Anda di halaman 1dari 110

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terkenal akan keragaman

sumberdayanya. Salah satu sumberdaya kelautan yang potensial dalam

pemanfaatannya adalah hutan mangrove. Menurut Nontji (2005) hutan mangrove

merupakan tipe hutan yang khas yang terdapat di sepanjang pantai atau muara

sungai yang hidupnya sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Secara

ekologis hutan mangrove dapat berfungsi sebagai stabilitas atau menjaga

keseimbangan ekosistem, sumber unsur hara, sebagai daerah asuhan (nursery

ground), daerah mencari makan (feeding ground), dan daerah pemijahan

(spawning ground).

Sebagian besar pantai di Indonesia merupakan tempat tumbuh ekosistem

mangrove yang baik. Mangrove mempunyai peranan penting dalam perlindungan

ekosistem pantai yaitu penahan abrasi, penahan amukan angin kencang, dan

penahan gelombang salah satunya akibat tsunami. Ekosistem mangrove sebagai

salah satu ekosistem penting di kawasan pesisir pantai terus mengalami tekanan di

seluruh dunia. FAO (2007) mencatat bahwa luas mangrove dunia pada tahun 1980

mencapai 19,8 juta ha, turun menjadi 16,4 juta ha pada tahun 1990, dan menjadi

14,6 juta ha pada tahun 2000. Sedangkan di Indonesia, luas hutan mangrove

mencapai 4,25 juta ha pada tahun 1980, turun menjadi 3,53 juta ha pada tahun

1990 dan tersisa 2,93 juta ha pada tahun 2000. Apabila tidak diimbangi dengan

kebijakan pengelolaan yang tepat, maka ancaman terhadap degradasi

hutan mangrove menjadi semakin besar dan dapat berpotensi terjadinya


perubahaan luasan pulau serta berdampak terhadap perubahan luasan perairan di

Indonesia.

Fungsi hutan mangrove dapat digolongkan menjadi tiga macam yaitu

fungsi fisik, fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. Fungsi hutan mangrove secara

fisik diantaranya: menjaga kestabilan garis pantai dan tebing sungai dari erosi atau

abrasi, mempercepat perluasan lahan dengan adanya endapan lumpur yang

terbawa oleh arus ke kawasan hutan mangrove, mengendalikan laju intrusi air laut

sehingga air sumur disekitarnya menjadi lebih tawar, melindungi daerah di

belakang hutan mangrove dari hempasan gelombang, angin kencang dan bahaya

tsunami (Setiawan et al., 2013).

Garis pantai merupakan batas antara darat dan laut yang seringkali

mengalami perubahan bentuk dan posisi akibat dari kondisi lingkungan yang

dinamis. Perubahan garis pantai merupakan suatu proses yang berkaitan dengan

dinamika alami pantai maupun campur tangan manusia. Terjadinya perubahan

garis pantai sangat dipengaruhi oleh proses yang terjadi disekitar pantai.

Kerusakan yang terjadi diwilayah perisisr merupakan salah satu faktor terjadinya

perubahan garis pantai. Hakim et al. (2014) menyatakan sebagian besar pantai

utara Bengkalis bagian barat merupakan pantai yang mengalami abrasi paling

parah, sedangkan bagian selatannya mengalami sedimentasi. Pada kurun waktu 26

tahun terakhir telah terjadi abrasi di Pulau Bengkalis dengan laju abrasi rata-rata

59 ha/tahun, dan laju sedimentasi 16.5 ha/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa,

pulau Bengkalis mengalami pengurangan luas daratan yang cukup besar yaitu

rata-rata 42.5 ha/tahun. Pantai-pantai kritis yang mengalami laju abrasi


maksimum direkomendasikan untuk segera ditanggulangi agar kejadian abrasi

tidak berlanjut di tahun-tahun berikutnya.

Pulau Bengkalis yang terletak di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau,

merupakan salah satu pulau terluar yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Posisi garis pantai Pulau Bengkalis memiliki peranan yang sangat

penting karena merupakan pusat pemerintahan di Kabupaten Bengkalis. Wilayah

Pulau Bengkalis merupakan dataran rendah, dengan ketinggian bervariasi antara 0

- 61 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar jenis tanah di Pulau Bengkalis

merupakan tanah tanah rawa gambut dan rawa lebak. Pantai di Pulau Bengkalis

merupakan pantai yang sangat rawan mengalami abrasi, karena berhadapan

langsung dengan lautan yang terbuka yaitu Selat Malaka. Kondisi tersebut

menyebabkan gelombang yang terjadi akibat bangkitan angin besar yang

berpotensi menyebabkan abrasi pantai. Dengan adanya keberadaan hutan

mangrove yang merupakan salah satu faktor penghambat terjadinya abrasi karena

keberadaan hutan mangrove dapat menghambat terjangan gelombang dan menjadi

perangkap sedimen. Selain pengaruh dari perubahan luas mangrove, fenomena

hidrodinamika pantai akibat dari adanya gelombang, arus, perpindahan sedimen

dan pasang surut air laut serta faktor-faktor lain memungkinkan terjadinya abrasi

pesisir Pulau Bengkalis dan sedimentasi sehingga terjadi perubahan garis pantai.

Fenomena ini jika terjadi dalam kurun waktu yang lama dan tanpa ada upaya

penanggulangannya maka akan terjadi abrasi maupun sedimentasi di sepanjang

pesisir yang mengakibatkan perubahan garis pantai.

Penginderaan jauh merupakan salah satu metode yang dapat dilakukan

untuk mengetahui kondisi pesisir. Teknologi penginderaan jauh dapat digunakan


untuk kondisi mangrove yang ada di Pulau Bengkalis. Sistem penginderaan jauh

dilakukan secara spasial maupun temporal untuk mengetahui kondisi mangrove

maupun garis pantai. Keberadaan ekosistem hutan mangrove sangat penting di

daerah pesisir, karena pesisir merupakan daerah yang sangat rentan dengan

terjadinya abrasi maupun sedimentasi akibat aktivitas-aktivitas yang terjadi baik

seperti pengaruh pasang surut, pengaruh gelombang dan pengaruh lainnya yang

dapat mengakibatkan perubahan garis pantai. Melihat dari fungsi fisik mangrove

sebagai pelindung pantai dari abrasi maka penulis ingin melakukan penelitian

tentang seberapa besar pengaruh luas mangrove terhadap perubahan garis pantai

yang terdapat di Pulau Bengkalis.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini dapat dirumuskan

sebagai berikut:

1. Berapa luas vegetasi mangrove yang terdapat di Pulau Bengkalis dalam kurun

waktu tertentu?

2. Berapa kerapatan vegetasi mangrove yang terdapat di Pulau Bengkalis dalam

kurun waktu tertentu?

3. Bagaimana perubahan garis pantai yang terdapat di Pulau Bengkalis dalam

kurun waktu tertentu?

4. Bagaimana pengaruh vegetasi mangrove tersebut terhadap perubahan garis

pantai di Pulau Bengkalis?


1.3. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan garis pantai Pulau

Bengkalis, mengetahui luas mangrove di Pulau Bengkalis, mengetahui perubahan

luas garis pantai dan mengetahui bagaimana pengaruh luas hutan mangrove

terhadap garis pantai yang terdapat di Pulau Bengkalis Provinsi Riau.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberi informasi

tentang pengaruh hutan mangrove terhadap perubahan garis pantai di Pulau

Bengkalis Provinsi Riau, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu

pertimbangan dalam pengelolaan Perairan Pulau Bengkalis secara lestari dan

berkelanjutan, serta dapat dijadikan sebagai referensi selanjutnya.


6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hutan Mangrove

Ekosistem mangrove merupakan komunitas tumbuh-tumbuhan mangrove

atau bakau yang hidup di daerah pesisir yang mendapat pengaruh pasang surut air

laut serta perubahan salinitas. Hutan mangrove merupakan tipe hutan yang khas

dan tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang

surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari

gempuran ombak dan daerah yang landai di daerah tropis dan sub tropis.

Indonesia yang beriklim tropis merupakan tempat yang terbaik untuk

berkembangnya tumbuhan mangrove. Oleh sebab itu, hampir seluruh kawasan

pesisir di Indonesia pada umumnya terdapat ekosistem mangrove. Indonesia

merupakan salah satu wilayah dengan hutan mangrove yang luas di dunia, sekitar

3 juta hektar hutan mangrove tumbuh di sepanjang 95.000 km pesisir Indonesia.

Jumlah ini mewakili 23 % dari keseluruhan ekosistem mangrove dunia (Giri et al.,

2007).

Di Asia sendiri luasan hutan mangrove Indonesia berjumlah sekitar 49%

dari luas total hutan mangrove di Asia yang diikuti oleh Malaysia (10%) dan

Myanmar (9%). Akan tetapi diperkirakan luas hutan mangrove di Indonesia telah

berkurang sekitar 120.000 ha dari tahun 1980 sampai 2005 karena alasan

perubahan penggunaan lahan menjadi lahan pertanian (FAO, 2007). Data hasil

pemetaan Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL)-Bakosurtanal dengan

menganalisis data citra Landsat ETM (akumulasi data citra tahun 2006-2009, 190
scenes), mengestimasi luas mangrove di Indonesia adalah 3.244.018,46 ha

(Hartini et al., 2010).

2.2. Fungsi Fisik Mangrove

Habitat mangrove merupakan tempat mencari makan (feeding ground)

bagi organisme dan sebagai tempat mengasuh dan membesarkan (nursery

ground), tempat bertelur dan memijah (spawning ground) dan tempat berlindung

bagi organisme kecil dari predator. Beberapa fungsi dan manfaat hutan mangrove

dapat dikelompokkan sebagai berikut (Irwanto, 2008) :

1. Manfaat dan fungsi secara fisik yaitu :

a. Menjaga agar garis pantai tetap stabil.

b. Melindungi pantai dan sungai dari bahaya erosi dan abrasi,

c. Menahan badai/angin kencang dari laut.

d. Menahan hasil proses penimbunan lumpur, sehingga memungkinkan

terbentuknya lahan baru.

e. Menjadi wilayah penyangga, serta berfungsi menyaring air laut menjadi air

daratan yang tawar.

f. Mengolah limbah beracun, penghasil O2 dan penyerap CO2.

2. Manfaat dan fungsi secara biologi yaitu :

a. Menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi

plankton, sehingga penting pula bagi keberlanjutan rantai makanan.

b. Tempat memijah dan berkembang biaknya ikan-ikan, kerang, kepiting dan

udang.

c. Tempat berlindung, bersarang dan berkembang biak dari burung dan

satwa lain.
d. Merupakan habitat alami bagi berbagai jenis biota.

3. Manfaat dan fungsi secara ekonomi yaitu:

a. Penghasil kayu bakar, arang, bahan bangunan.

b. Penghasil bahan baku industri : pulp, tanin, kertas, tekstil, makanan,

obat-obatan, kosmetik, dan lain-lain.

c. Penghasil bibit ikan, nener, kerang, kepiting, bandeng melalui pola

tambak silvofishery.

d. Tempat wisata, penelitian dan pendidikan.

2.3. Habitat dan Vegetasi Mangrove

Habitat mangrove banyak ditemukan di daerah pantai-pantai dan

teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindungi dari

tanjung dan selat. Kusmana (2003) menyatakan mangrove hidup di daerah

level di sekitar atau di atas permukaan laut rata-rata. Hampir 75%

tumbuhan mangrove hidup diatara 340 LU- 350 LS, banyak terdapat di

kawasan asia tenggara seperti, Malaysia, Sumatera dan beberapa daerah

Kalimantan yang mempunyai curah hujan yang tingi dan bukan musiman.

Pada umumnya laju vegetasi yang tumbuh di kawasan mangrove

mempunyai variasi pohon yang seragam, yaitu hanya terdiri atas satu

strata yang berupa pohon-pohon yang berbatang lurus dengan tinggi pohon

20-30 meter. Jika tumbuh di pantai berpasir atau terumbu karang, tanaman

akan tumbuh kecil dan batang tanaman sering kali tidak lurus.

Berdasarkan tempat tumbuhnya, kawasan mangrove dibedakan menjadi

beberapa zonasi yang disebut dengan nama-nama vegetasi yang

mendominsi (Arief, 2003).


2.4. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)

Seiring dengan perkembangan teknologi remote sensing yang pesat,

keberadaan ekosistem ini dapat dideteksi dan dipetakan dengan mudah.

Penginderaan jauh hutan mangrove didasarkan atas dua sifat penting yaitu bahwa

bakau memiliki klorofil dan tumbuh di daerah pesisir. Dua hal ini menjadi

pertimbangan penting di dalam mendeteksi bakau melalui satelit karena klorofil

memberikan sifat optik dan lokasinya di daerah pesisir mempermudah untuk

membedakannya dengan daratan ataupun perairan. Sifat optik klorofil menyerap

spektrum sinar merah dan memantulkan dengan kuat pada spektrum infra merah

(Green et al., 2000). Vegetasi mangrove dan vegetasi terrestrial yang lain

memang mepunyai sifat optik yang hampir sama dan sulit dibedahkan. Tetapi

mengingat mangrove hidup dekat dengan air laut, maka biasanya antara kedua

dapat dipisahkan dengan memperhitungkan jarak pengaruh air laut atau bahwa

dalam banyak kasus antara kedua vegetasi ini terpisah oleh lahan terbuka, padang

lumpur, daerah pertambakkan, atau pemukiman sehingga memudahkan pemisahan

antara keduanya. Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut maka deteksi luasan

serta kerapatan bakau dapat dilakukan melalui satelit (Susilo, 2000).

Sebaran dan keberadaan vegetasi di daerah perkotaan dapat diketahui secara

efektif dengan pendekatan Spectral Mixture Analysis (SMA) atau analisis multi

spektral dan Vegetation Indices (VI) atau indeks vegetasi, pendekatan yang paling

sering digunakan adalah dengan pendekatan indeks vegetasi menggunakan data

penginderaan jauh (Yunhao, 2005).

Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan metode standar

yang digunakan dalam membandingkan tingkat kehijauan vegetasi yang berasal


dari citra satelit dan merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dengan

teknik pengurangan citra. Transformasi NDVI ini merupakan salah satu produk

standar NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), satelit cuaca

yang berorbit polar namun memberi perhatian khusus pada fenomena global

vegetasi. Normalized Difference Vegetation Index merupakan indeks kehijauan

vegetasi atau aktivitas fotosintesis vegetasi, dan salah satu indeks vegetasi yang

paling sering digunakan. Algoritma NDVI didapat dari rasio antara band merah

dan band inframerah dekat dari citra pengindraan jauh, dengan begitu indeks

vegetasi dapat ditentukan (Bokiraiya, 2013).

Kerapatan vegetasi mangrove dapat diketahui dengan

menggunakan teknik Normalized Difference Vegetation Index (NDVI).

Teknik ini merupakan kombinasi teknik penisbahan dengan teknik

pengurangan citra sehingga dapat digunakan untuk keperluan menganalisis

kondisi vegetasi. Informasi data kerapatan vegetasi, luas lahan, dan

keadaan di lapangan dapat dideteksi dari teknik penginderaan jauh.

Keberadaan suatu vegetasi dapat diketahui dengan pemanfaatan

penginderaan jauh dengan melihat nilai indeks vegetasinya yang

dikembangkan terutama berdasarkan feature space tiga saluran yaitu hijau,

merah, dan inframerah dekat (Danoedoro, 1996).

Indeks vegetasi merupakan suatu algoritma yang diterapkan

terhadap citra satelit, untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun

aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan. Indeks vegetasi adalah suatu

transformasi matematis yang melibatkan tiga saluran sekaligus yaitu


saluran merah (red), hijau (green), dan inframerah dekat (near infrared).

Penggunaan transformasi indeks vegetasi


sebenarnya dilakukan untuk skala menengah yang lebih bersifat untuk

pemantauan hutan lindung maupun hutan produksi (Hidayati, 2013).

Analisis data citra untuk penentuan vegetasi mangrove mengacu

pada hasil eksplorasi citra komposit RGB 453 dengan input minimum dan

maksimum (30 & 60) transform setting dan supervised classification

(Green et al., 2000). Nilai kerapatan vegetasi bakau ditentukan dengan

menggunakan metode ratio antara kanal infra merah dan kanal merah

(Green et al., 2000).

2.5. Modification Normalized Difference Water Index (MNDWI)

MNDWI merupakan daerah kajian memiliki tipe vegetasi yang hidup di

lingkungan laut untuk mempermudah analisis garis pantai dengan tipe mangrove

digunakan metode MNDWI. Indeks ini dibangun berdasarkan perbandingan Band

Green dan Mid-infrared. Band hijau sangat sensitif terhadap turbiditas air dan

dapat digunakan untuk mengklasifikasi vegetasi, sedangkan Mid-infrared mampu

memisahkan daratan dan air karena penyerapan yang tinggi di air dan sebaliknya

pada vegetasi.

MNDWI untuk TM dan ETM + sensor Xu (Xu 2006) menyatakan :

𝑀𝑁𝐷𝑊𝐼 = Green − MIR


Green + MIR

Dimana, Hijau adalah pantulan band hijau untuk TM adalah band 2

dan MIR adalah pantulan di tengah band infra merah untuk TM adalah

band 5. Nilai MNDWI berkisar antara -1 sampai +1 tetapi air lebih banyak

menyerap MIR dan lebih ringan daripada NIR sehingga lahan terbangun

akan menunjukkan nilai negatif yang merupakan beberapa nilai positif

dalam NDWI (Xu, 2006). Menurut Xu, MNDWI lebih efektif untuk
dibedakan antara tanah dan air dengan demikian antara dua fitur dapat

diekstraksi (Emran et al, 2016).


2.6. Zonasi Hutan Mangrove

Zonasi mangrove adalah distribusi tumbuhan secara horizontal dari

pantai kearah daratan. Hutan mangrove di daerah tropis relatif homogen.

Pada ekosistem alami tumbuhan mangrove membentuk zonasi yaitu

sebagai berikut (Setyawan et al., 2002).

1. Zona luar yang terbuka didominasi Avicennia dan Sonneratia, diikuti

Rhizophora pada bagian sedikit agak dalam.

2. Zona tengah didominasi Bruguiera gymnorrhiza, Xylocarpus dan Heritiera

3. Zona dalam didominasi Bruguiera cylindrica, Scyphiphora hydrophyllacea,dan

Lumnitzera.

4. Zona transisi didominasi Cerbera manghas. Pada perbatasan hutan mangrove

dengan rawa air tawar tumbuh tegakan Nypa fruticans, diikuti Cyperus

portulacastrum, Fimbristylis ferruginea, Scirpus litoralis dan S. malaccensis.

Faktor pembentuk zonasi adalah karakter tanah berupa kandungan

bahan organik, salinitas, dan air tanah. Karakter tanah itu sendiri

dipengaruhi oleh kondisi topografi pantai. Kondisi topografi pantai

berpengaruh terhadap variasi tinggi relatif air laut, erosi dan pengendapan

sedimen, pengaruh gelombang atau pasang surut dan air tawar yang masuk

ke daerah mangrove, suplai sedimen dari lahan atas, bioturbasi, dan

akumulasi humus (Tuwo, 2011).

2.7. Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Kondisi Mangrove

Bagi manusia kerusakan hutan mangrove akan menjadi boomerang

baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat dilihat

terutama di desa-desa pantai yang terkena abrasi, sehingga prasarana desa


ikut terancam rusak, para nelayan semakin miskin karena penghasilan dari

usaha penangkapan semakin


menurun. Demikian juga jeritan para pengusaha tambak di sepanjang pantai,

karena gagal panen dan tambaknya collapse (Harahab, 2010).

Secara garis besar faktor penyebab kerusakan hutan mangrove: (1).

Faktor manusia yang merupakan faktor dominan penyebab kerusakan

hutan mangrove dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebihan seperti: a.

Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan yang terbuka

dengan harapan ekonomis dan menguntungkan, karena mudah dan murah.

b. Kebutuhan kayu bakar yang sangat mendesak untuk rumah tangga,

karena tidak ada pohon lain di sekitarnya yang bisa ditebang. c.

Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan

mangrove. d. Adanya kesenjangan sosial antara petani tambak tradisional

dengan pengusaha tambak modern, sehingga terjadi proses jual beli lahan

yang sudah tidak rasional. (2) Faktor alam, seperti: banjir, kekeringan dan

hama penyakit, merupakan faktor yang penyebab yang relatif kecil

(Tirtakusumah, 2015).

Tekanan terhadap kawasan mangrove secara umum disebabkan

oleh faktor sosial ekonomi, faktor alam dan faktor kebijakan. Faktor yang

paling dominan sebagai faktor penyebab tekanan terhadap kawasan

mangrove adalah faktor sosial ekonomi. Kebutuhan akan penghidupan dan

kebutuhan sehari-hari menjadi alasan penyebab tekanan terhadap kawasan

mangrove terus berlanjut. Meningkatkannya pertumbuhan penduduk dan

laju pembangunan di wilayah pesisir, menyebabkan timbulnya

ketidakseimbangan antara permintaan kebutuhan hidup, kesempatan

dengan persediaan sumber daya alam pesisir yang ada. Upaya


pengembangan pertanian intensif (coastal agriculture) yang dilakukan

tidak optimal, dan kegiatan serta kesempatan yang berorientasi kelautan

juga masih terbatas dikembangkan. Akibat keadaan tersebut menyebabkan

terus meningkatnya pengrusakan


ekosistem kawasan pesisir dan lautan khususnya kawasan hutan mangrove,

disamping penyebab terjadinya alih fungsi lahan menjadi perkebunan atau

tambak-tambak ikan.

2.8. Garis Pantai

Garis pantai didefinisikan sebagai batas antara darat dan permukaan air.

Pada proses dinamis ada beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan garis

pantai, yaitu hidrologi, geologi, iklim dan vegetasi. Oleh karena itu perlu

dilakukan pembaharuan terhadap peta perubahan garis pantai yang dilakukan

secara terus-menerus. Pembaharuan ini diperlukan untuk mengetahui faktor

pendorong dan informasi manajemen sumber daya pantai, perlindungan

lingkungan pantai dan juga untuk perencanaan pengembangan yang berkelanjutan

pada kawasan pantai (Guariglia et al., 2006). Daerah pinggir laut atau wilayah

darat yang berbatasan langsung dengan bagian laut disebut sebagai pantai. Pantai

juga bisa didefinisikan sebagai wilayah pertemuan antara daratan dan lautan.

Beberapa literatur sering ditemukan istilah coast dan shore yang biasa

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai pantai. Inman (2002) dalam

tulisannya yang berjudul Nearshore Processes, istilah coastal dan shore

sebenarnya memiliki perbedaan arti. Dimana coast (pesisir) adalah daerah darat di

tepi laut yang masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan

perembesan air laut contohnya coastal mountains atau gunung pesisir sedangkan

shore ialah wilayah pantai basah yang mengalami proses gelombang, pasang surut

dan arus. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut

dimana posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air

laut dan abrasi pantai yang terjadi.


Garis gelombang pecah merupakan batas perubahan perilaku

gelombang dan juga transpor sedimen pantai. Daerah gelombang pecah

(breaker zone) adalah daerah dimana gelombang yang datang dari laut

(lepas pantai) mencapai ketidakstabilan dan pecah. Surf zone merupakan

batas naik-turunnya gelombang di pantai sedangkan swash zone adalah

daerah yang dibatasi oleh garis batas tertinggi naiknya gelombang dan

batas terendah turunnya gelombang di pantai (Triatmodjo, 2008). Ditinjau

dari profil pantai, daerah kearah pantai dari garis gelombang pecah dibagi

menjadi 3 daerah, yaitu inshore, foreshore dan backshore. Perbatasan

antara inshore dan foreshore adalah batas antara air laut pada saat muka

air rendah dan permukaan pantai. Proses gelombang pecah di daerah

inshore sering menyebabkan terbentuknya longshore bar, yaitu gumuk

pasir yang memanjang dan kira-kira sejajar dengan garis pantai. Foreshore

adalah daerah yang terbentang dari garis pantai pada saat muka air rendah

sampai batas atas dari uprush pada saat air pasang tinggi (Triatmodjo,

2008).

2.9. Perubahan Garis Pantai

Faktor-faktor utama yang memepengaruhi terjadinya perubahan garis

pantai adalah fakor hidro-osenografi dan faktor antropogenik. Faktor hidro-

oseanografi merupakan perubahan garis pantai berlangsung dengan proses

geomorfologi yang terjadi pada setiap bagian pantai melebihi proses geomorfologi

yang dimaksud antara lain yaitu gelombang terjadi melalui proses pergerakan

massa air yang dibentuk secara umum oleh hembusan angina secara tegak lurus

terhadap garis pantaai. Dahuri et al. (2001) menyatakan bahwa gelombang yang
datang langsung kearah pantai tanpa ada yang menghambat lajunya terlebih

dahulu merupakan salah satu penyebab utama terjadinya proses erosi dan
sedimentasi di pantai, menyatakan bahwa gelombang yang pecah di daerah pantai

merupakan salah satu faktor penyebab proses erosi dan sedimentasi di pantai.

Hutabarat dan Evans (1985) menyatakan, arus merupakan salah satu yang

memiliki peran dalam pengangkutan sedimen di daerah pantai. Arus berfungsi

sebagai media trasport sedimen dan sebagai agen pengerosi yaitu arus yang

dipengaruhi oleh hempasan gelombang. Gelombang yang menuju pantai dapat

menimbulkan arus pantai (nearshore current) yang berpengaruh terhadap proses

sedimentasi atau abrasi di pantai. Arus pantai ini terutama ditentukan oleh besar

sudut yang dibentuk antara gelombang arus pantai. Jika gelombang membentuk

sudut maka akan terbentuk arus susur pantai (longshore current) yaitu arus yang

bergerak sejajar dengan pantai akibat perbedaan tekanan hidrostastik (Peethick,

1997).

Perubahan garis pantai dapat terjadi dengan majunya bibir pantai atau

biasa disebut dengan akresi dan mundurnya bibir pantai yang biasa disebut abrasi.

Penambahan dan pengikisan sedimen yang terjadi pada garis pantai pada dasarnya

mengalami kedudukan yng berubah-ubah sesuai dengan kedudukan pada saat

pasang surut, pengaruh gelombang dan arus disebabkan oleh penumpukan

sedimen yang berasal dari daratan dan terendapkan di pantai terutama melalui

muara sungai (Wibisono, 2011). Menurut Rifardi (2012) angkutan sedimen pantai

adalah gerakan sedimen di daerah pantai yang disebabkan oleh gelombang dan

arus. Turbulensi dari gelombang pecah mengubah sedimen dasar (bed load)

menjadi suspensi (suspended load). Gelombang pecah menimbulkan arus dan

turbulensi yang sangat besar yang dapat menggerakkan sedimen dasar.


Menurut Nontji (2005) pasang surut adalah gerakan naik turunnya

permukaan laut secara berirama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan

matahari. Arus pasut ini berperan terhadap proses-proses di pantai seperti

penyebaran sedimen dan abrasi pantai. Pasang naik akan menyebabkan sedimen

naik kearah pantai, sedangkan bila surut akan menyebabkan majunya sedimentasi

kearah laut lepas. Arus pasut umumnya tidak terlalu kuat sehingga tidak dapat

menganggkut sedimen yang berukuran besar.

Pasang surut adalah fenomena naik turunya permukaan air laut secara

periodik yang disebabkan oleh pengaruh gaya gravitasi dan gaya tarik benda -

benda langit terutama bulan dan matahari terhadap massa air di bumi. Sebenarnya,

benda angkasa lainnya juga mempengaruhi, namun pengaruhnya dapat diabaikan

karena jarak yang jauh terhadap bumi atau ukurannya yang jauh lebih kecil dari

bumi. Jadi, benda-benda angkasa yang paling mempengaruhi pada pasang surut

laut di bumi adalah bulan dan matahari. Gaya gravitasi antara bulan dan bumi

lebih besar pengaruhnya terhadap pasang surut dari pada gaya gravitasi antara

bumi dan matahari. Hal ini disebabkan jarak antara bumi dengan bulan lebih dekat

dibanding dengan jarak antara bumi dengan matahari. Selain gaya tarik menarik

tersebut, gaya sentrifugal juga mempengaruhi pasang surut di bumi. Gaya ini

merupakan akibat dari rotasi bumi yang berlawanan arah dengan gravitasi

sehingga terbentuklah resultan antara kedua gaya tersebut. Besarnya gaya

sentrifugal disemua bagian bumi adalah sama besarnya dipusat massa bumi

dengan gaya gravitasi bulan (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005).

Proses antropogenik adalah proses geomorfologi yang diakibatkan oleh

aktivitas manusia. Aktivitas manusia di pantai dapat mengganggu kestabilan


lingkungan pantai. Gangguan terhadap lingkungan pantai dapat dibedakan

menjadi ganguan yang disengaja dan gangguan yang tidak disengaja. Gangguan

yang disengaja bersifat protektif terhadap garis pantai dan lingkungan pantai.

Misalnya dengan membangun jetti, groin, pemecah gelombang atau reklamasi

pantai. Aktivitas manusia yang tidak disengaja menimbulkan gangguan negatif

terhadapa garis pantai, misalnya pembabatan hutan mangrove untuk dikonvensi

sebagai tambak (Sutikno, 1993).

2.10. Kemiringan Pantai

Kemiringan pantai didefenisikan sebagai jarak antara muka pantai dan

daerah inter-pasut. Kemiringan pantai mempunyai hubungan dengan energi

gelombang dan ukuran ukuran butir. Pantai yang terjal akan mempunyai

gelombang yang tinggi dan biasanya bertipe flunging sedangkan pantai yang

landai akan kecenderungan mempunyai tipe gelombang surging atau collapsing

(Sulaiman dan Soehardi, 2008).

Kelandaian pantai juga sangat berpengaruh terhadap potensi gelombang.

Gelombang akan semakin besar dan bertambah pada daerah pantai yang relatif

landai dan kemiringan bibir pantai yang kecil dibandingkan dengan pantai yang

relatif dalam dan curam memiliki kemiringan bibir pantai yang lebih besar. Pada

pemetaan pergerakan material pantai bervariasi terhadap waktu dan kondisi

pasang surut perairan. Seperti kita ketahui pada saat terjadi pasang, ketinggian

muka laut akan bertambah dari sebelumnya dan pada saat surut ketinggian muka

air laut berkurang. Proses terjadinya pasang surut juga akan mengakibatkan

perbedaan dimana gelombang pecah juga terbentuk (Sulaiman dan Soehardi,

2008).
Kecepatan perubahan kemiringan pantai secara horizontal dinyatakan oleh

perubahan garis pantai, sedangkan vertikal oleh morfologi pantai. Perubahan dasar

atau pengikisan pantai dapat terjadi secara alami maupun buatan. Perubahan

secara alami disebabkan gelombang laut, arus, pasang surut, morfologi pantai dan

struktur geologi. Secara buatan disebabkan oleh pengembangan pasir laut atau

pantai penggunaan lahan tepi pantai. Arus dapat menimbulkan kerusakan fisik

pada pantai seperti pengikisan daratan, pemindahan sedimen dan sebagainya.

Disamping itu besar volume air yang mengalir dan kuatnya pasang surut akana

mempengaruhi pantai (Nontji, 2005).

2.11. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk

memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisa

data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek,

daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1997). Penginderaan

jauh atau disingkat inderaja secara umum didefinisikan sebagai suatu ilmu, teknik,

seni untuk memperoleh informasi atau data mengenai kondisi fisik suatu benda

atau objek, target, sasaran maupun daerah dan fenomena tanpa menyentuh atau

kontak langsung dengan benda atau target tersebut. Sensor yang digunakan adalah

sensor jauh, yaitu sensor yang secara fisik berada jauh dari benda atau objek

tersebut. Sistem pemancar (transmitter) dan penerima (receiver) digunakan untuk

proses perekaman data atau pengambilan informasi dari suatu objek yang diamati.

Ilmu disini menggambarkan ilmu atau sains yang diperlukan baik dalam konsep,

perolehan data maupun pengolahan dan analisa, untuk mendapatkan teknik

pelaksanaan pengambilan data yang tepat dan baik serta sesuai dengan tujuan
perolehan data sehingga didapatlam suatu informasi data yang tepat di daerah

objek yang diamati.

Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) sering diartikan sebagai

teknologi untuk mengidentifikasi suatu objek di permukaan bumi tanpa melalui

kontak langsung dengan objek tersebut. Saat ini teknologi penginderaan jauh

berbasis satelit menjadi sangat populer dan digunakan untuk berbagai tujuan

kegiatan, salah satunya untuk mengidentifikasi potensi sumber daya wilayah

pesisir dan lautan. Hal ini disebabkan teknologi ini memiliki beberapa kelebihan,

seperti: harganya yang relatif murah dan mudah didapat, adanya resolusi temporal

(perulangan) sehingga dapat digunakan untuk keperluan monitoring, cakupannya

yang luas dan mampu menjangkau daerah yang terpencil, bentuk datanya digital

sehingga dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan ditampilkan sesuai

keinginan. Pengkajian atas benda/objek atau fenomena dilakukan pada hasil

rekaman, bukan pada benda aslinya.

Menurut Susilo (2000), penginderaan jauh vegetasi mangrove didasarkan

atas dua sifat penting yaitu mangrove tumbuh di daerah pesisir dan mempunyai

zat hijau daun (klorofil). Sifat optik menyerap spektrum sinar merah dan sangat

kuat memantulkan spektrum inframerah. Klorofil fitoplankton yang berada di laut

dapat dibedakan dari klorofil mangrove karena sifat air yang menyerap spektrum

inframerah. Tanah, pasir dan batuan juga memantulkan inframerah tapi tidak

menyerap sinar merah sehingga tanah dan mangrove secara optik juga dapat

dibedakan dari nilai pantulan tersebut. Penggunaan komposit band yang tepat

untuk mendeteksi vegetasi mangrove seperti band inframerah dekat (Near

Infrared) dan cahaya tampak merah (False Color) akan memberikan visualisasi
kontras antara vegetasi mangrove dan non mangrove. Selain itu penginderaan jauh

menggunakan citra satelit dapat juga dimanfaatkan untuk pengamatan kualitas air.

Hal tersebut dapat dilakukan karena tingkat reflektan pada air memiliki panjang

gelombang yang berbeda, tergantung material didalamnya. Nilai spektral air yang

tidak mengadung material di dalamnya akan memiliki nilai spektral rendah dan

terlihat gelap dibandingkan objek air yang mengandung material sedimentasi yang

akan terlihat lebih terang (Ardiansyah, 2015).

Menurut Sutanto (1994), ada empat komponen penting dalam sistem

penginderaan jauh adalah (1) sumber tenaga elektromagnetik, (2) atmosfer, (3)

interaksi antara tenaga dan objek, dan (4) sensor. Secara skematik dapat dilihat

pada gambar berikut:

Gambar 1. Sistem Penginderaan Jauh


(Paine dalam Sutanto, 1994).

Tenaga panas yang dipancarkan dari objek dapat direkam dengan sensor

yang dipasang jauh dari objeknya. Penginderaan objek tersebut menggunakan

spektrum infra merah termal (Paine dalam Sutanto, 1994).

Menurut Sutanto (2004), dalam penginderaan jauh terdapat beberapa

proses melibatkan interaksi antara radiasi dan target yang dituju mencakup tujuh

elemen penting, yakni;


1. Sumber energi atau illumination (A), merupakan elemen pertama dalam

menyediakan energi elektromagnetik ke target interest.

2. Radiasi dan atmosfer (B), adalah perjalanan energi dari sumber ke targetnya

dan sebaliknya. Energi akan mengalami kontak dengan target dan berinteraksi

dengan atmosfer yang dilewatinya;

3. Interaksi dengan Target (C);

4. Perekaman energi oleh sensor (D), setelah energi dipancarkan atau dilepaskan

dari target, elemen penting yang dibutuhkan adalah sensor untuk

menumpulkan dan merekam radiasi elektromagnetik;

5. Transmisi, penerimaan, dan pemrosesan (E), energi yang terekam oleh sensor

harus ditransmisikan untuk diterima oleh stasiun pengolahan, dimana data

diolah menjadi citra (hardcopy ataupun digital);

6. Interpretasi dan analisis, merupakan pengolahan image dengan interpretasi

secara visual atau digital untuk mengekstrak informasi tentang target; dan

7. Aplikasi, elemen terakhir adalah pengaplikasian informasi tentang target untuk

memperoleh pengertian yang lebih baik, menerima beberapa informasi baru,

dan membantu pemecahan masalah.

Interprestasi secara visual adalah interpretasi data penginderaan jarak jauh

yang mendasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik objek secara keruangan.

Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan 9 unsur interpretasi yaitu bentuk,

ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur, situs, asosiasi dan konvergensi bukti.

Menurut Wahyunto et al. dalam Daruati (2008) dalam identifikasi

pengunaan lahan dengan citra landsat, selain unsur interpretasi sebagai dasar

analisis, perlu diperhatikan juga beberapa faktor penutup lahan, misalnya vegetasi,
keadaan air genangan, dan tanah terbuka. Setiap faktor akan memberikan

reflektasi yang berbeda dan dapat berpengaruh terhadap kenampakan objek

tersebut.

2.12. Citra Landsat

Landsat merupakan suatu hasil program sumberdaya bumi yang

dikembangkan oleh NASA (The National Aeronautical and Space

Administration) Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Lansat di luncurkan pada

tanggal 22 Juli 1972 sebagai ERTS-I (Earth Resources Technology Satelite-I)

yang kemudian diganti namanya menjadi Landsat 1. Peluncuran Landsat 1 itu

diikuti dengan landsat-landsat yang lain dan yang terakhir diluncurkan landsat 7

pada tanggal 15 April 1999.

Menurut Putro (2013), landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat

yang untuk pertama kali menjadi satelit pengamat bumi sejak 1972 (Landsat 1).

Landsat 1 yang awalnya bernama Earth Resources Technology Satellite 1

diluncurkan 23 Juli 1972 dan mulai beroperasi sampai 6 Januari 1978. Generasi

penerusnya, Landsat 2 diluncurkan 22 Januari 1975 yang beroperasi sampai 22

Januari 1981. Landsat 3 diluncurkan 5 Maret 1978 berakhir 31 Maret 1983;

Landsat 4 diluncurkan 16 Juli 1982, dihentikan 1993. Landsat 5 diluncurkan 1

Maret 1984 masih berfungsi sampai dengan saat ini namun mengalami gangguan

berat sejak November 2011, akibat gangguan ini, pada tanggal 26 Desember 2012,

USGS mengumumkan bahwa Landsat 5 akan dinonaktifkan. Berbeda dengan 5

generasi pendahulunya, Landsat 6 yang telah diluncurkan 5 Oktober 1993 gagal

mencapai orbit. Sementara Landsat 7 yang diluncurkan April 15 Desember 1999,

masih berfungsi walau mengalami kerusakan sejak Mei 2003 (USGS, 2015).
Seperti dipublikasikan oleh USGS, satelit landsat 8 terbang dengan

ketinggian 705 km dari permukaan bumi dan memiliki area scan seluas 170 km x

183 km (mirip dengan landsat versi sebelumnya). NASA sendiri menargetkan

satelit landsat versi terbarunya ini mengemban misi selama 5 tahun beroperasi

(sensor OLI dirancang 5 tahun dan sensor TIRS 3 tahun). Tidak menutup

kemungkinan umur produktif landsat 8 dapat lebih panjang dari umur yang

dicanangkan sebagaimana terjadi pada landsat 5 (TM) yang awalnya ditargetkan

hanya beroperasi 3 tahun namun ternyata sampai tahun 2012 masih bisa berfungsi.

Satelit Landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land

Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal

sebanyak 11 buah. Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1 sampai

band 9) berada pada OLI dan 2 lainnya (band 10 dan band 11) pada TIRS.

Sebagian besar kanal memiliki spesifikasi mirip dengan Landsat 7

(Sugiarto, 2013).

Dibandingkan versi-versi sebelumnya, landsat 8 memiliki beberapa

keunggulan khususnya terkait spesifikasi band-band yang dimiliki maupun

panjang rentang spektrum gelombang elektromagnetik yang ditangkap.

Sebagaimana telah diketahui, warna objek pada citra tersusun atas 3 warna dasar,

yaitu Red, Green dan Blue (RGB). Dengan makin banyaknya band sebagai

penyusun RGB komposit, maka warna-warna objek menjadi lebih bervariasi.

Ada beberapa spesifikasi baru yang terpasang pada band landsat ini

khususnya pada band 1, 9, 10 dan 11. Band 1 (ultra blue) dapat menangkap

panjang gelombang elektromagnetik lebih rendah dari pada band yang sama pada
landsat 7, sehingga lebih sensitif terhadap perbedaan reflektan air laut atau

aerosol. Band ini unggul dalam membedakan konsentrasi aerosol di atmosfer dan
mengidentifikasi karakteristik tampilan air laut pada kedalaman berbeda. Pantulan

setiap objek memiliki karakteristik tertentu untuk setiap saluran spektral sehingga

setiap objek dapat dikenali perbedaannya (Lillesand dan Kiefer, 1997).

Deteksi terhadap awan cirrus juga lebih baik dengan dipasangnya kanal 9

pada sensor OLI, sedangkan band thermal (kanal 10 dan 11) sangat bermanfaat

untuk mendeteksi perbedaan suhu permukaan bumi dengan resolusi spasial 100

m. Pemanfaatan sensor ini dapat membedakan bagian permukaan bumi yang

memiliki suhu lebih panas dibandingkan area sekitarnya. Pengujian telah

dilakukan untuk melihat tampilan kawah puncak gunung berapi, dimana kawah

yang suhunya lebih panas, pada citra landsat 8 terlihat lebih terang dari pada area-

area sekitarnya.
26

III. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2021 yang

berlokasi di Pulau Bengkalis Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau (Lampiran 1).

Selanjutnya pegolahan data citra untuk mengetahui luasan vegetasi mangrove dan

perubahan garis pantai dianalisis di laboratorium Oseanografi Fisika Jurusan Ilmu

Kelautan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Pengukuran Lapangan

Pengukuran lapangan yang dilakukan meliputi pengukuran kualitas

perairan, pengukuran kemiringan pantai, penghitungan struktur komunitas

mangrove, pengambilan koordinat ground check dan melakukan wawancara

kepada masyarakat yang tinggal di pesisir wilayah ekosistem mangrove. Adapun

alat-alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat Pengukuran Lapangan

No Nama Alat Kegunaan Alat


1 Kamera Dokumentasi Keadaan di Lapangan
2 Meteran (50 m) Mengukur Kemiringan Pantai
3 GPS Menentukan Koordinat
4 Handrefractometer Merngukur Salinitas
5 Thermometer Mengukur Suhu
6 Secchi Disk Mengukur Kecerahan
7 Kuisioner Wawancara Masyarakat Setempat
8 Buku Indentifikasi Mengidentifikasi Jenis Mangrove
9 Tali Plot Pengukuran Struktur Komunitas Mangrove
3.2.2. Pengolahan Citra

Pengolahan data satelit yang dilakukan dengan menggunakan peralatan

dan bahan pada Tabel 2 dan 3 dibawah.

Tabel 2. Alat Pengolahan Data Citra


No Nama Alat Kegunaan Alat

1 Computer Personal Sebagai Alat Analisis Vekor dan Data Raster


(Intel Celeron)
2 Arcmap 10.3 Untuk Menentukan Perubahan Garis Pantai
3 ENVI 5.1 Unuk Analisis Kerapatan Mangove
4 Microsoft Office Untuk Penulisan Hasil Penelitian

Tabel 3. Bahan Pengolahan Data Citra


No Bahan

1 Citra Landsat
-TM5 Tahun 1988 -ETM7 Tahun 2004 -OLI08 Tahun 2020

3.3. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan

lokasi pengamatan dan pengukuran lapangan di Pulau Bengkalis Provinsi Riau.

Penelitian ini menggunakan data primer yang meliputi pengukuran kemiringan

pantai, penghitungan struktur komunitas mangrove, wawancara mengenai faktor

sosial ekonomi terhadap mangrove serta uji ketelitian hasil analisis data sekunder.

Sedangkan data sekunder yang digunakan meliputi data spasial dari analisis citra

satelit yang digunakan untuk memetakan perubahan garis pantai dan perubahan

luas mangrove di Pulau Bengkalis. Pemetaan garis pantai dilakukan dengan

metode tumpang susun antara data citra tahun 1988, 2004, dan 2020. Perubahan

luas mangrove dihitung dengan melakukan pengolahan citra dan klasifikasi

maximum likehood citra dengan tahun yang berbeda.


3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1. Lokasi Pengamatan

Lokasi penelitian dilakukan di pesisir Pulau Bengkalis yang kemudian

dibagi menjadi tiga stasiun untuk dilakukan ground check untuk mengetahui uji

ketelitian dari data spasial yang dianalisis. Stasiun satu dilakukan pada daerah

yang mempunyai luas mangrove cukup tinggi. Stasiun dua berada pada daerah

yang mempunyai luas mangrove sedang dan stasiun tiga berada ada daerah yang

tidak mempunyai kawasan mangrove. Untuk penentuan luas mangrove dan garis

pantai dilakukan melalui pengolahan data citra kemudian dari pengolahan data

tersebut dapat dilakukan analisis untuk melihat keadaan mangrove dan garis

pantai yang selanjutnya dilakukan uji ketelitian. Kemudian untuk penentuan uji

ketelitian dilakukan dengan menentukan koordinat saat analisis data citra

menggunakan software penginderaan jauh dan dilakukan ground check sesuai

koordinat yang sudah dianalisis.

3.4.2. Pengelolaan Citra

Pengolahan citra dilakukan untuk mengetahui luas mangrove, dan

perubahan garis pantai. Pengolahan citra pertama kali didownload dari USGS

yaitu citra tahun 1988, 2004, dan 2020. Kemudian data tersebut akan diolah

terlebih dahulu menggunakan software penginderaan jauh untuk mendapatkan

data luas hutan mangrove dan garis pantai dengan langkah-langkah seperti

dibawah ini:
A. Impor Data

Kegiatan pertama yang dilakukan adalah impor data Citra Landsat 5, 7

dan 8 ETM+ yang akan digunakan. Data Citra Landsat yang masih dalam format

TIF dikonversi ke format file raster ers dan format vektor untuk Software ENVI.

B. Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan metode transformasi

koordinat polynomial orde satu. Penyesuaian proyeksi dilakukan sesuai dengan

sistem proyeksi UTM, dengan menggunakan titik kontrol medan GCP (Ground

Control Point) yang koordinatnya ditentukan dari lapangan dan peta RBI.

Semakin banyak titik kontrol maka hasil yang diperoleh pun akan semakin baik.

Proses selanjutnya adalah interpolasi nilai spektral bagi masing-masing piksel.

Interpolasi nilai piksel yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses

resampling tetangga terdekat. Proses ini dipilih karena tidak merubah nilai piksel

yang bersangkutan, melainkan hanya mengambil kembali nilai dari piksel terdekat

yang telah tergeser keposisi yang baru.

C. Koreksi Radiometrik

Koreksi radiometrik adalah proses penggabungan dan penyeragaman

warna beberapa citra menjadi satu kesatuan baik secara digital maupun visual.

Kondisi citra satelit yang masih mentah (raw data) diolah dengan menggunakan

software. Koreksi radiometrik bertujuan untuk memperbaiki nilai piksel supaya

sesuai dengan yang seharusnya, dengan mempertimbangkan faktor gangguan

atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Efek atmosfer menyebabkan nilai

pantulan objek di permukaan bumi yang terekam oleh sensor menjadi bukan

merupakan nilai aslinya, tetapi menjadi lebih besar oleh karena adanya hamburan
atau lebih kecil karena proses serapan. Untuk melakukan koreksi pada tahap ini

digunakan metode penyesuaian histogram (histogram adjustment) yang

berdasarkan pada pemrosesan nilai digital oleh sensor. Objek yang memberikan

respon spectral yang paling rendah seharusnya bernilai 0, apabila nilai ini ternyata

melebihi angka 0 maka nilai tersebut dihitung sebagai bias dan koreksi dilakukan

dengan mengurangi seluruh nilai pada saluran tersebut dengan biasnya. Nilai bias

yang dimaksud adalah sebagai asumsi pengaruh atmosfer terhadap perambatan

gelombang elektromagnetik.

D. Layer Stacking

Layer stacking merupakan teknik merupakan teknik yang dilakukan untuk

menggabungkan beberapa band untuk menghasilkan wilayah yang akan

diinterpretasi. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan software Envi 5.1

dengan cara:

1. Membuka aplikasi Envi 5.1

2. Kemudian memilih tools open image file lalu pilih band 1-7 pada citra

landsat

3. Lalu memilih basic tool lalu pilih layerstaking

4. Melakukan import file lalu pilih seluruh band yang akan digabungkan

5. Kemudian simpan file dengan nama layerstaking lalu pilih.

E. Pemotongan Citra (Cropping)

Pemotongan citra (Cropping) adalah kegiatan memotong citra yang

bertujuan untuk memilih area yang diinginkan dan memperkecil ukuran file dari

citra, sehingga pemrosesan data menjadi lebih ringan dan lebih fokus dalam
penelitian pada daerah yang diteliti. Proses ini dilakukan dengan software Envi.

Berikut merupakan langkah-langkah:

1. Memilih tools classification>vector untuk klasifikasi

2. Pada tabel vector parameter dipilih open vector file

3. Kemudian membuka file peta dasar Pulau Rangsang dengan format shp

4. Kemudian menyimpan file baru dengan nama kemudian klik ok

5. Kemudian mengexport active layer via rois

6. Convert each record to new rois

7. Melilih basic tool dan subset data via rois

8. Layer staking kemudian simpan file dengan nama cropping

F. Ekstrak MNDWI

Dikarenakan daerah kajian memiliki tipe vegetasi yang hidup di

lingkungan laut untuk mempermudah analisis garis pantai dengan tipe mangrove

digunakan metode MNDWI. Indeks ini dibangun berdasarkan perbandingan Band

Green dan Mid-infrared. Band hijau sangat sensitif terhadap turbiditas air dan

dapat digunakan untuk mengklasifikasi vegetasi, sedangkan Mid-infrared mampu

memisahkan daratan dan air karena penyerapan yang tinggi di air dan sebaliknya

pada vegetasi.

MNDWI untuk TM dan ETM + sensor Xu (Xu 2006) menyatakan :


𝑀𝑁𝐷𝑊𝐼 = Green − MIR
Green + MIR

Dimana, Hijau adalah pantulan band hijau untuk TM adalah band 2 dan

MIR adalah pantulan di tengah band infra merah untuk TM adalah band 5. Nilai

MNDWI berkisar antara -1 sampai +1 tetapi air lebih banyak menyerap MIR dan

lebih ringan daripada NIR sehingga lahan terbangun akan menunjukkan nilai
negatif yang merupakan beberapa nilai positif dalam NDWI (Xu, 2006). Menurut

Xu, MNDWI lebih efektif untuk dibedakan antara tanah dan air dengan demikian

antara dua fitur dapat diekstraksi (Emran et al, 2016).

G. Luasan Vegetasi mangrove

Untuk mengidentifikasi hutan mangrove dengan data citra satelit Landsat

5 TM+ mengacu pada eskplorasi citra komposit RGB 453. Sedangkan pada citra

satelit Landsat 8 digunakan komposit RGB 564 dimana ketiga band tersebut

termasuk dalam kisaran spektrum tampak dan inframerah dekat dan mempunyai

panjang gelombang yang sesuai dengan panjang gelombang band 4, band 5 dan

band 3 pada citra satelit landsat TM 5.

Untuk menghitung luasan hutan mangrove dilakukan digitasi dan

klasifikasi serta perhitungan menggunakan aplikasi Arcgis. Pertama membuka

aplikasi Arcgis, lalu input data berupa shapefile sebaran mangrove dari hasil

pengolahan citra satelit dan juga shapefile wilayah yang akan dilihat luas dari

mangrove. Kemudian untuk mengetahui dilakukan dengan mengkalkulasikan

pixel yang telah diklasifikasi. Maka output yang dihasilkan adalah sebaran

mangrove pada setiap wilayah yang inginkan sesuai penelitian yang dilakukan.

H. Garis Pantai

Setelah melakukan pra pengolahan citra landsat maka untuk mengetahui

perubahan garis pantai perlu dilakukan pengolahan lanjutan dari pengolahan

sebelumnya. Setelah melalui serangkaian proses pengolahan citra, maka proses

selanjutnya adalah digitasi dan pemotongan citra landsat yang terdiri dari citra

dengan tahun yang berbeda. Proses pemotongan pada citra landsat yang telah

dikompositkan dengan peta batasan kawasan yang akan dilihat perubahan garis
pantainya. Dalam software dapat dilakukan dengan menggunakan perintah

pengaturan data atau Analysis Tools. Pemotongan citra dilakukan untuk membuat

batas wilayah peta perubahan garis pantai. Tumpang susun adalah dilakukan

dengan minimal dua data geospasial. Tumpang susun dilakukan pada hasil digitasi

pada citra landsat tahun yang berbeda. Hasil tumpang susun akan memperlihatkan

perubahan garis pantai yang terjadi di pantai yang akan dianalalisis. Metode

Layout dilakukan dengan membuat layout hasil pemetaan perubahan garis pantai

dengan citra landsat yang telah dianalisis dengan menggunakan software dan

pembuatan peta layout dilakukan di software ArcGis.

I. Tumpang Susun (Overlay)

Setelah tahap digitasi selesai, proses selanjutnya adalah menumpang-

susunkan (overlay) keempat garis pantai tersebut diatas. Setelah itu dilakukan

analisis perubahan garis pantai tahun 1988, 2004, dan 2020.

J. Klasifikasi Citra

Klasifikasi dilakukan untuk mendapatkan peta tematik, yakni suatu peta

yang terdiri dari bagian-bagian yang telah dikelompokan kedalam kelas-kelas

tertentu yang merepresantasikan suatu kelompok objek yang sama. Pada

penelitian ini digunakan klasifikasi terbimbing (Supervised), dimana citra

diklasifikasikan dengan metode kemiripan maksimum (maximum likehood).

Dimana kelas-kelas yang digunakan yaitu kelas laut dalam, kelas laut dangkal,

kelas vegetasi mangrove, dan kelas non vegetasi mangrove. Dari pembagian kelas

kelas tersebut kita dapat menentukan vegetasi mangrove. Berikut merupakan

tahap pengklasifikasian yaitu:


1. Memilih tools pada Envi kemudian region of interest > ROI tool

2. Kemudian membuat new region hingga tedapat 4 kelas

3. Pemberian nama ketiga kelas yaitu mangrove, non mangrove, dan perairan

4. Kemudian pada roi type dipilih polygon

5. Kemudia buat polygon pada setiap kelas yang sudah diberi nama

6. Jumlah polygon setiap kelas minimal 12 sampel yang bertujuan untuk ketelitian

klasifikasi

7. Setelah semua kelas diwakilkan oleh polygon dengan warna yang berbeda lalu

pilih classification > supervised > maximoom likehood

8. Hasil klasifikasi masing masing kelas kemudian disimpan sebagi vector dalam

tipe file shp yang kemudian diolah menggunakan software Arcgis

K. Layout Peta

Layout adalah langkah yang dilakukan untuk menampilan hasil akhir dari

pengolahan data citra dalam bentuk peta lengkap beserta judul, simbol, skala, arah

mata angin, sumber, tahun dan nama pembuat. Biasanya disimpan dalam bentuk

file gambar format JPEG. Langkahnya adalah dengan melanjutkan hasil

klasifikasi pada bab sebelumnya pada program Arcgis10.3. Proses layouting

meliputi proses sebagai berikut:

1. Title untuk memberi judul peta.

2. Legend untuk menampilkan legenda berupa jalan, daratan, sungai, mangrove

dan lain-lain.

3. Text untuk memberi nama keterangan peta.

4. Picture untuk memasukkan gambar / lambing.

5. Nort Arrow, untuk memunculkan simbol arah mata angin.


6. Scale Bar untuk skala garis, scale text untuk skala angka dan banyak lagi menu

yang lain sesuai keinginan pembuat.

3.4.3. Pengolahan Data Perubahan Luas Mangrove

Setelah mendapatkan interpretasi citra luas mangrove pada kurun waktu

32 tahun terahir (tahun 1988 sampai 2020) di wilayah Pulau Bengkalis, kemudian

dilakukan pengolahan data interpretasi citra dengan rentang waktu 5 dan 6

tahunnya untuk mengetahui perbahan luasan dari vegetasi mangrove. Perubahan

luasan mangrove dapat diketahui dengan cara kuantitatif yaitu mengetahui luas

dari vegetasi mangrove pertahunnya kemudian dilakukan pengurangan luas

mangrove dari tahun terlama ketahun terbaru.

3.4.4. Pengolahan Data Perubahan Garis Pantai

Untuk mengetahui perubahan garis pantai perlu dilakukan pengolahan

lanjutan dari pengolahan sebelumnya. Metode yang dilakukan adalah tumpang

susun. Pengolahan data yang dilakukan adalah dengan menggabungkan hasil

interpretsasi citra tahun 1988, 2004, dan 2020. Hasil tumpang susun akan

memperlihatkan perubahan garis pantai baik yang mengalami abrasi maupun yang

mengalami akresi. Kemudian dari data hasil tumpang susun data citra tersebut

dapat dihitung luas abrasi dan akresi setiap kurun waktu yang diinginkan.

3.5. Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Kondisi Mangrove

Untuk mengetahui faktor sosial ekonomi penyebab kerusakan mangrove

perlu dilakukan wawancara langsung dengan masyarakat baik yang berada di

wilayah sekiratan mangrove maupun nelayan. Wawancara dilakukan secara

langsung terhadap responden seperti masyarakat yang tinggal di pesisir pantai

atau yang berdekatan dengan wilayah ekosistem mangrove. Kemudian dengan


menyusun beberapa pertanyaan sebagai data pendukung penyebab kerusakan

mangrove di lokasi penelitian yang terdapat pada Lampiran 2.

3.6. Survei Lapangan dan Uji Ketelitian

Survei lapangan diperlukan untuk memverifikasi hasil interpretasi citra

landsat yang sudah diolah dengan kesesuaian dilapangan. Adapaun survei

lapangan yang dilakukan adalah untuk melakukan penghitungan kerapatan

mangrove setiap stasiun dan melakukan pengukuran kemiringan pantai yang

terdapat di Pulau Bengkalis. Berikut adalah mekanisme survei lapangan.

3.6.1. Kerapatan Mangrove

Metode petak dibagi dua yaitu metode petak tunggal dan petak ganda.

Petak tunggal hanya dibuat satu petak contoh dengan ukuran tertentu yang

mewakili suatu tegakan hutan atau suatu komunitas tumbuhan. Petak ganda adalah

pengambilan petak contoh vegetasi dengan menggunakan banyak petak contoh

yang letaknya tersebar merata pada areal yang dipelajari, dan peletakan petakan

contoh sebaiknya secara sistematis. Ukuran tiap contoh disesuaikan dengan

tingkat pertumbuhan dan bentuk tumbuhannya. Ukuran petak untuk pohon adalah

10 m x10 m (Kusmana, 1997).

a. Pada setiap kelas mangrove yang berada di petak contoh (plot), berbentuk bujur

sangkar dengan menentukan titik sentral berdasarkan titik kordinat,dimana

terdapat petakan 10 x 10 m untuk petakan pohon.

b. Pengidentifikasi dengan merujuk buku Noor et al., (1999)

Untuk mendapatkan informasi yang perlu diketahui tentang kondisi

ekosistem mangrove digunakan metode analisa mencari indeks nilai penting


(INP). Indeks nilai penting ini memberikan suatu gambaran tentang pengaruh atau

peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam suatu area.

5 meter
5 meter

5 meter

10 meter

Gambar 2. Plot untuk Pengambilan sampel

c. Penentuan pohon dan anakan dilakukan dengan cara: untuk pohon ukuran tinggi

>1,3 m dan diameter >4 cm, anakan ukuran tinggi >1 m – 1,3 m dan diameter

<4 cm. Dimana pengukuran >1,3 m dijadikan tinggi untuk pengukuran pohon

dan diameter >4 cm dinyatakan sebagai pohon, sedangkan diameter dibawah

<4 cm dianggap sebagai anakan.

Untuk kerapatan mangrove digunakan rumusan (English et al., 1994):

a. Kerapatan

Untuk mendapatkan informasi yang perlu diketahui tentang kondisi

ekosistem mangrove digunakan metode analisa mencari Indeks Nilai Penting

(INP). Indeks Nilai Penting (INP) ini memberikan suatu gambaran tentang

pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam suatu area.

Jumlah individu suatu jenis


Kerapatan Jenis (ind/ha) =
Luas seluruh plot

Jumlah individu suatu jenis


Kerapatan Relatif = x 100%
Luas seluruh plot
b. Frekuensi

Frekuensi adalah peluang ditemukannya vegetasi pada suatu plot atau

petakan contoh yang diamati. Nilai ini diperoleh dengan menghitung jumlah

petakan contoh yang ditempati suatu jenis dan dibagi dengan jumlah semua petak

contoh yang ada.

jumlah plot terisi suatu jenis


Frekuensi = Jumlah seluruh plot

Frekuensi suatu jenis


Frekuensi Relatif = x 100 %
frekuaensi seluruh jenis

c. Basal Area (Luas Bidang Dasar)

Basal area adalah luas bidang atau lulusan area yang ditutupi oleh batang

pohon mangrove pada ketinggian 1,3 m atau pada titik setinggi dada.

Basal area ͇ π DBH (cm)²


4
DBH = Diameter At Breast Hieght (dimeter pohon pada ketinggian1,3 m)
DBH = CBH/phi (cm)²
CBH = Circle Breast Hight (Lingkaran pohon setinggi dada)
π = 3,1428

d. Dominansi

Dominansi adalah gambaran tentang tingkat pengguasaan jenis dalam petak

contoh.

jumlah basal terisi suatu jenis


Dominansi (m2/ha) =
Luas seluruh plot

Dominansi suatu jenis


Dominansi Relatif = x 100 %
Dominansi seluruh jenis
e. Nilai penting

Dari hasil perhitungan diatas, kemudian dihitung nilai penting (NP). Nilai

penting ini digunakan untuk menghitung persentase nilai penguasaan masing-

masing jenis vegetasi suatu wilayah, dihitung dengan rumus :

NP = FR+KR+DR
Dimana : FR = Frekuensi Relatif

KR = Kerapatan Relatif

DR = Dominansi Relatif

3.6.2. Kemiringan Pantai

Pengukururan kemiringan pantai dilakukan dengan berpedoman pada

Mardianto (2004) yaitu:

C
K= x 100%
L

Keterangan: K= Kemiringan Pantai

C= Kedalaman(m)

L= Jarak dari pantai kearah laut(30-50m) dari pasang tertinggi

Dengan demikian jika nilai k

0-2 % = Datar

>2-8 % = Landai

>8-30 % = Miring

>30-50 5 = Terjal

>50% = Sangat Terjal

3.6.3. Uji Ketelitian Citra

Uji ketelitian dilakukan menilai sejauh mana tingkat kesesuaian antar hasil

klasifikasi spasial yang telah dilakukan dengan kondisi lapangan yang sebenarnya.
Uji ketelitian dilakukan terhadap hasil interpretasi dengan menggunakan matriks

uji ketelitian menurut Short dalam Amran (1999). Short Melalui uji ketelitian ini

dapat dihitung besarnya ketelitian seluruh hasil klasifikasi dengan tabel matriks

konfusi (confusion matriks). Ketelitian seluruh hasil klasifikasi (Ki) adalah:

Jumlah pixel hasil interpretasi yang benar


Ki = x 100%
Jumlah pixel sampel yang diamati

Ketelitian hasil klasifikasi yang dapat diterima haruslah mempunyai nilai

minimum 85%.

3.7. Pengaruh Vegetasi Mangrove terhadap Garis Pantai

Untuk mengetahui pengaruh dari luasan hutan mangrove terhadap perubahan

garis pantai dilakukan dengan cara visualisasi hasil analisis peta luasan

mangrove. Setelah mengetahui hasil analisis peta kemudian dibandingkan dengan

peta perubahan garis pantai pada stasiun yang sama dan dilakukan perbandingan

secara kuantitatif. Perubahan luas hutan mangrove hasil pengolahan data citra

selama 32 tahun dibandingkan dengan perubahan garis pantai yang terjadi selama

32 tahun tersebut. Kemudian dilihat bagaimana perubahan garis pantai pada setiap

stasiun yang berbeda dan dibahas secara deskriptif pada pembahasan.

3.8. Analisis Data

Data yang diperoleh baik berupa data pegolahan citra maupun data lapangan

diolah di Laboratorium Oseanografi Fisika Universitas Riau dengan melakukan

interpretasi citra kemudian dianalisis untuk selanjutnya dibahas secara deskriptif,

kuantitatif, kualitatif untuk melihat bagaimana hubungan korelasi antara pengaruh

vegetasi mangrove terhadap perubahan garis pantai yang terdapat di Pulau

Bengkalis Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau.


3.9. Alur Penelitian
Citra Landsat Citra Landsat Citra Landsat
TM5 1988 ITM7 2004 OLI08 2020

Pemasangan Ground
Control Point Koreksi Geometrick

DN Koreksi= DN-Offset Koreksi Radiometrick

Layer Stacking Membuat Saluran Multikanal

Masking Citra dengan


Digitasi On Screen Pemotongan Citra
Vektor Lokasi
Penelitian
Transformasi MNDWI
Citra 1988 Citra 2004 Citra 2020

Citra 1988 Citra 2004 Citra 2020


Overlay

Perubahan mangrove
di Pulau Bengkalis Overlay

Peta Perubahan gaaris pantai hasil


transformasi MNDWI

Analisis korelasi luas mangrove terhadap


luasan garis pantai

Gambar 3. Alur Penelitian


42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Pulau Bengaklis merupakan salah satu pulau terluar yang dimiliki oleh

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Merupakan salah satu pulau yang berada di

Kabupaten Bengkalis di Provinsi Riau yang wilayahnya mencakup bagian Pesisir

timur pulau Sumatera dan berada di wilayah kepulauan. Terdapat dua kecamatan

yang berada di Pulau Bengkalis yaitu Kecamatan Bengkalis dan Kecamatan

Bantan. Adapun batas-batas wilayah Pulau Bengkalis sebagai berikut:

- Sebelah Utara berbatas dengan Selat Malaka dan Kabupaten Bengkalis

- Sebelah Selatan berbatas dengan Kabupaten Siak dan Kabupaten Kepulauan

Meranti

- Sebelah Barat berbatas dengan Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Rokan

Hulu, dan Kota Dumai

- Sebelah Timur berhadapan langsung dengan Selat Malaka

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis tahun 2015,

luas wilayah Pulau Bengkalis adalah 11.481,77 km², dimana Kecamatan terluas

adalah Kecamatan Bengkalis dengan luas 514 km², Kecamatan Bantan memiliki

luas 424 km2. Kecamatan Bengkalis terdiri dari 28 desa, Kecamatan Bantan tediri

dari 23 desa.

Secara geografis wilayah Pulau Bengkalis mempunyai banyak potensi

sumber daya alam yang menjadi penopang kehidupan masyarakat. Masyarakat

disana berkerja sebagai petani, pelaut, nelayan, dan berdagang. Pulau Bengkalis
memiliki potensi perairan laut dan perairan umum yang cukup luas serta daratan

yang dapat dikembangkan usaha budidaya perikanan, sehingga berpeluang bagi

investor untuk menanamkan investasi baik dibidang penangkapan di peraiaran

lepas pantai dan budidaya perikanan (tambak, keramba dan kolam). Pulau

Bengkalis juga mempunyai sebaran mangrove yang dapat dijadikan potensi untuk

ekoswisata maupun menambah penghasilan bagi masyarakat pesisir Pulau

Bengkalis. Namun potensi hutan mangrove yang terdapat di Pulau Bengkalis

semakin lama semakin menurun karena banyaknya kerusakan dari ekosistem

mangrove. Kerusakan hutan mangrove yang terjadi di Pulau Bengkalis

menyebabkan penyangga kawasan pantai mengalami abrasi di kawasan pesisir

yang terjadi sepanjang tahun. Terutama di kawasan barat dan utara pesisir pantai

Pulau Bengkalis. Abrasi yang terjadi di kawasan hutan mangrove tidak hanya

merusak tekstur pantai. Disisi lain, dengan rusaknya kawasan hutan mangrove,

turut berdampak buruk pada ekosistem perairan pantai.

Pulau Bengkalis memiliki peranan yang sangat penting karena merupakan

salah satu pusat pertanian di Kabupaten Bengkalis. Sebagian besar jenis tanah di

Pulau Bengkalis merupakan tanah rawa gambut dan rawa lebak. Pantai di Pulau

Bengkalis merupakan pantai yang sangat rawan mengalami abrasi, karena

berhadapan langsung dengan lautan yang terbuka yaitu selat Malaka, sehingga

hempasan gelombang yang sangat besar langsung menghantam bibir pantai.

4.1.2. Parameter Kualitas Perairan

Wilayah pesisir lokasi penelitian yang berhadapan langsung dengan Selat

Malaka, serta faktor hidrodinamika perairan yang terjadi merupakan faktor-faktor

yang mempengaruhi kualitas perairan yang terdapat di Pulau Bengkalis.


Berdasarkan hasil pengamatan dilokasi penelitian didapatkan kualitas perairan

bahwa pH perairan pesisir Pulau Bengkalis berkisar antara 5-6, kecerahan 8-9 cm,

suhu 31-32 0C dan salinitas 21- 24 0/00. dari hasil tersebut pH yang terdapat

dilokasi penelitian merupakan pH yang normal. Tingkat kecerahan perairan yang

terdapat di lokasi penelitian berada dibawah nilai baku mutu kualitas air laut,

dimana hal ini disebabkan tidak terdapat karang dan lamun, dan didominasi oleh

substrat lumpur serta banyaknya suplai sedimen dan partikel yang terlarut, bahan

organik dan anorganik melalui aliran run off dari daratan dan menyebabkan

tingkat kekeruhan perairan yang tinggi. Widiadmoko (2013) menyatakan bahwa

kemampuan cahaya matahari untuk menembus sampai ke dasar perairan

dipengaruhi oleh kekeruhan (turbidity) air. Oleh karena itu, tingkat kecerahan dan

kekeruhan air laut sangat berpengaruh pada pertumbuhan biota laut. Tingkat

kecerahan air laut sangat menentukan tingkat fotosintesis biota yang ada di

perairan laut. Kisaran suhu yang terdapat di Pulau Bengkalis masih dalam

kategori standar serta kecepatan arus yang cukup tinggi yang dipengaruhi oleh

gelombang serta hempasan angin dari Selat Malaka yang berhadapan dengan

pesisir Pulau Bengkalis.

Parameter kemiringan merupakan faktor yang cukup berpengaruh terhadap

proses kerentanan pantai yang berupa abrasi. Kelandaian suatu perairan

memberikan pengaruh langsung terhadap tingkat kestabilan pantai akibat abrasi

atau akresi oleh aksi gelombang. Dari data hasil kedalaman dan jarak dari garis

pantai, diperoleh data kemiringan pantai per stasiun bahwa stasiun 1 yaitu Sebauk

merupakan daerah tingkat kemiringan pantai yang paling besar dengan nilai
kemiringan 8,2 % sedangkan kemiringan pantai yang paling rendah diperoleh

pada stasiun 2 yaitu Desa Selat Baru dengan nilai kemiringan 3 %.

Parameter kemiringan pantai merupakan faktor yang cukup berpengaruh

terhadap proses kerentanan pantai yang berupa abrasi. Menurut Boruff et al.

(2005) kemiringan pantai antara 5-10 % berada pada kerentanan yang tinggi.

Akan tetapi pada setiap stasiun yang diamati tidak ada stasiun yang membuat

pemecah gelombang hanya hutan mangrove yang menahan gelombang yang

datang ke pantai yang menyebabkan bertambah abrasi pada setiap stasiun yang di

amati. Apabila kejadian ini dibiarkan maka pesisir Pulau Bengkalis akan terus

mengalami abrasi.

4.1.3. Kemiringan Pantai

Berdasarkan hasil pengukuran kemiringan pantai di lapangan diketahui

bahwa stasiun 1 yang memiliki kemiringan pantai yang lebih miring yaitu 8,2 %

sedangkan stasiun yang memiliki kemiringan pantai yang lebih landai yaitu

berada pada stasiun 3 yang memiliki nilai 3,2 %. Hasil pengukuran kemiringan

pantai dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 . Kemiringan Pantai Bengkalis.


Stasiun Kedalaman Jarak ke Kemiringan Keterangan
(m) Arah Pantai (%)
Laut*(m)
1 4,1 50 8,2 Miring
2 1,5 50 3 Landai
3 1,6 50 3,2 Landai
*50 Meter ke arah laut dari pasang tertinggi berdasarkan keputusan peneliti
karena disesuaikan dengan kondisi yang terjadi dilapangan dan dianggap
sudah mewakili.

Kemiringan pantai berkisar 3% - 8,2%. Kemiringan pantai yang didapat

berdasarkan hasil pengukuran lapangan merupakan pantai miring dan landai.


Berdasarkan nilai kemiringan yang diperoleh, maka kondisi topografi dasar laut

perairan di Pulau Bengkalis termasuk pada daerah continental shelf yaitu

topografi dasar laut yang berbatasan langsung dengan daratan dan mempunyai

kedalaman tidak lebih dari 200 m.

4.1.4. Perubahan Tutupan Mangrove Pulau Bengkalis Tahun 1988-2020

Berdasarkan hasil pengolahan data citra menggunakan teknik interpretasi

citra digital diperoleh layout berupa peta sebaran mangrove. Interpretasi dilakukan

dengan penginderaan jauh yang berdasarkan pada pengenalan ciri/karakteristik

objek secara keruangan. Karakteristik objek dapat dikenali berdasarkan 9 unsur

interpretasi yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona/warna, tekstur, situs,

asosiasi dan konvergensi bukti. Tahapan pada interpretasi secara visual adalah

dengan menggunakan teknik kombinasi RGB.

Berdasarkan kenampakan yang terlihat khas mangrove pada citra landsat 5

dengan komposit 5,4 dan 3 dan pada landsat 8 dengan komposit 5,6, dan 4 (RGB)

berwarna hijau dinyatakan sebagai mangrove, warna ungu dinyatakan non

vegetasi mangrove, warna kuning dinyatakan daratan dan bewarna biru

dinyatakan perairan. Pemberian warna pada klasifikasi dilakukan sesuai dengan

analisis yang dilakukan. Hal ini disebabkan oleh hasil klasifikasi terbimbing atau

yang dikenal dengan Supervised Classification yaitu cara pengambilan beberapa

sampel piksel (region of interest) untuk mendapatkan karakteristik piksel masing-

masing kelas yang kemudian dikelompokkan berdasarkan karakteristik nilai piksel

tersebut. Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan metode Maximum

Likelihood dimana metode tersebut efektif untuk mengkaji kondisi hutan

mangrove. Klasifikasi terdiri dari 3 kelas yaitu mangrove, vegetasi non mangrove,
dan lautan. Hasil tersebut dilakukan analisis untuk mengetahui luas dari tutupan

lahan hasil klasifikasi. Hasil klasifikasi kemudian dilakukan layouting untuk

menghasilkan peta tutupan mangrove. Untuk hasil peta layout tutupan lahan

mangrove di Pulau Bengkalis 32 tahun terahir dapat dilihat pada Gambar 4, 5,

dan 6.

Perubahan luasan mangrove dapat diketahui melalui proses klasifikasi

secara spasial dengan menggunakan aplikasi sistem informasi geografis (Arcgis

versi 10.3). Data tutupan lahan merupakan data shapefile yang diubah menjadi

polygon agar didapat berapa luas area mangrove yang mengalami perubahan. Dari

hasil hitungan tersebut didapat jumlah luas area mangrove pada tahun 1988 seluas

8127 ha, tahun 2004 seluas 7914 ha, dan tahun 2020 seluas 7752 ha. Dari

hitungan tersebut dapat diketahui luas hutan mangrove pada pesisir Pulau

Bengkalis mengalami pengurangan luas disetiap tahunnya. Dari hasil luasan

tersebut, dapat dilakukan proses gabungan untuk mendapat area perubahan

mangrove. Hasil luas perubahan hutan mangrove pada tahun 1988-2004 seluas

213 ha, dan pada tahun 2004-2020 seluas 162 ha.


Gambar 4. Peta Tutupan Lahan Mangrove Pulau Bengkalis Tahun 1988
Gambar 5. Peta Tutupan Lahan Mangrove Pulau Bengkalis Tahun 2004
Gambar 6. Peta Tutupan Lahan Mangrove Pulau Bengkalis Tahun 2020
4.1.5. Perubahan Garis Pantai Pulau Bengkalis Tahun 1988-2020

Pengukuran perubahan garis pantai dilakukan dengan interpretasi data citra

dengan menghitung maju mundurnya garis pantai dan luas lahan yang mengalami

abrasi maupun akresi. Pengukuran dilakukan di wilayah pesisir Pulau Bengkalis

yang berhadapan dengan Selat Malaka. Pengukuran dilakukan pada tiga stasiun

dengan rincian setiap kecamatan terdapat satu titik stasiun. Data citra yang

digunakan adalah tahun 1988, 2004 dan 2020 yang diolah dengan metode

tumpang susun citra. Hasil dari pengolahan data citra kemudian dilakukan digitasi

menjadi polyline untuk mendapatkan garis pantai di Pesisir Pulau Bengkalis. Hasil

interpretasi citra menunjukkan bahwa terjadi perubahan garis pantai di Pulau

Bengkalis Kabupaten Bengkalis selama periode 32 tahun terahir (Tahun 1988

sampai 2020).

Perubahan garis pantai pada wilayah pesisir Pulau Bengkalis dapat dilihat

pada Gambar 7 yang merupakan hasil overlay dari pengolahan citra pada software

Arcgis data yang dihasilkan berupa dan laju perubahan garis pantai tahun terlama

dan terbaru. Perubahan garis pantai pada stasiun penelitian dapat dilihat pada

gambar dibawah. Gambar 8 merupakan perubahan garis pantai pada stasiun 1

dimana pada daerah tersebut mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan

daratan. Gambar 9 merupakan perubahan garis pantai pada stasiun 2 yang

dominan mengalami abrasi namun tidak sebesar pada stasiun 1. Gambar 10

merupakan perubahan garis pantai pada stasiun 3 yang selalu mengalami abrasi

setiap tahunnya sehingga terjadi pengurangan daratan yang cukup besar.


Gambar 7. Garis Pantai Pulau Bengkalis
Gambar 8. Perubahan Garis Pantai Stasiun 1

Gambar 9. Perubahan Garis Pantai Stasiun 2


Gambar 10. Perubahan Garis Pantai Stasiun 3

Hasil pengukuran perubahan garis pantai di Pulau Bengkalis cenderung

mengalami abrasi pada wilayah kawasan hutan mangrove dan mengalami kemunduran

garis pantai pada daerah yang tidak berada di kawasan mangrove secara lengkap dalam

32 tahun terahir (1988 sampai 2020) dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perubahan Garis Pantai Pulau Bengkalis (1988-2020).


Stasiun Tahun Tahun Rata-Rata Laju Keterangan
1988-2004 2004-2020 Perubahan
(m) (m) (m/thn)

1 -39.56 -52.32 -2.87 m/thn Abrasi

2 -43.76 -5.21 -1.53 m/thn Abrasi

3 -219 -165.72 -12.02 m/thn Abrasi


Tabel 5 menunjukkan titik stasiun satu berada di Desa Sebauk Kecamatan

Bantan dan cenderung terjadi abrasi sebesar 2.87 meter/tahun. Pada stasiun 2 berada di

desa Selat Baru Kecamatan Bantan cenderung mengalami abrasi sebesar 1.53

meter/tahun. Stasiun 3 berada pada desa Simpang Ayam kecamatan Bengkalis yang

mengalami abrasi setiap tahunnya yaitu sekitar 12.02 meter/tahun.

Identifikasi lokasi terjadinya abrasi dan akresi pantai dilakukan dengan

menumpang-susunkan (overlay) garis pantai terlama dengan garis pantai terkini. Hasil

tumpang-susun perubahan garis pantai 32 tahun terakhir, yaitu antara Tahun 1988 dan

Tahun 2020 seperti disajikan pada Gambar 12.

Gambar 11. Identifikasi Lokasi Abrasi dan Akresi

Gambar 11 menunjukkan sebagian besar pantai Pulau Bengkalis di Kabupaten

Bengkalis bagian utara dan timur mengalami perubahan yang menunjukkan terjadinya

abrasi dengan tingkat abrasi yang bervariasi. Tingkat abrasi yang paling besar terjadi
pada ujung pulau bagian timur. Abrasi pantai juga terjadi hampir di sekeliling Pulau

Bengkalis. Pada kurun waktu tersebut, pantai Pulau Bengkalis di Kabupaten Bengkalis

juga mengalami akresi atau sedimentasi. Proses akresi terjadi pada sisi timur dan barat

Pulau Bengkalis di Kabupaten Bengkalis bagian barat. Hasil dari overlay kemudian

dilakukan penghitungan luas abrasi dan akresi di Pulau Bengkalis. Berikut hasil

perhitungan luas abrasi dan akresi di Pulau Bengkalis dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 6. Luas Perubahan Abrasi dan Akresi Tahun 1988- 2020

Tahun Luas Abrasi (Ha) Luas Akresi (Ha)

1988-2004 653 338


2004-2020 1036 112

Tabel 9 menunjukkan bahwa telah terjadi abrasi dan akresi di sepanjang Pesisir

Pulau Bengkalis. Abrasi terbesar terjadi pada tahun 2004-2020 dimana abrasi mencapai

1036 ha dan abrasi terkecil terjadi antara tahun 1988-2004 yaitu sebesar 653 ha. Akresi

terbesar terjadi antara tahun 1988-2004 yaitu sebesar 338 Ha dan akresi terkecil terjadi

pada tahun 2004-2020 yaitu sebesar 112 Ha.

4.1.6. Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat

Berdasarkan pengamatan dan wawancara langsung kepada mayarakat yang

tinggal di pesisir Pulau Bengkalis menunjukan bahwa, faktor sosial ekonomi

masyarakat berpengaruh terhadap kerusakan kawasan hutan mangrove. Aktivitas sosial

ekonomi masyarakat pesisir Pulau Bengkalis salah satu hal yang menyebabkan tekanan

dan mempengauhi tingkat kerusakan mangrove di daerah tersebut. Berdasarkan hasil

wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat pesisir Pulau Bengkalis diketahui

bahwa mayoritas masyarakat yang tinggal di pesisir Pulau Bengkalis menggantungkan


perekonomiannya pada sumberdaya laut dan pesisir baik sebagai nelayan, pengelolah

tempat wisata pantai, maupun sebagai pemberi jasa angkutan umum yang merupakan

alat transportasi. Lokasi permukiman yang terlalu dekat dengan ekosistem mangrove

bahkan langsung memanfaatkan lahan mangrove menjadi salah satu pemicu rusaknya

ekosistem hutan mangrove. Beberapa kegiatan masyarakat yang merusak ekosistem

mangrove seperti melakukan penebangan dan pembabatan mangrove dapat dilihat pada

Lampiran 5. Penebangan dilakukan untuk dijual sebagai bahan dasar kayu arang. Akibat

akitivitas sosial dan ekonomi masyarakat di Pulau Bengkalis merupakan penyebab yang

menimbulkan tekanan dan dampak negatif terhadap lingkungan secara langsung

maupun tidak langsung.

Selain dari aktivitas masyarakat yang mempengaruhi keberadaan mangrove juga

keberadaan pabrik arang yang terdapat di Pulau Bengkalis sangat mempengaruhi

berkurangnya luasan mangrove yang terdapat disana. Pabrik tersebut memproduksi

arang yang berbahan dasar dari batang pohon mangrove sehingga masyarakat

melakukan penebangan pohon mangrove yang akan dijual ke pabrik arang tersebut. Dari

wawancara yang dilakukan rehabilitasi mangrove juga dilakukan oleh masyarakat

disana namun mangrove yang ditanam sangat susah tumbuh karena pengaruh

gelombang yang cukup tinggi yang menghantam bibir pantai. Menurut pengakuan

warga bahwa wilayah yang tidak ditumbuhi mangrove cenderung mengalami abrasi

yang sangat tinggi bahkan dapat mencapai 15-20 meter per tahunnya.

4.1.7. Kecepatan Abrasi dan Faktor Oseanografi

Menurut hasil penelitian Rifdayati (2018), kecepatan abrasi dipengaruhi oleh

parameter oseanografi seperti kemiringan pantai, kecepatan arus dan energi gelombang.
Kecepatan abrasi di Kecamatan Bengkalis berkisar antara 1,53 m/tahun sampai 12,02

m/tahun. Kecepatan arus mencapai 0,40 sampai 0,50 m/s. Tinggi gelombang berkisar

antara 1,50 m sampai 2,50 m dan energy gelombang berkisar 2,49 Nm/ m2 sampai 4,90

NM/m2. Hasil pengukuran faktor oseanografi dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Kecepatan Abrasi dan Faktor Oseanografi


Stasiun
Parameter Oseanografi
1.Desa Sebauk 2.Desa Selat Baru 3.Desa Simp.Ayam

Kecepatan Abrasi 2,87 1,53 12,02


(Dilapangan)
Kecepatan Arus (m/s) 0,41 0,40 0,50
Tinggi Gelombang (m) 1,50 1,50 2,50
Energi Gelombang 2,49 2,49 4,90
(NM/m2)
Sumber : Rifdayati 2018

4.1.8. Uji Ketelitian Citra

Penginderaan jauh (remote sensing) adalah pengamatan suatu objek

menggunakan sebuah alat dari jarak jauh. Penginderaan jauh merupakan suatu metode

pengamatan yang dilakukan tanpa menyentuh objeknya secara langsung. Penginderaan

jauh juga diartikan pengkajian atas informasi mengenai daratan dan permukaan air di

bumi dengan menggunakan citra yang diperoleh dari sudut pandang atas (overhead

perspective), menggunakan radiasi elektromagnetik dalam beberapa bagian dari

spectrum elektromangnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi

(Camapell, 2011).

Penelitian ini dianalisis berdasarkan hasil interpretasi multispektal citra satelit

landsat 5 ETM dengan komposit band 453 dan landsat 8 OLI TIRS komposit 564 untuk

mengetahui vegetasi mangrove. Komposit band atau sering juga disebut kombinasi
antar band ini pilih berdasarkan band yang peka terhadap lahan basah atau air, serta

pigmen vegetasi sehingga hutan mangrove yang merupakan objek penelitian di wilayah

pesisir dapat diinterpretasi secara jelas. Menurut hoffer (1984) dalam widodo (2014)

pantulan spektral vegetasi sangat bervariasi terhadap panjang gelombang, pantulan

spektral vegetasi sangat dipengaruhi oleh pigmentasi, struktur internal daun dan

kandungan uap air.

Pengamatan lapangan (ground check) bertujuan untuk mengetahui tingkat

ketelitian dari interpretasi multispektral citra digital. Observasi dilakukan di 10 titik

pengamatan dimana untuk uji ketelitian terhadap keberadaan mangrove. Pada ground

check dilakukan perbandingan apakah data yang hasilkan oleh citra sesuai dengan

pengamatan dilapangan. Hasil uji ketelitian dengan melihat jenis mangrove yang

ditemukan, pada Ground check dilakukan dengan membandingkan hasil dari

pengolahan citra Landsat 8 dengan objek yang ditemukan di lapangan. Konsep uji

ketelitian yang diterapkan pada penelitian ini bersumber dari Lillesand dan Kiefer

(1997). Untuk perbandingan klasifikasi citra dan lapangan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Klasifikasi Citra dan Lapangan


Hasil Lapangan

M NM NV Jumlah
M 9 1 - 10

Hasil Klasifikasi NM - 1 - 1
NV - - - 0
Jumlah 10 1 0 10

Uji ketelitian mangrove yang didapatkan dari hasil ground check adalah sebagai

berikut :

9
Ketelitian = x 100%
10
= 90 %

Dari hasil perbandingan klasifikasi data citra dan pengamatan 10 titik di

Lapangan menunjukkan bahwa hasil ketelitian citra yang diklasifikasi adalah 90 %

benar. Ketelitian hasil klasifikasi yang dapat diterima haruslah mempunyai nilai

minimum 85%. Dari hasil uji ketelitian citra dilapangan tersebut dapat disimpulkan

bahwa hasil klasifikasi dapat diterima.

Tabel 9. Titik koordinat di Setiap Titik Stasiun


Titik Stasiun Nama Desa
1. 1° 31'13"N 102°2'44"E Sebauk

2. 1° 34'6"N 102° 11'36"E Selat Baru

3. 1°36'15"N 102° 3'37"E Simpang Ayam

Pengamatan lapangan (ground chek) bertujuan untuk mengetahui tingkat

interpretasi citra digital. Observasi dilakukan di beberapa titik yang sudah ditentukan

sesuai analisis peta keberadaan mangrove. Pada ground check dilakukan perbandingan

data yang dihasilkan oleh citra satelit sesuai dengan data lapangan. Hasil uji ketelitian

menunjukkan 90 % ketelitian, dimana titik yang dinyatakan mangrove pada peta hasil

analisis juga merupakan keberadaan mangrove pada survei di Lapangan.

Hasil pengamatan 2 titik stasiun lokasi di Pulau Bengkalis ditemukan 6 spesies

mangrove yaitu Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Avicennia alba,

Avicennia marina, Sonneratia ovata dan Xylocarpus granatum. Berdasarkan data

perhitungan stuktur komunitas mangrove di lapangan bahwa kerapatan pohon pada 2

titik stasiun memiliki kerapatan yang berbeda, dimana pada stasiun satu memiliki

kerapatan 2266,67 ind/ha dan pada stasiun 2 dengan kerapatan 1466,67 ind/ha. Hal ini
dikarenakan perbedaan lokasi pengamatan di lapangan yang mana pada stasiun 1

merupakan lokasi mangrove yang cukup luas dan adanya upaya konservasi mangrove

yang dilakukan masyarakat sekitar pesisir dan berbeda pada stasiun 2 yang merupakan

lokasi yang mempunyai kerapatan sedang dimana pada wilayah mangrove yang tidak

luas dan tinggi nya gelombang sehingga menghambat pertmbuhan mangrove.

Rendahnya kerapatan mangrove pada stasiun 2 juga dipengaruhi oleh tingginya

gelombang yang mempengaruhi pertumbuhan dari vegetasi mangrove sangat susah.

Khomsin dalam Fadlan (2011), menyatakan bahwa kerusakan alamiah yang terjadi pada

ekosistem hutan mangrove timbul karena peristiwa alam seperti adanya gelombang

besar dapat menyebabkan tercabutnya tanaman muda atau tumbangnya pohon, serta

menyebabkan erosi tanah tempat mangrove tumbuh. Pada umumnya kerusakan

ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh aktivitas manusia dalam pendayagunaan

sumberdaya alam wilayah pantai tidak memperhatikan kelestarian, seperti penebangan

untuk keperluan kayu bakar yang berlebihan, tambak, permukiman, industri dan

pertambangan.

Data pengamatan pada 2 titik stasiun kerapatan anakan mangrove yaitu 2266,67

ind/ha pada stasiun satu dan 1400 ind/ha pada stasiun dua. Pertumbuhan anakan hampir

tidak jauh berbeda dengan pertumbuhan pohon hanya lebih sedikit lebih rendah, hal ini

perlunya pemotongan dahan-dahan mangrove yang rimbun. Dalam meningkatkan

kerapatan anakan vegetasi mangrove perlu dilakukan penanaman pada wilayah yang

mangrovenya jarang agar pertumbuhan mangrove lebih optimal dan terkena sinar

matahari. Bengen (2002) menyatakan kegiatan penjarangan diperlukan untuk memberi

ruang tumbuh yang ideal bagi tanaman, agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan
sehat. Pemangkasan dan penjarangan perlu dilakukan karena pemangkasan dan

penjarangan bertujuan untuk memberi ruang kepada tanaman lain untuk tumbuh (Kordi,

2012).

Kerapatan mangrove pada lokasi uji lapangan nampak berbeda pada tiap sampel

stasiun, hal ini disebabkan adanya kompetisi dalam perolehan unsur hara dan matahari.

Selain itu, faktor substrat dan pasang surut air laut memberikan pengaruh dan perbedaan

yang nyata. Dahuri (2003), menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan mangrove

dipengaruhi oleh suplai air tawar dan salinitas, pasokan nutrien, dan stabilitas substrat.

Kondisi ini dikarenakan pada Rhizophora sp penyebaran biji ke tempat lain

karena adanya pengaruh kuat dari pasang surut air laut. Kartawinata (1978) menyatakan

bahwa, pertumbuhan biji terapung di atas air dan disebarkan ke berbagai tempat, serta

biji berakar pada ujungnya dan menambatkan diri pada lumpur pada waktu air surut,

kemudian tumbuh tegak.

4.1.8.1. Jenis Mangrove yang Ditemukan di Pulau Bengkalis

Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan (stasiun 1 dan stasiun 2) bahwa jenis

mangrove yang terdapat di Pulau Bengkalis cukup beragam. jenis mangrove pada lokasi

penelitian (lampiran 2) memiliki 6 spesies yang ditemukan di 2 titik stasiun dapat dilihat

pada Tabel 10.

Tabel 10. Spesies Mangrove yang Ditemukan di Pulau Bengkalis

Family Spesies Nama Lokal

Rhizoporaceae Rhizophora apiculata Bakau putih


Rhizophora mucronata Bakau hitam
Avicenniaceae Avicennia alba Api api
Avicennia marina -
Myrtales Sonneratia ovata Kedabu
Meliaceae Xylocarpus granatum Nyirih

Hasil pengamatan mangrove di lapangan pada 2 titik stasiun di Pulau Bengkalis

dimana stasiun 1 berada di Desa Sebauk dan stasiun dua berada di Selat Baru. Penaatan

dilakukan dengan mengunakan petakan contoh (plot), pada ukuran 10 m x10 m

digunakan pengamatan pohon, 5 m x 5 m pada anakan sehingga didapat jenis mangrove

yang bervariasi. Berikut komposisi vegetasi mangrove pada setiap stasiun dapat dilihat

pada Tabel 11.

Tabel 11. Komposisi Pohon Mangrove di Pulau Bengkalis


Titik
Stasiun Jenis Mangrove
A.a A.m R.a R.m S.o X.g
1. + + + + + -
2. + + - + + +
3. - - - - - -

Keterangan :
+ = Ditemukan - = Tidak Ditemukan
R.a : Rhizophora apiculata R.m :Rhizophora mucronata
A.a: Avicennia alba S.o : Sonneratia ovata
X.g: Xylocarpus granatum A.m : Avecennia marina

Spesies mangrove yang ditemukan pada lokasi pengamatan didominasi oleh

mangrove Rhizophora apiculata, Avicennia alba, Sonneratia ovata, Rhizophora

mucronata, Xylocarpus granatum,dan Avecennia marina. Pada analisis lapangan jumlah

anakan mangrove yang dihitung pada petakan contoh (plot) 5 m x 5 m,ditemukan pada

2 titik stasiun spesies anakan mangrove sebagai berikut. Komposisi spesies anakan

mangrove yang terdapat di Pulau Bengkalis pada setiap titik stasiun dapat dilihat pada

Tabel 12.
Tabel 12. Komposisi Anakan Mangrove di Pulau Bengkalis
Titik
Stasiun Jenis Mangrove

A.a A.m R.a R.m S.o X.g


1. + - - + + +

2. + + - + - -

3. - - - - - -

Keterangan : + = Ditemukan - = Tidak Ditemukan


R.a : Rhizophora apiculata R.m :Rhizophora mucronata
A.a: Avicennia alba S.o : Sonneratia ovata
X.g: Xylocarpus granatum X.g : Xylocarpus granatum

4.1.8.2. Kerapatan Mangrove

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan bahwa di 2 titik stasiun terdapat 6

spesies mangrove yang tumbuh dikawasan Pulau Bengkalis. Data kerapatan mangrove

disetiap titik stasiun dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Kerapatan Pohon Mangrove Stasiun 1


Jenis Jumlah K (ind/ha) KR

Avicennia marina 12 400 17,6

Sonneratia ovata 3 100 4,41

Rhizophora apiculata 20 666,7 29,41

Rhizophora mucronata 15 500 22,1

Avicennia alba 18 600 26,5

68 2266,7 100
Tabel 14. Kerapatan Pohon Mangrove stasiun 2

Jenis Jumlah K (ind/ha) KR

Sonneratia ovata 5 166,67 11,36

Avicennia marina 4 133,33 9,10

Xylocarpus granatum 7 233,33 15,91

Rhizophora mucronata 11 366,67 25

Avicennia alba 17 566,67 38,63

44 1466,67 100

Keterangan :
K = Kerapatan KR = Kerapatan Relatif

Kerapatan pohon mangrove pada stasiun 1 yaitu 2266,7 ind/ha dimana jenis

Rhizophora apiculata merupakan kerapatan pohon tertinggi pada stasiun 1 yang

memiliki kerapatan 666,67 ind/ha. Kerapatan pohon terendah pada jenis Sonneratia

ovata yaitu dengan kerapatan 100 ind/ha. Sedangkan kerapatan pohon mangrove pada

stasiun 2 yaitu 1466,66 ind/ha dimana jenis Avecenia alba merupakan kerapatan pohon

tertinggi yang memiliki kerapatan 566,67 ind/ha dan jenis Avecennia marina dengan

kerapatan 133,33 ind/ha. Perbandingan kerapatan pohon dapat dilihat pada diagram

Gambar 12.
800

Kerapatan Mangrove ( Ind/Ha)


700
600
500
400
300
200
Stasiun 1
100
Stasiun 2
0
a a ta a a m
in at la at lb tu
ar v u on a a
m ao ic cr ia an
n i a
ra
t i
aa
p u e nn g r
en ne or ram ic u s
i c
So
n
op
h
ph
o Av ca
rp
Av iz zo l o
Rh Rh
i Xy
Spesies Mangrove

Gambar 12. Perbandingan Kerapatan Jenis Pohon Mangrove 2 Stasiun

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan bahwa kerapatan anakan mangrove

pada stasiun 1 (Tabel 15) yaitu 2266,667 ind/ha dimana jenis Rhizophora mucronata.

Merupakan kerapatan anakan tertinggi pada stasiun 1 yang memiliki kerapatan 933,33

ind/ha. Kerapatan anakan terendah pada jenis Sonneratia ovata yaitu dengan kerapatan

266,67 ind/ha. Sedangkan kerapatan anakan mangrove pada stasiun 2 (Tabel 16) yaitu

1600 ind/ha dimana jenis Avecenia alba merupakan kerapatan pohon tertinggi yang

memiliki kerapatan 666,67 ind/ha. Jenis Avecennia marina dengan kerapatan 400

ind/ha. Perbandingan kerapatan anakan mangrove dapat dilihat pada Gambar 14.

Tabel 15. Kerapatan Anakan di Stasiun 1


Jenis Jumlah K (ind/ha) KR
Sonneratia ovata 2 266,67 11,76
Avicennia alba 5 666,67 29,41
Xylocarpus granatum 3 400 17,65
Rhizophora mucronata 7 933,33 41,18
17 2266,67 100
Tabel 16. Kerapatan Anakan di Stasiun 2
Jenis Jumlah K (ind/ha) KR
Rhizophora mucronata 4 533,33 33,33

Avicennia alba 5 666,67 41,667

Avicennia marina 3 400 25

12 1600 100

Keterangan :K = Kerapatan KR = Kerapatan Relatif

1000
Kerapatan Mangrove ( Ind/Ha)

900
800
700
600
500
400
300
200 Stasiun 1
100 Stasiun 2
0
a a a a
v at a lb t um at lb t um
ao ia na on ia
a
na
i ra cr ra
ra
t e nn g u e nn g
ne ic us ram ic us
So
n Av ca
rp
p h o Av ca
rp
lo zo lo
Xy Rh
i Xy

Spesies Mangrove
Gambar 13. Perbandingan Kerapatan Jenis Anakan Mangrove 2 Stasiun

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan bahwa kerapatan masing-masing titik

stasiun mendapatkan data yang beragam berdasarkan tingkat kerapatan. Kerapatan yang

sangat padat dan jumlah pohon terbanyak adalah Desa Sebauk. Data Perbandingan

dapat dilihat pada masing-masing stasiun pada Tabel 17.

Tabel 17. Analisis Kerapatan Lapangan


Titik Nama Kerapatan JumlahPohon Kerapatan Jumlah Anakan
Desa (ind/ha)
Stasiun (ind/ha)
1. Sebauk Padat 2266,7 Padat 2266,7

2. Selat Baru Sedang 1466,7 Padat 1600

Tabel 17 menunjukkan bahwa kerapatan tertinggi terdapat pada stasiun 1, yaitu

Desa Sebauk dengan 2266,7 ind/ha dan untuk kerapatan anakan tertinggi terdapat pada

Desa Sebauk 22266,7 ind/ha. Berdasarkan KepMen LH No 201 Tahun 2004

menyatakan bahwa kriteria baku kerusakan mangrove dikatakan sangat baik apabila

kerapatannya ≥ 1.500 ind/ha, sedangkan kriteria sedang apabila kerapatan mangrovenya

≥1.000≤1.500 ind/ha dan kriteria jarang apabila kerapatan mangrovenya < 1000 ind/ha.

Dari hasil perhitungan struktur komunitas mangrove bahwa di stasiun satu dapat

disimpulkan bahwa mangrove dalam keadaan baik dan pada stasiun dua mangrove

dalam keadaan sedang.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Garis Pantai

Analisis pengaruh luas hutan mangrove terhadap garis pantai dilakukan dengan

visualisasi, kwalitatif, dan kuantitatif. Seletah menganalisis peta tutupan mangrove

dapat diketahui bahwa pada stasiun satu merupakan daerah yang masih ditumbuhi oleh

vegetasi yang cukup luas yang mempunyai kerapatan padat. Keadaan garis pantai pada
stasiun satu dominan mengalami abrasi mencapai 2,87 meter/tahun . Pada analisis peta

luas mangrove stasiun dua diketahui bahwa pada stasiun dua terdapat vegetasi

mangrove namun tidak seluas yang terdapat pada stasiun satu dan kerapatan sedang.

Keadaan garis pantai pada stasiun dua mengalami abrasi 1,53 meter/tahun. Pada analisis

peta pada stasiun tiga merupakan stasiun yang tidak terdapat hutan mangrove dan

merupakan daerah yang mengalami abrasi yang cukup tinggi mencapai 12,02

meter/pertahun.

Pengaruh dari keberadaan hutan mangrove dapat dilihat dari keberadaan hutan

mangrove yang berada di pesisir pantai yang dapat menahan atau melindungi pantai dari

abarasi. Dari hasil data pengolahan citraa landsat diketahui bahwa pada stasiun satu

dimana mempunyai luas mangrove yang masih bagus tidak terjadi abrasi dan sebaliknya

pada stasiun tiga yang tidak terdapat hutan mangrove mengalami abrasi yang cukup

tinggi. Dari data kwantitatif didapatkan bahwa garis pantai mengalami kemunduran

karena abrasi yang tejadi di pesisir Pulau Bengkalis serta terjadi penurunan luas hutan

mangrove. Hal ini terjadi karena pemamfaatan hutan mangrove yang berlebihan.

Akibat dari pemanfaatan tumbuhan mangrove tersebut secara tidak langsung

mengakibatkan fungsi lindung dari tanaman mangrove terhadap garis pantai menjadi

berkurang. Sehingga ketika fungsi lindung dari ekosistem mangrove menjadi berkurang

atau hilang, maka faktor alam seperti arus atau gelombang serta hidrooseanografi yang

menjadi penyebab utama dari terjadinya perubahan garis pantai. Perubahan garis pantai

dapat diamati berdasarkan seberapa besar dampak dari abrasi yang ditimbulkan.

Besarnya proses abrasi yang terjadi dapat dipengaruhi oleh faktor alam seperti

terjadinya pasang surut pada daerah pantai, perubahan iklim serta gelombang air laut,
abrasi terjadi dikarenakan daerah pelindung pantai yang biasanya ditumbuhi oleh

tanaman mangrove telah hilang.

Dari hasil pengamatan secara visual hasil klasifikasi data citra serta pengamatan

di lapangan didapatkan bahwa stasiun satu dan stasiun dua merupakan area yang

terdapat hutan mangrove yang cukup luas dengan kerapatan yang baik. Keberadaan

mangrove pada stasiun ini menjadi pelingdung bagi pesisir dari hantaman gelombang

serta arus yang dapat menghantam pesisir sehingga tidak terjadi perubahan garis pantai

seperti abrasi yang menyebabkan mundurnya garis pantai di pesisir pantai. Menurut

Dauhan et al. (2013) kerusakan yang terjadi pada daerah pantai sering dipengaruhi oleh

faktor-faktor alamiah seperti perubahan kenaikan muka air laut, gelombang arus pantai

dan angkutan sedimen pantai.

Pengaruh hidrooseanografi merupakan salah satu penyebab terbesar perubahan

garis pantai diwilayah pesisir pantai seperti gelombang, kecepatan arus, tipe sedimen

dan pola arus. Tinggi gelombang pada wilayah laut yang sempit atau selat akan

memiliki tinggi gelombang yang lebih rendah dibandingkan perairan yang berhadapan

langsung dengan samudera. Dengan melihat hubungan gelombang, abrasi pantai dan

material pembentuk pantai maka wilayah yang mempunyai potensi tinggi terhada abrasi

pantai adalah wilayah yang berbatasan langsung dengan perairan terbuka dengan

material pantai yang mudah tererosi. Perubahan garis pantai dapat diamati berdasarkan

seberapa besar dampak dari abrasi yang ditimbulkan. Besarnya proses abrasi yang

terjadi dapat dipengaruhi oleh faktor alam seperti terjadinya pasang surut pada daerah

pantai, perubahan iklim serta gelombang air laut, abrasi terjadi dikarenakan daerah

pelindung pantai yang biasanya ditumbuhi oleh tanaman mangrove telah hilang.
Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya kearah laut

merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru. Akar

mangrove mampu mengikat dan menstabilkan substrat lumpur, pohonnya mengurangi

energi gelombang dan memperlambat arus, sementara vegetasi secara keseluruhan dapat

memerangkap sedimen. Pada hasil penelitian Hidayati (2013). juga menyatakan bahwa

penambahan luas daratan di kawasan pesisir Kecamatan Bengkalis disebabkan oleh

adanya perubahan arus, sehingga sedimen yang terdapat di wilayah yang mengalami

abrasi terbawa arus dan mengalami pengendapan. Gelombang laut yang menghantam

pantai terdiri dari suatu rentetan gelombang. Pada saat pengamatan di lapangan, lokasi

terparah terjadinya abrasi adalah pantai Pambang Pesisir di Kabupaten Bengkalis

dengan energi gelombang terbesar yaitu mencapai 4,9 Nm/m 2 dan tinggi gelombang

mencapai 2,0 m dengan kecepatan arus 0.50 m/s (Ramadhan, et al., 2019).

Lilian (2014) menjelaskan bahwa jenis sedimen yang terdapat di Pulau

Bengkalis didominasi pasir halus dan pasir kasar. Perbedaan ukuran sedimen akan

mempengaruhi kecepatan dalam transportasi sedimen. Secara umum partikel berukuran

kasar akan diendakan pada lokasi yang tidak jauh dari sumbernya dan sebaliknya. Jadi

semakin halus atau semakin kecil ukuran butiran sedimen maka akaan menyebabkan

semakin besarnya pantai yang terabrasi serta dipengaruhi oleh tingginya kecepatan arus

dan tinggi gelombang yang menghantam bibir pantainya.

Salah satu perananan dan sekaligus manfaat ekosistem mangrove, adalah adanya

sistem perakaran mangrove yang kompleks dan rapat, lebat dapat memerangkap sisa-

sisa bahan organik dan endapan yang terbawa air laut dari bagian daratan. Proses ini

menyebabkan air laut terjaga kebersihannya dan dengan demikian memelihara


kehidupan padang lamun (seagrass) dan terumbu karang. Karena proses ini maka

mangrove seringkali dikatakan pembentuk daratan karena endapan dan tanah yang

ditahannya menumbuhkan perkembangan garis pantai dari waktu ke waktu.

Pertumbuhan mangrove memperluas batas pantai dan memberikan kesempatan bagi

tumbuhan terestrial hidup dan berkembang di wilayah daratan. Akar pohon mangrove

juga menjaga pinggiran pantai dari bahaya erosi dan sebagai perangkap sedimen.

Suryana. et al (1998) menyatakan peranan mangrove ini dijabarkan dalam dua cara

yaitu perannya dalam menjaga kestabilan muka air tanah dan mengurangi masuknya

gelombang laut keluar sungai.

4.2.2. Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Mangrove

Berdasarkan pengamatan dan wawancara langsung kepada mayarakat yang

tinggal di pesisir Pulau Bengkalis menunjukan bahwa, faktor sosial ekonomi

masyarakat berpengaruh terhadap kerusakan kawasan hutan mangrove. Aktivitas sosial

ekonomi masyarakat pesisir Pulau Bengkalis salah satu hal yang menyebabkan tekanan

dan mempengauhi tingkat kerusakan mangrove di daerah tersebut. Berdasarkan hasil

wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat pesisir Pulau Bengkalis diketahui

bahwa mayoritas masyarakat yang tinggal di pesisir Pulau Bengkalis menggantungkan

perekonomiannya pada sumberdaya laut dan pesisir baik sebagai nelayan, pengelolah

tempat wisata pantai, maupun sebagai pemberi jasa angkutan umum yang merupakan

alat trasportasi. Lokasi permukiman yang terlalu dekat dengan ekosistem mangrove

bahkan langsung memanfaatkan lahan mangrove menjadi salah satu pemicu rusaknya

ekosistem hutan mangrove. Beberapa kegiatan masyarakat yang merusak ekosistem

mangrove seperti melakukan penebangan dan pembabatan mangrove dapat dilihat pada
Lampiran 5. Penebangan dilakukan untuk dijual sebagai bahan dasar kayu arang. Akibat

akitivitas sosial dan ekonomi masyarakat di Pulau Bengkalis merupakan penyebab yang

menimbulkan tekanan dan dampak negatif terhadap lingkungan secara langsung

maupun tidak langsung.

Keterdapatan hutan mangrove bagi masyarakat di Pesisir Pulau Bengkalis

memberikan manfaat langsung terhadap sosial perekonomian masyarakat. Namun disisi

lain kawasan hutan mangrove ini mendapat banyak tekanan, berupa aktivitas

perambahan kawasan hutan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar

kawasan hutan mangrove. Perambahan hutan mangrove dilakukan untuk membuka areal

lahan dan penggunaan kayu vegetasi mangrove sebagai bahan bangunan, kayu bakar,

dan arang yang dilakukan oleh penduduk asli karena mahalnya bahan bakar, serta

pabrik arang di Pulau Bengkalis. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai

manfaat dan fungsi hutan mangrove serta tingkat pendidikan formal yang masih

tergolong rendah menyebabkan masyarakat kurang memperhatikan keberadaan hutan

mangrove dan melakukan kegiatan konversi tanpa memperhatikan ketersediaan hutan

mangrove untuk masa yang akan datang. Permasalahan utama tentang pengaruh atau

tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan masyarakat pembabatan

mangrove untuk dijual kayunya. Selain itu juga meningkatnya permintaan terhadap

produksi kayu yang menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap vegetasi hutan

mangrove. Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsi dari hutan mangrove

menjadi hilang.

Dahuri et al. (1996) menyatakan bahwa salah satu penyebab kerusakan wilayah

pesisir adalah aktivitas perekonomian yang tidak terkendali dan kesadaran pentingnya
upaya pelestarian sumberdaya alam wilayah pesisir yang masih rendah dikalangan lintas

pelaku. Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara yang dilakukan terhadap

masyarakat pesisir Pulau Bengkalis diketahui bahwa mayoritas masyarakat yang tinggal

di Pesisir menggantungkan perekonomiannya pada sumberdaya laut dan pesisir baik

sebagai nelayan, pengelolah tempat wisata pantai, maupun sebagai pemberi jasa

angkutan umum yang merupakan alat trasportasi. Lokasi permukiman yang terlalu dekat

dengan ekosistem mangrove bahkan langsung memanfaatkan lahan mangrove menjadi

salah satu pemicu rusaknya ekosistem hutan mangrove. Beberapa kegiatan masyarakat

yang merusak ekosistem mangrove seperti melakukan penebangan mangrove untuk

dijual sebagai bahan dasar kayu arang. Akibat akitivitas sosial dan ekonomi masyarakat

di Pulau Bengkalis yang akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan secara

langsung maupun tidak langsung.

Selain dari aktivitas masyarakat yang mempengaruhi keberadaan mangrove juga

keberadaan pabrik arang yang terdapat di Pulau Bengkalis sangat mempengaruhi

berkurangnya luasan mangrove, dimana pabrik tersebut memproduksi arang yang

berbahan dasar dari batang pohon mangrove sehingga masyarakat melakukan

penebangan pohon mangrove yang akan dijual ke pabrik arang tersebut. Dari

wawancara yang dilakukan rehabilitasi mangrove juga dilakukan oleh masyarakat

disana namun mangrove yang ditanam sangat susah tumbuh karena pengaruh

gelombang yang cukup tinggi yang menghantam bibir pantai. Menurut pengakuan

warga bahwa wilayah yang tidak ditumbuhi mangrove cenderung mengalami abrasi

yang sangat tinggi bahkan dapat mencapai 15-20 meter per tahunnya.
83

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan analisis yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Luas mangrove di wilayah pesisir Pulau Bengkalis pada tahun 1997, 2004, dan

2020 secara berurutan sebesar 8.127 ha, 7.914 ha, dan 7.752 ha. Luasan vegetasi

mangrove di Pesisir Pulau Bengkalis mengalami penurunan setiap tahunnya dan

penurunan tertinggi pada tahun 1988-2004 yaitu sebesar 213 ha.

2. Hasil analisis survey lapangan menunjukkan bahwa mangrove di Pulau Bengkalis

memiliki kerapatan padat pada stasiun 1 dan kerapatan sedang pada stasiun 2.

3. Perhitungan perubahan garis pantai dengan menggunakan perangkat lunak dengan

metode tumpang susun pada Pulau Bengkalis pada tahun 1988-2020 mengalami

akresi dan abrasi. Abrasi tertinggi terjadi pada stasiun tiga yaitu dengan rata- rata

12,02 m/tahun dan abrasi terjadi pada stasiun 1 dengan rata-rata abrasi 2,87

m/tahun. Abrasi tertinggi terjadi tahun 2004-2020 dimana pesisir Pulau Bengkalis

terabrasi mencapai 1036 ha.

4. Dari analisis data baik kuantitatif maupun kualitatif diketahui bahwa mangrove

mempunyai peran penting dalam melindungi pantai dari faktor hidrooseanografi

seperti hantaman gelombang maupun arus yang dapat menyebabkan abrasi

penyebab mundurnya garis pantai.


5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk melakukan pengolahan data citra

dengan metode klasifikasi yang lain untuk membandingkan hasil akurasi data yang

lebih baik serta disarankan untuk menggunakan citra yang bersih dari awan supaya hasil

yang didapatkan lebih akurat dengan hasil saat melakukan Ground Check.
85

DAFTAR PUSTAKA

Amran, M. A. 1999. Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk Inventarisasi Hutan


Mangrove. Laboratorium Inderaja dan Sistem Informasi Kelautan. Jurusan
Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Ardiansyah. 2015. Pengolahan Citra Penginderaan Jauh Menggunakan Envi 5.1 dan
Envi Lidar. Pt. Labsig Inderaja Islim. Jakarta Selatan.

Arief, A. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis [BPS]. 2015. Kecamatan Bengkalis dalam
Angka 2015. Riau : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis.

Bengen, D. G. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisirr dan Laut Serta Prinsip
Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Insitut Pertanian
Bogor. Bogor.

Bokiraiya, L. 2013. Hubungan Indeks Vegetasi NDVI dan Koevisien Resesi Baseflow.
Jurnal Tekno Sains. 2(2):71-158.

Boruff, B. J., C. Emrich and S. L. Cutter. 2005. Erosion Hazard Vulnerability of US


Coastal Counties. Journal of Coastal Research. 21(5):932-942.

Camapbell, P. 2011. Integrated Model Of Water Colum Correction Technique for


Inproving Satelitte-Based Bhentic Habitat Mapping. Master Thesis. Faculty of
Geografhy Gadjah Mada University, Yogyakarta.

Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu, Jakarta : Pradnya Paramita.

Dahuri, R., J. Rais., S. G. Putra dan M. J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan


Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Danoedoro, P. 1996. Pengolahan Citra Digital: Teori dan Aplikasi dalam Bidang
Penginderaan.

Daruati, D. 2008. Penggunaan Citra Landsat 7ETM+ Untuk Kajian Penggunaan Lahan
DAS Cimanuk. LIMNOTEK. Bandung.

Dauhan, K., H. Tawas, H. Tangkudung Dan J. D. Mamoto. 2013. Analisis Karakteristik


Gelombang Pecah Terhadap Perubahan Garis Pantai Di Atep Oki. Jurnal Sipil
Static. 1(2) : 784-796.

Emran, A., Rob, M. A., Kabir, M. H., & Islam, M. N. (2016). Modeling spatio-temporal
shoreline and areal dynamics of coastal island using geospatial technique.
Modeling Earth Systems and Environment, 2(1), 4,
http://link.springer.com/10.1007/s40808-015-0060-z (January 26, 2017).

English, S., C. Wilkinson and V. Bake. 1994. Survey Manual For Tropical Marine
Resouces. ASEAN-Australia Marine Science Project : Living Caostal
Resources. Australia Institut Of Marine Scince. Townville, Australia. 363 pp.

Fadlan, M. 2011. Aktivitas Ekonomi Penduduk Terhadap Kerusakan Ekosistem


Mangrove Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan. Universitas
sumatera utara . Medan.

Fatima, S. 2010. Penentuan Kecepatan sedimentasi diwilayah pesisir, Pantai kecamatan


sungai serut Kota Bengkulu. skripsi UNIB.

Faturrohmah, S. dan B. Marjuki. 2017. Identifikasi Dinamika Spasial Sumberdaya


Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Demak Jawa Tengah. Majalah
Geografi Indonesia. 31(1): 56-64.

Ferreira, M. A., F. Andrade, S. O. Bandeira, P. Cardoso, R. N. Mendes and J. Paula.


2009. Analysis of cover change (1995-2005) of Tanzania/Mozambique
transboundary mangroves using landsat imagery. Aquatic Conservation: Mar.
Freshw. Ecosys., 19(S1): S38- S45.

Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). 2007. Cultured
Aquatic Species Information Programme Lates calcarifer (Block , 1790).
Fisheries and Aquaculture Department.

Giri, C. P., E. Ochieng, L. L. Tieszen, Z. Zhu, A. Singh, T. Loveland and N. Duke.


2007. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth
observation satellite data. Glob. Ecol. Biogeogr. 20(1):154-159.
Green, E. P., P. J. Mumbay, A. J. Edwards and C. D. Clark. 2000. Remote Sensing
Hand Book for Tropical Coastal Management. Unesco Publishing.
Guariglia, A., A. Buonamassa, A. Losurdo, R. Saladino, M. L. Trivigno. A. Zaccagnino.
2006. A Multisource Approach for Coastline Mapping and Identification of
Shoreline Changes. Annals of Geophysics, 295-304.

Hakim A. R., S. Sutikno, M. Fauzi. 2014. Analisis Laju Abrasi Pantai Pulau Rangsang
di Kabupaten Kepulauan Meranti dengan Menggunakan Data Satelit. Jurnal
Sains dan Teknologi. 13(2):57-62.

Harahab, N. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Dan Aplikasinya


Dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Hartini, S., G. B. Saputro, M. Yulianto dan Suprajaka. 2010. Assessing the Used of
Remote Sense Data for Mapping Mangroves Indonesia Iwate Prefectural
University. Jepang. Hal 210-215.

Hidayati, I. N. 2013. Praktikum Penginderaan Jauh Program Diploma. Universitas


Gadjah Mada.Yogyakarta.

Inman, D. L. 2002. Nearshore Processes. UC San Diego: Scripps Institution of


Oceanography.
Iriadenta, A. 2013. Degradation of coastal swamp ecosystem in subdistrict of Jorong
Tanah Laut Regency South Kalimantan. Fish Scientiae, 3(6):157- 170.
Irwanto. 2008. Hutan mangrove dan Manfaatnya. https://irwanto.info/files/manfaat
hutan mangrove.pdf. Diakses pada Agustus 2019.

Kartawinata. 1978. Status Pengetahuan Hutan Bakau di Indonesia. Prosiding Seminar


Ekosistem Mangrove. Jakarta.

Kordi, K. M. G. H. 2012. Ekosistem Mangrove Potensi, Fungsi dan Pengelolaan:


Rineka Cipta. Jakarta.

Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Penerbit Instirut Pertanian Bogor. Bogor.

Kusmana. C. 2003. Jenis Jenis Pohon Mangrove di Teluk Bintuni Papua.Fakultas


Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 64 hal.

Lilian A., 2014. Analisis Sedimen dan Perubahan Garis Pantai Utara Pulau Rangsand
Kabupaten Kepulauan Meranti. Universitas riau. 1(1): 1-15.

Lillesand, T.M., dan Kiefer, R.W., 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra
(Terjemahan) Jilid I, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Lillesand, T.M., dan Kiefer, R.W., 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra
(Terjemahan) Jilid II, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.

Mardianto, D. 2004. Profil Kawasan Pantai dan Pesisir Sebagai Informasi Dasar Potensi
dan Kendala Pengembangan Kegiatan Sektoral: Kasus di Yogyakarta,
Prosiding Simposium Interaksi Daratan dan Lautan. Jurnal Kedeputian Ilmu
Pengetahuan Kebumian, LIPI, Jakarta. 89-99.

Muryani, C., Ahmad, Nugraha, S., dan Utami, T., 2011.Model Pemberdayaan
Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pelestarian Hutan Mangrove di Pantai
Pasuruan Jawa Timur.Jurnal Manusia dan Lingkungan, 18(2)”75-84.

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Cetakan Keempat. Djambatan. Jakarta.

Noor, R.Y., M. Khazali dan I. N. N. Suryadiputra.1999. Panduan Pengenalan


Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor.

Pane, S. R., Mubarak dan Efriyeldi. 2018. Analisis Sebaran Mangrove Kecamatan
Bantan, Provinsi Riau Menggunakan Citra Satelit Landsat 8. Jurnal Online
Mahasiswa (JOM) Bidang Perikanan dan Ilmu Kelautan Vol 5.

Paryono, P. 2003. Pemodelan Citra Digital Perubahan Lingkungan Biogeofisik Wilayah


Pesisir Menggunakan Citra Landsat Thematic Mapper. Suatu Telaah Analitik
dan Fisik Lingkungan atas Kegiatan Pertambangan di Kabupaten Mimika
Papua. Disertasi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 191 hlm.

Poerbandono, A. dan E. Djunarsjah. 2005. Survey Hidrografi. Refika Aditama.


Bandung.

Purba, M., Jaya. I., 2004. Analisis Perubahan Garis Pantai dan Penutupan Lahan antara
Way Penet dan Way Sekampung, Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Ilmu-
Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 11, 109-121.

Purwanto Ajun (2013).Pemanfaatan citra landsat 8 untuk identifikasi normalized


difference vegetation index (NDVI) di kecamatan silat hilir kabupaten Kapuas
Hulu. Jurnal Edukasi, Vol. 13, No. 1, Juni 2015.

Putro, D. S., 2013. Cara Mendapatkan Citra Satelit Landsat 8. www. Citra satelit. com.
Diakses Pada 18 Oktober 2018.

Ramayanti, L. A., Yuwono, B. D. dan Awaluddin, M. 2015. Pemetaan Tingkat Lahan


Kritis dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi
(Studi Kasus Kabupaten Blora). Jurnal Geodesi Undip. 4 (2): 200- 207.
Ramadhan, R, A., Sandhyavitri, A., Fatnanta, F., Yazid, M., dan Mubarak, H., 2019.
Pemilihan Lokasi Penanganan Pantai Provinsi Riau Berdasarkan Analytical
Hierarchy Process. Jurnal Rab Construction Research, 4(2):91-105.

Rifardi. 2012. Ekologi Sedimen Laut Modern Edisi Revisi. Pekanbaru: UR Press. 182
hlm.

Rifdayati, P. Musrifin, G. Efriyeldi. 2018. Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra


Landsat di Kecamatan Rangsang Barat Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi
Riau. Skripsi, Fakultas Perikanan dan Kelautan Univrsitas Riau. Pekanbaru. 41
hlm.

Saprudin dan Halidah. 2012. Potensi dan Nilai Manfaat Jasa Lingkungan Hutan
Mangrove di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam 9(3): 213-219.

Setiawan, H., B. Sudarsono dan M. Awaluddin. 2013. Identifikasi Daerah Prioritas


Rehabilitasi Lahan Kritis Kawasan Hutan Dengan Penginderaan Jauh dan
Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus: Kabupaten Pati). Jurnal Geodesi
Undip. 2(3):31-41.

Setyawan, A. D., A. Susilowati dan Sutarno. 2002. Biodiversitas Genetik, Spesies dan
Ekosistem Mangrove di Jawa Petunjuk Praktikum Biodiversitas : Studi Kasus
Mangrove. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Sihombing, M., A. Agussalimb dan A. K. Affandi. 2017. Perubahan Garis Pantai


Menggunakan Citra Landsat Muti Temporal di Daerah Pesisir Sungai Bungin
Muara Sungai Banyuasin Sumatera Selatan. Jurnal Maspari. 9 (1): 35-40.

Sugiarto, D. P. 2013. Landsat 8 : Spesifikasi, Keunggulan dan peluang Pemanfaatan


Bidang Kehutanan. (Online). (http:// tnrawku. wordpress.
com/2013/06/12/landsat-8-spesifikasi keungulan dan peluang pemanfaatan
bidang kehutanan, diakses tanggal 18 Agustus 2019).

Sulaiman, A dan I. Soehardi. 2008. Pendahuluan Geomorfologi Pantai Kuantitatif.


BPPT. Jakarta.

Suryana, Y., H. S Nur dan E. Hilmi. 1998. Hubungan Antara Keberadaan Lebar Jalur
Mangrove dengan Kondisi Biofisik Ekosistem Mangrove. Fakultas Kehutanan
Universitas Winayamukti. Bandung.

Susilo, S. B. 2000. Penginderaan Jauh Terapan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sutanto, 2004. Penginderaan Jauh Jilid II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid I. Gadjah Mada University Press. . Yogyakarta.

Tirtakusumah, R. 2015. Pengelolaan Hutan Mangrove Jawa Barat dan Beberapa


Pemikiran untuk Tindak Lanjut. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove.
Jember.

Triatmodjo, B. 2008. Hidrologi Terapan. Beta Offset. Yogyakarta.

Triatmodjo. B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset, Yogyakarta.

Tuwo, A. 2011. Pengolahan Ekowisata Pesisir dan Laut. Penerbit Brilian Internasional.
Surabaya.

USGS. 2015. Landsat 8. http// Landsat. Usgs. Gav/ Landsat 8. Php. Diakses pada
tanggal 13 Maret 2019.

Wibisono, D. 2011. Manajemen Kinerja Perusahaan . Erlangga. Jakarta.

Widiadmoko, W. 2013. Pemantauan Kualitas Air Secara Fisika dan Kimia di Perairan
Teluk Hurun. Bandar Lampung: Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut
(BBPBL) Lampung.

Widodo, E. Y. W. 2014. Perubahan Kondisi Mangrove Antara Tahun 1999 - 2011 di


Pesisir Kecamatan Bungoro Kabupaten Pangkep. [Skripsi]. Jurusan Ilmu
Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.
Makassar.

Xu, H. (2006). Modification of normalised difference water index (NDWI) to enhance


open water features in remotely sensed imagery. International journal of remote
sensing, 27(14), 3025- 3033.

Yunhao, C. 2005. A Combined Approach for Estimating Vegetation CoverIn Urban/


Suburban Environments from Remotely Senser Data. Jurnal. Diunduh dari.
http://wwwsciencedirect.com/science/article/pii /S0098300405002 670 pada
tanggal 18 Oktober 2018.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
Lampiran 2. Peta Lokasi Titik Sampling
Lampiran 3. Alat yang Digunakan dalam Penelitian

Thermometer Meteran (100 m)

GPS Secchi disk


Kertas pH indicator Handrefraktometer

Lampiran 3. Lanjutan

Buku
Identifikasi
Lampiran 4. Transek dan Petakan Plot

A A

B B

10 m 10 m Laut
Darat
B

Keterangan :

A = Pohon Mangrove (10 x 10 m² )

B = Anakan Mangrove (5 x 5 m² )
(Bengen 2001).
Lampiran 5. Kerusakan Mangrove di Lokasi Penelitian

Pembukaan Lahan di Area Hutan Mangrove


Penebangan Pohon Mangrove

Lampiran 6. Dokumentasi Pengambilan Data Lapangan

Identifikasi Jenis Mangrove Pembuatan Tali Plot


Pengukuran Diameter Mangrove Pengamatan Lokasi Abrasi

Wawancara Nelayan Abrasi di Pulau Bengkalis

Pengukuran PKA Pengukuran Kemiringan Pantai

Lampiran 7. Kondisi Lokasi Penelitian


Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3
Lampiran 8. Data Mangrove Stasiun 2

JENIS CBH PHI DBH BA


S.0 18 3,1428 56,570 2514,405
27 3,1428 84,856 5657,412
27 3,1428 84,856 5657,412
22 3,1428 69,142 3756,087
25 3,1428 78,570 4850,319
26 3,1428 81,713 5246,105
37 3,1428 116,284 10624,138
31 3,1428 97,427 7457,850
22 3,1428 69,142 3756,087
35 3,1428 109,998 9506,624
27 3,1428 84,856 5657,412
31 3,1428 97,427 7457,850
29 3,1428 91,141 6526,589
35 3,1428 109,998 9506,624
34 3,1428 106,855 8971,149
38 3,1428 119,426 11206,176
19 3,1428 59,713 2801,544
26 3,1428 81,713 5246,105
116399,884
A.a 35 3,1428 109,998 9506,624
27 3,1428 84,856 5657,412
24 3,1428 75,427 4470,054
21 3,1428 65,999 3422,385
26 3,1428 81,713 5246,105
37 3,1428 116,284 10624,138
25,7 3,1428 80,770 5125,739
38 3,1428 119,426 11206,176
27 3,1428 84,856 5657,412
42 3,1428 131,998 13689,539
22 3,1428 69,142 3756,087
26 3,1428 81,713 5246,105
34,7 3,1428 109,055 9344,352
34 3,1428 106,855 8971,149
25 3,1428 78,570 4850,319
19 3,1428 59,713 2801,544
Lampiran 8.Lanjutan
32 3,1428 100,570 7946,762
27 3,1428 84,856 5657,412
24 3,1428 75,427 4470,054
25 3,1428 78,570 4850,319
18 3,1428 56,570 2514,405
19 3,1428 59,713 2801,544
41 3,1428 128,855 13045,417
38 3,1428 119,426 11206,176
33,4 3,1428 104,970 8657,314
18 3,1428 56,570 2514,405
27 3,1428 84,856 5657,412
29 3,1428 91,141 6526,589
185422,943
R.m 24 3,1428 75,427 4470,054
21 3,1428 65,999 3422,385
23,9 3,1428 75,113 4432,881
24 3,1428 75,427 4470,054
30 3,1428 94,284 6984,459
21 3,1428 65,999 3422,385
20 3,1428 62,856 3104,204
23,4 3,1428 73,542 4249,345
25 3,1428 78,570 4850,319
50 3,1428 157,140 19401,274
47 3,1428 147,712 17142,966
23 3,1428 72,284 4105,310
25 3,1428 78,570 4850,319
28 3,1428 87,998 6084,240
37 3,1428 116,284 10624,138
19 3,1428 59,713 2801,544
43 3,1428 135,140 14349,182
26 3,1428 81,713 5246,105
28 3,1428 87,998 6084,240
35 3,1428 109,998 9506,624
31 3,1428 97,427 7457,850
147059,873
X.g 29 3,1428 91,141 6526,589
Lampiran 8.Lanjutan
13 3,1428 40,856 1311,526
14 3,1428 43,999 1521,060
16,5 3,1428 51,856 2112,799
18,5 3,1428 58,142 2656,034
25 3,1428 78,570 4850,319
31 3,1428 97,427 7457,850
16,5 3,1428 51,856 2112,799
35 3,1428 109,998 9506,624
20 3,1428 62,856 3104,204
14 3,1428 43,999 1521,060
26 3,1428 81,713 5246,105
24 3,1428 75,427 4470,054
31 3,1428 97,427 7457,850
17 3,1428 53,428 2242,787
62097,658
E.a 17 3,1428 53,428 2242,787
24 3,1428 75,427 4470,054
21 3,1428 65,999 3422,385
22 3,1428 69,142 3756,087
26 3,1428 81,713 5246,105
total 19137,417
Lampiran 9. Data Mangrove Stasiun 1

JENIS CBH PHI DBH BA


A.m 17 3,1428 53,428 2242,787
18 3,1428 56,570 2514,405
15 3,1428 47,142 1746,115
36 3,1428 113,141 10057,620
38 3,1428 119,426 11206,176
31 3,1428 97,427 7457,850
25 3,1428 78,570 4850,319
27 3,1428 84,856 5657,412
23 3,1428 72,284 4105,310
34 3,1428 106,855 8971,149
36 3,1428 113,141 10057,620
25 3,1428 78,570 4850,319
35 3,1428 109,998 9506,624
28 3,1428 87,998 6084,240
26 3,1428 81,713 5246,105
34 3,1428 106,855 8971,149
37 3,1428 116,284 10624,138
22 3,1428 69,142 3756,087
32 3,1428 100,570 7946,762
19 3,1428 59,713 2801,544
21 3,1428 65,999 3422,385
26 3,1428 81,713 5246,105
total 137322,218

S.0 34 3,1428 106,855 8971,149


43 3,1428 135,140 14349,182
24 3,1428 75,427 4470,054
27 3,1428 84,856 5657,412
19 3,1428 59,713 2801,544
37 3,1428 116,284 10624,138
26 3,1428 81,713 5246,105
totoal 52119,583

R.a 41 3,1428 128,855 13045,417


33,5 3,1428 105,284 8709,232
42 3,1428 131,998 13689,539
24 3,1428 75,427 4470,054
51,5 3,1428 161,854 20582,812
33 3,1428 103,712 8451,195
Lampiran 9. Lanjutan
31 3,1428 97,427 7457,850
49 3,1428 153,997 18632,984
20 3,1428 62,856 3104,204
19 3,1428 59,713 2801,544
18 3,1428 56,570 2514,405
63 3,1428 197,996 30801,463
27,5 3,1428 86,427 5868,885
23 3,1428 72,284 4105,310
29 3,1428 91,141 6526,589
33 3,1428 103,712 8451,195
66 3,1428 207,425 33804,780
50 3,1428 157,140 19401,274
47 3,1428 147,712 17142,966
23 3,1428 72,284 4105,310
34 3,1428 106,855 8971,149
15 3,1428 47,142 1746,115
14 3,1428 43,999 1521,060
19 3,1428 59,713 2801,544
30 3,1428 94,284 6984,459
21 3,1428 65,999 3422,385
20 3,1428 62,856 3104,204
24 3,1428 75,427 4470,054
21 3,1428 65,999 3422,385
20 3,1428 62,856 3104,204
24 3,1428 75,427 4470,054
30 3,1428 94,284 6984,459
21 3,1428 65,999 3422,385
20 3,1428 62,856 3104,204
25 3,1428 78,570 4850,319
25 3,1428 78,570 4850,319
14 3,1428 43,999 1521,060
302417,360
R.m 38,5 3,1428 120,998 11503,015
27 3,1428 84,856 5657,412
29 3,1428 91,141 6526,589
36 3,1428 113,141 10057,620
32 3,1428 100,570 7946,762
34,5 3,1428 108,427 9236,947
35 3,1428 109,998 9506,624
36,5 3,1428 114,712 10338,939
32 3,1428 100,570 7946,762
Lampiran 9. Lanjutan
33,5 3,1428 105,284 8709,232
15 3,1428 47,142 1746,115
34,5 3,1428 108,427 9236,947
40,5 3,1428 127,283 12729,176
33 3,1428 103,712 8451,195
33 3,1428 103,712 8451,195
42 3,1428 131,998 13689,539
30 3,1428 94,284 6984,459
34 3,1428 106,855 8971,149
28 3,1428 87,998 6084,240
17 3,1428 53,428 2242,787
24 3,1428 75,427 4470,054
31 3,1428 97,427 7457,850
23 3,1428 72,284 4105,310
total 182049,915
A.a 14 3,1428 43,999 1521,060
15 3,1428 47,142 1746,115
24 3,1428 75,427 4470,054
23 3,1428 72,284 4105,310
27 3,1428 84,856 5657,412
23 3,1428 72,284 4105,310
16 3,1428 50,285 1986,690
14 3,1428 43,999 1521,060
26 3,1428 81,713 5246,105
28 3,1428 87,998 6084,240
34 3,1428 106,855 8971,149
23 3,1428 72,284 4105,310
14 3,1428 43,999 1521,060
40 3,1428 125,712 12416,815
35 3,1428 109,998 9506,624
44 3,1428 138,283 15024,347
24 3,1428 75,427 4470,054
14 3,1428 43,999 1521,060
16 3,1428 50,285 1986,690
26 3,1428 81,713 5246,105
29 3,1428 91,141 6526,589
14 3,1428 43,999 1521,060
26 3,1428 81,713 5246,105
28 3,1428 87,998 6084,240
34 3,1428 106,855 8971,149
23 3,1428 72,284 4105,310
Lampiran 9. Lanjutan
14 3,1428 43,999 1521,060
14 3,1428 43,999 1521,060
35 3,1428 109,998 9506,624
26 3,1428 81,713 5246,105
total 151461,866
Lampiran 10. Data Anakan Mangrove Stasiun 1 dan Stasiun 2

Jenis CBH PHI DBH BA


R.a 3,1 3,1428 9,743 74,578
3,6 3,1428 11,314 100,576
3,4 3,1428 10,686 89,711
4 3,1428 12,571 124,168
3,5 3,1428 11,000 95,066
4,2 3,1428 13,200 136,895
total 620,996
A.a 3,2 3,1428 10,057 79,468
3,1 3,1428 9,743 74,578
3,8 3,1428 11,943 112,062
4 3,1428 12,571 124,168
4,9 3,1428 15,400 186,330
7,8 3,1428 24,514 472,149
4,2 3,1428 13,200 136,895
6,2 3,1428 19,485 298,314
total 1483,965
A.m 5,6 3,1428 17,600 243,370
4,6 3,1428 14,457 164,212
3,3 3,1428 10,371 84,512
3,8 3,1428 11,943 112,062
4,6 3,1428 14,457 164,212
5,2 3,1428 16,343 209,844
7,1 3,1428 22,314 391,207
total 1369,42
stasiun 2

S.0 4,1 3,1428 12,885 130,454


5,7 3,1428 17,914 252,139
8 3,1428 25,142 496,673
5,4 3,1428 16,971 226,296
4,7 3,1428 14,771 171,430
total 1276,992
A.a 6,2 3,1428 19,485 298,314
5,1 3,1428 16,028 201,851
4,8 3,1428 15,085 178,802
5,7 3,1428 17,914 252,139
4,8 3,1428 15,085 178,802
Lampiran 10. Lanjutan
4,7 3,1428 14,771 171,430
5,1 3,1428 16,028 201,851
total 1483,189
X.g 7 3,1428 22,000 380,265
6,2 3,1428 19,485 298,314
6 3,1428 18,857 279,378
5,2 3,1428 16,343 209,844
4 3,1428 12,571 124,168
5 3,1428 15,714 194,013
7,1 3,1428 22,314 391,207
5,7 3,1428 17,914 252,139
total 2129,329
R.m 4 3,1428 12,571 124,168
4,5 3,1428 14,143 157,150
7,1 3,1428 22,314 391,207
6 3,1428 18,857 279,378
7,7 3,1428 24,200 460,121
7,5 3,1428 23,571 436,529
5,4 3,1428 16,971 226,296
total 2074,85
Lampiran 10. Grafik Perubahan Luas Mangrove 1988-2020

Periode Tahun 1988 - 2020


8200
8127
Dinamika Luas Mangrove (Ha)

8000
7914

7800
7752

7600

7400
1988 2004 2020
Lampiran 11. Daftar Pertanyaan Wawancara

1. Apakah yang menyebabkan kerusakan mangrove di Pulau Bengkalis ?

2. Apakah masyatakat di Lokasi ini pernah atau membuat usaha dengan menggunakan

lahan hutan mangrove atau disekitar lahan mangrove?

3. Menurut saudara/i apakah kegiatan Masyarakat berpengaruh terhadap kondisi

mangrove?

4. Sejak saudar/i tinggal di daerah ini, adakah perubahan garis pantai seperti semakin

dekatnya air laut ke daratan?

5. Adakah pengaruh kegiatan wisata terhadap kondisi lingkungan di Pantai?

6. Adakah perubahan kondisi fisik hutan mangrove dulu dengan yang sekarang,

menurut yang saudara amati dan lihat ?

7. Bagaimana pengaruh aktivitas masyarakat terhadap keberadaan Mangrove ?

8. Bagaimana keadaaan gelombang di Pulau Bengkalis ?

9. Seberapa besar pengurangan daratan yang diakibatkan gelombang ?

10. Menurut yang diketahui apakah bagaimana peran masyarakat atau pemerintah

terhadap rehabilitasi mangrove saat ini ?

Anda mungkin juga menyukai