Anda di halaman 1dari 13

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE BERDASARKAN PENDEKATAN DENGAN MASYARAKAT PESISIR

Oleh : Heru Setiawan, S. Hut

RINGKASAN

Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan di wilayah pesisir. Keberadaan hutan mangrove menjadi sangat penting karena sangat potensial dalam menunjang kehidupan mansyarakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Keberadaan hutan mangrove pada saat ini sudah semakin kritis akibat penebangan hutan mangrove yang melampaui batas kelestariannya. Pengelolaan kawasan pesisir sudah saatnya menjadi perhatian semua pihak. Pembangunan di kawasan pesisir tidak perlu merusak ekosistem mangrove asalkan dilakukan penataan yang rasional. Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang sehari-hari berinteraksi dengan mangrove. Salah satu model pengelolaan ekosistem mangrove adalah dengan pendekatan pengelolaan yang berbasis masyarakat.

Kata kunci : Mangrove, potensi pengembangan, masyarakat pesisir

PENDAHULUAN Hutan mangrove secara ringkas didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di daerah pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut dan komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove (Kusmana, et al., 2003). Mangrove sebagai bagian ekosistem dari keseluruhan ekosistem pesisir tidak pernah berdiri sendiri, sebagaimana hakekatnya keberadaan seluruh alam ini. Bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara tanggal 26 Desember 2004 telah menimbulkan dampak negatif yang demikian besar terutama pada wilayah pesisir tidak hanya kerusakan infrastruktur melainkan juga kehilangan jiwa dan kerusakan ekosistem mangrove dan hutan pantai. Menurut data dari Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh, bencana tsunami di Aceh telah menyebabkan kerusakan mangrove seluas 174.590 ha (Noor, et al.,2006). Sejak saat itu perhatian terhadap pentingnya ekosistem mangrove mengalami peningkatan karena mangrove dianggap sebagai green belt (sabuk hijau) yang berfungsi sebagai benteng pertahanan terhadap bencana tsunami. Secara lebih rinci sebenarnya mangrove tidak hanya berfungsi sebagai penahan ombak dan tsunami. Setidaknya ada tiga fungsi mangrove yaitu fungsi ekologis, fungsi fisik dan fungsi ekonomis. Secara ekologis ekosistem mangrove memberikan manfaat yang besar terhadap lingkungan di wilayah pesisir diantaranya (1) menciptakan iklim mikro yang baik; (2) memperbaiki kualitas air. Hasil penelitian menyatakan bahwa vegetasi mangrove mempunyai kemampuan untuk mengakumulasi logam berat dengan cara menyerap ion-ion dari lingkungannya ke dalam tubuh melalui membran sel

kemudian menetralkan kembali. Sebagai contoh, pohon Api-api (Avicennia marina) memiliki upaya penanggulangan materi toksik dengan melemahkan efek racun melalui pengenceran (dilusi), yaitu dengan menyimpan banyak air untuk mengencerkan konsentrasi logam berat dalam jaringan tubuhnya sehingga mengurangi toksisitas logam tersebut. Logam berat yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami pengikatan dan penurunan daya racun, karena diolah menjadi bentuk-bentuk persenyawaan yang lebih

sederhana; (3) sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground), dan tempat berkembang biak (nursery ground) bagi jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya; (4) ekositem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi. Sebagai contoh, mangrove di Indonesia terdiri atas 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku (Noor, et al.,2006). Secara fisik mangrove memiliki fungsi diantaranya (1) menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil; (2) mempercepat perluasan lahan melalui proses sedimentasi; (3) mengendalikan intrusi air laut; (3) melindungi daerah di belakang mengrove dari hempasan gelombang, angin kencang dan mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian menunjukkan dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340 dan perubahan energi gelombang (E) = 19635.26 Joule (Pratikto, 2002). Secara ekonomis mangrove berfungsi sebagai (1) menghasilkan hasil hutan berupa kayu. Kayu bakau merupakan penghasil arang yang baik. Harga arang bakau satu kantong plastik ukuran sedang bisa mencapai Rp 12.000,- ini merupakan potensi ekonomi yang menjanjikan tentunya dengan sistem pemanenan kayu yang terencana; (2) hasil hutan berupa non kayu, madu, obat-obatan, minuman dan makanan, tanin (zat penyamak kulit), serat sintetis dan produk komersial lainnya; (3) sarana ekotourisme, wanamina/pertambakan, sumber benih dan lain-lain.

PERSEBARAN HUTAN MANGROVE Hutan mangrove tersebar dari daerah tropika sampai 32 LU dan 38 LS. Menurut Chapman (1975) dalam Kusmana, et al., (2003), penyebaran hutan mangrove di dunia dibagi dalam dua kelompok besar yaitu : 1. The Old World Mangrove, meliputi Afrika Timur, Laut Merah, India, Asia Tenggara, Jepang, Kepulauan Pasifik, Australia, New Zeland dan Samoa. Kelompok ini disebut juga Grup Timur 2. The New World Mangrove, meliputi pantai atlantik dari Afrika dan Amerika, Mexico, pantai Pasifik Amerika dan Kepulauan Galapagos. Kelompok ini disebut juga Grup Barat.

Luas mangrove di dunia sangat beragam. Menurut spalding, at al., (1997) dalam Noor, et al.,2006, luas hutan mangrove di dunia mencapai 18,1 juta hektar. Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove dunia. Diperkirakan luas mangrove di Indonesia sebesar 3,5 juta hektar, dan merupakan tempat penyebaran mangrove terluas di dunia (18-23%) melebihi Brazil (1,3 juta ha). Luas persebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Wilayah hutan mangrove Papua merupakan wilayah yang terluas dengan 1.382.000 ha. Dalam jangka waktu 9 tahun (1987 1996) paling tidak sudah 800.000 hingga 1.760.000 ha hutan mangrove hilang dari bumi Indonesia. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu ha/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya (Dahuri, 2002). Pada tahun 1982 perkiraan luas tambak di Indonesia sekitar 193.700 ha (Bailey dalam Noor, et al.,2006), sedangkan pada tahun 2003 luasan tambak menjadi 750.000 ha (Baplan dalam Noor, et al.,2006). Berarti dalam kurun waktu 21 tahun terjadi penambahan luasan tambak sebesar 556.300 ha atau terjadi pertambahan luasan sebesar 287%. Jika di konversi menjadi satuan tahun, maka tiap tahun terjadi pertambahan luas tambak sebesar 26.490 ha.

POTENSI PENGEMBANGAN HUTAN MANGROVE Indonesia membentang sejauh 5000 km dari Sumatera di bagian barat hingga Papua di bagian timur, yang mempunyai luasan 7,7 juta km2, yang terdiri atas 17.500 pulau dengan ngaris pantai lebih dari 81.000 km. Dengan potensi yang dimiliki, negara kita sangat berpotensi untuk mendapatkan nilai ekonomis terbesar. Hampir 75% dari wilayah terdiri dari perairan pesisir dan termasuk 3,1 juta km2 lautan teritorial dan archipelago serta 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) (Parry dalam Zaitunah 2002). Pertumbuhan penduduk yang pesat dengan 60% penduduknya yang menempati wilayah pesisir menyebabkan tekanan terhadap ekosistem mangrove semakin meningkat. Dengan semakin meningkatnya tuntutan untuk mendayagunakan

sumberdaya mangrove menyebabkan semakin tingginya potensi kerusakan lingkungan laut disekitar mereka ditambah dengan tingginya minat ekonomis yang melingkupi,

jadilah masalah kerusakan pesisir dan lautan negeri ini makin menuju ke arah yang tidak terkendali. Degradasi hutan mangrove yang semakin meningkat membutuhkan

penanganan yang sesegera mungkin untuk dilaksananakan agar potensi daerah pesisir tetap bisa semakin meningkat. Secara garis besar ada dua hal pokok yang menjadi penyebab kerusakan hutan mangrove yaitu : (1) faktor manusia, faktor ini merupakan faktor yang paling dominan penyebab kerusakan hutan mangrove dalam hal pemanfaatn lahan yang berlebihan; (2) faktor alam, seperti banjir, kekeringan, hama, terjangan gelombang tsunami dan lain-lain. Beberapa faktor yang mendorong semakin meluasnya kerusakan hutan mangrove yang disebabkan oleh manusia diataranya : 1. Faktor sosial ekonomi. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan di wilayah pesisir menyebabkan timbulnya ketidakseimbangan antara permintaan kebutuhan hidup dengan ketersediaan sumberdaya pesisir yang ada. Adanya keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan yang terbuka dengan harapan ekonomis yang menguntungkan karena mudah dan murah. Adanya konversi hutan mangrove untuk kawasan pemukiman, kawasan industri, pelabuhan, hotel dan lain-lain yang lebih memberikan keuntungan sesaat yang besar untuk para pemodal. Sebagai contoh, disepanjang pantai utara Jawa hampir semua hutan mangrove telah habis dirombak menjadi kawasan pemukiman, perhotelan, tambak, dan sawah yang berorientasi pada ekosistem daratan. 2. Faktor kurangnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan mangrove. Rendahnya pengetahuan masyarakat di kawasan pesisir akan fungi ekosistem mangrove berakibat exploitasi terhadap tegakan mangrove menjadi semakin tidak terkendali. Hal tersebut diperparah dengan kurangnya

penyuluhan dan pelatihan yang mengikutsertakan masyarakat persisir tentang fungsi dan manfaat ekosistem mangrove. 3. Faktor kelembagaan dan pengaturan hukum kawasan pesisir dan lautan. Sering terjadi tumpang tindih, konflik dan ketidakjelasan kewenangan instansi sektoral dan daerah. Hal tersebut menyebabkan simpang siur tanggung jawab dan prosedur perizinan yang tidak jelas untuk kegiatan pembangunan pesisir dan lautan. Contohnya seperti pembukaan lahan kawasan pesisir, penambangan pasir laut, penangkapan ikan dan pengambilan terumbu karang dan lain-lain.

Akibatnya semakin meningkatnya kerusakan ekosistem kawasan pesisir dan lautan khususnya kawasan hutan mangove. 4. Faktor keterbatasan informasi kawasan pesisir. Terbatasnya keberadaan data dan informasi serta ilmu pengetahuan teknologi yang berkaitan dengan tipologi ekosistem pesisir, keaneka ragaman hayati, lingkungan sosial budaya, peluang ekonomi dan peran serta keluarga, sumber daya hutan mangrove yang terbatas sehingga belum dapat mendukung penataan ruang kawasan pesisir, pembinaan dan pemanfaatan secara lestari, perlindungan kawasan serta rehabilitasinya.

UPAYA PELESTARIAN MANGROVE Ekosistem mangrove yang rusak dapat dipulihkan dengan cara

restorasi/rehabilitasi. Restorasi dipahami sebagai usaha mengembalikan kondisi lingkungan kepada kondisi semula secara alami. Campur tangan manusia diusahakan sekecil mungkin terutama dalam memaksakan keinginan untuk menumbuhkan jenis mangrove tertentu menurut yang diinginkan manusia. Jadi restorasi lebih memberikan peluang kepada alam untuk mengatur atau memulihkan dirinya sendiri. Manusia hanya sebatas memberikan jalan dan peluang serta mempercepat proses pemulihan. Secara umum habitat mangrove mampu memperbaiki kondisinya secara alami dalam waktu 15 20 tahun jika : (1) kondisi normal hidrologi tidak terganggu dan (2) ketersediaan biji, bibit serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi. Jika kondisi hidrologi normal atau mendekati normal tetapi biji bakau tidak dapat mendekati daerah restorasi, maka dapat direstorasi dengan cara penanaman. Oleh karena itu habitat bakau dapat diperbaiki tanpa penanaman, maka rencana restorasi harus terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut yang terhalangi atau tekanan-tekanan lain yang mungkin menghambat perkembangan mangrove. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove diantaranya adalah : 1. Fisiografi pantai Topografi pantai merupakan faktor penting yang mempengaruhi

karakteristik struktur hutan mangrove, khususnya komposisi spesies, distribusi spesies dan ukuran serta luas hutan mangrove. Karakteristik pantai, misalnya area,

panjang, dan lokasi berhubungan dengan penggenangan pasang (tidal inundation), sedimentasi, dan karakterisitik sedimen. Hamparan lumpur (mudflats) dan estuaria dipengaruhi oleh gelombang-gelombang atau sungai-sungai yang umumnya berasosiasi dengan kesuburan areal mangrove yang mendukung suatu

keberagaman yang sangat luas, baik flora maupun fauna. Oleh karena itu, semakin datar pantai dan semakin besar pasang surut, maka semakin lebar hutan mangrove yang akan tumbuh. 2. Iklim Sebagian besar daerah pantai Indonesia beriklim tropik basah dan dicirikan dengan kelembaban, angin musim, curah hujan, dan temperatur yang tinggi. Hal ini menyebabkan pencegahan akumulasi garam-garam tanah, sehingga hutan mangrove tumbuh subur dan berkembang dengan baik. Pengaruh langsung iklim adalah terhadap komposisi epifit yang terdapat pada hutan mangrove. Mangrove yang terdapat di daerah yang selalu basah memiliki banyak spesies epifit, sedangkan pada hutan mangrove di daerah dengan iklim yang mempunyai masamasa kering, epifit jarang dijumpai. 3. Pasang surut Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut berpengaruh besar terhadap perubahan salinitas pada tanah mangrove. Salinitas air menjadi sangat tinggi pada saat pasang naik, dan menurun selama pasang surut. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horisontal. Pasang surut juga berpengaruh terhadap perpindahan massa antara air tawar dengan air laut, dan oleh karenanya mempengaruhi distribusi vertikal organisme mangrove. 4. Gelombang dan arus Gelombang pantai - yang sebagian besar dipengaruhi angin - merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk pantai berpasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang. 5. Salinitas

Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tahan, dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10 - 30 ppt. Salinitas yang sangat tinggi (hypersalinity) misalnya ketika salinitas air permukaan melebihi salinitas yang umum di laut ( 35 ppt) dapat berpengaruh buruk pada vegetasi mangrove, karena dampak dari tekanan osmotik yang negatif. Akibatnya, tajuk mangrove semakin jauh dari tepian perairan secara umum menjadi kerdil dan berkurang komposisi spesiesnya. 6. Oksigen terlarut Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah. Oleh karena itu, konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol komposisi spesies, distribusi dan pertumbuhan mangrove. Tanah pada hutan mangrove yang berlumpur dan jenuh air mengandung oksigen rendah dan bahkan tidak mengandung oksigen (anoksik). Dalam kondisi lingkungan demikian hanya spesies-spesies tumbuhan tertentu saja yang dapat hidup. 7. Tanah Mangrove terutama tumbuh pada tanah berlumpur, namun berbagai spesies mangrove dapat tumbuh pula di tanah berpasir, koral, tanah berkerikil, bahkan tanah gambut. Pada umumnya ciri tanah di hutan mangrove selalu basah, mengandung garam, sedikit oksigen dan kaya akan bahan organik. Susunan spesies dan kerapatan pada hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh susunan tekstur tanah dan konsentrasi ion tanah yang bersangkutan. Pada lahan mangrove yang tanahnya lebih banyak terdiri atas liat (clay) dan debu (silt), terdapat tegakan yang lebih rapat dari lahan yang tanahnya mengandung liat dan debu pada konsentrasi yang lebih rendah. 8. Nutrien Nutrien mangrove dibagi atas nutrien inorganik dan detritus organik. Nutrien inorganik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K, Mg, dan Na (selalu cukup). Sumber nutrien inorganik adalah hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus organik adalah nutrien organik yang berasal dari bahan-bahan biogenik melalui

beberapa tahap degradasi mikrobial. Lahan pasang surut yang subur akan mendukung pertumbuhan mangrove yang subur pula. 9. Proteksi Mangrove berkembang baik pada daerah pesisir yang terlindung dari gelombang yang kuat yang dapat menghempaskan anakan mangrove. Daerah yang dimaksud dapat berupa laguna, teluk, estuaria, delta, dan lain-lain. Oleh karena itu upaya proteksi dari hempasan ombak mutlak dilakukan baik dengan bangunan teknis atau penentuan waktu tanam yang tidak bersamaan dengan musim ombak.

PENGELOAAN MANGROVE BERBASIS MASYARAKAT Bentuk tekanan terhadap kawasan mangrove yang paling besar adalah pengalihfungsian (konversi) lahan mangrove menjadi tambak udang/ikan, sekaligus pemanfaatan kayunya untuk diperdagangkan. Selain itu, juga tumbuhnya berbagai konflik akibat berbagai kepentingan antar lintas instansi sektoral maupun antar lintas wilayah administratif. Secara ideal, pemanfaatan kawasan mangrove harus mempertimbangkan kebutuhan masyarakat tetapi tidak sampai mengakibatkan kerusakan terhadap keberadaan mangrove. Selain itu, yang menjadi pertimbangan paling mendasar adalah pengembangan kegiatan yang menguntungkan bagi masyarakat dengan tetap mempertimbangkan kelestarian fungsi mangrove secara ekologis (fisik-kimia dan biologis). Perlu juga mengembangkan matapencaharian alternatif bagi masyarakat sekitar mangrove dengan mengandalkan bahan baku non-kayu dan diversifikasi bahan baku industri kehutanan dan arang seperti yang terjadi di Nipah Panjang, Batu Ampar, Pontianak. Masyarakat merubah pola konsumsi bahan bakar dari minyak tanah dan arang bakau menjadi arang leban dan tempurung kelapa dan menggunakan tungku hemat energi atau anglo. Salah satu komponen penting dalam upaya rehabilitasi mangrove adalah masyarakat pesisir. Masyarakat sekitar hutan mangrove mempunyai peranan yang sangat penting bagi kelestarian hutan. Mereka dapat berperan sebagai perusak atau penjaga hutan mangrove dari berbagai ancaman. Mansyarakat sekitar hutan mangrove memanfaatkan berbagai produk hutan mangrove guna mencukupi kebutuhan hidup dan memerlukannya untuk mempertahankan stabilitas lingkungan. Untuk itu diperlukan

pengembangan peranserta masyarakat yang dapat melakukan usaha konservasi hutan mangrove guna menjaga kestabilan ekosistem mangrove tersebut. Usaha reklamasi hutan mangrove dengan pendekatan sistem keproyekan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah melalui Departeman Kehutanan maupun Departemen Perikanan dan Kelautan tingkat keberhasilannya cenderung kecil dan sangat tidak sebanding dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan. Jika dilihat lebih mendalam dan ditelusuri dengan teliti ternyata salah satu penyebab kegagalannya adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam rehabilitasi hutan mangrove dan masyarakat masih dianggap sebagai obyek bukan sebagai subyek. Pelaksanaan proyek dengan pendekatan top down tentu saja kurang memberdayakan masyakakat sekitar hutan mangrove. Pemerintah hanya berperan sebagai penyedia dana, pengontrol dan fasilitator. Akibatnya setelah selesai proyek tersebut dan dana telah habis maka pelaksana proyek merasa sudah habis pula tanggung jawabnya. Disisi lain masyarakat tidak ikut merasa memiliki (tidak punya sense of belonging). Akhirnya masyarakat beranggapan hutan magrove tersebut milik pemerintah bukan milik mereka sehingga mereka acuh tak acuh dengan kerusakan mangrove disekitar mereka. Masyarakat pesisir hendaknya dijadikan sebagai ujung tombak dalam program rehabilitasi mangrove yang dilakukan pemerintah. Pemerintah diposisikan sebagai penyandang dana, sedang untuk perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatan kedepan diserahkan oleh masyarakat dengan pelibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perangkat desa, pemimpin umat, ketua adat dan lain-lain. Dengan pendekatan semacam ini proses rehabilitasi mangrove yang dimulai dari pembibitan, penanaman, perawatan, penyulaman dilakukan oleh masyarakat. Melalui mekanisme ini masyarakat tidak merasa dianggap sebagai buruh tapi masyarakat merasa sebagai pemilik dari hutan mangrove itu sendiri. Secara tidak langsung masyarakat jadi mempunyai rasa tanggung jawab untuk turut menjaga kelestarian dari hutan mangrove di sekitar mereka. Upaya rekalamsi mangrove sudah berjalan sedemikian lama. Untuk pelaksanaan kedepan hendaknya pemerintah meggunakan sistem pendekatan bottom up dengan meletakkan mayarakat sebagai subyek bukan sebagai obyek. Tugas pemerintah lebih pada pemberian pengarahan secara berkelanjutan agar kedepan tidak terjadi konflik kepentingan diantara mereka.

10

PENUTUP Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem daerah pesisir yang mempunyai manfaat yang besar dan sangat potensial untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat pesisir. Keberadaan hutan mangrove semakin menipis baik karena ulah manusia maupun alam. Jumlah kerusakan hutan mangrove yang semakin besar dan mengarah pada status kritis memerlukan upaya penanganan sesegera mungkin agar kelestariannya tetap terjaga untukgenerasi sekarang dan yang akan datang. Dengan semakin meningkatnya upaya reklamasi hutan mangrove baik yang dilakukan oleh masyarakat, pemerintah, LSM maupun stakeholder yang lain dan dengan pelibatan masyarakat pesisir dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan diharapkan akan diperoleh tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Dengan keberhasilan reklamasi hutan mangrove diharapkan manfaat dan fungsi mangrove dapat berjalan dan berfungsi kembali.

11

12

13

Anda mungkin juga menyukai