Anda di halaman 1dari 11

STUDI PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI BAHAN

BAKU INDUSTRI ARANG DI PULAU TANAKEKE KABUPATEN


TAKALAR SULAWESI SELATAN
Oleh:
Heru Setiawan1
1

Peneliti Muda Pada Balai Penelitian Kehutanan Makassar.


Jl. P. Kemerdekaan Km 16,5 Makassar, Sulawesi Selatan.
Telepon/Fax : (0411) 554049/554051
Email: hiero_81@yahoo.com

ABSTRAK

Ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke sangat dijaga oleh masyarakat karena memberikan
manfaat ekonomi dan ekologi bagi masyarakat. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan
model pengelolaan mangrove di Pulau Tanakeke sebagai bahan baku industri arang.
Penelitian menggunakan pendekatan etnografi dengan teknik pengumpulan data
menggunakan metode wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan secara mendalam
dengan responden kunci, menggunakan panduan pertanyaan untuk memperoleh data
pengelolaan mangrove di Pulau Tanakeke. Teknik observasi dilakukan terhadap para pelaku
industri arang, mulai proses mencari kayu, membuat arang, pengepakan hingga
pendistribusian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan mangrove di Pulau
Tanakeke dilakukan oleh masyarakat secara swadaya. Terdapat satu wilayah hutan mangrove
yang disebut Bangko Tapampang yang ditetapkan oleh masyarakat sebagai daerah lindung.
Untuk menekan laju kerusakan akibat penebangan bahan baku arang, pemerintah desa
mengeluarkan Peraturan Desa yang mengatur setiap penebang diwajibkan menyisakan pohon
induk untuk menjamin regenerasi mangrove. Bahan baku arang berasal dari hutan bakau, baik
milik sendiri atau membeli dari masyarakat. Tinggi rendahnya harga kayu tergantung pada
besar kecilnya kayu, rata-rata harganya mencapai 10-30 juta/ha. Harga arang bakau di tingkat
produsen mencapai Rp.75.000,-/karung, dengan satu kali pembakaran dapat mencapai 100150 karung. Arang hasil produksi masyarakat langsung dipasarkan di Kota Makassar.
Kata Kunci : Pengelolaan, ekosistem mangrove, industri arang, Pulau Tanakeke.

I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan, terdiri dari 17.504 pulau dengan luas laut
diperkirakan sekitar 5,8 juta km2 dan bentangan garis pantai sepanjang 81.000 km (Dahuri et
al., 1996). Dengan garis pantai yang panjang tersebut dan posisinya yang berada pada daerah
khatulistiwa sangat menunjang berkembangnya ekosistem mangrove. Hutan mangrove
tersebar hampir di seluruh wilayah pesisir di Indonesia, mulai dari Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua, dengan luas sangat bervariasi bergantung pada
kondisi fisik, komposisi substrat, kondisi hidrologi, dan iklim yang terdapat di pulau-pulau
tersebut. Luas hutan mangrove di Indonesia adalah yang terluas di dunia dengan luasan
mencapai 3.112.989 Ha dengan persentase 22,6% dari total luasangan mangrove di seluruh
dunia (Giri et al., 2011).
Mangrove termasuk sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable resources) yang
menyediakan berbagai jenis produk (barang dan jasa) dan pelayanan lindungan lingkungan,
seperti proteksi terhadap abrasi, pengendali intrusi air laut, mengurangi tiupan angin kencang,
mengurangi tinggi dan kecepatan arus gelombang, rekreasi dan pembersih air dari polutan
(Kusmana, 2010). Bagi masyarakat pesisir, ekosistem mangrove berperan penting dalam
menopang kehidupan mereka. Dari aspek ekonomi, mangrove digunakan untuk arang, kayu
bakar, alat tangkap ikan tradisional (paropo), dan tempat penangkapan jenis ikan, udang dan
kepiting. Dari sisi ekologis, ekosistem mangrove berfungsi sebagai penghasil bahan
pelapukan (decomposer) yang merupakan sumber makanan penting untuk invertebrata kecil
pemakan bahan pelapukan (detritus), selanjutnya berperan sebagai makanan bagi hewan yang
lebih besar. Ekosistem mangrove juga merupakan daerah asuhan (nursery ground), tempat
mencari makan (feeding ground) untuk biota di sekitarnya dan pemijahan (spawning ground)
beberapa hewan perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan (Yudhatama, 2009).
Propinsi Sulawesi Selatan dengan dengan panjang garis pantai mencapai 1.937 km dan
jumlah pulau 299 buah, merupakan habitat yang potensial bagi tumbuh dan berkembangnya
ekosistem mangrove. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2014, luas mangrove di Propinsi Sulawesi Selatan mencapai 28.954,3 ha. Dari luasan
tersebut hanya 5.238 ha yang masih dalam kategori baik, sedangkan sisanya dalam kondisi
rusak dan sangat rusak. Kawasan mangrove di Pulau Tanakeke merupakan yang terluas di
Provinsi Sulawesi Selatan dengan luasan mencapai 951,11 ha (Akbar, 2014). Kondisi
ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke telah mengalami degradasi yang cukup tinggi. Pada
tahun 1970 an, luasan ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke mencapai 2.500 ha. Pada
periode 1990 an, luasan mangrove hampir berkurang setengahnya menjadi 1.300 ha. Menurut
2

Rahayu (1994), penyusutan luas hutan mangrove antara lain bersumber dari kegiatan manusia
yang mengkonversi areal mangrove menjadi pemukiman, kegiatan komersial/industri,
pertanian dan eksploitasi yang berlebihan terhadap vegetasi mangrove menjadi kayu bakar.
Hasil penelitian Tusiem dan Suwarno (2008) pengambilan kayu bakar sebanyak 1,079 m3
menyebabkan penyusutan luas hutan mangrove sekitar 26,551 m2 dan pengambilan kayu
bakar sebanyak 0,782 m3 menyebabkan penyusutan luas mangrove sekitar 19,250 m2.
Degradasi mangrove di Pulau Tanakeke lebih disebabkan oleh alih fungsi mangrove
menjadi tambak. Hal tersebut tidak lepas dari gencarnya himbauan pemerintah untuk
meningkatkan produksi ikan dan udang dari hasil tambak. Akan tetapi pada saat ini
masyarakat telah menyadari bahwa kawasan sekitar Pulau Tanakeke tidak sesuai untuk
budidaya tambak. Hal tersebut sesuai dengan kajian Mutmainnah (2004), pembukaan tambak
di Pulau Tanakeke sudah tidak layak lagi, karena faktor keterbatasan lahan, analisis finansial
yang tidak menguntungkan dan tidak adanya pasokan air tawar. Dengan semakin
berkurangnya pendapatan masyarakat akibat rusaknya ekosistem mangrove, menjadikan
kesadaran masyarakat akan kelestarian ekosistem mangrove semakin meningkat. Munculnya
alternatif pekerjaan lain, misalnya sebagai petani rumput laut, juga turut menjaga kelestarian
ekosistem mangrove.
Kebutuhan pasar dunia akan produk industri pengolahan arang semakin meningkat dan
sebagian besar di penuhi oleh Indonesia. Terbukti hingga saat ini Indonesia menjadi negara
pengekspor terbesar dari 34 negara produsen arang (Sari et al., 2009). Industri arang bakau
telah menjadi tumpuan hidup masyarakat Pulau Tanakeke diluar sektor perikanan.
Pengambilan kayu mangrove untuk bahan baku arang yang tidak terkendali berpotensi
menyebabkan rusaknya ekosistem mangrove. Hal ini tidak lepas dari anggapan masyarakat
setempat yang menganggap ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke adalah milik
perseorangan. Kawasan hutan mangrove tidak ubahnya seperti lahan garapan di daratan yang
dimiliki oleh perorangan, dan menjadi investasi keluarga yang dapat diwariskan secara turun
temurun. Untuk menjaga agar ekosistem mangrove tetap lestari dan pemanfaatan oleh
masyarakat juga dapat berkelanjutan, maka dibuatlah sistem yang mengatur pemanfaatan
mangrove tersebut. Penelitian bertujuan untuk mengetahui model pengelolaan mangrove yang
dilakukan masyarakat di Pulau Tanakeke dalam kaitannya dengan penggunaannya sebagai
bahan baku industri arang.

II. BAHAN DAN METODE


A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan pada Bulan Mei Juli 2015 di Kepulauan Tanakeke,
Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, berjarak sekitar 40 km sebelah selatan Kota
Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan. Secara keseluruhan, pulau ini terletak di sisi barat daya
daratan Sulawesi Selatan dan berhadapan langsung dengan perairan Selat Makassar. Secara
geografis, pulau ini terletak pada 119 14 22 119 20 29 BT dan 5 26 43 5 32 34
LS. Secara administratif, Pulau Tanakeke terdiri dari lima desa, yaitu Maccini Baji,
Balandatu, Tompotana, Rewatayya dan Mattiro Baji.
B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan diantaranya adalah responden pelaku industri arang di Desa
Tompotana yang merupakan salah satu desa di Pulau Tanakeke dan lokasi pembuatan arang
serta kondisi tegakan mangrove sebagai obyek penelitian. Alat-alat yang digunakan antara
lain kuesioner, daftar panduan pertanyaan, alat perekam, alat tulis, kompas, GPS dan kamera.
C. Jenis Data
Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dengan melakukan pengukuran dan
pengamatan langsung di lapangan. Beberapa data primer yang diambil pada penelitian ini
diantaranya adalah data yang terkait kegiatan industri dan data lain yang terkait dengan model
pengelolaan dan kelembagaan mangrove di Pulau Tanakeke. Data sekunder merupakan data
yang bersumber dari studi pustaka yang berasal dari laporan maupun sumber lain yang
berkaitan dengan topik penelitian. Beberapa data sekunder yang akan diambil diantaranya
adalah data monografi desa, data-data statistik terkait dengan lokasi dan laporan yang berasal
dari instansi/lembaga yang terkait dengan penelitian.
D. Metode Pengambilan Data
Pada penelitian ini, metode yang diterapkan adalah metode survei dengan
menggunakan pendekatan etnografi. Metode survey dilakukan untuk menggali data dan
informasi yang diperlukan dari responden yang mengetahui dan memahami permasalahan
terkait topik penelitian. Pada penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua
cara, yaitu :
1.

Teknik observasi
Teknik observasi digunakan untuk melihat kondisi umum lokasi penelitian, yang

meliputi kondisi tegakan dan ekosistem mangrove secara keseluruha dan kondisi sosial
masyarakat. Teknik observasi juga dilakukan untuk mendapatkan data mengenai kondisi
4

umum industri arang di Pulau Tanakeke yang meliputi lokasi industri, proses pembuatan
arang yang dimulai dari penebangan pohon mangrove, proses pembuatan arang dan
pemasaran (pendistribusian).
2.

Teknik wawancara
Teknik wawancara digunakan untuk mendapatkan data mengenai model pengelolaan

ekosistem mangrove oleh masyarakat serta kearifan lokal masyarakat dalam mengelola
mangrove. Teknik wawancara dilakukan secara semi structured interview yakni wawancara
yang pelaksanaannya lebih bebas dan menggunakan panduan pertanyaan terbuka yang
dilakukan terhadap masyarakat yang sehari-hari berinteraksi dengan ekosistem mangrove
maupun dengan responden kunci.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Kondisi Umum Pulau Tanakeke
Secara umum, masyarakat yang bermukim di Pulau Tanakeke adalah masyarakat asli
yang yang berasal dari Suku Makassar. Mereka sudah turun-temurun mendiami wilayah Pulau
Tanakeke dan beradaptasi dengan kondisi iklim dan geografi setempat. Selain masyarakat
asli, penduduk Pulau Tanakeke sebagian kecil adalah pendatang yang datang ke Pulau
Tanakeke melalui program transmigrasi. Berdasarkan hasil wawancara diketahui, jumlah
keseluruhan penduduk Pulau Tanakeke 6.364 jiwa dan 1.658 KK. Seperti pada umunya
masyarakat pesisir, masyarakat di Pulau Tanakeke mengandalkan sektor perikanan sebagai
mata pencaharian utamanya. Terdapat tiga desa yang mengandalkan pendapatannya dari hasil
laut, yaitu Desa Tompotana, Desa Mattiro Baji dan Desa Rewatayya. Sedangkan masyarakat
Desa Maccini Baji dan Desa Balandatu mempunyai mata pencaharian yang lebih beragam
karena mempunyai wilayah daratan yang luas. Selain sebagai nelayan, sebagian masyarakat di
kedua desa ini bermata pencaharian sebagai petani (ladang dan sawah) dan peternak (kambing
dan sapi).
Ditinjau dari kondisi topografi, Pulau Tanakeke memiliki topografi yang datar dengan
persentase tingkat kelerengan mencapai 15% - 30%. Berdasarkan pengamatan di lapangan,
Tanakeke merupakan pulau daratan rendah yang terbentuk oleh terumbu karang yang
terangkat ke atas permukaan. Pulau Tanakeke secara umum memiliki bentuk garis pantai
terluar yang berlekuk-lekuk sehingga membentuk teluk. Kondisi ini membuat Pulau Tanakeke
kaya akan endapan lumpur yang merupakan habitat yang sesuai untuk mangrove. Jenis
mangrove yang paling sesuai dengan tempat tumbuh yang berlumpur ini adalah Rhizophora
mucronata. Oleh sebab itu jenis ini menjadi jenis mangrove yang dominan di Pulau
5

Tanakeke. Selain itu juga dijumpai jenis Rhizophora stylosa,

Rhizophora apiculata,

Avicennia sp, Bruguiera gymnorrhiza. Potensi mangrove di Pulau Tanakeke merupakan yang
terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan dengan luasan mencapai sekitar 20% dari total
mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan yang masih dalam kategori baik. Dengan potensi yang
dimilik tersebut, maka ketergantungan masyarakat terhadap vegetasi ini menjadi tinggi,
utamanya dalam menopang kehidupan ekonominya.
Manfaat mangrove sangat dirasakan oleh masyarakat di Pulau Tanakeke, baik yang
bersifat tidak langsung maupun langsung. Pemanfaatan yang bersifat tidak langsung dan
sangat dirasakan oleh masyarakat diantaranya adalah penghasil udang dan kepiting,
penghalang gelombang dan angin kencang dan pelindung pematang tambak dan pemukiman
dari ombak. Sedangkan bentuk pemanfaatan langsung vegetasi mangrove diantaranya untuk
pembuatan arang, kayu bakar, alat bantu untuk membangun rumah, digunakan untuk
membangun tempat pengeringan rumput laut, alat penangkap ikan (paropo), bahan kerajinan
dan ajir rumput laut. Salah satu pemanfaatan langsung vegetasi mangrove yang telah
dilakukan secara turun temurun adalah digunakan sebagai bahan baku pembuatan arang.
B. Pemanfaatan Mangrove untuk Industri Arang
Penggunaan kayu mangrove sebagai bahan bakar, utamanya arang telah menjadi
primadona masyarakat. Arang adalah residu hitam berasalal dari karbon tidak murni yang
dihasilkan dengan menghilangkan kandungan air dan komponen volatil dari hewan dan
tumbuhan (Supriyatna et al., 2012). Hal tersebut dikarenakan kualitas panas yang dihasilkan
kayu bakau lebih tinggi jika dibandingkan kayu jenis lain. Menurut Hilal dan Syaffriadi
(1997), kayu mangrove memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu 4.0004.300 Kkal/kg.
Pemanfaatan kayu mangrove untuk industri arang sudah dilakukan masyarakat Pulau
Tanakeke secara turun-temurun. Hal tersebut didukung dengan potensi kayu mangrove yang
melimpah karena kondisi pantai di kawasan ini yang sangat sesuai sebagai habitat mangrove.
Permintaan pasar yang cukup tinggi, menjadikan usaha ini tetap dilakukan oleh sebagian
penduduk Pulau Tanakeke. Sentra industri arang di Pulau Tanakeke terdapat di Desa
Tompotana, sebagian lain dalam skala kecil terdapat di Desa Balandatu dan Mattiro Baji.
Proses pengolahan kayu mangrove menjadi arang membutuhkan waktu sekitar satu
bulan, yang terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap produksi dan tahap pemasaran.
Tahap persipan terdiri atas, penentuan areal tebangan, penebangan kayu,
pengangkutan dan pengeringan kayu. Masyarakat pengrajin arang mendapatkan bahan baku
kayu mangrove dari lahan sendiri, membeli dari orang lain atau kerjasama dengan tengkulak.
Pola kerjasama antara tengkulak dan pengrajin ini lazim disebut Ponggawa-Sawi.
6

Ponggawa diartikan sebagai pemilik modal, sedangkan sawi diartikan sebagai pengrajin.
Pengrajin arang diberi modal oleh ponggawa untuk bahan baku kayu bakau. Komponen kayu
ini adalah modal terbesar yang harus dikeluarkan pengrajin arang karena harga per hektar
pohon bakau berkisar 10 20 juta, bahkan ada yang mencapai 30 juta/ha, tergantung besar
kecilnya batang dan kerapatan pohonnya. Dengan tingginya harga kayu bakau tersebut,
banyak pengrajin yang meminjam modal pembelian bahan baku dari ponggawa. Pengrajin
dan ponggawa mengikat kesepakatan pengembalian pinjaman dengan bunga tertentu. Selain
itu, pengrajin arang tidak boleh menjual hasil arangnya ke pihak lain. Tiba masa arang masak,
pengrajin melunasi utang kepada ponggawa, baik pokok maupun bunganya. Ponggawa sering
menetapkan harga arang di bawah standar pasar. Pola kerjasama ini, walaupun merugikan
pengrajin tetapi masyarakat sudah menganggap sebagai bentuk kerja sama yang lazim dan
saling menguntungkan.
Proses penyiapan bahan baku diawali dengan kegiatan penebangan kayu mangrove.
Untuk menjamin kelestarian hutan bakau, masyarakat dan para pelaku usaha arang telah
memiliki kearifan lokal yang telah disepakati. Pengrajin arang biasanya melakukan
penebangan kayu dengan sistem tebang pilih, yaitu pengrajin menebang pohon-pohon yang
berdiameter cukup besar yang dapat dijadikan arang, dan menyisakan pohon-pohon yang
masih kecil sebagai calon induk penghasil buah nantinya. Selain itu, dalam menebang pohon,
pohon-pohon yang berada di posisi terluar disisakan untuk tidak ditebang. Selain untuk
menjaga permudaan mangrove, hal tersebut dimaksudkan agar areal kosong yang telah
ditebang dapat ditumbuhi vegetasi mangrove lagi secara alami. Setelah ditebang selanjutnya
batang pohon dibawa ke area pembakaran dengan menggunakan perahu. Kapasitas perahu
perajain rata-rata dapat memuat 15 batang kayu, dalam sekali pembakaran dibutuhkan sekitar
100 perahu yang akan menghasilkan 150 karung arang jadi. Proses pengeringan kayu yang
telah tiba di lokasi pembakaran. Sebagian kayu yang ukuran kecil dilakukan pengupasan kulit
kayu agar cepat kering.
Tahap produksi arang terdiri atas, pemilahan dan penataan kayu, penimbunan pasir
dan pembakaran. Kayu dengan diameter kecil sampai sedang diletakkan pada ujung yang
terdekat denngan titik awal pembakaran, sedangkan kayu dengan diameter besar diletakkan di
tengah sampai dengan ujung akhir dari tumpukan kayu. Volume pembakaran menyesuaikan
dengan kemampuan masing-masing pengrajin. Setelah kayu kering selanjutnya proses
pembakarang siap dilakukan. Proses pembakaran diawali dengan penataan kayu yang
dilakukan secara memanjang dengan lebar sekitar 2 m dan panjang mencapai 20 meter,
tergantung volume kayu. Tumpukan kayu tersebut selanjutnya ditimbun dengan pasir sampai
7

seluruh permukaannya tertutup pasir. Setelah semu permukaan tertutup pasir, selanjutnya
dilakukan pembakaran dari ujung yang telah ditentukan. Dalam proses pembakaran, pengrajin
harus selalu menjaga agar api tidak sampai keluar ke permukaan. Jika api keluar sampai ke
permukaan, maka kayu yang terbakar akan menjadi abu. Proses pembakaran ini berbeda
dengan proses pembakaran yang dilakukan masyarakat Kab. Batu Bara Provinsi Sumatera
yang dilakukan dengan tungku yang terbuat dari batu bata dengan campuran pasir dan lumpur
sebagai bahan perekatnya (Adawiyah, 2014). Setelah dilakukan proses pembakaran,
selanjutnya arang dibiarkan selama lebih kurang satu minggu sampai dingin. Secara
sederhana, proses pembuatan arang di Pulau Tanakeke disajikan pada Gambar 1.
a)

b)

c)

d)

e)

f)

Gambar 1. Proses pembuatan arang : a) Pengangkutan; b) Pengeringan;


c) Penatataan; d) Pembakaran; e) Pemanenan; f) Pengemasan
Tahap terakhir adalah tahap yang terdiri atas, pemanenan arang, pemilihan arang
berdasarkan kualitas dan ukuran, pengemasan dalam karung plastik dan pemasaran. Setelah
panas akibat pembakaran telah hilang, selanjutnya dilakukan pembongkaran dengan
membersihkan pasir yang menutupi arang. Kemudian dilakukan proses pemilahan dengan
memisahkan arang berdasarkan kualitas dan ukurannya. Semakin besar ukurannya maka akan
8

semakin mahal harganya. Arang yang gagal dalam proses pembakaran, atau tidak sempurna
kematangannya dipisahkan untuk dijadikan kayu bakar atau diikutkan pada proses
pembakaran selanjutnya. Arang yang telah disortir selanjutnya dikemas dalam karung plastik
dan siap dipasarkan. Harga arang per karung di tingkat pengrajin mencapai Rp. 60.000,sampai Rp. 75.000,-. Harga tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan dengan ponggawa.
Selanjutnya ponggawa langsung memasarkan ke Kota Makassar.
C. Model Pengelolaan Mangrove di Pulau Tanakeke
Peran lembaga adat di Pulau Tanakeke dalam pengelolaan mangrove tidak begitu
dominan. Pengelolaan mangrove lebih diutamakan menggunakan jalur lembaga formal
dengan tetap mempertimbangkan aturan-aturan tidak tertulis yang telah menjadi kesepakatan
warga. Sudah menjadi ketetapan yang telah berlaku selama puluhan tahun tentang adanya
kenyataan bahwa sebagian besar kawasan hutan mangrove di kawasan ini telah dibagi dan
dimiliki secara pribadi oleh masyarakat. Dengan harga yang mencapai 30 juta/ha, hutan
mangrove merupakan salah satu bentuk investasi seperti halnya ladang garapan di daratan.
Dengan nilai ekonomi yang tinggi tersebut, bahkan hutan mangrove lazim dijadikan sebagai
mahar pernikahan oleh warga.
Hak pengelolaan mangrove yang dimiliki oleh perseorangan tersebut wajib dihormati
oleh warga lainnya. Dengan adanya status pengelolaan tersebut, maka warga lain tidak dapat
dengan leluasa menebang pohon mangrove tanpa adanya ijin dari pemilik lahan. Warga hanya
boleh melakukan penebangan untuk keperluan yang terbatas, seperti untuk ajir rumput laut,
setelah mendapatkan ijin pemilik lahan. Terdapat kesepakatan antara pemilik lahan dan warga
bahwa kawasan mangrove yang telah ditebang untuk keperluan pembuatan arang, wajib
ditanami kembali oleh pemilik lahan sebanyak dan seluas jumlah pohon yang ditebang. Jika
kesepakatan tersebut dilanggar, maka warga masyarakat lain berhak mengklaim luasan
mangrove tersebut menjadi hak miliknya dengan cara menanam pohon mangrove di lokasi
penebangan mangrove yang tidak ditanami oleh pemiliknya. Adanya aturan tidak tertulis ini
dari sisi ekologi sangat bermanfaat dalam menjaga kelestarian mangrove di kawasan ini.
Dari keseluruhan mangrove yang ada di Pulau Tanakeke, terdapat satu kawasan hutan
mangrove yang ditetapkan warga kelima desa yang ada di Pulau Tanakeke sebagai area
perlindungan. Kawasan hutan bakau tersebut disebut Bangko Tapampang dengan luas
mencapai 50,5 ha yang terletak di Desa Rewatayya. Kawasan hutan mangrove Bangko
Tapampang telah menjadi kesepatan warga untuk dijadikan kawasan perlindungan sehingga
ada sanksi yang telah disepakati jika kedapatan masyarakat yang menebang pohon mangrove
di kawasan ini. Kesepakatan bersama masyarakat Pulau Tanakeke yang diwakili oleh tokoh
9

masyarakat dan kelima kepala desa yang ada di Tanakeke telah menyepakati kawasan Bangko
Tapampang dibagi menjadi tiga zona, yaitu zona inti, zona penyangga dan zona rehabilitasi.
Zona inti yang luasnya mencapai sekitar 40,5 ha diperuntukkan bagi kawasan yang
vegetasinya masih dalam kategori baik, yang ditetapkan sebagai daerah perlindungan dan
dilarang melakukan aktivitas penebangan. Zona penyangga dengan luasan sekitar 5 ha,
ditetapkan sebagai kawasan yang dimanfaatkan masyarakat secara terbatas. Zona rehabilitasi
dengan luasan sekitar 5 ha ditetapkan sebagai kawasan yang difokuskan untuk perbaikan
karena telah mengalami kerusakan.

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Pemanfaatan kayu mangrove untuk arang telah menjadi pekerjaan yang diwariskan
secara turun temurun. Proses pembuatan arang terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap
persiapan, tahap produksi dan tahap pemasaran. Jumlah rata-rata kayu mangrove yang
ditebang mencapai 150 batang dalam sekali proses pembakaran, dengan hasil 150
karung. Harga arang di tingkat pengrajin mencapai 75 rb/karung. Dalam setahun ratarata pengrajin arang bakau dapat melakukan proses pembakaran sampai dengan tiga
kali.
2. Kawasan mangrove di Pulau Tanakeke sebagian besar dikelola secara pribadi oleh
masyarakat. Terdapat satu kawasan mangrove yang ditetapkan oleh warga masyarakat
sebagai area perlindungan yang disebut dengan Bangko Tapampang. Kawasan Bangko
Tapampang dibagi menjadi tiga zona yaitu zona inti, zona penyangga dan zona
rehabilitasi.

B. Saran
1. Kerajinan arang yang dilakukan masyarakat Pulau Tanakeke masih dilakukan dengan
cara tradisional. Oleh karena itu perlu bimbingan dari pemerintah dan pihak terkait agar
kualitas arang yang dihasilkan dapat meningkat, misalnya dengan memprosesnya
menjadi arang aktif yang nilai jualnya lebih tinggi.
2. Kawasan Bangko Tapampang

yang ditetapkan warga masyarakat Pulau Tanakeke

sebagai area perlindungan seharusnya didukung dengan keputusan pemerintah yang


sifatnya mengikat. Dengan adanya status kawasan yang jelas, maka upaya pelestarian
kawasan mangrove di Pulau Tanakeke dapat lebih dioptimalkan.

10

3. Potensi ekowisata mangrove di kawasan Pulau Tanakeke sangat menjanjikan jika


dikelola dengan baik. Dengan pengembangan potensi ekowisata tersebut diharapkan
tekanan terhadap ekosistem mangrove akan berkurang dan terdapat alternatif pekerjaan
lain bagi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, R. 2014. Strategi Adaptasi Pembuat Arang dalam Pemanfaatan Sumberdaya Kayu
Mangrove di Desa Gambus Laut, Kec. Lima Puluh, Kab. Batu Bara. Skripsi.
Universitas Sumatera Utara (Tidak dipublikasikan).
Akbar A.S, M. 2014. Geospatial Modeling of Vegetation Cover Changes on A Small Island Case Study: Tanakeke Island, Takalar District, South Sulawesi. Graduate School
Bogor Agricultural University, Bogor. (Not Published).
Dahuri R, J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir
dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita.
Giri, C. E. Ochieng, L. L. Tieszen, Z. Zhu, A. Singh, T. Loveland, J. Masek and N. Duke.
2011. Status and Distribution of Mangrove Forests of the World using Earth
Observation Satellite Data. Global Ecology and Biogeography, 20, 154159.
Hilal, H dan Syaffriadi. 1997. Pemanfaatan Sumber Energi untuk Mendukung Pembangunan
berkelanjutan. Jurnal Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung Vol. 1 No. 2.
Bandung.
Kusmana C. 2010. Konsep Pengelolaan Mangrove yang Rasional. Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mutmainnah. 2004. Kajian Pengembangan Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Kecil (Studi
Kasus Pulau Tanakeke Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan). Thesis. Institut
Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan).
Rahayu, S. 1994. Mengikutsertakan Masyarakat Pedesaan dalam Proyek Pembangunan Hutan
Berskala Kecil. Journal of Forestry Research and Development IX (2) : 73 79.
Sari, N.M. Adi, R. Shodiqin, M.A. 2009. Analisis Biaya dan Waktu Pembuatan Briket Arang
Berdasarkan Bentuk dari Kayu Bakau (Rhizophora mucronata Lamck) dan Rambai
(Sonneratia acida Linn). Jurnal Hutan Tropis Borneo (26) : 160-169.
Supriyatna,Y.I. Amin, M. Suharto. 2012. Study Penggunaan Reduktor pada Proses Reduksi
Pellet Bijih Besi Lampung Menggunakan Rotary Klin. Prosiding Seminar Nasional
Penelitian dan PKM Sains, Teknologi dan Kesehatan. Universitas Islam Bandung.
Tusiem dan Suwarno. 2008. Degradasi Hutan Bakau akibat Pengambilan Kayu Bakar oleh
Indutri Kecil Gula Kelapa di Cilacap. Jurnal Forum Geografi 22 (2) : 159-168
Yudhatama NA. 2009. Studi Potensi Ekowisata sebagai Alternatif Konservasi Ekosistem
Mangrove di Kabupaten Demak. Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang. (Tidak
dipublikasikan).

11

Anda mungkin juga menyukai