Anda di halaman 1dari 35

PROPOSAL PENELITIAN

PEMETAAN PERUBAHAN LUAS HUTAN MANGROVE DENGAN TEKNOLOGI


PENGINDERAAN JAUH DAN DATA CITRA LANDSAT 8 DI DESA
MATTIROBAJI, KECAMATAN MAPPAKASUNGGU, TANAKEKE, KABUPATEN
TAKALAR

MAPPING CHANGES IN MANGROVE FOREST AREA WITH REMOTE SENSING


TECHNOLOGY AND LANDSAT 8 IMAGE DATA IN MATTIROBAJI VILLAGE,
MAPPAKASUNGGU DISTRICT, TANAKEKE, TAKALAR DISTRICT

ANAZ ILLYANTI MEILYA

1627041008

PRODI PENDIDIKAN TEKNOLOGI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar terutama sumber daya alam yang

berasal dari laut. Salah satunya adalah mangrove, ekosistem mangrove banyak dijumpai di

wilayah pesisir yang terlindungi dari gempuran ombak. Ekosistem mangrove merupakan

komunitas vegetai pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang

tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Bila

dibandingan dengan ekosistem hutan yang lain, maka ekosistem mangrove memiliki flora dan

fauna yang spesifik dan memiliki keanekaragaman yang tinggi. Mangrove tengah mengalami

penurunan kualitas dan kuantitas pada tingkat yang mengkhawatirkan di seluruh dunia.

Secara global dan selama lebih dari dua decade (1980-2005) dunia telah kehilangan

mangrove lebih dari 25% dari total luasan (Giri et al., 2011).

Salah satu bagian terpenting dari rantai ekologi di wilayah pesisir adalah ekosistem

mangrove. Mangrove memiliki fungsi ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting

dalam memilihara keseimbangan siklus biologi di suatu perairan. Fungsi fisik kawasan

mangrove yaitu menjaga keseimbangan ekosistem perairan pantai, melindungi pantai dan

tebing sungai terhadap pengikisan atau erosi pantai, menahan dan mengendapkan lumpur

serta menyaring bahan tercemar. Fungsi lainnya adalah sebagai penghasil bahan organic yang

merupakan sumber makanan biota, tempat berlindung dan memijah berbagai jenis udang,

ikan, dan berbagai biota lainnya.

Masyarakat pesisir merupakan kelompok masyarakat yang mempunyai interaksi yang

tinggi dengan ekosistem mangrove. Hal tersebut tidak lepas dari tingginya peranan mangrove

dalam menopang kehidupan masyarakat pesisir, baik dari segi ekologi maupun ekonomi.

Menurut Sathe et al. (2012), penggunaan tradisional mangrove adalah untuk perikanan
tangkap, obat-obatan, bahan bakar, pakan ternak, penyamakan kulit, penghasil madu dan

penggunaan lainnya.

Berkembangnya teknologi penginderaan jauh baik dari resolusi spasial dan temporal

mampu digunakan mendeteksi keberadaan hutan mangrove baik dari luasan dan pola sebaran

mangrove tentang survey dan pemetaan vegetasi mangrove. Letak geografis mangrove yang

berada pada daerah peralihan darat dan laut memberikan efek perekaman yang khas jika

dibandikan objek vegetasi darat lainnya (Faizal dan Amran, 2005). Selain itu, nilai spectral

pada citra satelit dapat diekstraksi menjadi informasi objek jenis mangrove pada kisaran

spectrum tampak dan inframerah dekat. Beberapa penelitian yang telah dilakukan dengan

memanfaatkan teknologi penginderaan jauh untuk mengindeteksi sebaran spasial ataupun

perubahan luasan mangrove di Indonesia.

Sumberdaya yang berada di daerah pesisir dan laut merupakan salah satu potensi

ekonomi yang sangat menjanjikan dalam menopang kehidupan masyarakat pulau, khususnya

nelayan. Luas hutan mangrove di Indonesia adalah yang terluas di dunia yang mencapai

3.112.989 ha, atau 22,6% dari total luas mangrove di seluruh dunia (Giri et al., 2011).

Provinsi Sulawesi Selatan dengan panjang garis pantai mencapai 1.937 km, dan jumlah pulau

299 buah merupakan habitat yang potensial bagi tumbuh dan berkembangannya ekosistem

mangrove. Berdasarkan data Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2014, luas

mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 28.954,3 ha. Dari luasan tersebut hanya

5.238 ha yang masih dalam ketegori baik, sedangkan sisanya dalam kondisi rusak, dan sangat

rusak (Setiawan & Larasati, 2016). Salah satu ekosistem mangrove di Provinsi Sulawesi

Selatan berada di Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar yang merupakan kawasan mangrove

terluas di provinsi tersebut dengan luas mencapai 951,11 ha (Akbar, 2014). Kondisi

ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke telah mengalami degradasi yang cukup tinggi. Pada

tahun 1970-an luas mangrove di Pulau Tanakeke mencapai 2.500 ha, kemudian pada periode
1990-an turun menjadi 1.300 ha, dan pada saat ini hanya 950 ha.Gencarnya alih fungsi lahan

ke tambak udang membuat luas hutan bakau berkurang.

Berada dalam lingkup Kepulauan Tanakeke dan terdiri dari enam pulau/dusun dalam

wilayah Desa Mattiro Baji yaitu : Pulau Satangnga, Dusun Lantangpeo, Dusun Labbutallua,

Pulau Rewataya, Dusun Kalukuang, Pulau Dayang-dayangan, dan Pulau Bauluang sendiri.

Sedangkan secara geografis Pulau Bauluang berada posisi 5o26’48” LS - 5°27’41” LS dan

119°13’50” BT - 119°14’11” BT. Bentuk pulau memanjang dari Utara ke Selatan di mana

pada sisi Barat pulau ditumbuhi oleh mangrove yang tebal dan lebat. Sisi timur terbuka dari

pengaruh angin timur dan pada sisi ini dijadikan wilayah pemukiman oleh penduduk

sepanjang garis pantai. Pada sisi ini terdapat hamparan terumbu karang yang memanjang dari

utara ke selatan dengan lebar reef flat antara 200-400 m. Pada sisi Timur pulau ditumbuhi

oleh spot-spot mangrove yang tipis dan padang lamun di sepanjang reef flat. Di daerah slope,

terumbu karang umumnya landai hingga kedalaman 8-10 m.

Melihat kondisi mangrove di kawasan Tanakeke yang kian mengalami perubahan, maka

diperlukan suatu pemetaan informasi spasial perubahan luasan mangrove Tanah Keke, serta

dapat digunakan oleh pemerintah setempat dalam perencanaan tata ruang ekosistem yang

merupakan suatu kawasan konservasi, maka penelitian ini dilakukan bertujuan untuk

mendeteksi perubahan luasan mangrove, serta sebagai pertimbangan bahan untuk

menentukan kebijakan dalam pengelolaan lahan pesisir di wilayah Tanakeke dengan

menggunakan teknologi penginderaan jauh. Lokasi ini dipilih sebagai lokasi penelitian

karena merupakan lokasi dimana masyarat belum terlalu paham tentang pentingnya hutan

mangrove serta cara pengelolaan mangrove untuk menopang siklus perairan sekitar pulau

Tanakeke khususnya di Desa Mattirobaji . Penelitian ini ingin memberikan informasi

mengenai perubahan luas mangrove di lokasi tersebut. Pulau Tanakeke khsusnya Desa

mattirobaji di pilih sebagai lokasi penelitian karena jaraknya yang lebih dekat dari kota
makassar melalui perjalanan darat sekitar 1 jam menuju kota talakar kemudia menyebrang

melewati perjalanan laut selama 10 – 15 menit, Sehingga hal tersebut yang mendasari

dilakukannya penelitian dengan judul “Pemetaan Perubahan Luas Hutan Mangrove

dengan Teknologi Penginderaan Jauh dan Data Citra Landsat 8 Di Desa Mattirobaji,

Kecamatan Mappakasunggu, Tanah Keke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.”

Hal ini bertujuan untuk menginventarisir informasi dan sebagai langkah dalam

monitoring mengenai kondisi hutan mangrove yang terdapat di Pulau Tanakeke, Desa

Mattirobaji Kecamatan Mappakasunggu,Kabupaten Takalar.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diangkat rumusan masalah yaitu:

1. Bagaimana gambaran sebaran perubahan hutan mangrove Di Desa Mattirobaji, Kecamatan

Mappakasunggu, Tanah Keke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada tahun 2010 dan

2020 ?

2. Seberapa besar laju perubahan hutan mangrove Di Desa Mattirobaji, Kecamatan

Mappakasunggu, Tanah Keke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada tahun 2010 dan

2020 ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui gambaran sebaran perubahan hutan mangrove di Desa Mattirobaji,

Kecamatan Mappakasunggu, Tanah Keke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada tahun

2010 dan 2020

2. Mengetahui laju perubahan hutan mangrove di Desa Mattirobaji, Kecamatan

Mappakasunggu, Tanah Keke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada tahun 2010 dan

2020
D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi mengenai perubahan kondisi dan distribusi luasan hutan mangrove

dalam usaha pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan oleh

berbagai pihak terutama bagi pengelolah kebijakan.

2. Selain itu hasil penelitian dapat bermanfaat bagi pengembangan teknologi kelautan

khususnya dalam lingkup informasi kelautan.

3. Sebagai bahan literature bagi penelitian serupa tentang hutan mangrove.


BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA FIKIR

A. Kajian Teori

1. HUTAN MANGROVE

Mangrove merupakan suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan

yang membentuk komunitas di daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang

secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan

bebas dari genangan pada saat pasang rendah atau surut. Ekosistem mangrove adalah suatu

sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu

habitat mangrove. Mangrove merupakan vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang

surut, dan hidup di antara laut dengan daratan. Sehingga hutan mangrove juga dinamakan

hutan pasang.

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis “Mangue” dan bahasa

Inggris “Grove”. Dalam bahasa inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas

tumbuhan yang tumbuh didaerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu

jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut (Nur, 2013).

Mangrove merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi strategis di kawasan

pesisir tropis. Itu yang paling ekosistem yang produktif dan bermanfaat bagi kehidupan

makhluk laut. Mangrove memiliki nilai ekonomi yang tinggi seperti sumber makanan, bahan

bangunan, obat-obatan, kayu bakar. Ini juga merupakan ekosistem yang kompleks sejak itu

itu terkait dengan ekosistem darat dan ekosistem lepas pantai di luar . Keberadaan hutan

mangrove di kawasan ekoton antara darat dan laut menjadikan kawasan tersebut sangat

dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Kondisi tersebut membuat kawasan hutan mangrove

pun terasa mengalami pengembangan di berbagai sektor. Salah satu dampak dari berbagai
aktivitas yang terjadi di kawasan mangrove adalah terjadinya degradasi kawasan tersebut. Itu

degradasi secara langsung akan menurunkan keanekaragaman hayati pantai, terutama

organisme spesifik itu hidup di kawasan mangrove (Ernawati, 2018). Namun demikian

karena keberadaannya di daerah pasang surut maka jenis-jenis mangrove harus mampu

beradaptasi pada kondisi salinitas 0-35% dan juga kekeringan selama periode surutnya air

laut (Sulistiyowati, 2009).

Hutan mangrove merupakan suatu komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh

berbagai jenis pohon mangrove yang bisa tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut

pantai yang berlumpur. Hutan mangrove adalah tipe hutan tropika yang khas tumbuh di

sepanjang pantai ataupun muara sungai yang terpengaruh oleh pasang surut air laut.

Mangrove seringkali ditemukan di berbagai pantai teluk yang estuaria, dangkal, delta, serta

terlindungi. Mangrove tumbuh dengan optimal di daerah pesisir yang mempunyai muara

sungai besar dan bersubstrat lumpur, sedangkan di daerah pesisir yang tidak memiliki muara

sungai, hutan mangrove pertumbuhannya tidak optimal. (Rahim & Dewi, 2017).

Secara umum, hutan mangrove didefinisikan sebagai tipe hutan yang tumbuh pada

daerah pasang ataupun surut (terutama pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang

tergenang pada saat pasang dan bebas genangan pada saat surut yang komunitas

tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Setiawan, 2013).

Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland,

vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu hutan mangrove oleh

masyarakat Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya berbahasa melayu sering

disebut hutan bakau. Penggunanaan istilah hutan bakau untuk hutan mangrove sebenarnya

kurang tepat, karena bakau hanyalah nama lokal dari Rhizophora, sementara hutan mangrove

disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu

penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari (Nur, 2013).
Mangrove memiliki peranan penting dalam melindungi pantai dari gelombang, angin dan

badai. Tegakan mangrove dapat melindungi pemukiman, bangunan dan pertanian dari angin

kencang atau intrusi air laut. Flora mangrove dibagi menjadi tiga struktur, yaitu:

a. Flora mangrove mayor (flora mangrove yang sebenarnya), yakni flora mngrove yang

menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, membentuk tegakan murni dan

secara dominan mencirikan striuktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk

bentuk adaptif khusus (bentuk akar) terhadap lingkungan mangrove dan mempunyai

mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia,

Rhizophora, Brugeria, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan

Nypa.

b. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk

tegakan murni sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur

komunitas. Contohnya adalah Eexoecaria, Xylocarpus, Heriteria, Aegiceras,

Comtostemon, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.

c. Asosiasi mangrove, tanaman kelompok ini tidak pernah tumbuh di habitat mangrove

sebenarnya tanaman ini biasanya terdapat pada zona perbatasan. Contohnya adalah Cerbera,

Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus dan lain-lain. (Rahim L, 2014)

Tumbuhan pada ekosistem mangrove diketahui mempunyai daya adaptasi yang sangat

tinggi. Tumbuhan tersebut tahan terhadap lingkungan dengan suhu perairan yang tinggi,

fluktuasi salinitas yang luas dan tanah anaerob. Salah satu faktor yang penting dalam adaptasi

fisiologi tersebut adalah sistem pengudaraan di akar-akarnya. Dalam organ akar mangrove

terdapat banyak sekali jaringan aerenkim yang berfungsi membantu transport oksigen dan

menjadikan tumbuhan ini beradaptasi dengan baik di habitat berlumpur yang kurang

kandungan oksigennya (Ghufran dan Kordi., 2012).


Mangrove juga merupakan mata rantai penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus

biologis di suatu perairan. Karena mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan, tempat

asuhan dan tempat mencari makan berbagai jenis hewan akuatik yang mempunyai nilai

ekonomi penting, maka itu, meskipun ekosistem mangrove hanya 10% luas laut, namun

menampung 90% kehidupan laut. Produksi perikanan di beberapa kawasan sangat bergantung

pada ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove adalah bagian dari pesisir dan darat yang

memiliki fungsi ekologis yang sangat kompleks, diantaranya sebagai penampung dan

pengolahan limbah alami (bioremediasi) atau biofilter alami yang sangat efektif dalam

menanggulangi pencemaran. Ekosistem mangrove juga berfungsi sebagai habitat berbagai

hewan darat dan sebagai penahan intrusi garam ke darat (Ghufran dan Kordi., 2012).

Berbagai tumbuhan dari hutan mangrove dimanfaatkan untuk bermacam keperluan.

Produk hutan mangrove antara lain digunakan untuk kayu bakar, pembuatan arang,

bahan penyamak untuk berbagai perabot rumah tangga bahkan konstruksi bangunan dan

obat -obatan dan sebagai bahan untuk industri kertas. Selain itu kawasan mangrove juga

sering dialihkan fungsinya misalnya dijadikan tambak diubah menjadi lahan pertanian

atau dijadikan sebagai daerah pemukiman. Sekali ekosistem alami menjadi rusak biasanya

sulit untuk memulihkannya kembali seperti sediakala (Rahim, 2014).

Kondisi ekosistem mangrove di indonesia pada saat ini sangat mengkhawatirkan,

diakibatkan oleh adanya tekanan pertambahan penduduk yang sangat pesat. Jumlah penduduk

yang terus bertambah membutuhkan lahan untuk pemukiman dan mencari nafkah. Kerusakan

hutan mangrove dapat menimbulkan banyak dampak sebagai berikut :

1) Kerusakan hutan mangrove dapat menyebabkan peningkatan laju intrusi air laut kearah

daratan.
2) Alih fungsi areal hutan mangrove menjadi daerah pertambakan dapat menyebabkan

meningkatnya masa genangan air sehingga menjadi tempat yang baik untuk

berkembangbiaknya populasi nyamuk.

3) Penebangan pohon mangrove untuk keperluan kayu bakar dan pembuatan arang

menyebabkan terganggunya salah satu fungsi ekosistem mangrove sebagai penyerap

logam berat sehingga tidak masuk ke dalam jaringan makanan. (Tuwo, 2011)

Kehadiran tambak juga di khawatirkan akan mengganggu ekosistem mangrove. Tetapi

kehadiran tambak tidak selalu berarti hilangnya mangrove. Hal ini dapat dilihat pada pola

tambak yang masih menyisakan pohon mangrove, yang dipraktekkan di beberapa tempat di

Jawa. Pada pola ini, mangrove ditanam di bagian tengah tambak. Sistem ini sangat baik untuk

diterapkan karena selain melindungi dan mempertahankan mangrove, juga dapat

dimanfaatkan oleh burung air (Noor et al,. 2012)

2. Teknologi Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh secara umum didefinisikan sebagai ilmu-teknik-seni untuk

memperoleh informasi atau data mengenai kondisi fisik suatu benda atau objek, target,

sasaran maupun daerah dan fenomena tanpa menyentuh atau kontak langsung dengan benda

atau target. Dalam memperoleh informasi digunakan sensor yang secara fisik berada jauh dari

benda atau objek yang disebut sensor jauh. Untuk itu digunakan sistem pemancar

(transmitter) dan penerima (receiver). Ilmu disini mengambarkan ilmu yang diperlukan baik

dalam konsep, perolehan data maupun pengolahan data yang tepat dan baik serta sesuai

dengan tujuan perolehan data. Data yang diperoleh pada umumnya berbentuk keruangan atau

spasial sehingga dalam pengolahannya memerlukan tampilan yang serasi, menarik dan

mudah dimengerti (Soenarmo, 2009).

Data atau informasi yang diperoleh berupa gambaran yang berbasis digital yang biasa

disebut citra. Citra digital merupakan model dua dimensi dari objek berupa kenampakan
nyata dipermukaan bumi yang diperoleh melalui proses perekaman pantulan (reflectance),

pancaran (emittance), ataupun hamburan balik (backscatter) gelombang elektromagnetik

dengan sensor optik-elektronik yang terpasang pada suatu wahana atau flatform (Danoedoro,

2012).

Objek di permukaan bumi akan disadap informasinya menggunakan alat yang disebut

sensor. Sensor tersebut dipasang di sebuah wahana yang berada di angkasa, seperti balon

udara, pesawat terbang, satelit, atau wahana lainnya. Sensor yang digunakan bisa berupa

kamera, scanner, magnetometer, maupun radiometer.

Soenarmo (2009) mengemukakan bahwa konsep dasar penginderaan jauh didasarkan

pada 5 (lima) unsur utama yaitu:

1) Sumber energi (transmitter)

Sumber energi utama berasal dari energi radiasi matahari, dengan panjang gelombang

yang berbeda-beda (spektrum elektromagnetik). Sumber energi radiasi matahari ada yang

ditangkap langsung secara alami, ada yang melalui penapisan untuk memperoleh panjang

gelombang yang sesuai dengan sifat dan karakteristik objek.

2) Gelombang elektromagnetik datang

Gelombang elektromagnetik datang, merambat menembus atmosfer, merupakan

perantara yang menyampaikan energi ke objek, dengan panjang gelombang yang unik

untuk setiap objek.

3) Objek atau target

Objek atau target adalah benda, fenomena atau yang akan diindera dengan sensor

jauh.

4) Gelombang elektromagnetik pantul dan hambur (emisi)


Terjadi setelah gelombang elektromagnetik datang mengenai objek, sebagian diserap

dan ditransmisikan, sebagian lagi dipantulkan dan dihamburkan. Gelombang

elektromagnetik yang dipantulkan dan dihamburkan kemudian dicover oleh sensor.

Informasi yang diperoleh sesuai dengan sifat fisik atau karakteristik objek.

5) Sensor (receiver).

Sensor merupakan materi yang sesuai dengan sifat fisik atau karakteristik objek

yang diindera. Tipe sensor sesuai dengan tipe gelombang elektromagnetik.

Data atau informasi yang diperoleh berupa gambaran yang berbasis digital yang biasa

disebut citra. Citra digital merupakan model dua dimensi dari objek berupa kenampakan

nyata dipermukaan bumi yang diperoleh melalui proses perekaman pantulan (reflectance),

pancaran (emittance), ataupun hamburan balik (backscatter) gelombang elektromagnetik

dengan sensor optik-elektronik yang terpasang pada suatu wahana (flatform).

Gambar 2.1 Komponen dasar penginderaan jauh

(Soenarmo, 2009)

Dalam sistem penginderaan jauh, seluruh sistem memerlukan sumber energi yang

baik aktif (misalnya, sistem penginderaan jauh radar) maupun pasif (misalnya, sistem
penginderaan jauh satelit secara optik). Spektrum elektromagnetik yang biasa digunakan

dalam penginderaan jauh adalah sebagian dari spektrum ultraviolet (0,3 - 0,4 mm),

spektrum tampak (0,4 – 0,7mm), spektrum inframerah dekat (0,7 - 1,3 mm), spektrum

inframerah thermal (3 - 18 mm), dan gelombang mikro (1mm-1m).

Terdapat empat komponen dasar dari sistem penginderaan jauh adalah target, sumber

energi, alur transmisi, dan sensor. Komponen dalam sistem ini berkerja bersama untuk

mengukur dan mencatat informasi mengenai target tanpa menyentuh obyek tersebut.

Sumber energi yang menyinari atau memancarkan energi elektromagnetik pada target

mutlak diperlukan. Energi berinteraksi dengan target dan sekaligus berfungsi sebagai

media untuk meneruskan informasi dari target kepada sensor yang akanmencatat radiasi

elektromagnetik. Setelah dicatat, data akan dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses

menjadi format yang siap pakai yakni berupa citra.

Data yang diperoleh serentak dalam beberapa panjang gelombang melalui sistem

optik yang sama. Beberapa dari bagian panjang gelombang memiliki informasi penting

yang tidak dapat di tangkap oleh indera manusia atau kamera biasa. Hal ini menyebabkan

kita dapat membuat tumpang tindih beberapa saluran/band, sehingga dapat membentuk

suatu kombinasi citra komposit.

6) Analisis Digital (Gigital Analysis)

Data perekaman melalui penginderaan jauh berbentuk digital, sehingga untuk data

dalam jumlah besar dapat diperoses dan dianalisis dengan melalui bantuan komputer.

Perkembangan teknologi di bidang sensor dan wahana sudah semakin maju.

Sekarang sudah bisa pemotretan berwarna dengan kualitas (dapat diukur dari ukuran

pikselnya) yang semakin baik. Di samping itu, jenis dan macam satelit yang digunakan

untuk membawa sensor juga semakin banyak. Ada ribuan satelit di ruang angkasa yang

sebagian darinya merupakan satelit sumber daya alam yang bertugas melakukan
pemotretan ke permukaan bumi menggunakan spektrum yang sangat lebar mulai dari

daerah sinar tampak sampai dengan gelombang radio, di antaranya MOS, LANDSAT,

SPOT, IKONOS, QUICKBIRD.

3. Citra Satelit Landsat

Satelit sumberdaya Land Satellite (Landsat) pada awalnya dikembangkan oleh NASA

yang mempunyai kerjasama dengan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat yang

diluncurkan pertama kali pada tahun 1972, dengan nama Earth Resources Technology

Satellite 1 (ERTS-1). Untuk peluncuran seri yang kedua diberi nama Land Satellite

(Landsat). ERTS-1 berganti nama menjadi landsat-1.

Seri Landsat hingga saat ini sudah ada 8 generasi, dan yang terakhir LDCM (Landsat

Data Continuity Mission) yang orbit pada Februari 2013. Mulai dari Landsat 1 hingga LDCM

Landsat mengalami perubahan desain sensor.

Landsat (Land Satellite) merupakan program tertua dalam perangkat observasi bumi

milik Amerika Serikat. Landsat pertama kali diluncurkan pada tahun 1972 dengan nama

Earth Resources Technology Satellite (ERTS-1) dan berubah nama menjadi Landsat-1.

Satelit ini merupakan satelit sumberdaya alam yang pertama. Satelit Landsat terdiri dari

beberapa seri yaitu Landsat-1, Landsat-2, diteruskan 3, 4, 5, 6, 7 dan terakhir adalah Landsat-

8 (Danoedoro, 2012).

Pada tanggal 11 februari 20013 jam 10.02 a.m. PST di Atlas V-401, Vandenberg Air

Force Base California NASA meluncurkan satelit baru generasi 8 satelit Landsat diberi nama

Landsat Data Continuity Mission (LDCM). Satelit ini sebagai pengganti generasi landsat

selanjutnya. Satelit ini mempunyai 2 sensor, yaitu OLI (Operational Land Imager) dengan 9

saluran (visible, NIR, SWIR) dan resolusi spasial 30 meter kecuali saluran 8 pankromatik

dengan spasial 15 meter. Sensor kedua TIRS (Thermal Infrared Sensor) dengan 2 saluran
(TIR) dengan resolusi spasial 100 m. Lebar liputan mencapai 185 km x 180 km. Ketinggian

orbit satelit ini 705 km.

Landsat-7. Landsat-8 memiliki kanal-kanal dengan resolusi tingkat menengah, setara

dengan kanal-kanal pada Landsat-5 dan Landsat-7. Umumnya kanal pada OLI memiliki

resolusi 30 m, kecuali untuk pankromatik 15 m. Selain itu Landsat-8 memiliki beberapa

keunggulan khususnya terkait spesifikasi band-band yang dimiliki maupun panjang rentang

spektrum gelombang elektromagnetik yang ditangkap.

Spesifikasi baru yang terpasang pada band Landsat ini khususnya pada band 1, 9, 10, dan

11. Band 1 (ultra blue) dapat menangkap panjang gelombang elektromagnetik lebih rendah

dari pada band yang sama pada Landsat-7, sehingga lebih sensitif terhadap perbedaan

reflektan air laut atau aerosol. Band ini unggul dalam membedakan konsentrasi aerosol di

atmosfer dan mengidentifikasi karakteristik tampilan air laut pada kedalaman berbeda.

Deteksi terhadap awan cirrus juga lebih baik dengan band 9 pada sensor OLI, sedangkan

band thermal (band 10 dan 11) sangat bermanfaat untuk mendeteksi perbedaan suhu

permukaan bumi dengan resolusi spasial 100 m.

Gambar 2.2. Satelit Landsat 8

Satelit Landsat 8 memiliki 2 sensor yang penting didalamnya yaitu Operational Land

Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS). Data citra landsat 8 memiliki resolusi

spasial 30 m untuk kanal 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 9 sedangkan kanal 8 (panchromatic) memiliki

resolusi spasial 15 m. Kelebihan data lansat 8 dalam penentuan kondisi mangrove adalah
adanya Near Infra Red (NIR-kanal 5) sehingga dengan menggunakan kombinasi RGB yang

tepat akan menunjukkan kondisi dan distribusi dari vegetasi mangrove. Kelebihan lain dari

landsat 8 yakni peningkatan sensitifitas Landsat dengan kuantifikasi 16 bit. Lansat 8 memiliki

tampilan citra yang lebih halus, baik pada citra multispektral maupun pankromatik serta dapat

mengurangi terjadinya kesalahan interpretasi (LAPAN, 2015).

Tabel berikut adalah karakteristik satelit Landsat 8

Tabel 2.1. Karakteristik Landsat 8

Panjang Gelombang
Band Keterangan
µm
1 – aerosol
0.43 – 0.45 Studi aerosol dan wilayah pesisir
pesisir
2 – biru 0.45 – 0.51 Pemetaan batimetri
Mempertegas puncak vegetasi
3 – hijau 0.53 – 0.59
untuk menilai kekuatan vegetasi
4 – merah 0.64 – 0.67 Membedakan sudut vegetasi
5 – Infra

Merah Dekat- Menekankan konten biomassa dan


0.85 – 0.88
Near Infrared garis pantai

(NIR)
6 – short – Mendiskriminasikan kadar air

wave infrared 1.57 – 1.65 tanah dan vegetasi; menembus

(SWIR 1) awan tipis


7 – short –
Peningkatan kadar air tanah dan
wave infrared 2.11 – 2.29
vegetasi dan penetrasi awan tipis
(SWIR 2)
8 –
0.50 – 0.68 Resolusi 15 m, penajaman citra
Pankromatik
Peningkatan deteksi awan sirus
9 – Sirus 1.36 – 1.68
yang terkontaminasi
10 – TIRS 1 10.60 – 11.19 Resolusi 100 m, pemetaan suhudan
penghitungan kelembaban tanah
Resolusi 100 m, peningkatan

11 – TIRS 2 11.5 – 12.51 pemetaan suhu dan penghitungan

kelembaban tanah
(LAPAN, 2015)

a. Pengolahan Data Landsat

1) Koreksi Geometri

Koreksi geometrik diperlukan untuk mentransformasi citra hasil penginderaan jauh

sehingga citra tersebut mempunyai sifat-sifat peta dalam bentuk, skala dan proyeksi.

Transformasi geometrik yang paling mendasar adalah penempatan kembali posisi piksel

sedemikian rupa, sehingga pada citra digital yang tertransformasi dapat dilihat gambaran

objek dipermukaan bumi yang terekam sensor.

Koreksi geometrik diperlukan untuk mentransformasi citra hasil penginderaan jauh

sehingga citra tersebut mempunyai sifat-sifat peta dalam bentuk, skala dan proyeksi.

Transformasi geometrik yang paling mendasar adalah penempatan kembali posisi piksel

sedemikian rupa, sehingga pada citra digital yang tertransformasi dapat dilihat gambaran

objek dipermukaan bumi yang terekam sensor.

Gambar 2.3 Koreksi geometric


(Sumber :Pedoman LAPAN 2015)

Koreksi geometrik harus dilakukan dengan mengacu ke data geospasial dasar seperti

peta RBI atau LPI dengan skala yang sama atau lebih besar dari data yang akan dibuat.

Sebagai contoh,untuk menghasilkan peta mangrove skala 1:50.000, maka peta dasar untuk

koreksi geometrik yang digunakanadalah peta RBI dengan skala 1:50.000 atau 1:25.000.

Koreksi geometrik citra dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

a) Image to map rectification: menggunakan polynomial (titik kontrol) atau geocoding

linear untuk merektifikasi sebuah citra ke dalam sebuah datum dan proyeksi peta

menggunakan GCP (titik kontrol) dari peta RBI atau titik kontrol geodesi nasional.

b) Image to image rectification: menggunakan polynomial (titik kontrol) atau geocoding

linier untuk merektifikasi satu citra ke citra yang lainnya menggunakan GCP.

2) Koreksi Radiometrik

Koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel dengan

mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Citra

rujukan Titik kontrol Citra yang dikoreksi Metode-metode yang sering digunakan untuk

menghilangkan efek atmosfer antara lain metode pergeseran histogram (histogram

adjustment) dan metode regresi. Koreksi radiometrik dilakukan dengan menggunakan

salah satu dari dua metode tersebut.

3) Klasifkasi Citra

Klasifikasi citra landsat atau klasifikasi multipektral digunakan untuk memperoleh

data tematik pada citra landsat dan menghasilkan kelas lahan, yakni peta tematik yang

terdiri dari bagian-bagian yang telas di klasifikasikan yang dapat di deskripsikan dalam

kelompok objek yang sama. Metode klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Iso Cluster Unsupervised Classification (Klasifikasi Tidak Terbimbing) dan

Supervised Classification (Klasifikasi Terbimbing).


Dalam membuat klasifikasi tutupan lahan, digunakan suatu metode yang dapat

menentukan objek yang dimaksud dalam memperoleh data. Pemilihan metode pada

dasarnya dilakukan untuk meningkatkan akurasi data pada objek yang ingin kita

klasifikasi, maka metode Iso Cluster Unsupervised Classification dan Supervised

Classification (Klasifikasi Terbimbing) adalah metode yang dapat memperoleh objek yang

ingin kita klasifikasi.

4) Indeks Vegetasi

Indeks vegetasi merupakan persentase pemantulan radiasi matahari oleh permukaan

daun yang berkorelasi dengan konsentrasi klorofil. Banyaknya konsentrasi klorofil yang

terkandung dalam suatu permukaan tanaman khususnya daun akan menunjukkan tingkat

kehijauan tanaman tersebut. Indeks vegetasi yang diperoleh dari citra satelit untuk area

mangrove menunjukkan hubungan dekat antara Leaf Area Index (LAI) dengan persentase

penutupan kanopi mangrove. LAI merupakan area daun pada satu sisi tunggal daun pada

setiap unit area tertentu. Persentase penutupan kanopi mempunyai korelasi yang tinggi

dengan Indeks Diferensiasi Vegetasi Normal (Susilo, 2000). Transformasi indeks vegetasi

adalah salah satu transformasi yang banyak dimanfaatkan dalam mengkaji vegetasi. Indeks

vegetasi mencerminkan kondisi, jenis dan karakteristik vegetasi lainnya dari vegetasi yang

diwakilinya. Setiap objek tertentu akan memberikan nilai indeks vegetasi yang sesuai

dengan karakteristiknya. Berdasarkan hal tersebut, karakteristik suatu objek yang diamati

dapat diketahui melalui analisis nilai-nilai indeks vegetasi .Salah satu model algoritma

pada transformasi indeks vegetasi yang digunakan adalah NDVI (Normalized Difference

Vegetation Index) yang merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dan pengurangan

citra antara saluran infra merah dekat dan saluran merah.

Pada analisis studi mangrove menggunakan citra LANDSAT dapat dilakukan

berdasarkan algoritma NDVI menggunakan kanal NIR (infra merah) dan kanal RED
(merah). Analisis indeks vegetasi digunakan untuk memisahkan indeks reflektansi spektral

vegetasi dengan objek lain seperti air, tanah (non vegetasi). Formula yang digunakan

untuk analisis indeks vegetasi ini adalah NDVI (Normalized Defference Vegetation Index

5) Cropping

Pemotongan citra dilakukan untuk membatasi daerah penelitian sehingga

memudahkan analisis pada komputer. Selain itu, pemotongan citra akan mengurangi

kapasitas memori sehingga memudahkan pada proses pengolahan data citra tersebut.

Teknik yang digunakan pada tahapan cropping adalah dengan memfokuskan lokasi yang

diinginkan pada citra. Cropping dapat dilakukan dengan menggunakan data vektor,

koordinat geodetik, atau dengan menggunakan box (zooming) yang ada pada software

yang digunakan.

B. Kajian Relevan

1. Penelitian yang dilakukan oleh Recy Vetra (2017) dengan judul “Analisis Perubahan

Luasan Mangrove Menggunakan Data Citra Spot Multitemporal Di Pulau Enggano

Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu” dengan hasil :

Pemantauan ekosistem mangrove secara berkala sangat diperlukan untuk melihat

perubahan luasan dan kondisi mangrove di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara

Provinsi Bengkulu. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis sebaran dan kerapatan

mangrove serta perubahan luasan mangrove yang terdapat di Pulau Enggano Kabupaten

Bengkulu Utara Tahun 2010-2015 dengan menggunakan data citra SPOT. Penelitian ini

dilaksanakan pada bulan Januari– April 2016 menggunakan citra satelit SPOT 4 tahun 2010

dan citra SPOT 6 tahun 2015. Penelitian ini dilakukan dengan metode terbimbing

(supervised) serta dilakukan survei lapangan agar memiliki akurasi yang tinggi. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan kerapatan mangrove yaitu mangrove
sedang sebesar 5,06 Ha dan mangrove padat sebesar 20,78 Ha. Penurunan luasan mangrove

secara keseluruhan sebesar 5,42 Ha. Kondisi mangrove di Pulau Enggano termasuk dalam

kategori baik dan Rhizophora apiculata merupakan jenis mangrove yang dominan dengan

nilai INP (Indeks Nilai Penting) tertinggi.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Hajar Daraintan (2018) dengan judul “Aplikasi

Penginderaan Jauh Untuk Mendeteksi Perubahan Kawasan Mangrove Di Pantai Indah

Kapuk (PIK) Tahun 2000-2016.” dengan hasil :

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perubahan kawasan mangrove

menggunakan aplikasi penginderaan jauh selama 16 tahun yaitu tahun 2000 sampai dengan

tahun 2016. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif objek dalam penelitian

ini seluruh kawasan mangrove di Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara, penelitian ini

menggunakan aplikasi penginderaan jauh. Ground check lapangan, dan observasi. Sumber

data penelitian ini menggunakan data primer bersumber dari hasil pengolahan citra tahun

2000,2005,2010 dan 2016. Sedangkan data sekunder adalah data penggunaan lahan, maka

dalam proses pengolahan data dibutuhkan buku, jurnal dan skripsi yang relevan dengan

penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luasan hutan mangrove terus mengalami

perubahan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2016. Perubahan yang terjadi adalah

pengurangan luasan mangrove pada periode tahun 2000-2005 sebesar -19,2 ha, dan pada

periode 2005-2010 perubahan luasan mangrove yaitu seluas -5,60 ha, dan terakhir tahun

2010-2016 pengurangan luasan mangrove menjadi -15,131 ha jadi selama kurun waktu 16

tahun pengurangan yang terjadi yaitu seluas -39,931 ha. Perubahan luas Kawasan mangrove

terjadi karena adanya peralihan fungsi lahan menjadi perumahan elite, mall, lapangan golf,

kondominium Nilai NDVI yang dimiliki oleh Kecamatan Penjaringan sangat beragam.

Indeks kerapatan vegetasi di Penjaringan diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu, kerapatan

jarang, kerapatan sedang dan kerapatan lebat. luas kelas NDVI yang tertinggi yaitu pada
klasifikasi sedang dengan luas 228,41 interval nilai spektral yaitu 0,1034-0,2261 dan

presentase yaitu 46,98 %. Sedangkan pada luas terendah yaitu pada klasifikasi jarang dengan

luas yaitu 55,94 dan nilai spektral yaitu -0,0632-0,1034 dan presentasenya yaitu 41,48. Jadi

kesimpulannya yaitu nilai NDVI di daerah Kecamatan Penjaringan memiliki tingkat indeks

vegetasi yang berkategori sedang dan lebat.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Silitonga, O., Purnama, D., Nofridiansyah, E., (2018)

dengan judul : “Pemetaan Distribusi Luasan Mangrove Disisi Tenggara Pulau Enggano

Menggunakan Data Citra Satelit”

Pulau Enggano memiliki banyak potensi sumberdaya alam yang dapat dikelola, khususnya

dalam bidang ekosistem mangrove, salah satu keberadaan vegetasi mangrove di Sisi Tenggara

Pulau Enggano. Keberadaan hutan mangrove sangatlah penting, sebagai habitat dari berbagai

macam biota, sebagai pelindung dan penahan dari intrusi air laut, sebagai perangkap sedimen,

melindungi pantai dari abrasi dan merupakan salah satu penyuplai nutrisi berupa serasah pada

ekosistem laut. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung dan memetakan distribusi luasan

vegetasi mangrove dan di Sisi Tenggara Pulau Enggano dari tahun 2009 dan 2016. Distribusi

vegetasi mangrove di Sisi Tenggara Pulau Enggano berada di Tanjung Kaana, Tanjung

Kanuhojo, Teluk Enggano, Teluk Kiowa, Tanjung Kaohabi, Teluk Labuho dan Tanjung Labuho.

Luas hutan mangrove dari tahun 2009-2016 mengalami pertambahan luas sebesar 22,545 Ha

dengan luas mangrove pada tahun 2009 sebesar 1147,680 Ha dan tahun 2016 sebesar 1170,225

Ha.

C. Kerangka Pikir

Desa Mattirobaji

Mangrove

Fungsi Biologis Fungsi Ekonomi Fungsi Lingkungan


Permasalahan :
Kerusakan mangrove akibat
aktivitas manusia
Kerusakan mangrove secara
alami

Identifikasi Perubahan Luas Mangrove Survey Lapangan


Menggunakan Penginderaan Jauh Citra dan GroundChek

Landsat 7 Tahun 2010 Dan Landsat 8


Tahun 2020

PETA PERUBAHAN LUAS


HUTAN MANGROVE
DESA MATTIROBAJI,
TANAKEKE, TAKALAR

Gambar 2.3 Kerangka Pikir


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis penelitian

Jenis penelitian termasuk jenis penelitian kuantitatif deskriptif, dimana jenis penelitian

ini mempunyai tujuan untuk mendeskripsikan suatu fenomena, peristiwa, gejala, dan kejadian

yang terjadi secara factual, sistematis, serta akurat. Metode ini bertujuan untuk menjelaskan

suatu fenomena dengan menggunakan angka yang menggambarkan karateristik subjek yang

diteliti.

B. Waktu Dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2020 sampai bulan Desember 2020 yang

meliputi studi literature, pengolahan data, pengecekan lapangan, analisis data dan

penyusunan laporan akhir. Lokasi penelitian ini berada di Desa Mattirobaji, Pulau Tanah

Keke, Kabupaten Takalar.

Gambar 3.1 Lokasi Penelitian


C. Alat dan Bahan

Tabel 3.1 Alat dan Bahan

Nama Fungsi
Alat Yang Digunakan  
1 Laptop Digunakan untuk pengelolaan peta
2 Software Arc Gis 10.4 Digunakan untuk pengelolaan peta
Global Positioning
3 Untuk menentukan koordinat
System ( GPS )
4 Alat tulis menulis Untuk kegiatan pencatatan hasil pengamatan
Untuk pengambilan gambar sebagai dokumentasi
5 Kamera
hasil pengamatan
6 Perahu Sebagai alat transportasi menuju lokasi

Bahan Yang Digunakan  


Citra satelit Landsat 7
Untuk diolah dan di analisis
1 Tahun 2010
Citra satelit Landsat 8
Untuk diolah dan di analisis
2 Tahun 2020
D.

Objek dan Sasaran

1. Objek

Objek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah hutan mangrove Desa Mattirobaji,

Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar. Dimana akan dilakukan pengolahan data dan observasi

langsung di lokasi penelitian guna menguji akurasi olah data hasil penginderaan jauh.

2. Sasaran

Dalam menentukan sasaran pada penelitian ini ditentukan titik sampling secara

Purposive, dengan pertimbangan keterjangkauan dan keterwakilan semua wilayah hutan

mangrove yang mengalami perubahan.

C. Variabel Dan Definisi Operasional Variabel

1. Variabel Penelitian
Variabel yang akan di teliti adalah

a. Sebaran Hutan Mangrove

b. Luas Hutan Mangrove

c. Faktor Penyebab Perubahan Hutan Mangrove

2. Definisi Operasional Variabel

a. Sebaran Hutan Mangrove adalah wilayah yang teridentifikasi mangrove di Desa

Mattirobaji, Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar.

b. Luas Hutan Mangrove adalah luas tutupan lahan dengan vegetasi mangrove Desa

Mattirobaji, Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar tahun 2010 dan 2020 yang di peroleh dari

klasifikasi Citra Landsat

c. Faktor Penyebab Perubahan Hutan Mangrove adalah hal-hal yang mempengaruhi

terjadinya degradasi hutan mangrove

D. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu :

1. Perolehan data citra satelit dengan mengunduh langsung dari website United States

Geological (USGS) yang merupakan fasilitas portal data satelit Amerika untuk citra

penginderaan jauh.

2. Import data dan penggabungan band Format data citra yang digunakan dalam penelitian

ini berekstensi (*.tif) dan (*.img), agar data citra dapat dibaca dan diproses oleh program

ArcGis 10.4 harus dikonversi dalam format data raster (*.ers) yang dilakukan melalui proses

import data kemudian melakukan penggabungan band untuk setiap citra (Ridho, 2006).

3. Pemulihan Citra

Proses pemulihan citra terdiri dari koreksi radiometrik dan geometric. Koreksi

radiometrik bertujuan untuk meperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai

pantula atau pancaran spektral objek yang sebenarnya sedangkan koreksi geometrik bertujuan
untuk memperbaiki kesalahan posisi atau letak objek yang terekam pada citra disebabkan

adanya distorsi geometrik seperti kesalahan instrumen berupa sistem optik, mekanisme

penyiaman, distorsi panoramik berupa sudut pandang sensor terhadap bumi, rotasi bumi, dan

ketidakstabilan wahana (Laremba, 2014).

4. Color Composit (RGB) dan Pemotongan Citra (Cropping).

Color composite yang digunakan untuk Citra Landsat 7 adalah Band 453 dan Landsat 8

OLI adalah 564. Pemotongan citra dilakukan untuk membatasi daerah penelitian sehingga

memudahkan analisis pada komputer. Selain itu, pemotongan citra akan mengurangi

kapasitas memori sehingga memudahkan pada proses pengolahan data citra tersebut

(LAPAN, 2015)

5. Penajaman Citra (Digital Enhancement)

Teknik ini dapat digunakan untuk mempertajam kenampakan objek secara keseluruhan

mempertajam tepian, menghaluskan noise/gangguan, memunculkan spesifik area tertentu di

citra.

6. Klasifikasi Pada Citra

Proses klasifikasi dilakukan untuk mengelompokkan objek atau kenampakan yang

homogen yaitu dengan menempatkan piksel-piksel ke dalam suatu kelas menurut kesamaan

nilai digital dari tiap piksel (Opa, 2010). Pada penelitian ini digunakan klasifikasi tak

terbimbing (unsupervised classification) dan Klasifikasi Terbimbing (Supervised

Classification). Dari hasil klasifikasi pada citra maka akan didapatkan luasan mangrove di

desa Mattirobajo

7. Perhitungan Perubahan Luasan Mangrove dan Overlay Tahun 2010 dan 2020.

Penghitungan perubahan luas mangrove dilakukan dengan membandingkan hasil luasan

mangrove klasifikasi mangrove dari citra Landsat 7 tahun 2010 dan Landsat 8 OLI tahun

2020. Setelah diperoleh luasan mangrove dari citra, maka selisih atau perubahan luas
ekosistem mangrove dapat dihitung. Selanjutnya hasil klasifikasi mangrove pada tahun 2010

dan 2020 dii overlay untuk mendapatkan wilayah yang mengalami perubahan luasan

mangrove.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan melakukan observasi serta

survey terhadap fakta-fakta atau kejadian yang ada di Lapangan. Adapun langkah-langkah

yang perlu dilakukan yaitu :

1. Mengolah data citra untuk menghasilkan peta perubahan hutan mangrove sebagai data

awal pengambilan data.

2. Observasi dan Ground Check Lapangan

Penelitian ini terdiri dari pengolahan dan analisis data penginderaan jauh dan didukung

oleh data hasil survei lapang. Survei lapang perlu dilakukan sebagai salah satu input data

dalam menginterpretasi citra satelit di suatu daerah. Kegiatan survei lapangan ini meliputi

berbagai kegiatan, baik pengukuran posisi dengan GPS (tracking), maupun pengumpulan

data lapangan seperti identifikasi jenis mangrove dan pengukuran diameter batang.

Pengambilan contoh dilakukan secara acak (random sampling), dimana tiap contoh mewakili

beberapa tingkat kerapatan mangrove.

Survei lapangan dilakukan dengan mengambil bebrapa titik sampel koordinat pada citra

hasil klasifikasi dan dilakukukan pengecekan terhadap titik-titik sampel tersebut di lapangan.

Banyaknya titik ground check adalah 20% dari luas mangrove. Contoh: jika luas mangrove

adalah 300 ha, maka banyaknya titik groundcheck adalah 60 titik, karena 20% dari 300

adalah 60 (DKP, 2011). Titik ground check yang diambil adalah titik-titik perbatasan antara

setiap kelas agar mengetahui seberapa tepat hasil klasifikasi menampilkan batasan kawasan

mangrove terhadap perairan, vegeatasi darat dan tanah yang ada di Pantai Ringgung.
Banyaknya titik yang diambil pada setiap kelas berbeda. Pengambilan titik kelas

mangrove lebih banyak dari kelas lainnya karena objek yang dikaji adalah mangrove

sehingga ketelitian klasifikasi untuk mangrove yang lebih dibutuhkan. Titik ground check

pada kelas lain diambil sebagai data dalam menetukan tingkat ketelitian klasifikasi citra

untuk keseluruhan kelas yang dihasilkan terhadap data lapangan.

3. Dokumentasi

Menurut Gottschalk “dokumentsi dalam pengertiannya yang lebih luas berupa setiap

proses pembuktian yang didasarkan atas jenis sumber apapun, baik itu yang bersifat tulisan,

gambar, atau arkeologis”. Dokumentasi ini berupa foto pada keadaan lokasi penelitian dan

dokumentasi dilakukan untuk mendukung penelitian. Serta dokumen secara langsung yang di

dapat dari Instansi.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

1. Analisis Perubahan Luasan Mangrove (Siti, 2018)

Analisis ini terutama untuk mengamati perubahan lahan mangrove dengan

menggunakan data multitemporal dimana membandingkan dua citra/data hasil klasifikasi,

dengan penggabungan antara klasifikasi penutup lahan tahun 2010 dan 2020 akan dapat

diketahui perubahan penutup lahan. Untuk mengetahui perubahan luasan mangrove di

perlukan rumus sebagai berikut:

ΔL = Lt2 – Lt1

Δt
Keterangan :
ΔL = Laju perubahan luas
Lt2 = Luas pada tahun pengamatan berikutnya (ha)
Lt1 = Luas pada tahun pengamatan tahun sebelumnya (ha)
Δt = Selisih waktu pengamatan awal tahun dan akhir tahun
2. Analisis Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) (Siti, 2018)

Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan indikator kehijauan yang

sering digunakan dalam menduga vegetasi atau bahkan biomass, dari citra satelit dengan

menggunakan kanal Infra Merah Dekat (NIR) dan band Merah (VIS). Formula NDVI adalah

sebagai berikut :

( NIR – VIS )
NDVI =
( NIR +VIS )

Keterangan :

NDVI = Normalized Difference Vegetation Index

NIR = Near Infra Red

VIS = Visible Red


H. Diagram Alur Penelitian

Landsat 2010 dan 2020

Cropping Citra

Koreksi Geometrik Koreksi Radiometrik

Konposisi Band

Unsupervised
Clasification

TIDAK
Ground chek Lapangan 80%

Supervised Clasification YA

Analisis Normalized
Peta Sebaran Mangrove Difference Vegetation
Tahun 2010 dan 2020 Index (NDVI)

Overlay

PETA PERUBAHAN LUAS HUTAN


MANGROVE DESA MATTIROBAJI,
TANAKEKE, TAKALAR

Gambar 3.2 Diagram Alur Penelitian


DAFTAR PUSTAKA

Akbar A.S, M. 2014. Geospatial Modeling of Vegetation Cover Changes on A Small Island
Case Study: Tanakeke Island, Takalar District, South Sulawesi. Graduate School
Bogor Agricultural University, Bogor. (Not Published).

Bengen, D.G. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor: Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor.

Danoedoro, P., 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Penerbit Andi.


Yogyakarta.

Ernawati, S.K. 2018. Analysis of Nitrogen and Carbon Content on Mangrove Forests in
Tongke –Tongke, Sinjai. Department of Agricultural Technology, Faculty of
Engineering, Universitas Negeri Makassar, Indonesia

Faizal, A. & Amran, M.A. 2005. Model Transformasi Indeks Vegetasi yang Efektif Untuk
Prediksi Kerapatan Mangrove Rhizophora mucronata. Prosiding PIT MAPIN XIV
ITS, Surabaya, 14-15 September 2005.

Giri, C.P., Ochieng, E., Tieszen, L.L., Zhu, Z., Singh, A., Loveland, T. & Duke, N. (2011).
Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation
satellite data. Glob. Ecol. Biogeogr., 20(1), 154-159.

Gufran H. Kordi K. 2012. Ekosistem Mangrove Potensi, Fungsi dan Pengelolaan.


Jakarta: Rinekacipta.

LAPAN, 2015. Pedoman Pengolahan Data Penginderaan Jauh Landsat-8 Untuk Mangrove.
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Jakarta.

Nur F. Ekologi Umum. Makassar: Alauddin University Press, 2013.


Noor, Y. R., Khazali, M., dan Suryadiputra, I. N. N., 2012. Panduan Pengenalan Mangrove
di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.

Rahim L. “Perbandingan Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) Pada Jenis


Mangrove Rhizopora apiculata (Bakau minyak) Dan Ceriops tagal di Perairan
Puntondo Kabupaten Takalar Sul-Sel”. Skripsi. Makassar: Fakultas Sains Dan Teknologi
UIN Alauddin, 2014.

Rahim, Sukiman & Dewi W. B. 2017. Hutan Mangrove dan Pemanfaatannya. Yogyakarta:
Deepublish.

Recy Vetra. 2017. Analisis Perubahan Luasan Mangrove Menggunakan Data Citra Spot
Multitemporal Di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu.
Skripsi. Ilmu Kelautan. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sriwijaya Inderalaya, 2017

Sathe, S. Lawate, R and Bhosale, L. 2012. Ethnobotanical and Fishery Related Studies on
Mangrove Ecosystem with Special Reference to Malvan Tahsil of Sindhudarg District
Maharashtr. Trends and Fisheries Research 1 (3) : 9-14.

Setiawan H. 2013. “Status Ekologi Hutan Mangrove Pada Berbagai Tingkat Kekebalan
(Ecological Status Of Mangrove Forest At Various Thicknes Levels)”. Jurnal Penelitian
Kehutanan Malacca, No. 2: 1-17.

Setiawan, H., & Larasati, D. A. 2016. Kontribusi ekosistem mangrove dalam mendukung
pembangunan wilayah pesisir dan pulau kecil; Studi kasus di Pulau Tanakeke
Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. In Prosiding Seminar Nasional Mengawal
Pelaksanaan SDGs(pp. 153–162). Surabaya: Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum,
Universitas Negeri Surabaya.

Silitonga, O., Purnama, D., Nofridiansyah, E., 2018. Pemetaan Distribusi Luasan Mangrove
Disisi Tenggara Pulau Enggano Menggunakan Data Citra Satelit. Jurnal TECHNO-
FISH Vol. 2 No. 1, Juli 2018, ISSN : 2581-1592, E-ISSN : 2581-1665.
Siti H., D., 2018. Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Mendeteksi Perubahan Kawasan
Mangrove Di Pantai Indah Kapuk (PIK) Tahun 2000-2016. Skripsi. Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial. Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Uin Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2018

Soenarmo, S., H., 2009. Penginderaan Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi Geografis
Untuk Bidang Ilmu Kebumiaan. Penetbit ITB Bandung.

Suliso. 2000. Penginderaan Jauh Kelautan Terapan. Bogor; Jurusan Manajemen Sumber
Daya Perairan.

Sulistiyowati H. 2009. “Biodiversitas Mangrove Di Cagar Alam Pulau Sempu”. Jurnal


Saintek 8, No. 1 : 1-6.

Tuwo, A. 2011. Pengolahan Ekowisata Pesisir dan Laut. Penerbit Brilian Internasional.
Surabaya

Anda mungkin juga menyukai