Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Penilaian Mata Kuliah Praktek Kerja Lapangan
OLEH
1606050024
JURUSAN BIOLOGI
KUPANG
2018
LEMBARAN PENGESAHAN
Judul Laporan PKL : Pengaruh Lingkungan Terhadap Pemilihan Lokasi
Bertelur Penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae) di TWA
Pulau Menipo
Nim : 1606050024
Jurusan : BIOLOGI
Menyetujui
Mengetahui
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiratTuhan Yang Maha Esa karena atas
perkenannya penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Balai Besar
KonservasiSumber DayaAlam Nusa Tenggara Timur dan dapat menyelesaikanLaporan PKL
ini dengan judul : “Pengaruh Lingkungan Terhadap Pemilihan Lokasi Bertelur Penyu
Lekang (Lepidochelys olivaceae) di TWA Manipo”.sebagai salah satu syarat akademik dan
menggenapi Sistem Kredit Semester (KRS) pada jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknik
Universitas Nusa Cendana Kupang.
Pelaksanaan dan penulisan Laporan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini bukan semata-
mata karena usaha penulis sendiri melainkan melibatkan dukungan, bantuan serta bimbingan
berbagai pihak yang terkait dengan Praktek Kerja Lapangan (PKL) dan penulisan laporan
PKL ini. Menyadari hal tersebut maka penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Dekan Fakultas Sains dan teknik beserta semua civitas Akademika yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan kegiatan PKL
selama 1 bulan ini.
2. Bapak Dr. Refli, MSc selaku Ketua Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknik.
3. Ibu Ike Septa F M, S.Si, M.Si selaku Sekretaris Ketua Jurusan Biologi Fakultas
Sains dan Teknik.
4. Ibu Ermelinda D.Meye, MSc selaku dosen pembimbing PKL yang telah
meluangkan waktu, tenaga, pikiran, bimbingan pengarahan, saran serta masukan
yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan Laporan Praktek
Kerja Lapangan (PKL) ini.
5. Ibu Widya Siswanti Nenotek S.Pd selaku staf Jurusan Biologi Fakulatas Sanis dan
Teknik
6. Kepala BBKSDA Provinsi NTT, Kepala Seksi Perencanaan,Perlindungan dan
Pengawetan,Kepalah Seksi Pelayanan dan Pemanfaatan dan Kepalah Seksi
Konservasi Wilayah BBKSDA Provinsi NTT yang telah menyediakan ruang,
waktu dan tempat serta berbagai fasilitas yang dibutuhkan bagi kelangsungan
kegiatan PKL.
7. Bapak Ibu Kristina Maria Rapeligaselakupembimbinglapangan yang telah
meluangkan waktu, tenaga, pikiran, bimbingan pengarahan, saran serta masukan
yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan Laporan Praktek
Kerja Lapangan (PKL) ini.
8. Rekan-rekan PKL :Paulina Anita Noni, Salsabela Rohyat,Titania Hermanus,Selin
Rambu D.Wini,Viany Nobrihas,Stela M.Nope,Yerti Y.A Sabuna, Wilfrida Kota
Radja,dan Septiany A.Kadang atas kerjasamanya selama pelaksanaan PKL ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah
memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis selama kegiatan PKL
berlangsung.
Penulis menyadari bahwa Laporan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini masih jauh
dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga karya sederhana ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBARAN PENGESAHAN ......................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... iv
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Hasil pengamatan ............................................................................................... 19
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Penyu merupakan jenis reptil laut yang hidup di daerah tropis dan subtropis. Jenis
penyu yang sering dijumpai di perairan Indonesia adalah penyu hijau (Chelonia mydas),
penyu sisik (Eretmochelys imbracata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu
tampayan (Caretta caretta), penyu pipih (Natator depressus) dan penyu belimbing
(Dermochelys coriacea) (Romimohtarto dan Juwana, 2007).
Besarnya manfaat yang dapat diambil dari seekor penyu juga dapat membahayakan
keberadaan dan kelestarian penyu, apabila dalam pemanfaatannya dilakukan tanpa
terkendali.Faktor utama yang memengaruhi penurunan populasi penyu lekang,yaitu adanya
penangkapan penyu dewasa untuk dimanfaatkan daging, cangkang, dan pengambilan telur
penyu di sarang alami. Untuk menjaga tercapainya kelestarian Penyu Lekang (Lepidochelys
olivacea), maka kegiatan pengelolaan yang tepat sangat diperlukan.
Kondisi fisik pantai yang perlu diperhatikan untuk tempat penyu bertelur antara lain,
kemiringan pantai, lebar dan panjang pantai, kadar air, dan komposisi butiran pasir pantai
sedangkan kondisi biologis yang perlu diperhatikan antara lain jenis vegetasi yang
mendominasi di pantai peneluran dan disukai oleh Penyu Lekang(Lepidochelys olivacea)
sebagai lokasi pembuatan sarang (Yayasan Alam Lestari, 2000).
Penyu lekang memiliki salah satu lokasi peneluran di NTT. Oleh karena itu guna
menyikapi problematika perburuan penyu, pemerintah NTT dan pemerintah pusat telah
mengambil langkah tepat dengan membuat daerah konservasi penyu yang terletak di Taman
Wisata Alam (TWA) Menipo.Taman Wisata Alam Pulau Menipo merupakan TWA yang
terletak di Desa Enoraen Kab Kupang. TWA ini memiliki pantai pasir putih yang indah,
landai dan garis pantai yang panjang serta memiliki hutan pantai yang ditumbuhi cemara laut
(Casuarina equisetifolia) dan lontar (Borrassus flabelifer), sehingga menjadi habitat ideal
bagi penyu untuk mendarat dan bertelur. Hal inilah yang sangat mendukung penulis dalam
memilih judul “PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PEMILIHAN LOKASI
BERTELUR PENYU LEKANG (Lepidochelys olivachea) DI TWA PULAU MENIPO”.
1.2 Tujuan
Tujuan dilaksanakannya Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini adalah mengetahui dan
mempelajari pengaruh lingkungan terhadap pemilihan lokasi bertelur penyu lekang
(Lepidochelys olivachea) DI TWA PULAU MENIPO”.
1.3 Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Habitat
Habitat adalah suatu kesatuan tempat yang memiliki fungsi bagi organisme untuk
mencari makan, minum, berlindung, bermain dan berkembang biak. Menurut Alikodra,
(1988) habitat terdiri dari berbagai faktor yaitu phisiografi, vegetasi dengan kualitasnya selain
tempat hidup bagi organisme. Studi perilaku tidak terlepas dari pembicaraan mengenai
habitat karena tingkah lakulah yang mengatur interaksi antara satwa dengan habitatnya.
Habitat mengandung pengertian tempat tinggal alamiah dari beberapa jenis hewan dan
tumbuh-tumbuhhan yang hidup diatasnya (Smith, 1986). Habitat merupakan suatu tempat
yang amat penting bagi suatu satwa agar dapat berkembang dengan optimal (Djuwantoko,
1986).
Habitat merupakan faktor paling penting untuk kehidupan satwa liar dan kualitas
habitat berpengaruh langsung terhadap perilaku dan populasinya. Suatu organisme tidak
hanya menduduki ruang fisik habitat saja, tetapi juga mempunyai peranan fungsional didalam
lingkungannya. Bagaimana organisme tersebut merubah energi yang ada, bertingkah laku dan
tanggap terhadap perubahan lingkungan fisik serta biotik dan bagaimana organisme lain
menjadi kendala baginya (Odum, 1993). Oleh sebab itu satwa sangat bergantung pada faktor-
faktor lingkungan yang di perlukan dalam kehidupan antara lain iklim, substrat dan vegetasi
sehingga memungkinkan satwa dapat mempertahankan hidupnya dan tidak berpindah ke
tempat lain (Sulthoni, 1986).
a. Klasifikasi ilmiah
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Sauropsida
Order : Testudinata
Family : Cheloniidae
Genus : Lepidochelys
b. Ciri-ciri Morfologi
Spesies ini mudah dikenali dengan tubuhnya yang agak datar, kepalanya besar dengan
dua pasang sisik prefontal (sisik yang ada di kanan dan kiri mata). Warna tubuh bagian atas
pada penyu muda (immature) adalah abu-abu, sedangkan pada penyu dewasa (addult)
berwarna hijau olive.
Bagian bawah berwarna putih pada penyu muda, dan penyu dewasa mendekati kuning
(Pritchard et. Al, 1983). Sisik lateral dikatakan berjumlah 5-9 pasang, namun biasanya
berjumlah 6-8 pasang (Carr, 1952). Sekilas hampir tidak ada perbedaan dengan kerabatnya
dari genus yang sama, yaitu Lepidochelys kempii, namun apabila diamati lebih mendalam
akan terlihat perbedaannya. Marquez (1990) menyatakan bahwa Lepidochelys olivaceae lebih
ramping dan ringan dibanding Lepidochelys kempii.
Reptil ini mempunyai rumah yang mebungkus tubuhnya. Rumah terdiri dari 2 bagian,
bagian atas disebut dengan karapas atau batok punggung sedang bagian bawah atau perut
disebut plastron.Karapas tersusun atas 2 lapisan, yakni lapisan dalam dan lapisan luar.
Lapisan luar merupakan lapisan epidermal yang berbentuk sisik-sisik yang keras. Lapisan
dalam merupakan tempat menempelnya tulang belakang, kecuali tulang leher dan tulang ekor
sehingga kedua tulang tersebut dapat bergerak bebas (Frazer, 1983). Bentuk karapas pada
penyu dewasa bila dilihat dari atas hampir bulat (Marquez, 1990). Pada sisi lateral naik
membengkok keatas dan mendatar pada permukaannya. Lebar karapas lurus (Straught
Carapace Width, SCW) 90% panjang karapas lurus (Straight Carapace Lenghth, SCL).
a. Tampak samping
b. Tampak atas
c. Kepalas
Karapas berpori dengan 5-9 pasang sisik punggung (costal scuter) yang tidak
saling tumpang tindih. Kadang-kadang jumlah antara jumlah sisik kiri dan kanan
berbeda (Anonimous, 1988). Mempunyai cakar pada setiap lengan, punggung
berwarna abu-abu dan pada bagian perut berwarna putih kekuningan (Fischer, 1978).
Penyu lekang sangat peka terhadap suhu, sehingga tidak pernah dijumpai
bertelur pada siang hari. Di sore hari ketika pasir sudah menjadi dingin, penyu akan
menuju pantai dan akan semakin banyak ketika hari semakin malam, dan menjelang
pagi bersiap meninggalkan pantai (Marquez, 1990). Menurut Caldwell (1960) hanya
penyu betina yang naik ke darat untuk bertelur, sedangkan penyu jantan menunggu di
laut. Carr (1982) mengungkapkan bahwa penyu betina dapat bersarang (bertelur) dua
kali dalam satu musim, bahkan sampai tiga kali.
Penyu lekang tersebar luas di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, juga
terdapat di pantai barat Afrika ke arah utara sampai Senegal serta di pantai Amerika
Selatan dari Guyana sampai Trinidad pada Samudera Atlantik. Penyu ini juga
memasuki daerah perairan beriklim sedang seperti Jepang dan Selandia Baru (Halliday
et. Al. 1982).
d. Habitat Bertelur
Penyu lekang umumnya berimingrasi sepanjang paparan benua dan mencari
makan di perairan yang hangat, cenderung sudah ditemuakn pada musim panas dan
bertelur dimusim bertelur pada pantai yang landai yang halus sampai sedang atau
sedikit kasar. Lokasi pantai peneluran biasanya terisolasi, kadan-kadang juga
ditemukan terpisah dari tempat peneluran utama seperti di daerah pesisir laguna.
Pencarian tempat bertelur menuju tempat peneluran secara bergerombol (arribazones)
ada hubungan dengan menghindari predator untuk melindungi generasi mereka.
Menurut Carr (1952) dalam Darmawan (1995) induk penyu akan bertelur pada
pantai yang tidak jauh dari daerah sumber makanan , sedangkan Ehrenfold (1979)
dalam Darmawan (1995) menyatakan bahwa pemilihan lokasi bertelur di tandai
dengan tipe pantai. Beberpa individu memiliki lokasi peneluran yang sama dengan
lokasi peneluran tahun sebelumnya.
Berdasar penelitian Marten dalam Hutabarat (1996) dikemukakan bahwa
penyu memiliki kemoreseptor yang dapat mengenali zat kimia tertentu yang pernah
dicium sebelumnya. Dengan kemoreseptor tersebut penyu lekang yang berada
disekitar pantai dapat mengenali bau feromon . bau feromon kemudian merangsang
penyu untuk bertelur bersama-sama.
Formasi vegetasi hutan pantai juga mempengaruhi lokasi peneluran. Carr
(1952) menyatakan penyu di pantai Costa Rica umumnya membuat sarang di pantai
yang hampir tidak ada vegetasinya bebas dari sampah dan tidak jauh dari batas pasang
surut tertinggi. Menurut Komara (1981) dalam Suharso (1995) semua jenis penyu
laut, baik yang hidup di perairan Atlantik maupun Pasifik pada umunya gemar berada
di laut yang dangkal dan bervegetasi.
e. Karakteristik Habitat Peneluran
1. Kemiringan Pantai
pantai adalah suatu faktor paling penting dalam pemilihan tempat bertelur
(Setyawatiningsih et al, 2011). Habitat bertelur Penyu Lekang atau singkatnya sarang
penyu yang terletak pada daerah dengan kemiringan lebih besar (tinggi) akan lebih
aman dibandingkan dengan sarang penyu yang terletak pada kemiringan yang
semakin kecil (rendah) semakin mudah terkena resiko instrusi air laut yang mana akan
mempengaruhi telur – telur penyu di dalamnya. Menurut Nuitja (1992) kondisi pantai
yang landai (3 – 8 % ) dan miring (8 -16 %) sesuai bagi habitat peneluran penyu,
karena kondisi landai tersebut dapat memudahkan penyu untuk mencapai tempat
peneluran.
2. Penutup Lahan
Menurut Sukada (2006) penutup lahan merupakan salah satu faktor dalam
pemilihan tempat induk penyu meletakkan telurnya. Kaitannya dengan teduh atau
tidaknya habitat penyu, karena penutup lahannya dan ketersediaan lahan untuk habitat
bertelur Penyu Lekang. Penutup lahan di sekitar mempengaruhi lama penetasan dan
laju tetas telur penyu, dimana penutup lahan yang semakin teduh akan memberikan
proses penetasan semakin baik. Walaupun ukuran butir, kemiringan dan suhu sudah
sesuai terhadap habitat bertelur Penyu Lekang, namun bila terdapat bangunan dan
perairan di sekitar pantai dapat menjadi penghalang induk penyu untuk bertelur
disana.
Selain itu menurut Nuitja (1992) kehadiran hutan-hutan yang lebat
memberikan pengaruh yang baik terhadap kestabilan populasi penyu yang bertelur.
Keberadaan vegetasi naungan akan melindungi sarang dari sinar matahari langsung,
sehingga mengurangi penguapan. Selain itu jika pohon-pohon tumbuh dengan lebat,
maka daun-daun yang jatuh lama-kelamaan mengalami proses dekomposisi menjadi
partikel-partikel mineral dan langsung hanyut terbawa air ke laut. Proses tersebut
berlangsung secara terus menerus, sehingga kesuburan perairan dapat tetap terjamin.
Kesuburan perairan menjadi kebutuhan biota yang hidup di daerah tersebut, seperti
tumbuhnya rumput laut dan tersediaanya invertebrata laut berupa zooplankton,
dimana invertebrata laut merupakan makanan yang dibutuhkan oleh populasi penyu
yang masih kecil (tukik).
3. Ukuran butir Pasir
Ukuran butir pasir digunakan sebagai salah satu parameter/ karakteri fisik
dalam menentukan habitat bertelur penyu. Tekstur pasir telah diamati menjadi bagian
penting suatu variabel dalam memfasilitasi penggalian lubang sarang oleh penyu
(Kikuklawa et al., 1999 dalam Acevedo et al. 2009). Kehalusan ditentukan oleh
ukuran pasir. Pasir yang terlalu halus akan menyebabkan penyu sulit membuat sarang,
karena sarang akan mudah longsor (Nuitja, 1992). Pasir yang terlalu kering keras
membuat induk penyu sulit menggali lubang untuk membuat sarang (Mortimer, 1990
dalam Acevedo et al. 2009).
Umumnya pantai penelurannya adalah daratan luas dan landai yang terletak di
atas pantai dengan rata-rata kemiringan 30° serta di atas pasang surut antara 30
sampai 80 meter, memiliki butiran pasir tertentu yang mudah digali dan secara
naluriah dianggap aman untuk bertelur. Selain itu pantai yang didominasi oleh
vegetasi pandan laut memberikan rasa aman tersendiri bagi penyu yang bertelur
(Nuitja, 1992).
Pasang surut memiliki hubungan yang erat dengan aktivitas peneluran penyu.
Penyu menghemat energi pada malam hari dengan memanfaatkan air pasang untuk
mencapai area yang kering (supratidal) baru kemudian membuat sarang dan bertelur
(Segara, 2008).
5. Vegetasi Pantai
6. Lebar Pulau
Penyu lekang cenderung lebih menyukai pantai peneluran yang memiliki lebar
pantai yang sempit(Nuitja,1992). pada umumnya sarang dibuat dibagian mendatar,
selain itu banyak juga sarang peneluran dijumpai pada batas pasang surut sehingga
dapat dikenai air laut pada saat pasang
5.2 Saran
Anonimous, 1993. Laporan Penelitian Studi Habitat Bertelur dan Perilaku Bertelur Penyu
Lekang Di Taman Nasional Alas Purwo. Kelompok Spesialis Penyu / Mitra Satwa.
Yayasan Naional Bina Samudera. Jakarta
Berman Manurung, Erianto, Slamet Rifanjani. 2015. Habitat of Spawning Turtle in the
Nature Park Tanjung BelimbingParkPaloh, District Of Sambas. Tersedia pada
http://Jurnal-JURNAL-HUTAN-LESTARI(2015) Vol. 4 (2) : 205 – 212. (Diakses
pada senin, 22 Januari 2018. Pukul 10.37 WITA)
Carr, A. F, 1986. Rips, FADS dan Little Longerheads. Bio Science Magazine 36 (2) : 92-
100
Manilkara kauki. 2012. Pengelolaan Penyu di TN Alas Purwo Habitat Pendaratan Penyu
Predator Penyu di TNAP. Tersedia pada http://Buletin-Manilkara-kauki-Edisi-
5.pdf(Diakses pada selasa, 23 Januari 2018. Pukul 20.46 WITA)
Nuitja, I. N. S, 1992. Biologi dan Ekologi Peletarian Penyu Laut. Penerbit IPB. Bogor
Rifqi,A. 2008 . KSPLK Chelonidae dan Konservasi Penyu Laut . Tersedia pada
: http://arifqbio-multi ply.com/journal/item/ 6 Diakses tanggal 26 November 2017.
Pukul 14.34 WITA
Suharso, 1995. Studi Habitat Peneluran Penyu Hijau di Pantai Blambangan Taman
Nasional Alas Purwo, Jawa Timur. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor
Suratmo, F. G, 1979. Prinsip Dasar Tingkah Laku Satwa Liar. Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor
Syaiful N. 2013 .Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) Pada Lokasi
Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu Kota Pariaman . FMIPA ,Universitas
Andalas.Sumatra Barat. Padang