Anda di halaman 1dari 9

5

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Tembang


2.1.1. Klasifikasi dan tata nama
Menurut www.fishbase.org (2009) taksonomi ikan tembang (Gambar 3)
diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Actinopterygii
Subkelas : Neopterygii
Ordo : Clupeiformes
Famili : Clupeidae
Subfamili : Clupeinae
Genus : Sardinella
Spesies : Sardinella maderensis (Lowe, 1838)
Sinonim : Sardinella granigera (Valenciennes, 1847)
Sardinella eba (Valenciennes, 1847)
Sardinella cameronensis (Regan, 1917)
Nama Umum : Madeiran sardinella, Madeiran sardinelle, Herring
Nama Lokal : Tembang (Jakarta), Tembang belo (Jakarta)

Gambar 3. Ikan tembang (Sardinella maderensis )


Sumber : dokumen pribadi
6

2.1.2. Karakter morfologi


Ikan tembang (Sardinella maderensis) terkenal sebagai pelagis kecil yang suka
hidup bergerombol. Menurut www.fishbase.com (2009), ikan tembang memiliki
rangka yang terdiri dari tulang benar yang bertutup insang. Kepala simetris dan
tidak seluruh sisik terbungkus dalam kelopak tebal. Sirip punggung terdiri dari
jari-jari lemah yang berbuku atau berbelah. Sirip ekor berwarna abu-abu
kehitaman. Tubuhnya bersisik, tidak bersungut, tidak berjari-jari keras pada
punggung, dan tidak memiliki sirip punggung tambahan yang seperti kulit. Bagian
mendekati dorsal berwarna hijau kebiruan dan semakin mendekati perak pada
bagian perut, dengan satu garis samar keemasan pada bagian midlateral, didahului
satu titik hitam di belakang bukaan insang. Perut sangat pipih, bersisik tebal yang
bersiku, rahang sama panjang, daun insang satu sama lain tidak melekat, bentuk
mulut terminal (posisi mulut terletak dibagian depan ujung hidung).
Bentuk badan fusiform, pipih dengan sisik duri di bagian bawah badan.
Awal sirip punggung (dorsal) sebelum pertengahan badan memiliki jari-jari lemah
13-21. Bagian dasar sirip dubur (anal) bentuknya pendek dan jauh di belakang sirip
dorsal serta berjari-jari lemah 12-23. Tapisan tulang insang halus berjumlah 70-166
pada busur insang pertama bagian bawah, sering ditemukan juga pada ikan
pemakan plankton (www.fishbase.com 2009).
Beberapa dari jenis Sardinella ada yang hampir menyerupai satu sama
lainnya tetapi ada juga yang mempunyai beberapa perbedaan morfologis yang
menandakan ikan itu berbeda spesiesnya (Dwiponggo 1982 in Syakila 2009).
Perbedaan morfologis ini dapat seperti perbedaan warna tubuh yang terlihat pada
Sardinella fimbriata dengan warna abu-abu hijau kebiruan pada bagian atas
sedangkan warna biru gelap di bagian yang sama pada Sardinella lemuru Bleeker
(Peristiwady 2006).

2.1.3. Biologi dan habitat


Ikan tembang adalah ikan permukaan dan hidup di perairan pantai tropis
serta suka bergerombol pada area yang luas. Proses pemijahan berlangsung hanya
sekali dalam setahun, selama musim panas. Telur dan larva ikan tembang sering di
temukan di sekitar perairan mangrove atau bakau. Saat juvenil, ikan ini masih ada
yang hidup di daerah mangrove namun mulai memasuki perairan payau. Ketika
7

dewasa ikan ini hidup bergerombol bersama ikan lemuru dan banyak di temukan
di dekat pantai sampai ke arah laut sehingga sering ditemukan tertangkap bersama
dengan ikan lemuru sampai dengan kedalaman 200 meter (www.fishbase.org
2009). Monintja et al. (1994) meyatakan beberapa faktor yang menyebabkan ikan
membentuk kelompok, antara lain sebagai perlindungan dari pemangsa, mencari
dan menangkap mangsa, untuk tujuan pemijahan, bertahan pada musim dingin,
untuk melakukan ruaya dan pergerakan serta terdapatnya suatu pengaruh dari
faktor-faktor yang ada disekelilingnya.
Menurut Day et al. (1999) in Syakila (2009), pada umumnya ikan tembang
memangsa crustacea ukuran kecil seperti copepoda, amphipoda dan udang stadia
mysis serta larva-larva ikan. Selanjutnya diduga akan terjadi perubahan komposisi
makanan sesuai dengan musim serta jenis dan ketersediaan makanan di perairan.
Dari jenis makanannya, ikan tembang tergolong omnivora namun cenderung pada
herbivora.

2.1.4. Distribusi dan musim


Menurut Peristiwady (2006), ikan tembang termasuk pada ikan pelagis kecil
yang hidup di laut terbuka, lepas dari dasar perairan. Wilayah distribusinya
meliputi 46°LU-23°LS dan 17°BB-36°BT (Gambar 4). Pergerakan vertikal terjadi
karena perubahan siang dan malam, dimana pada malam hari gerombolan ikan
cenderung berenang ke permukaan dan akan berada pada permukaan sampai
dengan matahari sudah akan terbit. Pada malam terang bulan gerombolan ikan itu
agak berpencar atau tetap berada di bawah permukaan air (Monintja et al. 1994).

2.2. Alat Tangkap Ikan Tembang


Armada penangkapan ikan pelagis yang beroperasi di wilayah Teluk
Jakarta didominasi oleh pukat cincin (mini purse seine). Mini purse seine adalah alat
tangkap yang sering digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang membentuk
gerombolan (scholling) dan berada dekat dengan permukaan air (Gambar 5).
Sasaran penangkapannya adalah ikan-ikan pelagis seperti ikan kembung, selar,
tetengkek, tembang (Taufiq 2009).
8

Gambar 4. Peta penyebaran Sardinella maderensis


( : Konsentrasi daerah penyebaran ikan tembang)
Sumber : www.aquamaps.org (2009)

Gambar 5. Cara kerja alat tangkap purse seine


Sumber : saveecodestinations.wordpress.com 2010

Pada umumnya penangkapan ikan dengan mini purse seine dilakukan


pada malam hari, akan tetapi ada juga mini purse seine yang dioperasikan
pada siang hari. Pengumpulan ikan pada area penangkapan pukat cincin
ada yang menggunakan rumpon dan ada pula yang menggunakan lampu.
Umumnya setting (penurunan) dilakukan dua kali selama satu malam
operasi, yang dilakukan pada waktu senja hari dan pagi hari/fajar, kecuali
dalam keadaan tertentu frekuensi penangkapan bisa dikurangi atau
ditambah. Pukat cincin yang digunakan setiap nelayan umumnya dengan ukuran
panjang 30-40 meter dan dalam (depth) 6 meter. Pukat cincin yang dioperasikan
pada malam hari dengan menggunakan alat bantu cahaya memiliki ukuran
9

panjang lebih kecil bila dibandingkan dengan purse seine pada siang hari. Oleh
karena itu, terdapat penggolongan purse seine dalam skala kecil, sedang dan besar.
Hal ini mempengaruhi trip penangkapan purse seine di laut, dimana
pengoperasian mini purse seine relatif lebih pendek trip penangkapannya bila
dibandingkan dengan medium atau large purse seine
Menurut Subani et al. (1989) in Taufiq (2009), mini purse seine biasa disebut
juga jaring kantong karena bentuk jaring tersebut waktu dioperasikan menyerupai
kantong dan pada bagian bawah jaring (tali ris bawah) dilengkapi dengan tali yang
gunanya untuk menyatukan bagian bawah jaring dengan cara menarik tali ris
bawah tersebut. Dalam pengoperasiannya Ikan-ikan yang tertangkap dikarenakan
gerombolan ikan tersebut dikurung oleh jaring sehingga pergerakannya terhalang
oleh jaring dari dua arah, baik pergerakan ke samping maupun ke arah dalam.
Biasanya mini purse seine dioperasikan oleh satu kapal dengan atau tanpa bantuan
kapal pembantu (Nedelec 2000 in Taufiq 2009).

2.3. Sebaran Frekuensi Panjang


Data komposisi umur diperlukan dalam metode pengkajian stok. Busacker
et al. (1990) menyatakan bahwa umur ikan bisa diduga dari sebaran frekuensi
panjang melalui analisis kelompok umur karena panjang ikan dari umur yang
sama cenderung membentuk suatu distribusi normal. Pada perairan beriklim
subtropis, data komposisi umur diperoleh melalui perhitungan terhadap lingkaran-
lingkaran tahunan pada bagian keras ikan (sisik atau otolith) yang terbentuk akibat
fluktuasi lingkungan saat pergantian musim. Pada perairan beriklim tropis,
pengkajian stok dilakukan melalui analisis sejumlah data frekuensi panjang yang di
konversi dalam komposisi umur. Analisis frekuensi panjang digunakan dalam
menentukan parameter pertumbuhan yaitu dengan mengelompokkan ikan dalam
kelas-kelas panjang dan menggunakan modus panjang kelas tersebut agar
kelompok umur ikan dapat diketahui.
Menurut Pauly (1984) tujuan dilakukannya analisis frekuensi panjang yaitu
guna menduga umur ikan. Sparre & Venema (1999) juga menyebutkan bahwa
analisis data frekuensi panjang bertujuan untuk memisahkan suatu sebaran
frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran.
10

2.4. Pertumbuhan
Pertumbuhan suatu individu merupakan penambahan bobot atau panjang
dalam satuan waktu, sedangkan pertumbuhan dalam suatu populasi dinyatakan
dalam penambahan jumlah individu (Effendie 2002). Akan tetapi jika ditelaah
lebih lanjut pertumbuhan merupakan proses biologis yang kompleks yang
dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor ini dapat dibagi menjadi dua bagian besar
yaitu faktor dalam dan luar. Faktor-faktor ini ada yang dapat di kontrol ada yang
tidak. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sulit dikontrol, antara lain
keturunan, umur, parasit, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang paling
mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan. Di daerah tropik
makanan merupakan faktor yang lebih penting daripada suhu perairan (Effendie
2002). Ada beberapa metode yang umum digunakan untuk menduga parameter-
parameter pertumbuhan (K = koefisien pertumbuhan; L∞ = panjang asimtotik; t0 =
umur ikan ketika panjangnya sama dengan nol), yaitu plot Gulland & Holt, plot
Ford-Walford, metode Chapman, dan plot von Bertalanffy.

2.5. Hubungan Panjang Bobot


Menurut Ricker (1970) in Effendie (2002) studi pertumbuhan ikan, sering
digunakan dalam menganalisis hubungan panjang bobot untuk menjelaskan sifat
dan pola pertumbuhannya. Bobot dianggap sebagai salah satu fungsi panjang.
Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik, dimana bobot ikan
sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Nilai yang didapat dari perhitungan panjang
bobot ini adalah untuk menduga bobot dari panjang ikan atau sebaliknya. Selain
itu juga dapat diketahui pola pertumbuhan, kemontokan, dan pengaruh perubahan
lingkungan terhadap pertumbuhan ikan.
Effendie (2002) menjelaskan bahwa jika nilai panjang dan bobot diplotkan
dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = aLb. Nilai konstanta
(b), merupakan harga pangkat yang dapat menjelaskan pola pertumbuhan ikan.
Selain menunjukkan pola pertumbuhan ikan, hubungan panjang bobot juga dapat
digunakan untuk melihat faktor kondisi ikan (Rounsel & Everhart 1962 in Rifqie
2007).
11

2.6. Faktor Kondisi


Salah satu turunan penting dari pertumbuhan adalah faktor kondisi. Faktor
kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dalam angka. Faktor
kondisi disebut juga Panderal’s Index (Lagler 1961 in Effendie 1979). Faktor kondisi
menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan
melakukan reproduksi (Effendie 2002). Satuan faktor kondisi sendiri tidak berarti
apapun, namun kegunaannya akan terlihat jika dibandingkan dua atau lebih
populasi yang spesifik yang dipelihara pada kondisi ketersedian makanan,
kepadatan (density), atau iklim (climate) yang sama ataupun berbeda (Hendyds
2009). Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot ikan.
Variasi nilai faktor kondisi tergantung pada makanan, umur, jenis kelamin, dan
kematangan gonad (Effendie 1979).

2.7. Mortalitas dan Laju Eksploitasi


Mortalitas suatu kelompok ikan yang mempunyai umur yang sama dan
berasal dari stok yang sama atau sering disebut kohort. Mortalitas terdiri atas
mortalitas karena penangkapan dan mortalitas karena sebab-sebab lain yang
disebut sebagai natural mortality yang meliputi berbagai peristiwa seperti kematian
karena predasi, penyakit dan umur (Sparre & Venema 1999). Laju mortalitas total
(Z) adalah penjumlahan laju mortalitas alami (M) dan laju mortalitas penangkapan
(F) (King 1995).
Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan
von Bertallanffy yaitu K dan L∞. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi)
mempunyai nilai M tinggi dan begitu juga sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan
karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil (Beverton & Holt 1957).
Menurut Pauly (1984), faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu
rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L∞) dan laju
pertumbuhan.
Menurut Pauly (1984), laju eksploitasi (E) merupakan bagian dari suatu
kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup, sehingga laju
eksploitasi juga didefinisikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan
dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alami maupun
12

faktor penangkapan. Stok yang dieksploitasi optimal, maka laju mortalitas


penangkapan (F) sama dengan laju mortalitas alami (M) dan sama dengan 0.5.

2.8. Kondisi Lingkungan Perairan


Informasi mengenai lingkungan perairan penting untuk diketahui karena
dapat menjelaskan hubungan antara spesies target dan lingkungannya. Parameter
yang diukur pada umumnya adalah parameter yang diperkirakan berpengaruh
langsung terhadap biologi, sebaran, dan kelimpahan ikan. Parameter perairan,
yang diperlukan relatif mudah dan tidak memerlukan banyak biaya untuk diukur
adalah suhu perairan (King 1995).
Perubahan suhu berpengaruh pada proses fisika, kimia, dan biologi badan
air. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem. Organisme
akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi pertumbuhannya.
Peningkatan suhu juga dapat meningkatkan kecepatan metabolisme dan respirasi
organisme akuatik dan selanjutnya meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan
suhu 10°C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme
akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan
penurunan kadar oksigen terlarut (Effendie 2002). Menurut Brown (1987) in
Effendie (2002), peningkatan suhu sebesar 1°C akan meningkatkan kondisi oksigen
sekitar 10%. Kelarutan oksigen dan gas-gas berkurang dengan meningkatnya
salinitas sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah daripada kadar
oksigen di perairan tawar (Effendie 2002).

2.9. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan


Sumberdaya ikan di laut adalah milik bersama (common property) dan setiap
orang berhak memanfaatkannya (open access) sehingga akan menimbulkan
persaingan pada proses penangkapan. Persaingan yang ada dapat dilihat dari para
pelaku perikanan yang berusaha menangkap ikan sebanyak-banyaknya dengan
menggunakan teknologi yang terus berkembang dan bukan tidak mungkin akan
terjadi konflik antar pelaku perikanan apabila sumberdaya yang ada telah menipis.
Sumberdaya perikanan sama seperti sumber daya pertambangan yaitu sama-sama
mempunyai batasan, namun berbeda dengan sumber daya produk pertambangan
13

seperti minyak bumi, sumberdaya perikanan memiliki daya reproduksi atau


bersifat dapat diperbaharui, sehingga apabila dikelola dengan baik maka akan
dapat digunakan secara berkesinambungan.
UU Perikanan No. 45 tahun 2009 pasal 2 menjelaskan bahwa pengelolaan
sumberdaya perikanan Indonesia salah satunya dilakukan melalui asas
pembangunan yang berkelanjutan, dimana pengelolaan perikanan yang dilakukan
secara terencana dan mampu meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan
rakyat dengan mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan hidup untuk masa
kini dan masa yang akan datang. JICA (2009) juga menyatakan bahwa pengelolaan
sumberdaya perikanan tanpa melakukan penangkapan sama sekali belum tentu
dapat mengamankan stok sumberdaya ikan di lautan, akan tetapi dalam kondisi
yang berkesinambungan dapat ditentukan banyaknya ikan yang boleh di tangkap
(potensi lestari) sehingga kegiatan penangkapan dan kegiatan pencegahan dalam
rangka mempertahankan volume sumberdaya alam di lautan dapat berlangsung
secara berkesinambungan.

Anda mungkin juga menyukai