Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara maritim dengan laut yang cukup luas. Luas

total wilayah indonesia adalah 7,81 juta km² yang terdiri dari 2,01 juta km²

daratan, 3,25 juta km² lautan, dan 2,55 juta km² Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

(KKP, 2017) Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai

terpanjang nomor 2 di dunia dengan panjang 99.093 km, panjang garis pantai

tersebut terhitung dari sabang hingga marauke. (KKP, 2017)

Salah satu sumberdaya kelautan yang merupakan aset strategi untuk dapat

dikembangkan adalah ikan cakalang (katsuwonus pelamis). Jenis ikan yang

bernilai ekonomis tinggi sebagai sumber penghasilan bagi masyarakat maupun

sumber devisa negara. Ikan cakalang hampir terdapat di seluruh perairan

indonesia terutama di bagian timur indonesia, salah satunya perairan Sulawesi,

tersedianya pangan dan tempat tinggal bagi ikan cakalang menjadi variabel

penting bagi populasi ikan cakalang (Jufri, 2014)

Secara astronomis, Gorontalo Utara terletak antara 1°07’55” − 00° 41’23”

Lintang Utara dan antara 121°58’59” − 123°16’29” Bujur Timur. Wilayah

Kabupaten Gorontalo Utara bagian utara berbatasan dengan Laut Sulawesi, bagian

timur berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Utara, bagian selatan berbatasan

dengan Kabupaten Pohuwato, Kabupaten Boalemo, Kabupaten Gorontalo dan

Kabupaten Bone Bolango bagian barat berbatasan dengan Provinsi Sulawesi

Tengah. Kabupaten Gorontalo Utara pada tahun 2017 memiliki 11 Kecamatan

1
yang terdiri dari 123 Desa, dengan ibukotanya terletak di Kecamatan Kwandang.

(BPS Kabupaten Gorontalo Utara, 2018)

Gentuma Raya terletak diwilayah Kecamatan Gentuma Raya Kabupaten

Gorontalo Utara, luas kecamatan Gentuma Raya sekitar 100,336 km². Beberapa

masyarakat diwilayah Gentuma Raya ini, bermata pencaharian sebagai nelayan

dengan produksi hasil tangkapan yang cukup banyak. Gorontalo Utara merupakan

Kabupaten yang memiliki garis pantai yang cukup panjang, Jumlah perikanan

budidaya di Kabupaten Gorontalo Utara mencapai 1.342 Nelayan terdapat 745

Perahu Tanpa Motor, 1.777 Perahu Motor Tempel dan 42 Kapal Motor.

Berdasarkan data tempat pelelangan ikan di Gorontalo Utara produksi Perikanan

Tangkap pada tahun 2017 mencapai 4.970,27 ton. Jenis ikan Cakalang merupakan

jenis ikan dengan produksi paling banyak kedua mencapai 885,66 ton. (BPS

Kabupaten Gorontalo Utara, 2018)

Eksploitasi sumberdaya ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) diperairan

Kabupaten Gorontalo Utara sudah sejak lama dilakukan namun, belum ada

informasi mengenai kondisi biologi ikan cakalang khususnya diperairan Gentuma

Raya, oleh karena itu, dalam penelitian ini dikaji tentang hubungan panjang-bobot

dan faktor kondisi ikan cakalang tersebut. Informasi yang diperoleh diharapkan

dapat digunakan dalam kajian-kajian yang berkaitan dengan pengelolaan sehingga

pemanfaatan ikan cakalang dapat berkelanjutan.

2
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka diperoleh rumusan masalah yaitu

bagaimana hubungan panjang bobot serta faktor kondisi ikan cakalang

(Katsuwonus pelamis) yang tertangkap di perairan Gentuma Raya.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui panjang bobot dan faktor

kondisi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang tertangkap di perairan Gentuma

Raya.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat Sebagai informasi dasar ilmiah

dalam pengelolaan sumberdaya ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan

Gentuma Raya dan bahan kajian dalam pengambilan kebijakkan dalam

pengelolaan sumberdaya ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan

Gentuma Raya.

E. Kerangka Pikir Penelitian

Perairan laut Kabupaten Gorontalo Utara memiliki potensi sumberdaya

ikan cakalang yang tinggi. Penelitian ini mengkaji hubungan panjang bobot Ikan

cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Gentuma Raya, berdasarkan informasi

tersebut maka akan diketahui pertumbuhan populasi ikan cakalang (Katsuwonus

pelamis). Hasil penelitian menjadi Rekomondasi pengelolaan perikanan di

Kabupaten Gorontalo Utara.

3
Perairan Laut Gorontalo Utara

Sumberdaya ikan cakalang

Hubungan panjang bobot dan


faktor kondisi

Populasi pertumbuhan ikan cakalang di perairan


Kabupaten Gorontalo Utara

Rekomondasi Pengelolaan Perikanan di Kabupaten


Gorontalo Utara

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Morfologi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Phylum :Chordata

Kelas :Pisces

Ordo :Perciformes

Family :Scombroidae

Genus :Katsuwonus

Species :Katsuwonus pelamis

Sumber: www.blogspot.com

Gambar 2. Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Ikan cakalang memiliki tubuh yang membulat atau memanjang dan garis

lateral. Ciri khas dari ikan cakalang memiliki 4-6 garis berwarna hitam yang

memanjang di samping bagian tubuh. Ikan cakalang pada umumnya mempunyai

berat sekitar 0,5–11,5 kg serta panjang sekitar 30-80 cm. Ikan cakalang

mempunyai ciri-ciri khusus yaitu tubuhnya mempunyai bentuk menyerupai

torpedo (fusiform), bulat dan memanjang, serta mempunyai gill rakers (tapis

5
insang) sekitar 53-63 buah. Ikan cakalang memiliki dua sirip 6 punggung yang

letaknya terpisah. Sirip punggung pertama terdapat 14-16 jari-jari keras, pada sirip

punggung perut diikuti oleh 7-9 finlet. Terdapat sebuah rigi-rigi (keel) yang

sangat kuat diantara dua rigi-rigi yang lebih kecil pada masing-masing sisi dan

sirip ekor (Matsumoto et al., 1984).

B. Habitat Ikan Cakalang

Ikan Cakalang dikenal sebagai perenang cepat di laut zona pelagik. Ikan

ini umum dijumpai di laut tropis dan subtropis di Samudra Hindia, Samudra

Pasifik dan Samudra Atlantik. Ikan cakalang tidak ditemukan di utara Laut

Tengah. Hidup bergerombol dalam kawanan berjumlah besar (hingga 50 ribu ekor

ikan). Makanan mereka berupa ikan, crustacea, cephalopoda, dan moluska.

Cakalang merupakan mangsa penting bagi ikan-ikan besar di zona pelagik,

termasuk hiu (Permadi, 2004).

Ikan cakalang bersifat epipelagis dan oseanik, peruaya jarak jauh dan suhu

air yang disenangi berkisar antara 14.7-300C (FAO, 1983 dalam Permadi, 2004).

Ikan cakalang sangat menyenangi daerah dimana terjadi pertemuan arus atau arus

konvergensi yang banyak terjadi pada daerah yang mempunyai banyak pulau.

Selain itu ikan cakalang juga menyenangi pertemuan antara arus panas dan

arus dingin serta daerah upwelling. Ikan jenis ini sering bergerombol dan

melakukan ruaya di sekitar pulau, dan senang melawan arus. Ikan ini mencari

makan berdasarkan penglihatan dan rakus terhadap mangsanya (Chaliluddin et

al., 2018).

6
Kedalaman renang ikan cakalang bervariasi tergantung jenisnya.

Umumnya tuna dan ikan cakalang dapat tertangkap pada kedalaman 0-400 m.

Salinitas perairan disukai berkisar 32-35 ppt atau di perairan oseanik

(Supadiningsih, 2004 dalam Fausan, 2011). Ikan cakalang banyak ditemukan

pada perairan dengan kecerahan tinggi, dimana mangsanya terlihat jelas. Usaha

perikanan cakalang sangat baik dilakukan di perairan dengan tingkat kecerahan 15

meter sampai 35 meter. Di perairan Indonesia Timur tingkat kecerahan dibeberapa

fishing ground berkisar antara 10-30 meter.

Uktolseja (1987) dalam Muksin (2006), menerangkan bahwa sediaan

cakalang di wilayah perairan Kawasan Timur Indonesia (KTI) tersedia sepanjang

tahun terutama di Laut Maluku, Laut Banda, Laut Seram dan Laut Sulawesi.

Populasi cakalang yang dijumpai di perairan Indonesia bagian Timur sebagian

besar berasal dari Samudera Pasifik yang memasuki perairan ini mengikuti arus.

Perairan Indonesia secara geografis, terletak antara Samudera Pasifik dan

Samudra Hindia, oleh karena itu sebagian besar jenis ikan di kedua samudera itu

juga terdapat di Indonesia. Stok ikan yang terdapat di perairan KTI diduga berasal

dari Perairan Zamboanga Samudera Pasifik bagian barat, dan beruaya dari sebelah

timur Philiphina dan sebelah utara Papua Newguinie (Suhendrata, 1987 dalam

Muksin, 2006).

Ikan cakalang memiliki habitat dan mencari makan di daerah pertemuan

arus air laut, yang umumnya terdapat di sekitar pulau-pulau. Suhu yang ideal

untuk ikan cakalang adalah 260C - 320C dan salinitas 33 ppt. Ikan cakalang

menyebar luas diseluruh perairan sub tropis dan tropis, Anatara lain lautan hindia,

7
atlantik dan pasifik kecuali lautan mediterania. Penyebaran vertikal ikan cakalang,

dimulai dari permukaan sampai kedalaman 260 meter pada siang hari, sedangkan

pada malam hari akan menuju ke sekitar permukaan (diurnal migration) (WWF

Indonesia, 2015).

C. Kebiasaan Makan Ikan Cakalang

Kebiasaan merupakan mencerminkan prilaku yang sering dilakukan dalam

mencari makanan. Pada umumnya Ikan cakalang termasuk ikan perenang cepat

dan mempunyai sifat makan yang rakus. Ikan ini mencari makan berdasarkan

penglihatan dan rakus terhadap mangsanya. Kebiasaan ikan cakalang bergerombol

sewaktu dalam keadaan aktif mencari makan. Jumlah ikan cakalang dalam suatu

gerombolan berkisar beberapa ekor sampai ribuan ekor. Individu suatu schooling

ikan cakalang mempunyai ukuran yang relatif sama. Ikan cakalang yang

berukuran lebih besar berada pada lapisan yang lebih dalam dengan schooling

yang kecil, sedangkan ikan cakalang yang berukuran kecil berada pada lapisan

permukaan dengan kepadatan yang besar. Ikan cakalang ukuran besar berbeda

kemampuan adaptasinya dengan ikan cakalang ukuran kecil dalam mengatasi

perubahan lingkungan. Dengan mengetahui ukuran ikan cakalang, maka dapat

melihat sebagian sifat-sifatnya dalam mengatasi perubahan lingkungan (Hisab,

2017).

Di perairan Indonesia terdapat hubungan yang nyata antara kelimpahan

cakalang dengan ikan pelagis kecil serta plankton. Dengan semakin banyaknya

ikan kecil dan plankton, maka cakalang akan berkumpul untuk mencari makan.

Ikan cakalang mencari makan berdasarkan penglihatan dan rakus terhadap

8
mangsanya. Ikan cakalang sangat rakus pada pagi hari, kemudian menurun pada

tengah hari dan meningkat pada waktu senja (Setya et al., 2014).

Secara umum makanan ikan cakalang dapat di golongkan atas 3 kelompok

utama, yaitu ikan, crustacea dan moluska. Golongan ikan dapat dikelompokkan

pula menjadi dua kelompok yaitu ikan umpan (ikan yang di pakai selama

penangkapan) dan ikan lain selain ikan umpan. Ikan umpan yang sering

digunakan adalah ikan puri/teri, stolephorus sp; ikan lompa, Thrysinabaelama

dari famili Engraulidae; ikan gosau dan pura-pura, Spratcloiders sp (Famili

Cluipeidea). Dengan mengetahui ikan umpan yang digunakan pada saat

penangkapan, maka isi lambung selain ikan umpan dapat digolongkan sebagai

makanan alami ikan cakalang (Hisab, 2017).

D. Hubungan Panjang Bobot Ikan

Hubungan panjang bobot dapat menyediakan informasi yang penting

untuk salah satu spesies ikan dari suatu daerah. Meskipun informasi tentang

hubungan panjang bobot untuk salah satu spesies ikan dapat menggunakan ikan

dari daerah lain dalam pengkajian, akan tetapi hubungan panjang bobot ikan yang

terbaik adalah informasi lokal dari suatu daerah. Pertumbuhan adalah perubahan

panjang atau bobot dari suatu organisme dalam waktu tertentu. Pengukuran

panjang dan berat organisme sebagai dasar untuk menghitung dan menguji potensi

yang tersedia dalam suatu perairan (Erna, 1996).

Pertumbuhan secara fisik diekspresikan dengan adanya perubahan jumlah

atau ukuran sel penyusun jaringan tubuh pada periode tertentu, yang kemudian

diukur dalam satuan panjang ataupun bobot (Rahardjo, 2011). Hubungan panjang

9
bobot beserta distribusi panjang ikan sangat perlu diketahui untuk mengkonversi

secara statistik hasil tangkapan dalam bobot ke jumlah ikan, untuk menduga

besarnya populasi, dan untuk menduga laju kematiannya salah satu nilai yang

dapat dilihat dari adanya hubungan panjang bobot ikan adalah bentuk atau tipe

pertumbuhannya. Apabila harga b = 3 maka dinamakan isometrik yang

menunjukkan ikan tidak berubah bentuknya dan pertambahan ikan seimbang

dengan pertambahan bobotnya. Apabila b < 3 dinamakan alometrik negatif

dimana pertambahan panjangnya lebih cepat dibanding pertambahan bobotnya,

jika b > 3 dinamakan alometrik positif yang menunjukkan bahwa pertambahan

bobotnya cepat dibanding dengan pertambahan panjangnya (Effendie, 1979).

Hubungan panjang –berat ikan dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin, tingkat

kematangan gonad, musim dan tingkat kepenuhan lambung (Hasnia, 1997).

E. Pertumbuhan Ikan

Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran, baik panjang maupun

berat.Pertumbuhan dipengaruhi faktor genetik, hormon, dan lingkungan (zat hara).

Ketiga faktor tersebut berkerja saling mempengaruhi, baik dalam arti saling

menunjang maupun saling menghalangi untuk mengendalikan perkembangan ikan

(Fujaya, 2002).

Ukuran ikan ditentukan berdasarkan panjang atau beratnya. Ikan yang

lebih tua, umumnya lebih panjang dan gemuk. Pada usia yang sama, ikan betina

biasanya lebih berat dari ikan jantan. Pada saat matang telur, ikan mengalami

penambahan berat dan volume. Setelah bertelur beratnya akan kembali turun.

10
Tingkat pertumbuhan ikan juga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan di

lingkungan hidupnya (Irianto, 2005).

Pertumbuhan dapat didefisinikan sebagai perubahan ukuran panjang, berat

dan volume dalam jangka waktu tertentu. Perubahan ikan biasanya ditunjukan

dari penambahan panjang dan berat yang biasanya bertujuan untuk mengetahui

pola penambahan atau tampilan ikan dialam. Dalam hubungannya dengan

pertumbuhan, analisa hubungan panjang berat dimaksudkan untuk mengukur

variasi berat harapan untuk panjang tertentu dari ikan secara individual atau

kelompok individu sebagai suatu petunjuk tentang kegemukkan, kesehatan,

perkembangan gonad (Nofrita et al, 2013).

F. Faktor Kondisi

Faktor kondisi atau Ponderal index ini menunjukkan keadaan ikan, baik

dilihat dari segi kapasitas fisik, maupun dari segi survival dan reproduksi.Dalam

penggunaan secara komersial, pengetahuan kondisi hewan dapat membantu untuk

menentukan kualitas dan kuantitas daging yang tersedia agar dapat dimakan

(Andy Omar, 2012).

Faktor kondisi relatif merupakan simpangan pengukuran dari sekelompok

ikan tertentu dari bobot rata-rata terhadap panjang pada sekelompok umurnya,

kelompok panjang, atau bagian dari populasi (Weatherley, 1972 dalam Andy

Omar, 2012). Selama dalam pertumbuhan, tiap pertambahan berat material ikan

bertambah panjang dimana perbandingan liniernya akan tetap. Dalam hal ini

dianggap bahwa berat yang ideal sama dengan pangkat tiga dari panjangnya dan

berlaku untuk ikan kecil atau besar. Bila terdapat perubahan berat tanpa diikuti

11
oleh perubahan panjang atau sebaliknya, akan menyebabkan perubahan nilai

perbandingan tadi, Faktor kondisi adalah keadaan atau kemontokkan ikan yang

dinyatakan dengan angka-angka berdasarkan data panjang dan berat. Faktor

kondisi menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik

untruk survival dan reproduksi. Nilai faktor kondisi ikan betina lebih besar

dibandingkan ikan jantan, hal ini menunjukkan bahwa ikan betina memiliki

kondisi yang lebih baik dengan mengisi cell sex untuk proses reproduksinya

dibandingkan ikan jantan. Faktor kondisi dapat menjadi indikator kondisi

pertumbuhan ikan diperairan (Effendie, 2002)

12
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu Dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Januari sampai Bulan Maret 2019.

Di Pelabuhan Pendaratan Ikan Gentuma Raya Kabupaten Gorontalo Utara.

B. Alat Dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terlihat pada tabel 1

dan 2 berikut ini :

Tabel 1. Alat yang digunakan dalam penelitian


No Alat Kegunaan
1 Meteran Untuk mengukur panjang ikan
2 Timbangan Untuk menimbang berat ikan
3 Alat tulis Untuk mencatat objek yang diamati
4 Coolbox Sebagai wadah penyimpanan sampel
5 Kuisioner Sebagai bahan wawancara

Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam penelitian


No Bahan Kegunaan
1 Ikan Cakalang Sebagai sampel dalam penelitian

C. Sumber Data

Pengumpulan data berdasarkan jenis dan sumber data yang dibutuhkan

dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder.

1. Data primer

13
Data primer dapat berupa data-data yang bersifat kuantitatif maupun

kualitatif. Data primer merupakan data yang dikumpulkan secara langsung yaitu

panjang dan bobot hasil tangkapan yang dikelompokkan berdasarkan periode

bulan gelap dan bulan terang.

2. Data sekunder

Data sekunder diperoleh melalui studi literatur, informasi hasil penelitian

terdahulu yang meliputi informasi dan literatur yang sesuai dengan penelitian ini.

D. Tahapan Penelitian

1. Pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara acak, dalam penelitian ini ikan yang

ditangkap oleh nelayan dengan menggunakan alat tangkap purse seine. kemudian

hasil tangkapan nelayan diambil sekitar 150 ekor untuk di ukur panjang dan bobot

ikan tersebut.

2. Pengumpulan data

Pengambilan sampel ikan meliputi pengambilan secara acak dari ikan-ikan

yang di daratkan oleh nelayan sekitar. Ikan yang diukur panjang total dan

ditimbang berat basahnya di lokasi pelelangan sebanyak 150 ekor. Pengukuran

berat tubuh diukur secara utuh untuk menghitung berat total ikan menggunakan

timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gram. Pengukuran panjang dilakukan

dengan menghitung panjang dari ujung mulut ke ujung ekor (panjang total).

Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) diperoleh dari hasil tangkapan

nelayan yang beroprasi di perairan Gentuma Raya. Pengambilan sampel fase

14
bulan gelap 1 kali dalam seminggu sedangkan fase bulan terang dilakukan

sebanyak 2 kali setiap 1 minggu (fase bulan gelap dan fase bulan terang) pada

bulan Januari sampai bulan Maret. Jumlah sampel yang diambil dapat dilihat pada

tabel 3.

Tabel 3. Waktu Pengambilan Sampel Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)


Waktu Pengambilan Sampel Keterangan Jumlah (ekor)
25 Februari 2019 (20 Jumadil-Akhir 1440 H) Bulan Gelap 61
22 Maret 2019 (15 Rajab 1440 H) Bulan Terang 39
24 Maret 2019 ( 17 Rajab 1440 H) Bulan Terang 50
Sumber : Data primer 2019

Tabel 3. Menunjukkan waktu pengambilan sampel ikan cakalang

(Katsuwonus pelamis) penentuan periode bulan dilakukan dengan menggunakan

penanggalan berdasarkan bulan hijriah. Fase bulan gelap pengambilan sampel

pada malam 20 jumadil-akhir 1440 H dengan jumlah sampel 61 ekor. Pada fase

bulan terang pengambilan sampel dilakukan pada malam 15 rajab 1440 H dengan

jumlah sampel 39 ekor, dan pengambilan sampel kedua dilakukan pada 17 rajab

1440 H dengan sampel 50 ekor. Fase bulan gelap dan bulan terang diwilayah

Gentuma Raya dipergunakan nelayan untuk melakukan aktivitas penangkapan,

menurut nelayan sekitar fase bulan gelap terjadi pada malam ke 20 sampai 5

malam bulan dilangit, dan fase bulan terang terjadi pada bulan ke 6 malam sampai

18 malam bulan dilangit.

E. Analisis Data

15
Analisis hubungan panjang bobot ikan cakalang dihitung menggunakan

rumus yang umum sebagai berikut : (Effendie 2002).

W =α Lb

W adalah bobot (gram), L adalah panjang (mm), ɑ adalah konstanta dan b

adalah penduga pola hubungan panjang-bobot. Rumus umum tersebut bila

ditransformasikan ke dalam logaritme, akan diperoleh persamaan: log W=log α+b

log L (8) Interpretasi dari hubungan panjang dan bobot dapat dilihat dari nilai

konstanta b, yaitu dengan hipotesis:

1. H0 : b = 3, dikatakan hubungan isometrik (pola pertumbuhan panjang sama

dengan pola pertumbuhan bobot).

2. H1: b ≠ 3, dikatakan memiliki hubungan allometrik.

Pola pertumbuhan allometrik ada dua macam, yaitu allometrik positif

(b>3) yang mengindikasikan bahwa pertumbuhan bobot lebih dominan

dibandingkan dengan pertumbuhan panjang dan allometrik negatif (b<3) yang

berarti bahwa pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan dengan

pertumbuhan bobotnya.

Setelah melakukan transformasi ke bentuk logaritma terhadap data aslinya,

nilai-nilai a dan b dapat diselesaikan dengan menggunakan metode kuadrat

terkecil (Akyol et al., 2007) dan nilai a yang diperoleh harus di-antilogkan.

Untuk menguji koefisien regresi, b = 3 atau tidak, maka dilakukan analisi

data uji-t. Nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel. Jika nilai thitung lebih besar

daripada ttabel maka b berbeda dengan 3, sebaliknya jika thitung lebih kecil maka b

sama dengan 3 dikemukakan Walpole (1982 dalam Andy Omar, 2009). Data

16
kemudian diolah dengan menggunakan bantuan Microsoft Excel. Untuk

mengukur kekuatan hubungan bobot dan panjang ikan cakalang digunakan

analisis korelasi dengan rumus:

r =N ¿ ¿

Menurut Andy Omar (2009) Kekuatan hubungan korelasi dapat dilihat

pada Tabel 4.

Tabel 4. Interpretasi hubungan korelasi (r)


Nilai Koefisian Korelasi (- atau +) Arti
0,00 – 0,19 Korelasi sangat lemah
0,20 – 0,39 Korelasi lemah
0,40 – 0,69 Korelasi sedang
0,70 – 0,89 Korelasi kuat
0.90 – 1,00 Korelasi sangat kuat

Faktor kondisi diperoleh melalui rumus :

W
K=
a Lb
Keterangan :

K = Faktor kondisi

W = Berat tubuh ikan (g)

L = Panjang total ikan (cm)

a dan b : konstanta hubungan panjang – berat

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

17
A. Hubungan Panjang Bobot Ikan Cakalang Bulan Gelap Dan Bulan
Terang
Jumlah Sampel Ikan Cakalang yang didapatkan selama penelitian

sebanyak 150 ekor yang diambil pada fase bulan gelap sekitar 61 ekor dan fase

bulan terang 89 ekor. Hasil analisis hubungan panjang bobot dapat dilihat pada

Tabel 5.

Tabel 5. Hasil analisis hubungan panjang bobot ikan cakalang (Khatsuwonus


Pelamis) pada Fase bulan gelap dan fase bulan terang.
Parameter Bulan gelap Bulan terang
Jumlah ikan (ekor) 61 89
kisaran panjang total (mm) 250-570 210-590
rata-rata panjang total 392,5 354,27
kisaran bobot tubuh (gram) 130-474 110-474
rata-rata bobot tubuh 280,5 265,45
log a 0,4995012836 0,10959
A 0,005552451 0,006165
Koefisien regresi (b) 1.1321 0,9057
Koefisien korelasi ( r ) 0,608 0,561
0,005552451 L 0,006165 L
persamaan regresi
1,1321 0,9057
alometrik
tipe pertumbuhan alometrik negatif
negative
Sumber : Olahan Data Primer 2019

Berdasarkan Tabel 5. Didapatkan bahwa ikan cakalang (Khatsuwonus

pelamis) pada fase bulan gelap memiliki kisaran panjang total 250-570 mm dan

kisaran bobot tubuh 130-474 gram, sedangkan pada fase bulan terang memiliki

kisaran panjang total tubuh 210-590 mm, dan kisaran bobot tubuh 110-474 gram.

Rata-rata bobot tubuh pada fase bulan gelap dan bulan terang adalah 280,5

sedangkan pada bulan terang 265,45. Nilai koefisien regresi pada ikan cakalang

18
fase bulan gelap (b=1.1321) lebih besar dari pada koefisien regresi fase bulan

terang (b=0,9057).

Menurut Lee (2010), bulan gelap terjadi apabila bulan hanya muncul

dengan periode kemunculan hanya berkisar antara 0 – 4 jam dalam satu hari,

sebaliknya bulan terang adalah kondisi bulan penuh dan rata-rata dalam satu hari

muncul selama lebih dari 8,5 jam. Pada fase bulan gelap diperoleh sebanyak 61

ekor, dan pada bulan terang sebanyak 89 ekor. Dari perbedaan jumlah ikan diatas

dapat diketahui bahwa hasil hasil tangkapan yang diperoleh pada bulan gelap

relatife lebih besar dari pada bulan terang.

Hasil analisis regresi linier hubungan panjang bobot ikan cakalang dapat

dilihat pada Gambar 4.

Grafik Hubungan Panjang Bobot Ikan Cakalang


500
Bobot Tubuh (gram)

400 f(x) = 0.7 x + 12.63


R² = 0.62
300
200
100
0
150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650
Panjang Tubuh (mm)

Sumber : Olahan Data Primer 2019

Gambar 4. Grafik Hubungan Panjang Bobot Tubuh Ikan Cakalang

(Khatsuwonus pelamis) yang tertangkap pada fase bulan gelap dan bulan

terang.

Berdasarkan (Gambar 4) Hubungan panjang bobot ikan Cakalang

(Khatsuwonus pelamis) di Perairan Gentuma Raya memiliki persamaan regresi y=

19
-0,0086x + 0,9489. Hasil persamaan regresi, nilai konstan bobot ikan cakalang

sebesar -0,0086 keofisien regresi panjang sebesar 0,9489 artinya jika panjang ikan

cakalang mengalami koefisien kenaikan 1% maka bobot ikan cakalang akan

mengalami kenaikan sebasar 0,9489. Nilai koefisien korelasi (R²) yaitu 0,570.

artinya 57% pertambahan berat tubuh ikan terjadi karena pertambahan panjang

tubuh ikan, Sedangkan 43% pertambahan berat ikan disebabkan oleh faktor

lingkungan dan umur. Menurut Effendie (2002), pertumbuhan dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam umumnya adalah factor

keturunan, jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit. Sebaliknya, faktor luar yang

utama mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan. Untuk

mengetahui seberapa kuat hubungan panjang bobot ikan Cakalang dengan

mengetahui Nilai koefisien korelasi (r). Nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,755.

Hal ini termasuk korelasi kuat antara bobot tubuh dan panjang ikan Cakalang

Sugiyono (2009), jika Nilai koefisien korelasi (r) berkisar antara 0,60-0,799

termasuk korelasi kuat.

Kondisi perairan Gentuma merupakan wilayah perairan laut Sulawesi

Gentuma Raya yang menjadi jalur migrasi ikan pelagis sehingga banyak terdapat

rumpon. Selain itu perairan gentuma memiliki potensi sumberdaya ikan pelagis

besar yang tinggi khususnya ikan cakalang hal ini dapat dibuktikan dengan rata-

rata hasil tangkapan nelayan selama pengoperasian yaitu didominasi oleh ikan

cakalang.

B. Hubungan Panjang Bobot Ikan Cakalang Bulan Gelap

20
Ikan Cakalang (Khatsuwonus pelamis) yang tertangkap pada fase bulan

gelap sebanyak 61 ekor memiliki berat rata-rata 280,525 gr dan panjang tubuh

dengan rata-rata 392,459 mm. Hasil analisis regresi hubungan panjang bobot ikan

dapat dilihat pada Gambar 5.

Grafik Hubungan Panjang Bobot Ikan Cakalang


500
Bobot Tubuh (gram)

400
f(x) = 0.75 x − 12.93
300 R² = 0.59
200
100
0
200 250 300 350 400 450 500 550 600
Panjang Tubuh (mm)

Sumber : Olahan Data Primer 2019

Gambar 5. Grafik Hubungan Panjang Bobot Ikan Cakalang Fase Bulan


Gelap.

Hubungan panjang bobot ikan Cakalang (Khatsuwonus pelamis) pada fase

bulan gelap (Gambar 5) memiliki persamaan regresi y = -0,4950x + 1,1321. Hasil

persamaan regresi, nilai konstan bobot ikan cakalang sebesar -0,4950 keofisien

regresi panjang sebesar 1,1321 artinya jika panjang ikan cakalang mengalami

kenaikan 1% maka bobot ikan cakalang akan mengalami kenaikan sebasar 1,1321.

Nilai koefisien korelasi (R²) yaitu 0,608, artinya 60,8% pertambahan berat tubuh

ikan terjadi karena pertambahan panjang tubuh ikan, Sedangkan 39,2%

pertambahan berat ikan disebabkan oleh faktor lingkungan dan umur

Menurut Utami et al., (2014) Pola pertumbuhan dipengaruhi oleh tingkah

laku ikan yang bergerak aktif dan melakukan ruaya. Ikan cakalang dapat hidup

21
nyaris di semua lautan yang ada di muka bumi ini karena itulah dapat dikatakan

bahwa ikan cakalang termasuk jenis Oseanodrom (hidup dan beruaya atau

bermigrasi di lautan) (Mukhtar 2009). Untuk mengetahui seberapa kuat hubungan

panjang bobot ikan Cakalang dengan mengetahui Nilai koefisien korelasi (r).

Nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,779. Hal ini termasuk korelasi kuat antara

bobot tubuh dan panjang ikan Cakalang. Sugiyono (2009), jika nilai koefisien

korelasi (r) berkisar antara 0,60-0,799 termasuk korelasi kuat.

Menurut hasil wawancara pada nelayan bahwa hasil tangkapan pada bulan

gelap lebih besar, hal ini dipengaruhi oleh cahaya lampu diatas rakit sehingga

penangkapan ikan cakalang lebih efektif. Hal ini dapat dibuktikan dengan rata-rata

berat ikan selama pengumpulan data yang tertinggi yaitu pada bulan gelap rata-

rata 280,5 gr.

C. Hubungan Panjang Bobot Ikan Cakalang Bulan Terang

Hasil tangkapan yang diperoleh pada fase bulan terang sebanyak 89 ekor,

dengan berat rata-rata 265,449 gr dengan kisaran 110-474 gr dan panjang tubuh

rata-rata 354,270 mm dengan kisaran 210-590 mm. Hasil analisis regresi

hubungan panjang bobot ikan dapat dilihat pada (Gambar 6).

Grafik Hubungan Panjang Bobot Ikan Cakalang


500
Bobot Tubuh (gram)

400 f(x) = 0.7 x + 16.65


R² = 0.65
300
200
100
0
150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650
Panjang Tubuh (mm)

22
Sumber: Olahan Data Primer 2019

Gambar 6. Hubungan Panjang Bobot Ikan Cakalang Fase Bulan Terang

Hubungan panjang bobot ikan Cakalang (Khatsuwonus pelamis) pada fase

bulan terang memiliki persamaan regresi y = 0,1096x + 0,9057. Hasil persamaan

regresi, nilai konstan bobot ikan cakalang sebesar 0,1096 keofisien regresi

panjang sebesar 0,9057 artinya jika panjang ikan cakalang mengalami kenaikan

1% maka bobot ikan cakalang akan mengalami kenaikan sebasar 0,9057. Nilai

koefisien korelasi (R²) yaitu 0,561, artinya 56,1% pertambahan berat tubuh ikan

terjadi karena pertambahan panjang tubuh ikan, Sedangkan 43,9% pertambahan

berat ikan disebabkan oleh faktor lingkungan dan umur. Masyahoro, (2009)

bahwa nilai R2 sebesar 0,90 menunjukkan bahwa 90% variasi nilai bobot badan

ikan (W) dapat dijelaskan oleh panjang cagak (FL) dan sisanya disebabkan oleh

faktor lain di luar dari model yang dikaji. Nilai koefisien korelasi (r) sebesar

menunjukkan keeratan hubungan antara panjang dengan bobot badan ikan

Cakalang. Nilai koefisien korelasi (r) yang diperoleh yaitu sebesar 0,749, hal ini

dapat dikatakan bahwa hubungan panjang bobot ikan cakalang pada fase bulan

terang termasuk dalam korelasi kuat. Menurut Sugiyono (2009), jika nilai

koefisien korelasi (r) berkisar antara 0,60-0,799 termasuk korelasi kuat. Menurut

Sudirman dan Natsir (2011) ikan sangat responsif terhadap cahaya sehingga

terkonsentrasi dibagian permukaan, sedangkan beberapa jenis ikan pelagis lainnya

berada pada kedalaman 20-30 meter.

Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan bahwa hasil tangkapan ikan

pada bulan terang kurang efektif karena ikan akan tersebar mengikuti penyebaran

23
cahaya bulan di perairan sehingga jumlah ikan yang terkumpul di bawah cahaya

lampu rakit berkurang. Hal ini di yang menyebabkan hasil tangkapan nelayan

pada bulan terang berkurang dibuktikan dengan rata-rata berat ikan cakalang hasil

tangkapan pada bulan terang rendah yaitu rata-rata 265,45 gr.

D. Faktor Kondisi Ikan Cakalang Bulan Gelap Dan Bulan Terang

Nilai faktor kondisi dari ikan Cakalang (Khatsuwonus pelamis)

berdasarkan fase bulan gelap dan fase bulan terang di perairan Gentuma Raya

dapat dilihat pada Tabel 6.

Fase Jumlah Ikan Kisaran Rata-rata


Bulan Gelap 61 250-570 1.9677
Bulan Terang 89 210-474 0,65
Sumber: Olahan Data Primer 2019

Berdasarkan Tabel 6. Diperoleh rata-rata tertinggi pada fase bulan gelap

1.9677. Jumlah ikan yang diperoleh pada bulan gelap lebih besar dari pada waktu

bulan terang 0,65. Pada bulan terang kurang efektif untuk kegiatan penangkapan

karena cahaya menyebar diperairan sehingga, cahaya lampu untuk kegiatan

penangkapan mengalami pembiasan yang kurang sempurna di perairan yang pada

akhirnya efektifitas penggunaan cahaya untuk mengumpulkan ikan kurang efisien

(Subani et al,. 1989 dalam Lee, 2010).

Tabel 7. Faktor Kondisi dan Hubungan Panjang Bobot ikan Cakalang di perairan
Gentuma.
Hubungan Panjang Berat Hasil Pengujian Pola Pertumbuhan
A -0,0086
B 0,9489
R² 0,57 b<3 Alometrik Negatif
L 369,8
W 344,023

24
Kn 0,79
Sumber : Olahan Data Primer 2019
Tabel 7. Menunjukkan, nilai hubungan panjang bobot ikan Cakalang

(Khatsuwonus pelamis) di perairan Gentuma Raya didapatkan nilai b sebesar

0,9489 menunjukan bahwa pola pertumbuhan ikan Cakalang (Khatsuwonus

pelamis) adalah alometrik negatif (b<3) artinya pertambahan panjangnya lebih

cepat dibandingkan pertambahan bobotnya. Secara umum, nilai b tergantung pada

kondisi fisiologis dan lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, letak geografis dan

teknik sampling (Jenning et al., 2001) dan juga kondisi biologis seperti

perkembangan gonad dan ketersediaan makanan (Froese, 2006). Dalam penelitian

ini ditemukan nilai b < 3. Shukor et al., (2008), yang menyebutkan bahwa ikan

yang hidup diperairan arus deras umumnya memiliki nilai b yang lebih rendah dan

sebaliknya ikan yang hidup pada perairan tenang akan menghasilkan nilai b yang

besar. Fenomena ini mungkin disebabkan oleh tingkah laku ikan, ini sesuai

dengan pernyataan Muchlisin (2010) yang menyebutkan bahwa besar kecilnya

nilai b juga dipengaruhi oleh perilaku ikan, misalnya ikan yang berenang aktif

(ikan pelagis) menunjukkan nilai b yang lebih rendah bila dibandingkan dengan

ikan yang berenang pasif (kebanyakan ikan demersal). Mungkin hal ini terkait

dengan alokasi energi yang dikeluarkan untuk pergerakan dan pertumbuhan.

Perubahan lingkungan dan kondisi biologis ikan dapat menyebabkan

terjadinya perubahan hubungan bobot panjang. Perubahan tersebut disebabkan

oleh kondisi ikan yang bergantung pada makanan, umur, jenis kelamin dan

kematangan gonad. Laju pertumbuhan yang lambat, namun ikan tetap akan

mengalami pertumbuhan panjang bahkan dalam kondisi faktor lingkungan yang

25
tidak mendukung. Peningkatan ukuran panjang umumnya tetap berlangsung

walaupun ikan mungkin dalam keadaan kekurangan makanan (Harmiyati, 2009).

Pertumbuhan allometrik bersifat sementara, misalnya karena perubahan

yang berhubungan dengan kematangan gonad, sedangkan pertumbuhan isometrik

merupakan perubahan secara terus menerus yang bersifat proporsional. Perbedaan

pertumbuhan ikan yang diekspresikan dari nilai b dapat disebabkan oleh beberapa

faktor, seperti ketersediaan makanan, Ph, suhu, dan oksigen terlarut diperairan,

serta kemampuan ikan berenang secara aktiv atau pasif (Muchlisin et al, 2010).

Ikan cakalang yang tertangkap diperairan Gentuma Raya memiliki bentuk

tubuh yang pipih atau kurang gemuk karena nilai faktor kondisi yang diperoleh

yaitu sebesar 0,79. Menurut Effendie (2002), untuk ikan yang nilai faktor kondisi

0-1, maka ikan tersebut tergolong ikan yang pipih atau tidak gemuk. Besarnya

faktor kondisi tergantung pada banyak hal antara lain jumlah organisme yang ada,

kondisi organisme, ketersediaan makanan dan kondisi lingkungan perairan.

Semakin tinggi nilai faktor kondisi menunjukkan adanya kecocokan antara ikan

dengan lingkungannya. Richer (2007) dan Blackwell et al,. (2000) menambahkan

bahwa faktor kondisi dapat dihitung untuk menilai kesehatan ikan secara umum,

produktivitas dan kondisi fisiologi dari populasi ikan.

E. Faktor Kondisi Fase Bulan Gelap

Faktor kondisi ikan cakalang yang tertangkap pada fase bulan gelap yaitu

dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Faktor Kondisi dan Hubungan Panjang Bobot Ikan Cakalang Pada Fase
Bulan Gelap
Hubungan Panjang Berat Hasil Pengujian Pola Pertumbuhan
A -0,495 b<3 Alometrik Negatif

26
B 1,1321
R² 0,608
L 392,459
W 142,128
Kn 1,97
Sumber : Olahan Data Primer 2019

Tabel 8. Menunjukkan, nilai hubungan panjang bobot ikan Cakalang

(Khatsuwonus pelamis) pada fase bulan gelap didapatkan nilai b sebesar 1,1321

menunjukan bahwa pola pertumbuhan ikan Cakalang (Khatsuwonus pelamis)

adalah alometrik negatif (b<3) artinya pertambahan panjang lebih cepat

dibandingkan pertambahan bobotnya. Nilai faktor kondisi ikan cakalang pada fase

bulan gelap yaitu 1,97. Menurut Effendie (2002), ikan-ikan yang badannya kurang

pipih atau montok memiliki harga K berkisar antara 1-3. Nilai faktor kondisi ikan

Cakalang selama penelitian adalah 1.97. Nilai Kn ini tidak jauh berbeda dengan

Kn di Teluk Pelabuhan Ratu yang berkisar antara 0,99 – 1,45 (Fadhilah, 2010).

Faktor kondisi tinggi pada ikan menunjukkan ikan dalam perkembangan gonad

sedangkan faktor kondisi rendah menunjukkan ikan kurang mendapat asupan

makanan. Faktor kondisi juga akan berbeda tergantung jenis kelamin ikan, musim

atau lokasi penangkapan serta faktor kondisi juga dipengaruhi oleh tingkat

kematangan gonad dan kelimpahan makanan (King, 2003). Pada kondisi

lingkungan yang tidak memungkinkan, penurunan faktor kondisi dapat terjadi

sebelum pemijahan apabila terjadi atresia, yaitu penyerapan kembali oosit oleh

tubuh ikan karena adanya gangguan dalam proses reproduksi pada tahap

perkembangan gonad (Tamsil, 2000 dalam Habibun, 2011)

F. Faktor Kondisi Fase Bulan Terang

27
Faktor kondisi ikan cakalang yang tertangkap pada fase bulan terang yaitu

dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Faktor Kondisi dan Hubungan Panjang Bobot ikan Cakalang Pada Fase
Bulan Gelap
Hubungan Panjang Berat Hasil Pengujian Pola Pertumbuhan
A 0,1096
B 0,9057
R² 0,561
b<3 Alometrik Negatif
L 354,27
W 412,97
Kn 0,65
Sumber : Olahan Data Primer 2019

Tabel 9. Menunjukkan, nilai hubungan panjang bobot ikan Cakalang

(Khatsuwonus pelamis) pada fase bulan terang didapatkan nilai b sebesar 0,9057

menunjukan bahwa pola pertumbuhan ikan Cakalang (Khatsuwonus pelamis)

adalah alometrik negatif (b<3) artinya pertambahan panjang lebih cepat

dibandingkan pertambahan bobotnya. Nilai faktor kondisi ikan cakalang pada fase

bulan terang yaitu 0,65. Hal ini dapat dikatakan bahwa rata-rata ikan cakalng yang

tertangkap pada fase bulan terang memiliki ukuran badan yang pipih. Menurut

Effendie (2002), ikan-ikan yang badannya kurang pipih atau montok memiliki

harga Kn berkisar antara 1-3.

Ikan Cakalang merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis

penting. Sumberdaya ikan Cakalang (Khatsuwonus pelamis) yang tertangkap di

perairan Gentuma Raya memiliki bentuk tubuh yang pipih atau kurang gemuk.

Ikan Cakalang ditangkap menggunakan alat tangkap Purse sein, dengan

menggunakan kapal yang bermuatan 26-30 GT (Gross Ton) dengan jumlah tenaga

28
kerja sekitar 25 orang. Ikan yang ditangkap oleh nelayan dijual melalui pelelangan

agar ikan memiliki nilai jual yang lebih stabil. Salah satu yang dapat

mempengaruhi hasil tangkapan nelayan yaitu kondisi cuaca yang buruk,

kerusakkan kapal, dan kerusakkan alat tangkap yang digunakan.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil penelitian hubungan panjang bobot ikan Cakalang (Katsuwonus

pelamis) di Perairan Gentuma Raya adalah allometrik negatif (b < 3), artinya

pertambahan panjang tubuh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan bobot

29
tubuh dan faktor kondisi yang diperoleh yaitu sebesar 1, hal ini berarti ikan

Cakalang (Katsuwonus pelamis) yang tertangkap di perairan Gentuma Raya

memiliki bentuk tubuh yang pipih atau kurang gemuk karena nilai faktor kondisi.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan maka beberapa hal yang dapat disarankan

peneliti:

1. Bagi Instansi Terkait, Dinas perikanan dan Kelautan Kabupaten Gorontalo

Utara diharapkan untuk meningkatkan alat tangkap guna memaksimalkan

hasil tangkapan.

2. Bagi masyarakat nelayan harus memperhatikan prosedur penangkapan guna

menjaga habitat perairan Gentuma Raya

3. Bagi mahasiswa, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai wilayah

penangkapan diwilayah perairan Gentuma Raya agar didapatkannya data

tentang pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Andy Omar. 2009. Pengantar Statistika. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Antara kompas 2017. https://kilasdaerah.kompas.com/Sulawesi-utara/read/2017/0
1/10/141839726/di.gorontalo.harga.ikan.
Akyol, O., H. Tuncay Kinacigil and Ramazan Sevik. 2007. Lonline fishery and
length-weight relationship for selected fish species in Gokova Bay
(Aegean Sea, STurkey). Internasional Journal of Natural and selected
Sciences 1:1-4
Barus. 2011. Bioekologi ikan bilih (Mystacoleucus padangensis). [Tesis].
program magister biologi. FMIPA USU

30
BPS Kabupaten Gorontalo Utara.2018. Kabupaten Gorontalo Utara Dalam Angka
2018. www.bpsgkabgorontaloutara.go.id. Diakses 4/01/2019
BPS Kabupaten Gorontalo Utara .2018 ..https: //www. bpskabgorontaloutarakab.
Bps.go.id diakses 5/01/2019
Blackweel, B.G., M.L Brown & D.W. Willis, 2000. Relative weight (Wr) status
and current use in fisheries assessment and management. Reviews in
fisheries Science, 8;1-44
Chaliluddin Makwiyah A., Ratna Mutia Aprilla, Junaidi M. Affan, Abdullah A.
Muhammadar, Heri Rahmadani, Edy Miswar dan Firdus Firdus. 2018.
Efektivitas penggunaan rumpon sebagai daerah penangkapan ikan di
Perairan Pusong Kota Lhokseumawe. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir
dan Perikanan. Volume 7, Nomor 2, Hal 119-126
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Gorontalo Utara. 2010. tentang
produksi ikan.
Erna. 1996. Studi Tentang Beberapa Parameter Biologi Populasi Ikan Layang
(Decapterus ruselliRuppel) di Perairan Kabupaten Barru. [Skripsi].
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.
Effendi, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
160 hal
Fadhilah, L. N. 2010. Pendugaan Pertumbuhan dan Mortalitas Ikan Cakalang
(Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang didaratkan di PPN
Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. [Skripsi].
Institut Pertanian Bogor. 89 hlm.
Fujaya, 2002. Fisiologi Ikan. Dikti Departemen pendidikan nasional
Froes,e R. 2006. Cube law, condition factor and weight–length relationships:
history, metaanalysis and recommendations. Journal of Applied
Ichthyology, Vol. 22 No.4 Hal. 241-253.

Habibun Edwin Akbar. 2011. Aspek pertumbuhan dan reproduksi ikan ekor
kuning (Caesio cuning) yang didaratkan di pangkalan pendaratan ikan
pulau pramuka, kepulauan seribu, Jakarta. [Skripsi]. Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor
Harmiyati D. 2009. Analisis hasil tangkapan sumberdaya ikan ekor kuning
(Caesio cuning) yang didaratkan di PPI Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu
[skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor 71 hlm.
Hasnia. 1997. Studi Tentang Beberapa Parameter Biologi Populasi Ikan laying
(Decapterus ruselliRuppel) di Perairan Kabupaten Barru. [Skripsi].
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.

31
Hisab Yaumul. 2017. Kebiasaan Makan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis).
Label: ekologi dan biologi perikanan. http://robinsonbisa.blogspot.com
/2017/03/kebiasaan-makan-ikan-cakalang.html. (Diakses 12 Januari 2019).
Irianto. 2005. Penurunan Voleme Berat Ikan Dan Tingkat Kematangan Gonad
Pada Ikan. journal.392-321 vo.3 no.146
Jufri.2014 journal.pemetaan potensi penangkapan ikan cakalang di peraiaran
Sulawesi.https://ardikadjun-ceritaapasajablogspot.co.id/2013/10/distribusi-
ikan-cakalang-katsuwonus-html)S
Jenning,. 2001. Marine fishery ecology. Blackwell Sciences, Oxford.
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2017. Maritim
indonesia, kemewahan luar biasa. https://kkp.go.id/artikel/2233-maritim-
indonesia-kemewahan-yang-luar-biasa.diakses 24/01/2019
Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2018. Menjaga
ekosistem laut indonesia bersama Ditjen pengelolaan Ruang Laut.
https://kkp.go.id/djprl/artikel/2798-refleksi-2017-dan-outlook-2018-
membangun-dan-menjaga-ekosistem-laut-indonesia-bersama-ditjen-
pengelolaan-ruang-laut. diakses 24/01.2019
King, M. 2003. Fisheries, Biology, Assessment and Management. Fishing New
Books. Blackwell Science. Oxford England. 65 – 66 p
Lee. J. W. 2010. Pengaruh Periode Hari Bulan Terhadap Hasil Tangkapan dan
Tingkat Pendapatan Nelayan Bagan Tancap di Kabupaten Serang. [Tesis].
Sekolah Pasca Sarjana Institusi Pertanian Bogor. Bogor .
Malik. 2009. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi ikan layang di perairan
teluk likupang Sulawesi utara. Jurnal. Vol. 63 no 12
Matsumoto. 1984. Klasifikasi dan morfologi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
Muchlisin, Z.A., M. Musman, M.N. S. Azizah, 2010. Leng Weight Relationships
and Condition Factors of Two Threatened Fishies, Rasbora tawarensis and
Proporopuntius twarensis, endemic to Lake Laut Tawar, Aceh Province,
Indonesia. Journal of Applied Ichtiology, Vol.26 Hal. 949-953.
Muksin D. 2006. Optimalisasi Usaha Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis)
di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara [Tesis]. Bogor:Institut
Pertanian Bogor. 119 Hal.
Mukhtar. 2009. Pantai Kulisusu Buton Utara merupakan tempat pemijahan ikan
cakalang. [terhubung berkala]. http://www.buternews.idrap.or.id [10 Maret
2019].
Masyahoro A. 2009. Model Simulasi Numerik Hubungan Panjang Bobot Ikan
Tongkol (Auxis Thazard) Pada Pangkalan Pendaratan Ikan Labuan Bajo
Kabupaten Donggala. J. Agroland. Vol. 16 No.3 Hal: 274 - 282, ISSN :
0854 – 641X

32
Nofrita et al, 2013 hubungan tampilan pertumbuhan dengan karakteristik habitat
ikan bilih. Jurnal FMIPA. universitas andalas padang.
Permadi, R. 2004. Analisis Hasil Tangkapan Cakalang dan Hubungannya dengan
Kondisi Oseanografi Fisika di Perairan Laut Banda Sulawesi Tenggara.
[Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Raharjo M.F., Affandi. R, D.S. Sjafei, M.F, Sulistionodan J. Hutabarat. 2011.
Ikhtiology. Lubuk Agung. Bandung.
Richer, T. J. 2007. Development and evaluation of standard weight equations for
bridgelip sucker and largescale sucker. North American journal of
Fisheries Managemen. 27: 936-939
Subani et al,. 1989 dalam Lee, 2010. Periode fase bulan terhadap hasil tangkapan
dan tingkat pendapatan nelayan bagan tancap dikabupaten serang.
Sudirman dan Natsir (2011) perikanan dan aspek pengelolaanya. UMM press.
Malang.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian. C.V. Alfabeta, Bandung.
Shukor, M.Y., A. Samat, A.K. Ahmad, J. Ruziaton. 2008. Comparative anaalysis
of length-weight relationship of Rasbora sumatrana in relation to the
physicochemical characteristic in different geographical areas in
peninsular Malaysia. Malaysian Applied Biology, Vol.37 No.1 Hal:21-29.
Setya Yunika Ayu W., Raden Ario dan Sri Redjeki. 2014. Kondisi Morfometri
Dan Komposisi Isi Lambung Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) Yang
Didaratkan Di Wilayah Prigi Jawa Timur. Journal of Marine Research
Volume 3, Nomor 3, Halaman 226-232
Tim Perikanan WWF Indonesia. 2015. Panduan Penangkapan dan Penanganan.
Pole And Line Perikanan Cakalang - Dengan Pancing (Huhate). WWF
Indonesia. Edisi 1. Jakarta Selatan

Tang, S.J., Z.Z. Liu, W.Q. Tang, J.Q. Yang. 2009. A simple method for isolation
of microsatel-lites from the mudskipper (Boleophthal-mus pectinirostris),
without constructing a genomic library. Conservation Genetics, 10:1957-
1959.
Utami, M.N.F., S. Redjeki, dan E.Supriyantini. 2014. Komposisi isi lambung ikan
kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) di Rembang.J. of Marine
Research, 2(3):99-106.

33
34

Anda mungkin juga menyukai