Anda di halaman 1dari 33

ANALISIS SIFAT FISIK, KIMIA, DAN BIOLOGI AIR SUNGAI AMBARAWA

LAPORAN PRAKTIKUM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Limnologi yang Dibina oleh Dr. Hadi
Suwono, M.Si dan Sitoresmi Prabaningtyas, S.Si, M.Si

Oleh:
Abdul Hamid N. (130342603496)
Aji Pramono (130342615342)
Anang Januardy (130342603494)
Nining Nurnaningsih (130342603497)
Putri Deviyan N. (130342603483)
Rieza Novrianggita (130342603492)
Rizky Amalia (130342615332)
Silmy Kaffah (130342615323)
Walijatul Khasanah (1303426153 )

The Learning University

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Oktober 2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sungai merupakan salah satu bentuk ekosistem lotik (perairan mengalir) yang
berfungsi sebagai media atau tempat hidup organisme makro maupun mikro, baik itu
yang menetap maupun yang dapat berpindah-pindah (Maryono, 2005). Organisme
yang hidup dalam badan air ini adalah organisme yang memiliki kemampuan
beradaptasi terhadap kecepatan arus atau aliran air (Susanto dan Rochdianto, 2008).
Selain berfungsi sebagai media kehidupan, sungai juga berperan sebagai
tempat pembuangan dari semua limbah kegiatan manusia seperti limbah dari daerah
pemukiman, pertanian, perikanan, pariwisata dan industri yang ada di sekitarnya
(Mahida, 1984). Adanya masukan dari limbah di atas akan dapat merubah sifat fisika,
kimia dan biologi dari ekosistem sungai. Perubahan tersebut dapat menurunkan
kualitas air dan mengganggu tatanan kehidupan organisme di dalam sungai
(Odum,1998), salah satu diantaranya adalah komunitas makrozoobentos.
Makrozoobentos merupakan salah satu kelompok terpenting dalam ekosistem
perairan sehubungan dengan peranannya sebagai biota kunci dalam jaring makanan,
dan berfungsi sebagai degradator bahan organik.Kondisi tersebut menjadikan biota
makrozoobentos memiliki fungsi sebagai penyeimbang kondisi nutrisi lingkungan
dan dapat digunakan sebagai biota indikator akan kondisi lingkungan di wilayah
perairan pesisir (Hawkes, 1978).
Lind (1979) menyatakan bahwa makrozoobentos adalah hewan invertebrata
yang hidup di dasar perairan. Makrozoobentos sungai termasuk hewan yang hidup
relatif menetap di dasar sungai baik sungai mengalir kencang atau lambat. Hewan ini
dapat merespon masukan bahan yang terus-menerus ke dalam sungai. Oleh karena
itu, komposisi dan struktur komunitas makrozoobentos yang hidup dalam sungai
merupakan hasil adaptasinya terhadap perubahan kualitas air yang terjadi di dalam
sungai tersebut.
Makrozoobentos berperan sebagai mata rantai makanan dalam ekosistem
perairan. Ditinjau dari level tropik makrozoobentos menduduki level konsumen
pertama dan kedua dan pada akhirnya dimakan oleh konsumen yang lebih tinggi,
seperti ikan. Selain itu hewan bentos berperan dalam siklus nutrien terutama dalam
proses awal dari dekomposisi material organik (Goldman and Horne, 1983; Izmiarti
dan Dahelmi, 1999). Makrozoobentos juga dapat digunakan sebagai hewan indikator
dalam menilai kondisi lingkungan perairan (Ogbeibu and Oribhabor, 2002).
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum tersebut adalah.
1. Untuk mengetahui kualitas perairan sungai ambarawa berdasarkan
pengukuran parameter fisika.
2. Untuk mengetahui kualitas perairan sungai ambarawa berdasarkan
pengukuran parameter kimia.
3. Untuk mengetahui kualitas perairan sungai ambarawa berdasarkan
pengukuran parameter biologi.
1.3 Manfaat
Adapaun manfaat praktikum sebagai berikut.
1. Dapat melakukan pengukuran kualitas air di lingkungan perairan , yaitu
parameter fisik , kimia dan biologi
2. Dapat mengetahui cara menggunakan alat-alat yang digunakan pada
pengukuran parameter lingkungan perairan parameter fisik, kimia dan biologi
1.4 Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup praktikum sebagai berikut.
1. Makrozoobentos sebagai bahan pengamatan yang diambil dari sungai FMIPA
Universitas Negeri Malang.
2. Alat yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah jaring, pinset dan baskom.
3. Pengamatan makrozoobentos dilakukan di ruang ekologi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Makrozoobentos

Bentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di dalam atau
di permukaan substrat dasar perairan (Odum, 1994). Organisme ini terdiri atas
kelompok hewan (zoobentos) dan tumbuhan (fitobentos). Berdasarkan ukurannya,
Levinton (1982) mengelompokkan hewan bentos atas tiga golongan yaitu:

a. Makrofauna atau makrozoobentos yang merupakan kelompok hewan bentos


berukuran 0,5 mm.
b. Mesofauna atau mesozoobentos yang merupakan kelompok hewan bentos
berukuran 0,5 0,1 mm.
c. Mikrofauna atau mikrozoobentos yang merupakan kelompok hewan bentos
berukuran < 0,1 mm.
Mann (1980), Lalli dan Parsons (1993) menyatakan hewan bentos yang hidup di
substrat dasar perairan dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan sesuai dengan
ukurannya yaitu:

a. Makrobentos yang berukuran > 1 mm, merupakan kelompok terbesar dan


terdiri dari makrofitobentos dan makrozoobentos.
b. Meiobentos atau mesobentos yang berukuran 0.1 mm sampai 1 mm,
merupakan kelompok hewan kecil yang banyak ditemukan di pasir atau lumpur.
Termasuk didalamnya moluska kecil, cacing kecil dan kerustasea kecil.
c. Mikrobentos yang berukuran < 0.1 mm, termasuk dalam kelompok ini adalah
protozoa, khususnya ciliata.
Berdasarkan cara makannya, hewan bentos dapat dibagi atas dua bagian yaitu hewan
bentos tipe pemakan deposit (deposit feeder) pada butiran-butiran yang halus dan tipe
pemakan suspensi (suspension feeder) pada butiran-butiran agak kasar yang
kandungan bahan organiknya sedikit (Nybakken, 1992). Pemakan deposit makan
dengan cara meliangi substrat, menelan dan mencernakan bahan organik serta bakteri
yang terdapat di dalam substrat yang akhirnya dikeluarkan melalui anus, termasuk di
dalamnya polychaeta dan bivalvia. Pemakan suspensi disebut sebagai pemakan
bahan-bahan tersaring yang makan dengan cara menggerakkan cilianya, sehingga air
beserta partikel-partikel makanan melewati suatu alat penyaring, termasuk di
dalamnya beberapa jenis kerang. Tipe pemakan ini dominan pada sedimen berpasir
yang pergerakan airnya kuat untuk mengaduk partikel-partikel mineral yang halus.
Webber dan Thurman (1991) menyatakan sumber makanan makrozoobentos
umumnya berasal dari bahan organik yang terlarut dalam air, zooplankton,
fitoplankton maupun diatom yang terdapat di permukaan sedimen.
2.2 Habitat dan Distribusi Makrozoobentos

Makrozoobentos merupakan organisme yang banyak ditemukan di perairan laut,


estuari, maupun perairan tawar. Menurut habitatnya makrozoobentos dapat
dikelompokkan menjadi infauna dan epifauna. Infauna adalah makrozoobentos yang
hidupnya terpendam di dalam substrat perairan dengan cara menggali lubang,
Sebagian hewan tersebut bersifat sesil. Epifauna adalah makrozoobentos yang hidup
di permukaan dasar perairan, gerakannya lambat di atas permukaan substrat yang
lunak atau menempel dengan kuat pada substrat padat yang terdapat di dasar
(Levinton, 1982).
Menurut Lalli dan Parson (1993 kelompok infauna sering mendominasi komunitas
substrat yang lunak dan melimpah di daerah subtidal, sedangkan kelompok epifauna
dapat ditemukan pada semua jenis substrat tetapi lebih berkembang pada substrat
yang keras dan melimpah di daerah intertidal. Selanjutnya Sumich (1992)
menyatakan makrozoobentos dari kelompok epifauna lebih sensitip dari kelompok
infauna.

Mann dan Barnes (1991) menyatakan kondisi lingkungan seperti substrat dasar dan
kedalaman dapat menggambarkan variasi yang amat besar bagi keberadaan
makrozoobentos, sehingga sering dijumpai perbedaan jenis pada daerah yang
berbeda. Adaptasi makrozoobentos pada substrat yang keras berbeda dengan
makrozoobentos yang hidup pada substrat yang lunak. Perbedaan ini dapat dilihat dari
bentuk morfologi, cara makan, adaptasi terhadap faktor fisik, seperti perubahan
temperatur, salinitas dan terhadap faktor-faktor kimia. Perbedaan ini menyebabkan
makrozoobentos menempati substrat yang berbeda. Pada substrat yang keras,
makrozoobentos harus menempel. Substrat keras ini dapat berupa batuan maupun
kayu. Makrozoobentos yang bersifat mobil memiliki organ pergerakan yang
memungkinkannya bergerak di sepanjang permukaan dan harus tahan terhadap
gelombang.

Levinton (1982) menyatakan makrozoobentos di perairan memiliki beberapa adaptasi


untuk mempertahankan diri dari arus dan gelombang antara lain:

- Bertahan secara permanen pada substrat yang kokoh seperti batu dan batang
pohon
- Melekat dengan alat pelekat
- Memiliki bentuk tubuh yang lentur untuk meminimalkan tekanan air terhadap
permukaan tubuh
- Berlindung di celah bebatuan
-
2.3 Peranan Makrozoobentos

Makrozoobentos memegang peranan penting di dalam ekosistem perairan,


terutama dalam proses mineralisasi dan pendaur ulang bahan organik, baik yang
berasal dari perairan maupun daratan. Kebanyakan makrozoobentos bersifat sebagai
pengurai dan di dalam jaring makanan mkrozoobentos mempunyai peranan penting
dalam mengubah bahan organik yang berenergi rendah menjadi makanan berkualitas
tinggi bagi tingkatan tropik yang lebih tinggi seperti ikan dan udang (Goldman dan
Home, 1983).

Menurut Odum (1994) makrozoobentos memegang peranan penting dalam


ekosistem perairan dan menduduki beberapa tingkatan tropik pada rantai makanan
yaitu:

- Graser, merupakan hewan pemakan tumbuhan air dan perifiton.


- Sereder, merupakan hewan pemakan partikel organik kasar.
- Kolektor, merupakan hewan pemakan partikel organik halus.
- Predator, merupakan hewan pemangsa bagi hewan lainnya.
Menurut Rosenberg dan Vincent (1993) makrozoobentos bukan saja berperan
sebagai penyusun komunitas, namun juga dapat digunakan dalam studi kuantitatif
untuk mengetahui kualitas perairan. Makrozoobentos pada umumnya sangat peka
terhadap perubahan lingkungan perairan yang ditempatinya, sehingga sering
digunakan sebagai bioindikator kualitas suatu perairan dengan beberapa
pertimbangan, antara lain:

- Pergerakannya sangat terbatas sehingga memudahkan untuk pengambilan


sampel.
- Ukuran tubuh relatif besar sehingga memudahkan dalam identifikasi.
- Hidup di dasar perairan, relative diam, sehingga secara terus menerus
terdedah oleh air di sekitarnya.
- Pendedahan yang terus menerus menyebabkan makrozoobentos di pengaruhi
oleh kondisi lingkungan.
Menurut Hawkes (1979) dalam Sastrawijaya (1991) dengan mempelajari
komposisi jenis makrozoobentos di suatu perairan dapat diketahui apakah perairan
tersebut sudah tercemar atau belum. Perairan yang masih baik dapat menunjang
keragaman jenis makrozoobentos yang hidup pada perairan tersebut. Sebaliknya
perairan dengan kualitas yang tidak baik keragaman makrozoobentosnya akan
menurun atau sedikit. Patrick (1949) dalam Odum (1994) menyatakan suatu perairan
yang baik akan menunjukkan jumlah individu yang seimbang dari semua jenis
makrozoobentos yang ada, sebaliknya suatu perairan yang tercemar jumlah individu
tidak sama dan ada kecenderungan satu jenis makrozoobentos yang mendominasi.

2.6 Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Keberadaan Genus


Makrozoobentos di Perairan
Makrozoobentos sebagai organisme dasar perairan, memiliki habitat yang
relatif tetap. Perubahan kondisi lingkungan sangat mempengaruhi keragaman dan
distribusi makrozoobentos. Nybakken (1992) menyatakan sifat fisik dan kimia
perairan sangat penting di dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan
pengamatan faktor biotik seperti makrozoobentos, perlu juga dilakukan pengamatan
faktor-faktor lingkungan dalam suatu perairan. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi keragaman dan distribusi makrozoobentos antara lain:

a. Suhu Perairan

Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam mengatur
proses kehidupan dan penyebaran organisme termasuk makrozoobentos. Suhu
perairan juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap kelarutan oksigen dalam
suatu perairan. Bila suhu dalam suatu perairan mengalami kenaikan, maka kelarutan
oksigen dalam perairan akan naik dan menyebabkan hadirnya berbagai organisme
perairan termasuk makrozoobentos. Batas toleransi hewan bentos terhadap suhu
perairan tergantung jenisnya. Umumnya temperatur di atas 30C dapat menekan
pertumbuhan populasi hewan bentos (James dan Evison, 1979).

b. Penetrasi Cahaya

Cahaya matahari yang sampai di permukaan air laut akan di serap dan diseleksi oleh
air laut sehingga cahaya dengan gelombang yang panjang seperti cahaya merah, ungu
dan kuning akan hilang lebih dahulu. Cahaya dengan panjang gelombang yang
pendek mampu menembus permukaan yang lebih dalam. Banyaknya sinar matahari
yang masuk ke kolom air berubah-ubah tergantung pada intensitas cahaya, banyaknya
pemantulan di permukaan, sudut datang cahaya dan transparansi permukaan air
(Wiwoho, 2008). Perubahan intensitas cahaya di permukaan laut bervariasi
berdasarkan musim.Penurunan intensitas cahaya dan absorbsi akan berkurang karena
di pengaruhi oleh kedalaman.

c. Kecepatan Arus.

Menurut Kementerian Lingkungan hidup (2011) arus mempunyai pengaruh positif


maupun negatif terhadap kehidupan biota perairan. Di perairan dengan dasar lumpur
arus dapat mengaduk endapan lumpur sehingga mengakibatkan kekeruhan air yang
dapat menyebabkan kematian bagi beberapa biota perairan. Kekeruhan juga dapat
mengakibatkan berkurangnya penetrasi sinar matahari, sehingga mengurangi aktivitas
fotosintesis. Manfaat dari arus bagi banyak biota adalah menyangkut penambahan
makanan bagi biota-biota tersebut.

d. Salinitas
Salinitas adalah jumlah total garam-garam terlarut (dinyatakan dalam gram), yang
terkandung dalam 1 kg air laut. Di daerah khatulistiwa, salinitas mempunyai nilai
yang rendah. Salinitas tertinggi terdapat di daerah lintang 20 LU dan 20 LS,
kemudian menurun kembali pada daerah lintang yang lebih tinggi. Keadaan salinitas
yang rendah pada daerah sekitar ekuator disebabkan oleh tingginya curah hujan
(Wiwoho, 2008).

Salinitas merupakan faktor abiotik yang sangat menentukan penyebaran biota laut
termasuk makrozoobentos. Salinitas juga berperan dalam mempengaruhi proses
osmoregulasi biota perairan termasuk makrozoobentos. Salinitas pada kedalaman 100
meter pertama, dapat dikatakan konstan, walaupun terdapat sedikit perbedaan yang
tidak mempengaruhi ekologi secara nyata, sedangkan pada kedalaman 0 m hingga
hampir mencapai 1.000 m salinitas berkisar antara 35,5 dan 37 (Nybakken,
1992).

e. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam perairan,
terutama dalam proses respirasi sebagian besar organisme air termasuk
makrozoobentos. Menurut Darmono (2001) kehidupan makhluk hidup di dalam air
tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimal
yang dibutuhkan untuk kehidupannya. Oksigen terlarut dapat berasal dari proses
fotosintesis tanaman air, dimana jumlahnya tidak tetap tergantung dari jumlah
tanamannya dan dari atmosfir (udara) yang masuk kedalam air. Fardiaz (1992)
menyatakan konsentrasi oksigen terlarut yang terlalu rendah akan mengakibatkan
biota perairan yang membutuhkan oksigen akan mati.

Kelarutan maksimum oksigen di dalam air pada temperatur 0C adalah sebesar 14,16
mg/l. Peningkatan temperatur air akan menyebabkan konsentrasi oksigen dalam
perairan akan menurun, demikian pula sebaliknya. Kelarutan oksigen akan berkurang
dengan meningkatnya salinitas sehingga oksigen di laut ataupun perairan estuari
cenderung lebih rendah dari kadar oksigen di perairan tawar (Effendi, 2003). Kisaran
toleransi makrozoobentos terhadap oksigen terlarut berbeda-beda.

f. Biochemical Oxigen Demand (BOD)

Nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme


aerobik dalam menguraikan senyawa organik yang diukur pada suhu 20C. Sugiharto
(1987) menyatakan organisme hidup yang bersifat aerobik membutuhkan oksigen
untuk beberapa reaksi biokimia, yaitu untuk mengoksidasikan bahan organik, sintesis
sel dan oksidasi sel. Alaerts dan Santika (1987) menyatakan bahwa pengujian BOD
penting dalam aktifitas pengendalian pencemaran perairan

g. Derajat Keasaman (pH)

Setiap spesies organisme perairan memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap
pH. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya berkisar 7
- 8,5 (KepMen LH, 2004). Wardhana (1995) menyatakan kondisi perairan yang
bersifat sangat asam ataupun basa akan membahayakan kelangsungan hidup
organisme karena dapat menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan
respirasi. pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa
logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang akan mengancam kelangsungan
hidup organisme perairan, sedangkan pH yang tinggi akan menyebabkan
keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam perairan akan terganggu, dimana
kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat
toksik bagi organisme perairan.
h. Substrat Dasar

Susunan substrat dasar perairan penting bagi organisme yang hidup di zona dasar
seperti makrozoobentos (Michael, 1994). Substrat dasar merupakan salah satu faktor
utama yang sangat mempengaruhi kehidupan, perkembangan dan keragaman
makrozoobentos (Hynes, 1976). Substrat dasar berupa bebatuan merupakan tempat
bagi spesies yang melekat sepanjang hidupnya, sedangkan substrat dasar yang halus
seperti pasir dan lumpur menjadi tempat makanan dan perlindungan bagi organisme
yang hidup di dasar perairan (Lalli dan Parsons, 1993).

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan deskriptif kuantitatif yaitu untuk
mengetahui kondisi tempat yang diteliti sehingga memudahkan penulis untuk
mendapatkan data yang objektif untuk mengetahui dan memahami kualitas air sungai
di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Negeri
Malang.
Tujuan penelitian melalui pendekatan deskriptif kuantitatif ini adalah untuk
mengetahui kondisi kualitas air berdasarkan keanekaragaman makrozoobentos dan
beberapa faktor fisika dan kimia air sungai di FMIPA Universitas Negeri Malang.
B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terletak di area aliaran sungai yang melewati kampus FMIPA
Universitas Negeri Malang.
1. Batas wilayah penelitian:
a. Utara sungai : Gedung Laboratorium Bersama
b. Selatan sungai : Kebun
c. Barat sungai : Rumah Dinas UM
d. Timur sungai : Rumah Penduduk
2. Kondisi Geografis Sungai
a. Stasiun 1
1). Garis Lintang: 757'40.98"S
2). Garis Bujur : 11237'6.61"E
b. Stasiun 2
1). Garis Lintang: 757'41.35"S
2). Garis Bujur : 11237'7.36"E
c. Stasiun 3
1). Garis Lintang: 757'42.05"S
2). Garis Bujur : 11237'8.68"E
Gambar 3.1 Lokasi Penelitian

C. Prosedur Peenelitian
1. Alat dan Bahan
a. Alat
1). Multimeter
2). Turbiditimeter
3) Nampan
4) Jala Surber
5) Handphone
6). Mikroskop
7). Kuas
8). Pipet
9). Cawan Petri
b. Bahan
1). Air Sungai
2). Plastik
3). Buku Identifikasi
4). Air Kran

2. Pengumpulan Sampel dan Pengukuran Faktor Lingkungan

Dilakukan praktikum di sungai yang berada belakang gedung GLB

Ditentukan stasiun 1, 2 dan 3 yang hanya berjarak 3 meter.


Faktor abiotik diukur dengan menggunakan multimeter yaitu pH,
konduktifitas, dan DO.

Kekeruhan air diukur dengan menggunakan turbiditimeter dan mencatat

Jala surber diletakkan ke dalam air yang berlumpur atau berpasir

Air yang berlumpur diaduk pelan pelan sehingga dapat masuk kedalam
jala surber tersebut

Jala surber diangkat dan langsung dituangkan ke dalam nampan yang telah
berisi sedikit air

Air dan bentos dimasukkan kedalam plastik

Setiap stasiun diulang sampai tiga kali pengulangan dan Dilanjutkan pada
stasiun 2 dan stasiun 3

Air dan bentos dimasukkan kedalam plastik


Diambil sampel makrozoobentos dari plastik

Dipindahkan ke dalam cawan petri

Dinyalakan mikroskop

Diamati di bawah mikroskop

Difoto menggunakan handphone

Diidentifikasi dan dibandingkan dengan buku literatur

D. Analisis Data
Berdasarkan hasil pegamatan yang dilakukan oleh beberapa kelompok pada 2
staisun yang berbeda, dapat diketahui kriteria sunga UM dengan melihat faktor
biotik, yaitu jenis makrozoobenthos dan faktor abiotik yaitu kadar oksigen, suhu, dan
kekeruhan
1) Stasiun 1
Hasil pengamatan pada stasiun 1 adalah sebagai berikut :
Faktor abiotik

a. pH

pH yang terdapat pada stasiun 1 adalah 7,40

b. Kadar oksigen

Kadar oksigen dapat diukur dengan menggunakan DO meter diperoleh


1,48 Mg/l

c. Kekeruhan air

Kekeruhan air dapat diukur dengan menggunakan turbidimeter, diperoleh


16 Mg/l

d. Konduktivitas

Konduktivitas yang terdapat pada stasiun 1 adalah 6,29 S

Tabel data stasiun 1


N Jumlah individu
nama spesies Total. Pi Pi ln Pi
o Lokasi1 lokasi2 lokasi3
1 Turbificidae 4 2 1 7 0,5 -0,346
2 Dryopidae 2 1 2 5 0,3 -0,361
3 Naucoridae 1 1 2 0,2 -0,322
Total 14 -1,029
Indeks diversitas atau indeks keanekaragaman bentos dihitung dengan menggunakan
rumus Shannon- Wiener :
H = - Pi ln Pi
H = -(- 1,029) = 1.029

Indeks Kemerataan (E)


Nilai indeks kemerataan jenis dapat menggambarkan kestabilan suatu
komunitas. Nilai indeks kemerataan (E) berkisar antara 0-1. Semakin kecil nilai
E atau mendekati nol, maka semakin tidak merata penyebaran organismee
dalam komunitas tersebut yang didominansi oleh jenis tertentu dan sebaliknya
semakin besar nilai E atau mendekati satu, maka organismee dalam komunitas
akan menyebar secara merata (Krebs, 1989). Rumus dari indeks keseragaman
Pielou (E) menurut Pielou (1966) dalam Odum (1983) yaitu sebagai berikut :
E= H / lnS

E= = 0.9366361642

Keterangan :
E =Indeks Keseragaman
H = Indeks Keanekaragaman
S = Jumlah spesies

Indeks Kekayaan
Indeks kekayaan spesies (S), yaitu jumlah total spesies dalam satu komunitas. S
tergantung dari ukuran sampel (dan waktu yang diperlukan untuk
mencapainya), ini dibatasi sebagai indeks komperatif .

R=
R= = 0,7578463633

Keterangan :
N= jumlah individu total

skoring
No Nama spesies Skor
1 Turbificidae 3
2 Dryopidae 4
3 Naucoridae 8
Jumlah total skor 15
Jumlah jenis 3

Indeks kualitas air =

= =5

Makrozoobentos yang ditemukan oleh kelompok 1 adalah jenis Turbificidae,


dryopidae dan naucoridae. Dari data diatas dapat dianalisis bahwa bila dilihat dari
faktor biotiknya maka kualitas air sungai pada daerah stasiun 1 keruh/ kotor karena
dari hasil indeks kualita air didapatkan 5.
2) Stasiun 2
Hasil pengamatan pada stasiun 2 adalah sebagai berikut :
Faktor abiotik

a. pH

pH yang terdapat pada stasiun 1 adalah 7,40

b. Kadar oksigen

Kadar oksigen dapat diukur dengan menggunakan DO meter diperoleh


1,56 Mg/l
c. Kekeruhan air

Kekeruhan air dapat diukur dengan menggunakan turbidimeter, diperoleh


21 Mg/l

d. Konduktivitas

Konduktivitas yang terdapat pada stasiun 1 adalah 6,23 S

Tabel data stasiun 2


N Jumlah individu
nama spesies Total. Pi Pi ln Pi
o Lokasi1 lokasi2 lokasi3
1 Stratiomyidae 1 1 2 0,13 -0,265
2 Thiaridae 1 1 2 4 0,26 -0,350
3 Tubificidae 3 3 2 9 0,6 -0,306
Total 15 -0,921

Indeks diversitas atau indeks keanekaragaman bentos dihitung dengan menggunakan


rumus Shannon- Wiener :
H = - Pi ln Pi
H = -(- 0,921) = 0,921

Indeks Kemerataan (E)


Nilai indeks kemerataan jenis dapat menggambarkan kestabilan suatu
komunitas. Nilai indeks kemerataan (E) berkisar antara 0-1. Semakin kecil nilai
E atau mendekati nol, maka semakin tidak merata penyebaran organismee
dalam komunitas tersebut yang didominansi oleh jenis tertentu dan sebaliknya
semakin besar nilai E atau mendekati satu, maka organismee dalam komunitas
akan menyebar secara merata (Krebs, 1989). Rumus dari indeks keseragaman
Pielou (E) menurut Pielou (1966) dalam Odum (1983) yaitu sebagai berikut :
E= H / lnS
E= = 0,8383303277

Keterangan :
E =Indeks Keseragaman
H = Indeks Keanekaragaman
S = Jumlah spesies

Indeks Kekayaan
Indeks kekayaan spesies (S), yaitu jumlah total spesies dalam satu komunitas. S
tergantung dari ukuran sampel (dan waktu yang diperlukan untuk
mencapainya), ini dibatasi sebagai indeks komperatif .

R=

R= = 0,7385387462

Keterangan :
N= jumlah individu total

skoring
No Nama spesies Skor
1 Stratiomyidae 6
2 Thiaridae 3
3 Tubificidae 3
Jumlah total skor 12
Jumlah jenis

Indeks kualitas air =

= =4

Makrozoobentos yang ditemukan oleh kelompok 2 adalah jenis Turbificidae,


thiaridae dan stratiomyidae. Dari data diatas dapat dianalisis bahwa bila dilihat dari
faktor biotiknya maka kualitas air sungai pada daerah stasiun 1 keruh/kotor karena
dari hasil indeks kualitas air didapatkan 4.
BAB 1V

HASIL

Stasiun 1 (Belakang GLB)

No HasilPengamatan Literatur Jumlah


1 7

(Sumber : DokumentasiPribadi)
2 5

(Sumber : DokumentasiPribadi)
3 2

(Sumber : DokumentasiPribadi)

FaktorAbiotik

Stasiun 1

No pH Konduktivitas DO Turbiditi
1 7,40 629 S 1,48 Mg/l 16 Mg/l
2. Stasiun 2 (Belakang Kebun Biologi)

No HasilPengamatan Nama ilmiah Jumlah


1 Stratiomyidae 1

2 Thiaridae 4

3 Tubificidae 9

Faktor Abiotik Stasiun 2

No pH Konduktivitas DO Turbiditi
1 7,40 623 S 1,56 Mg/l 21 Mg/l
BAB V
PEMBAHASAN

Masalah kondisi dari perairan sungai yang melewati kampus FMIPA


Universitas Negeri Malang adalah kondisi air yang bewarna kehitaman, keruh dan
berbau tidak sedap. Bau yang ditimbulkan diakibatkan karena adanya pembusukkan
bahan organik dari limbah rumah tangga yang dibuang langsung pada aliran sungai.
Banyaknya sampah yang terbawa kealiran sungai dan mengaikbatkan banyak sampah
yang terapung dan berserakan disepanjang aliran sungai. Untuk warna dari air sungai
yang bewarna coklat kehitaman disebabkan oleh adanya kandungan dari bahan
anorganik yang terbawa oleh arus ke aliran sungai yang mengandung beberapa zat
seperti oksida mangan dan lainnya.
Pada aliaran sungai yang melewati kampus FMIPA Universitas Negeri
Malang, diambil sampel pada stasiun 1 yang didapatkan data dengan Ph 7,40 yang
dapat dikatakan bahwa perairan pada sungai distasiun 1 bersifat basa, konduktivitas
yang didapat 629S sedangkan perairan alami sekitar 20-1500 S berarti masih di
bawah ambang batas baku mutu air alami, DO yang didapatkan 1,48 Mg/l, ini masih
dibawah ambang batas dari DO baku mutu yang ada di alam, sedangkan untuk
turbidity yang didapatkan 6,29 mg/l, ini menandakan bahwa turbidity yang didapat
dari hasil amatan melebihi dari baku mutu yang telah ditentukan. Pada stasiun 2,
faktor abiotik yang didapatkan adalah pH 7,40, konduktivitas 623S, DO 1,56 mg/l,
dan turbidity (kekeruhan) 21 mg/l.
Beberapa karateristik atau indikator kualitas air yang disarankan untuk
dianalisis sehubungan pemanfaatan sumberdaya air untuk berbagai keperluan, antara
lain parameter fisika, kimia dan biologi (Effendi, 2003).
Indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya
perubahan atau tanda yang dapat diamaiti yang dapat digolongkan menjadi :
1. Pengamatan secara fisik, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan
tingkat kejernihan air (kekeruhan), perubahan suhu, warna dan adanya
perubahan warna, bau dan rasa.
2. Pengamatan secara kimiawi, yaitu dengan pengamatan air bedasarkan zat
kimia yang terlarut dan perubahan Ph.
3. Pengamatan secara biologis, yaitu pengamatan pencemaraan air
berdasarkan mikroogranisme yang ada dalam air, terutama ada tidaknya
bakteri patogen.
Secara fisik, air sungai belakang GLB memiliki warna yang kehitaman, dan
berbau. Sehingga jika disimpulkan secara umum, ciri-ciri tersebut termasuk ke dalam
ciri air yang tercemar. Tampaknya proses dekomposisi/biodegradasi sudah
menggunakan oksigen dalam jumlah yang minim sehingga proses ini bersifat
anaerob.
Indikator yang digunakan dalam pemeriksaan pencemaran air adalah pH atau
kosentrasi ion hydrogen, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen, DO), kebutuhan
oksigen biokimia (Biochemical Oygen Demand, BOD) serta kebutuhan oksigen
kimiawi (Chemical Oxygen Demans, COD).
Daya hantar listrik adalah bilangan yang menyatakan kemampuan larutan cair
untuk menghantarkan arus listrik. Kemampuan ini tergantung keberadaan ion, total
kosntrasi ion, valensi konsentrasi relatif ion dan suhu saat pengukuran. Makin tinggi
konduktivitas dalam air, air akan terasa payau sampai asin (Mahida, 1986). Hasil
pengukuran konduktifitas pada stasiun 1 dan 2 secara berturut-turut menunjukan pada
angka 629S, 623S. Dapat diketahui bahwasanya dari hasil pengukuran
konduktfitas di atas, bahwa konduktifitas perairan sungai yang ada di belakang GLB
pada stasiun 1 dan 2 tergolong rendah. Menurut Syahrudin (2014) kisaran
konduktivitas yang tinggi berada pada kisaran 1000 S sampai 2100 S sedangkan
nilai konduktivitas yang rendah berada pada kisaran di bawah angka 1000 S.
Semakin besar konduktivitas air maka salinitasnya juga akan semakin besar pula.
Sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kualitas air.
Konduktivitas perairan sungai GLB yang rebdah menunjukkan salinitas peairannya
rendah, sehingga masih termasuk ke dalam baku mutu perairan yang memiliki
kualitas yang masih lumayan baik jika dilihat dari nilai konduktivitasnya.
Mahida (1986) mendefinisikan kekeruhan sebagai intesitas kegelapan di
dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan perairan
umumnya disebabkan oleh adanya pertikel-partikel suspensi seperti tanah liat,
lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya.
Effendi (2003), menyatakan bahwa tingginya nilai kekeruhan juga dapat menyulitkan
usaha penyaringan dan mengurangi efektivitas desifenksi pasa proses penjernihan air.

Derajat kesamaan (pH) merupakan gambaran jumlah ataua efektivitas ion


hydrogen dalam perairan. Secara umum nila Ph menggambarkan seberapa besar
tingkat keasaman atau kebebasan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah
netral, pH < 7 dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 bersifat
basa (Effendi, 2003). Adanya karbonat, bikarbonat dan hidrosikda akan menaikkan
kebasaan air, sementara adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat
menaikkan keasamaan suatu periran. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Mahida
(1986) menyatakan bahwa limbah buangan insdutri dan rumah tangga dapat
memepengaruhi nilai pH perairan. Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi senyawa
kimia dan toksisitas dari unsur-unsur renik yang teradapt di perairan, sebagai contoh
H2S yang bersifat toksik banyak ditemui di perairan tercemar dan perairan dengan
nilai pH rendah. Hasil pengukuran yang menghasilkan pH 7,40 pada stasiun 1 dan 2
menunjukkan jikalau pH perairan sungai GLB dalam kondisi tidak asam dan tidak
basa sehingga masih berada dalam ambang batas baku mutu perairan yang masih
dalam kualitas yang baik.
Kondisi yang sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan
kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan
metabolisme dan respirasi. pH yang sangat rendah akan menyebabkan metabolisme
berbagai senyawa logam berat hidup organisme akuatik dan pH yang tinggi akan
menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu,
dimana kenaikkan pH diatas netral akan meningkatkan kosentrasi amoniak yang juga
bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2004).

Menurut PP No. 82 Tahun 2001 kriteria kelas baku mutu air


Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, DO) adalah gas oksigen yang terdapat di
perairan dalam bentuk molekul oksigen bukan dalam bentuk molekul hidrogenoksida,
biasanya dinyatakan dalam mg/1 (ppm) (Darsono, 1992). Oksigen bebas dalam air
dapat berkurang bila dalam air terdapat kotoran/limbah organik yang degradable.
Dalam air yang kotor selalu terdapat bakteri baik yang aerob maupun yang anaerob.
Bakteri ini akan menguraikan zat organik dalam air menjadi persenyawaan nitrat,
belerang diubah menjadi pernsenyawaan sulfat. Bila oksigen bebas dalam air
habis/sangat berkurang jumlahnya maka yang bekerja, tumbuh dan berkembang
adalah bakteri anaerob (Darsono, 1992).
Oksigen larut dalam air dan tidak bereaksi dengan air secara kimiawi. Pada
tekanan tertentu, kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu. Faktor lain yang
mempengaruhi kelarutan oksigen adalah pergolakan dan luas permukaan air terbuka
bagi atmosfer (Mahida, 1986). Persentase oksigen di sekeliling perairan dipengaruhi
oleh suhu perairan, salinitas periaran, ketinggian tempat dan plankton yang terdapat
di perairan (di udara yang panas, oksigen terlarut akan turun). Daya larut oksigen
lebih rendah dalam air laut jika dibandingkan dengan daya larutnya dalam air tawar.
Daya larut O2 dalam air limbah kurang dari 95% dibandingkan dengan daya larut
dalam air tawar (Setiaji, 1995).
Terbatasnya kelarutan oksigen dalam air menyebabkan kemampuan air untuk
membersihkan dirinya juga terbatas, sehingga dapat diperlukan air limbah untuk
mengurangi bahan-bahan penyebab pencemaran. Oksidasi biologis meningkat
bersama meningkatnya suhu perairan sehingga kebutuhan oksigen terlarut juga
meningkat (Mahida, 1986).
Ibrahim (1982) menyatakan bahwa kelarutan oksigen di perairan bervariasi
anatr 7-14 ppm. Kadar oksigen terlarut dalam air pada sore hari > 20 ppm. Besarnya
kadar oksigen di dalam air tergantung juga pada aktivitas fotosintesis organisme di
dalam air. Semakin banyak bakteri di dalam air akan mengurangi jumlah oksigen di
dala air. Kadar oksigen terlarut di alam umumnya 20 ppm. Kalau kadar DO dalam air
tinggi maka akan mengakibatkan intalasi menjadi berkarat, oleh karena itu
diusahakan kadar oksigen terlarutnya 0 ppm yaitu melalui pemanasan (Setiaji, 1995).
Kondisi DO pada perairan sungai belakang GLB menunjukkan bahwa nilai oksigen
terlarut dalam air sangatlah rendah yaitu 1,48 ppm dan 1,56 ppm. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa kualitas air nya sangat rendah jika dilihat dari nilai DO yang ada.
Banyaknya pemakaian deterjen yang berasal dari industri dan rumah tangga dapat
menyebabkan rendahnya konsentrasi oksigen dalam aliran sungai. Rendahnya nilai
DO yang ada dimungkinkan disebabkan oleh adanya kandungan senyawa anorganik
dan senyawa organik yang tinggi pada aliran sungai, dikarenakan aktifitas degradable
(penguraian) tinggi yang dilakukan oleh mikroorganisme perairan memerlukan
oksigen yang tinggi pula. Dapat dikatakan bahwa nilai COD yang ada di perairan
juga tinggi, begitu juga dengan BOD.
Merujuk Wardoyo (1978) dekomposisi oleh bakteri masih dapat berlangsung
dalam perairan yang sama sekali tidak terdapat oksigen terlarut. Namun pada keadaan
ini dekomposisi dilakukan oleh bakteri anaerob. Dilihat dari sudut pengembalian
unsur hara bahan organik ke dalam perairan, dekomposisi oleh bakteri anaerob
mungkin menguntung- kan, namun dalam proses dekomposisi ini dihasilkan
senyawa-senyawa yang bersifat racun bagi biota air, seperti etana, metana, amoniak,
dan H2S. Pada umumnya oksigen terlarut bukan merupakan faktor pembatas bagi
kehidupan perairan, namun apabila kadar oksigen terlarut sangat rendah kehidupan
dalam air terancam. Keadaan ini dapat terjadi pada perairan yang mengandung
sejumlah besar bahan organik yang mengalami dekomposisi oleh bakteri. Bakteri
dekomposisi yang terdapat dalam jumlah besar ini juga memerlukan oksigen dalam
jumlah besar, sehingga menurunkan kadar oksigen terlarut hingga tahap yang
mengancam kehidupan air. Hewan-hewan air yang dapat aktif bergerak, seperti ikan
meninggalkan atau menghindari lokasi-lokasi dimana terdapat sejumlah besar bahan
organik yang mengalami dekomposisi oleh bakteri. Hewan- hewan yang hidup
menetap atau bergerak pasif, misalnya bentos atau plankton akan mati, sehingga
indeks diversitasnya rendah.

Menurut Hidayat (1981), pada dasarnya pencemaran lingkungan dapat dibagi


dalam tiga tingkatan yaitu : (1) gangguan, merupakan bentuk pencemaran yang paling
ringan, (2) pencemaran temporer, berjangka pendek karena alam mampu
mencemarkannya sehingga lingkungan dapat kembali seperti semula, dan (3)
pencemaran permanen, bersifat tetap karena alam tidak mampu kembali
mencernakanya (dikenal sebagai perubahan sumberdaya alam).
Kumar (1977) berpendapat bahwa air dapat tercemar jika kualitas atau
komposisi baik secara langsung atau tidak langsung berubah oleh aktivitas manusia
sehingga tidak lagi berfungsi sebagai air minum, keperluan rumah tangga, pertanian,
rekreasi atau maksud lain seperti sebelum terkena pencemaran.
Beberapa jenis pencemar dan sumber pencemar yang dikemukakan oleh Davis
dan Cornwell, 1991 dalam Effendi (2003), secara ringkas seperti terlihat oada Tabel
dibawah.
Sumber : Davis dan Cornwell (1991) dalam Effendi (2003)

Menurut PP No. 82 Tahun 2001 kriteria kelas baku mutu air


1. Warna perairan ditimbulkan oleh adanya bahan organik dan bahan
anorganik karena keberadaan plankton, humus, dan ion-ion logam
(misalnya besi dan mangan), serta bahan-bahan lain. Adanya oksida besi
menyebabkan air berwarna kemerahan, sedangkan oksida mangan
menyebabkan air berwarna kecoklatan atau kehitaman (Peavy et.al., 1985,
dalam Hefni Effendi, 2003)
2. Bau merupakan petunjuk adanya pembusukan air limbah. Limbah cair
industri berpotensi mengandung senyawa berbau ataupun mengandung
senyawa yang potensial menghasilkan bau selama proses pengolahan
limbah cair (Asmadi dan Suharno, 2012).
Biota Perairan pada sungai aliaran sungai yang melewati kampus FMIPA
Universitas Negeri Malang ditemukan beberapa spesies makrozoobentos yaitu
Tubificidae memiliki skor 3 , Dryopidae memiliki skor 4, Nauconidae memiliki skor
8.
Jika dilihat dari indeksi keragaman populasi benthos pada stasiun 1 dan 2
yang kurang 1, dapat diakatakan bahwa kualitas air sungai tercemar sedang.

Biological Monitoring Working Party (BMWP)


Biological Monitoring Working Party (BMWP) merupakan suatu metode
analisis untuk mengukur kualitas air menggunakan family dari makroinvertebrata
atau indikator biologi.
Semakin tinggi skor BMWP maka menandakan bahwa kualitas air tersebut
karena family makroonvertebrata dengan skor tinggi hanya dapat hidup di air yang
mempunyai kualitas air bagus. Sedangkan semakin rendah skor BMWP maka
semakin buruk kualitias badan air tersebut karena family makroinvertebrata dengan
skor rendah yang teridentifikasi dapat hidup di air dengan DO level kritis. Skor
BMWP beserta kategorinya dapat dilihat pada table berikut :

Menurut Wilhm (1975), pengelompokkan benthos berdasarkan kepekaan


terhadap pencemaraan yang disebabkan oleh bahan organik, antara lain kelompok
ontoleran, fakulatif dan toleran. Organisme intoleran adalah organisme yang jarang
ditemukan pada perairan kayak akan bahan organik. Selain itu organisme ini tidak
dapat beradaptasi bila kualitas air menurun, contohnya adalah kelompok
Ephemeroptera Trichoptera, dan Plecoptera. Organisme yang fakultatif adalah
organisme yang dapat bertahann hidup pada lingkungan yang relatif mengandung
bahan organik, contohnya kelompok Odonata, Gastropoda, dan Crustacea. Organisme
toleran adalah organisme yang sering dijumpai pada kondisi yang berkualitas buruk,
contohnya jenis Tubificidae.
Total dari skor untuk stasiun adalah 15 skoring yang berarti kategori dari
perairan air tersebut kotor. Dampak dari kondisi aliaran sungai yang melewati
kampus FMIPA Universitas Negeri Malang berdasarkan indikatorindikator yang telah
teramati yaitu adanya pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah
perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan, sebagian karena tindakan-tindakan
manusia yang disebabkan oleh perubahan pola pembentukkan energi dan materi,
tingkatan radiasi, bahan-bahan fisika, kimia dan jumlah organisme. Perubahan ini
dapat mempengaruhi manusia secara tidak langsung melalui hasil pertanian,
perternakan, benda-benda, perilaku dalam apresiasi dan reakreasi di alam bebas
(Fardiaz, 1992).
Menurut Odum (1993) indeks keseragaman (E) berkisar 0-1. Bila nilai
mendekati 0 berarti keseragaman rendah karena adanya jenis yang mendominasi, dan
bila mendekati 1 keseragaman tinggi yang menunjukkan tidak ada jenis yang
mendominasi.
Penangan dari adanya kondisi aliran sungai yang melewati kampus FMIPA
Universitas Negeri Malang yang telah tercemar yaitu dengan bioremidiasi.

BAB 1V
PENUTUP
a. Kesimpulan

1. sampel pada stasiun 1 yang didapatkan data dengan Ph 7,40 yang dapat
dikatakan bahwa perairan pada sungai distasiun 1 bersifat basa,
konduktivitas yang didapat 629 S sedangkan perairan alami sekitar 20-
1500 S berarti masih di bawah ambang batas baku mutu air alami, DO
yang didapatkan 1,48 Mg/l, ini masih dibawah ambang batas dari DO
baku mutu yang ada di alam, sedangkan untuk turbidity yang didapatkan
6,29 mg/l, ini menandakan bahwa turbidity yang didapat dari hasil amatan
melebihi dari baku mutu yang telah ditentukan. Pada stasiun 2, faktor
abiotik yang didapatkan adalah pH 7,40, konduktivitas 623S, DO 1,56
mg/l, dan turbidity (kekeruhan) 21 mg/l.
2. Air sungai belakang GLB secara umum memiliki kuaitas yang buruk dan
dapat dikatakan tercemar

b. Saran
1. Penanganan yang dilakukan untuk mengatasi kualitas air dapat
dilakukan dengan bioremidiasi
DAFTAR PUSTAKA

Darsono, V. 1992. Pengantar Ilmu Lingkungan. Penerbit Universitas Atmajaya,


Yogyakarta, hal : 66, 68.Pemerintah Republik Indonesia. 2001. Peraturan
PemerintahRepublik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Fardiaz, S.1992. Polusi Air dan Udara, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Hal : 21-23,
185
Hidayat, I. 1981. Water Pollution Control, Pengawasan Kualitas dan Pencemaran
Air,Paket Ilmu Jurusan Farmasi, FMIPA, ITB, BPC, I.S.F.I, Jawa Barat. Hal :
12-14
Ibrahim, S. 1982. Water Pollution Control. Pengawasan Kualitas dan Pencemaran Air.
Paket Ilmu Jurusan Farmasi, FMIPA, ITB, BPC, I.S.F.I, Jawa Barat, hal : 12-
19
Kumar, H.D. 1977. Modern Concept of Ecology.Vikas Published Houses, VT. Ltd,
New Delhi.
Mahida, U.N. 1986. Pencemaran dan Pemanfaatan Limbah Industri. Rajawali Press,
Jakarta.
Odum, E.P.1993. Dasar-dasar Ekologi. EdisiKetiga.Yogyakarta:Universitas Gajah
MadaPress
Setiaji, B. 1995. Baku Mutu Limbah Cair untuk Parameter Fisika, Kimia pada
Kegiatan MIGAS dan Panas Bumi. Lokakarya Kajian Ilmiah tentang
Komponen, Parameter, Baku Mutu Lingkungan dalam Kegiatan Migas dan
Panas Bumi, PPLH UGM, Yogyakarta.
Syahruddin, Muhammad Hamzah. "Kualitas Airtanah Permukaan Daerah Cekungan
Air Kota Makassar." (2014).
Wilhm, J. F. 1975. Biological Indicators of Pollution. p 375 in B. A. Whitton. Studies
in Ecology Volume 2 River Ecology. Blackwell Scientific Publications,
Oxford. 725p.Yurika, M. 2003. Karakteristik Komunitas Makrozoobenthos di
Kepulauan Seribu, Jakarta. Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan. Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai