PENDAHULUAN
Secara geografis Kota Bengkulu memiliki hutan pantai dan hutan mangrove
yang luasnya mulai menyusut akibat berbagai aktifitas pembangunan yang tidak
berorientasi pada perlindungan kawasan. Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi
hutan mangrove di Pantai Pulau Baii terancam kerusakannya akibat ekploitasi usaha
tambak, perkebunan sawit, perusahaan batu bara, pertambangan dan berbagai
kegiatan industri lainnya. Akibat eksploitasi terhadap wilayah pesisir yang terjadi
secara cepat, sehingga terjadi ketidakseimbangan dari daya dukung yang ada di
wilayah pesisir tersebut yang tentunya dapat berdampak pada kerusakan secara
ekologis. Sudah dapat dilihat secara kasat mata, bahwa sepanjang wilayah pesisir
Kota Bengkulu tepatnya di Pulau Baii sudah terjadi fenomena abrasi, sedimentasi,
hilangnya vegetasi wilayah pesisir dan terjadinya perubahan garis pantai.
Febriansyah (2018) menuliskan terdapat lahan perusahaan minyak dan gas PT.
Pertamina serta adanya aktivitas pelabuhan Pulau Baai yang menjadi salah satu faktor
penyebab kerusakan mangrove di daerah tersebut. Penyebab lainnya adalah
penebangan liar hutan bakau untuk pemanfaatan kayu bakar serta pembuangan
limbah rumah tangga keperairan pantai, hal ini karena banyak ditemukan sampah-
sampah rumah tangga disekitar pinggir pantai. Manfaat ekosistem mangrove di Pantai
Pulau Baii Bengkulu yang berhubungan dengan fungsi fisik adalah sebagai mitigasi
bencana seperti peredam gelombang dan angin badai bagi daerah tersebut, pelindung
pantai dari abrasi, gelombang air pasang (rob), tsunami, penahan lumpur dan
perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, pencegah intrusi air laut
ke daratan, serta dapat menjadi penetralisir pencemaran perairan pada batas tertentu
(Lasibani dan Eni, 2009). Secara ekonomis Hutan Mangrove dapat menghasilkan
kayu sebagai bahan baku bangunan, bahan kayu bakar, obat-obatan (Rudjiman,
1993). Serta potensi lain dari ekosistem mangrove adalah sebagai objek daya tarik
wisata alam dan atraksi ekowisata (Sudiarta, 2006; Wiharyanto dan Laga, 2010)
Pentingnya peranan mangrove dalam mitigasi bencana, perekonomian dan
pariwisata bagi masyarakat, menjadikan isyarat agar melakukan konservasi terhadap
ekosistem mangrove. Oleh karena itu, tujuan penulisan gagasan kreatif ini dapat
memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang pemanfaatan potensi mangrove
untuk menjaga kelestarian lingkungan, menciptakan ekonomi kreatif dan pariwisata
di Pulau Baii Kota Bengkulu
1.3 Tujuan
a. Tujuan umum :
- Adapun tujun umum dari penulisan karya ilmiah ini yaitu untuk
memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang pemanfaatan potensi
mangrove untuk menjaga kelestarian lingkungan, menciptakan ekonomi
kreatif dan pariwisata di Pulau Baii Kota Bengkulu
b. Tujuan khusus :
- Untuk mengetahui dampak ekploitasi wilayah pesisir hutan mangrove
terhadap kelestarian lingkungan wilayah Pantai Pulau Baii Kota Bengkulu
- Memberikan manfaat kepada masyarakat Pulau Baii Kota Bengkulu dari
pelestarian dan pengembangan hutan mangrove.
1.4 Manfaat
a. Bagi Akademisi
- Menggali potensi pemanfaatan hutan mangrove untuk menjaga kelestarian
lingkungan, menciptakan ekonomi kreatif dan pariwisata di Pulau Baii
Kota Bengkulu
- Memberikan referensi dalam mengembangkan potensi hutan mangrove di
Pulau Baii Kota Bengkulu
b. Bagi Masyarakat
- Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai
pentingnya melestarikan dan mengembangkan potensi hutan mangrove
- Menambah perekenomian masyarakat dengan adanya pengembangan
ekowisata hutan mangrove.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ekosistem Mangrove
Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau
dan mempunyai wilayah pantai sepanjang 54.716 kilometer.Wilayah pantai (pesisir)
ini banyak ditumbuhi hutan mangrove. Luas hutan mangrove di Indonesia sekitar
4.251.011,03 juta hektar dengan penyebaran: 15,46 persen di Sumatera, 2,35% di
Sulawesi, 2,35% di Maluku, 9,02% di Kalimantan, 1,03% di Jawa, 0,18% di Bali dan
Nusa Tenggara, dan 69,43% di Irian Jaya (Fao, 1990 dalam Hainim, 1996). Namun,
menurut Cifor (2012), luas hutan mangrove di Indonesia telah mengalami penurunan
30-50% pada setengah abad terakhir ini karena pembangunan daerah pesisir,
perluasan pembangunan tambak, abarasi air laut, dan penebangan yang berlebihan.
Berdasarkan data Kementrian Kehutanan (2013), Hutan mangrove di
Indonesia tersebar di beberapa provinsi di berbagai gugusan kepulauan. Luasan hutan
mangrove di Indonesia lebih kurang 3,7 juta hektar yang merupakan hutan mangrove
terluas yang ada di Asia dan bahkan di dunia. Menurut catatan Statistik Kehutanan
Tahun 1993 NTB mempunyai luas kawasan hutan sebesar 1.063.273,20 juta hektar
dan 160.878,50 juta hektar (15,13%) berada di pulau Lombok. Luas hutan mangrove
dalam Statistik Kehutanan NTB Tahun 1993, sebesar 49.174 ha. (Chaniago dan
Hayashi , 1994).
Ekosistem mangrove hanya dapat ditemui di daerah tropik dan subtropik. Mangrove,
yang merupakan khas daerah tropis, hidupnya hanya mampu berkembang baik di
temperatur 190 C tidak lebih dari 400 C dengan toleransi fluktuasi 100 C. Berbagai
jenis mangrove tumbuh di bibir pantai dan menjorok ke zona berair laut. Pola hidup
mangrove ini merupakan suatu mampu bertahan hidup di zona peralihan darat dan
laut layaknya pola hidup mangrove (Irwanto, 2006).
Mangrove biasanya berada di daerah muara sungai atau estuaria, yang
merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun endapan
lumpur yang terbawa dari daerah hulu akibat adanya erosi. Oleh karena itu, wilayah
di sekitar tumbuhnya ekosistem mangrove merupakan wilayah yang subur (Gunarto,
2004). Ekosistem mangrove memiliki produktifitas cukup tinggi sehingga mampu
menyediakan makanan berlimpah bagi berbagai jenis hewan laut (feeding ground).
Selain itu, ekosistem mangrove juga dimanfaatkan sebagai tempat berlindung
berbagai jenis binatang misalnya juvenile dan larva ikan (shellfish) dari predator,
tempat memijah berbagai jenis ikan dan udang (spawning ground), sebagai pelindung
pantai, mempercepat pembentukan lahan baru, penghasil kayu bangunan, kayu bakar,
kayu arang, dan tannin (Soedjarwo, 1979).
Hutan mangrove dinilai sangat penting keberadaannya karena fungsinya yang
sangat beragam, diantaranya adalah sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak
dan angin kencang, penahan abrasi, penampung air hujan sehingga dapat mencegah
banjir, dan penyerap limbah yang mencemari perairan. Oleh karena itu secara tidak
langsung kehidupan manusia tergantung pada keberadaan ekosistem mangrove
(Pirzan dkk, 2001). Imran (2016) menuliskan ekosistem hutan mangrove
merupakan salah satu ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi dibandingkan
ekosistem lain dengan dekomposisi bahan organik yang tinggi, dan menjadikannya
sebagai mata rantai ekologis yang sangat penting bagi kehidupan mahluk hidup yang
berada di perairan sekitarnya. Materi organik menjadikan hutan mangrove
sebagai tempat sumber makanan dan tempatasuhan berbagai biota seperti ikan,
udang dan kepiting. Produksi ikan dan udang di perairan laut sangat bergantung
dengan produksi serasah yang dihasilkan oleh hutan mangrove. Berbagai
kelompok moluska ekonomis juga sering ditemukan berasosiasi dengan tumbuhan
penyusun hutan mangrove.
Ekosistem mangrove tumbuh di sepanjang garis pantai atau di pinggiran
sungai sangat dipengaruhi oleh pasang surut perpaduan antara air sungai dan air laut.
Ekosistem mangrove di wilayah pantai dapat berkembang jika didukung oleh tiga
syarat utama yaitu air payau, alirannya tenang, dan terdapat endapan lumpuryang
relatif datar. Pasang surut gelombang laut dan jangkauan air pasang di kawasan pantai
dapat mempengaruhi lebar hutan mangrove. Pada dasarnya, kawasan pantai
merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut.
Garis pantai dicirikan oleh suatu garis batas pertemuan antara daratan dengan
perairan laut. Oleh karena itu, posisi garis pantai bersifat tidak tetap dan dapat
berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan abrasi serta pengendapan lumpur
(walking land atau walking vegetation) (Waryono, 2000). Secara garis besarnya,
ekosistem mangrove dapat berkembang dengan baik pada lingkungan dengan ciri-
ciri ekologi sebagai berikut (Waryono, 2000).
1. Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya
saat pasang purnama ;
2. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau air
tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan unsur
hara dan lumpur ;
3. Jenis tanahnya berlumpur, berlempung, atau berpasir, dimana bahannya
berasal dari lumpur, pasir, atau pecahan karang ;
4. Arus laut tidak terlalu deras, tempatnya terlindung dari angin kencang dan
gempuran ombak yang kuat ;
5. Suhu udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 100 C ;
6. Air payau dengan salinitas 2-22 ppt (part per trilyun) atau asin dengan
salinitas mencapai 38 ppt ;
7. Topografi pantai yang datar/landai.
Bruno, dkk (1998) menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan jenis
maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Selain itu,
hutan mangrove mempunyai karakteristik yang unik dibandingkan dengan formasi
hutan lainnya. Keunikan hutan tersebut terlihat dari habitat tempat hidupnya, juga
keanekaragaman flora, yaitu: Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, dan tumbuhan
lainnya yang mampu bertahan hidup disalinitas air laut, dan fauna yaitu
kepiting, ikan, jenis Molusca, dan lain-lain. Hutan mangrove juga memiliki
fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial. Fungsi ekonomi yang ada di hutan
mangrove yaitu penghasil kebutuhan rumah tangga, penghasil keperluan industri,
dan penghasil bibit. Fungsi ekologisnya yaitu sebagai pelindung garis pantai,
mencegah intrusi air laut, sebagai habitat berbagai jenis burung, dan lain-lain
(Kustanti, 2011). Namun Saenger et al. (1983) menyatakan bahwa, jenis
tumbuhan mangrove di seluruh dunia adalah sekitar 60 jenis.