Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara geografis Kota Bengkulu memiliki hutan pantai dan hutan mangrove
yang luasnya mulai menyusut akibat berbagai aktifitas pembangunan yang tidak
berorientasi pada perlindungan kawasan. Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi
hutan mangrove di Pantai Pulau Baii terancam kerusakannya akibat ekploitasi usaha
tambak, perkebunan sawit, perusahaan batu bara, pertambangan dan berbagai
kegiatan industri lainnya. Akibat eksploitasi terhadap wilayah pesisir yang terjadi
secara cepat, sehingga terjadi ketidakseimbangan dari daya dukung yang ada di
wilayah pesisir tersebut yang tentunya dapat berdampak pada kerusakan secara
ekologis. Sudah dapat dilihat secara kasat mata, bahwa sepanjang wilayah pesisir
Kota Bengkulu tepatnya di Pulau Baii sudah terjadi fenomena abrasi, sedimentasi,
hilangnya vegetasi wilayah pesisir dan terjadinya perubahan garis pantai.

Febriansyah (2018) menuliskan terdapat lahan perusahaan minyak dan gas PT.
Pertamina serta adanya aktivitas pelabuhan Pulau Baai yang menjadi salah satu faktor
penyebab kerusakan mangrove di daerah tersebut. Penyebab lainnya adalah
penebangan liar hutan bakau untuk pemanfaatan kayu bakar serta pembuangan
limbah rumah tangga keperairan pantai, hal ini karena banyak ditemukan sampah-
sampah rumah tangga disekitar pinggir pantai. Manfaat ekosistem mangrove di Pantai
Pulau Baii Bengkulu yang berhubungan dengan fungsi fisik adalah sebagai mitigasi
bencana seperti peredam gelombang dan angin badai bagi daerah tersebut, pelindung
pantai dari abrasi, gelombang air pasang (rob), tsunami, penahan lumpur dan
perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, pencegah intrusi air laut
ke daratan, serta dapat menjadi penetralisir pencemaran perairan pada batas tertentu
(Lasibani dan Eni, 2009). Secara ekonomis Hutan Mangrove dapat menghasilkan
kayu sebagai bahan baku bangunan, bahan kayu bakar, obat-obatan (Rudjiman,
1993). Serta potensi lain dari ekosistem mangrove adalah sebagai objek daya tarik
wisata alam dan atraksi ekowisata (Sudiarta, 2006; Wiharyanto dan Laga, 2010)
Pentingnya peranan mangrove dalam mitigasi bencana, perekonomian dan
pariwisata bagi masyarakat, menjadikan isyarat agar melakukan konservasi terhadap
ekosistem mangrove. Oleh karena itu, tujuan penulisan gagasan kreatif ini dapat
memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang pemanfaatan potensi mangrove
untuk menjaga kelestarian lingkungan, menciptakan ekonomi kreatif dan pariwisata
di Pulau Baii Kota Bengkulu

1.2 Rumusan Masalah


a. Apakah dampak ekploitasi wilayah pesisir hutan mangrove terhadap
kelestarian lingkungan wilayah Pantai Pulau Baii Kota Bengkulu?
b. Mengapa Kota Bengkulu termasuk wilayah dengan kerusakan mangrove yang
memprihatinkan, baik di kawasan konservasi maupun di luar?
c. Apa saja manfaat dari pelestarian dan pengembangan hutan mangrove bagi
masyarakat?

1.3 Tujuan
a. Tujuan umum :
- Adapun tujun umum dari penulisan karya ilmiah ini yaitu untuk
memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang pemanfaatan potensi
mangrove untuk menjaga kelestarian lingkungan, menciptakan ekonomi
kreatif dan pariwisata di Pulau Baii Kota Bengkulu
b. Tujuan khusus :
- Untuk mengetahui dampak ekploitasi wilayah pesisir hutan mangrove
terhadap kelestarian lingkungan wilayah Pantai Pulau Baii Kota Bengkulu
- Memberikan manfaat kepada masyarakat Pulau Baii Kota Bengkulu dari
pelestarian dan pengembangan hutan mangrove.
1.4 Manfaat

Adapun hasil karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat memberikan


manfaat, antara lain :

a. Bagi Akademisi
- Menggali potensi pemanfaatan hutan mangrove untuk menjaga kelestarian
lingkungan, menciptakan ekonomi kreatif dan pariwisata di Pulau Baii
Kota Bengkulu
- Memberikan referensi dalam mengembangkan potensi hutan mangrove di
Pulau Baii Kota Bengkulu
b. Bagi Masyarakat
- Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai
pentingnya melestarikan dan mengembangkan potensi hutan mangrove
- Menambah perekenomian masyarakat dengan adanya pengembangan
ekowisata hutan mangrove.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Ekosistem Mangrove
Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau
dan mempunyai wilayah pantai sepanjang 54.716 kilometer.Wilayah pantai (pesisir)
ini banyak ditumbuhi hutan mangrove. Luas hutan mangrove di Indonesia sekitar
4.251.011,03 juta hektar dengan penyebaran: 15,46 persen di Sumatera, 2,35% di
Sulawesi, 2,35% di Maluku, 9,02% di Kalimantan, 1,03% di Jawa, 0,18% di Bali dan
Nusa Tenggara, dan 69,43% di Irian Jaya (Fao, 1990 dalam Hainim, 1996). Namun,
menurut Cifor (2012), luas hutan mangrove di Indonesia telah mengalami penurunan
30-50% pada setengah abad terakhir ini karena pembangunan daerah pesisir,
perluasan pembangunan tambak, abarasi air laut, dan penebangan yang berlebihan.
Berdasarkan data Kementrian Kehutanan (2013), Hutan mangrove di
Indonesia tersebar di beberapa provinsi di berbagai gugusan kepulauan. Luasan hutan
mangrove di Indonesia lebih kurang 3,7 juta hektar yang merupakan hutan mangrove
terluas yang ada di Asia dan bahkan di dunia. Menurut catatan Statistik Kehutanan
Tahun 1993 NTB mempunyai luas kawasan hutan sebesar 1.063.273,20 juta hektar
dan 160.878,50 juta hektar (15,13%) berada di pulau Lombok. Luas hutan mangrove
dalam Statistik Kehutanan NTB Tahun 1993, sebesar 49.174 ha. (Chaniago dan
Hayashi , 1994).
Ekosistem mangrove hanya dapat ditemui di daerah tropik dan subtropik. Mangrove,
yang merupakan khas daerah tropis, hidupnya hanya mampu berkembang baik di
temperatur 190 C tidak lebih dari 400 C dengan toleransi fluktuasi 100 C. Berbagai
jenis mangrove tumbuh di bibir pantai dan menjorok ke zona berair laut. Pola hidup
mangrove ini merupakan suatu mampu bertahan hidup di zona peralihan darat dan
laut layaknya pola hidup mangrove (Irwanto, 2006).
Mangrove biasanya berada di daerah muara sungai atau estuaria, yang
merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun endapan
lumpur yang terbawa dari daerah hulu akibat adanya erosi. Oleh karena itu, wilayah
di sekitar tumbuhnya ekosistem mangrove merupakan wilayah yang subur (Gunarto,
2004). Ekosistem mangrove memiliki produktifitas cukup tinggi sehingga mampu
menyediakan makanan berlimpah bagi berbagai jenis hewan laut (feeding ground).
Selain itu, ekosistem mangrove juga dimanfaatkan sebagai tempat berlindung
berbagai jenis binatang misalnya juvenile dan larva ikan (shellfish) dari predator,
tempat memijah berbagai jenis ikan dan udang (spawning ground), sebagai pelindung
pantai, mempercepat pembentukan lahan baru, penghasil kayu bangunan, kayu bakar,
kayu arang, dan tannin (Soedjarwo, 1979).
Hutan mangrove dinilai sangat penting keberadaannya karena fungsinya yang
sangat beragam, diantaranya adalah sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak
dan angin kencang, penahan abrasi, penampung air hujan sehingga dapat mencegah
banjir, dan penyerap limbah yang mencemari perairan. Oleh karena itu secara tidak
langsung kehidupan manusia tergantung pada keberadaan ekosistem mangrove
(Pirzan dkk, 2001). Imran (2016) menuliskan ekosistem hutan mangrove
merupakan salah satu ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi dibandingkan
ekosistem lain dengan dekomposisi bahan organik yang tinggi, dan menjadikannya
sebagai mata rantai ekologis yang sangat penting bagi kehidupan mahluk hidup yang
berada di perairan sekitarnya. Materi organik menjadikan hutan mangrove
sebagai tempat sumber makanan dan tempatasuhan berbagai biota seperti ikan,
udang dan kepiting. Produksi ikan dan udang di perairan laut sangat bergantung
dengan produksi serasah yang dihasilkan oleh hutan mangrove. Berbagai
kelompok moluska ekonomis juga sering ditemukan berasosiasi dengan tumbuhan
penyusun hutan mangrove.
Ekosistem mangrove tumbuh di sepanjang garis pantai atau di pinggiran
sungai sangat dipengaruhi oleh pasang surut perpaduan antara air sungai dan air laut.
Ekosistem mangrove di wilayah pantai dapat berkembang jika didukung oleh tiga
syarat utama yaitu air payau, alirannya tenang, dan terdapat endapan lumpuryang
relatif datar. Pasang surut gelombang laut dan jangkauan air pasang di kawasan pantai
dapat mempengaruhi lebar hutan mangrove. Pada dasarnya, kawasan pantai
merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut.
Garis pantai dicirikan oleh suatu garis batas pertemuan antara daratan dengan
perairan laut. Oleh karena itu, posisi garis pantai bersifat tidak tetap dan dapat
berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan abrasi serta pengendapan lumpur
(walking land atau walking vegetation) (Waryono, 2000). Secara garis besarnya,
ekosistem mangrove dapat berkembang dengan baik pada lingkungan dengan ciri-
ciri ekologi sebagai berikut (Waryono, 2000).
1. Lahannya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun hanya
saat pasang purnama ;
2. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai, mata air atau air
tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas, menambah pasokan unsur
hara dan lumpur ;
3. Jenis tanahnya berlumpur, berlempung, atau berpasir, dimana bahannya
berasal dari lumpur, pasir, atau pecahan karang ;
4. Arus laut tidak terlalu deras, tempatnya terlindung dari angin kencang dan
gempuran ombak yang kuat ;
5. Suhu udara dengan fluktuasi musiman tidak lebih dari 100 C ;
6. Air payau dengan salinitas 2-22 ppt (part per trilyun) atau asin dengan
salinitas mencapai 38 ppt ;
7. Topografi pantai yang datar/landai.
Bruno, dkk (1998) menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan jenis
maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Selain itu,
hutan mangrove mempunyai karakteristik yang unik dibandingkan dengan formasi
hutan lainnya. Keunikan hutan tersebut terlihat dari habitat tempat hidupnya, juga
keanekaragaman flora, yaitu: Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, dan tumbuhan
lainnya yang mampu bertahan hidup disalinitas air laut, dan fauna yaitu
kepiting, ikan, jenis Molusca, dan lain-lain. Hutan mangrove juga memiliki
fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial. Fungsi ekonomi yang ada di hutan
mangrove yaitu penghasil kebutuhan rumah tangga, penghasil keperluan industri,
dan penghasil bibit. Fungsi ekologisnya yaitu sebagai pelindung garis pantai,
mencegah intrusi air laut, sebagai habitat berbagai jenis burung, dan lain-lain
(Kustanti, 2011). Namun Saenger et al. (1983) menyatakan bahwa, jenis
tumbuhan mangrove di seluruh dunia adalah sekitar 60 jenis.

B. Potensi Mangrove Di Bengkulu


1. Potensi dan Daya Tarik Wisata
Sektor pariwisata menjadi sektor yang berkaitan langsung dengan
kegiatanekonomi. Peningkatan kualitas hidup dari masyarakat yang terjun langsung
dalam kegiatan kepariwisataan bukan hal yang tidak mungkin, karena sektor
pariwisatasendiri bisa menjadi andalan untuk memberikan dampak yang besar
terhadapmasyarakat sekitar. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa
potensi adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan,
kekuatan, kesanggupan daya. Kepariwisataan itu mengandung potensi untuk
dikembangkan menjadi atraksi wisata. Maka untuk menemukan potensi
kepariwisataan di suatu daerah orang harus berpedoman kepada apa yang dicari oleh
wisatawan.
Potensi menjadi hal yang haus diperhatikan dan dilihat lebih jauh lagi, hal itu
dimaksudkan agar semua kelebihan dan potensi yang bias dikembangkan dapat
dimaksimalkan secara sempurnah. Tentu smuanya itu tidak lepas dari peran semua
pihak yang berkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Potensi suatu
daerah dan kepariwisataan merupakan dua hal yang memiliki kaitan erat, keduanya
dapat bergerak maju untuk melakukan pengembangan dan pertumbuhan
perekonomian daerah.
Dalam UU No. 10 Tahun 2009 disebutkan bahwa kepariwisataan merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis,
terencana, terpadu, berkelanjutan, bertanggung jawab dengan tetap memberikan
perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat,
kelestrarian dan mutu lingkungan hidup, serta kepentingan nasional. Dari pengertian
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa potensi pariwisata merupakan suatu objek
yang mempunyai kekuatan kuat untuk dikembangkan dan dapat memberikan timbal
balik yang positif terhadapa wisata.
Potensi wisata adalah berbagai sumber daya yang terdapat di sebuah daerah
tertentu yang bisa dikembangkan menjadi atraksi wisata. Dengan kata lain,
potensi wisata adalah berbagai sumber daya yang dimiliki oleh suatu tempat
dan dapat dikembangkan menjadi suatu atraksi wisata (tourist attraction) yang
dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dengan tetap memperhatikan aspek-
aspek lainnya (Pendit, 2003). Pengertian potensi wisata menurut Mariotti dalam
Yoeti (1983: 160-162) adalah segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata,
dan merupakan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke tempat
tersebut. Sukardi (1998:67), juga mengungkapkan pengertian yang sama mengenai
potensi wisata, sebagai segala yang dimiliki oleh suatu daya tarik wisata dan berguna
untuk mengembangkan industri pariwisata di daerah tersebut. Jadi yang dimaksud
dengan potensi wisata adalah sesuatu yang dapat dikembangkan menjadi daya tarik
sebuah obyek wisata. Dalam penelitian ini potensi wisata dibagi menjadi tiga
macam, yaitu: potensi alam, potensi kebudayaan dan potensi manusia.
Berdasarkan hasil observasi di lapangan potensi wisata yang terdapat di
pulau Baii Bengkulu adalah potensi tegakan mangrove, wisata air, pantai.
Tegakan mangrove yang terdapat di pulau Baii dapat dimanfaatkan sebagai sarana
pembelajaran kepada pelajar dan mahasiswa untuk lebih mengenal alam dan
meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan hidup. Ekosistem mangrove
merupakan salah satu potensi wisata di Bengkulu. Salah satu cara untuk
menikmatinya adalah dengan berjalan menyusuri hutan mangrove. Berjalan di tengah
hutan mangrove dapat memberikan pengalaman dan pengetahuan mengenai jenis-
jenis spesies mangrove dan ciri-ciri khasnya. Kegiatan ini diharapkan dapat
menumbuhkan minat dan kesadaran akan pentingnya ekosistem mangrove.
Kegiatan yang dapat dilakukan adalah fotografi (photography antara lain
kursi gantung dan jembatan yang terbuat dari kayu dengan latar belakang
pemandangan hutan mangrove), wisata area Outbond, dan terdapat juga taman
bermain buat anak-anak berupa taman rumah hobbit, kolam air mancur, serta
permainan anak lainnya seperti plosotan, gua-gua, rumah pohon, ada Fasilitas
musholla dan toilet dan jika lapar juga tersedia makanan dan minuman
Indonesian Food seperti : Es Kelapa Muda, Es Teh, Sate, dan Tongseng. dan lain-
lain. sehingga potensi dan daya tarik wisata mangrove pulau Baii Bengkulu sudah
cukup baik dan memiliki potensi wisata yang berpotensi mendorong
perekonomian masyarakat bengkulu khususnya dalam wilayah pesisir pantai panjang
Bengkulu.
Imran, Ali dan Efendi, Ismail.2016. Inventarisasi Mangrove di Pesisir Pantai
Cemare Lombok Barat. JUVE; vol. I.
Fao, Rome. 1983. Hutching, P and P.Saenger.Ecology of Mangroves. University of
Queensland, London. 1987 Mann, K.H. Ecology of Coastal Waters.
CIFOR, CIFOR dan Indonesi: Kemitraan untuk Hutan dan masyarakat.Bogor,CIFOR,
2012.
Kementerian Kehutanan. 2013. Luasan hutan mangrove di Indonesia. Diunduh pada
tanggal 28 Juni 2021. hhtp://kementerian kehutanan.com.
Hayashi, S dan Chaniago, A. 1994. Distribusi dan identifikasi jenis mangrove,
Suatu kajian ekosistem Hutan Mangrove di Pulau Lombok. Proseding
Seminar V Ekosistem Mangrove. Jember, 3-6 Agustus 1994. MAB
Indonesia-LIPI.
Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove. Yogyakarta.
Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan
Pantai. Jurnal Litbang Pertanian, 23 (1). 15-21.
Soedjarwo, 1979. Mengoptimalkan fungsi-fungsi hutan mangrove untuk menjaga
kelestariannya demi kesejahteraan manusia. Prosiding Seminar Ekosistem
Ekosistem Mangrove : 8-9.
Pirzan, M.A, DKK., (2001), Hubungan Keragaman Fitoplankton dengan Kualitas Air
di Pulau Bauluang, kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Biodiversitas 9 : 217-
221
Waryono., Tarsoen, 1973. Studi Permudaan Alam Bruguiera ginorrizha Lamk. Di
Segara Anakan Cilacap. Publikasi Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat.
Bandung
Bruno C, M.B. Cousseau, and C. Bremec. 1998. Contribution Of Polychaetous
Annelid To The Diet Of Cheilodactylus Berghi (Pisces, Cheilodactilidae).
Abstract of 6th International Polychaete Conference. Brazil.
A Kustanti. 2011. Manajemen Hutan Mangrove.
Saenger, P., E.J. Hegerl, and J.D.S Davie. 1983. Global status of mangrove
ecosystems. The Environmentalist 3: 1 88. Also cited as: IUCN. 1983. Global
Status of Mangrove Ecosystems. Gland: International Union for the
Conservation of Nature and Natural Resources.
Pendit, Nyoman S. 2003. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta:
Pradnya Paramita
Yoeti, Oka A. 1996. Pengantar Ilmu Kepariwisataan. Bandung: Angkasa Yanti
Sukardi, Nyoman. (1998). Pengantar Pariwisata. STP Nusa Dua Bali.

Anda mungkin juga menyukai