Anda di halaman 1dari 26

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Mangrove

Hutan mangrove merupakan tumbuhan yang hidup disepanjang pantai

tropis atau sub tropis biasanya dipengaruhi oleh pasang surut air laut, serta mampu

beradaptasi dengan air payau. Habitat ekosistem hutan mangrove kebanyakan

berada di daerah estuari, tepi pantai, sungai dan rawa. Mangrove merupakan

sekelompok tanaman yang berasal dari marga Rhizophora. Tanaman ini terbilang

tanaman yang sangat unik karena memiliki perakaran yang kuat dan kokoh serta

habitatnya yang memang kebanyakan di daerah ekosistem pantai. Bakau atau

mangrove adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Rhizophora, suku

Rhizophoraceae mempunyai ciri- ciri akar tunjang yang besar dan berkayu, daun

melebar dengan ujung daun yang meruncing serta dibagian bawah atau belakang

daun terdapat bintik-bintik hitam (Hadi et al., 2016).

Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda-beda

terhadap faktor abiotik (iklim, udara, tanah dan air) dan faktor lingkungan lainnya,

sehingga sebaran setiap spesies tidak selalu sama. Hutan mangrove merupakan

habitat dari berbagai jenis fauna baik ikan, cacing, kepiting, burung dan lain- lain.

Ekosistem hutan mangrove merupakan suatu sistem yang memiliki produktivitas

tinggi dan kompleksitas lingkungan yang khas. Diantara fungsi ekosistem

mangrove adalah sebagai penyedia makanan bagi biota laut di sekitarnya,

sehingga banyak dimanfaatkan untuk mempertahankan konektivitas dengan

ekosistem lainnya agar terjadi keseimbangan ekosistem di wilayah pesisir (Cuenca

et al., 2015). Ekosistem hutan mangrove hidup di daerah pesisir tropis dan

5
6

subtropis yang relatif terlindungi, mengandung endapan lumpur dan tersusun atas

pohon dan semak yang toleran terhadap garam. Zona pasang surut seperti rawa,

sungai, laguna, muara sungai dan pantai merupakan habitan vegetasi mangrove

(Strauch et al., 2012).

2.2 Komponen Mangrove

Ekosistem hutan mangrove sebagai tempat berlangsungnya proses-proses

alamiah yang melibatkan hubungan timbal balik antara komponen-komponen

penyusun. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang paling

produktif karena di dalam ekosistem tersebut banyak terjadi proses-proses

bioekologi yang saling berinteraksi satu sama lain. Kemampuan ekosistem

mangrove untuk memberikan jasa lingkungan ini tentunya tidak terlepas dari

beragam komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalamnya.

Adapun komponen ekosistem hutan mangrove meliputi komponen abiotik seperti

pasang surut, cahaya, salinitas, nutrient dan gelombang. Komponen biotik berupa

flora, fauna dan kegiatan antropogenik yang ada di hutan (Isnaningsih dan Mufti,

2018).

Ekosistem hutan mangrove merupakan suatu suatu ekosistem yang bersifat

dinamis karena dapat terus berkembang serta mengalami suksesi seiring

berjalannya waktu (Mughofar, 2018). Ekosistem hutan mangrove akan mengalami

perubahan jika salah satu komponen tersebut juga mengalami perubahan.

Sebagian besar mikroorganisme yang toleran terhadap lingkungan ekstrim

biasanya lebih menyukai ekosistem hutan mangrove untuk tumbuh dan

berkembang biak (Retnowati et al., 2017). Ekosistem mangrove dihuni oleh


7

berbagai jenis biota baik hidup di perairan atau dari darat ke arah laut (Basyuni et

al., 2018), hal ini disebakan karena ekosistem mangrove termasuk tipe ekosistem

yang tidak terpengaruh oleh iklim, tetapi faktor lingkungan yang sangat dominan

dalam pembentukan ekosistem.

2.2.1 Komponen Abiotik

Menurut Yudasmara (2015) komponen abiotik adalah komponen tak hidup

dari suatu ekosistem yang terdiri atas unsur fisika dan kimia. Unsur fisika dan

kimia akan membentuk lingkungan yang memegang peranan penting bagi

keberlangsungan hidup komponen biotik dalam suatu ekosistem. Berikut adalah

faktor abiotik yang mempengaruhi kondisi dan keberadaan ekosistem hutan

mangrove :

a. Substrat

Tipe substrat yang cocok untuk pertumbuhan mangrove lumpur lunak,

mengandung silt, clay dan bahan-bahan organik. Pada daerah berlumpur, biasanya

sebagian jenis mangrove tumbuh dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa

substrat berlumpur merupakan media tanam yang baik bagi vegetasi mangrove

karena mengandung unsur hara dan nutrisi yang dibutuhkan oleh vegetasi

mangrove. Spesies mangrove yang biasanya mendominasi substrat berlumpur ini

jenis Rhizophora mucronnata dan Avicennia marina. Kemudian jenis mangrove

yang tumbuh pada pantai berpasir atau terumbu karang biasanya lebih didominasi

oleh jenis Rhizophora stylosa (Karimah, 2017).

b. Salinitas

Menurut Matatula et al., (2019) bahwa salinitas akan sangat berpengaruh

terhadap pertumbuhan mangrove. Berbagai jenis mangrove mempunyai


8

kemampuan adaptasi yang berbeda-beda terhadap salinitas yang tinggi. Salah

satunya dengan mengeluarkan kadar garam pada kelenjar khusus pada bagian

daunnya. Kisaran salinitas yang baik bagi ekosisem mangrove yaitu berkisar 10-

30 ppt, namun ada beberapa spesies mangrove yang tumbuh pada salinitas yang

tinggi (Saparinto, 2007). Spesies mangrove Avicennia marina mempunyai sistem

adaptasi yang berbeda terhadap kondisi yang ekstrim dibandingkan genus lainnya,

karena memiliki sistem perakaran yang khas yakni akar nafas (Susanto et al.,

2013).

c. Pasang Surut

Sistem akar udara merupakan pola adaptasi vegetasi mangrove terhadap

lingkungan pasang surut. Spesies mangrove Rhizophora sp. berada di daerah yang

selalu terkena pasang harian dengan penggenangan yang tinggi, memiliki akar

udara dan akar tunjang yang berkembang sangat intensif, melengkung dari batang

pokok dan juga berasal dari cabang bawah. Pada jenis mangrove yang hidup di

daerah yang tidak selalu terkena genangan pasang harian, dengan tinggi

penggenangan rendah, memiliki pola adaptasi yang berbeda dengan marga

Rhizophora sp. Golongan Ceriops sp. mempunyai akar banir dan sistem perakaran

samping yang muncul ke atas permukaan tanah dan kembali lagi ke dalam

tanah, yang disebut akar lutut. Hal ini karena habitat Ceriops sp. sudah jarang

terkena penggenangan dan hanya digenangi pada saat pasang tertinggi (Jamili,

2009).

d. Bahan Organik

Bahan organik adalah unsur hara penting yang keberadaannya dalam tanah

dibutuhkan oleh makhluk hidup disekitarnya. Bahan Organik yang terdapat dalam
9

ekosistem hutan mangrove yaitu bahan organik yang terlarut dalam air dan bahan

organik yang tertinggal dalam sedimen. Bahan organik dalam tanah mangrove

berasal dari serasah vegetasi mangrove yang telah mengalami dekomposisi.

Sebagian besar bahan organik akan diserap oleh vegetasi mangrove itu sendiri dan

sisanya menjadi bahan masukan bagi ekosistem disekitarnya. Fungsi bahan

organik yang terdapat pada ekosistem mangrove sebagai penyedia unsur hara,

sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah pemijahan (spawning ground)

dan perlindungan bagi biota disekitarnya (Wibisana, 2004).

e. Cahaya Matahari

Morfologi mangrove seperti bentuk dan ukuran daun, tinggi batang serta akar

yang tumbuh menopang batangnya mempunyai perbedaan karena dipengaruhi

oleh intensitas cahaya yang berbeda-beda di setiap daerah. Secara anatomi,

perbedaannya juga dapat dilihat dari kutikula yang tebal, lapisan lilin dan stomata

dari beberapa jenis mangrove sebagai akibat suhu yang tinggi. Apabila intensitas

cahaya yang dimiliki oleh suatu daerah tinggi, maka suhu juga akan ikut tinggi.

Intensitas cahaya, kualitas dan lama penyinaran merupakan salah satu faktor

penting bagi tanaman mangrove untuk pertumbuhan dan perkembangannya

(Onrizal, 2005).

f. Gelombang dan Arus

Secara tidak langsung gelombang dan arus berpengaruh terhadap sedimentasi

yang berada pada pantai atau muara sungai. Terbentuknya padatan yang berada

pada muara sungai ini yang akan menjadi substrat tempat tumbuh ekosistem hutan

mangrove. Menurut Budiasih et al., (2015) lokasi yang berhadapan langsung

dengan laut memiliki gelombang dan arus yang cukup besar, dengan kondisi
10

seperti itu biasanya sering terjadi abrasi sehingga menyebabkan luasan hutan

mangrove akan berkurang. Selain itu secara langsung arus dan gelombang juga

berpengaruh terhadap distribusi spesies. Arus dan gelombang akan membawa

buah atau semai dari mangrove sampai menemukan substrat yang cocok.

2.2.2 Komponen Biotik

Komponen biotik merupakan bagian dari ekosistem yang terdiri dari seluruh

tingkatan makhluk yang ada di wilayah ekosistem tersebut seperti tumbuhan,

hewan, jamur dan bakteri. Komponen biotik ini akan membentuk suatu hubungan

memakan dan dimakan yang disebut dengan rantai makanan (Yudasmara, 2015).

Komponen biotik pada ekosistem hutan mangrove diantaranya :

a. Fauna Mangrove

Ekosistem mangrove secara ekologis merupakan ekosistem peralihan antara

daratan dan laut yang mempunyai peran yang sangat besar. Ekosistem mangrove

memainkan peran dalam rantai makanan di perairan yang dapat menopang

kehidupan berbagi biota laut seperti ikan, udang dan moluska (Karimah, 2017).

Moluska diwakili oleh sejumlah siput yang umumnya hidup pada akar dan batang

pohon bakau. Moluska memiliki peranan penting dalam mendukung fungsi-fungsi

ekologis yang dimiliki ekosistem hutan mangrove. Beberapa spesies moluska

seperti anggota Famili Potamididae, Neritidae dan Cerithidae merupakan spesies-

spesies yang menjadikan mangrove sebagai habitatnya (Isnaningsih dan Mufti,

2018).

Moluska berperan dalam merobek atau memperkecil serasah yang baru jatuh

dari pohon mangrove. Selain sebagai pemangsa detritus, moluska juga memecah

atau menghancurkan serasah mangrove untuk dimakan sehingga dapat


11

mempercepat proses dekomposisi serasah. Disamping membantu dalam proses

dekomposisi, beberapa fauna kepiting juga membantu dalam penyebaran seedling

dengan cara menarik propagul kedalam lubang tempat persembunyiannya atau

ditempat berair (Imran et al., 2016). Selain moluska ekosistem hutan mangrove

biasanya digunakan oleh sekelompok burung tertentu sebagai tempat tinggal,

tempat mencari makan dan tempat bermain.

Gambar 1. Keanekaragaman Hayati Fauna di Ekosistem Hutan Mangrove


(Wetlands Internasional, 2019).

Hogarth (2007) menyatakan bahwa invertebrata yang hidup di ekosistem

hutan mangrove diwakili beberapa filum termasuk Moluska, Arthropoda,

Sipuncula, Nematoda, Nemertean, Platyhelminthes dan Annelida. Golongan

invertebrata merupakan komponen penting ekosistem hutan mangrove dalam

menyediakan berbagai sumber makanan bagi hewan lain yang lebih tinggi tingkat

trofiknya. Biodiversitas dan penyedia jasa layanan ekosistem memiliki keterkaitan

dengan peningkatan kekayaan spesies yang terdapat di suatu daerah. Strategi


12

konservasi diperlukan untuk melindungi sekaligus menghindari hilangnya spesies

dalam suatu perairan (Fagundes et al., 2018).

b. Flora Mangrove

Patang (2012) mengatakan bahwa ekosistem hutan mangrove di Indonesia

mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dengan jumlah total spesies

89, terdiri dari 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies

epifit dan 2 spesies parasit. Tomlinson (1994) membagi mangrove berdasarkan

karakteristik lingkungan menjadi tiga komponen, yaitu:

1. Komponen Mangrove Mayor, yaitu mangrove yang berkemampuan

membentuk tegakan murni. Dan secara dominan mencirikan struktur komunitas.

Tegakan murni adalah kemampuan mangrove untuk menghasilkan individu baru

disekitar habitatnya. Kelompok mangrove mayor ini terdiri dari 5 famili dengan 9

genera. Contohnya: Avicennia, Bruguiera, Rhizophora, Kandelia, Soneratia,

Nypa, Lumnitzera dan Laguncularia.

2. Komponen Mangrove Minor, yaitu kelompok flora mangrove yang tidak

mampu membentuk tegakan murni. Komponen minor terdiri dari 11 genera dari

famili yang berbeda. Contohnya: Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Aegialitis,

Camptostemon, Scypiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.

3. Komponen Mangrove Asosiasi, kelompok ini tidak tumbuh pada habitat

mangrove sesungguhnya melainkan hidup berdampingan dengan vegetasi di darat.

Komponen asosiasi terdiri dari 29 famili dengan 40 genera. Contohnya: Carbera,

Acanthus, Talipariti, Calamus, Terminalia, Calophyllum, Derris dan Millettia.


13

c. Antropogenik

Keberadaan hutan mangrove sekarang ini cukup mengkhawatirkan

disebabkan oleh ulah manusia untuk kepentingan konversi lahan sebagai tambak,

permukiman, perhotelan ataupun tempat wisata. Degradasi ekosistem hutan

mangrove merupakan salah satu dampak dari meningkatnya aktivitas masyarakat

yang dilakukan di daerah pesisir. Adanya ekosistem hutan mangrove dan

permukiman masyarakat dengan kondisi perekonomian terbatas menyebabkan

masyarakat melakukan eksploitasi hutan mangrove secara berlebihan yang

menyebabkan hilangnya biodiversitas di wilayah pesisir (Brown dan Williams,

2016). Keseimbangan ekologi lingkungan pantai menjadi terganggu karena

hilangnya mangrove dari ekosistem perairan pantai.

Kerusakan lingkungan pantai atau pesisir saat ini belum bisa ditanggulangi

secara optimal. Bahkan sampai saat ini kerusakan di wilayah pesisir semakin

meluas. Kerusakan tersebut biasanya disebabkan oleh pencemaran minyak,

sampah, abrasi pantai ekosistem hutan mangrove. Dengan melihat penyebab

kerusakan tersebut aktivitas manusia yang menjadi penyebab utama kerusakan di

wilayah pesisir. Arisandi (2014) mengatakan maraknya penggalian pasir di pesisir

pantai, penebangan mangrove untuk dijadikan kayu bakar dan perumahan.

Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi penting ekosistem ini

mengancam manajemen pengelolaan pesisir. Pada akhirnya rusaknya ekosistem

ini berdampak buruk terhadap sejumlah masalah seperti tingkat abrasi yang tinggi,

kerusakan rumah dan sarana jalan di pesisir pantai, menurunnya jumlah tangkapan

udang dan kepiting dan masalah sosial ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat.
14

Untuk menghindari hilangnya fungsi ekosistem hutan mangrove tersebut

maka perlu diperbaharui dengan upaya rehabilitasi mangrove. Pemanfaatan

ekosistem hutan mangrove seperti penebangan pohon secara besar-besaran apabila

tidak diikuti dengan kegiatan rehabilitasi akan berpotensi menimbulkan bencana

alam. Lahan bekas tebangan pohon mangrove tersebut akan merusak lingkungan

dan menyebabkan degradasi lahan (Haneda dan Mohammad, 2018). Rehabilitasi

mangrove merupakan suatu aksi yang bertujuan mengembalikan tidak hanya

ekosistem hutan mangrove tetapi juga mengembalikan fungsi ekologis, fisik dan

ekonomis ekosistem tersebut. Informasi mengenai komposisi, zonasi lingkungan

dan fungsi ganda mangrove dijadikan pertimbangan dalam usaha rehabilitasi

kawasan mangrove. Selain kegiatan rehabilitasi ada juga kegiatan restorasi

ekosistem hutan mangrove. Restorasi mangrove dapat menaikkan nilai sumber

daya, memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga

biodiversitas, menjaga hasil tangkapan perikanan serta mempengaruhi kehidupan

masyarakat di sekitarnya baik secara langsung maupun tidak langsung (Setyawan

et al., 2003). Kegiatan rehabilitasi dan restorasi mangrove ini biasanya dilakukan

oleh masyarakat dengan bantuan pemerintah dan stakeholder setempat. Dengan

adanya kegiatan tersebut maka dapat mengurangi degradasi di wilayah pesisir.

2.3 Distribusi Ekosistem Hutan Mangrove

Ekosistem hutan mangrove biasa ditemukan di sepanjang daerah tropis dan

subtropis antara 32° LU hingga 38° LS meliputi wilayah Afrika, Asia, Australia

dan Amerika. Pada daerah yang beriklim subtropis mangrove masih dapat

dijumpai namun kelimpahan spesiesnya menurun seiring dengan bertambahnya


15

derajat lintang (Hogarth, 2007). Hutan mangrove di dunia mencapai luas sekitar

16.530.000 ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika 3.258.000 ha dan

Amerika 5.831.000 ha, sedangkan di Indonesia dilaporkan seluas 3.735.250 ha.

Dengan demikian, luas hutan mangrove Indonesia hampir 50% dari luas

mangrove Asia dan hampir 25% dari luas hutan mangrove dunia (Onrizal, 2010).

Giesen et al. (2007) menyatakan bahwa dari keseluruhan ekosistem hutan

mangrove didunia, Asia Tenggara memiliki luasan ekosistem hutan mangrove

terbesar yaitu 6,8 juta. Luasan tersebut merupakan 34 – 42% dari luasan

mangrove diseluruh dunia. Ekosistem hutan mangrove di Asia Tenggara paling

luas berada di Indonesia yaitu 58,8% dari total luasan di Asia Tenggara yang

disusul oleh Malaysia (11,7%), Myanmar (8,8%), Papua Nugini (8,7%), dan

Thailand (5,0%). Schaduw (2015) menjelaskan Indonesia memiliki ekosistem

hutan mangrove terbesar di dunia sekitar 19% dari mangrove di dunia.

Menurut Raymond et al. (2010) pada tahun 1982 luas hutan mangrove di

Indonesia sekitar 4,25 juta ha, namun pada tahun 1996 mengalami penurunan

hingga tersisa 3,53 juta ha. Sementara itu Kusmana (2014) melaporkan bahwa

pada tahun 2000 hutan mangrove di Indonesia sekitar 7.758.410 ha, dengan

rincian 30,7% dalam kondisi baik, 27,4% rusak ringan dan 41,9% rusak

berat. Penurunan hutan mangrove terus berlangsung hingga pada tahun 2009

tersisa 3.244.018 ha. Hal ini menunjukkan bahwa dalam periode 9 tahun lebih

dari 4,5 juta ha ekosistem hutan mangrove di Indonesia hilang. Kondisi seperti ini

terus berlangsung diduga karena pemanfaatan hutan mangrove yang bersifat

destruktif namun tidak diimbangi dengan konservasi. Berawi dan Desty (2018),

menjelaskan ekosistem hutan mangrove di Indonesia tersebar di di Irian, Jawa,


16

Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Maluku. Vegetasi mangrove

paling banyak di Indonesia terdapat di Papua dapat dilihat pada Tabel 1. Spesies

mangrove yang paling sering ditemukan yaitu dari marga Rhizophoraceae.

Tabel 1. Lokasi dan Luas Hutan Mangrove di Masing-masing Provinsi Indonesia

Provinsi Luas (ha) Provinsi Luas (ha)

NAD 22.950,321 Nusa Tenggara Barat 11.921,179


Sumatera Utara 50.369,793 Nusa Tenggara Timut 20.678,450
Sumatera Barat 3.002,689 Kalimantan Barat 149.344, 189
Riau 206.292,642 Kalimantan Tengah 68.132,451
Kepulauan Riau 54.681,915 Kalimantan Selatan 56.552,064
Jambi 12.528,323 Kalimantan Timur 364.254,989
Sumatera Selatan 149.707,431 Sulawesi Utara 7.348,676
Bengkulu 2.321,870 Sulawesi Tengah 67.320,130
Lampung 10.533,676 Sulawesi Tenggara 44.030,338
Bangka Belitung 64.567,396 Sulawesi Selatan 12.821,497
DKI Jakarta 500,675 Sulawesi Barat 3.182,201
Banten 2.936,188 Gorontalo 12.315,465
Jawa Barat 7.932,953 Maluku 139.090,920
Jawa Tengah 4.857,939 Maluku Utara 39.659,729
Jawa Timur 18.253,871 Papua 1.158.268,619
Bali 1.925,046 Papua Barat 475.734,835
Total 3.244.018,46
Sumber: Saputro et al. (2009).

2.3.1 Distribusi Mangrove di Pantai Utara Jawa Tengah

Menurut Zikra (2009) kerusakan ekosistem hutan mangrove di wilayah

pantai utara Provinsi Jawa Tengah menyebabkan kerusakan pantai secara fisik

maupun biologis yang berakibat pada menurunnya daya dukung pantai sehingga

mengancam kelangsungan sistem wilayah pantai dan kelangsungan hidup

masyarakat pesisir secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Dinas Kelautan dan

Perikanan Jawa Tengah (2011) menjelaskan luasan hutan mangrove yang terdapat

di wilayah Pantai Utara sampai Pantai Selatan sebesar 2.458,39 ha yang tersebar

dari Kabupaten Brebes sampai Kabupaten Rembang yang dapat dilihat pada Tabel
17

2. Terdapat 55 jenis mangrove yang ditemukan di Jawa Tengah, diantaranya

adalah Avicennia sp., Sonneratia sp., Rhizophora sp., Excoecaria agallocha,

Aegiceras corniculatum, Acanthus ilicifolius, Pandanus tectorius, Calotropis

gigantea, Ipomoea pes-caprae, Sesuvium portulacastrum dan lain-lain.

Tabel 2. Lokasi dan Luas Ekosistem Hutan Mangrove di Pantai Utara Jawa
Tengah

No Kabupaten/Kota Luas (ha) Presentase (%)


1 Rembang 155,61 6,33
2 Pati 75,66 3,08
3 Jepara 203,80 8,29
4 Demak 1.154,55 46,96
5 Kota Semarang 94,39 3,84
6 Kendal 238,88 9,72
7 Batang 65,85 2,68
8 Kota Pekalongan 7,57 0,31
9 Pekalongan 12,49 0,51
10 Pemalang 167,76 6,82
11 Tegal 19,34 0,79
12 Kota Tegal 39,44 1,60
13 Brebes 223,07 9,07
Jumlah Total 2.458,39 100,00
Sumber Data: DKP Prov. Jateng (2011).

Untuk distribusi ekosistem mangrove di Kabupaten Demak dapat dilihat pada

Tabel 2 yang menunjukkan bahwa Kabupaten Demak merupakan wilayah yang

paling luas area ekosistem mangrovenya sebesar 1.154,55 ha, kemudian disusul

Kabupaten Kendal sebesar 238,88 ha dan Kabupaten Brebes sebesar 223,07 ha.

Menurut data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Demak pada tahun

2011 ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Demak sekitar 8% dalam kondisi

rusak. Pada tahun 2012, luas ekosistem hutan mangrove yang rusak mengalami

peningkatan menjadi sekitar 13,86%. Kerusakan hutan mangrove di Kabupaten

Demak biasanya disebabkan oleh abrasi yang terjadi di wilayah pesisir. Dampak
18

abrasi paling besar terjadi di Kecamatan Sayung diduga karena struktur tanah yang

rapuh dan kurangnya tanaman pelindung pantai yang terdapat di wilayah tersebut.

Menurut Fathurrohmah (2015) rusaknya ekosistem hutan mangrove turut

menyebabkan wilayah daratan di sekitar pesisir Kabupaten Demak memiliki

pertahanan yang lemah terhadap dinamika alam yang berasal dari arah laut seperti

arus, gelombang, pasang surut dan angin.

Kabupaten Demak memiliki 4 Kecamatan yang terletak di kawasan pesisir

diantaranya Sayung, Karangtengah, Bonang dan Wedung. Di Kecamatan Bonang,

sumberdaya mangrove terdapat di lokasi-lokasi yang berada pada kisaran 3 km dari

garis pantai dengan luas hutan mangrove sebesar 209,17 ha. Secara administratif,

hutan mangrove terdapat di Desa Betahwalang, Desa Gebang, Desa Margolinduk,

Desa Morodemak, Desa Purworejo, dan Desa Tridonorejo (Faturohmah dan

Bramantyo, 2017). Desa Betahwalang merupakan salah satu Desa yang terletak di

Kecamatan Bonang. Sebagai suatu desa yang terletak di daerah pesisir, sebagian

besar masyarakat disana menggantungkan hidupnya dengan hasil perikanan dan

kelautan, sehingga erat kaitannya dengan keberadaan ekosistem hutan mangrove.

Luas ekosistem mangrove di Desa Betahwalang sebesar 81,332 ha namun

kondisinya sudah mulai rusak dan peran serta masyarakat dirasa kurang dalam

menjaga ekosistem hutan mangrove.

2.4 Fungsi Ekosistem Hutan Mangrove

Menurut Kabir et al. (2014) ekosistem hutan mangrove merupakan

ekosistem peralihan antara darat dan laut yang dikenal memiliki peran dan fungsi

sangat besar. Secara ekologis mangrove memiliki fungsi yang sangat penting
19

dalam memainkan peranan sebagai rantai makanan di suatu perairan yang dapat

menumpang kehidupan berbagai jenis ikan, udang dan moluska. Selain itu hutan

mangrove dapat meningkatkan kualitas air dan dapat mengasimilasi pencemaran

dari bahan organik, menstabilkan dan memperbaiki tanah serta menahan erosi

terjangan ombak laut. Ekosistem mangrove perlu dijaga dan dipertahankan karena

memiliki fungsi ekologi dan sosial ekonomi bagi masyarakat di pesisir (Nicolas et

al., 2018). Ekosistem hutan mangrove mempunyai peranan yang sangat penting

bagi ekosistem hutan, air dan lingkungan. Fungsi ekosistem hutan mangrove

secara garis besar dikelompokkan menjadi 3 yaitu fungsi fisik, ekologis dan

ekonomi (Haryani, 2013).

2.4.1 Fungsi Fisik

Fungsi hutan mangrove secara fisik di antaranya, menjaga kestabilan garis

pantai dan tebing sungai dari erosi atau abrasi, mempercepat perluasan lahan

dengan adanya endapan lumpur yang terbawa oleh arus ke kawasan hutan

mangrove, mengendalikan laju intrusi air laut sehingga air disekitarnya menjadi

lebih tawar, melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang,

angin kencang dan bahaya tsunami (Pratikto, 2002). Salah satu fungsi utama

mangrove di wilayah pesisir yaitu sebagai peredam gelombang sehingga dapat

mencegah abrasi. Berbagai bagian dari mangrove seperti substrat, serasah, akar

mangrove dan ketebalan pohon mangrove menjadi faktor yang mempengaruhi

peredaman gelombang.

Kegiatan pengeksplorasian sumber daya alam pantai oleh manusia,

intensitas gelombang air laut dan panas bumi secara global merupakan salah

beberapa fenomena yang menyebabkan terjadinya abrasi di wilayah pesisir


20

(Ahmad, 2017). Sifat fisik ekosistem hutan mangrove membantu proses

pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan

penghilangan racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan tersebut seringkali

terikat pada partikel lumpur. Dengan adanya hutan mangrove, kualitas air laut

terjaga dari endapan lumpur erosi (Arifin, 2017).

Gambar 2. Fungsi Ekosistem hutan mangrove dan Jaring-Jaring Makanan


(Rusila-Noor et al., 1999).

2.4.2 Fungsi Ekologis

Fungsi hutan mangrove secara ekologis diantaranya sebagai tempat mencari

makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground) dan tempat

berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota

laut lainnya. Tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung dan

reptil. Bagi beberapa jenis burung, vegetasi mangrove dimanfaatkan sebagai

tempat istirahat, tidur bahkan bersarang. Selain itu, mangrove juga bermanfaat

bagi beberapa jenis burung migran sebagai lokasi antara (stop over area) dan
21

tempat mencari makan, karena ekosistem hutan mangrove merupakan ekosistem

yang kaya sehingga dapat menjamin ketersediaan pakan selama musim migrasi

(Howes et al., 2003). Vegetasi mangrove juga memiliki kemampuan untuk

memelihara kualitas air karena vegetasi ini memiliki kemampuan luar biasa untuk

menyerap polutan (logam berat Pb, Cd dan Cu) (Arisandi, 2010).

Biota yang paling banyak dijumpai di ekosistem hutan mangrove adalah

Crustacea dan Mollusca. Kepiting dan berbagai jenis kerang kerangan umumnya

dijumpai di hutan mangrove. Kepiting, siput dan tiram juga merupakan biota yang

umum dijumpai. Kebanyakan invertebrata ini hidup berinteraksi pada akar-akar

mangrove. Biota yang hidup dibagian akar, mereka akan mencari makan ketika air

pasang naik dan kembali ketika air laut surut. Sejumlah invertebrata tinggal di

dalam lumpur melalui cara ini mereka terlindung dari perubahan temperatur dan

faktor lingkungan akibat adanya pasang surut di daerah hutan mangrove dan

terhindar dari predator (Arifin, 2017).

2.4.3 Fungsi Ekonomis

Keberadan hutan mangrove sangat menentukan dan menunjang tingkat

perkembangan sosial dan perekonomian masyarakat pesisir. Hutan mangrove

merupakan sumber berbagai produksi hasil hutan yang bernilai ekonomi, seperti

kayu, sumber pangan, bahan kosmetika, bahan pewarna batik dan tempat wisata.

Potensi wisata merupakan salah satu tujuan wisata yang memiliki daya tarik

sehingga banyak masyarakat yang datang ke tempat wisata tersebut. Beragamnya

spesies mangrove yang ditemukan di sepanjang jalan menuju tempat wisata, serta

belum dilakukannya pengelolaan secara optimal ekosistem hutan mangrove


22

menjadi salah satu potensi besar untuk dikembangkan menjadi kawasan ekowisata

mangrove (Sari, 2015).

Beberapa spesies mangrove mempunyai kualitas kayu yang baik sehingga

banyak masyarakat yang memanfaatkan sebagai bahan kontruksi bangunan, selain

itu juga diolah menjadi arang karena mampu menghantarkan panas dengan cepat

serta tahan lama. Tidak hanya kayu, daun mangrove juga dapat dijadikan pakan

ternak serta dapat diolah menjadi pupuk kompos. Untuk pemanfaatan buah

mangrove, sebagian masyarakat juga mengolah mangrove menjadi tepung dan

pewarna batik alami yang mempunyai nilai jual yang cukup tinggi. Untuk

menghindari adanya kerusakan hutan mangrove, maka masyarakat harus

melakukan pengelolaan hutan mangrove secara lestari dan tidak melakukan

eksploitasi berlebihan (Davinsy et al., 2015).

Perlindungan ekosistem hutan mangrove perlu dilakukan untuk mencegah

tingkat kerusakan yang lebih parah, terutama dari konversi hutan mangrove untuk

kegiatan ekonomi masyarakat. Kerusakan ekosistem mangrove berdampak

terhadap perekonomian masyarakat dari segi pendapatan yang mempunyai mata

pencaharian berkaitan dengan ekosistem mangrove (Albana, 2017). Pemanfaatan

hutan mangrove untuk ekowisata merupakan terobosan baru yang sangat rasional

diterapkan di kawasan pesisir karena manfaat ekonomis yang dapat diperoleh

tanpa mengeksploitasi mangrove tersebut. Selain itu, ekowisata mangrove juga

dapat menyediakan lapangan pekerjaan dan menstimulasi aktivitas ekonomi

masyarakat, sehingga diharapkan kesejahteraan hidup mereka akan lebih baik.


23

2.5 Valuasi Ekonomi

Valuasi ekonomi merupakan sebuah metode penilaian yang digunakan untuk

melihat suatu sumberdaya sebagai fungsi dari manfaat ekonomi, ekologi, sosial

dan budaya. Fungsi tersebut nantinya akan dikalkulasikan dengan berbagai

pendekatan agar diketahui besarnya nilai suatu sumberdaya . Dengan diketahuinya

nilai tersebut dalam bentuk moneter maka akan dijadikan sebagai standar nilai

bagi pengelolaan dimasa mendatang, dengan tujuan dapat mewujudkan

kesejahteraan masyarakat (Kusmana, 2009).

Pentingnya valuasi ekonomi didorong atas adanya kebutuhan manusia akan

barang dan jasa yang dapat dipenuhi oleh lingkungan sumberdaya pesisir dan laut

berupa energi, ruang rekreasi, kehidupan biota, air dan ruang kehidupan lainnya.

Permasalahan pembangunan yang berdampak terhadap lingkungan sosial ekonomi

masyarakat yang berasosiasi dengan keberadaan ekosistem, maka perlu dilakukan

perhitungan biaya kompensasi sehingga dapat menutupi kehilangan sejumlah nilai

ekonomi akan barang dan jasa yang terdegradasi (Widiastuti, 2016).

Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang

menitikberatkan pada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas

lingkungan serta sumberdaya alam merupakan salah satu konsep pengelolaan

wilayah pesisir dan laut. Seiring berjalannya waktu perubahan lingkungan dapat

terjadi di wilayah pessir dan laut. Konsekuensi dari perubahan lingkungan

tersebut menyebabkan bahwa dinamika ekosistem harus dimasukkan ke dalam

pertimbangan pengelolaan termasuk pentingnya mengetahui nilai ekonomi

sumberdaya sebagai salah satu faktor input dalam mengambil suatu kebijakan

(Adrianto, 2006).
24

2.6 Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove

Valuasi ekonomi hutan mangrove berperan penting dalam menyediakan

informasi untuk membantu proses pengambilan keputusan terkait dengan

kebijakan publik dalam pengelolaan sumberdaya alam. Jenis kebijakan publik

misalnya untuk menentukan harga yang tepat dalam penggunaan mekanisme

ekonomi seperti pajak lingkungan atau pajak produksi produk perikanan serta

bahan galian di pesisir pantai. Valuasi ekonomi juga penting dalam menilai barang

dan jasa yang dihasilkan sumberdaya, sehingga akan membantu dalam penilaian

proyek dan penentuan prioritas pembangunan (Fauzi, 2014).

Freeman III (2002) menggunakan tipologi nilai ekonomi dalam terminologi

penilaian total (Total Economic Value/TEV). Dalam konteks ini, TEV merupakan

penjumlahan dari nilai ekonomi berbasis pemanfaatan (Use Value/UV) dan nilai

ekonomi berbasis bukan pemanfaatan (Non Use Value/NUV). UV terdiri dari

nilai-nilai penggunaan langsung (Direct Use Value/DUV), nilai ekonomi

penggunaan tidak langsung (Undirect Use Value/IUV), nilai pilihan (Option

Value/OV). Sementara itu NUV terdiri dari 2 komponen nilai yaitu nilai warisan

(Bequest Value/BV) dan nilai keberadaan (Existence Value/EV). Penilaian

ekonomi dari seluruh manfaat sumberdaya hutan mangrove menggunakan tahap

pendekatan seperti dilakukan oleh Ruitenbeek (1991) adalah sebagai berikut :

A. Nilai Guna (Use Value)

1. Nilai Guna Langsung

Manfaat langsung adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan langsung

dari ekosistem hutan mangrove seperti penangkapan hasil perikanan seperti ikan,
25

udang, cumi, rajungan), pengambilan kayu bakar, penggunaan tambak dan

ekowisata (Fauzi, 2002). Untuk mengetahui sumberdaya yang langsung

diperdagangkan seperti hasil perikanan dan kayu mangrove melalui pendekatan

nilai pasar. Pendekatan ini sebagian besar digunakan untuk mengetahui nilai uang

bagi manfaat langsung dari ekosistem hutan mangrove.

2. Nilai Guna Tidak Langsung

Nilai guna tidak langsung adalah nilai yang dirasakan secara tidak langsung

terhadap barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya dan lingkungan (Fauzi,

2002). Nilai guna tidak langsung dari ekosistem hutan mangrove diperoleh dari

suatu ekosistem secara tidak langsung seperti penahan abrasi pantai dan penyedia

bahan organik bagi biota-biota yang hidup didalamnya (Suryono, 2006).

3. Nilai Pilihan

Nilai pilihan adalah suatu nilai yang menunjukan kesediaan seseorang untuk

membayar guna melestarikan ekosistem hutan mangrove bagi pemanfaatan di

masa depan (Fahrudin, 1996). Nilai ini didekati dengan mengacu pada nilai

keanekaragaman hayati (biodiversity) hutan mangrove diIndonesia, yaitu US$

1.500/km2/tahun atau US$15/ha/tahun (Ruitenbeek, 1991 dalam Fahrudin, 1996).

B. Tidak Ada Nilai Guna (Non Use Value)

1. Nilai Keberadaan

Nilai keberadaan adalah manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari

keberadaan ekosistem yang diteliti setelah manfaat lainnya (manfaat langsung,

tidak langsung dan manfaat pilihan). Manfaat ini adalah nilai ekonomis

keberadaan (fisik) dari ekosistem yang diteliti.


26

2. Nilai Warisan

Nilai dari sumberdaya ekosistem hutan mangrove yang akan diwariskan

untuk generasi di masa depan. Nilai warisan ekosistem hutan mangrove

diperkirakan 10% dari nilai guna langsung ekosistem tersebut.

Teknik perhitungan untuk menilai ekonomi suatu sumberdaya, mengacu pada

metode valuasi ekonomi atau Total Economic Value (TEV). Pendekatan ini

merupakan penjumlahan dari nilai guna dan tidak ada nilai guna yang telah

diidentifikasi dan dikuantifikasikan. Tipologi nilai nilai ekonomi total ekosistem

hutan mangrove dapat dilihat pada Gambar 3.

Total Economic Value

Use Value Non Use Value

Direct Indirect Option Bequest Existance


Use Use Value Value Value
Value Value

Gambar 3. Tipologi Nilai Total Ekonomi Mangrove (Freeman, 2002)

2.7 Road Map Penelitian Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove di Indonesia

Kerusakan ekosistem hutan mangrove di Indonesia disebabkan oleh berbagai

hal salah satunya kegiatan manusia di daerah pesisir. Alih fungsi lahan mangrove

menjadi daerah pertambakan, perikanan, perkebunan, pertanian, pemukiman,

industri dan pertambangan merupakan aktivitas manusia yang menyebabkan

hilangnya ekosistem hutan mangrove di Indonesia (Ilman et al., 2011).


27

Menurut Mayasari (2018) Desa Timbulsloko memiliki dominasi spesies

mangrove Rhizophora sp. dan Avicennia sp. dimana Rhizophora sp. menjadi jenis

mangrove yang mendominasi kawasan ini. Luas total ekosistem hutan mangrove

di Desa Timbulsloko adalah 77,04 ha. Nilai guna langsung ekosistem hutan

mangrove yaitu sebesar Rp 11.095.403,189 sementara nilai guna tidak langsung

sebesar Rp 1.608.290.750. Perhitugan nilai total manfaat ekosistem hutan

mangrove mencapai Rp 12.703.693.939/tahun.

Berdasarkan Penelitian Simbala et al. (2018) nilai ekonomi total ekosistem

hutan mangrove di Desa Dudepo terdiri atas nilai manfaat langsung sebesar Rp

822.165.000/tahun. Nilai manfaat tidak langsung sebesar Rp 453.792.178/tahun,

nilai manfaat pilihan sebesar Rp 306.405.000/tahun. Berdasarkan hasil survey,

rata-rata nilai manfaat eksistensi hutan mangrove masyarakat Desa Dudepo

sebesar Rp 890.244/ha/tahun. Jika luas hutan mangrove di Desa Dudepo sebesar

15 ha, maka total nilai manfaat eksistensi hutan mangrove di Desa Dudepo adalah

sebesar 13.353.660/tahun dan nilai manfaat warisan sebesar Rp 82.216.500/tahun.

Jumlah nilai ekonomi total keseluruhan manfaat ekosistem hutan mangrove di

Desa Dudepo adalah sebesar Rp 1.677.932.338./tahun.

Manfaat ekosistem hutan mangrove di Desa Pasar Ngalam Kabupaten Seluma

terdiri dari manfaat langsung berupa penangkapan ikan, kepiting dan udang,

manfaat tidak langung berupa penahan abrasi, manfaat pilihan berupa nilai

keanekaragaman hayati dan manfaat eksistensi berupa nilai yang diberikan

masyarakat terkait ekosistem hutan mangrove di Desa Pasar Ngalam. Nilai

manfaat total ekonomi ekosistem hutan mangrove di Desa Pasar Ngalam

Kabupaten Seluma adalah sebesar Rp 719.805.999,-/tahun terdiri dari manfaat


28

langsung sebesar Rp 328.692.000/ tahun (45,29%), manfaat tidak langsung

sebesar Rp 386.291.010,-/tahun (53,32%), manfaat pilihan sebesar Rp 1.522.989,-

/tahun (0,21%) dan manfaat eksistensi sebesar Rp 3.300.000,-/tahun (0,45%).

Berdasarkan perhitungan nilai manfaat total ekonomi ekosistem hutan mangrove

di Desa Pasar Ngalam Kabupaten Seluma dapat dikategorikan nilai ekonomi

ekosistem hutan mangrove yang tinggi (Rospita et al., 2017).

Berdasarkan hasil penelitian Tahang (2018) menunjukkan bahwa sepesies

mangrove yang mendominasi di Sinjai adalah Rhyzopora sp., Avicennia sp.,

Sonneratia sp. dan Bruguera sp. Manfaat langsung yang diperoleh masyarakat

dari hutan mangrove di daerah peneitian adalah kayu bakar, atap nipa, ikan dan

kepiting serta kelelawar dengan nilai ekonomi sebesar Rp 8.598.020.500 dengan

nilai rata-rata per ha 11.343.117. Nilai manfaaat tidak langsung terdiri dari

pemecah ombak sebesar Rp 10.671.627.444,-/tahun dengan garis pantai 7.530

meter dan manfaat penyerapan karbon Rp 153.495.000 tahun. Nilai manfaat

pilihan Rp 203.250 per ha. Hasil tersebut dikalikan dengan luas total dari

ekosistem hutan mangrove yang ada saat ini yaitu seluas 758 ha, dengan nilai total

dari manfaat biodiversity sebesar Rp 154.063.500, per tahun. Nilai manfaat

keberadaan sebesar Rp 446.260 ha/thn. Dengan luas area mangrove sebesar 758,

maka jumlah total manfaat keberadaan ekosistem hutan mangrove di Kabupatem

Sinjai sebesar Rp 338.265.080/ tahun. Nilai manfaat ekonomi total mangrove

sinjai Rp 13.723.844.080/ tahun atau Rp 22.816.656/ha.

Menurut Christy (2018) nilai total ekonomi ekosistem hutan mangrove di

Desa Kaliwlingi adalah sebesar Rp 12.912.098.100. Nilai guna langsung

didapatkan dari kegiatan penangkapan kepiting, tambak budidaya soka, pengepul


29

hasil tangkapan laut, pembuat garam rebus dan pembuat bandeng cabut duri. Nilai

total use value sebesar Rp 9.927.638.100 dan total non use value sebesar Rp

2.984.460.000. Nilai keberadaan di Desa Kaliwlingi sebesar Rp 2.245.720.000

dengan kemampuan membayar masyarakat untuk kerusakan hutan mangrove

sekitar Rp 230.000. Desa Sawojajar memiliki nilai total yang lebih besar

dibandingkan dengan desa Kaliwlingi karena memiliki 3 bangunan pantai yang

terdiri dari alat pemecah ombak, hybrid engeneering dan geotube. Nilai total

ekonomi di Desa Sawojajar adalah sebesar Rp 5.519.784.145.

Desa Pasar Banggi memiliki luasan ekosistem hutan mnagrove sebesar 14.88

ha. Nilai ekonomi total yang sebesar Rp 19.610.846.229/th terdiri dari manfaat

langsung sebesar Rp 889.649.579/th, manfaat tidak langsung sebesar Rp.

18.717.774.250/th. Potensi pemanfaatan langsung hutan mangrove di Desa Pasar

Banggi meliputi penjualan bibit mangrove yang memiliki dua jenis bibit yaitu,

bibit Rhizophora sp. dan Avicennia sp. untuk bibit Rhizophora sp. didapat nilai Rp

158.717.029.-/thn dan bibit Avicennia Rp 396.795.050.-/thn. Selain itu

penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan tradisional yang hidup di Desa

Pasar Banggi umumya menggunakan Pukat cincin (purse seine), Jaring insang

hanyut (drift gill net) bagi nelayan besar dan jaring dan alat pancing bagi nelayan

kecil. Nilai manfaat penangkapan ikan mencapai Rp 215.180.000.-/thn. Manfaat

pilihan sebesar Rp 2.053.440/th dan manfaat keberadaan sebesar Rp. 1.368.960/th

(Hanifa, 2013). Penelitian valuasi ekonomi mangrove di Indonesia dapat dilihat

pada Tabel 3.
30

Tabel 3. Road Map Penelitian Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di


Indonesia

No Lokasi Hasil Referensi


1. Desa Pasar Banggi, Nilai ekonomi total adalah sebesar Hanifa, 2013
Rembang Rp 19.610.846.229/tahun, terdiri
dari manfaat langsung sebesar Rp
889.649.579/tahun, manfaat tidak
langsung sebesar Rp
18.717.774.250/tahun.
2. Desa Pasar Ngalam, Nilai Total Ekonomi sebesar Rp Rospita et al.,
Kabupaten Seluma 719.805.999/tahun, yang terdiri 2017
dari nilai manfaat langung sebesar
Rp 328.692.000/tahun manfaat
tidak langsung sebesar Rp
386.291.010/tahun.
3. Tanjung Dudepo, Nilai ekonomi total adalah Simbala et al.,
Provinsi Sulawesi sebesar Rp 1.677.932.338/tahun. 2017
Utara Nilai manfaat langsung sebesar
Rp 822.165.000/tahun. Nilai
manfaat tidak langsung sebesar
Rp 453.792.178/tahun.
4. Desa Timbulsloko, Nilai total manfaat ekosistem Mayasari,
hutan mangrove adalah sebesar 2018
Demak Rp 12.703.693.939/tahun. Nilai
guna langsung merupakan nilai
tertinggi yaitu sebesar Rp
11.095.403.189/tahun.

5. Kabupaten Sinjai, Nilai manfaat ekonomi total Tahang, 2018


Provinsi Sulawesi sebesar Rp 13.723.844.080,- per
Selatan. tahun. Manfaat langsung sebesar
Rp 8.598.020.500/tahun. Nilai
manfaaat tidak langsung sebesar
Rp 448.000.000/tahun.

6. Desa Kaliwlingi dan Nilai total ekonomi ekosistem Christy, 2019


Sawojajar, hutan mangrove di Desa
Kabupaten Brebes Kaliwlingi adalah sebesar Rp
12.912.098.100/tahun. Nilai total
ekonomi di Desa Sawojajar
adalah sebesar Rp
5.519.784/tahun.

Anda mungkin juga menyukai