1627041008
FAKULTAS TEKNIK
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar terutama sumber daya alam yang
berasal dari laut. Salah satunya adalah mangrove, ekosistem mangrove banyak dijumpai di
wilayah pesisir yang terlindungi dari gempuran ombak. Ekosistem mangrove merupakan
komunitas vegetai pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang
tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Bila
dibandingan dengan ekosistem hutan yang lain, maka ekosistem mangrove memiliki flora dan
fauna yang spesifik dan memiliki keanekaragaman yang tinggi. Mangrove tengah mengalami
penurunan kualitas dan kuantitas pada tingkat yang mengkhawatirkan di seluruh dunia.
Secara global dan selama lebih dari dua decade (1980-2005) dunia telah kehilangan
mangrove lebih dari 25% dari total luasan (Giri et al., 2011).
Salah satu bagian terpenting dari rantai ekologi di wilayah pesisir adalah ekosistem
mangrove. Mangrove memiliki fungsi ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting
dalam memilihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Fungsi fisik kawasan
mangrove yaitu menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai, melindungi pantai dan
tebing sungai terhadap pengikisan atau erosi pantai, menahan dan mengendapkan lumpur
serta menyaring bahan tercemar. Fungsi lainnya adalah sebagai penghasil bahan organic yang
merupakan sumber makanan biota, tempat berlindung dan memijah berbagai jenis udang,
tinggi dengan ekosistem mangrove. Hal tersebut tidak lepas dari tingginya peranan mangrove
dalam menopang kehidupan masyarakat pesisir, baik dari segi ekologi maupun ekonomi.
Menurut Sathe et al. (2012), penggunaan tradisional mangrove adalah untuk perikanan
tangkap, obat-obatan, bahan bakar, pakan ternak, penyamakan kulit, penghasil madu dan
penggunaan lainnya.
Berkembangnya teknologi penginderaan jauh baik dari resolusi spasial dan temporal
mampu digunakan mendeteksi keberadaan hutan mangrove baik dari luasan dan pola sebaran
mangrove tentang survey dan pemetaan vegetasi mangrove. Letak geografis mangrove yang
berada pada daerah peralihan darat dan laut memberikan efek perekaman yang khas jika
dibandikan objek vegetasi darat lainnya (Faizal dan Amran, 2005). Selain itu, nilai spectral
pada citra satelit dapat diekstraksi menjadi informasi objek jenis mangrove pada kisaran
spectrum tampak dan inframerah dekat. Beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan
Sumberdaya yang berada di daerah pesisir dan laut merupakan salah satu potensi
ekonomi yang sangat menjanjikan dalam menopang kehidupan masyarakat pulau, khususnya
nelayan. Luas hutan mangrove di Indonesia adalah yang terluas di dunia yang mencapai
3.112.989 ha, atau 22,6% dari total luas mangrove di seluruh dunia (Giri et al., 2011).
Provinsi Sulawesi Selatan dengan panjang garis pantai mencapai 1.937 km, dan jumlah pulau
299 buah merupakan habitat yang potensial bagi tumbuh dan berkembangannya ekosistem
mangrove. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2014, luas
mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 28.954,3 ha. Dari luasan tersebut hanya
5.238 ha yang masih dalam ketegori baik, sedangkan sisanya dalam kondisi rusak, dan sangat
rusak (Setiawan & Larasati, 2016). Salah satu ekosistem mangrove di Provinsi Sulawesi
Selatan berada di Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar yang merupakan kawasan mangrove
terluas di provinsi tersebut dengan luas mencapai 951,11 ha (Akbar, 2014). Kondisi
ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke telah mengalami degradasi yang cukup tinggi. Pada
tahun 1970-an luas mangrove di Pulau Tanakeke mencapai 2.500 ha, kemudian pada periode
1990-an turun menjadi 1.300 ha, dan pada saat ini hanya 950 ha.Gencarnya alih fungsi lahan
Berada dalam lingkup Kepulauan Tanakeke dan terdiri dari enam pulau/dusun dalam
wilayah Desa Mattiro Baji yaitu : Pulau Satangnga, Dusun Lantangpeo, Dusun Labbutallua,
Pulau Rewataya, Dusun Kalukuang, Pulau Dayang-dayangan, dan Pulau Bauluang sendiri.
Sedangkan secara geografis Pulau Bauluang berada posisi 5o26’48” LS - 5°27’41” LS dan
119°13’50” BT - 119°14’11” BT. Bentuk pulau memanjang dari Utara ke Selatan di mana
pada sisi Barat pulau ditumbuhi oleh mangrove yang tebal dan lebat. Sisi timur terbuka dari
pengaruh angin timur dan pada sisi ini dijadikan wilayah pemukiman oleh penduduk
sepanjang garis pantai. Pada sisi ini terdapat hamparan terumbu karang yang memanjang dari
utara ke selatan dengan lebar reef flat antara 200-400 m. Pada sisi Timur pulau ditumbuhi
oleh spot-spot mangrove yang tipis dan padang lamun di sepanjang reef flat. Di daerah slope,
Melihat kondisi mangrove di kawasan Tanakeke yang kian mengalami perubahan, maka
diperlukan suatu pemetaan informasi spasial perubahan luasan mangrove Tanah Keke, serta
dapat digunakan oleh pemerintah setempat dalam perencanaan tata ruang ekosistem yang
merupakan suatu kawasan konservasi, maka penelitian ini dilakukan bertujuan untuk
menggunakan teknologi penginderaan jauh. Lokasi ini dipilih sebagai lokasi penelitian
karena merupakan lokasi dimana masyarat belum terlalu paham tentang pentingnya hutan
mangrove serta cara pengelolaan mangrove untuk menopang siklus perairan sekitar pulau
mengenai perubahan luas mangrove di lokasi tersebut. Pulau Tanakeke khsusnya Desa
mattirobaji di pilih sebagai lokasi penelitian karena jaraknya yang lebih dekat dari kota
makassar melalui perjalanan darat sekitar 1 jam menuju kota talakar kemudia menyebrang
melewati perjalanan laut selama 10 – 15 menit, Sehingga hal tersebut yang mendasari
dengan Teknologi Penginderaan Jauh dan Data Citra Landsat 8 Di Desa Mattirobaji,
Hal ini bertujuan untuk menginventarisir informasi dan sebagai langkah dalam
monitoring mengenai kondisi hutan mangrove yang terdapat di Pulau Tanakeke, Desa
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diangkat rumusan masalah yaitu:
Mappakasunggu, Tanah Keke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada tahun 2010 dan
2020 ?
Mappakasunggu, Tanah Keke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada tahun 2010 dan
2020 ?
C. Tujuan Penelitian
Kecamatan Mappakasunggu, Tanah Keke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada tahun
Mappakasunggu, Tanah Keke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada tahun 2010 dan
2020
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi mengenai perubahan kondisi dan distribusi luasan hutan mangrove
dalam usaha pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan oleh
2. Selain itu hasil penelitian dapat bermanfaat bagi pengembangan teknologi kelautan
A. Kajian Teori
1. HUTAN MANGROVE
Mangrove merupakan suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan
yang membentuk komunitas di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang
secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan
bebas dari genangan pada saat pasang rendah atau surut. Ekosistem mangrove adalah suatu
sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu
habitat mangrove. Mangrove merupakan vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang
surut, dan hidup di antara laut dengan daratan. Sehingga hutan mangrove juga dinamakan
hutan pasang.
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis “Mangue” dan bahasa
Inggris “Grove”. Dalam bahasa inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas
tumbuhan yang tumbuh didaerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu
Mangrove merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi strategis di kawasan
pesisir tropis. Itu yang paling ekosistem yang produktif dan bermanfaat bagi kehidupan
makhluk laut. Mangrove memiliki nilai ekonomi yang tinggi seperti sumber makanan, bahan
bangunan, obat-obatan, kayu bakar. Ini juga merupakan ekosistem yang kompleks sejak itu
itu terkait dengan ekosistem darat dan ekosistem lepas pantai di luar . Keberadaan hutan
mangrove di kawasan ekoton antara darat dan laut menjadikan kawasan tersebut sangat
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Kondisi tersebut membuat kawasan hutan mangrove
pun terasa mengalami pengembangan di berbagai sektor. Salah satu dampak dari berbagai
aktivitas yang terjadi di kawasan mangrove adalah terjadinya degradasi kawasan tersebut. Itu
organisme spesifik itu hidup di kawasan mangrove (Ernawati, 2018). Namun demikian
karena keberadaannya di daerah pasang surut maka jenis-jenis mangrove harus mampu
beradaptasi pada kondisi salinitas 0-35% dan juga kekeringan selama periode surutnya air
Hutan mangrove merupakan suatu komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh
berbagai jenis pohon mangrove yang bisa tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut
pantai yang berlumpur. Hutan mangrove adalah tipe hutan tropika yang khas tumbuh di
sepanjang pantai ataupun muara sungai yang terpengaruh oleh pasang surut air laut.
Mangrove seringkali ditemukan di berbagai pantai teluk yang estuaria, dangkal, delta, serta
terlindungi. Mangrove tumbuh dengan optimal di daerah pesisir yang mempunyai muara
sungai besar dan bersubstrat lumpur, sedangkan di daerah pesisir yang tidak memiliki muara
sungai, hutan mangrove pertumbuhannya tidak optimal. (Rahim & Dewi, 2017).
Secara umum, hutan mangrove didefinisikan sebagai tipe hutan yang tumbuh pada
daerah pasang ataupun surut (terutama pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang
tergenang pada saat pasang dan bebas genangan pada saat surut yang komunitas
Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland,
vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu hutan mangrove oleh
masyarakat Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya berbahasa melayu sering
disebut hutan bakau. Penggunanaan istilah hutan bakau untuk hutan mangrove sebenarnya
kurang tepat, karena bakau hanyalah nama lokal dari Rhizophora, sementara hutan mangrove
disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu
penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari (Nur, 2013).
Mangrove memiliki peranan penting dalam melindungi pantai dari gelombang, angin dan
badai. Tegakan mangrove dapat melindungi pemukiman, bangunan dan pertanian dari angin
kencang atau intrusi air laut. Flora mangrove dibagi menjadi tiga struktur, yaitu:
a. Flora mangrove mayor (flora mangrove yang sebenarnya), yakni flora mngrove yang
bentuk adaptif khusus (bentuk akar) terhadap lingkungan mangrove dan mempunyai
Nypa.
b. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk
tegakan murni sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur
c. Asosiasi mangrove, tanaman kelompok ini tidak pernah tumbuh di habitat mangrove
sebenarnya tanaman ini biasanya terdapat pada zona perbatasan. Contohnya adalah Cerbera,
Tumbuhan pada ekosistem mangrove diketahui mempunyai daya adaptasi yang sangat
tinggi. Tumbuhan tersebut tahan terhadap lingkungan dengan suhu perairan yang tinggi,
fluktuasi salinitas yang luas dan tanah anaerob. Salah satu faktor yang penting dalam adaptasi
fisiologi tersebut adalah sistem pengudaraan di akar-akarnya. Dalam organ akar mangrove
terdapat banyak sekali jaringan aerenkim yang berfungsi membantu transport oksigen dan
menjadikan tumbuhan ini beradaptasi dengan baik di habitat berlumpur yang kurang
biologis di suatu perairan. Karena mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan, tempat
asuhan dan tempat mencari makan berbagai jenis hewan akuatik yang mempunyai nilai
ekonomi penting, maka itu, meskipun ekosistem mangrove hanya 10% luas laut, namun
menampung 90% kehidupan laut. Produksi perikanan di beberapa kawasan sangat bergantung
pada ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove adalah bagian dari pesisir dan darat yang
memiliki fungsi ekologis yang sangat kompleks, diantaranya sebagai penampung dan
pengolahan limbah alami (bioremediasi) atau biofilter alami yang sangat efektif dalam
hewan darat dan sebagai penahan intrusi garam ke darat (Ghufran dan Kordi., 2012).
Produk hutan mangrove antara lain digunakan untuk kayu bakar, pembuatan arang,
bahan penyamak untuk berbagai perabot rumah tangga bahkan konstruksi bangunan dan
obat -obatan dan sebagai bahan untuk industri kertas. Selain itu kawasan mangrove juga
sering dialihkan fungsinya misalnya dijadikan tambak diubah menjadi lahan pertanian
atau dijadikan sebagai daerah pemukiman. Sekali ekosistem alami menjadi rusak biasanya
diakibatkan oleh adanya tekanan pertambahan penduduk yang sangat pesat. Jumlah penduduk
yang terus bertambah membutuhkan lahan untuk pemukiman dan mencari nafkah. Kerusakan
1) Kerusakan hutan mangrove dapat menyebabkan peningkatan laju intrusi air laut kearah
daratan.
2) Alih fungsi areal hutan mangrove menjadi daerah pertambakan dapat menyebabkan
meningkatnya masa genangan air sehingga menjadi tempat yang baik untuk
3) Penebangan pohon mangrove untuk keperluan kayu bakar dan pembuatan arang
logam berat sehingga tidak masuk ke dalam jaringan makanan. (Tuwo, 2011)
kehadiran tambak tidak selalu berarti hilangnya mangrove. Hal ini dapat dilihat pada pola
tambak yang masih menyisakan pohon mangrove, yang dipraktekkan di beberapa tempat di
Jawa. Pada pola ini, mangrove ditanam di bagian tengah tambak. Sistem ini sangat baik untuk
memperoleh informasi atau data mengenai kondisi fisik suatu benda atau objek, target,
sasaran maupun daerah dan fenomena tanpa menyentuh atau kontak langsung dengan benda
atau target. Dalam memperoleh informasi digunakan sensor yang secara fisik berada jauh dari
benda atau objek yang disebut sensor jauh. Untuk itu digunakan sistem pemancar
(transmitter) dan penerima (receiver). Ilmu disini mengambarkan ilmu yang diperlukan baik
dalam konsep, perolehan data maupun pengolahan data yang tepat dan baik serta sesuai
dengan tujuan perolehan data. Data yang diperoleh pada umumnya berbentuk keruangan atau
spasial sehingga dalam pengolahannya memerlukan tampilan yang serasi, menarik dan
Data atau informasi yang diperoleh berupa gambaran yang berbasis digital yang biasa
disebut citra. Citra digital merupakan model dua dimensi dari objek berupa kenampakan
nyata dipermukaan bumi yang diperoleh melalui proses perekaman pantulan (reflectance),
dengan sensor optik-elektronik yang terpasang pada suatu wahana atau flatform (Danoedoro,
2012).
Objek di permukaan bumi akan disadap informasinya menggunakan alat yang disebut
sensor. Sensor tersebut dipasang di sebuah wahana yang berada di angkasa, seperti balon
udara, pesawat terbang, satelit, atau wahana lainnya. Sensor yang digunakan bisa berupa
Sumber energi utama berasal dari energi radiasi matahari, dengan panjang gelombang
yang berbeda-beda (spektrum elektromagnetik). Sumber energi radiasi matahari ada yang
ditangkap langsung secara alami, ada yang melalui penapisan untuk memperoleh panjang
perantara yang menyampaikan energi ke objek, dengan panjang gelombang yang unik
Objek atau target adalah benda, fenomena atau yang akan diindera dengan sensor
jauh.
Informasi yang diperoleh sesuai dengan sifat fisik atau karakteristik objek.
5) Sensor (receiver).
Sensor merupakan materi yang sesuai dengan sifat fisik atau karakteristik objek
Data atau informasi yang diperoleh berupa gambaran yang berbasis digital yang biasa
disebut citra. Citra digital merupakan model dua dimensi dari objek berupa kenampakan
nyata dipermukaan bumi yang diperoleh melalui proses perekaman pantulan (reflectance),
(Soenarmo, 2009)
Dalam sistem penginderaan jauh, seluruh sistem memerlukan sumber energi yang
baik aktif (misalnya, sistem penginderaan jauh radar) maupun pasif (misalnya, sistem
penginderaan jauh satelit secara optik). Spektrum elektromagnetik yang biasa digunakan
dalam penginderaan jauh adalah sebagian dari spektrum ultraviolet (0,3 - 0,4 mm),
spektrum tampak (0,4 – 0,7mm), spektrum inframerah dekat (0,7 - 1,3 mm), spektrum
Terdapat empat komponen dasar dari sistem penginderaan jauh adalah target, sumber
energi, alur transmisi, dan sensor. Komponen dalam sistem ini berkerja bersama untuk
mengukur dan mencatat informasi mengenai target tanpa menyentuh obyek tersebut.
Sumber energi yang menyinari atau memancarkan energi elektromagnetik pada target
mutlak diperlukan. Energi berinteraksi dengan target dan sekaligus berfungsi sebagai
media untuk meneruskan informasi dari target kepada sensor yang akanmencatat radiasi
elektromagnetik. Setelah dicatat, data akan dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses
Data yang diperoleh serentak dalam beberapa panjang gelombang melalui sistem
optik yang sama. Beberapa dari bagian panjang gelombang memiliki informasi penting
yang tidak dapat di tangkap oleh indera manusia atau kamera biasa. Hal ini menyebabkan
kita dapat membuat tumpang tindih beberapa saluran/band, sehingga dapat membentuk
Data perekaman melalui penginderaan jauh berbentuk digital, sehingga untuk data
dalam jumlah besar dapat diperoses dan dianalisis dengan melalui bantuan komputer.
Sekarang sudah bisa pemotretan berwarna dengan kualitas (dapat diukur dari ukuran
pikselnya) yang semakin baik. Di samping itu, jenis dan macam satelit yang digunakan
untuk membawa sensor juga semakin banyak. Ada ribuan satelit di ruang angkasa yang
sebagian darinya merupakan satelit sumber daya alam yang bertugas melakukan
pemotretan ke permukaan bumi menggunakan spektrum yang sangat lebar mulai dari
daerah sinar tampak sampai dengan gelombang radio, di antaranya MOS, LANDSAT,
Satelit sumberdaya Land Satellite (Landsat) pada awalnya dikembangkan oleh NASA
yang mempunyai kerjasama dengan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat yang
diluncurkan pertama kali pada tahun 1972, dengan nama Earth Resources Technology
Satellite 1 (ERTS-1). Untuk peluncuran seri yang kedua diberi nama Land Satellite
Seri Landsat hingga saat ini sudah ada 8 generasi, dan yang terakhir LDCM (Landsat
Data Continuity Mission) yang orbit pada Februari 2013. Mulai dari Landsat 1 hingga LDCM
Landsat (Land Satellite) merupakan program tertua dalam perangkat observasi bumi
milik Amerika Serikat. Landsat pertama kali diluncurkan pada tahun 1972 dengan nama
Earth Resources Technology Satellite (ERTS-1) dan berubah nama menjadi Landsat-1.
Satelit ini merupakan satelit sumberdaya alam yang pertama. Satelit Landsat terdiri dari
beberapa seri yaitu Landsat-1, Landsat-2, diteruskan 3, 4, 5, 6, 7 dan terakhir adalah Landsat-
8 (Danoedoro, 2012).
Pada tanggal 11 februari 20013 jam 10.02 a.m. PST di Atlas V-401, Vandenberg Air
Force Base California NASA meluncurkan satelit baru generasi 8 satelit Landsat diberi nama
Landsat Data Continuity Mission (LDCM). Satelit ini sebagai pengganti generasi landsat
selanjutnya. Satelit ini mempunyai 2 sensor, yaitu OLI (Operational Land Imager) dengan 9
saluran (visible, NIR, SWIR) dan resolusi spasial 30 meter kecuali saluran 8 pankromatik
dengan spasial 15 meter. Sensor kedua TIRS (Thermal Infrared Sensor) dengan 2 saluran
(TIR) dengan resolusi spasial 100 m. Lebar liputan mencapai 185 km x 180 km. Ketinggian
dengan kanal-kanal pada Landsat-5 dan Landsat-7. Umumnya kanal pada OLI memiliki
keunggulan khususnya terkait spesifikasi band-band yang dimiliki maupun panjang rentang
Spesifikasi baru yang terpasang pada band Landsat ini khususnya pada band 1, 9, 10, dan
11. Band 1 (ultra blue) dapat menangkap panjang gelombang elektromagnetik lebih rendah
dari pada band yang sama pada Landsat-7, sehingga lebih sensitif terhadap perbedaan
reflektan air laut atau aerosol. Band ini unggul dalam membedakan konsentrasi aerosol di
atmosfer dan mengidentifikasi karakteristik tampilan air laut pada kedalaman berbeda.
Deteksi terhadap awan cirrus juga lebih baik dengan band 9 pada sensor OLI, sedangkan
band thermal (band 10 dan 11) sangat bermanfaat untuk mendeteksi perbedaan suhu
Satelit Landsat 8 memiliki 2 sensor yang penting didalamnya yaitu Operational Land
Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS). Data citra landsat 8 memiliki resolusi
resolusi spasial 15 m. Kelebihan data lansat 8 dalam penentuan kondisi mangrove adalah
adanya Near Infra Red (NIR-kanal 5) sehingga dengan menggunakan kombinasi RGB yang
tepat akan menunjukkan kondisi dan distribusi dari vegetasi mangrove. Kelebihan lain dari
landsat 8 yakni peningkatan sensitifitas Landsat dengan kuantifikasi 16 bit. Lansat 8 memiliki
tampilan citra yang lebih halus, baik pada citra multispektral maupun pankromatik serta dapat
Panjang Gelombang
Band Keterangan
µm
1 – aerosol
0.43 – 0.45 Studi aerosol dan wilayah pesisir
pesisir
2 – biru 0.45 – 0.51 Pemetaan batimetri
Mempertegas puncak vegetasi
3 – hijau 0.53 – 0.59
untuk menilai kekuatan vegetasi
4 – merah 0.64 – 0.67 Membedakan sudut vegetasi
5 – Infra
(NIR)
6 – short – Mendiskriminasikan kadar air
kelembaban tanah
(LAPAN, 2015)
1) Koreksi Geometri
sehingga citra tersebut mempunyai sifat-sifat peta dalam bentuk, skala dan proyeksi.
Transformasi geometrik yang paling mendasar adalah penempatan kembali posisi piksel
sedemikian rupa, sehingga pada citra digital yang tertransformasi dapat dilihat gambaran
sehingga citra tersebut mempunyai sifat-sifat peta dalam bentuk, skala dan proyeksi.
Transformasi geometrik yang paling mendasar adalah penempatan kembali posisi piksel
sedemikian rupa, sehingga pada citra digital yang tertransformasi dapat dilihat gambaran
Koreksi geometrik harus dilakukan dengan mengacu ke data geospasial dasar seperti
peta RBI atau LPI dengan skala yang sama atau lebih besar dari data yang akan dibuat.
Sebagai contoh,untuk menghasilkan peta mangrove skala 1:50.000, maka peta dasar untuk
koreksi geometrik yang digunakanadalah peta RBI dengan skala 1:50.000 atau 1:25.000.
linear untuk merektifikasi sebuah citra ke dalam sebuah datum dan proyeksi peta
menggunakan GCP (titik kontrol) dari peta RBI atau titik kontrol geodesi nasional.
linier untuk merektifikasi satu citra ke citra yang lainnya menggunakan GCP.
2) Koreksi Radiometrik
rujukan Titik kontrol Citra yang dikoreksi Metode-metode yang sering digunakan untuk
3) Klasifkasi Citra
data tematik pada citra landsat dan menghasilkan kelas lahan, yakni peta tematik yang
terdiri dari bagian-bagian yang telas di klasifikasikan yang dapat di deskripsikan dalam
kelompok objek yang sama. Metode klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini
menentukan objek yang dimaksud dalam memperoleh data. Pemilihan metode pada
dasarnya dilakukan untuk meningkatkan akurasi data pada objek yang ingin kita
Classification (Klasifikasi Terbimbing) adalah metode yang dapat memperoleh objek yang
4) Indeks Vegetasi
daun yang berkorelasi dengan konsentrasi klorofil. Banyaknya konsentrasi klorofil yang
terkandung dalam suatu permukaan tanaman khususnya daun akan menunjukkan tingkat
kehijauan tanaman tersebut. Indeks vegetasi yang diperoleh dari citra satelit untuk area
mangrove menunjukkan hubungan dekat antara Leaf Area Index (LAI) dengan persentase
penutupan kanopi mangrove. LAI merupakan area daun pada satu sisi tunggal daun pada
setiap unit area tertentu. Persentase penutupan kanopi mempunyai korelasi yang tinggi
dengan Indeks Diferensiasi Vegetasi Normal (Susilo, 2000). Transformasi indeks vegetasi
adalah salah satu transformasi yang banyak dimanfaatkan dalam mengkaji vegetasi. Indeks
vegetasi mencerminkan kondisi, jenis dan karakteristik vegetasi lainnya dari vegetasi yang
diwakilinya. Setiap objek tertentu akan memberikan nilai indeks vegetasi yang sesuai
dengan karakteristiknya. Berdasarkan hal tersebut, karakteristik suatu objek yang diamati
dapat diketahui melalui analisis nilai-nilai indeks vegetasi .Salah satu model algoritma
pada transformasi indeks vegetasi yang digunakan adalah NDVI (Normalized Difference
Vegetation Index) yang merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dan pengurangan
berdasarkan algoritma NDVI menggunakan kanal NIR (infra merah) dan kanal RED
(merah). Analisis indeks vegetasi digunakan untuk memisahkan indeks reflektansi spektral
vegetasi dengan objek lain seperti air, tanah (non vegetasi). Formula yang digunakan
untuk analisis indeks vegetasi ini adalah NDVI (Normalized Defference Vegetation Index
5) Cropping
memudahkan analisis pada komputer. Selain itu, pemotongan citra akan mengurangi
kapasitas memori sehingga memudahkan pada proses pengolahan data citra tersebut.
Teknik yang digunakan pada tahapan cropping adalah dengan memfokuskan lokasi yang
diinginkan pada citra. Cropping dapat dilakukan dengan menggunakan data vektor,
koordinat geodetik, atau dengan menggunakan box (zooming) yang ada pada software
yang digunakan.
B. Kajian Relevan
1. Penelitian yang dilakukan oleh Recy Vetra (2017) dengan judul “Analisis Perubahan
perubahan luasan dan kondisi mangrove di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara
Provinsi Bengkulu. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis sebaran dan kerapatan
mangrove serta perubahan luasan mangrove yang terdapat di Pulau Enggano Kabupaten
Bengkulu Utara Tahun 2010-2015 dengan menggunakan data citra SPOT. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Januari– April 2016 menggunakan citra satelit SPOT 4 tahun 2010
dan citra SPOT 6 tahun 2015. Penelitian ini dilakukan dengan metode terbimbing
(supervised) serta dilakukan survei lapangan agar memiliki akurasi yang tinggi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan kerapatan mangrove yaitu mangrove
sedang sebesar 5,06 Ha dan mangrove padat sebesar 20,78 Ha. Penurunan luasan mangrove
secara keseluruhan sebesar 5,42 Ha. Kondisi mangrove di Pulau Enggano termasuk dalam
kategori baik dan Rhizophora apiculata merupakan jenis mangrove yang dominan dengan
2. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Hajar Daraintan (2018) dengan judul “Aplikasi
menggunakan aplikasi penginderaan jauh selama 16 tahun yaitu tahun 2000 sampai dengan
tahun 2016. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif objek dalam penelitian
ini seluruh kawasan mangrove di Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara, penelitian ini
menggunakan aplikasi penginderaan jauh. Ground check lapangan, dan observasi. Sumber
data penelitian ini menggunakan data primer bersumber dari hasil pengolahan citra tahun
2000,2005,2010 dan 2016. Sedangkan data sekunder adalah data penggunaan lahan, maka
dalam proses pengolahan data dibutuhkan buku, jurnal dan skripsi yang relevan dengan
penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luasan hutan mangrove terus mengalami
perubahan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2016. Perubahan yang terjadi adalah
pengurangan luasan mangrove pada periode tahun 2000-2005 sebesar -19,2 ha, dan pada
periode 2005-2010 perubahan luasan mangrove yaitu seluas -5,60 ha, dan terakhir tahun
2010-2016 pengurangan luasan mangrove menjadi -15,131 ha jadi selama kurun waktu 16
tahun pengurangan yang terjadi yaitu seluas -39,931 ha. Perubahan luas Kawasan mangrove
terjadi karena adanya peralihan fungsi lahan menjadi perumahan elite, mall, lapangan golf,
kondominium Nilai NDVI yang dimiliki oleh Kecamatan Penjaringan sangat beragam.
Indeks kerapatan vegetasi di Penjaringan diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu, kerapatan
jarang, kerapatan sedang dan kerapatan lebat. luas kelas NDVI yang tertinggi yaitu pada
klasifikasi sedang dengan luas 228,41 interval nilai spektral yaitu 0,1034-0,2261 dan
presentase yaitu 46,98 %. Sedangkan pada luas terendah yaitu pada klasifikasi jarang dengan
luas yaitu 55,94 dan nilai spektral yaitu -0,0632-0,1034 dan presentasenya yaitu 41,48. Jadi
kesimpulannya yaitu nilai NDVI di daerah Kecamatan Penjaringan memiliki tingkat indeks
3. Penelitian yang dilakukan oleh Silitonga, O., Purnama, D., Nofridiansyah, E., (2018)
dengan judul : “Pemetaan Distribusi Luasan Mangrove Disisi Tenggara Pulau Enggano
Pulau Enggano memiliki banyak potensi sumberdaya alam yang dapat dikelola, khususnya
dalam bidang ekosistem mangrove, salah satu keberadaan vegetasi mangrove di Sisi Tenggara
Pulau Enggano. Keberadaan hutan mangrove sangatlah penting, sebagai habitat dari berbagai
macam biota, sebagai pelindung dan penahan dari intrusi air laut, sebagai perangkap sedimen,
melindungi pantai dari abrasi dan merupakan salah satu penyuplai nutrisi berupa serasah pada
ekosistem laut. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung dan memetakan distribusi luasan
vegetasi mangrove dan di Sisi Tenggara Pulau Enggano dari tahun 2009 dan 2016. Distribusi
vegetasi mangrove di Sisi Tenggara Pulau Enggano berada di Tanjung Kaana, Tanjung
Kanuhojo, Teluk Enggano, Teluk Kiowa, Tanjung Kaohabi, Teluk Labuho dan Tanjung Labuho.
Luas hutan mangrove dari tahun 2009-2016 mengalami pertambahan luas sebesar 22,545 Ha
dengan luas mangrove pada tahun 2009 sebesar 1147,680 Ha dan tahun 2016 sebesar 1170,225
Ha.
C. Kerangka Pikir
Desa Mattirobaji
Mangrove
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis penelitian
Jenis penelitian termasuk jenis penelitian kuantitatif deskriptif, dimana jenis penelitian
ini mempunyai tujuan untuk mendeskripsikan suatu fenomena, peristiwa, gejala, dan kejadian
yang terjadi secara factual, sistematis, serta akurat. Metode ini bertujuan untuk menjelaskan
suatu fenomena dengan menggunakan angka yang menggambarkan karateristik subjek yang
diteliti.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2020 sampai bulan Desember 2020 yang
meliputi studi literature, pengolahan data, pengecekan lapangan, analisis data dan
penyusunan laporan akhir. Lokasi penelitian ini berada di Desa Mattirobaji, Pulau Tanah
Nama Fungsi
Alat Yang Digunakan
1 Laptop Digunakan untuk pengelolaan peta
2 Software Arc Gis 10.4 Digunakan untuk pengelolaan peta
Global Positioning
3 Untuk menentukan koordinat
System ( GPS )
4 Alat tulis menulis Untuk kegiatan pencatatan hasil pengamatan
Untuk pengambilan gambar sebagai dokumentasi
5 Kamera
hasil pengamatan
6 Perahu Sebagai alat transportasi menuju lokasi
1. Objek
Objek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah hutan mangrove Desa Mattirobaji,
Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar. Dimana akan dilakukan pengolahan data dan observasi
langsung di lokasi penelitian guna menguji akurasi olah data hasil penginderaan jauh.
2. Sasaran
Dalam menentukan sasaran pada penelitian ini ditentukan titik sampling secara
1. Variabel Penelitian
Variabel yang akan di teliti adalah
b. Luas Hutan Mangrove adalah luas tutupan lahan dengan vegetasi mangrove Desa
Mattirobaji, Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar tahun 2010 dan 2020 yang di peroleh dari
D. Prosedur Penelitian
1. Perolehan data citra satelit dengan mengunduh langsung dari website United States
Geological (USGS) yang merupakan fasilitas portal data satelit Amerika untuk citra
penginderaan jauh.
2. Import data dan penggabungan band Format data citra yang digunakan dalam penelitian
ini berekstensi (*.tif) dan (*.img), agar data citra dapat dibaca dan diproses oleh program
ArcGis 10.4 harus dikonversi dalam format data raster (*.ers) yang dilakukan melalui proses
import data kemudian melakukan penggabungan band untuk setiap citra (Ridho, 2006).
3. Pemulihan Citra
Proses pemulihan citra terdiri dari koreksi radiometrik dan geometric. Koreksi
radiometrik bertujuan untuk meperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai
pantula atau pancaran spektral objek yang sebenarnya sedangkan koreksi geometrik bertujuan
untuk memperbaiki kesalahan posisi atau letak objek yang terekam pada citra disebabkan
adanya distorsi geometrik seperti kesalahan instrumen berupa sistem optik, mekanisme
penyiaman, distorsi panoramik berupa sudut pandang sensor terhadap bumi, rotasi bumi, dan
Color composite yang digunakan untuk Citra Landsat 7 adalah Band 453 dan Landsat 8
OLI adalah 564. Pemotongan citra dilakukan untuk membatasi daerah penelitian sehingga
memudahkan analisis pada komputer. Selain itu, pemotongan citra akan mengurangi
kapasitas memori sehingga memudahkan pada proses pengolahan data citra tersebut
(LAPAN, 2015)
Teknik ini dapat digunakan untuk mempertajam kenampakan objek secara keseluruhan
citra.
homogen yaitu dengan menempatkan piksel-piksel ke dalam suatu kelas menurut kesamaan
nilai digital dari tiap piksel (Opa, 2010). Pada penelitian ini digunakan klasifikasi tak
Classification). Dari hasil klasifikasi pada citra maka akan didapatkan luasan mangrove di
desa Mattirobajo
7. Perhitungan Perubahan Luasan Mangrove dan Overlay Tahun 2010 dan 2020.
mangrove klasifikasi mangrove dari citra Landsat 7 tahun 2010 dan Landsat 8 OLI tahun
2020. Setelah diperoleh luasan mangrove dari citra, maka selisih atau perubahan luas
ekosistem mangrove dapat dihitung. Selanjutnya hasil klasifikasi mangrove pada tahun 2010
dan 2020 dii overlay untuk mendapatkan wilayah yang mengalami perubahan luasan
mangrove.
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan melakukan observasi serta
survey terhadap fakta-fakta atau kejadian yang ada di Lapangan. Adapun langkah-langkah
1. Mengolah data citra untuk menghasilkan peta perubahan hutan mangrove sebagai data
Penelitian ini terdiri dari pengolahan dan analisis data penginderaan jauh dan didukung
oleh data hasil survei lapang. Survei lapang perlu dilakukan sebagai salah satu input data
dalam menginterpretasi citra satelit di suatu daerah. Kegiatan survei lapangan ini meliputi
berbagai kegiatan, baik pengukuran posisi dengan GPS (tracking), maupun pengumpulan
data lapangan seperti identifikasi jenis mangrove dan pengukuran diameter batang.
Pengambilan contoh dilakukan secara acak (random sampling), dimana tiap contoh mewakili
Survei lapangan dilakukan dengan mengambil bebrapa titik sampel koordinat pada citra
hasil klasifikasi dan dilakukukan pengecekan terhadap titik-titik sampel tersebut di lapangan.
Banyaknya titik ground check adalah 20% dari luas mangrove. Contoh: jika luas mangrove
adalah 300 ha, maka banyaknya titik groundcheck adalah 60 titik, karena 20% dari 300
adalah 60 (DKP, 2011). Titik ground check yang diambil adalah titik-titik perbatasan antara
setiap kelas agar mengetahui seberapa tepat hasil klasifikasi menampilkan batasan kawasan
mangrove terhadap perairan, vegeatasi darat dan tanah yang ada di Pantai Ringgung.
Banyaknya titik yang diambil pada setiap kelas berbeda. Pengambilan titik kelas
mangrove lebih banyak dari kelas lainnya karena objek yang dikaji adalah mangrove
sehingga ketelitian klasifikasi untuk mangrove yang lebih dibutuhkan. Titik ground check
pada kelas lain diambil sebagai data dalam menetukan tingkat ketelitian klasifikasi citra
3. Dokumentasi
Menurut Gottschalk “dokumentsi dalam pengertiannya yang lebih luas berupa setiap
proses pembuktian yang didasarkan atas jenis sumber apapun, baik itu yang bersifat tulisan,
gambar, atau arkeologis”. Dokumentasi ini berupa foto pada keadaan lokasi penelitian dan
dokumentasi dilakukan untuk mendukung penelitian. Serta dokumen secara langsung yang di
dengan penggabungan antara klasifikasi penutup lahan tahun 2010 dan 2020 akan dapat
ΔL = Lt2 – Lt1
Δt
Keterangan :
ΔL = Laju perubahan luas
Lt2 = Luas pada tahun pengamatan berikutnya (ha)
Lt1 = Luas pada tahun pengamatan tahun sebelumnya (ha)
Δt = Selisih waktu pengamatan awal tahun dan akhir tahun
2. Analisis Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) (Siti, 2018)
sering digunakan dalam menduga vegetasi atau bahkan biomass, dari citra satelit dengan
menggunakan kanal Infra Merah Dekat (NIR) dan band Merah (VIS). Formula NDVI adalah
sebagai berikut :
( NIR – VIS )
NDVI =
( NIR +VIS )
Keterangan :
Cropping Citra
Konposisi Band
Unsupervised
Clasification
TIDAK
Ground chek Lapangan 80%
Supervised Clasification YA
Analisis Normalized
Peta Sebaran Mangrove Difference Vegetation
Tahun 2010 dan 2020 Index (NDVI)
Overlay
Akbar A.S, M. 2014. Geospatial Modeling of Vegetation Cover Changes on A Small Island
Case Study: Tanakeke Island, Takalar District, South Sulawesi. Graduate School
Bogor Agricultural University, Bogor. (Not Published).
Bengen, D.G. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor: Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor.
Ernawati, S.K. 2018. Analysis of Nitrogen and Carbon Content on Mangrove Forests in
Tongke –Tongke, Sinjai. Department of Agricultural Technology, Faculty of
Engineering, Universitas Negeri Makassar, Indonesia
Faizal, A. & Amran, M.A. 2005. Model Transformasi Indeks Vegetasi yang Efektif Untuk
Prediksi Kerapatan Mangrove Rhizophora mucronata. Prosiding PIT MAPIN XIV
ITS, Surabaya, 14-15 September 2005.
Giri, C.P., Ochieng, E., Tieszen, L.L., Zhu, Z., Singh, A., Loveland, T. & Duke, N. (2011).
Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation
satellite data. Glob. Ecol. Biogeogr., 20(1), 154-159.
LAPAN, 2015. Pedoman Pengolahan Data Penginderaan Jauh Landsat-8 Untuk Mangrove.
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Jakarta.
Rahim, Sukiman & Dewi W. B. 2017. Hutan Mangrove dan Pemanfaatannya. Yogyakarta:
Deepublish.
Recy Vetra. 2017. Analisis Perubahan Luasan Mangrove Menggunakan Data Citra Spot
Multitemporal Di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu.
Skripsi. Ilmu Kelautan. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sriwijaya Inderalaya, 2017
Sathe, S. Lawate, R and Bhosale, L. 2012. Ethnobotanical and Fishery Related Studies on
Mangrove Ecosystem with Special Reference to Malvan Tahsil of Sindhudarg District
Maharashtr. Trends and Fisheries Research 1 (3) : 9-14.
Setiawan H. 2013. “Status Ekologi Hutan Mangrove Pada Berbagai Tingkat Kekebalan
(Ecological Status Of Mangrove Forest At Various Thicknes Levels)”. Jurnal Penelitian
Kehutanan Malacca, No. 2: 1-17.
Setiawan, H., & Larasati, D. A. 2016. Kontribusi ekosistem mangrove dalam mendukung
pembangunan wilayah pesisir dan pulau kecil; Studi kasus di Pulau Tanakeke
Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. In Prosiding Seminar Nasional Mengawal
Pelaksanaan SDGs(pp. 153–162). Surabaya: Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum,
Universitas Negeri Surabaya.
Silitonga, O., Purnama, D., Nofridiansyah, E., 2018. Pemetaan Distribusi Luasan Mangrove
Disisi Tenggara Pulau Enggano Menggunakan Data Citra Satelit. Jurnal TECHNO-
FISH Vol. 2 No. 1, Juli 2018, ISSN : 2581-1592, E-ISSN : 2581-1665.
Siti H., D., 2018. Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Mendeteksi Perubahan Kawasan
Mangrove Di Pantai Indah Kapuk (PIK) Tahun 2000-2016. Skripsi. Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial. Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Uin Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2018
Soenarmo, S., H., 2009. Penginderaan Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi Geografis
Untuk Bidang Ilmu Kebumiaan. Penetbit ITB Bandung.
Suliso. 2000. Penginderaan Jauh Kelautan Terapan. Bogor; Jurusan Manajemen Sumber
Daya Perairan.
Tuwo, A. 2011. Pengolahan Ekowisata Pesisir dan Laut. Penerbit Brilian Internasional.
Surabaya