukan oleh pimpinan
satuan kerja atau atasan langsung pelaksana.
j) Penanganan pengaduan, saran, dan masukan, yaitu Tata cara pelaksanaan
penanganan pengaduan dan tindak lanjut.
k) Jumlah pelaksana, yaitu tersedianya pelaksana sesuai dengan beban kerja.
l. Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan
sesuai dengan standard pelayanan.

D. Penerapan Good Governance melalui Pelayanan Publik

Menerapkan praktik good governance dapat dilakukan secara bertahap


sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Salah
satu pilihan strategis untuk menerapkan good governance di Indonesia adalah
melalui penyelenggaraan pelayanan publik. Ada beberapa pertimbangan mengapa
pelayanan publik menjadi strategis untuk memulai menerapkan good governance.

Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dianggap penting oleh


semua aktor dari unsur good governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam
masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki kepentingan terhadap
perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan penting yang melatar-

14
belakangi bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong praktik good
governance di Indonesia. Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai
penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah , warga, dan sektor usaha. Kedua,
pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur governance melakukan interaksi
yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good
governance diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata melalui pelayanan publik.

Pelayanan publik menjadi penting dan strategis untuk pengembangan good


governance di Indonesia. Pertama; Pelayanan publik selama ini menjadi ranah
dimana negara yang diwakili oleh Pemerintah berinteraksi dengan lembaga non
pemerintah. Keberhasilan dalam mewujudkan praktik pelayanan publik dan good
governance mampu membangkitkan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat
terhadap pemerintah. Tetapi sebaliknya kegagalan mewujudkan pelayanan publik
yang prima dan good governance akan menumbuhkan pesimistis, apatis dan bad
government. Karena semakin meluasnya pesimis dan apatis akan sangat
membahayakan demokrasi dan keberlangsungan suatu pemerintahan negara dan
kesinambungan bangsa. Karena dengan menjadikan praktek pelayanan publik
sebagai pintu masuk dalam membangun good governance, maka toleransi dan
pemberdayaan masyarakat akan lebih mudah dan semangat perubahan yang terus
menerus akan mampu menyinari perjalanan bangsa yang merdeka dan berdaulat,
seperti tersurat dalam mukodimah undang Undang Dasar 1945 dan dalam tujuan
negara Indonesia .

Kedua; Pelayanan publik adalah ranah dimana berbagai aspek good


governance dapat diartikulasikan secara relatif lebih mudah. Aspek kelembagaan
yang selama ini sering dijadikan rujukan dalam menilai praktek governance dapat
dengan mudah dalam praktek pelayanan publik. Salah satu makna penting dari
governance yang membedakan dengan government adalah keterlibatan aktor-aktor
di luar pemerintahan dan negara dalam merespon masalah publik dalam negeri
maupun luar negeri, termasuk masyakarat sipil atau militer, pengusaha dan aktor
lainnya. Dalam pelayanan publik keterlibatan unsur masyarakat dan mekanisme
pasar seringkali juga tak dapat dihindarkan.

15
Dalam hal ini suatu keuntungan yang menjadikan tugas, fungsi dan peran
pemerintah akan menjadi ringan, apabila aktor di luar pemerintah ikut berperan
secara aktif, transparan dan bertanggung jawab. Untuk itu diperlukan reposisi
terhadap tiga aktor dalam membangun good governance agar lebih efesien, non
diskriminatif dan berkeadilan serta berdaya tanggap tinggi. Kompleksitas
pelayanan publik dan good governance utamanya dalam tolok ukur indikator dan
keberhasilan yang sering kali membuat perdebatan yang tidak kunjung selesai
sampai saat ini, sehingga seringkali kehilangan arah dalam mencapai sasaran dan
tujuannya. Dengan menjadikan pelayanan publik sebagai pintu masuk untuk
mendukung good governance akan relatif lebih mudah di kembangkan, sehingga
pelayanan publik menjadi efesien, efektif, non diskriminatif, berdaya tanggap tinggi
dan memiliki akuntabilitas yang tinggi serta dapat mudah diukur keberhasilan dan
cara mengevaluasinya oleh semua pihak yang terkait (stakeholders).

Ketiga; pelayanan publik melibatkan semua yang berkepentingan dan


dominasi pemerintah adalah merupakan kewajiban. Pelayanan publik memiliki
high stake dan menjadi pertaruhan bagi unsur pemerintah ( Legislatif, Eksekutif
dan Yudikatif ) pada tingkat pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah.
Keberhasilan sebuah rezim dalam membangun good governance dapat pula dilihat
dari sebeberapa kualitas pelayanan publik yang dapat memuaskan masyarakat.
Apalagi dalam era dimana warga ingin menggunakan hak politiknya dapat pula
menentukan nasib sang aktor pemimpin bangsa, negara dan daerah. Dalam banyak
kasus penyelenggaraan pelayanan publik yang tidak baik, warga dapat
mempermainkan hak politiknya suatu rezim penguasa, seperti mengajukan hak
angket, protes, demonstrasi, mengajukan mosi tidak percaya, tidak dipilih sewaktu
pemilihan Kepala Negara atau Daerah dan lain lain. Dengan memperhatikan
berbagai hal tersebut di atas, pejabat publik memiliki kepentingan untuk melakukan
reformasi pelayanannya, dengan sumber daya yang tidak sedikit, jika ingin eksis di
dalam singgasana jabatan dan kedudukannya. Oleh sebab itu, komunikasi politik,
koalisi, kemitraan dan koordinasi antar pihak yang sevisi, sealiran, sepaham dan
sinergi menjadi sangat penting .

16
Pelayanan publik harus bertanggung jawab kepada masyarakat secara
transparan dan adil. Peranan pemerintah hanyalah memfasilitasi dalam negosiasi
dari berbagai keinginan warga. Oleh sebab itu birokrasi harus akuntabel pada
berbagai aspek kepentingan dan aspek politik yang berlaku, termasuk standar
profesional dan kepentingan warga. Sesuai uraian tersebut di atas, menurut
Denhardt yang dikutip oleh AG. Suharsono (2005), konsep pelayanan publik yang
ideal di era demokratisasi ini adalah sebagai berikut:

Tabel 2
Pergeseran Paradigma Model Pelayanan Publik

OLD PUBLIC NEW PUBLIC


NEW PUBLIC
N0 ASPEK ADMINIST ADMINIST
SERVICE
RATION RATION
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Dasar teoritis Teori politik Teori ekonomi Teori demokrasi
Kepentingan publik Kepentingan
Kepentingan publik
Konsep sesuai yang publik mewakili
adalah hasil dari
2 kepentingan didefinisikan secara agregasi dan
dialog tentang
publik politis yang tercantum kepentingan
berbagai nilai
dalam aturan individu
Kepada siapa
birokrasi publik
Pelanggan
3 harus Klien dan Pemilih Warga negara
(costumers)
bertanggung
jawab ?
Menegosiasikan
dan mengaloborasi
berbagai
Peran Mengarahkan
4 Pengayuh (Rowing) kepentingan warga
Pemerintah (Steering)
negara dan
kelompok
masyarakat
Multi aspek :
Akuntabel pada
Kehendak pasar
hukum, nilai di
Menurut hirarchi yang merupakan
5 Akuntabilitas masyarakat, norma
administratif hasil pelanggan
politik, standar
keinginan
profesional dan
kepentingan warga

17
Dasar teoritis pelayanan publik yang ideal menurut new public service
sebagaimana tersebut di atas, yaitu pelayanan publik yang responsip terhadap
berbagai kepentingan dan nilai yang ada di masyarakat. Tugas pemerintah adalah
melakukan negosiasi dan mengelaborasi berbagai kepentingan masyarakat. Ini
mengandung makna bahwa karakter dan nilai yang ada dalam masyarakat tersebut
terus berkembang dan berubah dari suatu waktu ke waktu yang lain (dinamis).
Dalam hal ini Aparatur Pemerintah dalam melayani publik harus pula
memperhatikan dimensi pelayanan yang berkualitas. Menurut Irfan Islamy (2005)
dimensi-dimensi pelayanan yang berkualitas dapat dibandingkan antara negara
Indonesia dengan negara-negara maju sebagai berikut :

Tabel 3
Dimensi Pelayanan yang Berkualitas

INDEK KEPUASAN MASYARAKAT INDEK KUALITAS PELAYANAN


N0
INDONESIA NEGARA MAJU

1 Kesederhanaan prosedur pelayanan Appropriateness, Accuracy

2 Kesesuaian persyaratan pelayanan Effevtiveness


3 Kejelasan petugas pelayanan Reliability
4 Kedisiplinan petugas pelayanan Responsiveness
Kejelasan wewenang dan tanggung jawab
5 Wramth, caring and consent
petugas pelayanan
6 Keahlian dan ketrampilan petugas pelayanan Effesiency, durability/continuity

7 Kecepatan pelayanan Consistency


8 Keadilan mendapatkan pelayanan Convenience
9 Kesopanan dan keramahan petugas Safety
10 Kewajaran biaya pelayanan Timeliness
11 Kepastian biaya pelayanan Aesthetics
12 Kepastian jadwal pelayanan Accessbility/service availability
13 Kenyamanan lingkungan Completeness
Perceived quality
14 Keamanan pelayanan

18
Oleh karena itu, penyelenggara pelayanan public harus juga sigap memberi
pelayanan yang berkualitas seperti tersebut di atas dan tanggap dalam menghadapi
setiap perubahan. Selain itu pelayanan publik model baru ini bersifat non
diskriminatif, sebagaimana dimaksud oleh dasar teori demokrasi tersebut.
Demikian pula teori demokrasi yang menjamin persamaan hak dan kewajiban
setiap warga negara, juga harus didukung oleh kepastian hukum tanpa membedakan
latar belakang. Hubungan yang terjalin antara birokrat dengan warga negara adalah
hubungan impersonal, sehingga terhindar dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

E. FAKTOR PENGHAMBAT PELAYANAN PUBLIK DAN


PENYELESAIANNYA

Melaksanakan pelayanan publik pastilah ditemukan permasalahan yang


ditemukan dalam prakteknya yang pada dasarnya adalah peningkatan kualitas
pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas dilihat dari berbagai aspek, yaitu
bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya
manusia, dan kelembagaan. Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan
publik masih memiliki berbagai hambatan yang dirumuskan oleh Moenir
(2008:184) sebagai berikut:
a. Adanya dugaan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan pelayanan publik.
b. Adanya sikap dan tingkah laku dalam pelaksanaan tugas/pekerjaan yang dirasa
tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang berfalsafah pancasila.
c. Kurang adanya disiplin pada petugas terhadap jadwal atau waktu yang telah
ditentukan.
d. Penyelesaian masalah yang berlarut-larut tidak ada kepastian kapan akan selesai.
e. Adanya kelalaian dalam penggunaan bahan, pengerjaan barang, tidak sesuai
dengan permintaan atau standar.
f. Aturan itu sendiri dianggap menyulitkan, memberatkan atau dirasa mengurangi
hak mereka.
g. Tidak ada tanggapan yang layak terhadap keluhan yang telah disampaikan

Slain itu, kelemahan pelayanan publik dilihat dari pola penyelenggaraannya


dapat dijabarkan sebagi berikut:

19
a. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur
pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai
dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai
keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau
bahkan diabaikan sama sekali.
b. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan
kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
c. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari
jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang
memerlukan pelayanan tersebut.
d. d. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan
lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang
tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan
dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
e. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya
dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga
menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan
dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan
(front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di
lain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan
penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang
terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai
masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
f. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya
aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar
keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan
dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu
g. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam
pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang
diberikan

Hal- hal yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut


antara lain adalah sebagai berikut: , (Abdul Wakhid: 2017:57)

20
1. Penetapan Standar Pelayanan. Standar pelayanan memiliki arti yang sangat
penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu
komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan
suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-
harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan
standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis
pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan,
perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan
prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan
memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan,
tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung
terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan
adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber
daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan
yang akan ditanganinya.
2. Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP). Untuk memastikan
bahwa Proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya
Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses
pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat
berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara
konsisten. Disamping itu SOP juga bermanfaat dalam hal:
a. Untuk memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika
terjadi hal-hal tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas
menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka petugas lain
dapat menggantikannya.Oleh karena itu proses pelayanan dapat
berjalan terus;
b. Untuk memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai
dengan peraturan yang berlaku;
c. Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran
terhadap kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam
pelayanan;

21
d. Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan
perubahan- perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan;
e. Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian
pelayanan;
f. Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan
yang akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani
satu proses pelayanan tertentu. Atau dengan kata lain, bahwa semua
petugas yang terlibat dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas
dan tangungjawab yang jelas;
3. Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan. Untuk menjaga kepuasan
masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian
kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh
penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan,
kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan
oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat.
Oleh karena itukepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya
peningkatan pelayanan publik;
4. Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan. Pengaduan masyarakat
merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara
pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain
suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara dapat efektif dan efisien
mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi
perbaikan kualitas pelayanan; Sedangkan dari sisi makro, peningkatan
kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-
model pelayanan publik. Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat
pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara private untuk
menghasilkan kualitas yang baik. Beberapa model yang sudah banyak
diperkenalkan antara lain: contracting out, dalam hal ini pelayanan publik
dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang, pemerintah
memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini pemerintah
menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu

22
yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum.
Dalam banyak hal pemerintah juga dapat melakukan privatisasi.

Dalam pandangan Albert dan Zamke (1990) yang dikutip oleh AG.
Subarsono (2005), menyebutkan bahwa kualitas pelayanan publik merupakan
hasil interaksi dari berbagai aspek, yaitu: sistem pelayanan, sumberdaya
manusia pemberi pelayanan, strategi dan pelanggan. Sistem pelayanan publik
yang baik akan menghasilkan kualitas yang baik pula dan pelanggan menjadi
puas. Oleh karena itu kualitas pelayanan harus sesuai selera dan harapan
pelanggan. Ini artinya organisasi pemerintah harus selalu responsif dan
antisipatif pada setiap perubahan kebutuhan pelanggan.

Kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi akan dipengaruhi


oleh berbagai faktor, antara lain: tingkat kompensasi aparatur, kualitas
infrastruktur, budaya organisasi dan tingkat kompetensi aparaturnya. Adapun
kualitas pelayanan yang ideal menurut Lenvine (1990) yang dikutip oleh AG.
Subarsono (2005), adalah memenuhi tiga indikator, yaitu: Pertama,
Responsiveness, adalah daya tanggap penyedia layanan terhadap harapan,
keinginan, aspirasi dan tuntutan pengguna layanan; Kedua, Responsibility,
adalah ukuran yang menunjukkan seberapa jauh proses pemberian layanan
publik dilakukan sesuai dengan prinsip-prisip organisasi yang telah ditetapkan,
dan; Ketiga, Accountability, adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa
besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai kepentingan para pihak
(Stakeholders) dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

23
BAB III
Kesimpulan

1. Penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance), pada


dasarnya menuntut keterlibatan seluruh komponen pemangku kepentingan,
baik di lingkungan birokrasi maupun di lingkungan masyarakat, dekat
dengan masyarakat dan dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
2. Terselenggaranya pelayanan publik yang baik, memberikan indikasi
membaiknya kinerja manajemen pemerintahan, di sisi lain menunjukkan
adanya perubahan pola pikir yang berpengaruh terhadap perubahan yang
lebih baik terhadap sikap mental dan perilaku aparat pemerintahan yang
berorientasi pada pelayanan publik
3. Good Government Governance sebagai suatu konsep dalam menjalankan
pemerintahan tidak terhenti hanya sampai pemahaman saja, melainkan
harus benar-benar diimplementasikan dalam langkah kongkret sehingga
dapat memberikan manfaat pada seluruh pihak yang berkepentingan dengan
pemerintahan. Implementasi Good Government Governance dalam
pemerintahan secara sederhana adalah menerapkan prinsip Good
Government Governance kedalam system dan pengelolaan pemerintahan
dengan baik dan benar.

24
DAFTAR PUSATAKA

Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik


Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta, Bandung
Aldrich, 1976 : Maggio & Powel E Howard, Resources Dependence and
interorganizeonal Relations Local Employman service offices and Social
Services Sector Organizations, Administration and society journal, Sage
Publications.
Azizy, Abdul Qodri. 2007. Change Management dalam Reformasi Birokrasi.
Jakarta:Gramedia.
Barata, Atep. 2003. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Jakarta: Gramedia.
--------------. 2004. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Jakarta: Elex Media.
Direktorat Kerja Sama Pembangunan Sektoral dan Daerah. 2003. Kebijakan
Strategis Pemberdayaan Masyarakat. Bappenas, Jakarta.
Dwiyanto, Agus. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.
Yogyakarta: Gajahmada University Press.
----------------. 2003. Reformasi Pelayanan Publik: Apa yang harus dilakukan?
Policy Brief. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
IAN & BPKP. 2000. Pelayanan Publik. Malang: CV Citra Malang.
Islamy, M. Irfan, 2001, Prinsip-prinsip Kebijakan Negara. Bumi Aksara, Jakarta.
Kasmir. 2006. Manajemen Perbankan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
LAN, 2008, Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik, Jakarta, Lembaga
Administrasi Negara
------, 2003. Penyusunan Standar Pelayanan Publik. Jakarta: STIA LAN Press.
Lester, James P dan Steward, Josep Jr. 2000. Public Policy: An Evolutionary
Approach. Belmont, Wadsworth.
Lewis, Carol W., Stuart C. Gilman. 2005. The Ethics Challenge in Public Service:
A Problem-Solving Guide. Market Street. San Fransisco: Jossey-Bass.
Lukman, Samparaa. 2000. Manajemen Kualitas Pelayanan. Jakarta: STIA LAN
Press.
Moenir. 2002. Maanajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Moenir. 2008. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi
Aksara
Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi.
PT Elex Media Komputindo, Jakarta.
O’Flynn, Janine dan Wanna, John. 2008. Collaborative Governance: A New Era
of Public Policy in Australia. The Australian National University (ANU) –
E PRESS, Australia.
O’Leary, Rosemary dan Bingham Blumgren, Lisa. 2009. The Collaborative
Public Manager. Georgetown University Press, Washington DC.
Osborne, Stephen. 2010. The New Public Governance: Emerging Perspectives on
the Theory and Practice of Public Governance. Routledge 2 Park Square
Abingdon, Oxon, New York.
Ratminto dan Winarsih, Atik Septi. 2006. Manajemen Pelayanan. Jakarta: Pustaka
Pelajar.
Rosidin.2010. Otonomi daerah dan Desentralisasi. Bandung: Pustaka Setia.
Roth, G.J. 1987, 'The Private Provision of Public Services in Developing
Countries', Oxford University Press, New York.
Sadjijono. 2007. Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance,
LAKSBANG.
Santosa, Panji. 2008. Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance.
Bandung: PT. Reflika Aditama.
Suharsono .A.G. 2005, “Analisis Kebijakan Publik “. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
World Bank (1992a). Governance and Development. Washington, DC: World
Bank.
Wakhid, Ali Abdul, Reformasi Pelayanan Publik di Indonesia, Jurnal TAPIs
No.14 Vol.01 Januari – Juni 2017

Anda mungkin juga menyukai