Anda di halaman 1dari 9

PAPER

PENGELOLAAN PERIKANAN KAITANNYA DENGAN


PEMANFAATAN DPI BERDASARKAN PENDEKATAN CODE OF
CONDUCT FOR RESPONSIBLE FISHERIES (CCRF)

MUH ALDHY HATMAR


L012211001

PROGRAM STUDI ILMU PERIKANAN


PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara kepulauan tersebar di dunia dengan luas wilayah


laut yang dapat dikelola sebesar 5,8 juta km² yang memiliki keanekaragaman
sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat besar. Potensi lestari sumber daya
ikan atau maximum sustainable yield (MSY) di perairan laut Indonesia sebesar 6,5 juta
ton per tahun, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,2 juta
ton/tahun (80% dari MSY). Kemudian untuk sebesarnya potensi perikanan tangkap di
perairan um,um yang memiliki total luas sekitar 54 juta Ha, yang meliputi danau,
waduk, sungai rawa dan genangan air lainnya, diperkirakan mencapai 0,9 juta ton
ikan/tahun. Berdasarkan FAO (2014) pada tahun 2012 Indonesia menempati peringkat
ke-2 untuk perikanan tangkap. Fakta ini dapat memberikan gambaran bahwa potensi
perikanan Indonesia sangat besar, sehingga bila dikelola dengan baik dan
bertanggungjawab agar kegiatannya dapat berkelanjutan, maka dapat menjadi sebagai
salah satu sumber modal utama pembangunan di masa kini dan masa yang akan
datang.
Pada tahun 1995 badan FAO merumuskan konsep pembangunan perikanan
berkelanjutan dengan menyusun dokumen Kode Etik Perikanan yang bertanggung
jawab atau Code of Responsible Fisheries (CCRF). Memperhatikan beberapa
perkembangan penting dalam perikanan dunia, Badanbadan pengarah FAO
merekomendasikan perumusan suatu Tatalaksana atau Ketentuan untuk Perikanan
yang Bertanggungjawab ( Code of Conduct for Responsible Fisheries ) yang bersifat
global dan konsisten dengan perangkat-perangkat hukum yang telah ada. Walaupun
Tatalaksana tersebut bersifat sukarela, akan tetapi bagian tertentu dari Tatalaksana ini
didasarkan pada aturan hukum internasional yang relevan, termasuk yang tercermin
dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut 10 Desember 1982. Tatalaksana juga
memuat ketentuan yang mungkin berupa atau telah diberi efek mengikat dengan
perangkat hukum lain (FAO 1995).
CCRF (Code of Conduct Responsible Fisheries) dipergunakan sebagai
pedoman pelaksanaan kegiatan perikanan secara bertanggung jawab. Pedoman ini
memberi kelengkapan bagi upaya nasional dan internasional untuk menjamin
pemanfaatan sumberdaya laut yang lestari dan berkelanjutan (Sumardi et al., 2014).
Konsep CCRF (Code of Conduct Responsible for Fisheries) mulai diadopsi oleh
pemerintah dengan memformulasikannya dalam berbagai bentuk kebijakan untuk
mengatasi segala hal yang menyimpang dalam perikanan, salah satunya perikanan
tangkap.

2. Tujuan dan Manfaat


Tujuan dan manfaat dari paper ini yaitu untuk mengatahui pendekatan CCRF
terhadap pemanfaatan daerah penangkapan ikan kaitannya dengan pengelolaan
perikanan.
BAB II
PEMBAHASAN

Sasaran-sasaran penting Implementasi Code of Conduct for Responsible


Fisheries (CCRF) di Indonesia dalam pasal 7 Fisheries management (pengelolaan
perikanan) yakni memperhatikan prinsip kehati-hatian (precautionary approach) dalam
merencanakan pemanfaatan sumberdaya ikan, menetapkan kerangka hukum –
kebijakan, menghindari Ghost Fishing atau tertangkapnya ikan oleh alat tangkap yang
terbuang / terlantar, mengembangkan kerjasama pengelolaan, tukar menukar informasi
antar instansi dan Negara, dan memperhatikan kelestarian lingkungan.

1. Pengelolaan Perikanan dalam CCRF

Tujuan dari pengelolaan perikanan :

1. Mengakui bahwa penggunaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan dalam


jangka panjang adalah tujuan utama konservasi dan pengelolaan, Negara dan
subregional atau organisasi dan pengaturan pengelolaan perikanan regional harus,
antara lain,mengadopsi langkah-langkah yang tepat, berdasarkan bukti ilmiah
terbaik yang tersedia, yang dirancang untuk mempertahankan atau memulihkan
stok pada tingkat yang mampu berproduksi secara maksimal hasil yang
berkelanjutan, sebagaimana dikualifikasikan oleh faktor lingkungan dan ekonomi
yang relevan, termasuk persyaratan khusus negara berkembang.
2. Tindakan tersebut harus memberikan antara lain bahwa:
a. Kelebihan kapasitas penangkapan dapat dihindari dan eksploitasi stok tetap
ada ekonomi yang berjalan terus.
b. Kondisi ekonomi di mana industri perikanan beroperasi mendorong perikanan
yang bertanggung jawab.
c. Kepentingan nelayan termasuk yang melakukan subsisten, skala kecil dan
perikanan rakyat diperhitungkan.
d. Keanekaragaman hayati habitat dan ekosistem perairan dilestarikan dan
spesies yang terancam punah dilindungi.
e. Stok yang habis diizinkan untuk dipulihkan atau jika perlu secara aktif pulih.
f. Dampak lingkungan yang merugikan pada sumber daya dari aktivitas manusia
adalah dinilai, dikoreksi.
g. Pencemaran, limbah, pembuangan, tangkapan dengan alat yang hilang atau
terbengkalai, tangkapan non spesies target, baik spesies ikan maupun non ikan
dan dampaknya terhadap atau spesies yang bergantung diminimalkan, melalui
langkah-langkah termasuk sejauh praktis pengembangan dan penggunaan
selektif anab lingkungan dan biaya alat dan teknik penangkapan ikan yang
efektif.
3. Negara harus menilaI dampak faktor lingkungan pada stok target dan spesies yang
ternasuk dalam ekosistem yang sama atau berasosiasi dengan atau bergantung
pada ekosistemn.
Langkah-langkah pengelolaan :
1. Negara harus memastikan bahwa tingkat penangkapan ikan yang diizinkan
sepadan dengan kondisi sumber daya perikanan.
2. Negara harus mengadopsi langkah-langkah untuk memastikan bahwa tidak ada
kapal yang diizinkan untuk menangkap ikan kecuali jika diizinkan, dengan cara
yang sesuai dengan hukum internasional untuk laut atau sesuai dengan
perundang-undangan nasional di dalam wilayah yurisdiksi nasional.
3. Jika ada kelebihan kapasitas penangkapan, mekanisme harus dibuat untuk
mengurangi kapasitas ke tingkat yang sepadan dengan pemanfaatan perikanan
yang berkelanjutan sumber daya untuk memastikan bahwa nelayan beroperasi
dalam kondisi ekonomi yang mempromosikan perikanan yang bertanggung jawab.
Mekanisme tersebut harus mencakup pemantauan kapasitas armada
penangkapan ikan.
4. Kinerja semua alat tangkap, metode dan praktik yang ada harus
diperiksa dan diambil tindakan untuk memastikan bahwa alat tangkap, metode dan
praktik yang tidak konsisten dengan penangkapan ikan yang bertanggung jawab
dihapuskan dan diganti denganalternatif yang lebih dapat diterima. Dalam proses
ini, perhatian khusus harus diberikan kepada: dampak tindakan tersebut pada
komunitas nelayan, termasuk kemampuan mereka untuk mengeksploitasi sumber
daya.
5. Negara dan organisasi dan pengaturan pengelolaan perikanan harus
mengatur penangkapan ikan sedemikian rupa untuk menghindari risiko konflik
antar nelayan yang menggunakan kapal, alat tangkap, dan metode penangkapan
ikan yang berbeda.
6. Saat memutuskan penggunaan, konservasi dan pengelolaan perikanan
sumber daya, pengakuan yang semestinya harus diberikan, sebagaimana
mestinya, sesuai dengan hukum dan peraturan nasional, dengan praktik
tradisional, kebutuhan dan kepentingan masyarakat adat dan komunitas nelayan
lokal yang sangat bergantung pada sumber daya perikanan untuk mata
pencaharian mereka.
7. Dalam evaluasi tindakan konservasi dan pengelolaan alternatif, efektivitas biaya
dan dampak sosialnya harus dipertimbangkan.
8. Kemanjuran tindakan konservasi dan pengelolaan dan kemungkinannya interaksi
harus disimpan di bawah tinjauan terus menerus. Langkah-langkah tersebut harus
sesuai, direvisi atau dihapus berdasarkan informasi baru.
9. Negara harus mengambil tindakan yang tepat untuk meminimalkan limbah,
pembuangan, tangkapan dengan peralatan yang hilang atau terbengkalai,
tangkapan spesies non-target, baik ikan maupun non-ikan spesies, dan dampak
negatif pada spesies terkait atau tergantung, khususnya spesies langka. Jika
sesuai, tindakan tersebut dapat mencakup teknis tindakan yang terkait dengan
ukuran ikan, ukuran mata jaring atau alat tangkap, pembuangan, musim dan area
tutupdan zona yang disediakan untuk perikanan tertentu, khususnya perikanan
artisanal. Seperti langkah-langkah harus diterapkan, jika sesuai, untuk melindungi
remaja dan pemijahan. Negara bagian dan organisasi pengelolaan perikanan sub-
regional atau regional dan pengaturan harus mempromosikan, sejauh dapat
dipraktikkan, pengembangan dan penggunaan peralatan dan teknik yang selektif,
aman bagi lingkungan dan hemat biaya.
10. Negara bagian dan organisasi pengelolaan perikanan subregional dan regional
dan pengaturan, dalam kerangka kompetensi masing-masing, harus
memperkenalkan langkah-langkah untuk sumber daya yang habis dan sumber
daya yang terancam penipisan yang memfasilitasi pemulihan berkelanjutan dari
stok tersebut. Mereka harus membuat setiap upaya untuk memastikan bahwa
sumber daya dan habitat penting bagi kesejahteraan tersebut sumber daya yang
telah terpengaruh secara merugikan oleh penangkapan ikan atau kegiatan
manusia lainnya dipulihkan.

Kebijkan perikanan Indonesia dalam konteks internasional maupun regional


perlu mengadopsi prinsip-prinsip yang tercantum dalam CCRF. Namun tetap
diperlukan beberapa penyesuaian karena perikanan di Negara berkembang adalah
multi dimensi dan kompleks, tidak hanya melipatkan aspek teknologi namun juga
ekosistem dan sistem sosial ekonomi manyarakat perikanan. Kebijakan yang optimal
dengan memepertimbangkan setiap aspek/unsur keberlanjutan sistem perikanan
diperlukan untuk mencapa keberlanjutan sistem sendiri sesua tujuan CCRF.

2. Beberapa Penelitian Tentang Pemanfaatan DPI Kaitannya dengan


Pengelolaan Perikanan CCRF

Firdaus et al. (2017) meneliti tentang analisis penangkapan ikan berbasis code
of conduct for responsible fisheries (CCRF) di Tempat pelelangan ikan (TPI) Tawang
Kendal. Dalam penelitian ini menjelaskan pengelolaan sumber daya ikan sangat erat
katannya dengan pengelolaan operasi penangkapan ikan yang dilakukan. Alat tangkap
gill net, trammel net dan trap merupakan alat yang sangat ramah lingkungan. Alat
tangkap boat seine dan purse seine merupakan alat ramah lingkungan sedangkan mini
trawl merupakan alat tangkap tidak ramah lingkungan.
Hidayah et al. (2020) meneliti tentang analisa keberlanjutan pengelolaan
sumber daya perikanan di perairan selat Madura Jawa Timu. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa dimensi ekologi, ekonomi dan teknologi, pengelolaan perikanan di
Selat Madura berada pada status kurang berkelanjutan. Sementara untuk dimensi
sosial dan kelembagaan berada pada status cukup berkelanjutan.
Erwina et al. (2015) meneliti tentang status keberlanjutan sumber daya
perikanan di perairan Bengkulu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa status
keberlanjutan pengelolaan sumber daya perikanan termasuk dalam kategori yang
kurang berkelanjutan.
Julia Eka Astarini et.al (2011) tentang Pengembangan Perikanan Tangkap
Berbasis CCRF di Ternate menyatakan bahwa unit penangkapan di Ternate masih
dalam batas memenuhi CCRF, akan tetapi perlu pengelolaan lebih lanjut untuk
keberlanjutan baik usaha maupun sumberdaya perikanan tangkapnya. Unit
penangkapan yang memiliki nilai skor tertinggi dalam hal memenuhi kriteria CCRF
berturut-turut adalah : handline (pancing ulur), pole and line (huhate), purse seine
(pajeko), bagan, crab net, muroami, bubu, gillnet hanyut, dan terakhir adalah gillnet
tetap. Komposisi unit penangkapan yang terpilih untuk pengembangan perikanan
tangkap di lokasi penelitian adalah : handline perlu ditambah sebanyak 721 unit
sehingga menjadi 751 unit, pole and line perlu dikurangi sebanyak 2 unit sehingga
menjadi 33 unit, adapun purse seine perlu ditambah sebanyak 68 unit sehingga
menjadi 85 unit.
Chaliluddin et.al (2019) tentang Identifikasi Alat Penangkapan Ikan Ramah
Lingkungan Berbasis CCRF di Kabupaten Pidie, Aceh menyatakan bahwa analisis
keramahan lingkungan alat penangkapan ikan berdasarkan pembobotan skor dengan
metode Analysis Hierarcy Process (AHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa alat
penangkapan ikan yang termasuk kategori sangat ramah lingkungan, yaitu; pancing
ulur, pancing rawai, jaring insang, dan pukat cincin. Sedangkan alat penangkapan ikan
kategori tidak ramah lingkungan, yaitu; Jaring insang modifikasi dan pukat pantai.
BAB III
KESIMPULAN

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yaitu prinsip-prinsip


tatalaksana perikanan yang bertanggungjawab. Pengembangan perikanan yang
bertanggu jawab dilihat dari sisi input dan output. Dari beberapa penelitian bahwa
pengelolaan perikanan di Indonesia belum sepenuhnya dikatakan berkelanjutan
karena aktivitas belum sepenuhnya menerapkan kaidah-kaidah perikanan yang
bertanggung jawab. Maka dari itu pengelolan perikanan dalam pendekata CCRF akan
sangat membantu dalam mewujudkan perikanan berkelanjutan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Chaliluddin MA., Ikram M, Rianjuanda D. 2019. Identifikasi Alat Penangkapan Ikan


Ramah Lingkungan Berbasis Ccrf Di Kabupaten Pidie, Aceh. Jurnal Galung
Tropika, 8 (3) Desember 2019, hlmn. 197 – 208. lmn. DOI:
http://dx.doi.org/10.31850/jgt.v8i3.504

Erwina, Y., Kurnia, R dan Yonvitner. 2015. Status Keberlaanjutan Sumber Daya
Perikanan di Perairan Bengkulu. Jurnal Sosek. 1(1).

FAO. 1995. Code Of Conduct For Responsible Fisheries.

Firdaus, I., Fitri, A.D.P., Sardiyatmo dan Kurohman, F. 2017. Analisis Alat Penangkap
Ikan Brbasis Code Of Cinduct For Responsible Fisheries (CCRF) di Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) Tawang Kendal. Saintek Perikanan. 13 (1): 65-74.

Hidayah, Z., Nuzula N.I dan Wiyanto, D.B. 2020. Analisa Keberlanjutan Pengelolaan
Sumber Daya Perikanan di Perairan Selat Madura Jawa Timur. Jurnal
Perikanan. 22 (2): 101-111.

Julia Eka Astarini et.al. 2011. Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Code Of
Conduct For Responsible Fisheries (Ccrf) Di Ternate, Provinsi Maluku Utara.
BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume XIX No. 1 Edisi April 2011 Hal 127-
137

Kementerian PPN Direktorat Kelautan dan Perikanan. 2014. Kajian Strategi


Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan.

Anda mungkin juga menyukai