Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MATA KULIAH

DASAR- DASAR ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

MAKALAH
HUTAN MANGROVE DI INDONESIA: KERUSAKAN
AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA DAN PENGELOLAANNYA

Oleh:
Riftiani Nikmatul Nurlaili
NIM. S021902051

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hutan Indonesia merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati di
dunia, dan Indonesia merupakan urutan ketiga dari tujuh negara yang disebut
Megadiversity Country. Hutan merupakan tempat berkembangnya berbagai
flora dan fauna, sehingga interaksi dari komponen-komponen yang terdapat
dalam ekosistem hutan terus berjalan. Berdasarkan ekosistem hutan, di
Indonesia terdapat hutan mangrove atau bakau. Hutan mangrove adalah hutan
yang berkembang di daerah pantai yang berair tenang dan terlindung dari
hempasan ombak, serta eksistensinya bergantung kepada adanya aliran air laut
dan aliran sungai (Pramudji, 2000). Komponen flora hutan mangrove, sebagian
besar berupa jenis-jenis pohon yang keanekaragamannya lebih kecil dan
mudah dikenali bila dibandingkan dengan hutan darat. Sedangkan komponen
faunanya, sebagian besar adalah kelompok avertebrata, dan hidup dalam
ekosistem mangrove, namun sebagian kecil dari biota tersebut juga hidup di
ekosistem sekitar perairan mangrove.
Berdasarkan pada data FAO (2007), 19% luas hutan mangrove di dunia
terdapat di Indonesia. Hutan mangrove di Indonesia menurut catatan yang
diungkapkan oleh Darsidi (1987), luasnya adalah sekitar 4.250.000 hektar,
namun estimasi ini masih tergolong tinggi bila dibandingkan dengan yang
diungkapkan oleh Hartati (2016) dengan luas 3.500.000 hektar. Perbedaan luas
ini, kemungkinan disebabkan karena dalam jangka waktu lebih 29 tahun, telah
terjadi konversi hutan mangrove untuk kegiatan tambak atau pembangunan
lainnya, sehingga luas areal hutan mangrove berkurang drastis. Hutan
mangrove merupakan daerah yang sangat penting bagi masyarakat karena
secara langsung mangrove dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan hidup
mereka, misalnya untuk kayu bakar, kayu bangunan, arang bahkan dapat
dimanfaatkan sebagai obat-obatan khusus dari jenis Nypa fruticans sebagai
sumber gula, alkohol maupun cuka (Rahman, 1991). Secara ekologis, hutan
mangrove mempunyai berbagai macam peranan yang cukup besar antara lain
sebagai sumber nutrsi, pelindung pantai, dan penyedia kubutuhan manusia
(Pramudji, 2000).
Peranan mangrove yang cukup penting bagi ekologi perairan di sekitarnya
adalah didasarkan kepada produksi bahan organik yang berupa serasah dan
seterusnya dapat mendukung kelestarian berbagai macam kehidupan hewan
aquatik. Serasah yang merupakan hasil tumpukan mangrove merupakan
sumber utama karbon dan nitrogen yang sangat diperlukan oleh ekosistem
mangrove itu sendiri, maupun ekosistem perairan di sekitar hutan mangrove.
Pramudji (2000) menyatakan, bahwa serasah yang mulai terurai (membusuk)
mengandung 3,1% protein dan setelah satu tahun, kandungan ini meningkat
menjadi 21%. Dengan demikian, biota pemangsa partikel, seperti zooplankton,
larva ikan, kerang, dan udang memperoleh makanan yang berprotein tinggi.
Ekosistem hutan mangrove dijadikan sebagai sasaran manusia untuk
dijadikan berbagai macam aktivitas, baik itu secara langsung maupun tidak
langsung. Eksploitasi yang berlebihan terhadap hutan mangrove yang
diperlukan untuk keperluan kayu, kayu bakar, kertas, arang maupun yang
diperuntukkan sebagai lahan pertanian, pertambakan, penambangan, dan
pemukiman (Hartati, La harudu, 2016). Semua aktivitas manusia dalam
menggunakan areal mangrove berkaitan dengan tingginya populasi dan
rendahnya tingkat perekonomian setempat. Hal ini seperti kerusakan hutan
mangrove di wilayah Pesisir Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara, kerusakan
hutan mangrove dari tahun 2000-2010 mencapai 687,3 hektar, dengan kondisi
kerusakan total tanpa ada vegetasi mangrove lagi seluas 551,5 hektar (Baderan,
2017). Sedangkan menurut Hartati (2016) kerusakan hutan mangrove pada
Kelurahan Lowu-Lowu Kecamatan Lea-Lea Kota Bauba, faktor utama
kerusakan akibat adanya penebangan vegetasi mangrove untuk dijadikan
sebagai kayu bakar dan bahan bangunan seperti rumah dan jembatan oleh
masyarakat sekitar. Pada hutan mangrove di wilayah Lalombi Kecamatan
Banawa Selatan kabupaten Donggala, jumlah penurunan luas hutan mangrove
dari tahun 2011-2015 mencapai 57,74% atau dari semula 71 Ha menjadi 30 Ha
diakibatkan karena aktivitas penduduk setempat untuk membuka pemukiman
dan pertambakan (Ishak dan Iwan, 2015).
Dampak dari kerusakan hutan mangrove terhadap kelestarian daerah
perairan pesisir, akan menyebabkan beberapa komponen biota yang hidup
diperairan sekitar hutan mangrove akan punah. Selain itu, dampak dari tebang
habis mangrove akan menyebabkan terjadinya abrasi secara intensif di
sepanjang pantai, dan permudaan alami umumnya tidak berjalan dengan baik,
sehingga akan menimbulkan penurunan nilai hutan. Adapun uraian di atas,
maka akan dibahas kerusakan hutan mangrove akibat dari aktivitas manusia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang makalah ini, adapun rumusan masalah yaitu:
1. Apa yang dimaksud hutan mangrove?
2. Apa saja penyebab kerusakan hutan mangrove?
3. Apa dampak dari kerusakan hutan mangrove?
4. Bagaimana cara pengelolaan hutan mangrove?

C. Tujuan Makalah
Pada makalh ini, tujuan dalam membuat makalah yaitu:
1. Untuk mengetahui tentang hutan mangrove.
2. Untuk mengetahui penyebab kerusakan hutan mangrove.
3. Untuk mengetahui dampak dari kerusakan hutan mangrove.
4. Untuk mengetahui cara pengelolaan hutan mangrove.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hutan Mangrove
Menurut Macnae (1968) menyatakan bahwa kata mangrove merupakan
perpaduan antara bahasa Portugis “mangue” dan bahasa Inggris “grove”.
Sementara itu, menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa
Melayu kuno “mangi- mangi” yang digunakan untuk menerangkan marga
Avicennia dan masih digunakan sampai saat ini di Indonesia bagian timur.
Beberapa ahli mendefinisikan istilah mangrove secara berbeda- beda, namun
pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Tomlinson (1986) dan Wighman
(1989) mendefinisikan mangrove baik sebagai tumbuhan yang terdapat di
daerah pasang surut maupun sebagai komunitas. Mangrove juga didefinisikan
sebagai formasi tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan
sub tropis yang terlindungi. Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah
kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai
sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang
mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah
anaerob.
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya
kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup
dengan lingkungannya. Dalam kaitan tersebut, diantara makhluk hidup itu
sendiri terdapat di wilayah pesisir yang berpengaruh terhadap pasang surut air
laut dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu
tumbuh dalam perairan yang asin atau payau (fitriadi, 2004). Secara ringkas
ekosistem mangrove didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari
organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor
lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove. Maka Saenger dkk (1983)
dalam, mengusulkan agar di dalam definisi tersebut, ekosistem hutan mangrove
harus mencakup empat hal, yakni:
1. Memiliki satu atau lebih jenis pohon mangrove yang khas.
2. Setiap jenis pohon yang tidak khas tumbuh bersama jenis pohon yang
khas.
3. Terdapat biota di dalamnya seperti hewan daratan atau laut, lumut kerak,
cendawan, ganggang, bakteri dan lainnya yang hidup menetap atau
sementara di daerah tersebut.
4. Terjadi proses-proses yang penting untuk mempertahankan ekosistem ini
baik yang ada di daerah bervegetasi atau d luarnya.
Berdasarkan teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ekosistem hutan
mangrove merupakan tumbuhan yang habitatnya tumbuh dan berkembang di
daerah pesisir yang salinitasnya tinggi serta mampu mencerminkan hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Menurut Saparinto (2007), hutan mangrove secara fisik dapat berfungsi
menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai dari
proses abrasi, meredam dan menahan hempasan badai tsunami, sebagai
kawasan penyangga proses intrusi, atau rembesan air laut ke darat. Fungsi
kimia, sebagai proses daur yang menghasilkan oksigen dan menyerap karbon
dioksida, sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri, dan
kapal- kapal di lautan. Fungsi biologi, merupakan penghasil decomposer,
spawning ground atau nursery ground bagi udang, kepiting, kerang, sebagai
kawasan berlindung, bersarang serta berkembang biak bagi burung dan satwa
lain, sebagai sumber plasma nutfah, sebagai habitat alami bagi berbagai jenis
biota darat dan laut lainnya. Fungsi sosial ekonomi, penghasil bahan bakar,
bahan baku industri, obat- obatan, perabot rumah tangga, kosmetik, makanan,
tekstil, lem, penyamak kulit, penghasil bibit atau benih ikan, udang, kerang,
kepiting, dan sebagai kawasan wisata, konservasi, pendidikan, dan penelitian.

B. Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove


Kerusakan mangrove selain faktor alamiah (bio-fisik) juga disebabkan
oleh adanya aktivitas manusia. Menurut Pramudji (2000) kerusakan hutan
mangrove yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dalam hal eksploitasi
berlebihan dengan melakukan perubahan atau konversi hutan mangrove
menjadi beberapa hal, seperti:
1. Konversi Mangrove sebagai Tempat Pemukiman
Seiring dengan meningkatnya populasi dan pesatnya pembangunan di
berbagai wilayah provinsi, maka kebutuhan akan tempat tinggal juga
meningkat. Akan tetapi, terbatasnya tanah untuk pemukiman khususnya di
wilayah yang berpenduduk padat, maka masyarakat cenderung melihat
hutan mangrove dan menggunakan untuk mendirikan rumah. Misalnya di
daerah Pantai Poso, Batu Koneng dan Gandala (Ambon), Daerah Sidangoli
(Halmahera) sudah disulap menjadi daerah pemukiman, fasilitas umum,
dan dermaga (Pramudji, 1999). Selain itu, faktor utama yang menyebabkan
kerusakan hutan mangrove di Kelurahan Lowu-Lowu Kecamatan Lea-Lea
Kota Baubau, adalah adanya kegiatan penebangan vegetasi mangrove serta
digunakan sebagai kayu bakar dan bahan seperti rumah dan jembatan oleh
masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan mangrove (Hartati,
2016).
Kejadian serupa juga terjadi di wilayah Pesisir Kwandang Kabupaten
Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo, dimana perubahan luasan mangrove
diakibatkan karena mengalih fungsikan kawasan mangrove menjadi
pemukiman seluas sekitar 36,53 hektar. Perhitungan luas wilayah
mangrove menggunakan citra satelit dengan membandingkan hasil dari
tahun 2000 dan tahun 2010. Selanjutnya, melihat perbandingan dari 2 citra
dan didapatkan hasil kawasan mangrove mengalami penurunan yang
signifikan.
Berdasarkan hasil penelitian Ishak dan Iwan (2014), di wilayah
Lalombi Kecamatan Banawa Selatan, Donggala, kerusakan hutan
mangrove juga terjadi akibat aktivitas penduduk setempat untuk
menjadikan sebagai pemukiman. Luas wilayah pemukiman meningkat
sekitar 2 hektar dari tahun 2010 ke tahun 2014. Masyarakat secara terpaksa
membuka hutan mangrove dikarenakan meningkatnya pertumbuhan
penduduk Desa Lalombi sekiar 0,12%.
2. Konversi Mangrove untuk Kegiatan Penambangan
Penambangan di kawasan pesisir khususnya daerah hutan mangrove,
akan mengakibatkan kerusakan total, sedangkan penambangan di luar
hutan mangrove dapat menimbulkan berbagai macam masalah. Kegiatan
penambangan sering pula dikaitkan dengan proses pengilangan hasil
tambang. Misalnya yang terjadi pada Ishak dan Iwan (2014), di wilayah
Lalombi Kecamatan Banawa Selatan, Donggala, kerusakan hutan
mangrove juga terjadi akibat aktivitas penduduk setempat untuk
menjadikan sebagai pemukiman. Luas wilayah pemukiman meningkat
sekitar 2 hektar dari tahun 2010 ke tahun 2014.
3. Konversi Mangrove Menjadi Lahan Pertanian dan Pertambakan
Konversi lahan mangrove yang diperuntukan sebagai lahan pertanian
dan pertambakan dapat dijumpai di beberapa wilayah, misalnya di pantai
utara jawa, pantai selatan Pulau Bali, pantai barat Pulau Lombok, pantai
Ujung Pandang Sulawesi, Banjarmasin (Kalimantan), dan Palembang
(Sumatera) (Pramudji, 2000). Selain itu, menurut Baderan (2017), di
wilayah Pesisir Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi
Gorontalo, selama tahun 2000-2010 jumlah luas hutan mangrove yang
digunakan sebagai pertanian seluas 179,43 hektar dan pertambakan seluas
395,10 hektar. Hal ini disebabkan karena masyarakat membangun tambak
hanya dengan modal dana dari pemerintah sedangkan tidak memiliki
wilayah untuk dijadikan tambak sehingga mereka menggunakan hutan
mangrove.
Konversi hutang mangrove menjadi tambak juga terjadi di Desa
Lalombi, perubahan yang terjadi sangat signifikan dimana pada tahun
2010 luas tambak 249,3 hektar atau 17,74% dari luas Desa lalombi
sedangkan pada tahun 2014 meningkat menjadi 285,3 hektar atau 20,3%
dari total luas desa Lalombi. Total luas tambak pada desa tersebut
meningkat sekitar 36 hektar dalam kurun waktu empat tahun terakhir.
Konversi hutan mangrove menjadi tambak yang terjadi di Desa Lalombi,
tidak lagi dilakukan secara tradisional akan tetapi menggunakan alat berat
(escavator) sehingga pembukaan lahan menjadi tambak meningkat secara
intensif.
4. Pencemaran di Hutan Mangrove
Pencemaran yang terjadi baik di laut maupun di daratan dapat
mencapai kawasan mangrove, karena habitat ini merupakan ekoton antara
laun dan daratan (Setyawan, 2006). Bahan pencemar seperti minyak,
sampah, dan limbah industri dapat menutupi akar mangrove sehingga
mengurangi kemampuan respirasi dan osmoregulasi tumbuhan mangrove,
dan pada akhirnya menyebabkan kematian. Pertumbuhan penduduk yang
tinggi dan meningkatnya kegiatan pembagunan di pesisir bagi berbagai
peruntukkan menyebabkan terjadinya tekanan ekologis terhadap ekosistem
pesisir khususnya ekosistem mangrove. Meningkatnya tekanan ini akan
berdampak terhadap kerusakan hutan mangrove, dikarenakan secara tidak
langsung limbah dari berbagai kegiatan pembangunan pelabuhan akan
terjebak di mangrove dan mencemarinya. Di pesisir pantai Rembang
bahan pencemar yang umum dijumpai di kawasan mangrove adalah
sampah domestik, seperti lembaran plastik, sisa- sisa tali dan jaring, botol,
kaleng, dan lain sebagainya (Setyawan, 2006).
Hidrokarbon dan penambangan minyak di areal hutan mangrove
adalah salah satu polutan yang telah mendapatkan perhatian berbagai
kalangan dunia pengetahuan (Pramudji, 2000). Apabila bahan pencemar
yang terperangkap pada perakaran tumbuhan mangrove cukup banyak,
polutan hidrokarbon tersebut akan menyebabkan kematian dan bahkan
musnahnya sumberdaya mangrove. Peristiwa yang pernah terjadi akibat
tumpahan minyak dari kapal tanker yang menabrak batu karang di perairan
dekat wilayah Cilacap, Jawa Tengah pada tahun 2000 (Pramudji, 2000).

C. Dampak Kerusakan Hutan Mangrove


Kondisi hutan mangrove sampai saat ini sedang mengalami tekanan yang
berat akibat dari adanya pemanfaatan dan pengelolaan yang kurang
memperhatikan aspek kelestariannya. Tuntutan dari pembangunan ekonomi
yang mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik seperti konversi hutan
mangrove untuk pengembangan kota, pantai, pelabuhan, pemukiman baru,
perluasan tambak, dan lahan pertanian yang telah membuktikan bahwa terjadi
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya menyebabkan
terjadinya kerusakan ekosistem mangrove. Beberapa dampak dari kerusakan
hutan mangrove dapat dilihat dari tabel hasil penelitian oleh Hartati (2016):
Tabel 2.1 Dampak Potensial Kerusakan Hutan Mangrove Akibat Aktivitas
Manusia
No. Kegiatan Dampak Potensial Kerusakan
1. Tebang habis tumbuhan Terjadinya perubahan komposisi tumbuhan,
mangrove yaitu pohon mangrove akan digantikan oleh
spesies yang nilai komersialnya rendah dan
hutan mangrove yang ditebang habis tidak
lagi berfungsi sebagai daerah mencari
makanan dan daerah pengasuhan yang
optimal pada berbagai macam ikan dan
udang.
2. Pengalihan aliran air Menurunnya tingkat kesuburan hutan
tawar, misalnya pada mangrove karena pasokan zat-zat hara
pembangunan irigasi melalui aliran air tawar berkurang.
3. Konversi menjadi lahan Mengakibatkan terjadinya pencemaran laut
pertanian dan perikanan oleh bahan-bahan pencemar yang sebelum
hutan mangrove dikonversi dapat diikat
oleh substrat hutan mangrove, mengancam
regenerasi persediaan ikan dan udang di
perairan pertanian, perikanan, lepas pantai
yang memerlukan hutan mangrove sebagai
nusery ground larva dan stadium muda ikan
dan udang, pendangkalan perairan pantai
karena pengendapan sedimen yang sebelum
hutan mangrove dikonversi mengendap di
hutan mangrove, dan erosi garis pantai
yang sebelumnya ditumbuhi mangrove.
4. Pembuangan sampah Mengakibatkan terjadinya penurunan
cair (sewage) kandungan oksigen terlarut dalam air,
bahkan dapat terjadi keadaan anoksik
dalam air sehingga bahan organik yang
terdapat dalam sampah cair mengalami
dekomposisi anaerobik yang antara lain
menghasilkan hidrogen sulfida dan amonia
yang kedua merupakan racun bagi
organisme hewani dalam air.
5. Pembuangan sampah Mengakibatkan terjadinya perembesan
padat bahan-bahan pencemar dalam sampah
padat yang kemudian larut dalam air ke
perairan di sekitar pembuangan sampah dan
kemungkinan terlapisnya pneumotafora
dengan sampah yang akan mengakibatkan
kematian pohon-pohon mangrove.
6. Pencemaran minyak Mengakibatkan terjadinya kematian pohon-
pohon mengrove akibat terlapisnya
pneumatofora oleh lapisan minyak.
7. Penambangan dan ekstra Mengakibatkan terjadinya kerusakan total
mineral ekosistem hutan mangrove dilokasi
penambangan dan ekstra mineral yang
dapat mengakibatkan musnahnya daerah
asuhan bagi larva dan bentuk-bentuk
juvenile ikan dan udang yang komersil
penting di lepas pantai, dan dengan
demikian mengancam regenerasi ikan dan
udang tersebut
Dari semua dampak aktivitas manusia terhadap keberlangsungan hidup
mangrove tersebut, akan mengakibatkan tidak berjalannya fungsi dari
mangrove sendiri. Fungsi tersebut berupak fungsi fisik, biologi, kimia, sosial
ekonomi, penelitian dan pendidikan.

D. Cara Mengelola Hutan Mangrove


Perlindungan hutan mangrove merupakan hal yang penting dilakukan
mengingat mangrove memiliki manfaat yang luas ditinjau dari aspek fisik,
kimia, biologi, dan sosial ekonomi.
Kegiatan dalam rangka untuk mengelola sumber daya hutan mangrove, alam,
dan ekosistemnya, menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1990 harus
dilaksanakan atas dasar kebijaksanaan yang dituangkan dalam strategi
konservasi alam indonesia yang berdasarkan atas tiga prinsip, yakni:
1. Perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan dengan menjamin
terpeliharanya proses ekologi bagi kelangsungan pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat.
2. Pengawetan keanekaragaman sumberdaya plasma nutfah dengan
menjamin terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi
kepentingan umat manusia.
3. Pelestarian pemanfaatan baik jenis maupun ekosistemnya dengan
mengatur dan mengendalikan cara-cara pemanfaatan yang lebih bijaksana,
sehingga diperoleh manfaat yang optimal dan kesinambungan.
Mengingat adanya berbagai fungsi dan peranan hutan mangrove serta
banyaknya permasalahan yang timbul sebagai akibat pemanfaatan lahan
mangrove, maka dalam pengelolaan mangrove perlu ada pemikiran sebagai
berikut:
1. Melakukan reboisasi hutan bakau dalam rangka mengembalikan fungsi
hutan bakau seperti semula. Menurut Setyawan (2006), hutan mangrove
yang rusak dapat melakukan penyembuhan sendiri melalui suksesi
sekunder dalam periode 15-30 tahun, dengan syarat sistem hidrologi
pasang- surut tidak berubah, dan tersedia biji atau bibit. Menurut Field
(1998), ada tiga metode pendekatan merehabilitasi hutan bakau
berdasarkan tujuannya, yaitu:
a. Metode konservasi dan pembentukan bentang lahan bertujuan
mengembalikan nilai konservasi atau bentuk lahan suatu wilayah.
b. Metode sistem multiguna untuk kelestarian hasil. Pendekatan ini hanya
dilakukan jika degradasi hutan bakau telah mempengaruhi kegunaan
lahan.
c. Metode perlindungan daerah pesisir berupa penanaman hutan bakau di
daerah yang rawan badai, angin ribut, pasang surut, dan erosi untuk
menjaga kestabilan lahan dan perlindungan pantai.
Dalam rangka menjaga kelangsungan suksesi alami, tanah- tanah timbul
seperti delta di daerah muara sungai yang ditumbuhi tumbuhan mangrove
hendaknya dibiarkan berkembang menjadi hutan mangrove. Hal ini juga
termasuk dalam memberikan lapangan bagi nelayan.
2. Demi mempertahankan fungsi dan peranan hutan mangrove terhadap
ekosistem perairan disekitarnya, maka konversi areal hutan mangrove
yang diperuntukkan sebagai usaha budidaya, dilakukan studi kelayakan
secara seksama, untuk memperleh kepastian bahwa areal hutan mangrove
tersebut cocok untuk budidaya.
3. Dalam rangka menjaga kelangsungan dinamika kehidupan biota laut yang
berasosiasi dengan hutan mangrove dan sebagai perwujudan strategi
konservasi ekosistem hutan mangrove, maka areal mangrove yang sudah
mengalami kerusakan seyogyanya dijadikan daerah suaka alam.
Selanjutnya, hutan mangrove dapat diberikan status peruntukan
berdasarkan urutan prioritas, misalnya hutan lindung, hutan produksi atau
hutan wisata sesuai dengan ekosistem setempat
4. Seluruh kebijaksanaan yang menyangkut pemanfaatan areal hutan
mangrove untuk kegiatan budidaya yang telah disepakati, harus didukung
dan dengan perundangan- undangan yang memadai dan sejalan dengan
sektor terkait. Selain itu, diperlukan petugas yang secara rutin melakukan
kontrol terhadap ekosistem hutan mangrove.
5. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran kepada masyarakat akan nilai
ekologis, ekonomis, dan sosial serta manfaat dan fungsi dari hutan
mangrove secara berkelanjutan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan tentang kerusakan hutan mangrove akibat
aktivitas manusia, maka dapat ditarik kesimpulan:
1. Hutan mangrove adalah hutan yang berkembang di daerah pantai yang
berair tenang dan terlindung dari hempasan ombak, serta eksistensinya
bergantung kepada adanya alira air laut dan aliran sungai.
2. Kerusakan hutan mangrove akibat aktivitas manusia diakibatkan karena
koversi hutan menjadi tempat pemukiman, penambangan, pertanian dan
pertambakan, dan adanya pencemaran.
3. Dampak dari kerusakan hutan mangrove menyebabkan hilangnya
komunitas mangrove serta mengakibatkan terjadinya proses abrasi, dan
badai tsunami.
4. Pengelolaan yang bisa dilakukan dengan melakukan reboisasi,
menjadikan wilayah suaka alam, memberlakukan peraturan tentang hutan
mangrove, dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya
hutan mangrove.

B. Saran
Saran kepada pihak yang berwenang untuk membuat peraturan yang
lebih ketat dalam melindungi hutan mangrove, selain itu membentuk pihak
khusus yang dapat melakukan patroli secara rutin dalam menjaga hutan
mangrove.
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, A.A., dkk. 2017. Erosi pantai, ekosistem hutan bakau dan adaptasi
masyarakat terhadap bencana kerusakan pantai di negara tropis. Jurnal Ilmu
Lingkungan. XV (01): 1-10.

Alimuna, W., Sunarto, Sigit Herumurti. 2009. Pengaruh aktivitas masyarakat


terhadap kerusakan hutan mangrove di Raworatu Utara, Bombana Sulawesi
Tenggara. Jurnal majalah geografi Indonesia. XXIII (02): 142-153.

Baderan, D.W.K. 2017. Distribusi spasial dan luas kerusakan hutan mangrove di
wilayah Pesisir Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo.
Jurnal GeoEco. III(01): 1-8.

Darsidi, A. 1987. Perkembangan pemanfaatan hutan mangrove di Indonesia.


Proseding Seminar III Ekosistem Mangrove MAB-LIPI. 27-37.

FAO. 2007. The World’s Mangroves 1980-2005. Italy.

Field, C.D. 1998. Rehabilitation og mangrove ecosystems: an overview. Marine


pollution bulletin. XXXVII (8-12): 383-392.

Fitriadi. 2004. Peran Pemerintah dan Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi


Hutan Mangrove di Kecamatan Pemangkal Kabupaten Sambas Kalimantan
Barat [Thesis]. Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.

Hartati, La harudu. 2016. Identifikasi jenis-jenis kerusakan ekosistem hutan


mangrove akibat aktivitas manusia di Kelurahan Lowu-Lowu Kecamatan
Lea-Lea Kota Baubau. Jurnal Penelitian Pendidikan Geografi. I(1): 30-45.

Hidayatullah, M. 2008. Rehabilitasi lahan dan hutan di Nusa Tenggara Timur.


Jurnal Info Hutan. V (1): 17-24.

Ishak, Iwan Alim Saputra. 2015. Pengaruh aktivitas penduduk terhadap kerusakan
hutan mangrove di Desa Lalombi Kecamatan Banawa Selatan. Jurnal Geo
Tadulako. III (06): 52-63.

Macnae, W. 1966. Mangroves in Eastern and Southern Australia. Aust. J. Bot.


(14) 67-107.

Mastaller, M. 1997. Mangrove: The Forgotten Forest Between Land and Sea.
Kuala Lumpur: Malaysia.

Pramudji. 1999. Hutan mangrove di wilayah propinsi maluku dan upaya


pelestariannya. Proseding Seminar Tentang Oseanologi dan Lingkungan
Laut, Dalam Rangka Penghargaan Kepada Prof. Dr. Aprilani Sugiarto.
165-172.

Pramudji, 2000. Hutan mangrove di Indonesia: peranan permasalahan dan


pengelolaannya. Jurnal Oseana. XXV (1) 13-20.

Rahman, A.K., Sudarto. 1991. Nipah Sumber Pemanis Baru. Yogyakarta:


Percetakan Kanisius.

Saenger, P., E.J. Hegerl dan J.D.S Davie. 1983. Global Status of Mangrove
Ecosystem. IUCN-UNEP dan WWF.

Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove Mengatasi Kerusakan


Wilayah Pantai dan Meminimalisasi Dampak Gelombang Tsunami.
Semarang: Effhar dan Dahara Prize.

Setyawan, Ahmad Dwi, Kusumo Winarno. 2006. Permasalahan konservasi


ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten Rembang, Jawa tengah. Jurnal
Biodiversitas. VII (02) 159-163.

Snedaker, S.C. 1978. Mangrove their values and perpetuatuin. Journal of Nat.Res.
(14): 613.

Tomlinson, P.B. 1986. The Botany Of Mangroves. Cambridge University Press:


Cambridge, UK.

Undang-undang Nomor 5. 1990. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan


Ekosistemnya. Jakarta.

Wightman, G.M. 1989. Mangroves of the northern territory. Northern Territory


Botanical Bulletin No. 7. Australia: Conservation Commision of the
Northern Territory.

Anda mungkin juga menyukai