Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN

PRAKTEK KERJA LAPANGAN

“PENGARUH LINGKUNGAN TERHAHAP PEMILIHAN LOKASI BERTELUR


PENYU LEKANG (Lepidochelys olivaceae) DI TAMAN WISATA ALAM MENIPO
DESA ENORAEN KECAMATAN AMARASI TIMUR KABUPATEN KUPANG”

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Penilaian Mata Kuliah Praktek Kerja Lapangan

Pada Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknik

Universitas Nusa Cendana

OLEH

ADI PUTRA JOHANES MANDALA

1506050056

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2018
LEMBARAN PENGESAHAN
Judul Laporan PKL : Pengaruh Lingkungan Terhadap Pemilihan Lokasi
Bertelur Penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae) di TWA
Pulau Menipo

Nama : ADI PUTRA JOHANES MANDALA

Nim : 1506050056

Jurusan : BIOLOGI

Fakultas : SAINS DAN TEKNIK

Menyetujui

Dosen Pembimbing Pembimbing Lapangan


Praktek Kerja Lapangan

Dr. Ir. Alfred O. M. Dima, M.Si Kristina Maria Rapeliga


NIP.19700410 200012 1 001 NIP. 19870409 201012 2 101

Mengetahui

Pembantu Dekan I Bidang Akademik Ketua Jurusan Biologi


Fakultas Sains dan Teknik Fakultas Sains dan Teknik

Drs. Theo. M. Da Cunha, M.Si Vinsensius M. Ati, S.Pt, M.Si


NIP.19570327 198702 1 001 NIP. 19720606 199903 1 002

Disetujui pada tanggal


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas perkenannya penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur dan dapat
menyelesaikan Laporan PKL ini dengan judul : “Pengaruh Lingkungan
Terhadap Pemilihan Lokasi Bertelur Penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae)
di TWA Manipo”.sebagai salah satu syarat akademik dan menggenapi Sistem
Kredit Semester (KRS) pada jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknik
Universitas Nusa Cendana Kupang.

Pelaksanaan dan penulisan Laporan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini


bukan semata-mata karena usaha penulis sendiri melainkan melibatkan dukungan,
bantuan serta bimbingan berbagai pihak yang terkait dengan Praktek Kerja
Lapangan (PKL) dan penulisan laporan PKL ini. Menyadari hal tersebut maka
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Dekan Fakultas Sains dan teknik beserta semua sivitas


Akademika yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melaksanakan kegiatan PKL selama 1 bulan ini.
2. Bapak Vinsensius M. Ati, S.Pt M.Si selaku Ketua Jurusan Biologi
Fakultas Sains dan Teknik.
3. Ibu Ike Septa F M, S.Si, M.Si selaku Sekretaris Ketua Jurusan Biologi
Fakultas Sains dan Teknik.
4. Bapak Dr. Ir Alfred O. M. Dima M.Si selaku dosen pembimbing PKL
yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran, bimbingan pengarahan,
saran serta masukan yang telah banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini.
5. Ibu Widya Siswanti Nenotek S.Pd selaku staf Jurusan Biologi
Fakulatas Sanis dan Teknik
6. Kepala BBKSDA NTT, Kepala Bagian Tata Usaha BBKSDA NTT
dan Kepala Sub Bagian Umum BBKSDA NTT yang telah
menyediakan ruang, waktu dan tempat serta berbagai fasilitas yang
dibutuhkan bagi kelangsungan kegiatan PKL.
7. Ibu Kristina Maria Rapeliga selaku pembimbing lapangan yang telah
meluangkan waktu, tenaga, pikiran, bimbingan pengarahan, saran serta
masukan yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan
Laporan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini.
8. Rekan-rekan PKL : Cicilia Agustin Rohi, Dresmawati Tohana,
Febriana Skolastika Esti, Filadefia Tatuin, Fransiska Sanjaya, Hengky
Sefnat Lely, Reinildis Prima Bulu, Risna Hamid dan Rosa Nensiana
Mau Bewa atas kerja samanya selama pelaksanaan PKL ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang
telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis selama
kegiatan PKL berlangsung.

Penulis menyadari bahwa Laporan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini


masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga karya
sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin

Kupang, Janurari 2018

Penulis
DAFTAR ISI
LEMBARAN PENGESAHAN .......................................................................................... i

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................... iv

DAFTAR TABEL ............................................................................................................ vi

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... vii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

1.1 Latar belakang ................................................................................................ 1


1.2 Tujuan............................................................................................................. 2
1.3 Manfaat........................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 3

2.1 Habitat ............................................................................................................ 3

2.2 Biologi Penyu Lekang ..................................................................................... 3

a. Klasifikasi ilmiah .................................................................................. 3

b. Ciri-ciri morfologi ................................................................................. 4

c. Reproduksi penyu lekang ...................................................................... 6

d. Habitat peneluran .................................................................................. 8

e. Karakteristik habitat peneluran ............................................................. 8

2.3 Predator penyu .............................................................................................. 11

BAB III METODE PELAKSANAAN ........................................................................... 14

3.1 Waktu dan tempat ......................................................................................... 14

3.2 Alat dan bahan............................................................................................... 14

3.3 Metode pelaksaan .......................................................................................... 14

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 15

4.1 Gambaran umum lokasi PKL ........................................................................ 15


4.2 Pengaruh lingkungan terhadap pemilihan lokasi bertelur Lepidochelys

olivachea ...................................................................................................... 17

a. Hasil pengamatan .................................................................................. 17


b. Pembahasan ........................................................................................... 17

BAB V PENUTUP .......................................................................................................... 20

5.1 Kesimpulan ................................................................................................... 20

5.2 Saran .............................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Hasil pengamatan ............................................................................................... 19
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Penyu lekang (Lepidochelys olivacea) ............................................................. 5

Gambar 2 Skema daur hidup penyu laut ........................................................................... 7

Gambar 3 Vegetasi di sekitar lokasi peneluran ............................................................... 17

Gambar 4 Tekstur pasir ................................................................................................... 17


DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran daftar hadir mahasiswa PKL UNDANA 2017


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyu merupakan jenis reptil laut yang hidup di daerah tropis dan
subtropis. Jenis penyu yang sering dijumpai di perairan Indonesia adalah penyu
hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbracata), penyu lekang
(Lepidochelys olivacea), penyu tampayan (Caretta caretta), penyu pipih (Natator
depressus) dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea) (Romimohtarto dan
Juwana, 2007).

Besarnya manfaat yang dapat diambil dari seekor penyu juga dapat
membahayakan keberadaan dan kelestarian penyu, apabila dalam pemanfaatannya
dilakukan tanpa terkendali. Faktor utama yang memengaruhi penurunan populasi
penyu lekang, yaitu adanya penangkapan penyu dewasa untuk dimanfaatkan
daging, cangkang, dan pengambilan telur penyu di sarang alami. Untuk menjaga
tercapainya kelestarian Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea), maka kegiatan
pengelolaan yang tepat sangat diperlukan.

Menurut Ackerman (1997), penyu menggali sarang dan meletakkan telur-


telurnya di sebuah pantai berpasir. Pantai berpasir tempat peneluran penyu
merupakan inkubator serta memiliki suasana lingkungan yang sesuai bagi
perkembangan embrio penyu. Iklim mikro yang sesuai untuk inkubasi telur penyu
ditimbulkan dari adanya interaksi antara karakter fisik material, penyusun pantai,
iklim lokal dan telur-telur dalam sarang.

Kondisi fisik pantai yang perlu diperhatikan untuk tempat penyu bertelur
antara lain, kemiringan pantai, lebar dan panjang pantai, kadar air, dan komposisi
butiran pasir pantai sedangkan kondisi biologis yang perlu diperhatikan antara lain
jenis vegetasi yang mendominasi di pantai peneluran dan disukai oleh Penyu
Lekang (Lepidochelys olivacea) sebagai lokasi pembuatan sarang (Yayasan Alam
Lestari, 2000).
Penyu lekang memiliki salah satu lokasi peneluran di NTT. Oleh karena
itu guna menyikapi problematika perburuan penyu, pemerintah NTT dan
pemerintah pusat telah mengambil langkah tepat dengan membuat daerah
konservasi penyu yang terletak di Taman Wisata Alam (TWA) Menipo. Taman
Wisata Alam Pulau Menipo merupakan TWA yang terletak di Desa Enoraen Kab
Kupang. TWA ini memiliki pantai pasir putih yang indah, landai dan garis pantai
yang panjang serta memiliki hutan pantai yang ditumbuhi cemara laut (Casuarina
equisetifolia) dan lontar (Borrassus flabelifer), sehingga menjadi habitat ideal
bagi penyu untuk mendarat dan bertelur. Hal inilah yang sangat mendukung
penulis dalam memilih judul “PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP
PEMILIHAN LOKASI BERTELUR PENYU LEKANG (Lepidochelys
olivachea) DI TWA PULAU MENIPO”.

1.2 Tujuan

Tujuan dilaksanakannya Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini adalah mengetahui


dan mempelajari pengaruh lingkungan terhadap pemilihan lokasi bertelur penyu
lekang (Lepidochelys olivachea) DI TWA PULAU MENIPO”.

1.3 Manfaat

Manfaat dilaksanakannya Praktek Kerja Lapangan (PKL) adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui dan pengaruh lingkungan terhadap pemilihan lokasi bertelur


penyu lekang (Lepidochelys olivachea) DI TWA PULAU MENIPO.
2. Sebagai acuan untuk pengenalan lapangan dalam rangka proses
penyusunan tugas akhir.
3. Sebagai informasi untuk pengambilan kebijakan ke depan di tingkat
BBKSDA NTT.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Habitat

Habitat adalah suatu kesatuan tempat yang memiliki fungsi bagi


organisme untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain dan berkembang
biak. Menurut Alikodra, (1988) habitat terdiri dari berbagai faktor yaitu
phisiografi, vegetasi dengan kualitasnya selain tempat hidup bagi organisme.
Studi perilaku tidak terlepas dari pembicaraan mengenai habitat karena tingkah
lakulah yang mengatur interaksi antara satwa dengan habitatnya. Habitat
mengandung pengertian tempat tinggal alamiah dari beberapa jenis hewan dan
tumbuh-tumbuhhan yang hidup diatasnya (Smith, 1986). Habitat merupakan suatu
tempat yang amat penting bagi suatu satwa agar dapat berkembang dengan
optimal (Djuwantoko, 1986).

Habitat merupakan faktor paling penting untuk kehidupan satwa liar dan
kualitas habitat berpengaruh langsung terhadap perilaku dan populasinya. Suatu
organisme tidak hanya menduduki ruang fisik habitat saja, tetapi juga mempunyai
peranan fungsional didalam lingkungannya. Bagaimana organisme tersebut
merubah energi yang ada, bertingkah laku dan tanggap terhadap perubahan
lingkungan fisik serta biotik dan bagaimana organisme lain menjadi kendala
baginya (Odum, 1993). Oleh sebab itu satwa sangat bergantung pada faktor-faktor
lingkungan yang di perlukan dalam kehidupan antara lain iklim, substrat dan
vegetasi sehingga memungkinkan satwa dapat mempertahankan hidupnya dan
tidak berpindah ke tempat lain (Sulthoni, 1986).

2.2 Biologi Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea)

a. Klasifikasi ilmiah

Menurut Jatu (2007), klasifikasi penyu lekang adalah:

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata
Class : Sauropsida

Order : Testudinata

Family : Cheloniidae

Genus : Lepidochelys

Species : Lepidochelys olivacea

Nama lokal : Penyu lekang

b. Ciri-ciri Morfologi

Spesies ini mudah dikenali dengan tubuhnya yang agak datar, kepalanya
besar dengan dua pasang sisik prefontal (sisik yang ada di kanan dan kiri mata).
Warna tubuh bagian atas pada penyu muda (immature) adalah abu-abu, sedangkan
pada penyu dewasa (addult) berwarna hijau olive.

Bagian bawah berwarna putih pada penyu muda, dan penyu dewasa
mendekati kuning (Pritchard et. Al, 1983). Sisik lateral dikatakan berjumlah 5-9
pasang, namun biasanya berjumlah 6-8 pasang (Carr, 1952). Sekilas hampir tidak
ada perbedaan dengan kerabatnya dari genus yang sama, yaitu Lepidochelys
kempii, namun apabila diamati lebih mendalam akan terlihat perbedaannya.
Marquez (1990) menyatakan bahwa Lepidochelys olivaceae lebih ramping dan
ringan dibanding Lepidochelys kempii.

Reptil ini mempunyai rumah yang mebungkus tubuhnya. Rumah terdiri


dari 2 bagian, bagian atas disebut dengan karapas atau batok punggung sedang
bagian bawah atau perut disebut plastron. Karapas tersusun atas 2 lapisan, yakni
lapisan dalam dan lapisan luar. Lapisan luar merupakan lapisan epidermal yang
berbentuk sisik-sisik yang keras. Lapisan dalam merupakan tempat menempelnya
tulang belakang, kecuali tulang leher dan tulang ekor sehingga kedua tulang
tersebut dapat bergerak bebas (Frazer, 1983). Bentuk karapas pada penyu dewasa
bila dilihat dari atas hampir bulat (Marquez, 1990). Pada sisi lateral naik
membengkok keatas dan mendatar pada permukaannya. Lebar karapas lurus
(Straught Carapace Width, SCW) 90% panjang karapas lurus (Straight Carapace
Lenghth, SCL).

Gambar (1) Penyu lekang (Lepidochelys olivaceae) Sumber : Marquez, 1990

a. Tampak samping
b. Tampak atas
c. Kepalas

Karapas berpori dengan 5-9 pasang sisik punggung (costal scuter)


yang tidak saling tumpang tindih. Kadang-kadang jumlah antara jumlah
sisik kiri dan kanan berbeda (Anonimous, 1988). Mempunyai cakar pada
setiap lengan, punggung berwarna abu-abu dan pada bagian perut
berwarna putih kekuningan (Fischer, 1978).

Kepala kecil berukuran sekitar 22% dari ukuran karapas.


Mempunyai moncong yang keras tertutup oleh 2 pasang perisai depan
yang merupakan ciri khusus spesies ini (Anonimous, 1988). Mulut tidak
bergigi karena peranan gigi digantikan oleh adanya sepasang rahang yang
kuat dan mampu melumatkan, mengigit bahkan mencabik mangsanya.
Untuk membedakan jenis kelaminnya pada penyu jantan mempunyai ekor
yang panjang dan satu cakar lengkung pada setiap sirip depan (Halliday,
1982)
Nuitja (1992) menyatakan bahwa ditemukan penyu lekang berukuran
150 cm di West Indies. Pendapat lain yang menyatakan ukuran panjang
rata-rata penyu ini adalah 75 cm (Halliday et. Al, 1982)

c. Reproduksi Penyu Lekang (Lepidochelys olivaceae)


Setelah dewasa penyu akan mengalami periode musim kawin dengan
cara melakukan migrasi ke sekitar pantai peneluran. Di pantai tersebut penyu
jantan akan melakukan kopulasi dengan beberapa ekor betina. Waktu yang
dibutuhkan untuk mulai dari bercumbu sampai selesai kopulasi kurang lebih
4-6 jam (Anonimous, 1988). Saat kopulasi penyu jantan berada diatas
punggung penyu betina dengan mencengkeram bahu betinanya menggunakan
kuku yang terdapat disirip depan, penyu betina yang mempunyai telur
dibahunya pasti terdapat tanda bekas cakaran. Seusai kopulasi penyu jantan
akan kembali berimigrasi untuk mencari makan, sedangkan penyu betina
beberapa minggu kemudian akan bergerak menuju pantai untuk bertelur
(Anonimous, 1988). Induk penyu meletakkan telur-telurnya didalam
timbunan pasir dan meninggalkan telur-telur tersebut untuk selanjutnya
menuju laut melanjutkan siklus hidupnya.
Telur-telur yang ditinggalkan di pasir akan mengalami proses
inkubasi. Masa inkubasi telur penyu lekang adalah 45-58 hari, umumnya telur
menetas antara 45-52 hari. Tukik atau anak penyu yang dihasilkan dari telur-
telur akan saling berebutan naik ke permukaan pasir. Pada proses ini
ditemukan adanya kematian tukik yang disebabkan tidak dapat mencapai
permukaan pasir. Sehingga tukik tersebut mati terkubur dalam pasir tempat
penetasannya. Tukik yang bisa bertahan hidup akan segera berjalan menuju
laut.
Anak penyu yang mencapai laut akan mengalami masa yang disebut
sebagai masa yang hilang. Pada masa ini sangat sulit diketahui keberadaan
dan kehidupan tukik karena sulit dideteksi. Prithchard (1967) menyebutkan
masa hilang penyu laut sekitar 1 tahun, dan untuk penyu lekang diperkirakan
4-5 tahun. Penyu lekang mencapai umur kawin diperkirakan 7-9 tahun.
Dari berbagai tahapan kehidupan penyu laut, diperkirakan dari 1800
telur yang dihasilkan oleh seekor induk penyu hijau selama hidupnya hanya
405 yang dapat berkembang sempurna menjadi tukik, dan jumlah tersebut
yang berhasil memasuki laut sekitar 243 ekor. Pada minggu pertama didalam
laut jumlah tersebut menyusut menjadi 31 ekor yang bisa bertahan hidup. Dan
pada akhirnya tersisa 3 ekor yang berhasil menyelesaikan daur hidupnya. Hal
tersebut belum termasuk ancaman yang datang dari manusia (Anonimous,
1988). Pada gambar (2) disajikan skema daur hidup penyu laut secara
sederhana.

Gambar (2) skema daur hidup penyu laut

Penyu lekang sangat peka terhadap suhu, sehingga tidak pernah


dijumpai bertelur pada siang hari. Di sore hari ketika pasir sudah menjadi
dingin, penyu akan menuju pantai dan akan semakin banyak ketika hari
semakin malam, dan menjelang pagi bersiap meninggalkan pantai
(Marquez, 1990). Menurut Caldwell (1960) hanya penyu betina yang naik
ke darat untuk bertelur, sedangkan penyu jantan menunggu di laut. Carr
(1982) mengungkapkan bahwa penyu betina dapat bersarang (bertelur) dua
kali dalam satu musim, bahkan sampai tiga kali.
Penyu lekang tersebar luas di Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia, juga terdapat di pantai barat Afrika ke arah utara sampai Senegal
serta di pantai Amerika Selatan dari Guyana sampai Trinidad pada
Samudera Atlantik. Penyu ini juga memasuki daerah perairan beriklim
sedang seperti Jepang dan Selandia Baru (Halliday et. Al. 1982).
d. Habitat Bertelur
Penyu lekang umumnya berimingrasi sepanjang paparan benua dan
mencari makan di perairan yang hangat, cenderung sudah ditemuakn pada
musim panas dan bertelur dimusim bertelur pada pantai yang landai yang
halus sampai sedang atau sedikit kasar. Lokasi pantai peneluran biasanya
terisolasi, kadan-kadang juga ditemukan terpisah dari tempat peneluran
utama seperti di daerah pesisir laguna. Pencarian tempat bertelur menuju
tempat peneluran secara bergerombol (arribazones) ada hubungan dengan
menghindari predator untuk melindungi generasi mereka.
Menurut Carr (1952) dalam Darmawan (1995) induk penyu akan
bertelur pada pantai yang tidak jauh dari daerah sumber makanan ,
sedangkan Ehrenfold (1979) dalam Darmawan (1995) menyatakan bahwa
pemilihan lokasi bertelur di tandai dengan tipe pantai. Beberpa individu
memiliki lokasi peneluran yang sama dengan lokasi peneluran tahun
sebelumnya.
Berdasar penelitian Marten dalam Hutabarat (1996) dikemukakan
bahwa penyu memiliki kemoreseptor yang dapat mengenali zat kimia
tertentu yang pernah dicium sebelumnya. Dengan kemoreseptor tersebut
penyu lekang yang berada disekitar pantai dapat mengenali bau feromon .
bau feromon kemudian merangsang penyu untuk bertelur bersama-sama.
Formasi vegetasi hutan pantai juga mempengaruhi lokasi
peneluran. Carr (1952) menyatakan penyu di pantai Costa Rica umumnya
membuat sarang di pantai yang hampir tidak ada vegetasinya bebas dari
sampah dan tidak jauh dari batas pasang surut tertinggi. Menurut Komara
(1981) dalam Suharso (1995) semua jenis penyu laut, baik yang hidup di
perairan Atlantik maupun Pasifik pada umunya gemar berada di laut yang
dangkal dan bervegetasi.
e. Karakteristik Habitat Peneluran

Habitat adalah suatu daerah yang ditempati makhluk hidup,


memiliki komponen biotik dan abiotik, berupa ruang, lahan, makanan,
lingkungan dan makhluk hidup lainnya (Herdiawan, 2003). Penyu
memiliki dua habitat, yakni habitat darat dan habitat laut. Habitat darat
merupakan tempat peneluran (nesting ground) bagi penyu betina. Satu kali
musim peneluran penyu akan bertelur tiga kali dengan rata-rata jumlah
telur 110 telur (Spotila, 2007). Habitat laut merupakan tempat yang utama
bagi kehidupan penyu. Perairan tempat hidup penyu adalah perairan tropis,
sedangkan tempat kediaman penyu adalah daerah yang agak relatif
dangkal, tidak lebih dari 200 meter yang juga merupakan kehidupan lamun
dan rumput laut (Spotila, 2004). Daerah yang lebih disukai penyu adalah
daerah yang mempunyai batu-batu sebagai tempat menempel berbagai
jenis makanan penyu dan berbagai tempat berlindung. Habitat darat atau
tempat bertelur penyu merupakan kajian dari penelitian.

Beberapa karakteristik habitat bertelur yang akan digunakan dalam


penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kemiringan Pantai
pantai adalah suatu faktor paling penting dalam pemilihan tempat
bertelur (Setyawatiningsih et al, 2011). Habitat bertelur Penyu Lekang
atau singkatnya sarang penyu yang terletak pada daerah dengan
kemiringan lebih besar (tinggi) akan lebih aman dibandingkan dengan
sarang penyu yang terletak pada kemiringan yang semakin kecil (rendah)
semakin mudah terkena resiko instrusi air laut yang mana akan
mempengaruhi telur – telur penyu di dalamnya. Menurut Nuitja (1992)
kondisi pantai yang landai (3 – 8 % ) dan miring (8 -16 %) sesuai bagi
habitat peneluran penyu, karena kondisi landai tersebut dapat
memudahkan penyu untuk mencapai tempat peneluran.
2. Penutup Lahan
Menurut Sukada (2006) penutup lahan merupakan salah satu faktor
dalam pemilihan tempat induk penyu meletakkan telurnya. Kaitannya
dengan teduh atau tidaknya habitat penyu, karena penutup lahannya dan
ketersediaan lahan untuk habitat bertelur Penyu Lekang. Penutup lahan di
sekitar mempengaruhi lama penetasan dan laju tetas telur penyu, dimana
penutup lahan yang semakin teduh akan memberikan proses penetasan
semakin baik. Walaupun ukuran butir, kemiringan dan suhu sudah sesuai
terhadap habitat bertelur Penyu Lekang, namun bila terdapat bangunan dan
perairan di sekitar pantai dapat menjadi penghalang induk penyu untuk
bertelur disana.
Selain itu menurut Nuitja (1992) kehadiran hutan-hutan yang lebat
memberikan pengaruh yang baik terhadap kestabilan populasi penyu yang
bertelur. Keberadaan vegetasi naungan akan melindungi sarang dari sinar
matahari langsung, sehingga mengurangi penguapan. Selain itu jika
pohon-pohon tumbuh dengan lebat, maka daun-daun yang jatuh lama-
kelamaan mengalami proses dekomposisi menjadi partikel-partikel
mineral dan langsung hanyut terbawa air ke laut. Proses tersebut
berlangsung secara terus menerus, sehingga kesuburan perairan dapat tetap
terjamin. Kesuburan perairan menjadi kebutuhan biota yang hidup di
daerah tersebut, seperti tumbuhnya rumput laut dan tersediaanya
invertebrata laut berupa zooplankton, dimana invertebrata laut merupakan
makanan yang dibutuhkan oleh populasi penyu yang masih kecil (tukik).
3. Ukuran butir Pasir
Ukuran butir pasir digunakan sebagai salah satu parameter/
karakteri fisik dalam menentukan habitat bertelur penyu. Tekstur pasir
telah diamati menjadi bagian penting suatu variabel dalam memfasilitasi
penggalian lubang sarang oleh penyu (Kikuklawa et al., 1999 dalam
Acevedo et al. 2009). Kehalusan ditentukan oleh ukuran pasir. Pasir yang
terlalu halus akan menyebabkan penyu sulit membuat sarang, karena
sarang akan mudah longsor (Nuitja, 1992). Pasir yang terlalu kering keras
membuat induk penyu sulit menggali lubang untuk membuat sarang
(Mortimer, 1990 dalam Acevedo et al. 2009).

Umumnya pantai penelurannya adalah daratan luas dan landai yang


terletak di atas pantai dengan rata-rata kemiringan 30° serta di atas pasang
surut antara 30 sampai 80 meter, memiliki butiran pasir tertentu yang
mudah digali dan secara naluriah dianggap aman untuk bertelur. Selain itu
pantai yang didominasi oleh vegetasi pandan laut memberikan rasa aman
tersendiri bagi penyu yang bertelur (Nuitja, 1992).
4. Pasang surut air laut

Pasang surut memiliki hubungan yang erat dengan aktivitas


peneluran penyu. Penyu menghemat energi pada malam hari dengan
memanfaatkan air pasang untuk mencapai area yang kering (supratidal)
baru kemudian membuat sarang dan bertelur (Segara, 2008).

5. Vegetasi Pantai

Keberadaan vegetasi di pantai sangat penting bagi sarang


peneluran penyu terutama untuk inkubasi telur. Sarang peneluran penyu
lekang seringkali ditemukan dibawah naungan vegetasi pantai.
Keberadaan vegetasi mampu menjaga suhu dalam proses inkubasi telur
dan secara naluriah vegetasi dianggap menambah keamanan untuk
meletakan telur-telurnya agar terhindar dari predator (Nuitja, 1992). Jenis
vegetasi yang ditemukan didaerah peneluran penyu lekang antara lain :
pandan laut (pandanus tectorius), waru laut (Hibiscus tiliaceus), ketapang
(Terminalia catappa), nyamplung (Colophyllum inophyllum), cemara laut
(Casuarina equisetifolia), kelapa (Cocos nucifera) (Ranching project,
1991).

6. Lebar Pulau

Penyu lekang cenderung lebih menyukai pantai peneluran yang


memiliki lebar pantai yang sempit(Nuitja,1992). pada umumnya sarang
dibuat dibagian mendatar, selain itu banyak juga sarang peneluran
dijumpai pada batas pasang surut sehingga dapat dikenai air laut pada saat
pasang

2.3 Predator Penyu


Predator menjadi salah satu faktor pengganggu yang cukup besar terhadap
laju pertambahan populasi penyu.Berikut adalah beberapa jenis predator
penyu yang diketahui melakukan pemangsaan baik terhadap penyu yang
sedang bertelur, tukik maupun telur penyu
.
1. Babi hutan (Sus scrofa)
Babi hutan merupakan binatang yang sering memangsa telur-telur
penyu, kekuatan membongkar sarangnya lebih besar dari pemangsa
lain. Biasanya babi hutan melakukan aktivitasnya pada waktu
menjelang malam dan subuh menjelang pagi karena babi hutan sangat
menyukai telur-telur penyu yang baru di keluarkan oleh induk
penyu.Babi hutan menggali pasir sarang telur dengan moncong dan
kakinya.
2. Biawak (Varanus salvator)
Biasanya aktivitas biawak dalam memangsa telur-telur penyu di
lakukan pada saat pagi dan siang hari.Biawak mengetahui adanya
sarang telur dengan menggunakan indera penciuman dan menggali
pasir sarang telur dengan tungkai depannya.
3. Musang (Paradoxurus hermaphroditus)
Musang termasuk predator terhadap tukik penyu yang baru keluar dari
sarang.musang memakan tukik pada bagian kepala dan leher saja.
Disebabkan karena karapaks penyu yang keras sehingga susah untuk
dimakan.
4. Semut merah
Semut merah juga termasuk predator bagi telur dan tukik walaupun
relatif sedikit.Semut merah memakan telur-telur di dalam sarang
sehingga telur menjadi rusak dan tidak bisa menetas.Selain telur,
semut merah juga memakan tukik yang baru menetas pada bagian
matanya sehingga menyebabkan tukik menjadi cacat bahkan mati.
5. Kepiting pantai (Ocypoda sp.)
Kepiting juga termasuk predator telur dan tukik penyu.Pengrusakan
sarang yang di lakukan oleh kepiting adalah dengan membuat lubang-
lubang pada sarang peneluran dan pelubangan telur penyu sehingga
menyebabkan kerusakan pada telur penyu. Selain itu kepiting juga
memakan tukik yang akan di lepas ke laut dengan cara menangkap
tukik dan memasukkannya ke dalam lubang sarangnya.
6. Monyet (Macaca fascicularis)
Monyet juga merupakan predator bagi perkembangan penyu, yakni
dengan menggali sarang untuk memakan telur penyu tersebut.
7. Elang laut (Haliaeetus leucogaster)
Elang laut merupakan predator tukik dan biasanya burung ini terbang
berputar-putar pada saat pelepasan tukik ke laut.

Seiring dengan bertambahnya jumlah manusia, penyu mengalami berbagai


kesulitan.Manusia seringkali merusak habitat penyu bertelur.Manusia juga
memburu telur-telur penyu dan penyu-penyu dewasa sehingga menurunkan
tingkat pertumbuhan populasi penyu.
BAB III
METODE PELAKSANAAN
3.1 Waktu dan Tempat
Praktek Kerja Lapangan ini berlangsung selama 1 bulan, yakni dari
tanggal 01 Agustus 2017 sampai 31 Agustus 2017 di Balai Besar Konservasi
Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam pengamatan ini adalah meteran, alat tulis dan
kamera.

3.3 Metode Pelaksanaan


1. Metode Primer yaitu metode pengambilan data yang diambil/diperoleh
secara langsung di lapangan melalui wawancara dengan kepala resort dan
petugas lapangan, pengamatan langsung dilapangan mengenai pengaruh
lingkungan terhadap pemilihan lokasi bertelur penyu lekang (Lepidochelys
olivaceae) di TWA Pulau Menipo.
2. Metode Sekunder yaitu metode pengambilan data yang diambil/diperoleh
secara tidak langsung melalui studi pustaka atau literature.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran umum lokasi Praktek Kerja Lapangan
a. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT
sebagai Unit Pelaksana Teknik (UPT) dari Ditjen KSDAE
bertanggungjawab atas penyelenggaraan konservasi sumber daya alam dan
ekosistemnya di Cagar Alam (CA), Suaka Marga Satwa (SM), Taman
Wisata Alam (TWA), dan Taman Buru (TB) serta koordinasi teknis
pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) dan Kawasan Ekosistem
Esensial (EE) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebagai acuan dan arah kebijakan dalam mempunyai tugas penyelengaraan
konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya di CA, SM, TWA dan TB
serta koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan kawasan
ekosistem esensial berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,
telah ditetapkan Renstra BBKSDA NTT Tahun 2015-2019 melalui Surat
Keputusan Kepala BBKSDA NTT Nomor : SK.211/BBKSDA-16.1/2015
tentang Renstra Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa
Tenggara Timur tahun 2015-2019
BBKSDA NTT memiliki 28 kawasan konservasi dengan luas total
233.659,69 Ha yang terdiri dari kawasan hutan konservasi yang berfungsi
sebagai CA sebanyak 8 (delapan) kawasan dengan luas 28.183,32 Ha, 6
(enam) kawasan yang berfungsi sebagai SM dengan luas 15.657,64 Ha, 2
(dua) kawasan yang berfungsi sebagai TB dengan luas 3.419,30 Ha dan 12
(dua belas) kawasan berfungsi sebagai TWA/TWAL dengan luas
186.399,43 Ha.
b. Taman Wisata Alam Pulau Menipo
Taman Wisata Alam Pulau Menipo merupakan salah satu kawasan
Pelestarian Alam dan secara administrasi pemerintahan termasuk ke dalam
wilayah Desa Enoraen Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang.
TWA Pulau Manipo termasuk dalam Resort KSDA TWA Pulau Menipo,
Seksi Konservasi Wilayah II Camplong, Bidang KSDA Wilayah I Soe
pada Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT.
Kawasan TWA Pulau Menipo memiliki luas 2.449,50 Ha yang
ditetapkan dengan keputusan Menteri Kehutanan Nomor. 1134/Kpts-
II/1992 pada tanggal 28 Desember 1992.
Taman Wisata Alam Pulau Menipo adalah taman wisata yang
dilengkapi dengan gugusan pulau seluas 784,90 Ha. Pulau Menipo akan
terlihat menyatu dengan Pulau Timor jika air laut surut, sehingga belum
lengkap rasanya jika mengunjungi TWA Pulau Menipo tanpa bermalam di
Pulau Menipo.
 Potensi Flora di TWA Pulau Menipo
Tipe vegetasi di TWA Pulau Menipo yaitu hutan kering, savana
yang didominasi jenis-jenis lontar (Borrassus flabelifer), hutan pantai
yang ditumbuhi cemara laut (Casuarina equisetifolia) dan hutan
mangrove yang didominasi oleh jenis Rhizophora mucronata dan
Bruguiera sp.
 Potensi Fauna di TWA Pulau Menipo
Fauna yang terdapat yang terdapat di daratan Taman Wisata Alam
ini antaranya adalah Rusa Timor (Rusa timorensis), Monyet
(Macaca fascicularis), Babi Hutan (Sus vitatus), Biawak (Varanus
salvator), Ular Sanca Timor (Phyton timorensis), Burung Camar
(Sterna sp), Burung Perkici (Trichoglossus haematodus), Burung
Kakatua Putih Kecil Jambul Kuning (Cacatua sulphurea), Elang
Laut (Haliaretus leucogaster), Raja Udang (Halcyon sp), Pecuk Ular
(Anhinga melanogaster), Burung Gelatik (Padda orizyphora), Bangau
Putih (Egretta sacra), Burung Perkutut (Geopelia striata), Bangau
Hitam (Ciconia episcopus), dan Burung Koakiu (Philemon
inornatus). Di samping itu, terdapat pula aneka jenis fauna perairan
dan laut seperti Buaya Muara (Crocodylus porosus), penyu tempayan
(Caretta c a r e t t a ) , d a n p e n y u s i s i k (Eretmochelys imbricata).
Penyu lekang (Lepidochelys olivachea).
4.2 Pengaruh lingkungan terhadap pemilihan lokasi peneluran penyu lekang
(Lepidochelys olivacheea) di TWA Pulau Menipo
a. Hasil pengamatan
Tabel (1) Kondisi fisik dan biologis habitat peneluran
Jarak
Penyu sarang dari Jenis Vegetasi Tekstur Pasir Diameter Kedalaman Jumlah Warna pasir
vegetasi sarang sarang (cm) telur
(m) (cm)
1 5,8 Cemara Laut dan Halus 34 41 42 Putih
Lontar kecoklatan
2 7 Cemara Laut dan Halus 36 43 100 Putih
Lontar kecoklatan

Gambar (3) Tekstur pasir Gambar (4) Vegetasi yang


ada disekitar lokasi peneluran

b. Pembahasan
Menurut Carr (1952) dalam Darmawan (1995) induk penyu akan
bertelur pada pantai yang tidak jauh dari daerah sumber makanan ,
sedangkan Ehrenfold (1979) dalam Darmawan (1995) menyatakan bahwa
pemilihan lokasi bertelur di tandai dengan tipe pantai.
Kawasan pantai di TWA Menipo memiliki kondisi pantai yang
sangat baik untuk tempat penyu meletakkan telur, selain memiliki panjang
garis pantai sekitar 8,3 km dan pantai ini aman dari gangguan aktivitas
masyarakat umum karena akses ke lokasi pantainya yang cukup sulit.
Kisaran suhu pasir di kawasan pantai TWA Menipo, yaitu 25oC-34oC,
yang memungkinkan untuk proses penetasan telur penyu. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Goin et al., (1978) menyatakan perkembangan embrio
telur penyu berkisar antara 25oC-34oC. Suhu merupakan salah satu faktor
lingkungan yang memengaruhi keberhasilan penetasan penyu (Rudiana,
2004).
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh penulis,
ditemukan 2 ekor penyu lekang (Lepidochelys olivachea) yang mendarat
dan bertelur pada waktu dan tempat yang berbeda yakni pada tanggal 10
Agustus 2017 pukul 21.46 WITA dibagian Timur pantai dan pada tanggal
11 Agustus 2017 pukul 22.37 WITA dibagian Barat pantai.
Dari data hasil pengamatan pada tabel (1) diatas, penyu memilih
dan membuat lokasi peneluran di pasir halus sehingga memudahkannya
dalam menggali lubang peneluran. Lubang peneluran yang dibuat oleh
penyu ini memiliki jarak dengan vegetasi yang ada yaitu lontar (Borrassus
flabelifer) dan cemara laut (Casuarina equisetifolia) 5,8 meter untuk
penyu pertama dan 7 meter untuk penyu kedua sehingga tidak
memungkinkan sarang ternaungi, sehingga sinar matahari langsung pada
pasir akan meningkatkan suhu pada sarang dan menciptakan kondisi suhu
yang baik untuk perkembangan pada setiap embrio telur penyu.
Sarang yang dibuat oleh penyu pertama dalam pengamatan ini
memiliki kedalaman 41 cm dengan diameter 34 cm menyebabkan
kelembaban dan kadar air pada sarang akan tetap terjaga meskipun
terpapar sinar matahari langsung, jumlah telur yang dihasilkan adalah 42
butir sedangkan untuk penyu kedua memiliki kedalaman 43 cm dengan
diameter 36 cm dan jumlah telur 100 butir. Jumlah telur yang dihasilkan
oleh kedua penyu ini sangat berbeda dikarenakan penyu pertama baru
pertama kali mendarat dan bertelur sehingga jumlah telur yang
dihasilkannya sedikit
Berdasarkan hasil wawancara dan sumber, selain vegetasi dan
tekstur pasir ada juga faktor lain yang berpengaruh pada pemilihan lokasi
bertelur penyu lekang (Lepidochelys olivachea) antara lain : Kemiringan
Pantai TWA Pulau Menipo berkisar antara 28˚-32˚. Hal ini menunjukan
bahwa pantai tersebut termasuk pantai yang landai sehingga memudahkan
penyu menuju daratan untuk mencari lokasi dan membuat lubang sebagai
tempat peneluran.
Dalam pengamatan yang dilakukan, penulis tidak melakukan
pengukuran terhadap suhu pasir karena keterbatasan alat. Pertumbuhan
embrio penyu sangat dipengaruhi oleh suhu. Menurut (Direktorat
Konservasi dan Taman Nasional Laut 2009) Embrio akan tumbuh optimal
pada kisaran suhu 24-33°C dan akan mati apabila diluar kisaran suhu
tersebut.
Dalam pengamatan, penulis tidak melakukan pengukuran pada saat
terjadi pasang tertinggi maupun surut terendah. Namun berdasarkan
wawancara dengan petugas di lapangan, dijelaskan bahwa pasang tertinggi
berkisar antara 10 –15 m, sedangkan untuk surut terendah berkisar antara
25 m – 30 m.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Lingkungan sangat berpengaruh terhadap pemilihan lokasi bersarang bagi


penyu lekang (Lepidochelys olivachea). faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pemilihan lokasi bersarang bagi penyu lekang (Lepidochelys olivachea) antara
lain : Vegetasi, tekstur pasir, kemiringan pantai, suhu pasir dan pasang surut air
laut.

5.2 Saran

1) Diharapkan agar dalam pengamatan atau penelitian penulis lebih


mempersiapkan perlengkapan yang akan digunakan.
2) Diharapkan adanya pengamatan lanjutan mengenai faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pemilihan lokasi bersarang bagi penyu lekang
(Lepidochelys olivachea).
DAFTAR PUSTAKA

Agatha Eka Agustina. 2008. HABITAT BERTELUR DAN TINGKAT


KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU LEKANG (Lepidochelys
olivacea) DI PANTAI SAMAS DAN PANTAI TRISIK
YOGYAKARTA. Tersedia pada http://Skripsi-Agatha- 2008-habitat-
bertelur-dan-tingkat-keberhasilan-penetasan-telur-penyu-lekang.pdf
(Diakses pada Senin, 22 Januari 2018. Pukul 09.24 WITA)

Angga Richayasa. 2015. KARAKTERISTIK HABITAT PENELURAN PENYU


SISIK (Eretmachelys imbricata) di PULAU GELEANG,
KARIMUNJAWA. Tersedia http://Skripsi-Angga-2015-Karakteristik-
habitat-peneluran-penyu-sisik.pdf (Diakses pada senin , 22 Januari 2018.
Pukul 11.53 WITA)

Anonimous, 1993. Laporan Penelitian Studi Habitat Bertelur dan Perilaku


Bertelur Penyu Lekang Di Taman Nasional Alas Purwo. Kelompok
Spesialis Penyu / Mitra Satwa. Yayasan Naional Bina Samudera. Jakarta

Berman Manurung, Erianto, Slamet Rifanjani. 2015. Habitat of Spawning Turtle


in the Nature Park Tanjung BelimbingParkPaloh, District Of Sambas.
Tersedia pada http://Jurnal-JURNAL-HUTAN-LESTARI (2015) Vol. 4
(2) : 205 – 212. (Diakses pada senin, 22 Januari 2018. Pukul 10.37
WITA)

Bjorndal, K. A dan G. H, Balazs, 1983. Manual Of Sea Turtle Research and


Conservation Tecniques. Perepare For The Westerm Atlantic Turtle
Symposium

Brina Wanda Pratiwi. 2016. KERAGAMAN PENYU DAN KARAKTERISTIK


HABITAT PENELURANNYA DI PEKON MUARA TEMBULIH,
NGAMBUR, PESISIR BARAT. Tersedia pada http://Skripsi-tanpa-
pembahasan-keragaman-penyu-dan-karakteristik-habitat-penelurannya.pdf
(Diakses pada senin, 22 Januari 2018. Pukul 10.02 WITA)
Carr, A. F, 1986. Rips, FADS dan Little Longerheads. Bio Science Magazine 36
(2) : 92-100

Darmawan, E. H, 1995. Studi Beberapa Aspek Ekologi Peneluran Penyu Lekang


(Lepidochelys olivachea) di Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi.
Jurusan Perikanan Faklutas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang

Ferry Akasa Pradana, Syafruddin Said, Sarma Siahaan. 2013. Habitat of


Spawning Green Turtle (Chelonia mydas) in the Amusement Park River
Twists District Sambas, West Kalimantan. Tersedia pada
http://Jurnal-10316-ID-habitat-tempat-bertelur-penyu-hijau-chelonia-
mydas-di-kawasan-taman-wisata-alam(1).pdf. (Diakses pada senin, 22
Januari 2018. Pukul 19.08 WITA)

Hutabarat, H. P, 1996. Studi Peneluran dan Morfometrik Serta Penangkaran


Penyu Lekang (Lepidochelys olivachea) di Taman Nasional Alas Purwo
Banyuwangi. Program Studi Biologi. Program Pasca Sarjana Universitas
Indonesia

Manilkara kauki. 2012. Pengelolaan Penyu di TN Alas Purwo Habitat Pendaratan


Penyu Predator Penyu di TNAP. Tersedia pada http://Buletin-Manilkara-
kauki-Edisi-5.pdf (Diakses pada selasa, 23 Januari 2018. Pukul 20.46
WITA)

Nuitja, I. N. S, 1992. Biologi dan Ekologi Peletarian Penyu Laut. Penerbit IPB.
Bogor

Rifqi,A. 2008 . KSPLK Chelonidae dan Konservasi Penyu Laut . Tersedia pada
: http://arifqbio-multi ply.com/journal/item/ 6 Diakses tanggal 26
November 2017. Pukul 14.34 WITA

Suharso, 1995. Studi Habitat Peneluran Penyu Hijau di Pantai Blambangan


Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur. Fakultas Kehutanan. IPB.
Bogor
Suratmo, F. G, 1979. Prinsip Dasar Tingkah Laku Satwa Liar. Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor

Syaiful N. 2013 .Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) Pada


Lokasi Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu Kota Pariaman . FMIPA
,Universitas Andalas.Sumatra Barat. Padang

Anda mungkin juga menyukai