Anda di halaman 1dari 3

EKOSISTEM MANGROVE

Oleh: Revmon Kesuma,SP, Zulhaidir, SP, Muhammad Akhir, S.Hut


Mata Kuliah: Ekologi Terapan, Program Studi Ilmu Lingkungan
Pasca Sarjana Universitas Lampung

ABSTRAK

Fungsi ekologi dari ekosistem mangrove adalah sebagai tempat pemijahan (nursery
ground), tempat mencari (feeding ground), dan tempat perlindungan (shelter)
beberapa organisme perairan, satwa liar, primata, serangga, burung, reptil dan
amphibi (Nontji, 1993 dalam Rochana, 2009). Kondisi fisik hutan mangrove yang
kecenderungannya membentuk kerapatan dan keragaman struktur tegakan,
memerangkap sedimen yang mengandung nutrien. Selain nutrien pada ekosistem
mangrove juga terdapat detritus yang di dekomposisi oleh detritivor dengan bahan
dasar guguran daun mangrove. Selanjutnya dimanfaatkan secara berantai oleh
berbagai organisme dan dimanfaatkan oleh ekosistem perairan lain yang berada
disekitarnya seperti ekosistem lamun dan terumbu karang (Kaswadji dalam Rochana,
2009). Hal inilah yang menyebabkan banyak dan beragamnya fauna yang
berinteraksi dengan ekosistem mangrove.

Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi


ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove)
menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh
masyarakat untuk berbagai keperluan. Dampak ekologis akibat berkurang dan
rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang
berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan
mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir
umumnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem
pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan deskripsi
mangrove, peranan ekosistem mangrove, serta strategi dan pengelolaan mangrove.
Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk
memperjelas keberadaan ekosistem mangrove.

Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan


yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan
lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir,
terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang
khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).

Penyebaran hutan mangrove ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan, salah satu
diantaranya adalah salinitas. Berdasarkan salinitas kita mengenal zonasi hutan
mangrove sebagai berikut (De Haan dalam Russell & Yonge, 1968): (A) Zona air
payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang berkisar antara
10 - 30 0/00 : (A1) Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam
sebulan: hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh; (A2) Area yang
terendam 10 - 19 kali per bulan: ditemukan Avicennia (A. alba, A. marina),
Sonneratia griffithii dan dominan Rhizophora sp.; (A3) Area yang terendam kurang
dari sembilan kali setiap bulan: ditemukan Rhizophora sp., Bruguiera sp.; dan (A4)

1
Area yang terendam hanya beberapa hari dalam setahun: Bruguiera gymnorhiza
dominan, dan Rhizophora apiculata masih dapat hidup. (B) Zona air tawar hingga air
payau, dimana salinitas berkisar antara 0 - 10 0/00 terdiri dari (B1) Area yang kurang
lebih masih dibawah pengaruh pasang surut: asosiasi Nypa; dan (B2) Area yang
terendam secara musiman: Hibiscus dominan.

Hutan mangrove yang umumnya didominasi oleh pohon mangrove dari empat genera
(Rhizophora, Avicennia, Sonneratia dan Bruguiera), memiliki kemampuan adaptasi
yang khas untuk dapat hidup dan berkembang pada substrat berlumpur yang sering
bersifat asam dan anoksik. Kemampuan adaptasi ini meliputi (a) Adaptasi Terhadap
Kadar Oksigen Rendah; (b) Adaptasi Terhadap Kadar Garam Tinggi; (c) Conserving
Desalinated Water; (c) Kadar garam tinggi (halofit); (d) Adaptasi Terhadap Tanah
yang Kurang Stabil dan Adanya Pasang Surut; (e) Adaptasi Respon Terhadap
Cahaya.

Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki beberapa
fungsi ekologis penting dan di dalam ekosistem mangrove terjadi rantai makanan
yang merupakan proses pemindahan energi makanan dari sumbernya melalui
serangkaian jasad-jasad dengan cara makan-dimakan yang berulang kali
(Romimohtarto dan Juwana, 1999 dalam anonym, 2009). Terdapat tiga macam rantai
pokok (Anonim 2009). yaitu rantai pemangsa, rantai parasit dan rantai saprofit.
Secara umum di perairan, terdapat 2 tipe rantai makanan yaitu Rantai Makanan
Langsung dan Rantai Makanan Detritus yang melibatkan Detritivor (pengurai) dan
Konsumer.

Karena terjadi proses makan memakan, maka di dalam rantai makanan juga terjadi
pengalihan energi, yang berasal dari satu organisme yang dimakan, ke organisme
pemakan. Sumber asal energi dalam rantai makanan adalah matahari. Kimball
(1987) dalam anonym, 2009 menyatakan tumbuhan hijau menghasilkan molekul
bahan bakar lewat proses fotosintesis hanya dengan menangkap energy matahari
untuk sintesis molekul-molekul organik kaya energi dari prekursor H2O dan CO2.dan
udara.

Saat ini sebagian besar kawasan mangrove berada dalam kondisi rusak, bahkan di
beberapa daerah sangat memprihatinkan. Tercatat laju degradasinya mencapai 160—
200 ribu hektar per tahun. Data lain menyebutkan bahwa kerusakan potensi hutan
mangrove telah mencapai 50%. Beberapa hal utama yang menyebabkan terjadinya
kerusakan mangrove adalah (1) Tekanan penduduk yang tinggi sehingga permintaan
konversi mangrove juga semakin tinggi; (2) Perencanaan dan pengelolaan sumber
daya pesisir dimasa lalu bersifat sangat sektoral; (3) Rendahnya kesadaran
masyarakat tentang konservasi dan fungsi ekosistem mangrove; dan (4) Kemiskinan
masyarakat pesisir (Saparinto, 2007)

Dampak yang paling menonjol dari kerusakan ekosistem mangrove adalah secara
fisik dan ekologis. Dampak secara fisik adalah (1) erosi pantai, (2) kerusakan
perumahan dan harta benda akibat badai, dan (3) terjadinya intrusi air laut. Secara
ekologi dapat mengkibatkan menurunnya kesuburan dan kualitas perairan pesisir.
Kerusakan mangrove bagi perikanan pesisir akan mengakibatkan menurunnya
penyediaan benih alami, stok perikanan, menurunnya kualitas air laut yang akan
digunakan untuk media budidaya tambak atau laut, dan menurunnya hasil tangkapan
nelayan setempat (Saparinto, 2007). Tingkatan kerusakan ekosistem mangrove dapat
dibagi dalam kondisi, yaitu (a) Rusak Berat, ditandai dengan habisnya hutan
mangrove dalam satu wilayah, rusaknya keseimbangan ekologi, intrusi air laut yang
tinggi dan menurunnya kualitas tanah; (b) Rusak Sedang, ditandai masih tersisa
sedikti hutan mangrove dalam satu wilayah, keseimbangan ekologi dalam tingkatan

2
sedang dan intrusi yang terjadi tidak terlalu parah, dan (c) Tidak Rusak, kondisi
mangrove masih terjaga dengan baik dan lestari.

Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu). Isu-
isu tersebut adalah : isu ekologi dan sosial ekonomi, kelembagaan dan perangkat
hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana.

Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem


mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove harus
diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari.

Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat
sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula
kegiatan industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di
sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik.

Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta


Departemen Kelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten
dalam pengelolaan mangrove. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan
pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini.

Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan
pengelolaan mangrove. Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang
dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan
mangrove. Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran
terhadap perangkat hukum tersebut.

Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama
yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi
dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan
agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove
dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat
dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah
dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan
konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.

Anda mungkin juga menyukai