Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

Lamun: Karakteristik, Pengelolaan dan Pemanfaatannya dalam Kehidupan


Disusun guna memenuhi tugas matakuliah
Biodiversitas

Dosen pengampu:
Dr. Nur Kusuma Dewi, M.si
Dr. Margareta Rahayuningsih, M.si

Disusun oleh
Farih Fadhila 0402517030
Kurniahtunnisa 0402517015
Liviana Putri Wiradani 0402517035
Tri Aurilia Hakim 0402517044

PROGRAM PASCASARJANA
PRODI ILMU PENGETAHUAN ALAM KONSENTRASI BIOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wilayah pesisir dan laut merupakan ekosistem yang saling berkaitan dengan
ekosistem lainnya. Salah satu sumberdaya alamwilayah pesisir Indonesia adalah padang
lamun. Dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di wilayah pesisir seperti
ekosistem terumbu karang, mangrove dan estuaria maka ekosistem lamun mempunyai
peranan yang tidak kalah penting baik secara fisik maupun biologi (Tulungen et al. 2003;
Wimbaningrum et al. 2003).
Seagrass atau yang sering dikenal sebagai dengan Lamun, merupakan tumbuhan
tingkat tinggi dan berbunga (Angiospermae) yang sepenuhnya menyesuaikan diri hidup
terbenam di dalam laut dangkal.Keberadaan bunga dan buah adalah faktor utama yang
membedakan lamun dengan jenis tumbuhan laut lainnya, seperti rumput laut (seaweed).
Hamparan lamun sebagai ekosistem utama pada suatu kawasan pesisir disebut sebagai
padang lamun (seagrass bed).
Lamun juga merupakan salah satu sumberdaya pesisir Indonesia yang bernilai
ekologis dan ekonomis. Padang lamun tergolong dalam ekosistem laut yang paling
produktif dan mempunyai peran penting dalam dinamika nutrien pesisir. Selain itu
padang lamun juga berhubungan dengan perolehan perikanan lokal, dan ekosistem
tetangganya, seperti terumbu karang (Goltenboth et al. 2012 dalam Dewi N.K dan Sigit,
2015). Di Indonesia terdapat 13 spesies lamun yang tergolong dalam 7 genus. Spesies
terkini ditemukan adalah Halophila sulawesii, di kepulauan Spermonde barat daya
sulawesi (Kuo, 2007 dalam Dewi N.K dan Sigit, 2015).
Ekosistem padang lamun merupakan ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun
sebagai vegetasi yang dominan serta mampu hidup secara permanen dibawah
permukaan air laut. Atau juga bisa diartikan sebagai suatu ekosistem yang kompleks
dan mempunyai fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi perairan wilayah
pesisir. Secara taksonomi lamun (seagrass) termasuk dalam kelompok Angiospermae
yang hidupnya terbatas di lingkungan laut yang umumnya hidup di perairan dangkal
wilayah pesisir (Tangke Umar, 2010).
McRoy & Hefferich (1977) menyatakan bahwa, padang lamun di daerah tropis
merupakan ekosistem alam yang paling produktif. Data yang pernah diperoleh,

1
produktifitasnya bisa sampai 1.300 sampai dengan 3000 gr berat kering /m2/ tahun
(Zieman 1975). Selain produktifitasnya yang tinggi, lamun juga mempunyai kecepatan
pertumbuhan yang tinggi (Wood, et al., 1969).
Pertumbuhan dan kepadatan lamun sangat dipengaruhi oleh pola pasang surut,
turbiditas, salinitas dan temperatur perairan. Kegiatan manusia di wilayah pesisir seperti
perikanan, pembangunan perumahan, pelabuhan dan rekreasi, baik langsung maupun
tidak langsung juga dapat mempengaruhi eksistensi lamun. Fauna yang berasosiasi
dengan lamun biasanya sensitif oleh adanya siltasi dan rendahnya kadar oksigen terlarut
akibat tingginya BOD di daerah lamun. Oleh karena itu segala bentuk perubahan di
wilayah pesisir akibat aktivitas manusia yang tidak terkontrol dapat menimbulkan
gangguan fungsi sistem ekologi padang lamun. Fenomena ini akan berpengaruh terhadap
hilangnya unsur lingkungan seperti daerah pemijahan, nursery ground bagi ikan maupun
udang.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik lamun?
2. Apa saja fungsi lamun dalam ekosistem lamun?
3. Bagaiamana pemanfaatan lamun bagi kehidupan manusia?
4. Bagaimana upaya pengelolaan lamun?

C. Tujuan
1. Menejelaskan karakteristik lamun
2. Menjelaskan fungsi dan peranan dalam ekosistem lamun
3. Menjelaskan pemanfaatan lamun dalam kehidupan manusia
4. Menjelaskan upaya pengelolaan lamun

D. Manfaat
Makalah ini diharapkan memberikan informasi tentang karakteristik lamun, upaya
pengelolaan serta pemanfaatannya dalam kehidupan manusia.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Karakteristik Lamun
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang dapat
tumbuh dengan baik pada lingkungan laut dangkal (Wood et al. 1969 dalam Tangke .U,
2010). Semua lamun adalah tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai
akar, rimpang (rhizoma), daun, bunga dan buah seperti halnya dengan tumbuhan
berpembuluh yang tumbuh di darat (Tomlinson, 1974 dalam Tangke. U, 2010). Lamun
senantiasa membentuk hamparan permadani di laut yang dapat terdiri dari satu
species (monospesific: banyak terdapat di daerah temperate) atau lebih dari satu species
(multispecific: banyak terdapat didaerah tropis). Karena pola hidup lamun sering berupa
hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun (Sheppard et al., 1996 dalam Tangke
.U, 2010).
Lamun juga merupakan salah satu sumberdaya pesisir Indonesia yang bernilai
ekologis dan ekonomis. Padang lamun tergolong dalam ekosistem laut yang paling
produktif dan mempunyai peran penting dalam dinamika nutrien pesisir. Selain itu
padang lamun juga berhubungan dengan perolehan perikanan lokal, dan ekosistem
tetangganya, seperti terumbu karang (Goltenboth et al. 2012 dalam Dewi N.K dan Sigit,
2015). Di Indonesia terdapat 13 spesies lamun yang tergolong dalam 7 genus. Spesies
terkini ditemukan adalah Halophila sulawesii, di kepulauan Spermonde barat daya
sulawesi (Kuo, 2007 dalam Dewi N.K dan Sigit, 2015).
Lamun menghasilkan buah dan menyebarkan bibit seperti banyak tumbuhan darat.
Khusus untuk genera di daerah tropis memiliki morfologi yang berbeda sehingga
pembedaan spesies dapat dilakukan dengan dasar gambaran morfologi dan anatomi.
Lamun merupakan tumbuhan laut yang secara utuh memiliki perkembangan sistem
perakaran dan rhizoma yang baik. Pada sistem klasifikasi, lamun berada pada Sub kelas
Monocotyledoneae, kelas Angiospermae. Dari 4 famili lamun yang diketahui, 2 berada
di perairan Indonesia yaitu Hydrocharitaceae dan Cymodoceae. Famili
Hydrocharitaceae dominan merupakan lamun yang tumbuh di air tawar sedangkan 3
famili lain merupakan lamun yang tumbuh di laut.

3
Gambar 1. Morfologi lamun

Lamun memiliki akar sejati, daun, dan batang (rhizoma) yang merupakan sistem
yang menyalurkan nutrien, air dan gas. Akar pada tumbuhan lamun tidak berfungsi dalam
pengambilan air, seperti tanaman tingkat tinggi lainnya, namun sebagai tempat
menyimpan oksigen untuk proses fotosintesis yang dialirkan dari lapisan epidermis daun
melalui difusi dalam rongga udara. (Mc Kenzie,2008). Daun lamun memiliki rongga
udara yang berfungsi untuk menjaga tubuhnya agar tetap mengapung di dalam air. Daun
lamun memiliki ciri khusus yaitu tidak memiliki stomata dan keberadaan kutikula yang
tipis. Kutikula daun yang tipis tidak dapat menahan pergerakan ion dan difusi karbon,
sehingga daun dapat menyerap nutrien langsung dari air laut. Air laut merupakan sumber
bikarbonat bagi tumbuhan untuk penggunaan karbon anorganik dalam proses fotosintesis.
(Mc Kenzie,2008)

4
Lamun merupakan tumbuhan yang beradaptasi penuh untuk dapat hidup pada
lingkungan laut. Eksistensi lamun di laut merupakan hasil dari beberapa adaptasi yang
dilakukan termasuk toleransi terhadap kadar garam yang tinggi, kemampuan untuk
menancapkan akar di substrat sebagai jangkar,
dan juga untuk tumbuh dan melakukan
reproduksi pada saat terbenam. Lamun juga
tidak memiliki stomata, mempertahankan
kutikel yang tipis, perkembangan shrizogenous
pada sistem lakunar dan keberadaan diafragma
pada sistem lakunar. Salah satu hal yang paling
penting dalam adaptasi reproduksi lamun
adalah hidrophilus yakni kemampuannya untuk
melakukan polinasi di bawah air. Gambar 2. Morfologi dan Antomi Lamun

B. Peranan Lamun dalam Ekosistem


Ekosistem padang lamun merupakan ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun
sebagai vegetasi yang dominan serta mampu hidup secara permanen dibawah
permukaan air laut. Atau juga bisa diartikan sebagai suatu ekosistem yang kompleks
dan mempunyai fungsi dan manfaat yang sangat panting bagi perairan wilayah
pesisir. Secara taksonomi lamun (seagrass) termasuk dalam kelompok Angiospermae
yang hidupnya terbatas di lingkungan laut yang umumnya hidup di perairan dangkal
wilayah pesisir (Tangke Umar, 2010).
Ekosistem lamun itu sendiri merupakan salah satu bagian penting sebagai bagian
penyusun kesatuan ekosistem pesisir bersama dengan mangrove dan terumbu karang.
Ekosistem lamun memiliki produktivitas primer dan sekunder dengan dukungan yang
besar terhadap kelimpahan dan keragaman ikan. Ekosistem lamun juga merupakan
sumberdaya pesisir yang memiliki peran sangat besar dalam penyediaan jasa lingkungan.
Peran tersebut dapat dilihat dari sisi ekologi maupun dari sisi sosial yang dapat
meningkatkan ketahanan pangan dan mata pencaharian masyarakat pesisir (Gilanders,
2006 dalam Arkham dkk., 2015). Faktanya bahwa keberadaan dari ekosistem lamun
memiliki peran dan fungsi yang sama dengan ekosistem terumbu karang dan mangrove
(McClanahan, 2002 dalam Arkham dkk., 2015). Sejauh ini keberadaan ekosistem lamun

5
belum diketahui bagaimana manfaatnya dalam perikanan skala kecil. Manfaat ekosistem
lamun secara langsung sebagai salah satu mata pencaharian yang sangat penting bagi
nelayan skala kecil khususnya.
Ekosistem pesisir umumnya terdiri atas 3 komponen penyusun yaitu lamun,
terumbu karang serta mangrove. Bersama-sama ketiga ekosistem tersebut membuat
wilayah pesisir menjadi daerah yang relatif sangat subur dan produktif. Komunitas
Lamun sangat berperan penting pada fungsi-fungsi biologis dan fisik dari lingkungan
pesisir. Pola zonasi padang lamun adalah gambaran yang berupa rangkaian/model
lingkungan dengan dasar kondisi ekologis yang sama pada padang lamun. Aktivitas
manusia disekitar pesisir dapat berupa pertanian, peternakan dan pelabuhan tradisional
serta pemukiman penduduk. Aktivitas manusia yang tidak memperhatikan lingkungan
pesisir akan mengakibatkan perubahan komunitas lamun sebagai penunjang ekosistem
pesisir. Selain itu, lamun juga mempunyai ciri-ciri yaitu tidak ada stomata, mempunyai
kutikula yang tipis, perkembangan schizogenous dari sistem lakunar, pollinasi yang
hidrofil, dan tidak ada diafragma pada sistem lakunar (Goltenboth et al. 2012 dalam Dewi
N.K dan Sigit, 2015). Distribusi dan stabilitas komunitas lamun ditentukan oleh faktor-
faktor antara lain: nutrien, cahaya, sedimen, salinitas, dan suhu (Papathanasiouet et al.
2015; Kilminsteret et al. 2014; Kochet et al. 2007; Morenoet et al. 2014; Kaldyet et al.
2015 dalam Dewi N.K dan Sigit, 2015).
Jadi, beberapa ahli mendefinisikan lamun (seagrass) sebagai tumbuhan air
berbunga, hidup di dalam air laut, ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan
ekosistem padang lamun yang saling berkaitan dari setiap ekosistem (Gambar 3).

Gambar 3. Interaksi Antara Tiga Ekosistem Laut Dangkal (UNESCO, 1983 dalam
Hutomo 1997)

6
Beberapa contoh interaksi antara tiga ekosistem yaitu, hutan mangrove sejati
biasanya tumbuh di daerah yang terlindung dari pengaruh ombak dan arus yang kuat.
Terumbu karang dan lamun disini berfungsi sebagai penahan ombak dan arus yang kuat
untuk memperlambat pergerakannya. Hal ini merupakan salah satu interaksi fisik dari
terumbu karang dan lamun terhadap mangrove sehingga mangrove terlindungi dari
ombak dan arus yang kuat.
Hutan mangrove kaya akan sedimen yang mengendap di dasar perairan. Apabila
sedimen ini masuk ke ekosistem lamun maupun terumbu karang dengan jumlah yang
sangat banyak dan terus menerus oleh pengaruh hujan lebat, penebangan hutan mangrove
maupun pasang surut dapat mengeruhkan perairan, maka hal ini akan mempengaruhi
fotosintesis dari lamun dan zooxanthela yang hidup pada karang. Sedimen yang membuat
perairan keruh akan berdampak pada berkurangnya penetrasi cahaya matahari
(kecerahan). Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang. Dan ini akan
mempengaruhi persebaran dan kelimpahan lamun serta terumbu karang secara vertikal
dan horizontal. Beberapa klasifikasi jenis spesies lamun yang terdapat di perairan pantai
Indonesia (Phillips dan Menez 1988), yaitu Halophila ovalis, Halodule pinifolia, Enhalus
acoroides, Cymodocea serrulate, Cymodocea rotundata, dan Thalasia hemprichii.

Berdasarkan genangan air dan kedalam, sebaran lamun secara vertikal dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu (Kiswara 1997) :
1) Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal dan selalu terbuka saat air surut yang
mencapai kedalaman kurang dari 1 meter saat surut terendah. Contoh: Halodule
pinifola, Halodule uninervis, Halophila minor/ovata, Halophila ovalis, Thalassia
hemprichii, Cymodoceae rotundata, Cymodoceae serrulata, Syringodinium
isotifolium dan Enhalus acaroides.

7
2) Jenis lamun yang tumbuh di daerah kedalaman sedang atau daerah pasang surut
dengan kedalaman perairan berkisar antara 1-5 meter. Contoh: Halodule uninervis,
Halophila ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rotundata, Cymodoceae
serrulata, Syringodinium isotifolium, Enhalus acaroides dan Thalassodendron
ciliatum.
3) Jenis lamun yang tumbuh pada perairan dalam dengan kedalaman mulai 5-35 meter.
Contoh: Halophila ovalis, Halophila decipiens, Halophila spinulosa, Thalassia
hemprichii, Syringodinium isotifolium dan Thalassodendron ciliatum.
Fungsi dan Manfaat Lamun
Pemanfaatan ekosistem lamun ini merupakan interaksi antara dua sistem, yaitu
sistem sosial dan sistem ekologi. Dalam sistem ekologi, ekosistem lamun berperan
sebagai jasa penyedia ekosistem (provisioning services), hal ini dikarenakan nelayan
disekitar desa memanfaatkan keberadaan dari jasa ekosistem lamun sebagai tempat
mereka mencari dan menangkap sumberdaya ikan (ikan, rajungan, teripang, dan lain
sebagainya). Dalam sistem sosial, terjadi pemanfaatan sumberdaya ekosistem lamun oleh
nelayan skala kecil, dimana para nelayan mencari dan menangkap ikan di daerah sekitar
ekosistem lamun. Hasil yang diperoleh sebagian dijual dan sebagian lagi untuk dimakan
(Arkham dkk., 2015).

Menurut (Azkab 1999) pada ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di
laut dangkal yang paling produktif. Di samping itu juga ekosistem lamun mempunyai
peranan penting dalam menunjang kehidupan dan penguraian organisme yang telah mati
di laut dangkal (Bengen 2001), seperti :
1. Sebagai produsen primer : Lamun memiliki tingkat produktifitas primer tertinggi bila
dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada dilaut dangkal seperti ekosistem
terumbu karang.

8
2. Sebagai habitat biota : Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat
menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (alga). Disamping itu, padang
lamun dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makanan
berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan karang (coral fishes).
3. Sebagai penangkap sedimen : Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang
disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan disekitarnya menjadi tenang.
Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen,
sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan. Jadi, padang lamun
disini berfungsi sebagai penangkap sedimen dan juga dapat mencegah erosi.
4. Sebagai pendaur zat hara: Lamun memegang peranan penting dalam pendauran
berbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka dilingkungan laut. Khususnya zat-
zat hara yang dibutuhkan oleh algae epifit.
Sedangkan menurut (Philips dan Menez 1988), ekosistem lamun merupakan salah
satu ekosistem bahari yang produktif, ekosistem lamun pada perairan dangkal berfungsi
sebagai :
1. Menstabilkan dan menahan sedimen-sedimen yang dibawa melalui tekanan-tekanan
dari arus dan gelombang.
2. Daunnya memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta mengembangkan
sedimentasi.
3. Memberikan perlindungan terhadap hewan-hewan muda dan dewasa yang
berkunjung ke padang lamun.
4. Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi.
5. Menfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan.
Padang lamun memiliki berbagai fungsi ekologi yang vital dalam ekosistem
pesisir dan sangat menunjang dan mempertahankan biodiversitas pesisir dan lebih
penting sebagai pendukung produktivitas perikanan pantai. Beberapa fungsi padang
lamun, yaitu:
1. Sebagai stabilisator perairan dengan fungsi sistem perakannya sebagai perangkap
dan pengstabil sedimen dasar sehingga perairan menjadi lebih jernih;
2. Lamun menjadi sumber makanan langsung berbagai biota laut (ikan dan non ikan);
3. Lamun sebagai produser primer;

9
4. Komunitas lamun memberikan habitat penting (tempat hidup) dan perlindungan
(tempat berlindung) untuk sejumlah spesies hewan; dan
5. Lamun memegang fungsi utama dalam daur zat hara dan elemenelemen langka di
lingkungan laut (Phillips dan Menez, 1988; Fortes, 1990 dalam Tangke,U. 2010).
Selain itu secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi
wilayah pesisir, yaitu :
1. Produsen detritus dan zat hara.
2. Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem.
3. Perakaran yang padat dan saling menyilang.
4. Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi
beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan
tersebut.
5. Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan
matahari.
Philips dan Menez 1988 mengatakan bahwa lamun bermanfaat sebagai komoditi
yang sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara tradisional maupun secara
modern. Secara tradisional lamun telah dimanfaatkan untuk :
a. Kompos dan pupuk
b. Cerutu dan mainan anak-anak
c. Dianyam menjadi keranjang
d. Mengisi kasur
e. Bahan makanan
f. Tumpukan untuk pematang dan Dibuat jaring ikan.
Sedangkan pada zaman modern ini, lamun telah dimanfaatkan sebagai :
a. Penyaring limbah
b. Stabilizator pantai
c. Bahan untuk pabrik kertas
d. Bahan makanan
e. Obat-obatan dan sumber bahan kimia.
Lamun kadang-kadang membentuk suatu komunitas yang merupakan habitat
bagi berbagai jenis hewan laut. Komunitas lamun ini juga dapat memperlambat
gerakan air. Bahkan ada jenis lamun yang dapat dikonsumsi bagi penduduk sekitar

10
pantai. Keberadaan ekosistem padang lamun masih belum banyak dikenal baik pada
kalangan akdemisi maupun masyarakat umum, jika dibandingkan dengan ekosistem
lain seperti ekosistem terumnbu karang dan ekosistem mangrove, meskipun diantara
ekosistem tersebut di Kawasan pesisir merupakan satu kesatuan sistem dalam
menjalankan fungsi ekologisnya (Tangke,U. 2010).
Dalam bidang kesehatan dapat digunakan sebagai antioksidan dan antibakteri.
Secara umum komponen fitokimia yang terdapat dalam Cymodocea sp. yang diperoleh
dari ekstrak metanol pada daun dan batang yaitu senyawa saponin, ekstrak etil asetat pada
daun dan batang diperoleh senyawa steroid, flavanoid, dan fenol hidrokuinon, sedangkan
senyawa yang diperoleh dari hasil ekstrak n-heksan pada batang dan daun yaitu terpenoid.
Saponin terdiri atas glikosida kompleks yaitu gugus glukosa dan triterpenoid, jika di-
hidrolisis maka terbentuk senyawa triterpenoid dan glikosida (gula) yang mengandung
gugus hidroksil. Senyawa yang mempunyai gugus fungsi hidroksil yang banyak atau
dalam kondisi bebas (aglikon) mempunyai aktivitas antioksidan tinggi yang diikuti
dengan kadar total fenol yang tinggi. Menurut Robinson (1995), saponin bersifat
hipokolesterolemik, immunostimulator dan antikarsinogenik. Mekanisme antikarsino-
genik saponin meliputi efek antioksidan dan sitotoksik langsung pada sel kanker.
Skrining fitokimia yang dilakukan oleh Rumiantin (2010) pada Enhalus acoroides
mengandung senyawa flavanoid, fenol hidrokuinon, steroid, triterpenoid, tanin, dan
saponin. Enhalus acoroides (L.f.) Royle mengandung senyawa triterpenoid, steroid,
tanin, dan flavanoid (Elfahmi et al., 1997). Ravikumar et al. (2011) menyebutkan bahwa
Cymodocea serrulata mempunyai senyawa fitokimia yang beragam yaitu alkaloid, asam
karboksilat, kumarin, flavanoid, fenol, saponin, xantoprotein, protein, steroid, tannin, dan
gula. Alkaloid dan tanin dalam Cymodocea serrulata berperan aktif sebagai senyawa
antibakteri terhadap bakteri patogen pada unggas, sedangkan Cymodocea sp. dalam
penelitian ini tidak ditemukan adanya senyawa alkaloid dan tanin karena tempat hidup
atau kondisi lingkungan lamun tersebut berbeda yang mengakibatkan metabolit sekunder
yang dihasilkan berbeda pula sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungannya.
Steroid atau terpenoid hanya terdeteksi pada pelarut semi polar dan non-polar,
tetapi tidak terdeteksi pada pelarut polar yaitu metanol. Steroid ini diduga memiliki efek
peningkat stamina tubuh (aprodisiaka) dan anti-inflamasi. Komponen terpenoid yang ter-
deteksi pada ekstrak kasar Cymodocea sp. ini diduga memiliki aktivitas antitumor.

11
C. Pengelolaan Ekosistem Lamun
Padang lamun memberikan berbagai manfaat secara ekologi maupun untuk
kehidupan manusia. Ekosistem lamun juga sangat menunjang keberlangsungan sumber
daya perikanan. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004,
terdapat 3 kategori yang menggambarkan kondisi padang lamun, yaitu sehat (penutupan
lamun di suatu daerah ≥60%), kurang sehat (penutupan lamun sekitar 30- 59.9%) dan
miskin (penutupan lamun antara ≤ 29.9%). Secara umum, persentase tutupan lamun di
Indonesia yang dihitung dari 166 stasiun pengamatan adalah 41,79%. Oleh karena itu
status padang lamun di Indonesia termasuk dalam kondisi “kurang sehat”. Salah satu
contohnya adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Sigit (2015)
menunjukkan kondisi padang lamun Pantai Tawang dan Pantai Pidakan Pacitan Jawa
Timur termasuk kategori kurang sehat dengan persentase penutupan sebesar 37,66% dan
30,89%. Persentase penutupan lamun di pantai tersebut selain dipengaruhi oleh faktor
alami juga akibat aktivitas manusia, yaitu tingginya kegiatan perahu nelayan di kawasan
ini sehingga kekeruhan sulit dihindarkan. Menurut Hernawan et al (2017), status padang
lamun di Indonesia pada tahun 2017 dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 4. Peta status padang lamun Indonesia tahun 2017


Komunitas lamun secara ekologis mempunyai peranan dalam menunjang
kestabilan ekosistem perairan pantai. Lamun pada umumnya dapat membentuk padang
lamun yang luas didasar laut yang masih dapat dijangkau oleh sinar matahari yang
memadai bagi pertumbuhannya. Lamun dapat hidup di perairan dangkal dan jernih,
dengan sirkulasi air yang baik. Sirkulasi air ini diperlukan untuk menghantarkan zat-zat
hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah padang
lamun (Bengen dalam Arkham; 2015). Komunitas lamun merupakan suatu ekosistem

12
dengan susunan flora dan fauna yang khas, berkembang pada lingkungan yang khusus
pula yaitu lingkungan perairan pantai yang landai atau dangkal (Phillips dan Mc Roy,
1980 dalam Arkham, 2015).
Ekosistem lamun memiliki produktivitas primer dan sekunder dengan dukungan
yang besar terhadap kelimpahan dan keragaman ikan. Bagaimanapun perikanan skala
kecil sering melakukan kegiatan penangkapan di ekosistem lamun karena letaknya dekat
pantai, akan tetapi peran dari ekosistem lamun untuk kegiatan produksi sebagai mata
pencaharian nelayan skala kecil sering diabaikan. Ekosistem lamun hampir selalu
berdampingan dengan ekosistem mangrove di daratan pesisir dan ekosistem terumbu
karang di depannya. Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir yang
terdapat di wilayah Kecamatan Gunung Kijang dan Teluk Sebong. Terdapat keterkaitan
antara ekosistem lamun dengan aktivitas perikanan masyarakat Kecamatan Gunung
Kijang dan Teluk Sebong, terutama masyarakat nelayan. Masyarakat memanfaatkan
perairan sekitar ekosistem lamun untuk melakukan usaha penangkapan ikan dan biota
laut yang berasosiasi dengan ekosistem ekosistem lamun (Arkham, 2015).
Permasalahan yang mengakibatkan penurunan luas padang lamun di Indonesia
disebabkan oleh faktor alami dan hasil aktivitas manusia terutama di lingkungan pesisir.
Faktor alami tersebut diantarannya adalah gelombang dan arus yang kuat, badai, gempa
bumi, dan tsunami. Kegiatan manusia yang mempengaruhi terhadap penurunan area
padang lamun adalah reklamasi pantai, pengerukan dan penimbunan secara terus
menerus, pencemaran air, pemasukan pencemaran di sekitar fasilitas industri, dan limbah
air panas dari pembangkit tenaga listrik (Hernawan et al, 2017). Contoh permasalahan
tersebut salah satunya berdasarkan tinjauan lapangan yang dilakukan oleh Irawan (2017)
menyebutkan keadaan di teluk Ambon menunjukkan adanya degradasi pada ekosistem
padang lamun yang ditandai dengan penurunan kepadatan lamun akibat pembangunan di
wilayah pesisir untuk membangun rumah dan bangunan lain, dan adanya reklamasi
pantai.
Perairan pantai Kampung Holtekamp memiliki sumberdaya lamun yang memiliki
ketergantungan dengan tipe substrat. Perairan Kampung Holtekamp telah mengalami
tekanan oleh aktivitas manusia antara lain: pembuangan sampah oleh masyarakat,
destruktif fishing, pembangunan PLTU dan sebagainya yang memberikan dampak secara
langsung maupun tidak langsung kepada komunitas (Metekohy; 2016).

13
Menurut Sudiarta dan Wayan (2011), perumusan strategi pengelolaan ekosistem
padang lamun berkelanjutan dengan diadaptasi dari Undang-undang RI Nomor 27 tahun
2007, terdiri dari:
a. Strategi pengelolaan ekosistem padang lamun berkelanjutan sebagai rangkaian dari
pola tujuan, kebijakan, program, tindakan dan alokasi sumberdaya dalam
penyelenggaraan pengendalian kerusakan ekosistem padang lamun.
b. Mekanisme penyelenggaraan pengendalian kerusakan dan mekanisme pengelolaan
yang berkelanjutan.
c. Analisis kelembagaan dengan memperjelas tugas dan tanggung jawab instansi atau
lembaga terkait dalam penyelenggaraan pengelolaan ekosistem padang lamun serta
analisis peraturan perundang-undangan yang relevan.
d. Analisis kebutuhan sarana dan prasarana untuk menunjang pengelolaan ekosistem
padang lamun
Untuk memberikan arahan dan kesamaan langkah dalam pengelolaan ekosistem
padang lamun adalah dengan memperhatikan berbagai aspek, baik aspek ekologis, teknis,
hukum dan kelembagaan, maka diperlukan kebijakan makro yang dapat dijadikan sebagai
kebijakan nasional dalam pengelolaan ekosistem padang lamun melalui pendekatan
holistik dan terpadu. Strategi pengelolaan ekosistem padang lamun yaitu mengelola
ekosistem padang lamun terintegrasi dengan pengelolaan lingkungan pesisir berbasis
ekosistem melalui pemberdayaan masyarakat dan kapasitas kelembagaan (Sudiarta dan
Wayan, 2011).

14
BAB III
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Lamun
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang dapat
tumbuh dengan baik pada lingkungan laut dangkal (Wood et al. 1969 dalam Tangke .U,
2010). Semua lamun adalah tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai
akar, rimpang (rhizoma), daun, bunga dan buah seperti halnya dengan tumbuhan
berpembuluh yang tumbuh di darat (Tomlinson, 1974 dalam Tangke. U, 2010).
Lamun merupakan tumbuhan yang beradaptasi penuh untuk dapat hidup pada
lingkungan laut. Eksistensi lamun di laut merupakan hasil dari beberapa adaptasi yang
dilakukan termasuk toleransi terhadap kadar garam yang tinggi, kemampuan untuk
menancapkan akar di substrat sebagai jangkar, dan juga untuk tumbuh dan melakukan
reproduksi pada saat terbenam. Lamun juga tidak memiliki stomata, mempertahankan
kutikel yang tipis, perkembangan shrizogenous pada sistem lakunar dan keberadaan
diafragma pada sistem lakunar. Salah satu hal yang paling penting dalam adaptasi
reproduksi lamun adalah hidrophilus yakni kemampuannya untuk melakukan polinasi
di bawah air.
Patriquin (1972) menjelaskan bahwa lamun mampu untuk menyerap nutrien dari
dalam substrat (interstitial) melalui sistem akar-rhizoma. Selanjutnya, fiksasi nitrogen
yang dilakukan oleh bakteri heterotropik di dalam rhizosper Halophila ovalis, Enhalus
acoroides, Syringodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii cukup tinggi lebih dari
40 mg N.m-2.day-1. Koloni bakteri yang ditemukan di lamun memiliki peran yang
penting dalam penyerapan nitrogen dan penyaluran nutrien oleh akar. Fiksasi nitrogen
merupakan proses yang penting karena nitrogen merupakan unsur dasar yang penting
dalam metabolisme untuk menyusun struktur komponen sel.

Berdasarkan genangan air dan kedalaman, sebaran lamun secara vertikal dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu (Kiswara 1997) :
1) Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal dan selalu terbuka saat air surut yang
mencapai kedalaman kurang dari 1 meter saat surut terendah. Contoh: Halodule
pinifola, Halodule uninervis, Halophila minor/ovata, Halophila ovalis, Thalassia
hemprichii, Cymodoceae rotundata, Cymodoceae serrulata, Syringodinium
isotifolium dan Enhalus acaroides.

15
2) Jenis lamun yang tumbuh di daerah kedalaman sedang atau daerah pasang surut
dengan kedalaman perairan berkisar antara 1-5 meter. Contoh: Halodule
uninervis, Halophila ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rotundata,
Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium, Enhalus acaroides dan
Thalassodendron ciliatum.
3) Jenis lamun yang tumbuh pada perairan dalam dengan kedalaman mulai 5-35
meter. Contoh: Halophila ovalis, Halophila decipiens, Halophila spinulosa,
Thalassia hemprichii, Syringodinium isotifolium dan Thalassodendron ciliatum.
B. Manfaat Lamun Dalam Ekosistem

Menurut (Azkab 1999) pada ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di
laut dangkal yang paling produktif. Di samping itu juga ekosistem lamun mempunyai
peranan penting dalam menunjang kehidupan dan penguraian organisme yang telah mati
di laut dangkal (Bengen 2001), seperti :
1. Sebagai produsen primer : Lamun memiliki tingkat produktifitas primer tertinggi bila
dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada dilaut dangkal seperti ekosistem
terumbu karang.
2. Sebagai habitat biota : Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat
menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (alga). Disamping itu, padang
lamun dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makanan
berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan karang (coral fishes).
3. Sebagai penangkap sedimen : Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang
disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan disekitarnya menjadi tenang.
Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen,
sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan. Jadi, padang lamun
disini berfungsi sebagai penangkap sedimen dan juga dapat mencegah erosi.
4. Sebagai pendaur zat hara: Lamun memegang peranan penting dalam pendauran
berbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka dilingkungan laut. Khususnya zat-
zat hara yang dibutuhkan oleh algae epifit.
Sedangkan menurut (Philips dan Menez 1988), ekosistem lamun merupakan salah
satu ekosistem bahari yang produktif, ekosistem lamun pada perairan dangkal berfungsi
sebagai :

16
1. Menstabilkan dan menahan sedimen-sedimen yang dibawa melalui tekanan-tekanan
dari arus dan gelombang.
2. Daunnya memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta mengembangkan
sedimentasi.
3. Memberikan perlindungan terhadap hewan-hewan muda dan dewasa yang
berkunjung ke padang lamun.
4. Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi.
5. Menfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan.
Padang lamun memiliki berbagai fungsi ekologi yang vital dalam ekosistem
pesisir dan sangat menunjang dan mempertahankan biodiversitas pesisir dan lebih
penting sebagai pendukung produktivitas perikanan pantai. Beberapa fungsi padang
lamun, yaitu:
1. Sebagai stabilisator perairan dengan fungsi sistem perakannya sebagai perangkap
dan pengstabil sedimen dasar sehingga perairan menjadi lebih jernih;
2. Lamun menjadi sumber makanan langsung berbagai biota laut (ikan dan non ikan);
3. Lamun sebagai produser primer;
4. Komunitas lamun memberikan habitat penting (tempat hidup) dan perlindungan
(tempat berlindung) untuk sejumlah spesies hewan; dan
5. Lamun memegang fungsi utama dalam daur zat hara dan elemen-elemen langka di
lingkungan laut (Phillips dan Menez, 1988; Fortes, 1990 dalam Tangke,U. 2010).
Selain itu secara ekologis padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi
wilayah pesisir, yaitu :
1. Produsen detritus dan zat hara.
2. Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak, dengan sistem.
3. Perakaran yang padat dan saling menyilang.
4. Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi
beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan
tersebut.
5. Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan
matahari.

17
C. Pemanfaatan Lamun Dalam Kehidupan
1. Lamun Sebagai Antioksidan dan Antibakteri
Dalam bidang kesehatan dapat digunakan sebagai antioksidan dan antibakteri.
Secara umum komponen fitokimia yang terdapat dalam Cymodocea sp. yang diperoleh
dari ekstrak metanol pada daun dan batang yaitu senyawa saponin, ekstrak etil asetat
pada daun dan batang diperoleh senyawa steroid, flavanoid, dan fenol hidrokuinon,
sedangkan senyawa yang diperoleh dari hasil ekstrak n-heksan pada batang dan daun
yaitu terpenoid. Saponin terdiri atas glikosida kompleks yaitu gugus glukosa dan
triterpenoid, jika dihidrolisis maka terbentuk senyawa triterpenoid dan glikosida (gula)
yang mengandung gugus hidroksil. Senyawa yang mempunyai gugus fungsi hidroksil
yang banyak atau dalam kondisi bebas (aglikon) mempunyai aktivitas antioksidan tinggi
yang diikuti dengan kadar total fenol yang tinggi. Menurut Robinson (1995), saponin
bersifat hipokolesterolemik, immunostimulator dan antikarsinogenik. Mekanisme
antikarsinogenik saponin meliputi efek antioksidan dan sitotoksik langsung pada sel
kanker. Berdasarkan hasil penelitian Tristanto (2014) pengujian aktivitas antioksidan
ekstrak daun Lamun Thalassia hemprichii dengan metode DPPH dapat ditarik
kesimpulan bahwa kemampuan meredam radikal bebas DPPH tergantung jenis pelarut.
Daun Lamun Thalassi hemprichii digolongkan sebagai antioksidan sangat kuat karena
memiliki nilai IC50 < 50 ppm. Molyneux (2004) menyatakan bahwa suatu senyawa
memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat jika nilai IC50<50 ppm.
Dewi, (2012), mengatakan keberadaan senyawa kimia golongan flavonoid,
alkaloid dan steroid dalam ekstrak kasar Enhalus acoroides pada penelitian ini
menunjukkan bahwa jenis lamun tersebut memiliki senyawa golongan alkaloid yang
potensial dimanfaatkan sebagai antibakteri dan bahan obat obatan analgesik. Senyawa
pada golongan ini diduga mampu mengganggu komponen penyusun peptidoglikan,
sehingga dinding sel bakteri tidak tersusun dengan utuh, kemudian menyebabkan
kematian.
2. Pemanfaatan Serasah lamun sebagai POC (Pupuk Organ Cair)

Penggunaan Pupuk Organik Cair (POC) memiliki kelebihan dapat memperbaiki


struktur tanah sehingga tanah menjadi gembur, meningkatkan daya serap tanah terhadap
air karena dapat mengikat air lebih banyak, memperbaiki kehidupan biologi tanah, dan

18
unsur hara di dalam Pupuk Organik Cair (POC) merupakan makanan bagi tanaman dan
sumber unsur hara N, P, dan K (Prihmantoro, 2004).

Berdasarkan hasil penelitian Dewi (2016) dalam pemanfaatan serasah lamun


sebagai POC menunjukkan bahwa lama fermentasi mempengaruhi kadar N, P, dan K
yang terkandung dalam pupuk organik cair serasah lamun. Kadar N, P, dan K tertinggi
diperoleh dari lama fermentasi 20 hari, dengan kadar N total sebesar 826,32 ppm, P
dalam phospat sebesar 38,16 ppm, dan K sebesar 871,52 ppm. Serasah lamun berpotensi
sebagai pupuk organik cair, tetapi dalam pemanfaatannya harus memperhatikan
ketersediaan serasah lamun di alam tanpa mengganggu kelestarian ekosistem lamun.
(Dewi, 2016)

D. Pengelolaan Ekosistem Lamun

Ekosistem lamun juga sangat menunjang keberlangsungan sumber daya perikanan.


Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004, terdapat 3
kategori yang menggambarkan kondisi padang lamun, yaitu sehat (penutupan lamun di
suatu daerah ≥60%), kurang sehat (penutupan lamun sekitar 30- 59.9%) dan miskin
(penutupan lamun antara ≤ 29.9%). Secara umum, persentase tutupan lamun di Indonesia
yang dihitung dari 166 stasiun pengamatan adalah 41,79%. Oleh karena itu status padang
lamun di Indonesia termasuk dalam kondisi “kurang sehat”. Salah satu contohnya adalah
hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Sigit (2015) menunjukkan kondisi padang
lamun Pantai Tawang dan Pantai Pidakan Pacitan Jawa Timur termasuk kategori kurang
sehat dengan persentase penutupan sebesar 37,66% dan 30,89%. Persentase penutupan
lamun di pantai tersebut selain dipengaruhi oleh faktor alami juga akibat aktivitas

19
manusia, yaitu tingginya kegiatan perahu nelayan di kawasan ini sehingga kekeruhan sulit
dihindarkan.

Menurut Sudiarta dan Wayan (2011), perumusan strategi pengelolaan ekosistem


padang lamun berkelanjutan dengan diadaptasi dari Undang-undang RI Nomor 27 tahun
2007, terdiri dari:
a. Strategi pengelolaan ekosistem padang lamun berkelanjutan sebagai rangkaian dari
pola tujuan, kebijakan, program, tindakan dan alokasi sumberdaya dalam
penyelenggaraan pengendalian kerusakan ekosistem padang lamun.
b. Mekanisme penyelenggaraan pengendalian kerusakan dan mekanisme pengelolaan
yang berkelanjutan.
c. Analisis kelembagaan dengan memperjelas tugas dan tanggung jawab instansi atau
lembaga terkait dalam penyelenggaraan pengelolaan ekosistem padang lamun serta
analisis peraturan perundang-undangan yang relevan.
d. Analisis kebutuhan sarana dan prasarana untuk menunjang pengelolaan ekosistem
padang lamun
Untuk memberikan arahan dan kesamaan langkah dalam pengelolaan ekosistem
padang lamun adalah dengan memperhatikan berbagai aspek, baik aspek ekologis, teknis,
hukum dan kelembagaan, maka diperlukan kebijakan makro yang dapat dijadikan sebagai
kebijakan nasional dalam pengelolaan ekosistem padang lamun melalui pendekatan
holistik dan terpadu. Strategi pengelolaan ekosistem padang lamun yaitu mengelola
ekosistem padang lamun terintegrasi dengan pengelolaan lingkungan pesisir berbasis
ekosistem melalui pemberdayaan masyarakat dan kapasitas kelembagaan (Sudiarta dan
Wayan, 2011).

Upaya pengelolaan lamun telah banyak dilakukan, misalnya pengelolaan teluk


Cheasapeake USA menggunakan kritera kualitas air sebagai instrumen, konservasi lamun
pada areal Taman Nasional Great Barrier Reef Australia dilakukan dengan perluasan
areal dan perlingdungan laut, pengelolaan dan konservasi lamun di Filipina dan Karibbia
dengan mengintegrasikan dalam program pengelolaan Marine Protected Area (MPA) dan
diperkuat oleh undang-undang. Pengelolaan lamun di perairan Indonesia telah
terintengrasi dalam sistem pengelolaan kawasan konservasi Taman Nasional Laut,
Konservasi Laut Daerah dan Kawasan Konservasi Taman Wisata Alam Laut dan Suaka

20
Perikanan (Syukur, 2013). Beberapa upaya pengelolaan yang dapat dilakukan untuk
menjaga kelestarian lamun diantarannya adalah:

1. Rehabilitasi lamun
Pengelolaan ekosistem lamun dengan rehabilitasi dapat dilakukan dengan
mengetahui kondisi ekosistem lamun di lapangan terlebih dahulu. Rehabilitasi lamun
dibedakan menjadi dua kategori, yaitu rehabilitasi lunak dan rehabilitasi keras
(Tangke, 2010). Rehabilitasi lunak berhubungan dengan penanggulangan akar
masalah, dengan kata lain jika akar masalah mampu diatasi maka alam akan mampu
untuk merehabilitasi dirinya sendiri secara alami. Rehabilitasi lunak lebih ditekankan
pada hal-hal sebagai berikut:
a. Kebijakan dan strategi pengelolaan yang jelas untuk menjadi acuan pelaksanaan
oleh para pemangku kepentingan (stake holders)
b. Penyadaran masyarakat (Public Awareness). Penyadaran masyarakat dapat
dilakukan dengan berbagai pendekatan, misalnya kampanye penyadaran lewat
media elektronik dan cetak, penyebaran melalui berbagai materi kampanye
(poster, sticker, booklet, dan lain-lain) dan pengikutsertaan tokoh masyarakat
dalam penyebarluasan bahan panyadaran.
c. Pendidikan mengenai lingkungan termasuk pentingna melestarikan padang lamun
yang dapat disampaikan melalui jalur pendidikan formal dan non formal.
d. Pengembangan riset untuk mendapatkan informasi yang akurat untuk mendasari
pengambilan keputusan pengelolaan lingkukngan.
e. Mata pencaharian alternatif yang ramah lingkungan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang lebih sejahtera lebih mudah diajak
untuk menghatgai dan melindungi lingkungan.
f. Pengikutsertaan masyarakat dalam berbagai kegiatan lingkungan sehingga
memberi motivasi yang lebih kuat untuk menjamin keberlanjutannya sebagai
upaya pelestarian lingkungan.
g. Pengembangan daerah perlindungan padang lamun (seagrass sanctuary) berbasis
masyarakat sebagai bank sumber daya yang dapat menjamin ketersediaan sumber
daya ikan dalam jangka panjang.

21
h. Pengembangan peraturan perundang-undangan dengan melibatkan masyarakat
luas dan penegakan hukum secara konsisten.
Rehabilitasi keras berkaitan dengan kegiatan langsung perbaikan lingkungan di
lapangan, misalnya melalui rehabilitasi lingkungan atau dengan transplantasi lamun
di lingkungan yang perlu direhabilitasi. Rehabilitasi lamun dengan menggunakan
teknik transplantasi lamun dapat dilakukan dalam beberapa langkah; 1) pengumpulan
spesies transplan dari lokasi donor. 2) Transplan kemudian ditanamn di area
rehabilitasi dengan membuat lubang transplantasi untuk memastikan rimpang dari
transplantasi dapat dikubur secara horisontal dengan kedalaman 15-20 cm. 3)
Selanjutnya melakukan pemantauan kelangsungan hidup transplantasi setelah tiga
dan sebelas bulan transplantasi. Waktu tiga bulan dimaksudkan untuk memberikan
waktu adaptasi pada transplantasi dan pemantauan kesebelas bulan dimaksudkan
untuk mengamati kemampuan transplantasi tumbuh di daerah baru (Irawan, 2017).
Contoh penerapan teknik transplantasi, misalnya karena faktor sedimentasi
sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Irawan (2017) dengan menggunakan 3
lokasi dengan perbedaan karakter yang didasarkan pada kondisi ketika air surut
diantarannya yaitu area kering/ terbuka, area basah/ berlumpur, dan dalam/ daerah
terendam. Hasil penelitian menunjukkan transplan yang tumbuh di daerah terbuka
menjadi kering dan mati, pada daerah basah/ berlumpur daun transplan menjadi
kering tetapi organ yang terkubur seperti akar, rimpang dan daun masih segar di
beberapa transplan, sedangkan transplan pada lokasi yang terendam masih bertahan.
Hal ini menunjukkan distribusi dan kelimbahan spesies transplan berkaitan dengan
salinitas dan kedalaman.

Gambar 2. Transplantasi lamun pada tiga karakter tempat, A) area kering/ terbuka
dan area basah/ berlumput dan B) area dalam

Berdasarkan hasil penelitian tersebut upaya merehabilitasi lamun akibat


sedimentasi langkah yang dilakukan adalah memindahkan sedimen sampai

22
kedalaman tertentu selama air surut untuk memastikan transplantasi terendam di air
laut. Selain itu pemerintah daerah harus mengurangi laju sedimentasi dari daratan
karena sedimentasi mengakibatkan pantai menjadi dangkal dan terbuka selama air
surut. Dengan demikian, teknik rehabilitasi lamun dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan penyebab degradasi lamun dan kesesuaian antara lingkungan
dengan karakteristik transplan.

2. Pengelolaan berbasis masyarakat


Pengelolaan berbasis masyarakat (community base management) merupakan
pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintahan
setempat yang bertujuan untuk melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam
kegiatan perencanaan dan pelaksanaan suatu pengelolaan sumber daya alam yang
terkandung didalamnya. Pengelolaan berbasis masyarakat diawali dengan
pemahaman bahwa masyarakat mempunyai kemampuan untuk memperbaiki kualitas
hidupnya sendiri dan mampu mengelola sumber daya mereka dengan baik (Utomo,
Sri dan Chatarina, 2017). Kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat saat ini
menunjukkan bahwa masyarakat masih membutuhkan dukungan dan persetujuan dari
pemerintah setempat dalam hal pengambilan keputusan. Demikian pula dalam
pelaksanaan suatu kegiatan, dukungan pemerintah masih memegang peranan penting
dalam memberikan pengarahan, bantuan teknis, dan merestui kegiatan yang sudah
disepakati bersama.
Masyarakat lokal merupakan salah satu kunci dari pengelolaan sumberdaya alam,
sehingga praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang masih dilakukan oleh
masyarakat lokal secara langsung menjadi bibit dari penerapan konsep tersebut. Tidak
ada pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil dengan baik tanpa mengikutsertakan
masyarakat lokal sebagai pengguna dari sumberdaya alam tersebut. Menurut Hughes
dalam Syukur (2013), pengetahuan ekologi masyarakat lokal sangat penting untuk
pengelolaan sumber daya alam dan dapat mendorong perubahan paradigma
pengelolaan yang berpusat pada pengelolaan dengan pendekatar adaptif managemen.
Adanya umpan balik antara masyarakat dan ekosistem merupakan bentuk adaptif dari
kebijakan pengelolaan. Pemahaman masyarakat tentang keragaman jenis ikan dan
biota laut lainnya pada lokasi padang lamun dapat menjadi indikator sebagai
instrumen pengelolaan yang bersumber dari pengetahuan ekologi masyarakat lokal.

23
Pengetahuan ekologi masyarakat lokal pada dasarnya adalah bentuk akumulasi
pemahaman yang diperoleh secara langsung berinteraksi dengan sumber daya yang
ada pada padang lamun dan informasi yang diperoleh dari pendahulunya.
pengetahuan ekologi masyarakat lokal dapat meliputi pengetahuan masyarakat lokal
tentang jenis dan distribusi jenis lamun di lingkungan laut serta manfaat lamun bagi
lingkungan laut, khususnya keragaman biota laut yang membutuhkan lamun sebagai
habitatnya. Pengetahuan ekologi masyarakat dapat digunakan sebagai alat untuk
mendeteksi perubahan nilai sumber daya dalam jangka waktu panjang yang meliputi
luas maupun berkurangnya luas distribusi dari suatu sumber daya alam (Syukur,
2013).
Dari penelitian Metekohy yang berjudul Strategi Pengelolaan Ekosistem Lamun
Di Perairan Pantai Kampung Holtekamp Distrik Muara Tami Kota Jayapura Provinsi
Papua didapat hasil analisa SWOT terhadap faktor internal dan eksternal yang
dilakukan, didapatkan strategi pengelolaan ekosistem lamun Kampung Holtekamp
sesuai prioritas.
Strategi pengelolaan ekosistem lamun Kampung Holtekamp adalah sebagai
berikut:
1. Sosialisasi kepada masyarakat tentang fungsi-fungsi ekosistem lamun
2. Pelaksanaan kegiatan aksi bersih lingkungan untuk menjaga mutu dan kualitas
lingkungan
3. Mengintensifkan kegiatan pengawasan terhadap ekosistem lamun dan daerah
sekitarnya
4. Menetapkan peraturan Kampung tentang pelestarian sumberdaya ekosistem
lamun
5. Konservasi ekosistem padang lamun
6. Penetapan ekosistem padang lamun sebagai lab alam
7. Penetapan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan didaerah padang
lamun
8. Mengintensifkan pengelolaan limbah yang berasal dari PLTU
9. Penetapan dan pengadaan tempat penampungan sampah
10. Penataan kawasan pemanfaatan di daerah padang lamun
11. Pemasangan tanda larangan pembuangan sampah di lokasi wisata.

24
Strategis Eksternal Strategi Pengelolaan Ekosistem Lamun Kampung
Holtekamp.
Peluang:
1. UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau
kecil, yang didalamnya mengatur tentang perlindungan terhadap ekosistem
pesisir, salah satunya adalah ekosistem lamun.
2. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk dapat dijadikan sebagai acuan
bagi para pengelola untuk mengelola ekosistem lamun.
Ancaman:
1. Sampah yang terbawa arus dari pemukiman masyarakat dan dari luar
2. Limbah yang berasal dari aktifitas bongkar muat kapal di Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) Holtekamp
3. Limbah yang berasal dari aktifitas operasional PLTU Holtekamp
4. Sampah yang berasal dari wisatawan

Strategis Internal Strategi Pengelolaan Ekosistem Lamun Kampung


Holtekamp.
Kekuatan:
1. Fungsi ekologi, biologi ekosistem lamun
2. Jumlah jenis dan kerapatan jenis lamun
3. Biota yang hidup berasosiasi pada ekosistem lamun
4. Merupakan fishing ground oleh masyarakat sekitar
5. Merupakan tempat wisata bagi masyarakat Kota Jayapura
Kelemahan:
1. Tidak adanya peraturan Kampung tentang pelestarian sumberdaya ekosistem
lamun
2. Belum adanya penataan kawasan lamun dalam pemanfaatan

25
BAB IV
PENUTUP
1. Simpulan
1. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang dapat
tumbuh dengan baik pada lingkungan laut dangkal. Lamun memiliki akar
sejati, daun, dan batang (rhizoma) yang merupakan sistem yang menyalurkan
nutrien, air dan gas. Salah satu hal yang paling penting dalam adaptasi
reproduksi lamun adalah hidrophilus yakni kemampuannya untuk melakukan
polinasi di bawah air.
2. Lamun dalam ekosistem berfungsi sebagai produsen primer, habitat biota,
penangkap sedimen, dan pendaur zat hara
3. Lamun kehidupan dapat bermanfaat sebagai antioksidan dan antibakteri serta
dapat digunakan sebagai bahan pupuk organik cair
4. Upaya pengelolaan ekosistem lamun yaitu dengan rehabilitasi dan pengelolaan
berbasis masyarakat
2. Saran
Untuk penulis selanjutnya sebaiknya membahas adaptasi anatomi dan fisiologi
lamun di air dengan salinitas tinggi serta upaya konservasi pada ekosistem lamun.

26
DAFTAR PUSTAKA
Arkham Muhammad, N, Luky Adrianto dan Yusli Wardiatno. 2015. The Study of
Seagrass Ecosystem and Small-Scale Fisheries Linkages (Case Studie: Malang
Rapat and Berakit village, Bintan Regency, Riau Islands). Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. J. Sosek KP Vol. 10 No. 2 tahun 2015: 137-148.

Azkab, M H. 1999. Pedoman inventarisasi lamun. Oseana, XXIV(1): 1-16.

Azkab, M. H. 2001. Peggunaan Inderaja Pada Padang Lamun. Oseana, XXVI(2): 9-16

Bengen, D. G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Bogor: Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.

Dewi N.K dan Sigit, 2015. Status Padang Lamun Pantai-Pantai Wisata di Pacitan.
Madiun: Program Studi Pendidikan Biologi, FPMIPA, IKIP PGRI. Jurnal Ilmiah
Biogenesis ISSN 2302-1616 Vol 3, No. 1, Hal 53-59.

Dewi, N.K., dkk. 2016. pemanfaatan serasah lamun (seagrass) sebagai bahan baku POC
(pupuk organic cair). Proceeding Biology Education Conference (ISSN: 2528-
5742), Vol 13(1) 2016: 649-652. IKIP PGRI Madiun.

Dewi, C.S., Soedharma, D., Mujizat. 2012. Komponen fitokimia dan toksisitas senyawa
bioaktif dari lamun Enhalus acoroidesdan Thalassia hemprichii dari pulau
pramuka,DKI Jepara. Jurnal Teknologi Perikanan dan Krlautan. 3 (2) : 23-27.

Hernawan et al. 2017. Status Padang Lamun Indonesia 2017. Jakarta: Puslit Oseanografi-
LIPI
Hutomo, H. 1997. Padang Lamun Indonesia: Salah Satu Ekosistem Laut Dangkal yang
belum banyak Dikenal. Jurnal Puslitbang Oseanologi. Jakarta: LIPI.

Irawan, A. 2017. Transplantation of Enhalus Acoroides on a Sedimentary Beach in


Ambon Bay. Global Colloquium On Geosciences And Engineering, IOP Conference
Series: Earth And Environmental Science 118012054

Keputusan Menteri Megara Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004 Tentang Kriteria
Baku Kerusakan Dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun

Kiswara, W. 1997. Struktur Komunitas Padang Lamun Perairan Indonesia:


Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut Pesisir II. Jakarta: Pusat Penelitian
dan Pengembangan-LIPI.

27
Metekohy, Eryon. 2016. Strategi Pengelolaan Ekosistem Lamun Di Perairan Pantai
Kampung Holtekamp Distrik Muara Tami Kota Jayapura Provinsi Papua. Program
Studi Manajemen Sumberdaya Pesisir – Universitas Ottow Geissler Papua. The
Journal of Fisheries Development, Juli 2016 Volume 3, Nomor 1 Hal : 1 – 10

McRoy, C.P. & C. Helferich. 1977. "Sea Grass Ecosystem" Marcel Dekker Inc. New
York & Basel pp. 314.

Molyneux, P. 2004. The use of the stable free radical dyphenylpicrylhydrazil (DPPH) for
estimating antioxidant activity. Journals of Science and Technology. 26:211-219

Phillips, R. C., E.G. Menez. 1988. Seagrass in: Smithsonian Contribusion on the Marine
Science no. 34. Washington, D.C: Smithsonian Institution Press.

Prihmantoro, H. 2004. Memupuk Tanaman Buah. Jakarta: Penebar Swadaya

Sudiarta, IK dan Wayan R. 2011. Kondisi dan Strategis Pengelolaan Komunitas Padang
Lamun di Wilayah Pesisir Kota Denpasar, Provinsi Bali. Jurnal Bumi Lestari
11(2): 195-207
Syukur, Abdul. 2013. Pengetahuan Ekologi Masyarakat Lokal Sebagai Indikator
Penilaian Potensi Lamun (Seagrass) di Tanjung Luar Lombok Timur. Jurnal Biologi
Tropis 13 (2): 209- 217

Tangke Umar, 2010. Ekosistem Padang Lamun (Manfaat, Fungsi dan Rehabilitasi).
Ternate: Staf Pengajar Faperta UMMU-Ternate. Jurnal Ilmiah agribisnis dan
Perikanan. Volume 3 Edisi 1.
Tristanto, R., dkk. 2014. Optimalisasi Pemanfaatan daun lamun Thalassia hemprichii
sebagai sumber antioksidan alamai. Jurnal saintek perikanan Available online at
Indonesian Journal of Fisheries Science and Technology (IJFST). Semarang:
Universitas Diponegoro.

28

Anda mungkin juga menyukai