Anda di halaman 1dari 52

Modul Praktikum Lapangan (Fieldtrip)

EKOLOGI LAUT DAN ESTUARI

OLEH :

TIM EKOLATRI
LAB. BIOEKOLOGI KELAUTAN
JURUSAN ILMU KELAUTAN FMIPA UNSRI

JURUSAN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Kampus Universitas Sriwijaya Indralaya


Jl. Raya Palembang – Prabumulih,Inderalaya, Ogan Ilir (30662) S
Telp. 0711-580268, Fax. 0711-580056
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ekosistem pesisir dan laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif,
unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain menghasilkan
bahan dasar untuk pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga dan
industri yang dalam konteks ekonomi bernilai komersial tinggi, ekosistem pesisir
dan laut juga memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia
nutrien, sebagai tempat pemijahan, tempat pengasuhan dan tumbuh besar, serta
tempat mencari makanan bagi beragam biota laut. Di samping itu, ekosistem pesisir
dan laut berperan pula sebagai pelindung pantai atau penahan abrasi bagi wilayah
daratan yang berada di belakang ekosistem ini (Bengen, 2002).
Wilayah pesisir merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak
kegiatan manusia. Kemajuan industri yang begitu pesat telah menimbulkan masalah
yang serius bagi ekosistem pesisir, yaitu semakin menurunnya kualitas perairan
akibat jumlah bahan pencemar yang terus bertambah. Ekosistem perairan pesisir
merupakan ekosistem akuatik yang memiliki sifat fisika, kimia, dan biologi yang
khas, secara langsung dan tidak langsung meng-hasilkan adaptasi dan evolusi
terhadap organisme yang hidup di dalamnya. Eko-sistem perairan pesisir bersifat
dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang seragam serta saling berinteraksi
(Jaelani, 2006 dalam Patang, 2009).
Mangrove merupakan ekosistem yang spesifik karena mempunyai vegetasi
penyusun yang hampir seragam. Karena keadaan lingkungannya yang khas, seperti
adanya pasang surut air laut, perubahan salinitas yang besar, substrat yang
berlumpur tebal dan anaerob, maka hanya pohon-pohon tertentu yang mampu
beradaptasi dan tumbuh dengan baik sehingga tingkat keanekaragaman spesiesnya
rendah. Struktur mangrove merupakan deskripsi mengenai basal area, kerapatan,
dominasi, keragaman, diameter, tinggi dan zonasi vegetasi pada komunitas
mangrove (Smith, 1992). Kerapatan adalah jumlah total individu dalam satu spesies
per unit area sampling, sedangkan dominasi adalah ukuran yang dihitung dari basal
area per unit (Chapman, 1984 dalam Setiawan, 2001).
Hutan mangrove merupakan ekosistem yang bervariasi dalam komposisi
tumbuhan, struktur hutan dan laju pertumbuhan, serta memiliki nilai ekologis dan

1
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

nilai ekonomis yang penting. Menurut Tomlinson (1994) bervariasinya lingkungan


mangrove antara satu sama lain terkadang menimbulkan kesulitan untuk melihat
keterkaitan secara konsisten antara spesies vegetasi mangrove dengan faktor
ekologi di sekitarnya.
Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem laut dangkal yang
mempunyai peranan penting dalam kehidupan berbagai biota laut serta merupakan
salah satu ekosistem bahari yang paling produktif. Ekosistem lamun daerah tropis
dikenal tinggi produktivitasnya namun mempunyai kandungan zat hara yang rendah
dalam air permukaan dan tinggi dalam air pori sedimen. Kunci utama untuk
mengetahui fungsi sistem lamun terletak pada pemahaman faktor yang mengatur
produksi dan dekomposisi bahan organik. Pertumbuhan, morfologi, kelimpahan dan
produksi primer lamun pada suatu perairan umumnya ditentukan oleh ketersediaan
zat hara fosfat, nitrat dan amonium yang memainkan peranan penting dalam
menentukan fungsi padang lamun (Erftemeijer 1992; Patriquin1992).
Ketersediaan nutrien di perairan padang lamun dapat berperan sebagai
faktor pembatas pertumbuhannya (Hillman et al, 1989; Moriarty & Boon 1989;
Hemminga et al, 1991; Erftemeijer 1992; Erftemeijer et al, 1994), Berkenaan
dengan hal tersebut, salah satu faktor yang juga dapat mempengaruhi pertumbuhan
dari padang lamun (seagrass) adalah faktor fisis dan kimia. Air laut merupakan
campuran dari 96,5% air murni dan 3,5% material lainnya seperti garam-garaman,
gas-gas terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak terlarut. Sifat-sifat
fisis utama air laut ditentukan oleh 96,5% air murni. Garam- garam tersebut berasal
dari hasil erosi batu-batuan yang diangkut oleh sungai dan telah berlangsung dalam
kurun waktu yang sangat lama. Beberapa senyawa lain terutama yang berupa gas
berasal dari makhluk hidup yang ada didalamnya termasuk unsur oksigen dan
nitrogen.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui struktur vegetasi mangrove yang meliputi: Kerapatan jenis,
frekuensi jenis, luas area penutupan, dan nilai penting jenis vegetasi
mangrove yang ada di Pulau Pahawang, Provinsi Lampung.

2
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

2. Mengetahui struktur vegetasi lamun yang meliputi: jenis, kelimpahan,


dan biomassa lamun yang ada di Pulau Pahawang, Provinsi Lampung.
3. Mengidentitikasi dan mendeskripsikan mengidentifikasi dan
mendeskripsikan jenis-jenis flora dan fauna yang terdapat pada ekosistem
mangrove dan padang lamun.

4. Mengetahui pola zonasi mangrove dan lamun di di Pulau Pahawang,


Provinsi Lampung.

5. Mengetahui kadar/nilai parameter fisika-kimia pada ekosistem


mangrove dan lamun di Pulau Pahawang, Provinsi Lampung.
6. Mempelajari interaksi atau hubungan sederhana antara parameter fisika-
kimia tersebut dengan komponen biotiknya mangrove dan padang lamun
7. Mengetahui indeks lingkungan yaitu indeks keanekaragaman, indeks
keseragaman dan indeks dominansi.
8. Mengetahui jenis-jenis bentos yang berada di perairan dan biota yang
termasuk makrozoobentos ( lokasi transek magrove)
9. Mengetahui, teknik pengambilan sampel, cara mengindentifikasi
plankton kelimpahan plankton

3
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Lamun


Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang hidup terendam
dalam kolom air dan berkembang dengan baik diperairan laut dangkal dan estuari.
Tumbuhan lamun terdiri dari daun dan seludang, batang menjalar yang biasanya
disebut rimpang (rhizome), dan akar yang tumbuh pada bagian rimpang (Gambar
1). Di Indonesia terdapat 13 jenis lamun yang tersebar d hampir seluruh perairan
Indonesia, dengan perkiraan luas 30.000 Km2 (Nienhuis, 1993; Kuo, 2007).

Gambar 1. Ilustrasi Lamun


Satu jenis lamun atau beberapa jenis lamun umumnya membentuk
hamparan luas yang disebut Komunitas Padang Lamun. Kemudian, komunitas
padang lamun berinteraksi dengan biota yang hidup didalamnya dan dengan
lingkungan sekitarnya membentuk Ekosistem Padang Lamun. Beberapa jenis biota
yang hidup di padang lamun adalah ikan baronang, rajungan, berbagai jenis karang,
dsb. Adapun lingkungan sekitar padang lamun termasuk lingkungan perairan,
substrat di dasar perairan seperti pasir dan lumpur, dan udara (Nonji, et al., 2014).
Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi (Magnoliophyta) yang dapat
menyesuaikan diri hidup terbenam di laut dangkal (Wood et al., 1969 dalam

4
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

Susanti, et al., 2016). Faktor utama yang dapat membedakan lamun dengan jenis
tumbuhan lainnya, seperti rumput laut (seaweed) yaitu keberadaan bunga dan
buahnya yang tampak sangat jelas sehingga antara lamun dan rumput laut bisa
dibedakan dengan mudah (Nainggolan, 2011 dalam Susanti, et al., 2016).
Reproduksi dilakukan secara vegetatif dan seksual dimana bunga akan dibuahi
serbuk sari dengan bantuan arus air. Produktivitas lamun dibatasi terutama oleh
ketersediaan hara dan cahaya (Yunitha, et al., 2014).

Gambar 2. Ekosistem Padang Lamun


Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem laut dangkal yang
produktivitasnya tinggi serta memiliki peranan ekologi yang penting pada
ekosistem pesisir . Ekosistem lamun merupakan pondasi bagi sebuah ekosistem dan
sebagai produsen primer, dimana habitatnya seringkali sebagai wadah yang
mendukung kehidupan ikan-ikan dan krustasea muda (Yunitha, et al, 2014).
Ekosistem padang lamun memiliki peran penting dalam ekologi kawasan
pesisir, karena menjadi habitat berbagai biota laut termasuk menjadi tempat mencari
makan (feeding ground) bagi penyu hijau, dugong, ikan, echinodermata dan
gastropoda. Peran lain adalah menjadi penghalang (barrier) bagi ekosistem terumbu
karang dari ancaman sedimentasi yang berasal dari daratan (Poedjirahajoe et al.,
2013).

2.2 Ekosistem Mangrove


Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan untuk komunitas tumbuhan
yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut dan juga untuk

5
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.


Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan
individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas
tumbuhan tersebut. Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa kata mangrove
berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan
marga Avicennia dan masih digunakan sampai saat ini di Indonesia bagian timur
(Mastaller, 1997).
Hutan Mangrove terdiri atas berbagai kelompok tumbuhan seperti pohon,
semak, palmae, dan paku-pakuan yang beradaptasi terhadap habitat yang masih
dipengaruhi oleh pasang surut air laut between (Sugianto, 1995). Jenis-jenis tersebut
diklasifikasikan ke dalam famili Rhizophoraceae, Aviciniaceae, dan
Sonneratiaceae. Jenis-jenis asosiasi lainnya antara lain Xylocarpus granatum, X.
moluccensis, Lumnitzera sp., Phempis acidula, dan Exoecaria agallocha
(Sulistiyowati, 2009).

Gambar 3. Ekosistem Mangrove


Studi tentang struktur memberi gambaran mengenai fisiognomi suatu
komunitas mangrove (Tomlinson, 1994). Struktur mangrove berkembang dan
bervariasi pada satu area dengan area lainnya, keadaan ini antara lain terjadi karena
adanya interaksi dari masing-masing spesies terhadap faktor-faktor ekologi di
sekitarnya.

6
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

Komunitas mangrove hidup di lingkungan yang rawan (stressed ecosystem).


Kerawanan lingkungan tersebut, menurut Logo (1980) antara lain, berupa :
(1) salinitas tanah tinggi, sehingga memerlukan suplai air tawar yang
banyak.
(2) Arus pasang surut, menyebabkan banyak terkumpulnya sampah dan
organik terlarut
(3) Melintasi daratan, run off, badai pasang, dan gelombang, menyebabkan
erosi
(4) Badai menghancurkan system di daerah mangrove.
Habitat yang khusus ini diadaptasi oleh mangrove dengan memiliki bentuk
sistem perakaran yang unik. Setiap genus atau bahkan spesies mempunyai bentuk
perakaran yang khas. Sonneratia dan Avicennia mempunyai akar horizontal yang
dilengkapi pneumatofor yang berbentuk pasak. Bruguiera dan Lumnitzera berakar
lutut, Rhizopora berakar tunjang, Xylocarpus mempunyai akar horizontal dengan
pneumatofor yang membentuk kerucut atau penebalan akar dari bagian atas,
sedangkan jenis Ceriops tidak mempunyai perakaran khusus dan bagian bawah
batang mempunyai lentisel yang besar (Van Steenis, 1978 dalam Ulqodry, 2001).
Menurut Kennish (1990) bentuk akar dan pneumatofor ini memungkinkan
mangrove memperoleh oksigen di tengah kondisi habitatnya yang anoksik.
(kekurangan oksigen). Selain itu akar mangrove juga berfungsi sebagai pengumpul
sedimen, membentuk lahan, mengurangi tekanan akibat erosi danmelindungi garis
pantai dari badai yang menghancurkan.
Beberapa jenis mangrove mengembangkan sistem untuk menghadapi
kondisi salinitas tinggi, seperti organ pengeluaran khusus yang disebut kelenjar
garam. Avicennia, Aegiceras, Acanthus dan Aegialitis mengontrol keseimbangan
garamnya melalui kelenjar garam (Tomlinson, 1994). Kelenjar garam berada pada
permukaan daun, sehingga kadang-kadang kita dapat menjumpai kristal-kristal
garam di atas permukaan daun.
Untuk spesies lain seperti Rhizopora, Bruguiera, Ceriops, Sonneratia dan
Lumnitzera mengontrol keseimbangan garamnya dengan cara melepaskan daun-
daun tua yang telah terakumulasi oleh garam, atau dengan menggunakan tekanan
osmotik pada akar.

7
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

Semua faktor-faktor yang diterangkan di atas memberikan pengaruh


terhadap seluruh organisme yang hidup di hutan mangrove. Organisme yang tahan
terhadap faktor-faktor tersebut akan survive, sedangkan yang tidak tahan akan mati.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka dikenal adanya zonasi komunitas mangrove,
yang umumnya menunjukkan spesies mangrove yang dominan pada ekosistem
mangrove.
Penyebaran vegetasi mangrove ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan,
salah satu diantaranya salinitas. Berdasarkan salinitas dikenal zonasi hutan
mangrove sebagai berikut (De Haan, 1968 dalam Bengen, 2001):
A. Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air
pasang berkisar antara 10 – 30 ‰.
1. Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam
sebulan. Ditemukan spesies yang masih dapat tumbuh adalah
Rhizophora mucronata.
2. Area yang terendam 10 – 19 kali perbulan. Ditemukan Avicennia (A.
Alba dan A.marina), Sonneratia sp. dan dominan Rhizophora sp.
3. Area yang terendam kurang dari sembilan kali setiap bulan.
Ditemukan Rhizophora sp. dan Bruguiera sp.
4. Area yang terendam hanya beberapa hari dalam setahun. Bruguiera
Gymnirrhiza dominan, dan Rhizophora apiculata masih dapat hidup.
B. Zona air tawar hingga air payau, dimana salinitas antara 10 – 30 ‰.
1. Area yang kurang lebih masih di bawah pengaruh pasang surut.
Ditemui asosiasi Nypa.
2. Area yang terendam secara musiman. Dominan adalah Hibiscus.
Berikut ini adalah salah satu tipe zonasi hutan mangrove (yang
ditemukan di Indonesia), dari arah laut ke darat, yakni:
 Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir,
sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasanya berasosiasi
dengan Sonneratia spp. Sonneratia biasa tumbuh pada lumpur dalam
yang kaya bahan organik.

8
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

 Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh


Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan
Xylocarpus spp.
 Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
 Selanjutnya terdapat zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan
dataran rendah yang biasanya ditumbuhi oleh nipa (Nypa fruticans) dan
pandan laut (Pandanus spp.).

2.3 Parameter Fisika-Kimia


2.3.1 Parameter Fisika-Kimia Padang Lamun
Sebaran dan pertumbuhan lamun ditentukan oleh berbagai faktor kualitas air
seperti suhu, salinitas, ketersediaan nutrien, karakteristik dasar perairan, kekeruhan/
kecerahan dan iradiasi matahari. Telah diketahui bahwa ketersediaan nutrien
mempengaruhi pertumbuhan, sebaran, morfologi dan daur musiman komunitas
lamun. Sementara itu, lamun juga tergantung padan tingkat kecerahan air tertentu
agar dapat melakukan proses fotosintesis.
Peningkatan kekeruhan dan sedimentasi memberikan dampak menurunnya
kesehatan dan produktivitas lamun. Parameter kualitas air laut merupakan faktor
penting bagi kelangsungan hidup tumbuhan lamun. Parameter kualitas air laut yang
diukur meliputi suhu, kecepatan arus, kecerahan, salinitas, pH dan oksegen terlarut.
Suhu air merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan
lamun. Untuk pertumbuhan lamun suhu air berkisar antara 28 – 30oC (Zimmerman
et al, 1987; Phillips & Menez 1988; Nybakken 1993).
Kecerahan perairan juga sangat menentukan terhadap kelangsungan
pertumbuhan lamun. Rendahnya nilai kecerahan diakibatkan karena masuknya
partikel-partikel tersuspensi dari sungai sehingga menghalangi kemampuan cahaya
matahari untuk menembus perairan. Kecerahan tersebut dipengaruhi oleh substrat
dasar perairan, karena substrat yang halus cenderung mempunyai nilai kecerahan
yang rendah. Sedangkan tingkat kecerahan untuk pertumbuhan lamun > 3m, apa bila
tingkat kecerahan perairan dibawah kisaran tersebut maka proses fotosintesis pada
padang lamun akan semakin kecil.
Pertumbuhan lamun membutuhkan salinitas optimum berkisar 24-35 ‰
(Hillman & McComb dalam Hillman et al, 1989). Pada umumnya salinitas di

9
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

perairan pesisir selalu berfluktuasi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara
lain pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nybakken 1993).
Lamun mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan temperatur.
Kemampuan proses fotosintesis akan menurun dengan tajam apabila temperatur
perairan berada di luar kisaran optimal. Spesies lamun memiliki kemampuan
toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas. Salah satu faktor yang menyebabkan
kerusakan ekosistem padang lamun adalah meningkatknya salinitas yang
diakibatkan oleh berkurangnya suplai air tawar dari sungai.
Nilai derajat keasaman (pH) optimum untuk pertumbuhan lamun berkisar
7,3-9,0 (Phillips dalam Burrell & Schubell (1977). Derajat keasaman (pH) perairan
sangat dipengaruhi oleh dekomposisi tanah dan dasar perairan serta keadaan
lingkungan sekitarnya. Nilai kandungan oksigen terlarut (DO) perairan padang
lamun selalu berfluktuasi. Berfluktuasinya kandungan oksigen terlarut di suatu
perairan diduga disebabkan pemakaian oksigen terlarut oleh lamun untuk respirasi
akar dan rimpang, respirasi biota air dan pemakaian oleh bakteri nitrifikasi dalam
proses siklus nitrogen di padang lamun.
Sebagaimana ekosistem pesisir lainnya, padang lamun memiliki faktor-
faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi serta tumbuh dan berkembangnya.
Faktor-faktor pembatas ekosistem padang lamun adalah: karbon (CO2 dan HCO3-
), cahaya, temperatur, salinitas, pergerakan air, dan nutrien. Dahuri (2003), kisaran
temperatur optimal bagi spesies lamun 28-30 0C, salinitas 10-400/00 optimal
350/00, & kecepatan arus 0.5 m/detik, Bengen (2003).
Kandungan fosfat berkaitan dengan keberadaan sediment dalam
pertumbuhan lamun karena fosfat dalam sedimen adalah sumber utama untuk
pertumbuhan lamun. Fosfat diambil oleh akar lamun kemudian dialirkan ke daun
dan kemudian dipindahkan ke perairan sekitarnya (McRoy et al, 1982; Brix &
Lyngby 1985; Penhale & Thayer dalam Moriarty & Boon 1989). Lamun
mempunyai kemampuan mengambil nutrisi melalui daun dan akarnya (Erftemeijer
1992 & 1993; Perez-Llorenz et al, 1993) dan dikatakan juga bahwa di daerah tropis
pengambilan nutrisi oleh daun sangat kecil bila dibandingkan dengan pengambilan
melalui akar.
Sedimen merupakan tempat sumber utama untuk mendapatkan nutrisi,
karena dalam sedimen mengandung kadar nutrisi yang lebih tinggi, sementara air
permukaannya umumnya mempunyai kadar nutrisi yang rendah (Erftemeijer

10
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

1993; Udy & Dennison 1996). Penelitian tentang siklus zat hara telah dilakukan di
Moreton Bay oleh Iizumi et al, (1982) McRoy et al, dalam Short (1987) melalui
penelitian pengikatan fosfat oleh lamun dengan menggunakan teknik perunut
32PO4.
Konsentrasi nitrat dan nitrit sangat rendah di sedimen dibandingkan
amonium. Rendahnya kandungan nitrat dan nitrit diduga disebabkan kecepatan
penggunaan oleh bakteri denitrifikasi dan bakteri anaerob. Iizumi et al, (1982)
melalui penelitian penyerapan kinetik nitrogen, menyimpulkan bahwa nitrogen
(amonium) untuk pertumbuhan lamun didapatkan lebih banyak berasal dari
sedimen sementara untuk nitrat lebih banyak diambil dari air permukaan.
Oksigen mempengaruhi kadar nitrat di dalam sedimen. Oksigen dapatmasuk
ke dalam sedimen karena adanya aktivitas biota dasar dan melalui sistem perakaran
lamun. Oksigen yang dihasilkan fotosintesis di daun dialirkan ke rimpang dan akar
melalui lakunanya. Sebagian oksigen ini dipakai untuk respirasi akar dan rimpang
dan sisanya dikeluarkan melalui dinding sel ke sedimen. Oksigen yang masuk ke
dalam sedimen tersebut dipakai oleh bakteribakteri nitrifikasi dalam proses siklus
nitrogen (Iizumi et al, 1980).

2.3.2 Parameter Fisika-Kimia Mangrove


Menurut beberapa peneliti ada banyak faktor lingkungan yang
mempengaruhi keberadaan mangrove, beberapa diantaranya adalah:
1. Iklim (Suhu Udara)
Iklim menjadi faktor yang antara lain mempengaruhi distribusi
mangrove secara geografis (Blasco, 1984). Vegetasi mangrove ditemukan
terutama antara 320 LU hingga 380 LS pesisir tropis dan subtropis meliputi
wilayah Afrika, Asia, Australia dan Amerika. Kelimpahan spesies mangrove
menurun seiring dengan bertambahnya derajat lintang (Tomlinson, 1994).
Blasco menduga suhu udara merupakan faktor utama yang mempengaruhi
distribusi spesies secara geografis.
Mangrove tumbuh dengan subur di daerah tropis pada suhu udara lebih
dari 20 C dan kisaran suhu udara musiman kurang dari 50 C (Kennish, 1990).
0

Selanjutnya menurut Chapman (1984) jenis Avicennia (A. marina, A. Africa


dan A. germinans) lebih mampu mentoleransi kisaran suhu udara.
2. Salinitas

11
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

Salinitas pada substrat dasar mangrove merupakan fungsi dari


penguapan, rembesan di bawah tanah, aliran dari daratan, hujan local dan
pasang surut. Karena faktor-faktor tersebut bervariasi di berbagai daerah,maka
fluktuasi salinitas pada substrat mangrove sangat nyata. Pertumbuhan
mangrove dipengaruhi oleh salinitas sediment dan dibatasi oleh sifat
hipersalinnya. Namun demikian mangrove mendiami daerah pantai dengan
kisaran salinitas yang besar (Kennish, 1990). Lebih lanjut Clarke dan Hannon
(1971) menyatakan bahwa salinitas memberi pengaruh terhadap zonasi
mangrove.
3. Substrat
Mangrove dapat tumbuh dengan baik pada substrat berupa pasir,
Lumpur dan batu karang. Tetapi yang paling banyak ditemukan pada substrat
berlumpur yaitu di delta-delta, laguna, teluk dan estuaria (Chapman, 1984).
Selain tekstur substrat, di dalam pengamatan karakteristik lingkungan
mangrove juga perlu dilakukan pengamatan terhadap kadar pH dan Eh substrat
serta kandungan nutrien/bahan organiknya.
4. Pasang Surut
Area mangrove secara periodik tergenang oleh pasang. Perbedaan
penggenangan pasang adalah parameter yang mempengaruhi beberapa
parameter lainnya, antara lain salinitas, tekstur sediment dan nutrient dalam
sediment.
Komunitas mangrove akan lebih luas penyebarannya pada daerah
landai dengan kisaran pasang surut besar (Kennish, 1990). Sedangkan menurut
Chapman (1984) penetrasi pasang ke arah daratan akan memungkinkan
mangrove tumbuh lebih jauh ke darat. Gerakan pasang surut akan membawa
benih mangrove, menyuplai O2 dan nutrien bagi mangrove.
5. Arus laut dan gelombang
Distribusi mangrove dipengaruhi oleh arus laut yang berperan dalam
membawa benih atau semaian mangrove. Sedangkan aksi gelombang yang
besar dapat merusak benih-benih mangrove yang akar-akarnya belum kuat
tertanam. Oleh sebab itu mangrove hanya dapat tumbuh dengan baik di pantai-
pantai yang terlindung dari aksi gelombang.
Faktor-faktor lingkungan di atas pada dasarnya merupakan parameter fisika-
kimia (komponen abiotik) ekosistem mangrove yang merupakan wadah

12
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

ataupun hal-hal yang mempengaruhi kehidupan organisme (komponen biotik)pada


ekosistem manghrove, baik mangrove sendiri ataupun biota lain yang terdapat di
dalamnya. Beberapa faktor fisik dalam ekosistem perairan (termasuk di dalamnya
mangrove) antara lain: suhu, kedalaman, kecerahan, warna, arus, dan kekeruhan.
Sedangkan faktor kimianya anatara lain: salinitas, pH, oksigen terlarut,nitrat dan
fosfat.

13
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum lapangan dilaksanakan pada tanggal 21 – 23 Maret 2022 di
Pulau Pahawang, Provinsi Lampung.

3.2 Alat dan Bahan


Alat dan Bahan yang digunakan untuk pengamatan komunitas lamun,
mangrove dan parameter fisika-kimia disajikan pada Tabel 1-3.
Tabel 1. Alat yang digunakan untuk pengamatan lamun
Alat Fungsi
Roll Meter Menentukan jarak stasiun dan transek kuadrat
Transek Kuadrat Mengamati jenis, tutupan dan tegakan lamun
(0.5x0.5 m)
GPS Menentukan kordinat setiap stasiun pengamatan.
Kamera Dokumentasi
Pipa grab Mengambil substrat / sedimen
Plastik Klip Tempat sampel lamun dan sedimen
Buku Identifikasi Lamun Mendeterminasi jenis tumbuhan lamun
Data sheets pengamatan Tempat pencatatan data
Kantong plastik yang Pembuatan koleksi vegetasi (herbarium) bagi
porous dan kertas Koran keperluan analisis laboratorium
Label dan alat-alat tulis Pencatatan data
(pensil, spidol) yang tahan
air (sabak)

Timbangan Mengukur berat sedimen dan biomassa

Tabel 2. Alat yang digunakan untuk pengamatan mangrove


Alat Fungsi
Kompas Menentukan arah transek garis
Rol Meter / tali dari bahan Pedoman dalam pembuatan transek garis (line
plastik/fibreglass sepanjang transek)
100 m

Tali Rapia Membuat transek garis dan petak contoh (plot)


Meteran Jahit Pengukuran lingkaran pohon
Gunting atau pisau Memotong ranting dan cabang tumbuhan
pemotong
Kantong plastik yang porous Pembuatan koleksi vegetasi (herbarium) bagi
dan kertas koran keperluan analisis laboratorium
Label dan alat-alat tulis Pencatatan data
(pensil, spidol) yang tahan
air (sabak)

GPS Menentukan kordinat setiap stasiun pengamatan.

14
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

Tabel 3. Alat yang digunakan untuk Pengamatan Parameter Kimia-Fisika


Alat Fungsi
Kimia
Repraktrometer Mengukur Salinitas Prairan
pH meter Mengukur pH perairan
DO Mengukur oksigen terlarut
Fisika
Thermometer Mengukur Suhu Perairan (kita gunakan suhu pada DO
meter saja)
Floating drag Mengukur Arus
Alat tulis dan Sabak Mencatat hasil pengamatan
GPS Menentukan posisi setiap stasiun pengamatan.
Secchi disk Mengukur Kecerahan
Pipa grab Mengambil substrat / sedimen
Papan Berskala Mengukur kedalaman

Bahan yang digunakan untuk pengamatan serta herbarium tumbuhan


lamun dan mangrove disajikan pada Tabel 4 dan 5.

Tabel 4. Bahan dilaboratorum Bahan Fungsi


Alkohol 70% Pengawet herbarium
Kertas padi Pembuatan herbarium
Lakban hitam Merekatkan herbarium

Tabel 5. Bahan untuk dilab buat herbarium


Bahan Fungsi
Kertas padi Pembuatan herbarium
Lakban hitam Merekatkan herbarium

15
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

3.3 Prosedur Kerja


3.3.1 Pengamatan Ekosistem Padang Lamun
Prosedur kerja pengukuran ekosistem padang lamun ini merujuk pada
Susanti, et al., (2016) dan Nonji, et al (2014) termodifikasi dengan langkah- langkah
sebagai berikut :
Metode yang digunakan dalam praktikum ini yaitu Purposive Random
Sampling yaitu dengan membuat garis transek dan kuadrat 0.5 x 0.5 m². Transek
yang dibuat dengan panjang yaitu 100 m. Pada setiap garis transek dibuat 3 titik plot
dengan jarak masing-masing plot 50 m untuk meletakkan kuadrat 0.5 x 0.5 m². Jadi
total seluruh plot pada 1 transek adalah 3 titik/plot kuadrat. Pengambilan sampel
dan data lamun dilakukan dengan menggunakan metode transek kuadrat. Kuadrat
0.5 x 0.5 m² mempunyai petak kecil berukuran 10cmx10cm sehingga di dalam
kuadrat 0.5 x 0.5 m² terdapat 25 petak kecil. Transek dan kuadran disajikan pada
Gambar 4 (Susanti, et al., 2016).

A
0m 50m 100m

Gambar 4. Transek dan Kuadran. A). Transek 100m (1=50m); B). Kuadran 0.5 x
0.5 m² (1 petak kecil = 10 cm x 10 cm)

Penilaian Kategori Penutupan Lamun dan jenis lamun dalam Kotak Kecil
Penyusun Kuadrat 50 x 50 cm2. Sebagai Berikut :

Kategori Nilai Tutupan Lamun


Tutupan Penuh 100
Tututpan ¾ Kotak Kecil 75
Tutupan ½ Kotak Kecil 50
Tutuppan ¼ Kotak Kecil 25
Kosong 0
Sumber : Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, 2014
16
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

Pengambilan data dilakukan pada transek dengan panjang 100 m. Frame


kuadrat diletakkan di sisi kanan transek dengan jarak antara kuadrat satu dengan
yang lainnya adalah 50 m sehingga total kuadrat pada setiap transek adalah 3
(Gambar 4A). Titik awal transek diletakkan pada jarak 5 – 10 m dari kali pertama
lamun dijumpai (dari arah pantai). Tentukan posisi transek dan catat koordinat
(Latitude dan Longitude) serta kode di GPS pada lembar kerja lapangan. Titik ini
merupakan titik awal transek 1 dan meter ke-0 (Nonji. et al, 2014).

Tandai titik awal transek dengan tanda permanen seperti patok besi yang
dipasangi pelampung kecil, serta keramik putih agar mudah menemukan titik awal
transek. Buat transek dengan menarik roll meter sepanjang 100 meter ke arah tubir.
Pengamat yang lain mengamati pembuatan transek agar transek lurus. Tempatkan
kuadrat 50 x 50 cm2 pada titik 0 m, disebelah kanan transek. Foto keseluruhan
kuadran menggunakan kamera. Ambil keseluruhan lamun didalam kuadran 50 x 50
cm2. Pilah lamun dengan membedakan jenis dari lamun yang berada dalam
kuadran.
Bersihkan lamun dari kotoran yang menempel. Timbang dan hitung
biomassa basah dari lamun perjenis dan identifikasi menggunakan buku identifikasi
lamun karangan. Lamun diambil dengan jenis berbeda untuk diidentifikasi lebih
lanjut. Setiap contoh lamun dipisahkan antara daun, rimpang dan akar, kemudian
ditimbang. Biasa juga daun laum dipisahkan dengan seludangnya serta rimpang
dengan akarnya. Semua contoh lamun dikeringkan dengan memasukkan ke dalam
oven pada temperatus tetap 60° C selama 24 jam,kemudian ditimbang untuk
mengetahui berat kering. Amati karakteristik substrat secara visual dan ambil
sebayak 2 kg. Karakteristik substrat dibagi menjadi: berlumpur, berpasir, Rubble
(pecahan karang) (Nonji et al, 2014).

17
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

3.3.2 Pengamatan Ekosistem Mangrove


Studi struktur dan komposisi vegetasi mangrove dilakukan dengan
menggunakan metoda plot transek garis (Mueller-Dumbois dan Ellenberg, 1974).
Metoda ini memberi gambaran mengenai struktur dan komposisi vegetasi mangrove
yang terdapat dalam satu plot vegetasi (English et al, 1994).
Lokasi yang digunakan untuk pengamatan vegetasi mangrove harus
mewakili wilayah kajian, dan juga harus dapat mengindikasikan atau mewakili
setiap zona hutan mangrove yang terdapat di wilayah kajian. Pada setiap setiap
lokasi ditentukan stasiun-stasiun pengamatan secara konseptual berdasarkan
keterwakilan lokasi kajian.
Jika stasiun-stasiun pengamatan telah ditentukan, selanjutnya ditetapkan
transek-transek garis dari arah laut ke arah darat (tegak lurus garis pantai sepanjang
zonasi hutan mangrove) di daerah intertidal. Pada setiap zona hutan mangrove yang
berada di sepanjang transek garis, diletakkan secara acak petak petak contoh (plot)
berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10x10 m sebanyak paling kurang tiga petak
contoh (Bengen, 2001). Contoh stasiun pengamatandengan transek garis dan petak
contohnya dapat di lih at pada Gambar 5 berikut:

Gambar 5. Contoh transek garis dan petak contoh (plot). 1). Contoh transek garis
dan petak contoh (plot) pengukuran vegetasi mangrove pada setiap zona dari
pinggir laut ke arah darat (Bengen, 2001); 2). Petak pengukuran vegetasi.
A). Petak pengamatan semai (1m x 1m) tinggi < 1 m ;B). Petakan
pengamatan anakan (5m x 5m) diameter < 4 cm Tinggi > 1 m C). Petak
pengamatan Pohon (10m x 10m) diameter > 4 cm

18
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

A B C

Gambar 6. Mangrove. A). Semai ; B). Anakan C). Pohon

Pada setiap petak contoh yang telah ditentukan, determinasi setiap jenis
tumbuhan mangrove yang ada. Selain itu lakukan pengukuran jumlah individu
setiap jenis dan lingkar diameter batang pohon. Pengukuran lingkar diameterbatang
dilakukan setinggi dada (DBH = Diameter Breast High) atau sekitar 1.3 m dari
permukaan tanah (English et al., 1994). Bagi pohon yang mempunyai akar banir
dan akar tunjang, pengukuran dilakukan tepat di atas banir dan pangkal akar tunjang
(Gambar 7).

Gambar 7. Pengukuran lingkaran pohon. A). Pengukuran lingkaran pohon setinggi


dada; B). Prosedur pengukuran lingkaran pohon pada berbagai bentuk
pertumbuhan (English et al., 1994).
Catat data jenis tumbuhan, jumlah individu dan DBH tiap jenis tumbuhan
mangrove ke dalam Tabel Form Mangrove pada tiap transek dan per plotnya (lihat
Lampiran 2.). Dalam pencatatan data di atas jangan lupa memisahkan antara
tumbuhan mangrove yang tergolong “pohon”, “anakan”, atau “semai”. Apabila
belum diketahui nama jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan, potonglah bagian
ranting yang lengkap dengan daunnya, dan bila mungkin diambil pula bunga dan
buahnya. Bagian tumbuhan tersebut selanjutnya dipisahkan

19
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

berdasarkan jenisnya dan dimasukkan ke dalam kantong plastik atau dibuatkan


koleksinya (herbarium) serta berikan label dengan keterangan yang sesuai dengan
yang tercantum pada Tabel Form Mangrove untuk masing-masing koleksi.

3.3.3 Pengamatan Parameter Fisika-Kimia


3.3.3.1 Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Padang Lamun
Pengukuran Parameter Fisika-Kimia lamun merujuk pada Tri, et al (2016)
termodifikasi dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Pengukuran parameter kondisi Fisika-Kimia ekosistem padang lamun
meliputi pengambilan data Beberapa faktor fisik dalam ekosistem perairan
ekosistem lamun antara lain: suhu, kedalaman, kecerahan, arus, dan substrat.
Sedangkan faktor kimianya anatara lain: salinitas, pH dan oksigen terlarut
Pada pengukuran salinitas akan diukur dengan menggunakan alat berupa
refraktometer dengan cara meneteskan air yang diambil dari lokasi praktikum
lamun pada refraktometer, kemudian dicatat berapa salinitasnya. Untuk pengukuran
suhu diukur dengan menggunakan alat berupa termometer yang nantinya berfungsi
untuk mengukur kondisi suhu sedimen maupun suhu perairan pada lokasi
praktikum. Arus menggunakan
Pada pengukuran Derajat keasaman (pH) digunakan alat berupa kertas
lakmus dengan cara mencelupkan kertas lakmus tersebut pada air dan sedimen
lokasi praktikum. Kedalaman menggunakan papan berskala, diletakkan dekat
transek kemudian lihat skalanya. Kecerahan menggunakan alat secchie disk dengan
cara mencelupkan kedalam perairan sampai buram disknya, lalu turunkan sampai
dasar dan naikan lagi sampai kelihatan. Oksigen terlarut menggunakan DO meter
yang bias langsung dilihat pada display setelah dimasukannya sensor DO meter ke
dalam air dan sedimen.
Sedangkan untuk parameter lingkungan padang lamun yang terakhir adalah
substrat, dimana pengukuran substrat ini dilakukan dengan melihat secara visual
(langsung) bagaimana keadaan substrat yang ada pada lokasi praktikum dan juga
mengambil sampel sedimen sebanyak 2kg untuk analisis laboratorium. Pengukuran
paramater lingkungan padang lamun ini dilakukan pada seluruh transek dan kuadran
yang ada di lokasi praktikum lamun.

20
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

3.3.3.2 Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Mangrove


Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Mangrove dirujuk dari English et al
(1994) dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Pada dasarnya pengamatan parameter fisika-kimia ekosistem mangrove
merupakan satu kesatuan dengan pengamatan/monitoring struktur ekosistem
mangrove, sehingga posisi stasiun pengamatannya juga sama. Pada setiap plot yang
ada dari tiap transek dilakukan pengukuran parameter fisika-kimianya, serta diambil
juga contoh air dan substrat dari tiap plot contoh. Prosedur pengamatan parameter
tersebut secara singkat dapat dilihat pada Tabel 6 berikut:
Tabel 6. Prosedur pengamatan Parameter Fisika-Kimia Lingkungan Mangrove
No Jenis Prosedur Analisis Data
Pengamatan
I. Fisika
1 Suhu udara  Acungkan termometer air raksa ke Hitung rata-
udara selama + 1 menit rata suhu hasil
 Catat suhu yang tertera pada skala pengamatan
thermometer (0C)
 Ulang sebanyak tiga kali pada titik
pengamatan yang berbeda

2 Suhu perairan  Masukkan sensor termometer dijital Hitung rata-


ke dalam perairan + 5 menit rata suhu hasil
 Catat suhu yang tertera pada layar pengamatan
thermometer (0C)
 Ulang sebanyak tiga kali pada titik
pengamatan yang berbeda

3 Kedalaman  Pancangkan tongkat berskala pada Hitung rata-


dasar perairan rata kedalaman
 Catat kedalaman sesuai dengan skala (m)
yang tertera pada tongkat skala
 Ulang sebanyak tiga kali pada titik
pengamatan yang berbeda

4 Kecerahan  Masukkan secchi disk ke dalam Hitung rata-


perairan secara perlahan-lahan rata kecerahan
 Catat kedalaman saat secchi mulai (m)
tidak tampak secara visual.
 Ulang sebanyak tiga kali pada titik
pengamatan yang berbeda

21
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

5 Arus  Tentukan jarak antar dua titik V=Jarak/waktu


(misalkan 5 meter) (m/det)
 Jatuhkan pelampung atau bola pada
titik awal (A1) dan biarkan sampai
pada titik akhir (A2)
 Catat perjalanan pelampung atau bola
dari A1 ke A2 dengan menggunakan
stopwatch atau jam dijital
 Ulang pada tiga titik pengamatan
yang telah ditentukan

6 Warna  Amati secara visual warna perairan -


 Catat apakah berwarna jernih, kuning,
biru, coklat dan lainnya

II. Kimia
1 Salinitas  tuangkan 1 tetes air ke Refraktometer Hitung rata-
 Amati nilai salinitas dengan rata salinitas
meneropongnya pada skala yang (%o)
tertera pada Refraktometer
 Catat nilai tersebut
 Ulang sebanyak tiga kali pada titik
pengamatan yang berbeda

2 pH  Masukkan kertas pH ke dalam Hitung rata-


perairan rata nilai pH air
 Setelah beberapa saat, keluarkan dari
perairan dan cocokkan dengan skala
warna yang terdapat pada kotak pH
 Catat nilai pH
 Jika menggunakan pH meter, maka
penggunaanya sama dengan
thermometer dijital atau turbidimeter
 Ulang sebanyak tiga kali pada titik
pengamatan yang berbeda

3 Oksigen  Masukkan sensor DO meter ke dalam Hitung rata-


terlarut (DO) perairan + 5 menit rata nilai
 Catat nilai DO yang tertera pada layar oksigen terlarut
DO meter (ppm)
 Jika penentuan DO dengan
menggunakan metode winkler, maka
sample air harus dianalisa di
laboratorium.
 Ulang sebanyak tiga kali pada titik
pengamatan yang berbeda

22
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

Selain pengamatan/pengukuran parameter fisika-kimia lingkungan


mangrove yang dilakukan langsung di lapangan (in situ), ada juga beberapa
parameter yang sebaiknya dianalisa di laboratorium, sehingga sampel air dan
substrat dari tiap plot contoh juga harus diambil.
Untuk air, yang akan dianalisa di laboratorium adalah kandungan nitrat
dan fosfatnya; sedangkan untuk substrat, akan dianalisa nilai pH substrat serta
analisa ukuran butir untuk menentukan tipe substratnya. Kadangkala oleh sebagian
ahli, untuk menentukan tipe substrat, juga bisa dilakukan secara visual apakah
berjenis Lumpur, pasir, pasir berlumpur dan lain-lain. Hasil pengukuran dan
pengamatan parameter fisika dan kimia di atas, langsung dirata-ratakan dan dicatat
dalam data sheet (lembar pengamatan), seperti tertera pada Lampiran 4.

3.3.4 Analisis Data


3.3.4.1 Analisis Data Lamun
Analisis data meliputi kerapatan jenis, penutupan jenis lamun dan
biomassa.
1. Kerapatan jenis
Kerapatan jenis dihitung dengan menggunakan persamaan yang dirujuk
dari Audy B., Gosari J., Haris A. (2012) sebagai berikut :
Ni
D=
A
Keterangan : D = Kerapatan jenis (tegakan/m2)
Ni = Jumlah tegakan jenis i (tegakan)
A = Luas daerah yang disampling (m2).

2. Kerapatan Relatif Jenis (RDi)


Kerapatan Relatif Jenis (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan jenis i
(ni) dan jumlah total tegakan seluruh jenis (Sn) Brower (1990):
RDi = (ni / Sn) x 100%

3. Perhitungan penutupan jenis lamun

23
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

Perhitungan penutupan jenis lamun pada tiap petak digunakan rumus yang
dirujuk dari Poedjirahajoe E., et al. (2013):
Σ (Mi x fi)
C=
Σ fi
Keterangan: C : persentase penutupan jenis lamun i
Mi : persentase titik tengah dari kelas kehadiran jenis lamun i
fi : banyaknya subpetak dengan kelas kehadiran jenis lamun i sama.
4. Biomassa lamun
Perhitung biomassa lamun digunakan rumus Phillips & Menez (1988):
B = Bb-Bk/B
(Wb x Wk)
B= 𝑥 100%
Wb
B = Biomassa lamun (berat dalam gram/m2)
Wb = berat basah dalam gram
Wk = berat kering dalam gram
A = luas area dalam m2

3.3.4.2 Analisis Data Mangrove


Data-data mengenai jenis pohon, jumlah tegakan dan diameter pohon yang
telah dicatat pada Tabel Form Mangrove, diolah lebih lanjut sesuai dengan metoda
yang diberikan oleh Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) yaitu meliputi:
Kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area penutupan, dan nilai penting jenis, yang
dijabarkan sebagai berikut:
1. Kerapatan Jenis atau Densitas (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam
suatu unit area :

Di = ni / A

di mana Di adalah kerapatan jenis i, ni adalah jumlah total tegakan dari


jenis i dan A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak
contoh/plot).

2. Kerapatan Relatif Jenis (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan


jenis i (ni) dan jumlah total tegakan seluruh jenis (n) :
RDi = (ni / n) x 100%

24
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

3. Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak


contoh/plot yang diamati :
Fi = pi / p

Di mana, Fi adalah frekuensi jenis i, pi adalah jumlah petak contoh/plot di


mana ditemukan jenis i, dan p adalah jumlah total petak contoh/plot yang
diamati.

4. Frekuensi Relatif Jenis (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis


i (Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (F) :

RFi = (Fi / F) x 100

5. Penutupan Jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis I dalam suatu unit area :

Ci = BA / A
Di mana, BA =  DBH2 / 4 (dalam cm2),  (3,1416) adalah suatu konstanta
dan DBH (Diameter Breast High) adalah diameter pohon dari jenis i, A
adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot).
DBH = CBH /  (dalam cm), CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada.

6. Penutupan Relatif Jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas area


penutupan jenis i (Ci) dan luas total area penutupan untuk seluruh jenis (C):

RCi = (Ci / C) x 100


7. Jumlah nilai Kerapatan Relatif Jenis (RDi) , Frekuensi Relatif Jenis (RFi)
dan Penutupan Relatif Jenis (RCi) menunjukkan Nilai Penting Jenis (IVi):

IVi = RDi + RFi + RCi

Nilai Penting suatu jenis berkisar antara 0 dan 300. Nilai Penting ini
memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis
tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove.
Sedangkan untuk melihat zonasi mangrove dari laut ke arah darat secara
sederhana, buatlah skema seperti pada Gambar 8.
Urutan zonasinya didasarkan pada spesies mangrove yang dominan.

25
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

Gambar 8. Contoh zonasi hutan mangrove dari laut ke arah daratan.

3.3.4.2 Analisis Indeks lingkungan Lamun dan Mangrove


Analisis indeks lingkungan lamun dan mangrove meliputi indeks
keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi.
1. Indeks keanekaragaman Shannon - Wiener (Shannon’s index) digunakan
untuk mengetahui keanekaragaman jenis di setiap tingkat pertumbuhan (Odum,
1993) dengan rumus sebagai berikut:
H ’= – Σ (pi ln pi); dengan pi = (ni / n)
Keterangan :
H ’ : Indeks keanekaragaman Shannon,
ni : jumlah individu suatu jenis ke–i
n : total jumlah individu dalam spesies.

2. Indeks keseragaman digunakan untuk mengetahui keseimbangan komunitas,


yaitu ukuran kesamaan jumlah individu antar species dalam suatu komunitas.
Semakin mirip jumlah individu antar species (semakin merata penyebarannya)
maka semakin besar derajat keseimbangan. Keseragaman dihitung dengan
menggunakan rumus Eveness Index (Magurran, 1988) yaitu:
E = H ‘/ ln (S)

Keterangan :
E : Indeks kemerataan untuk jenis

26
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

H’: Indeks Keanekaragaman


S : jumlah jenis yang dijumpai dalam PU.

3. Indeks dominansi (C) digunakan untuk mengetahui sejauh mana suatu kelompok
biota mendominansi kelompok lain. Dominansi yang cukup besar akan mengarah
pada komunitas yang labil maupun tertekan. Indeks dominansi dihitung
berdasarkan rumus index of dominance dari Simpson (Odum, 1993) yaitu:

C = Σ (pi)² ; pi = ni/N

Keterangan:
C : Indeks Dominansi;
ni : Jumlah individu ke-i ;

N : Jumlah total individu Semakin besar nilai indeks dominansi (C),


maka semakin besar pulakecenderungan adanya jenis tertentu yang
mendominasi.

27
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

BENTOS DAN MAKROZOOBENTOS

Bentos merupakan organisme yang hidup menetap di dasar perairan,


bersentuhan langsung dengan sedimen, sehingga berpotensi terpapar secara langsung
oleh zat pencemar seperti bahan organik serta logam berat. Bentos memiliki
distribusi yang luas, menempati posisi penting dalam rantai makanan, serta memiliki
respon yang cepat dibandingkan organisme tingkat tinggi lainnya sehingga dapat
digunakan sebagai indikator pencemaran lingkungan. Keanekaragaman bentos dapat
digunakan sebagai penentu kondisi suatu perairan.
Bentos merupakan organisme yang hidup menetap di dasar perairan,
bersentuhan langsung dengan sedimen, sehingga berpotensi terpapar secara langsung
oleh zat pencemar seperti bahan organik serta logam berat. Bentos memiliki
distribusi yang luas, menempati posisi penting dalam rantai makanan, serta memiliki
respon yang cepat dibandingkan organisme tingkat tinggi lainnya sehingga dapat
digunakan sebagai indikator pencemaran lingkungan. Keanekaragaman bentos dapat
digunakan sebagai penentu kondisi suatu perairan.

 Organisme bentos dibedakan menjadi :


a. Penggali pemakan deposit (deposit feeder) yang terdiri dari pemakan partikel-
partikel dalam sedimen (diatom, bakteri, meiofauna), sedimen berupa lumpur
lunak dengan kandungan bahan organik tinggi.
b. Pemakan suspensi (suspension feeder). substrat berupa pasir dengan kandungan
bahan organik lebih sedikit
c. Pembuat tabung, pemakan suspensi/pemakan deposit, umumnya ditemukan
dalam substrat lumpur/pasir.

 Berdasarkan ukuran, organisme bentos dibagi menjadi :


1) Makrofauna (makrobentos): hewan bentik dengan ukuran lebih dari sama
dengan 0,5 mm. Kelompok ini adalah hewan bentos yang terbesar, jenis hewan
yang termasuk kelompok ini adalah molusca, annelida, crustaceae, beberapa
insekta air dan larva dari diptera, odonata dan lain sebagainya
2) Meiofauna (meiobentos): hewan bentik yang berukuran antara 0,5 hingga 0,1
mm (100µm). Kelompok ini adalah hewan kecil yang dapat ditemukan di pasir
atau lumpur. Hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca kecil, cacing
kecil, dan crustaceae kecil.
3) Mikrofauna (mikrobentos): hewan bentik yang memilikiukuran kurang dari
28
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

0,1mm (100 µm). Kelompok ini merupakan hewan yang terkecil. Hewan yang
termasuk ke dalamnya adalah protozooa khususnya cilliata.

 Berdasarkan tempat hidupnya, bentos dapat dibedakan menjadi:


1) Epifauna, yaitu bentos yang hidupnya di atas substrat dasar perairan
2) Infauna, yaitu bentos yang hidupnya tertanam di dalam substrat dasar perairan

 Berdasarkan siklus hidupnya bentos dapat dibagi menjadi:


1) Holobentos, yaitu kelompok bentos yang seluruh hidupnya bersifat bentos
2) Merobentos, yaitu kelompok bentos yang hanya bersifat bentos pada fase-fase
tertentu dari siklus hidupnya

29
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

IDENTIFIKASI DAN SAMPLING PLANKTON

TEKNIK SAMPLING

Teknik atau pencuplikan plankton dari perairan yang paling mudah umumnyadapat
dilakukan dengan menyaring sejumlah massa air dengan jarring halus. Bergantung
pada tujuannya sampling plankton dapat dilakukan secara kualitatif atau kuantitatif
(Wardhana, 2003)
 Sampling plankton secara kualitatif
Pencuplikan plankton secara kualitatif di perairan dapat dilakukan dengan
menarik jala plankton baik secara horizontal maupun vertikal. Di samping jala
plankton, ikan planktivor merupakan pengumpul plankton yang sangat baik. Ikan
tersebut dapat mengumpulkan berbagai jenis plankton yang kadang-kadang tidak
tertangkap jala. Untuk menghindari agar plankton yang dimakan tidak dicerna lebih
lanjut, ikan yang diperoleh harus segera dibunuh.
 Sampling plankton secara kuantitatif
Pada umumnya pengumpulan plankton secara kuantitatif dapat dilakukan
dengan botol, jaring, atau pompa. Cara sampling seperti ini umumnya dilakukan
untuk mengetahui kepadatan plankton per satuan volume dengan pasti. Jala
plankton mempunyai bentuk bermacam-macam, namun pada umumnya berbentuk

30
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

kerucut dengan mulut melingkar dan di ujung jala diberi botol penampung. Bahan
jala umumnya terbuat dari nilon dengan ukuran mesh tertentu.
Penggunaan jala. Jala bertindak sebagai penyaring, sehingga akan dapat
tersumbat dalam waktu lama. Nama lain dari jala yaitu plankton net, bongo net, dll
tergantung dari mesh size dan fungsi pengambilan sampel (mengambil sampel
fitoplankton, zooplankton, atau mikronekton). Umumnya untuk mencuplikplankton
perairan dangkal mesh jala disarankan berukuran 150-175 μ. Ukuran mesh30-50 μ
cocok digunakan untuk menjaring fitoplankton yang berukuran sangat kecil,
pengambilan sampel zooplankton biasanya menggunakan mesh> 40μ. Banyak
macam jala yang dapat dipergunakan untuk mencuplik plankton, baik yangterbuka
maupun tertutup. Salah satu jala terbuka adalah jala zeppelin yang mirip jala
plankton standar tetapi memilki kerucut yang lebih rendah. Jala plankton dengan
peralatan tertutup umumnya digunakan untuk memperoleh sampel plankton dari
kedalaman tertentu.
Jenis alat paling umum dan sederhana yang digunakan untuk mengambii
plankton dari perairan adalah jaring plankton (plankton net). Plankton net cara
pengunaannya relatif mudah dan harganya relatif murah. Jenis plankton net yang
umum dan mudah digunakan adalah Jaring plankton standar (Gambar 1). Jaring
plankton ini merupakan alat pengambilan yang paling sering digunakan. Ukuran
standar Nomor 25 (dengan ukuran mata jaring 0,0535 mm) merupakan ukuran yang
paling umum digunakan untuk pengumpulan contoh plankton (zooplankton
maupun fitolankton).

Umumnya pengawetan plankton dilakukan dengan larutan formalin 4%.


Formalin 40% komersial merupakan larutan jenuh gas formal dehida dalam air.

31
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

Formalin yang akan digunakan harus tersimpan dalam botol gelas atau polythene.
Hindari penggunaan formalin yang tersimpan dalam botol kaleng karena
mengandung besi yang akan mengotori sampel plankton. Selain menggunakan
formalin bisa juga menggunakan larutan lugol. Fungsi dari penggunaan lugol selain
mengawetkan sampel juga dapat memberikan warna pada sampel plankton yang
akan diamati.

Alat dan Bahan


No Alat dan bahan Fungsi
1 Botol sampel Wadah sampel
2 Formalin/lugol Mengawetkan sampel
3 Planktonnet Menyaring sampel air plankton
Ember Wadah untuk mengambil dan
Pipet tetes menuangkan air sampel plankton
4 Meneteskan formalin ke dalam
5 sampel
6 Kertas label Melabeli sampel
7 Pemberat Memberikan beban untuk
planktonnet

Cara Kerja
a. Prosedur Pengambilan Sampel Plankton di Permukaan
1. Disiapkan ember dan plankton-net
2. Diambil air sebanyak 50 liter dan disaring menggunakan plankton-net.
3. Air yang tertampung dimasukkan ke dalam botol sampel sebanyak 100
ml.
4. Air sampel diawetkan dengan menggunakan larutan formalin hingga
mencapai konsentrasi 4%.

32
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

5. Diberi tanda atau label yang berisi tanggal dan titik stasiun pengambilan
sampel (Sudiana, 2005)
6. Lalu sampel di simpan di dalam coolbox
7.
b. Prosedur Pengambilan Sampel Plankton Secara Vertikal
1. Pengambilan sampel dilakukan pada setiap stasiun
2. Plankton-net diturunkan secara vertikal sampai kedalaman tertentu
sesuai tujuan penelitian
3. Jaring plankton kemudian ditarik hingga permukaan lalu sampel yang
tersaring dimasukkan ke dalam botol sampel
4. Selanjutnya sampel yang sudah didapatkan ditampung pada tabung
pengumpul plankton lalu diawetkan dengan formalin hingga mencapai
konsentrasi 4%.
5. Diberi tanda atau label yang berisi tanggal dan titik stasiun pengambilan
sampel
6. Sampel disimpan di dalam coolbox

c. Prosedur Pengambilan Sampel Plankton Secara Horizontal


1. Pengambilan sampel dilakukan pada setiap stasiun
2. Plankton net yang telah diberi pemberat diturunkan pada kedalaman
tertentu secara horizontal atau mendatar agar dapat menyesuaikan
dengan kondisi kedalaman yang di perlukan
3. Pengambilan sampel secara horizontal ditarik selama 2-5 menit dengan
kecepatan kapal 0-4 knot atau dapat juga ditarik dengan jarak tertentu.
4. Sampel air yang tertampung di dalam botol penampung dituangkan ke
dalam botol polyethylene. Sampel kemudian diawetkan dengan larutan
formalin hingga mencapai konsentrasi 4%
5. Sampel diberi tanda atau label yang berisi tanggal dan titik stasiun
pengambilan sampel
6. Sampel disimpan di dalam cool box untuk dilakukan identifikasi di
laboratorium.

33
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

d. Pengawetan sampel
Pemberian formalin untuk mengawetkan sampel plankton dilakukan dengan
rumus :
C1 x V1 = C2 x V2
Keterangan:
C1 = konsentrasi yang diinginkan dalam botol sampel (4%)
C2 = konsentrasi formalin (stock)
V1 = volume air sampel
V2 = volume formalin yang dibutuhkan

IDENTIFIKASI PLANKTON
Mikroskop merupakan alat yang utama dalam identifikasi plankton.
Mikroskop terlihat sebagai sebuah alat yang sederhana, namun tidak semua
orangmengetahui cara menggunakan mikroskop yang baik dan benar. Belajar
tentangorganisme plankton baik fitoplankton maupun zooplankton tidak lepas dari
prosesidentifikasi. Identifikasi plankton tidak dapat dilakukan secara langsung
tetapiharus menggunakan alat identifikasi yaitu mikroskop. Identifikasi
merupakansalah satu cara untuk mengetahui dan menentukan jenis-jenis plankton
yangterlihat pada mikroskop dengan melihat morfologi bentuk tubuh, struktur
tubuhdan warna pada fitoplankton maupun zooplankton. Penentuan identifikasi
jenisplankton dibantu dengan buku standar identifikasi plankton.

Alat dan Bahan


No Alat dan bahan Fungsi
1 Pipet tetes Meneteskan sampel ke SRCC
2 Aquades Membersihkan SRCC
3 SRCC (sedgwick rafter
counting cell) Tempat sampel identifikasi
Tissue Sebagai pengering
4
Mikroskop Identifikasi plankton
5
Buku identifikasi Sebagai pedoman dalam penamaan
6
Alat tulis Mencatat data

34
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

Prosedur Identifikasi Sampel Fitoplankton dan Zooplankton

1. Sampel plankton diambil menggunakan pipet tetes dan diletakkan di kaca


preparat (SRCC) sampai penuh.

2. SRCC yang telah berisi sampel diletakkan pada mikroskop inverted binokuler
dengan perbesaran 10 x.

3. Identifikasi kelas dan genusnya berdasarkan buku identifikasi.


4. Difoto dan dicatat plankton baik itu fitoplankton maupun zooplankton yang
teridentifikasi di bawah mikroskop.

5. Plankton yang tercacah dihitung sehingga didapatkan jumlah yang


teridentifikasi pada SRCC.

6. Untuk fitoplankton dihitung berdasarkan sel dan untuk zooplankton dihitung


berdasarkan individu

35
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

DAFTAR PUSTAKA
Audy B.J.G., Haris A., 2012 Studi Kerapatan Dan Penutupan Jenis Lamun Di
Kepulauan Spermonde. Torani(Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan)
Vol.22 (3): 156 –156
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.USU
Press. Medan.
Bengen, D. G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Cetakan Ketiga. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan IPB. Bogor. 55 hal.
Bengen, D.G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.
Bengen, D.G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut
serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan IPB. Bogor. 66 hal.
Bengen, D.G. 2003. Struktur dan Dinamika Ekosistem Pesisir dan Laut (Power
Point). Disajikan pada perkuliahan: Analisis Ekosistem Wilayah
Pesisir dan Lautan. Prog. Studi SPL. IPB, Bogor. (program komputer).
Blasco, 1984. Climatic Factors and The Biology of Mangrove Plants in Snedaker
and Snedaker (eds.). The Mangrove Ecosystem: Research Methods.
Unesco. Page 18-35.
Chapman, V. J., 1984. Mangrove Biogeography in F.D Poor and Inka Dor (eds.).
Hydrobiology of The Mangal. Dr. W. Junk Publishers.
Clarke, L. D., and Hannon, N. . 1971. The Mangrove Swamp and Salt Marsh
Communities of Sydney District. III. Plant Growth in Relation to
Salinity and Water Logging. Journal of Ecology. Page 351-369.

Desmawati, I., Adany, A., & Java, C. A. (2020). Studi awal makrozoobentos di
kawasan wisata sungai kalimas, Monumen Kapal Selam Surabaya.
Jurnal Sains dan Seni ITS, 8(2), E19-E22.
English, S., C. Wilkinson and V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project. Australian
Institute of Marine Science. Townsville.
Hasri, N. N., Mardiansyah, M., Hidayah, K., Firdausya, A., & Silahturahim, E. M.
(2021). Komunitas Bentos di Pantai Karang Serang.
Hillman, K., Walker, D.J., Larkum, A.W.D. & Mc Comb, A.J. 1989. Productivity
and nutrient limitation of seagrasses. Di dalam: Larkum, A.W.,
McComb, D.A.J & Shepherd, S.A. (eds). Biology of Seagrasses.
Netherland: Elsevier Science Publishers.

36
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

Hoghart, P. J. 1999. The Biology of Mangrove. Oxford University Press, Inc. New
York. 228 pp.

Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in


Indonesia: Bali and Lombok. JICA/ISME, The Development of
Sustainable Mangrove Management Project. Denpasar. 119 pp.
Kennish, M. J. 1990. Ecology of Estuaries; Biological Aspect. Volume II. CRC
Press. Florida. Page 221.
Lugo, A.E. 1980. Mangrove Ecosystem: Successional or Steady State. Biotropica
12. Page 65-72.
Mastaller, M. 1997. Mangroves: The forgotten forest between land and sea. Kuala
Lumpur, Malaysia: Tropical Press SDN, BHD.
Mueller-Dumbois, D and Ellenberg, H. 1974. Aims and Methods of Vegetation
Ecology. John Wiley. London.
Nontji, A. 2008. Plankton laut. LIPI Press: Jakarta.

Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia.
Jakarta. 459 hal.
Odum, E.P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi edisi ke-3. Alih Bahasa. University Gajah Mada:
Yogyakarta
P2O LIPI. 2016. Laporan Penelitian Ekspedisi IOCAS-LIPI. Jakarta
Patang, Idris APS. 2019. Studi Identifikasi Plankton di Muara Sungai Tallo Kota Makassar.
Pendidikan Teknologi Pertanian Vol. 5
Patang .2009. Kajian Kualitas Air Dan Sedimen Di Sekitar Padang Lamun
Kabupaten Pangkep. Jurnal Agrisistem, Desember, Vol. 5 No. 2

Poedjirahajoe E., Putu N.D.M, Rahardjo B.S., Samuddin M., 2013. Tutupan Lamun
Dan Kondisi Ekosistemnya Di Kawasan Pesisir Madasanger, Jelenga,
Dan Maluk Kabupaten Sumbawa Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1 : 36-46
Sari AN, Sahala H, Prijadi S. 2014. Struktur komunitas plankton pada padang lamun di
pantai Pulau Panjang, Jepara. Diponegoro journal of maquares Vol. 3(2): 82-91

Sangaji, F.1994. Pengaruh sedimen dasar terhadap penyebaran, kepadatan,


keanekaragaman, dan pertumbuhan padang lamun di laut sekitar pulau
Barang Lompo. Thesis, Pasacasarjana, Universitas hasanuddin. Ujung
Pandang.
Smith, T. J. 1992. Forest Structure in A.I Robertson and Alongi, D.M (eds.):
Tropical Mangrove Ecosystems. Washington D.C.
Soegiarto, A., dan Polunin, N., 1982. The Marine Environment of Indonesia.
37
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

Dept. Zoology, University of Cambridge. 257 pp.


Sulistiyowati H. 2009. Biodiversitas Mangrove Di Cagar Alam Pulau Sempu
Jurnal Sainstek, Vol 8 No. 1.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah
Pesisir Tropis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 245
hal.

Susanti Z.K., Rondonuwu S.B., Veralyn P.M.,2016. Keragaman Lamun (Seagrass)


di Pesisir Desa Lihunu Pulau Bangka Kecamata Likupang
Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Jurnal Mipa Unsrat
Online 5 (1) 20-24
Tomlinson, P. B. 1994. The Botany of Mangrove. Cambridge University Press.
New York. 419 pp.
Ulqodry, T. Z. 2001. Studi Kandungan Logam Berat dalam Jaringan Mangrove
Sonneratia alba dan Avicennia marina di Pulau Ajkwa dan Pulau
Kamora, Kabupaten Mimika, Papua. Jurusan Ilmu Kelautan FPIK
Undip. Semarang. 92 hal.
Vannuci, M. 1994. International Society for Mangrove Ecosystem (ISME).
Yunitha A., Wardiatno Y., Yulianda F. 2014. Diameter Substrat dan Jenis Lamun
di Pesisir Bahoi Minahasa Utara: Sebuah Analisis Korelasi. Jurnal
Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Vol. 19 (3): 130

38
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

39
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

LAMPIRAN 1. Form Pengamatan Lamun


PROPINSI :
KOTAMADYA/KABUPATEN :
KECAMATAN :
DESA/KELURAHAN :

TANGGAL/BULAN/TAHUN :

STASIUN :
POSISI GEOGRAFIS : 0LU 0LS 0BB 0BT
Transek/Kuadran Longtitude/ Kode Nama Genus Spesies Substrat Berat Berat
latitude tempat Lokal Basah Kering
0 m / ke-1

50 m / ke-2

100 m / ke-3

40
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

LAMPIRAN 1.1. Form Pengamatan Tutupan Lamun dan Tutupan Jenis Lamun

Nilai Tutupan Lamun dan tutupan jenis lamun dalam Satu Kuadrat
Transek Kotak Plot
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
0 m / ke-1
a.
b.
c.
50 m / ke-2
a.
b.
c.
100 m / ke-
3
a.
b.
c.

Note : Pengisian nilai pengamatan tutupan lamun dan tutupan jenis lamun mengacu pada
kategori nilai dibawah ini

Kategori Nilai Tutupan Lamun


Tutupan Penuh 100
Tututpan ¾ Kotak Kecil 75
Tutupan ½ Kotak Kecil 50
Tutuppan ¼ Kotak Kecil 25
Kosong 0
Sumber : Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, 2014

41
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

LAMPIRAN 2. Form Pengamatan Mangrove


PROPINSI :
KOTAMADYA/KABUPATEN :
KECAMATAN :
DESA/KELURAHAN :
TANGGAL/BULAN/TAHUN :

STASIUN :
POSISI GEOGRAFIS : 0LU 0LS 0BB 0BT

No Transek No Pohon Anakan Semai Tipe


Plot SP IND DB SP IND DB SP IND DB Substrat

Keterangan :
SP : Kode Jenis Tumbuhan Mangrove Pohon : Diameter > 4 cm
IND : Jumlah Tegakan Tumbuhan Mangrove
Anakan : Diameter <4cm Tinggi > 1m
DB : Diameter Batang Tumbuhan Mangrove
Semai : Tinggi < 1 m

42
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

LAMPIRAN 3. Tabel pengamatan parameter lingkungan ekosistem padang lamun


STASIUN :
0LU/LS 0
POSISI GEOGRAFIS : BB/BT
TRANSEK :
NOMOR PLOT :

Parameter Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata


Fisika
Suhu perairan
Kedalaman
Kecerahan
Arus
Warna
Tipe substrat
Kimia
Salinitas
pH air
pH substrat
Oksigen
terlarut

Keterangan lainnya:

43
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

LAMPIRAN 4. Tabel pengamatan parameter lingkungan ekosistem mangrove

STASIUN :
0LU/LS 0
POSISI GEOGRAFIS : BB/BT
TRANSEK :
NOMOR PLOT :

Parameter Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata


Fisika
pH Tanah
Suhu perairan
Kedalaman
Kecerahan
Arus
Warna
Tipe substrat
Kimia
Salinitas
pH air
pH substrat

Oksigen
terlarut

Keterangan lainnya:

44
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

LAMPIRAN 5. Panduan Identifikasi Jenis Lamun

45
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

L AMPIRAN 6. Panduan Identifikasi Jenis Mangrove

(Rhizophora Stylosa) (Avicennia marina)

(Rhizophora apiculata) (Avicennia alba)

46
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

(Sonneratia alba)

(Sonneratia casiolaris)

47
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

(Rhizophora mucronata)

(Excoecaria agallocha)

48
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

(Ceriops tagal)

(Bruguiera gymnorrhiza)

49
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

(Avicennia officianalis)

(Xylocarpus granatum)

50
MODUL PRAKTIKUM LAPANGAN EKOLOGI LAUT TROPIS

Membedakan berdasarkan genus

51

Anda mungkin juga menyukai