Pendahuluan
Ekosistem pesisir merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan
mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain menghasilkan bahan dasar
untuk pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga dan industri yang dalam
konteks ekonomi bernilai komersial tinggi, ekosistem pesisir dan laut juga memiliki
fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, tempat pemijahan,
tempat pengasuhan dan tumbuh besar, serta tempat mencari makanan bagi beragam biota
laut. Selain itu, ekosistem pesisir dan laut berperan pula sebagai pelindung pantai atau
penahan abrasi bagi wilayah daratan yang berada di belakang ekosistem ini (Bengen,
2002).
Perairan pesisir menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Pasal 1 ayat 1, merupakan suatu
wilayah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil diukur dari
garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk,
perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. Salah satu potensi yang sangat penting
keberadaannya di wilayah pesisir adalah hutan mangrove. Dimana mangrove, dapat
tumbuh didaerah pantai-pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus
pasang surut air laut dan tumbuh optimal di wilayah pantai yang memiliki muara sungai
besar serta estuari dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur (Dahuri et al,
1996).
Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya 2%
permukaan bumi, Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia.
Luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 4.251.011 Ha yang tersebar dibeberapa pulau,
seperti Sumatera, Jawa dan Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian.
Ekosistem mangrove ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi dan sosial-budaya yang
sangat penting, misalnya menjaga stabilitas pantai, sumber ikan, udang dan
keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta memiliki
fungsi konservasi, edukasi, ekoturisme dan identitas budaya.
Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia, termasuk Indonesia sangat cepat
akibat pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan,
reklamasi dan sedimentasi, pertambangan, sebab-sebab alam seperti badai atau tsunami
dan lain-lainnya. Berdasarkan artikel ilmiah menyebutkan bahwa sekitar 48% luas hutan
mangrove di Indonesia telah mengalami kerusakan sedang dan 23% mengalami kerusakan
parah. Kerusakan hutan mangrove dialami hampir di seluruh daerah di Indonesia,
2. Landasan Teori
2.1 Karakteristik Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir merupakan zona penting karena pada dasarnya tersusun dari
berbagai macam ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, lamun, pantai berpasir dan
lainnya yang satu sama lain saling terkait. Perubahan atau kerusakan yang menimpa suatu
ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir juga
dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia baik langsung atau tidak langsung
maupun proses-proses alamiah yang terdapat di atas lahan maupun lautan (Djau, 2012).
Scura et al. (1992) dalam Cicin-Sain and Knecht (1998), mengemukakan bahwa
wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut, yang didalamnya
terdapat hubungan yang erat antara aktivitas manusia dengan lingkungan daratan dan
lingkungan laut. Wilayah pesisir mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Memiliki habitat dan ekosistem (seperti estuari, terumbu karang, padang lamun,
mangrove) yang dapat menyediakan suatu (seperti ikan, minyak bumi, mineral) dan
jasa (seperti bentuk perlindungan alam dan badai, arus pasang surut, wisata) untuk
masyarakat pesisir.
b. Dicirikan dengan persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya dan ruang oleh
berbagai stakeholders, sehingga sering terjadi konflik yang berdampak pada
menurunnya fungsi sumberdaya.
c. Menyediakan sumberdaya ekonomi nasional dari wilayah pesisir dimana dapat
menghasilkan GNP (gross national product) dari kegiatan seperti pengembangan
perkapalan, perminyakan dan gas, pariwisata dan pesisir dan lainnya.
2|Kerusakan Hutan Mangrove di Pesisir Surabaya
d. Biasanya memiliki kepadatan penduduk yang tinggi dan merupakan wilayah
urbanisasi.
Ekosistem di wilayah pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai
kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara
habitat tersebut. Ekosistem di wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling
mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, serta
langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisisr
(Dahuri et al, 2001). Konsentrasi pembangunan kehidupan manusia dan berbagai
pembangunan di wilayah tersebut disebabkan oleh tiga alasan ekonomi yang kuat, yaitu
bahwa wilayah pesisir merupakan kawasan yang produktif di bumi, wilayah pesisir
menyediakan kemudahab bagi berbagai kegiatan serta wilayah peisisr memiliki pesona
yang menarik bagi obyek pariwisata. Hal-hal tersebut menyebabkan kawasan pesisir di
dunia termasuk Indonesia mengalami tekanan ekologis yang parah dan kompleks sehingga
menjadi rusak (Dahuri, 1998)
Setiap organisme pendukung di sub sistem ekosistem pesisir mempunyai daya
tahan terhadap perubahan lingkungan yang spesifik. organisme yang tahan bahan
pencemar akan tetap survive, sedangkan yang tidak tahan akan punah. Akibatnya
perubahan atau penurunan kualitas lingkungan fisik-kimia air, seperti salinitas, suhu aur,
level penetrasi cahaya nutrien, di wilayah pesisir akan menurunkan produktivitas
ekosistem pesisir tersebut (Supriharyono, 2002)
Kualitas lahan berkaitan Kesuburan tanah dan kualitas air, dan kondisi estiari
dengan upaya Kemungkinan mekanisasi (trafficability).
pengolahan budidaya Ukuran unit lahan untuk optimalisasi pengelolahan
pesisir produksi (luas hamparan kawasan).
Dalam lingkup wilayah pesisir di surabaya, yang menjadi masalah konversi lahan
adalah konversi lahan mangrove menjadi lahan perindustrian, pemukiman dan bentuk
lahan budidaya lainnya.
3. Identifikasi Kondisi
Ekosistem pesisir di Kota Surabaya yang memiliki potensi besar bagi pembangunan
adalah Pantai Timur Surabaya (PAMURBAYA) dan Pantai Utara Surabaya (PANTURA).
Gambar 6. Pemanfaatan mangrove sebagai bahan sirup mangrove yang dikelola oleh
masyarakat Wonorejo, Surabaya
Gambar 7. Mangrove digunakan sebagai bahan pembuat batik tulis mangrove Medokan,
Surabaya
Tabel 3. Data kondisi hutan mangrove di kawasan Pantai Timur Surabaya tahun 2011
Gambar 9. Perakaran mangrove yang kuat mampu menahan gelombang air laut di Greges,
Surabaya
2. Fungsi Biologi Mangrove Pantura
16 | K e r u s a k a n Hutan Mangrove di Pesisir Surabaya
Berfungsi sebagai daerah asuhan pasca larva dan jenis ikan, udang, serta menjadi
tempat kehidupan jenis-jenis kerang dan kepiting, tempat bersarang burung-burung dan
menjadi habitat alami bagi berbagai jenis biota. Kawasan Pantura merupakan daerah
tinggi aktivitas manusianya sehingga aktivitas biologi baik flora maupun fauna terbatas
pada kawasan mangrove. Terdapat beberapa jenis burung yang bergantung di kawasan
mangrove, seperti Famili Ardeidae (cangak dan kuntul), burung kacamata (Zosterops sp.),
maupun dari jenis cikakak-sungai (Halcyon chloris) yang umum mendiami daerah perairan.
Selain hal tersebut jenis Insecta juga terdapat di kawasan mangrove ini.
3. Fungsi Ekonomi, Produksi dan Edukasi
Ekosistem mangrove juga sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untk bahan
bakar dan perikanan. Masyarakat kawasan Pantura belum banyak memanfaatkan
mangrove sebagai bahan industri kecil seperti di kawasan Pamurbaya. Mangrove oleh
masyarakat hanya dimanfaatkan sebagai tempat perlindungan tambak. Industri industri
seperti peti kemas banyak terdapat dikawasan ini dan dimanfaatkan sebagai bahan untuk
studi AMDAL maupun kualitas lingkungan.
Pemanfaatan mangrove di kawasan Pantura hanya difokuskan sebagai pelindung
pantai dari ancaman gelombang air laut. Petani juga memanfaatkan funsi ekologis
mangrove sebagai tempat feeding ground bagi ikan sehingga menanamnya di pinggir
tambak. Menurut Dinas Pertanian Kota Surabaya, daerah Pantura akan dimanfaatkan
sebagai daerah wisata bahari.
Dari tabel 4, dapat kita lihat bahwa luas hutan mangrove yang ada di pesisir
Pamurbaya lebih luas dibandingkan dengan mangrove di Pantura. Namun, angka
kerusakan lahan pada Pantura lebih besar dibandingkan jumlah total lahan mangrovenya.
Dimana, dengan jumlah lahan 118,74 Ha dengan total kerusakan adalah 44,784 Ha angka
kerusakan mencapai 37,72% dari total keseluruhan. Dengan kondisi mangrove di Pantura
dapat dikategorikan rusak sesuai baku mutu Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove.
Bengen, D.G. 2000. Pedoman Teknis Pengenalan Dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.Bogor. 50 hal.
Bengen. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir.Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir
dan Lautan. Sipnosis. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Cicin-Sain and Knecht R. W, 1998. Integrated Coastal and Marine Management, Island
Press, Washington DC
Dahuri, Rokhmin, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting and M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita Jakarta.
Jakarta.
Dahuri, R et al. 1998. Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
yang Berakar dari Masyarakat Kerjasama Ditjen Bangda dengan Pusat Kajian Sumber
daya Pesisir dan Lautan. IPB. Laporan Akhir
Dahuri R., Rais Y., Putra S.,G., Sitepu, M.J., 2001. Pengelolaan Sumber daya Wilayah Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Davies, J., G. Claridge, dan Nirarita. 1995. Manfaat Lahan Basah: Potensi Lahan Basah dalam
Mendukung dan Memelihara Pembangunan. Asean Wetland Bureau. Bogor.
Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2010
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 tentang kriteria baku
dan pedoman penentuan kerusakan mangrove
Naamin, M. 1990. Penggunaan Lahan Mangrove untuk Budidaya Tambak. Keuntungan
dan Kerugiannya. Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove Bandar Lampung.
Nybakken, J.W. 1992. Bilogi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh M. Eidman,
Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Setyawan, A.D dan K. Winarno. 2006. Pemanfaatan Langsung Ekosistem Mangrove di Jawa
Tengah dan Penggunaan Lahan di Sekitarnya; Kerusakan dan Upaya restorasinya.
Biodiversitas. 7: 282-291.
Supriharyono, 2002 Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir
Tropis. Cetakan Kedua. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.