Anda di halaman 1dari 27

11

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Alat Tangkap Sero

Sero adalah salah satu jenis alat tangkap berbentuk perangkap besar yang
sifatnya menetap, alat ini terbuat dari bilahan-bilahan bambu dan rotan yang
bentuknya sedemikian rupa, dimana membentuk beberapa bagian ruang berbentuk
segitiga yang tersusun satu di belakang dan alat ini umumnya dipasang
memanjang dengan arah tegak lurus terhadap garis pantai (Gunarso 1996).
Nikonorov (1975) membedakan bagian perangkap (sero) dalam 3 bagian
diantaranya: 1) penaju (leader net) untuk penghalau ikan, 2) badan (body)
untuk berkumpulnya ikan sementara waktu sebelum masuk ke bunuhan),
dan 3) bunuhan (crib) tempat tertahannya atau tertangkapnya ikan. Subani dan
Barus (1989) menyatakan bahwa pada prinsipnya alat tangkap ini terdiri dari
4 bagian penting yang masing–masing disebut: penaju (leader net), sayap (wing),
badan (body) dan bunuhan (crib). Adapun fungsi dari bagian-bagian tersebut
adalah sebagai berikut:

2.1.1 Penaju (leader net)

Penaju mempunyai peranan sangat penting dibandingkan dengan kedua


sayap atau kaki lainnya, karena penaju merupakan leader net yang berfungsi
untuk menghadang ikan dalam renang ruayanya (Ayodhyoa 1981).
Panjang penaju sangat bervariasi tergantung dari besar kecilnya sero.
Menurut Nomura dan Yamazaki (1977) dalam Nikonorov (1975) menyatakan
bahwa herring masih terus menyusuri leader net sampai pada jarak 300-3000 m
dan lebih lanjut mempertegas bahwa perairan yang jernih leader net harus lebih
panjang dibandingkan pada perairan keruh. Aslanova (1947) dalam Nikonorov
(1975) menambahkan bahwa jenis ikan herring kecil menjaga jarak dengan leader
net yaitu 1,5-2 m, tetapi ikan herring tetap berenang dan akhirnya membentuk
schooling dan terkonsentrasi pada jarak 0,5 m dengan kedalaman 5-6 m.
12

2.1.2 Sayap (wing)

Sayap berfungsi sebagai penghalang ikan yang menyusuri penaju,


sampai ikan masuk kedalam badan sero atau kamar-kamar sero, bagian ini
mempunyai ruang yang luas sehingga diharapkan ikan bisa bermain atau mencari
makan sebelum masuk kedalam bagian berikutnya.

2.1.3 Badan (body)

Badan sero terdiri atas beberapa kamar (room atau chamber).


Bentuk kamar ini bermacam-macam, ada yang berbentuk jantung, segitiga dan
berbentuk lingkaran. Pada bagian depan kamar-kamar sero tersebut dipasang
pintu-pintu dari kere bambu yang mudah ditutup atau dibuka pada saat operasi
penangkapan ikan berlangsung. Jumlah kamar sero bervariasi tergantung dari
ukuran sero. Sero yang berukuran kecil umumnya terdiri atas 1-2 kamar, yang
berukuran sedang terdiri atas 3 kamar sedangkan sero yang berukuran besar
biasanya terdiri atas 4-5 kamar. Pada kamar sero tersebut terdapat lengan yang
prinsipnya menyukarkan ikan untuk keluar dan akhirnya masuk ke dalam kamar
berikutnya.

2.1.4 Bunuhan (crib)

Bunuhan adalah tempat akhir terjebak dan berkumpulnya ikan.


Ikan yang telah masuk ke dalam bunuhan sukar untuk meloloskan diri lagi.
Pada bagian bunuhan inilah dilakukan pengambilan hasil tangkapan dengan
menggunakan bantuan serok.

2.2 Daerah Penangkapan Sero

Alat tangkap sero dipasang pada perairan pantai atau daerah pasang
surut, yaitu daerah yang mempunyai keanekaragaman biota yang sangat tinggi
disebabkan karena habitat perairan pesisir yang dangkal menyediakan makanan
bagi ikan pelagis dan demersal dan perairan yang dangkal merupakan tempat
yang baik untuk memijah, mencari makan, tempat berlindung dari ancaman
ikan-ikan pemangsa atau predator (McConnaughey dan Zottoli 1983).
13

Pasang surut dan gerakan ombak di pantai dapat mengangkat zat-zat makanan
sehingga berbagai jenis ikan dapat memanfaatkannya dengan relatif mudah
(Nybakken 1988).
Alat tangkap sero di pasang secara tegak lurus terhadap garis pantai
dengan kedalaman perairan berkisar 3–8 m pasang tertinggi (Gunarso 1996).
Tiensongrume et al. (1986) dalam Rachmansyah (2004) menyatakan bahwa
kriteria penentuan daerah penangkapan sero adalah sebagai berikut : 1) kedalaman
perairan pada kisaran 1-10 m, 2) Substrat perairan berupa pasir berlumpur atau
lumpur dan pasir, 3) berada di daerah muara sungai dengan jarak kurang lebih
200-250 m dari sungai, 3) arus perairan pada kisaran 0,05-0,4 m/det, 4) tinggi air
pasang pada kisaran 0,5 m, 5) tidak berada di daerah pencemaran, 6) aksesbilitas
baik, 7) suhu perairan pada kisaran 26-35 oC, dan 8) salinitas pada kisaran 60 ppt.
Lebih lanjut Wudianto (2007) mengungkapkan bahwa hal penting yang harus
diperhatikan sebelum pemasangan set antara lain: ketersedian sumber daya ikan
yang menjadi tujuan penangkapan, pola ruaya ikan yang menjadi tujuan
penangkapan, kondisi perairan dimana set net akan dipasang (topografi dasar,
keadaan arus, pasang surut, dan gelombang).
Menurut Widodo dan Suadi (2008) bahwa perairan dangkal dengan
kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan yang berlumpur serta
relatif datar merupakan daerah penangkapan demersal yang baik. Contoh dari
perairan tersebut adalah pada paparan Sunda (Selat Malaka, Laut Jawa dan Laut
Cina Selatan serta Paparan Sahul). Lebih lanjut dikemukakan oleh Yusof (2002)
bahwa dengan perbedaan kedalaman ternyata jumlah hasil tangkapan berbeda
pula. Hal ini bisa dilihat di perairan Peninsular Malaysia pada jenis substrat dasar
pasir dan pasir berlumpur dengan kedalaman kurang dari 80 m menunjukkan hasil
tangkapan dari 48 stasiun didominasi oleh ikan demersal 95,40% dari seluruh
hasil tangkapan dengan rata-rata kemampuan tangkap (catch rate) 66,65 kg/jam.
Pada kedalaman perairan antara 5–18 m tertangkap 62–89 spesies dan pada
kedalaman perairan lebih dari 18 m menunjukkan jumlah spesies yang lebih
banyak lagi yaitu 154 – 191 spesies. Ikan yang mendominasi penangkapan adalah
pari (10,79%). Loliginidae (10,63%), Nemipteridae (7,09%), Mullidae (5,83%),
dan Synodontidae (3,18%).
14

Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu


sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofaua maupun
makrofauna. Mikrofauna berperan sebagai pengurai bahan-bahan anorganik
menjadi bahan-bahan organik yang banyak dimanfaatkan oleh biota-biota lain.
Ikan demersal yang termasuk makrofauna juga sangat tergantung dengan substrat
dasar perairan, hal ini disebabkan ikan demersal banyak mengambil makanan di
substrat dasar perairan. Ikan-ikan demersal umumnya dapat hidup dengan baik di
perairan yang bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir dan makanan ikan
demersal berupa benthos maupun biota kecil lainnya. Hal ini diperkuat oleh
penelitian Masrikat (2009) bahwa ikan demersal yang tertangkap selama
penelitian dengan jumlah individu terbanyak (19.462 ekor) ditemukan pada
stasiun 18 dengan dasar perairan lumpur berpasir.

2.3 Jenis-jenis Ikan yang Tertangkap Alat Tangkap Sero

Hasil tangkapan utama dari alat tangkap sero adalah jenis ikan demersal.
Jenis ikan ini hidup di dasar atau dekat perairan atau yang bermigrasi di pantai
saat air pasang untuk mencari makan. Boer et al. (2001) mengemukakan bahwa
sumberdaya ikan demersal merupakan kelompok jenis-jenis ikan yang hidup di
dasar atau dekat dengan dasar perairan. Kelompok ikan ini pada umumnya
memiliki aktivitas relatif rendah, gerak ruaya tidak terlalu jauh dan membentuk
gerombolan yang tidak terlalu besar, sehingga sebarannya relatif lebih merata jika
dibandingkan dengan ikan-ikan pelagis. Kondisi demikian, telah mengakibatkan
daya tahan ikan demersal terhadap tekanan penangkapan tersebut relatif rendah
dan tingkat mortalitas cenderung sejalan dengan peningkatan upaya penangkapan.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Marasabessy (2010) bahwa ikan
demersal hidupnya secara soliter dan hanya sedikit yang dijumpai dalam
kelompok besar. Jenis ikan demersal yang dimaksud seperti : ikan kakap
(Lutjanus sp) dari suku Lutjanidae, kerapu (Epinephelus sp) dari suku Serranidae,
baronang (Siganus sp) dari suku Siganidae, namun jenis ikan yang dijumpai
dalam kelompok besar misalnya ikan ekor kuning (Casio sp) dari suku
Caesionidae. Jenis-jenis ikan demersal tersebut merupakan target utama
penangkapan sero. Namun selain jenis ikan demersal yang tertangkap dengan
15

sero, juga tertangkap ikan pelagis yang beruaya ke pinggir pantai (Subani dan
Barus 1989).
Jenis ikan demersal dibagi menjadi dua jenis yaitu ikan demersal besar dan
ikan demersal kecil (Tabel 1). Dilihat dari nilai ekonomisnya ikan demersal yang
memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu kakap merah, kerapu, pari, bawal putih, dan
bawal hitam (Boer et al. 2001).

Tabel 1 Pengelompokan jenis ikan demersal besar dan demersal kecil


No Sub Kelompok Nama Indonesia Nama Perdagangan Nama Ilmiah
1 Demersal besar Kakap merah Barramundi Lutjanus malabaricus
Giant sea perch L. sanguineus
Kerapu Groupers Ephinephelus spp
Manyung Sea catfishes Arius spp
Senanging Thread fins E. tetradactylum
Pari Rays Trigonidae
Remang Murrays Muraenesex spp
Bawal putih Silver pomfret Pampus argenteus
Bawal hitam Balck pomfret Formio niger
Tiga waja Drums Scianidae
Ketang-ketang Spotted sickelfish Drepane punctata
Gulamah Croackers Scianidae
Layur Hairtails Trichiurus spp
2 Demersal Kecil Pepetek Pony fishes Leiognathidae
Kuniran Goatfish Upeneus sulphureus
Beloso Lizard fishes Saurida spp
Kurisi Treadfin breams Nemipterus spp
Gerot-gerot Grunters Pomadasys spp
Sebelah Indian halibuts Psettodidae.
Sumber : Boer et al. (2001)

Perikanan demersal di Indonesia merupakan tipe perikanan multispesies,


akan tetapi jumlah individu dari masing-masing jenis tersebut relatif rendah.
Boer et al. (2001) dan Widodo et al. (1998) mengemukakan bahwa terdapat
berpuluh jenis ikan demersal di perairan Indonesia. Ikan ini biasanya dieksploitasi
dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap (multigears).
Hasil penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone hasil tangkapan
didominasi oleh ikan demersal seperti biji nangka (Upeneus sulphureus), kapas-
kapas (Gerres kapas), lencam (Lethrinus lentjam), pepetek (Leiognathus
splendens), kerong-kerong (Therapon jarbua), salamandar (Siganus
canaliculatus), kuwe (Carangoides sp.), baracuda (Sphyraena sp.), baronang
16

(Siganus sp.), rajungan (Portunus sp.), udang putih (Peneaus margueinsis), serta
hasil tangkapan sampingan adalah balanak (Valamugil sp.), senangin
(Eleutheronema sp.), layur (Trichiurus sp.), cendro (Tylosurus sp.), bambangan
(Lutjanus sp.), kerapu (Epinephelus sp.), kakap (Lates sp.), pari (Trygon spp.),
buntal (Tetraodon spp.), cumi-cumi (Loligo sp.), kepiting bakau (Scylla sp.), dan
udang windu (Penaeus sp.) dan (Tenriware 2009).

2.4 Ekosistem Perairan


2.4.1 Ekosistem muara sungai (estuaria)

Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas


dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan melalui sungai,
sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar
(Pritchard 1967). Secara ekologis, estuaria adalah daerah yang merupakan tempat
bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut. Pertemuan kedua arus
menghasilkan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan kondisi
lingkungan yang bervariasi. Kondisi perairan estuaria sangat berpengaruh
terhadap biota yang menghuninya. Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia
estuaria berpengaruh penting terhadap kehidupan organisme diantaranya salinitas,
suhu, substrat dan bahan organik, sirkulasi air, dan pasang surut.
Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting antara lain :
sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi
pasangsurut (tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan
yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari
makanan (feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau
tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan
udang. Estuaria merupakan habitat dari ratusan jenis burung, mamalia, ikan, dan
hewan liar lainnya (Odum 1993). Secara ekonomi perairan estuaria dimanfaatkan
manusia untuk tempat pemukiman, tempat penangkapan dan
budidaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan, dan kawasan industri (Bengen 2004).
Produktivitas estuaria bertumpu pada bahan organik yang terbawa masuk
estuaria melalui aliran sungai atau arus pasang surut air laut (Tuwo 2011).
Dikatakan lebih lanjut bahwa perairan estuaria mengandung bahan organik hingga
17

110 mg per liter, sedangkan perairan laut terbuka hanya mengandung bahan
organik 1-3 mg liter. Jejaring makanan pada daerah estuaria cenderung bersifat
terbuka karena organisme yang menghuninya kebanyakan jenis hewan yang
sifatnya hidup sementara pada daerah estuaria. Produktivitas primer pada
perairam estuaria pun sangat terbatas dan hanya dihasilkan oleh beberapa jenis
alga, rumput laut, diatom bentik dan fitoplankton. Namun demikian, bahan
organik berupa detritus yang terendapkan pada estuaria membentuk substrat yang
penting bagi tumbuhnya alga dan bakteri, yang kemudian menjadi sumber
makanan bagi organisme pada tingkat trofik yang lebih tinggi (Tuwo 2011).

2.4.2 Ekosistem mangrove

Hutan mangrove adalah hutan pantai yang selalu atau secara teratur
tergenang air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut laut (Fachrul 2007). Lebih
lanjut dikatakan bahwa hutan mangrove dan ekosistemnya merupakan hutan yang
menempati zona neritik yang berbatasan dengan daratan (coastal wetland), yakni
daerah pantai yang seringkali tergenang air asin din pantai-pantai terlindung
daerah tropika dan subtropika. Meskipun daerah itu hanya 10% luas laut,
namun menampung 90% kehidupan laut (Suryoatmodjo 1996 dalam Fachrul
2007).
Secara ekologis, ekosistem mangrove merupakan penopang ekosistem
pesisir lainnya karena mempunyai saling keterkaitan, terutama ekosistem lamun
dan terumbu karang. Ekosistem mangrove mempunyai fungsi sebagai penghasil
detritus, sumber nutrien, dan bahan organik yang dapat dibawa oleh arus ke
ekosistem padang lamun dan terumbu karang. Tuwo (2011) mengemukakan
bahwa ketiga ekosistem ini mempunyai keterkaitan dimana, ekosistem lamun
berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang dibawa oleh arus ke
ekosistem terumbu karang. Ekosistem lamun juga berfungsi berfungsi sebagai
perangkap sedimen sehingga sedimen tersebut tidak menganggu kehidupan
terumbu karang. Sedangkan ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai
pelindung pantai dari hempasan ombak, gelombang, dan arus laut. Ekosistem
mangrove juga berperan sebagai habitat atau tempat tinggal, tempat mencari
makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat
18

pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun


ataupun terumbu karang (Nybakken 1988; Tomascik et al. 1997).

2.4.3 Ekosistem lamun

Lamun merupakan kelompok tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang


tumbuh di bawah permukaan air di lingkungan bahari. Fortes (1989) menyatakan
bahwa padang lamun memainkan suatu spektrum yang luas dari fungsi biologis
dan fisik atau lamun memainkan peranan kunci ekologis antara lain sebagai
habitat biota, produser primer, perangkap sedimen serta berperan sebagai pendaur
ulang hara dan elemen kelumit (trace element). Lebih dipertegas oleh Nienhuis et
al. (1989) peranan lamun adalah antara lain : 1) produser primer, 2) sebagai
habitat biota, 3) sebagai penangkap sedimen, 4) sebagai pendaur zat hara, dan 5)
sebagai makanan dan kebutuhan lain. Ekosistem padang lamun dihuni berbagai
jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi, antara lain : Siganus spp., Lethrinus
spp., Lutjanus spp., Epinephelus sp., Lates sp., Lisa sp., dan Upeneaus sp.
(Tuwo 2011)
Ekosistem padang lamun bukanlah suatu ekosistem yang terisolasi tetapi
merupakan bagian dari berbagai ekosistem yang saling berinteraksi secara
ekologis terutama dalam ekosistem pantai perairan dangkal di laut tropik.
UNESCO (1983) mengelompokkan dalam 5 (lima) bentuk interaksi antara
ekosistem terumbu karang, mangrove, dan padang lamun yaitu interaksi fisik,
nutrien dan bahan organik terlarut, bahan organik berbutir, ruaya hewan, dampak
manusia. Adanya interaksi yang timbal balik dan saling mendukung, maka secara
ekologis lamun mempunyai peran yang cukup besar bagi ekosistem pantai tropik.

2.5 Parameter Kualitas Perairan

Pengaruh beberapa parameter oseanografi terhadap proses biologi bervariasi


menurut skala waktu dan jarak (Mann dan Lazier 1991). Suhu, salinitas, densitas,
arus, kadar oksigen dan kadar nutrien merupakan parameter oseanografi yang
banyak mempengaruhi proses biologis dalam berbagai skala waktu dan ruang.
Proses fisik tersebut dapat mempengaruhi produktivitas perairan.
19

Brond (1979) dalam Masrikat (2009) mengatakan bahwa ikan dipengaruhi


oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor
lainnya. Dipertegas oleh Ridho (2004) bahwa suhu, salinitas, kecerahan dan
kedalaman memberikan pengaruh terhadap keberadaan jenis-jenis ikan demersal
tertentu, sedangkan terhadap kepadatan biomassa ikan demersal pengaruh tersebut
kecil. Pengaruh suhu, salinitas, kecerahan dan kedalaman terhadap biomassa ikan
demersal tidak bersifat sendiri-sendiri, tetapi secara bersama-sama mempengaruhi
kepadatan biomassa ikan demersal. Lebih lanjut Pujiyati (2008) faktor-faktor
abiotik seperti jenis substrat dasar perairan, kedalaman, kondisi oseanografi
sangat berpengaruh terhadap distribusi komunitas ikan-ikan demersal di perairan
Laut Jawa. Hubungan antara keterkaitan tipe substrat dan komunitas ikan
demersal di perairan Laut Jawa menunjukkan pola yang berbeda untuk lima jenis
ikan dominan yaitu leiognathus splendens (pepetek), Upeneus sulphureus (biji
nangka), Nemipterus japanicus (kurisi), Leiognathus bindus (pepetek) dan
Saurida longimanus (beloso).

2.5.1 Suhu perairan

Suhu air merupakan salah satu parameter fisika yang memegang peranan
di dalam kehidupan dan pertumbuhan biota perairan. Suhu berpengaruh langsung
pada organisme perairan terutama di dalam proses fotosintesis tumbuhan akuatik,
proses metabolisme, dan siklus reproduksi (Sverdrup et al. 1961). Kenaikan suhu
sebesar 10oC akan menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen hewan akuatik
sebesar dua kali lipat (Wardojo 1975 dalam Wardjan 2005).
Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Faktor-
faktor meterologi yang berperan adalah curah hujan, penguapan, kelembaban
udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari. Oleh sebab
itu, suhu di permukaan biasanya mengikuti pola musiman (Nontji 1993). Suhu air
laut pada lapisan permukaan lebih hangat daripada suhu di lapisan dasar, namun
variasi suhu pada perairan estuari lebih rendah dari pada perairan laut. Umumnya
suhu tinggi pada estuari terjadi pada siang hari. Hal ini bisa terjadi karena daerah
dangkal mudah menjadi hangat oleh pasokan aliran panas permukaan laut
(Douglas 2001).
20

Suhu dalam lautan bervariasi sesuai dengan kedalaman. Massa air


permukaan di wilayah trofik, panas sepanjang tahun yaitu 20-30 oC. Di bawah air
permukaan suhu mulai menurun dan mengalami penurunan yang sangat cepat
pada kisaran kedalaman yang lebih dari 50-300 m (Nybakken 1988). King (1963)
suhu permukaan laut biasanya berkisar antara 27oC-29 oC. Tidak berbeda jauh
yang didapatkan oleh Afdal dan Riyono (2004) di Selat Makassar yaitu nilai rata-
rata suhu pada lapisan permukaan 28,9±0,3 °C dengan kisaran antara 28,5-29,6
°C, sedangkan pada lapisan kedalaman suhunya telah mengalami penurunan
seiring dengan bertambahnya kedalaman dan mencapai minimum pada kedalaman
300 m (10,86±0,43 °C) di Selat Makassar. Lebih lanjut Hasanuddin (2007)
menyatakan bahwa perbedaan temperatur permukaan sangat variatif, tergantung
pada lokasi, pengaruh daratan serta profil kedalaman perairan seperti yang terjadi
di Perairan Natuna.
Hatta (2010) menggambarkan hasil pengukuran suhu perairan pada daerah
penangkapan bagan rambo di Kabupaten Barru berkisar antara 27,1-32,0 oC
dengan rata-rata 29,75 oC di permukaan dan 26,1-31,8 oC dengan rata-rata 28,65
o
C pada kedalaman 25 meter. Pengukuran suhu yang dilakukan oleh Safruddin
(2007) selama penelitian di daerah penangkapan purse seine di sebelah selatan di
perairan Kabupaten Jeneponto memberikan gambaran yang hampir sama yaitu
sebesar 29,71 oC dengan kisaran yang lebih sempit (29-30 oC). Sama halnya
dengan Marasabessy dan Edward (2002) memberikan gambaran suhu di Perairan
Raha Sulawesi Tenggara pada bulan Mei dan Juni tahun 2001 mendapatkan
kisaran yang sedikit lebih sempit (27,8-30,9 oC). Tidak berbeda jauh dengan hasil
pengukuran yang dilakukan oleh Umar (2009) yaitu sebesar 29,0 oC di pantai
perairan Suppa Kabupaten Pinrang.

2.5.2 Salinitas

Salinitas ialah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut
dalam satu liter, biasanya dinyatakan dengan satuan o/oo (per mil, gram per liter)
(Nontji 1993). Sebaran salinitas di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone pada
bulan Maret-Agustus 2009 rata-rata 28,17 ‰ pada permukaan muara sungai
(Dangnga et al. 2009). Nilai tersebut sangat jauh kisarannya yang didapatkan
21

Hatta (2009) di permukaan Perairan Barru yang jauh dari pantai yaitu 30,0-35,0
ppm dengan rata-rata 31,30 ppm dan pada kedalaman 25 m didapatkan 30,0-35,0
ppm dengan rata-rata 31,70 ppm. Sementara Poppo et al. (2009) mendapatkan
kisaran salinitas yang lebih rendah antara 29,0-32,0 ppm di perairan pantai
kawasan industri perikanan Kabupaten Jembrana Bali pada bulan Mei-Juni 2008.
Bervariasinya sebaran salinitas disetiap daerah tersebut disebabkan oleh berbagai
faktor seperti topografi perairan, masukan air tawar, curah hujan, pasang surut dan
lain-lain. Perubahan salinitas di perairan bebas relatip lebih kecil dibandingkan
dengan yang terjadi di perairan pantai. Salah satu faktor yang menyebabkan
demikian, karena disebabkan perairan pantai banyak dimasuki oleh air tawar dari
muara-muara sungai terutama pada musim hujan (Laevastu dan Hela 1981).
Hadikusumah et al. (2001) bahwa di dalam perairan estuari seringkali
didominasi oleh proses percampuran dan penyebaran air tawar ke arah lepas
pantai dan masukan air tawar. Kondisi demikian akan menyebabkan terjadinya
interaksi antara air tawar dan air laut. Interaksi antara air tawar dan air laut di
perairan estuari perlu difahami karena dapat memepengaruhi penyebaran suhu,
salinitas, kekeruhan dan sebagainya. Adanya perubahan suhu dapat menyebabkan
terjadinya sirkulasi dan stratifikasi air yang secara langsung maupun tidak
langsung berpengaruh terhadap distribusi air. Wenno (2003) menyatakan bahwa
adanya interaksi antara daratan dengan Selat Makassar menyebabkan nilai rata-
rata salinitas pada lapisan permukaan sedikit berfluktuasi yaitu berkisar antara
30,4-33,7 psu dan mengalami penambahan dengan bertambahnya kedalaman dan
mencapai maksimum pada kedalaman 100 m (34,6 ±0,11 psu), kemudian sedikit
menurun sampai pada lapisan 300 m. Sementara Azis (2007) menyatakan bahwa
salinitas rata-rata di bagian permukaan lebih rendah jika dibandingkan dengan
salinitas rata-rata di bagian dasar pada kondisi pasut menuju pasang. Rendahnya
salinitas tersebut disebabkan karena adanya pengaruh dari daratan dan intrusi air
tawar dari sungai Binuangeun yang menuju laut. Hal ini berarti bahwa aliran
sungai sangat mempengaruhi salinitas di perairan estuaria.
22

2.5.3 Derajat keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hidrogen


dalam perairan yang menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air.
Romimohtarto dan Juwana (2001) menyatakan bahwa perubahan pH sedikit saja
dapat menyebabkan perubahan dalam reaksi fisologik berbagai jaringan maupun
pada reaksi enzim dan lain-lain. Di laut terbuka, variasi pH dalam batas yang
diketahui mempunyai pengaruh kecil pada sebagian besar biota. Nilai derajat
keasaman (pH) di perairan pesisir umumnya lebih rendah dibandingkan dengan
pH air laut lepas, karena adanya pengaruh masukan massa air tawar dari sistem
sungai yang bermuara.
Rata-rata pH normal air laut adalah 7,8-8,2 dan bahkan perairan tropis
dapat meningkat hingga 9,4 selama fotosintesa berlangsung (Phillips dan Menes
1988). Swingle (1968) berpendapat bahwa batas toleransi pH bagi ikan umumnya
berkisar antara pH 4 dan pH 11, dan untuk mendukung kehidupan ikan secara
wajar diperlukan perairan dengan pH yang berkisar antara 5-9. Di lingkungan
perairan laut pH relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit,
biasanya berkisar antara 7,7-8,4 (Nybakken 1988). Batas toleransi organisme air
terhadap pH bervariasi, tergantung pada suhu air, oksigen terlarut dan adanya
berbagai anion dan kation, serta jenis dan stadium hidup organisme. Baku mutu
pH air laut untuk biota laut (budidaya perikanan) yang ditetapkan dalam Kep.No.
02/MENKLH/ Tahun 1988 adalah 6-9.

2.5.4 Oksigen terlarut (DO)

Oksigen merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan organisme.


Oksigen oleh organisme akuatik dipergunakan dalam proses-proses biologi,
khususnya dalam proses respirasi dan penguraian zat organik oleh
mikroorganisme. Dalam ekosistem perairan oksigen terlarut sangat penting untuk
mendukung eksistensi organisme dan proses-proses yang terjadi di dalamnya, hal
ini terlihat dari peranan oksigen selain digunakan untuk aktivitas respirasi
organisme air juga dipakai oleh organisme dekomposer dalam proses bahan
organik di perairan.
23

Sumber utama oksigen dalam air laut adalah dari udara melalui proses
difusi dan proses fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air lainnya pada siang
hari. Nybakken (1988) menyatakan bahwa kelarutan oksigen dalam air
dipengaruhi oleh temperatur dan kecerahan, semakin rendah temperatur perairan
semakin tinggi kelarutannya, dengan kata lain kandungan oksigen dalam kolom
air akan semakin rendah.
Oksigen terlarut merupakan gas yang mutlak dibutuhkan untuk pernapasan
ikan dan biota lain serta diperlukan dalam perombakan bahan organik. Di laut
umumnya dalam 1 liter air laut mengandung 5-6 ml oksigen (Hutagalung et al.
1997). Untuk proses metabolisme, hewan air membutuhkan oksigen terlarut di
atas 5 ppm cukup layak bagi kehidupan larva plankton (Shahab 1986). Para ahli
perikanan sering menyebutkan bahwa ikan dan biota air lainnya memerlukan
sekurang-kurangnya 3 mg/l oksigen terlarut untuk kehidupannya secara normal.
Prescod (1973) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut minimal sebesar 2
ppm, cukup untuk mendukung kehidupan perairan secara normal di daerah tropik
dengan asumsi perairan tidak mengandung bahan beracun. Dikatakan juga bahwa
agar kehidupan ikan dapat layak dan kegiatan perikanan berhasil, maka
kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 4 ppm.

2.5.5 Kecepatan arus perairan

Arus di laut merupakan suatu fenomena dinamika air laut yang terjadi
setiap hari dan merupakan pencerminan gerakan massa air laut dari suatu tempat
ke tempat lain secara horizontal. Massa air permukaan selalu bergerak, gerakan
ini ditimbulkan terutama oleh kekuatan angin yang bertiup melintasi permukaan
air dan pasang surut. Angin mendorong bergeraknya air permukaan sehingga
menghasilkan suatu gerakan arus horizontal yang lamban, tetapi mampu
mengangkut volume air yang sangat besar melintasi jarak di lautan. Keadaan arus
ini mempengaruhi pola penyebaran organisme laut (Nybakken 1988).
Perairan pantai Indonesia kecepatan arusnya relatif cukup kuat dan
bervariasi seperti yang terjadi di sekitar perairan Teluk Klabat, perairan pantai
Muntok dan Selat Bangka berkisar antara 5-72 cm/det. Kecepatan utama arus
mencapai lebih dari 40 cm/det, pada musim timur (Agustus) lebih kuat dari pada
24

musim peralihan (April) (Nurhayati 2007). Kecepatan arus di perairan Selat


Lombok pada bulan Agustus pada lapisan permukaan juga bisa mencapai lebih
dari 1,5 m/det (Arief 1992). Begitupula dengan di sekitar Selat Malaka kecepatan
arus relatif kuat dengan kecepatan kurang dari 1,0 m/det (Nurhayati 2002). Kurnia
(2003) melaporkan bahwa kecepatan arus di perairan Teluk Bone selama
penelitian yaitu berkisar antara 0,024-0,048 m/det. Sutarmat et al. (2003) dalam
Wardjan (2005) mengemukakan bahwa arus yang biasanya disebabkan oleh
pasang surut tidak melebihi 50 cm/detik. Aliran air sebagai pergantian air yang
cukup yaitu 10-30 cm/detik.

2.5.6 Plankton

Distribusi biogeografis plankton sangat ditentukan oleh faktor lingkungan,


sepeti cahaya, temperatur, salinitas, nutrien dan faktor-faktor lainnya. Faktor
tersebut sangat menentukan keberadaan dan kesuksesan spesies plankton di suatu
lingkungan (Parsons et al. 1984 dan Valiela 1984). Lebih lanjut Parsons et al.
(1984) mengemukakan bahwa tidak mudah untuk menjelaskan kondisi yang
berlaku umum tentang penyebaran fitoplankton secara horisontal di laut. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan kondisi ekologi pada bagian-bagian laut yang berbeda,
seperti di daerah pantai dan estuari, pesisir pantai, dan laut lepas.
Salah satu peranan fitoplankton di perairan adalah mengubah zat-zat
anorganik menjadi zat-zat organik dengan bantuan sinar matahari melalui proses
fotosintesis. Hasilnya disebut sebagai produktivitas primer dengan satuan volume
per waktu atau satuan luas per waktu (APHA 2005). Respon fitoplankton terhadap
intensitas cahaya sangat dipengaruhi oleh pigmen yang dikandungnya. Perbedaan
pigmen yang dikandung antara jenis fitoplankton menyebabkan perbedaan
intensitas cahaya yang diabsorbsi. Lebih spesifik Levinton (1982) menyatakan
bahwa fitoplankton berfotosintesa menggunakan klorofil a, c, dan pigmen
tambahan.
Zooplankton dipengaruhi oleh kecerahan yang erat kaitannya dengan
jumlah seston dan penetrasi cahaya kedalam perairan. Kecerahan dipengaruhi oleh
kekeruhan dan warna air, makin tinggi kecerahan makin dalam penetrasi cahaya
matahari (Arinardi 1989). Lebih lanjut, mengemukakan bahwa jumlah
25

zooplankton sangat dipengaruhi oleh kekeruhan. Dengan kekeruhan yang tinggi


fitoplankton tidak efektif untuk melakukan fotosintesis sehingga zooplankton
tidak tumbuh dengan baik.

2.6 Trophic Level dan Kebiasaan Makan Ikan

Seluruh biota penghuni laut dari permukaan sampai dasar saling


berhubungan secara kompleks membentuk suatu sistem yang rumit. Hubungan ini
terutama adalah dalam hal makanan. Bermacam-macam mata rantai dari sistem
tersebut saling menjamin berlangsungnya transformasi energi di laut. Mempelajari
struktur dan proses dari sistem tersebut merupakan salah satu persoalan terpenting
dalam planktonologi. Transfer energi dari tingkatan tropik yang satu ke yang lain
dari permukaan sampai dasar, dalam tingkatan tertentu ditunjukkan oleh sifat
sebaran vertikal, kuantitas, dan komposisi plankton pada berbagai kedalaman.
Rantai makanan dinyatakan sebagai suatu aliran biomassa yang kontinu dari
tingkatan trofik yang ada. Nybakken (1988) mengemukakan bahwa dalam setiap
komunitas, spesies tidak terisolasi tetapi berinteraksi dengan spesies lain pada
daerah yang sama sehingga akan terjadi proses makan dimakan dalam komunitas
tersebut. Ketersedian makanan merupakan faktor yang menentukan ukuran
populasi, pertumbuhan, reproduksi dan dinamika populasi serta kondisi ikan yang
ada di suatu perairan (Nikolsky 1963). Adanya makanan yang tersedia dalam
perairan selain dipengaruhi oleh kondisi biotik, ditentukan pula oleh kondisi
abiotik lingkungan seperti suhu, cahaya, ruang, dan luas permukaan (Effendie
1997).
Rantai makanan menggambarkan hubungan keterkaitan antar organisme
mulai tingkatan trofik terendah sampai dengan tingkatan trofik tertinggi. Di dalam
jejaring makanan terdapat mekanisme saling memengaruhi antara tingkatan trofik
paling atas terhadap tingkatan trofik di bawahnya (top down effect) dan sebaliknya
dari tingkatan trofik paling bawah ke tingkatan trofik di atasnya (bottom up effect)
(Chassot et al. 2005). Effendie (1997) mengemukakan jika ditelaah makanan ikan
itu sejak dari awal pembentukannya sampai ke makanan yang dimakan oleh ikan,
sebenarnya merupakan mata rantai yang dinamakan rantai makanan (food chains).
Plankton tumbuh-tumbuhan melalui proses fotosintesis dapat memproduksi bahan
26

organik dari bahan anorganik (produsen primer), organisme yang memakan


nonprodusen primer dinamakan konsumer primer, organisme yang memakan
konsumer primer dinamakan konsumer sekunder dan seterusnya. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa panjang pendeknya rantai makanan tergantung dari macam,
ukuran atau umur ikan, namun pada kenyataannya dalam interaksi makan-
pemakan terjadi tumpang tindih, dimana satu jenis konsumen memakan beberapa
jenis makanan dan satu jenis produsen dimakan oleh beberapa jenis konsumen
sehingga membentuk suatu jaringan yang dinamakan jaring-jaring makanan
(food webs).
Salah satu contoh struktur rantai makanan yaitu struktur rantai makanan
plankton berupa bentuk piramida terbalik (biomassa autotrofik rendah dan
biomassa heterotrofik tinggi) sangat dipengaruhi oleh aktivitas organisme
prokaryotik. Cyanobacteri berperan selama periode autotrof dan bakteri selama
periode heterotrof (Moustaka-Gouni et al. 2006). Di laut ada 5 (lima) tingkatan
trofik dalam rantai makanan yaitu bakteri dan detritus (B), Fitoplankton (P),
Zooplankton I (Z1), zooplankton II (Z2), dan tingkatan terakhir ikan (F).
Setiap tingkatan trofik berbeda energi yang dihasilkan yang dikenal dengan
efisiensi ekologi (E). Efisiensi ekologi ini berhubungan dengan produksi ikan
(Parson et al. 1984). Sedangkan Schaefer (1965) yang dalam Parson et al. (1984)
menyatakan bahwa pengaruh efisiensi ekologi terhadap produksi ikan berkisar
dari 10-20% pada lima tingkat trofik tersebut.
Yusfiandani (2004) tahapan proses yang sama pada food webs disekitar
rumpon di perairan Pasauran terlihat hanya pada tahapan I sampai III, tetapi
tingkatan yang didapatkan yaitu sampai pada 5 (lima) tingkatan dalam rantai
makanan, yaitu diantaranya : predator puncak (V), predator karnivora dan
omnivora (IV), penyaring (ikan herbivora) (III), pemangsa mikroorganisme (II),
dan mikroorganisme ( I).
9 Tingkat I yaitu mikroorganisme yang terdiri dari mikroba dan mikroalga
merupakan mahluk pertama yang tumbuh pada atraktor.
9 Tingkat II yaitu pemangsa mikroorganisme adalah euphausiid, kopepoda,
udang dan lain-lain.
27

9 Tingkat III yaitu penyaring dimaksudkan ikan-ikan penyaring yang terdapat


disekitar rumpon, seperti ikan baronang, remora, Abaliste sp, eteman, kurisi
dan ikan lainnya.
9 Tingkat IV yaitu ikan predator yang bersifat karnivora dan omnivora
merupakan pemangsa ikan penyaring, seperti ikan selar bentong, selar kuning,
selar hijau, ikan kembung, ikan tongkol, lumba-lumba, serta ikan lainnya.
9 Tingkat V yaitu ikan predator tinggi adalah ikan yang memangsa ikan
predator dan merupakan top level dalam rantai makanan yang terdapat di
sekitar rumpon, seperti tuna, cakalang, setuhuk, hiu serta ikan pelagis lainnya.
Penelitian serupa yang dilakukan oleh Amiruddin (2006) bahwa pada alat
tangkap bagan berlangsung pemangsaan selama proses penangkapan. Terlihat
komposisi makanan teri hitam (Stolephorus insularis) yaitu fitoplankton (6%) dan
zooplankton (94%) menunjukkan bahwa teri lebih memilih zooplankton sebagai
makanan utamanya dibandingkan dengan fitoplankton. Sementara pemangsa dari
teri adalah selar, dimana proporsi volume teri dalam lambung selar antara
77,8-91,3% dengan frekuensi kejadian pemangsaan antara 80-100%. Hal ini
diperkuat oleh Hutomo et al. (1987) bahwa ikan teri adalah termasuk ikan
pemakan plankton. Lebih lanjut bahwa ikan teri pada ukuran < 40 mm umumnya
memakan fitoplankton dan zooplankton berukuran kecil sedangkan pada ukuran >
40 mm, ikan teri memanfaatkan zooplankton (copepoda) berukuran besar. Lebih
lanjut Hatta (2010) menyatakan bahwa ikan planktivor (terutama ikan teri)
menunjukkan peranan yang sangat penting dalam ekosistem pelagis di dalam
daerah penangkapan bagan rambo. Ikan planktivor berperan penting dalam
transfer makanan dari plankton ke populasi ikan omnivor dan ikan karnivor pada
trofik level lebih tinggi. Biomassa pada populasi plankton tidak dapat secara
efektif langsung dimanfaatkan oleh ikan omnivor dan ikan karnivor sehingga
harus melewati ikan planktivor. Posisi strategis ikan planktivor sebagai item
makanan ikan omnivor dan ikan karnivor jelas akan mempengaruhi jalur rantai
makanan pada trofik level di atasnya.
Aranchibia dan Neira (2005) mengemukakan hasil penelitiannya di pusat
pendaratan ikan Chili bahwa selama 20 tahun (1979-1999) terjadi penurunan
trofik level rata-rata ikan yang lebih besar yaitu 17,5% pertahun. Lebih lanjut
28

Pauly et al. (1998) dalam Hatta (2010) mengemukan hasil penelitiannya yang
berdasarkan data pendaratan ikan yang diteliti diberbagai negara, bahwa telah
terjadi penurunan trofik level rata-rata sebesar 10% per tahun. Hatta (2010)
mengelompokkan beberapa jenis ikan berdasarkan makanannya yaitu ikan teri dan
ikan tembang merupakan ikan pemakan plankton (planktivor) karena di dalam
ususnya hanya ditemukan fitoplankton dan zooplankton saja. Lebih lanjut
dikatakan bahwa ternyata dalam isi usus ikan teri terdapat komposisi fitoplankton
berkisar 26,32-94,87% dari total plankton dengan rata-rata 64,65%, sementara
ikan tembang berkisar antara 42,86-97,14% dengan rata-rata 62,80%. Ikan
pepetek, layang, dan kembung tergolong ikan omnivor karena mengkonsumsi
nekton berupa jenis ikan kecil, ikan teri, dan udang halus selain plankton dan ikan
selar tergolong ikan karnivor yang memakan nekton berupa berbagai jenis ikan
kecil, teri, udang, cumi-cumi dan sebagian kecil zooplankton.
Menurut Weatherley dan Gill (1987) bahwa ada 11 prinsip mengenai
hubungan mangsa dan pemangsa pada ikan : 1) jumlah ikan yang dimakan oleh
piscivor lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ikan yang ditangkap oleh
nelayan; 2) ukuran mangsa yang dimakan oleh pemangsa semakin bertambah
besar dengan bertambah besarnya ukuran pemangsa; 3) pemangsa memiliki
kesukaan (preverensi) pada spesies mangsa dengan ukuran tertentu; 4) pemangsa
umumnya mengambil bermacam-macam mangsa; 5) pemangsaan terhadap suatu
jenis mangsa memungkinkan terjadi perubahan terhadap kepadatan mangsa; 6)
pemangsa mungkin mengganti makanannya dengan spesies lain dalam suatu
kesetimbangan biologi; 7) jumlah mangsa berkurang akibat pemangsaan oleh
tekanan pemangsa; 8) komposisi komunitas mangsa dipengaruhi oleh pemangsa;
9) populasi mangsa yang melimpah dapat merangsang pertumbuhan dan densitas
pemangsa; 10) persaingan antara spesies pemangsa dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan densitas populasi; dan 11) pemangsaan terhadap mangsa
tertentu dapat menurunkan persaingan diantara spesies mangsa sehingga dapat
penambahan keragaman komunitas mangsa.
Jenis ikan yang tertangkap pada alat tangkap sero tidak hanya ikan-ikan
demersal yang hidupnya di muara sungai, mangrove, dan lamun bahkan ada
diantaranya ikan-ikan demersal yang hidupnya di daerah terumbu karang. Ikan
29

ikan karang dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu ikan-ikan diurnal dan
ikan-ikan nocturnal. Kelompok ikan diurnal adalah kelompok ikan yang aktif
berinteraksi dan mencari makan pada siang hari, seperti dari famili
Pomacentridae, Labridae, Achanthuridae, Chaetodontidae, Serranidae, Lutjanidae,
Balistidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Bleniidae, dan Gobiidae. Sedangkan ikan-
ikan nocturnal adalah kelompok ikan-ikan yang aktif berinteraksi dan mencari
makan pada malam hari. Di siang hari, kelompok kedua ini menetap pada gua-gua
dan celah-celah karang, seperti dari famili Holocentridae, Apongonidae,
Haemulidae, Scorpaenidae, Serranidae, dan Labridae (Allen dan Steenes, 1990
dalam Sadarun 2011).
Menurut Gladfelter dan Gladfelter (1978) dalam Arami (2006) bahwa
struktur trofik ikan-ikan terumbu karang dapat dibedakan menjadi 6 (enam) grup
trofik yaitu herbivora, omnivora, plankton feeders, pemakan crustacean, ikan
piscivora, dan pemakan lain-lain (Tabel 2).

Tabel 2 Komposisi ikan-ikan pada terumbu karang menurut struktur trofik

Jumlah
Grup trofik Famili
Famili
Herbivora 5 Scaridae, Acanthuridae, Pomacentridae, Blennidae, dan
Kyphosidae
Omnivora 13 Labridae, Acanthuridae, Pomacentridae, Mullidae,
Ostraciontidae, Cahetodontidae, Monacathidae, Gobiidae,
Diodontidae, Sparidae, Carangidae, Gerridae, dan Pempheridae
Plakton feeders 7 Apongonidae, Pomacentridae, Holocentridae, Grammidae,
Priacanthidae, Sciaenidae, dan Pempheridae
Pemakan crustacean 9 Serranidae, Holocentridae, Lutjanidae, Scorpaenidae,
dan ikan Sciaenidae, Synodontidae, Fistulariidae, Aulostomidae, dan
Bothidae
Piscivora 9 Serranidae, Lutjanidae, Carangidae, Spyraenidae, Muraenidae,
Synodontidae, dan Fistulariidae, Aulostomidae, dan Bothidae
Pemakan lain-lain 4 Pomacentridae, Balistidae, Acanthuridae, dan Gobiidae
Sumber : Gladfelter & Gladfelter (1978) dalam Arami (2006)

2.7 Selektivitas Alat Tangkap

Gulland (1974) mendefinisikan selektivitas adalah kemampuan dari alat


tangkap untuk meloloskan ikan. Lebih lanjut FAO (1999) menyatakan bahwa
selektivitas merupakan sifat alat tangkap tertentu untuk mengurangi atau
mengeluarkan tangkapan yang tidak sesuai ukuran (unwanted catch) atau ikan-
ikan tangkapan yang tidak diinginkan (incidential catch) dan selektivitas
30

merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam menangkap spesies
ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu populasi di daerah
penangkapan ikan. Losanes et al. (1990) mendefinisikan lebih jauh tentang
selektivitas ukuran adalah pernyataan kuantitatif dari kemampuan alat tangkap
untuk menangkap ikan terhadap spesies dengan ukuran tertentu. Kemampuan
tersebut dengan menghindarnya ikan dari hadangan jaring yang merupakan proses
penentu peluang tertangkapnya ikan. Peluang ini bervariasi sesuai dengan
karakteristik ikan seperti bentuk badan, bagian yang terjerat dan ukuran mata
jaring.
Selektivitas merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam
menangkap spesies ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu
populasi di daerah penangkapan ikan. Selektivitas menurut Matsuoka (1995)
dibagi dalam dua komponen yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas spesies.
Menurut FAO (1999) bahwa penagkapan ikan yang selektif meliputi;
a. Umur dan Ukuran ikan yang tertangkap; perubahan penangkapan yang
dilakukan dengan menangkap ikan yang umurnya sudah tua, memungkinkan
untuk memperbaiki hasil tangkapan dengan tingkat upaya tertentu sehingga
hasil tangkapan sebanding dengan bobot ikan yang menguntungkan secara
ekonomis.
b. Selektivitas spesies; perikanan yang banyak melibatkan spesies menimbulkan
banyak masalah optimasi distribusi bagi upaya tangkap dengan berbagai
macam alat tangkap yang berbeda. Hal ini diikuti dengan tingkat upaya
tangkap yang berbeda bagi beberapa spesies secara profesional. Dengan
adanya aturan yang dibuat untuk menangkap spsesies dan ukuran tertentu akan
membantu pengembangan perikanan lestari.
Fridman (1986) menyatakan bahwa selektivitas merupakan sifat alat dalam
menangkap ukuran dan jenis ikan tertentu dalam suatu populasi. Sifat ini
tergantung pada prinsip yang dipakai dalam penangkapan, tetapi juga tergantung
pada parameter desain alat seperti mata jaring, benang jaring dan ukuran benang,
hanging ratio dan kecepatan menarik. Lebih lanjut Treshchev (1974) dalam
Fridman (1986) mengatakan bahwa ukuran mata jaring mempunyai pengaruh
terbesar pada selektivitas alat tangkap. Menurut Nielsen dan Lampton (1983)
31

menyatakan bahwa ikan yang mempunyai ukuran yang lebih kecil maupun lebih
besar dari ukuran ikan optimum lebih sedikit tertangkap karena ikan yang sangat
kecil dapat berenang lolos dan ikan besar tidak dapat masuk ke lubang jaring.
Secara umum ukuran selektivitas ialah : 1) Girth optimum = 1,25 kali keliling
jaring, 2) Panjang ikan = 20% lebih panjang atau lebih pendek dari panjang
optimum yang sering tertangkap.
Kemampuan selektivitas suatu alat tangkap bergantung pada prinsip
penangkapan dan parameter desain alat itu sendiri seperti ukuran mata jaring
(mesh size), beban benang, material dan ukuran benang, hanging ratio,
dan kecepatan penarikan alat tangkap (Fridman 1986). Lebih lanjut dijelaskan
oleh Treshchev (1974) dalam Fridman (1986) bahwa ukuran mata jaring
mempunyai pengaruh terbesar pada selektivitas alat tangkap.
Memperbesar ukuran mata jaring dapat menyebabkan perubahan komposisi
yang pada akhirnya jumlah hasil tangkapan sehingga pengetahuan tentang
selektivitas sangat membantu dalam merancang, membuat dan mengoperasikan
alat tangkap dengan baik (Fridman 1986).
Lebih lanjut Pope et al. (1975) menyatakan bahwa selain ukuran mata
jaring yang menentukan selektivitas adalah hanging ratio, elongation, visibilitas
benang jaring (menyangkut bahan dan tebal benang), bentuk badan dan tingkah
laku ikan tujuan tangkap. Hanging ratio dan bentuk badan ikan berpengaruh
terhadap proses cara tertangkap, nilai hanging ratio yang makin kecil
berkecenderungan untuk memuntal. Kemuluran benang jaring yang meningkat
memberikan peluang ukuran ikan yang lebih besar untuk tertangkap. Visibilitas
dan tingkah laku berhubungan dengan kemampuan ikan untuk menghindari jaring.
Hal senada juga dikemukakan oleh Sparre dan Venema (1999) bahwa selektivitas
dipengaruhi oleh desain alat tangkap dan karakteristik jaring. Selektivitas alat
harus diperhitungkan dalam mengestimasi komposisi ukuran ikan yang
sesungguhnya di daerah penangkapan. Dalam suatu model yang dikemukakan
oleh Beverton dan Holt yang dalam Monintja et al. (1999) bahwa umur ikan
termuda yang tertangkap (age at first capture) akan menentukan yield per
recruitment. Umur ikan tersebut ditentukan oleh selektivitas alat tangkap terhadap
32

jenis ikan tersebut. Oleh karena itu pendekatan teknis berupa pengetahuan tentang
mata jaring merupakan salah satu cara dalam manajemen sumberdaya perikanan.
Sementara Matsuoka (1995) membagi dua komponen selektivitas yaitu
selektivitas ukuran dan selektivitas spesies. Regier dan Robson (1966)
menentukan pengaruh ukuran mata jaring terhadap selektivitas dapat dilakukan
dengan 3 (tiga) metode yaitu: langsung, tidak langsung dan iteratif. Metode
langsung memerlukan data komposisi ukuran dari populasi dan kemudian
mengestimasikan selektivitas dengan membandingkan komposisi ikan yang
tertangkap dengan komposisi populasi. Pendekatan ini dapat dilaksanakan jika
komposisi ikan dalam populasi ikan diketahui. Metode tidak langsung
membutuhkan asumsi matematika untuk kurva selektivitas, yakni ketergantungan
antara selektivitas dengan ukuran mata jaring. Data hasil tangkapan yang
digunakan terdiri dari beberapa kelas ukuran ikan yang tertangkap oleh mata
jaring yang berbeda ukuran. Metode iteratif memerlukan asumsi matematika
tertentu berbasiskan pada data yang diperoleh pada interval yang panjang atau
pada beberapa interval ulangan. Hal utama dalam metode ini adalah
memperkirakan hubungan antara selektivitas terhadap bukaan mata jaring dan
nilai tengah panjang ikan yang diulang-ulang berdasarkan jumlah relatif ikan pada
suatu populasi sampai menghasilkan sebaran titik-titik yang memadai untuk
membuat kurva.
Lebih lanjut Matsuoka (1995) mengemukakan bahwa selektivitas
umumnya digambarkan sebagai suatu ukuran relatif. Dalam perhitungan tidak
langsung (indirect estimation method) nilai selektivitas 100% bukan berarti bahwa
semua ikan tertangkap dalam operasi penangkapan. Hal tersebut menandakan
suatu nilai efisiensi relatif tertinggi. Kebanyakan alat penangkapan ikan memiliki
selektivitas (size selectivity) yang digambarkan dalam kurva selektivitas yaitu :
(1) kurva yang berhubungan dengan efisiensi tertinggi disekitar puncak, menurun
pada kedua sisi dengan dua buah ekor (a modal curve/normal curve) dan
(2) kurva satu ekor dengan efisiensi tertinggi pada ikan-ikan yang berukuran
besar, seperti kurva model logiistik (a on tail curve). Alat tangkap passif seperti
gillnet, perangkap, dan pancing memiliki kurva selektivitas yang berbentuk
normal curve, sedangkan pada alat tangkap yang aktif seperti trawl dan jenis
33

jaring yang lain dimana proses selektivitasnya terjadi dengan penyeleksian maka
alat tangkap tersebut memiliki bentuk a one tail curve/logistic curve.
Kurva selektivitas memberikan gambaran kisaran selektivitas a%
dibandingkan efisiensi tertinggi sehingga didapat panjang selektif a% dengan
notasi La (a%-selective length) misalnya L25 atau L50 dan berkaitan dengan
masing-masing ukuran mata jaring (Matsuoka 1995). Perhitungan tentang
selektivitas dapat menggunakan beberapa metode antara lain metode McCombie
dan Fry’s, metode girth inference dan metode Kitahara (Reis & Pawson 1992).
Pada metode Kitahara, selektivitas diestimasi dari fungsi L/M (panjang ikan
dibagi ukuran mata jaring) dan G/M (keliling lingkar tubuh ikan dibagi ukuran
mata jaring), diantilog-kan kurva master dan puncak kurva diperoleh ketika
efisiensi relatif mencapai 100%. Metode ini pada dasarnya mirip metode yang
dideskripsikan oleh Pope et al. (1975) dan Jones (1976) yaitu secara cover-net,
dimana cover-net tersebut mempunyai ukuran mata jaring yang lebih kecil dari
ukuran mata jaring cod-end. Pada prinsipnya membandingkan jumlah hasil ikan
yang berada di cover-net dengan jumlah seluruh ikan yang ada di bagian cod-end
dan cover-net yang menutupi cod-end.

2.8 Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem

Pendekatan ekosistem dapat dipahami sebagai pendekatan yang


mengikutsertakan keseluruhan komponen utama ekosistem dan berbagai jasa yang
diberikannya dalam perhitungan untuk memperoleh suatu upaya pengelolaan
perikanan secara berkelanjutan. Pengertian ini juga menyangkut pengelolaan
perilaku manusia untuk menjaga tingkat tertentu keragaman, kepadatan, dan
produktivitas ekosistem laut. Dalam beberapa pengertian lain seperti dijelaskan
oleh Mathew (2001) bahwa pendekatan dapat dipahami sebagai cara untuk
memahami interaksi yang terjadi pada spesies ikan target, predator, kompetitor,
dan spesies mangsanya, serta berbagai interaksi dan dampak ekploitasi organisme
tersebut terhadap lingkungan.
Permasalahan yang mendasar dalam pengkajian stok untuk pengelolaan
perikanan saat ini adalah orientasi yang berbasis pada spesies tunggal atau
sumberdaya ikan target saja. Widodo dan Suadi (2008) mengemukakan dampak
34

kebijakan pengelolaan perikanan yang selama ini berkembang hanya berbasis


pada spesies target (tunggal) saja telah meninggalkan permasalahan baru bagi
spesies target sendiri, spesies ikan lainnya, dan organisme lain yang memiliki
hubungan dengan jenis tersebut, serta lingkungan. Hal ini sering memunculkan
pertanyaan bahwa perubahan dan dampak apa yang dapat terjadi sebagai akibat
dari kegiatan perikanan tersebut?. Kondisi ini telah menarik perhatian
internasional tentang pengembangan pola pengelolaan sumberdaya ikan yang
berbasis ekosistem atau yang dikenal sebagai ecosystem-based fisheries
management (EBFM). Dengan berbasis pada pendekatan ini, pengelolaan
perikanan ke depan perlu diupayakan ke arah pendekatan yang bersifat
multidisiplin dengan mengoptimalkan pemanfataan ilmu pengetahuan yang ada
seperti oseanografi, biologi perikanan, sosial ekonomi, hukum, teknologi
informasi (sistem informasi geografis dan penginderaan jauh), dan lain-lain, serta
pendekatan ini dapat dipadukan berbagai informasi yang tersedia tentang sistem
sumberdaya ikan seperti produktivitas primer, sumberdaya ikan utama dan
berbagai pola hubungan makan-memakan atau rantai dan jaring makanan dapat
digunakan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh dari proses dinamis
yang terjadi pada ekosistem perairan.
Dalam rangka menguatkan pendekatan ini, FAO pada bulan Oktober 2001
di Reykjavik Iceland, melakukan suatu pertemuan ilmiah internasional dan
menghasilkan Deklarasi Reykjavik tentang perikanan berkelanjutan pada
ekosistem laut (Responsible Fisheries in the Marine Ecosystem). Dalam deklarasi
Reykjavik dipaparkan isu kunci perlunya mengumpulkan dan mereview berbagai
pengetahuan terbaik tentang isu ekosistem laut terkait dengan kegiatan perikanan
tangkap dan mengintegrasikannya dalam berbagai aktivitas baik di tingkat
regional maupun internasional untuk pengelolaan perikanan. Pertemuan-
pertemuan dunia tentang pembangunan dan lingkungan berikutnya seperti
pertemuan di Johannesburg 2002 juga semakin mempertegas kebutuhan untuk
membangun dunia yang lebih berpedoman pada prinsip pembangunan
berkelanjutan. Lebih jauh FAO juga melengkapi dengan berbagai panduan teknis
menuju perikanan berkelanjutan.
35

Perikanan sero merupakan perikanan pantai yang terdiri dari beberapa


ekosistem yang ada di dalamnya. Oleh karena itu penerapan pola pengelolaan
sumberdaya ikan yang berbasis ekosistem atau yang dikenal sebagai ecosystem-
based fisheries management (EBFM) sangatlah tepat untuk diterapkan. Mengingat
bahwa pemanfaatan perikanan dunia saat ini terkonsentrasi pada perairan dangkal
pada kedalaman antara 0-200 m (Pauly dan Christensen 2002). Dipertegas bahwa
produktivitas perairan di daerah pantai (paparan) yang tinggi telah menghasilkan
suatu produktivitas perikanan yang juga tinggi. Ekosistem ini diperkirakan
menyumbang lebih dari 90% sumber ikan dunia. Daerah terumbu karang dapat
memproduksi 10-12% dari total hasil tangkapan di negara tropis dan sekitar 20-
25% di negara berkembang.
Tingginya tingkat produktivitas di daerah pantai dibandingkan pada daerah
lain digambarkan oleh Wolff (2004) dalam Widodo dan suadi (2008) seperti pada
Tabel 3 berikut.

Tabel 3 Produktivitas perikanan di habitat laut terbuka, pantai, dan upwelling


Habitat Laut Terbuka Pantai Upwelling
Persentase luas perairan 90 9,9 0,1
Rata-rata produktivitas primer 50 100 300
(g.C/m/tahun)
Total Produksi (109 ton C/tahun 16,3 3,6 0,1
Jumlah energi yang ditranfer 5 3 1,5
antara berbagai tingkat trofik
Rata-rata efisiensi ekologi 10% 15% 20%
Rata-rata produksi ikan (mg 0,5 340 36.000
C/m2/tahun)
Total produksi ikan (106 ton 0,2 12 12
C/tahun)

Tabel 3 menunjukkan bahwa perairan laut terbuka (lepas pantai) walaupun


memiliki luas area yang terbesar (mencapai 90% dari total perairan laut), namun
total produksi ikan yang dapat didukung oleh wilayah ini hanya mencapai 200.000
ton C/tahun. Jumlah ini sangat berbeda dengan produksi yang mampu dihasilkan
oleh dua habitat perairan laut lainnya yaitu paparan (pantai) dan daerah upwelling
yaitu mencapai 12 juta ton C/tahun, walaupun luas areanya sangat kecil. Interaksi
yang terjadi antar organisme yang hidup pada tiga habitat tersebut juga cukup
berbeda. Di antara tiga habitat utama perikanan, interaksi biologi yang terjadi
36

pada perairan laut lepas lebih kompleks dengan rantai makanan yang lebih
panjang (mencapai 6 tingkat trofik) dibandingkan perairan pantai (4 trofik) dan
daerah upwelling (1,5 trofik). Bahkan jumlah tingkat trofik pada daerah upwelling
bisa mencapai bisa mencapai 2 jika ikan didominasi oleh jenis herbivora (Pauly
dan Christensen 2002).
Pencapaian tujuan pola pengelolaan sumberdaya ikan yang berbasis
ekosistem diperlukan teknik pengelolaan perikanan yang baik. Widodo dan Suadi
(2008) mengemukakan beberapa pendekatan pengelolaan perikanan yakni : 1)
pengaturan ukuran mata jaring (dari pukat atau alat tangkap yang digunakan); 2)
pengaturan batas ukuran ikan yang boleh ditangkap, didaratkan, atau dipasarkan;
3) kontrol terhadap musim penangkapan ikan (opened or closed season); 4)
kontrol terhadap daerah penangkapan (opened or closed areas); 5) pengaturan
terhadap alat tangkap serta perlengkapannya di luar pengaturan ukuran mata
jaring (mesh size); 6) perbaikan dan peningkatan sumberdaya hayati (stock enhan-
cement); 7) pengaturan hasil tangkapan total per jenis, kelompok jenis, atau bila
memungkinkan per lokasi atau wilayah; dan 8) setiap tindakan langsung yang
berhubungan dengan konservasi semua jenis ikan dan sumberdaya hayati lainnya
dalam wilayah perairan tertentu.

2.9 Review Penelitian Sebelumnya

Penelitian tentang parameter lingkungan perairan telah banyak dilakukan


oleh peneliti-peneliti sebelumnya seperti (Andriyani 2004; Murifto 2000;
Aryawati 2007; Ridho 2004) namun tidak ada diantara penelitian tersebut
mengkaitkan bagaimana hubungan parameter lingkungan tersebut terhadap hasil
tangkapan sebuah alat tangkap. Begitupula penelitian trofik level telah banyak
dikaji (Asriyana 2010; Anakotta 2002; Sjafei & Robiyani 2001) tetapi kajian
terbatas pada kebiasaan makan dan aspek biologis ikan. Begitupula dengan kajian
tentang selektivitas alat tangkap telah banyak diteliti (Rengi 2002; Matsuoka
1995; Manoppo 1999; Tenriware 2005) tetapi kajian ini hanya terfokus pada
selektivitas alat tangkap tanpa melihat kondisi parameter lainnya.
37

Penelitian-penelitian tersebut di atas hanya dilakukan secara parsial saja,


sehingga penelitian ini dilakukan secara serentak mengukur kondisi daerah
penangkapan ikan, struktur trofik level jenis ikan, dan selektivitas mata jaring
hubungannya dengan hasil tangkapan sero. Keunggulan penelitian ini yaitu
mengkaji parameter lingkungan dan trofik level hasil tangkapan, untuk
melengkapi kajian selektivitas mata jaring yang dilakukan pada alat tangkap sero
pada perairan pantai. Penelitian yang serupa dengan kajian ini yaitu struktur dan
dinamika trofik level di daerah penangkapan perikanan bagan rambo Kabupaten
Barru Sulawesi Selatan (Hatta 2010), namun kajian ini tidak dilakukan analisis
selektivitas alat tangkap dan dilebih difokuskan pada perairan lepas pantai dengan
hasil tangkapan pelagis.

Anda mungkin juga menyukai