Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH EKOLOGI LAUT TROPIS

FITUR ARSITEKTURAL PADA LAMUN

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekologi Laut Tropis


Dosen Pengampu: Oktora Susanti, S.Pi., M.Si.

Kelompok 3:

Fitria Tri Anggraini 1914221022


Ira Septiliana 1914221028
Rian Efriawan 1954221002
Saepudin 2014221008
Fadillah Asmaulfah 2014221011
Edo Febryan 2014221012

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

JURUSAN PERIKANAN DAN KELAUTAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2021
I. LATAR BELAKANG

Lamun (seagrass) merupakan salah satu ekosistem yang penting pada daerah
pesisir. Ekosistem lamun berperan penting sebagai produsen dalam jaring
makanan daerah pesisir (Trisnawati, 2012). Secara ekologi lamun mempunyai
beberapa fungsi penting di daerah pesisir, mereka merupakan sumber makanan
penting bagi banyak organisme (dalam bentuk detritus) (Nybakken, 1992). Saat
ini perhatian orang terhadap ekosistem lamun tidak seperti perhatian terhadap
ekosistem mangrove maupun ekosistem terumbu karang. Padahal secara ekologis
lamun juga mempunyai peranan yang cukup besar. Padang lamun telah diketahui
sebagai salah satu ekosistem paling produktif di perairan pesisir atau laut dangkal
(Takaendengan dan Azkab, 2010).

Menurut Kiswara dan Hutomo (1985), lamun biasanya tumbuh pada substrat
pasir, pasir berlumpur, lumpur lunak dan karang. Lamun dapat ditemukan hampir
di seluruh wilayah perairan di Indonesia. Dari 50 jenis lamun yang ada, di
Indonesia ditemukan 12 jenis lamun yaitu Syringosium isooetifolium, Cymodocea
rotundata, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halophila spinulosa,
Halophila minor, Halophila decipiens, Halodule pinifolia, Halodule uninervis,
Thalassondendran ciliatum, Cymodocea serrulata, dan Enhalus acoroides.

Penyebaran ekosistem lamun di Indonesia cukup luas yaitu di perairan Jawa,


Sumatra, Bali, Kalimatan, Maluku, Irian Jaya dan Sulawesi. Perairan Sulawesi
khususnya di provinsi Gorontalo bagian utara tepatnya di Desa Garapia 2
Kecamatan Monano misalnya, memiliki banyak sumberdaya alam pesisir yang
potensial. Salah satu ekosistem pesisir yang cukup potensial adalah ekosistem
lamun. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan di kawasan pesisir pantai
Desa Garapia terdapat hamparan lamun yang cukup luas. Tetapi selama ini
informasi tentang jenis dan pola penyebaran lamun hingga saat ini belum ada
penelitian yang mengkaji tentang lamun (Azkab, 2009). Sehingga dengan adanya
makalah ini maka kita akan mengetahui kajian lamun lebih lanjut tantang fitur
arsitektural yang terdapat pada tumbuhan tersebut.
II. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Lamun


Lamun or sea grasses merupakan satu-satunya kelompok tumbuhan-
tumbuhan berbunga yang terdapat di lngkungan laut dan hidup di perairan
pantai yang dangkal. Seperti halnya rumput di darat, mereka mempunyai
tunas berdaun yang tegak dan tangkai-tangkai yang merayap yang efektif
untuk berkembang biak. Lamun hiasan, berbuah, dan menghasilkan
biji. Mereka juga mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut gas
dan zat-zat berbahaya. Tersedia 4 hal ciri-ciri lamun:
a. Toleransi terhadap kadar garam lingkungan.
b. Tumbuh pada perairan yang selamanya terendam.
c. Mampu bertahan dan mengakar pada lahan dari hempasan ombak dan
arus.
d. Menghasilkan polinasi hydrophilous (benang sari yang tahan terhadap
kondisi perairan), (Hadi Endrawati, 2000).

Lamun (lamun) adalah tumbuhan tumbuhan (angiospermae) yang berbiji satu


(monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah. Jadi sangat
berbeda dengan rumput laut (algae) (Wood et al. 1969). Lamun dapat
ditemukan di seluruh dunia kecuali di daerah kutub. Lebih dari 52 jenis
lamun yang telah ditemukan. Di Indonesia hanya terdapat 7 genus dan sekitar
15 jenis yang termasuk ke dalam 2 famili yaitu: Hydrocharitacea (9 marga,
35 jenis) dan Potamogetonaceae (3 marga, 15 jenis). Jenis yang membentuk
komunitas padang lamun tunggal, antara lain: Thalassia hemprichii, Enhalus
acoroides, Halophila ovalis, Cymodoceae serulata, dan Thallasiadendron
ciliatum. Dari beberpa jenis lamun, Thalasiadendron ciliatum mempunyai
sebaran yang terbatas, sedangkan Halophila spinulosa tercatat di daerah Riau,
Anyer, Baluran.
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang dapat
tumbuh dengan baik pada lingkungan laut dangkal (Wood et al. 1969). Semua
lamun adalah tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai akar,
rimpang (rhizoma), daun, bunga dan buah seperti halnya dengan tumbuhan
berpembuluh yang tumbuh di darat (Tomlinson, 1974). Lamun senantiasa
membentuk hamparan permadani di laut yang dapat terdiri dari satu species
(monospesific; banyak terdapat di daerah temperate) atau lebih dari satu
species (multispecific; banyak terdapat di daerah tropis) yang selanjutnya
disebut padang lamun. Ekosistem padang lamun merupakan ekosistem pesisir
yang ditumbuhi oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan serta mampu
hidup secara permanen di bawah permukaan air laut.

Ekosistem padang lamun merupakan suatu ekosistem yang kompleks dan


mempunyai fungsi dan manfaat yang sangat panting bagi perairan wilayah
pesisir. Secara taksonomi lamun (seagrass) termasuk dalam kelompok
angiospermae yang hidupnya terbatas di lingkungan laut yang umumnya
hidup di perairan dangkal wilayah pesisir. Distribusi lamun sangatlah luas,
dari daerah perairan dangkal Selandia baru sampai ke Afrika. Dari 12 genera
yang telah dikenal, 7 genera diantaranya berada dan tersebar di wilayah tropis
(Den Hartog, 1970). Diversitas tertinggi ialah di daerah Indo Pasifik Barat.
Komunitas lamun di wilayah ini mempunyai diversitas yang lebih kompleks
dibanding yang berada di daerah sedang (Poiner & Robert., 1986).

2.2 Fitur Arsitektural Lamun


Arsitektural lamun adalah cara bagaimana lamun mempertahankan dirinya
saat berada di perairan. Lima fitur ukuran arsitektural yang umum digunakan
adalah kerapatan pucuk, jumlah daun setiap pucuk, rata-rata panjang daun,
rata-rata lebar daun dan biomassa pucuk yang diukur dari pucuk tanaman
lamun yang dikumpulkan dari dua bedengan. Arsitektural pada setiap lamun
berbeda-beda. Perbedaan arsitektural ini disebabkan oleh pengaruh faktor
lingkungan lokal. Nilai biomassa tunas dicatat dari dua buah lamun yang
berbeda Jenis bedengan serupa pada skala besar dan kecil, tetapi nilai yang
dicatat dari tempat tidur retikulat umumnya lebih tinggi dari pada tempat
tidur kontinu pada medium skala.

Selain itu, karakteristik arsitektural dalam bedengan tanaman lamun sebagian


ditentukan oleh morfologi fitur dan tanaman individu, seperti jumlah daun,
panjang daun, lebar daun dan beban epifit, dan menurut jumlah tanaman yang
ada per unit luas (pucuk kepadatan) di dalam padang lamun (Kikuchi dan
Pe´re`s, 1977; Hemminga dan Duarte, 2000).

Arsitektural pada lamun terdiri dari faktor fisik dan biologis yaitu antara lain:
1. Hidrodinamik, proses yang memiliki pengaruh lebih besar pada arsitektur
dalam tempat tidur dari tempat tidur retikulat daripada di dalam yang
berkelanjutan, mengingat yang pertama lebih banyak terkena gerakan air
(Fonseca et al., 1983). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa padang
lamun cenderung lebih terfragmentasi di tempat Gerakan air yang kuat dan
memiliki gerakan yang lebih kontinu morfologi di lingkungan energi
rendah. Selain pergerakan air, sifat fisika-kimiawi dari sub stratum dan
geomorfologi dasar laut dapat menjadi faktor tambahan yang
berkontribusi.
2. Peningkatan kekeruhan kolom air, timbul dari resuspensi sedimen (Gacia
dan Duarte, 2001) dari patch dengan sedimen lunak yang diselingi tempat
tidur retikulat yang akan menyebabkan penurunan jumlah cahaya yang
tersedia untuk tanaman di tipe bedengan.
3. Penggembalaan, yang mungkin lebih intens pada retikulat tempat tidur,
karena adanya tambalan dan 'koridor' pasir gundul akan memungkinkan
mobilitas besar yang lebih tinggi pada herbivora (Cebria´n et al., 1996).

Faktor lingkungan fisik dan biotik juga memiliki besaran pengaruh yang
berbeda terhadap lamun yang berbeda jenis, misalnya arus. Tindakan
gelombang dapat diantisipasi, karena dapat menyebabkan pengaruh fisik yang
lebih besar, stres pada retikulat. Hal tersebut dikarenakan sebelumnya
memiliki rasio tepi ke area yang lebih besar. Resuspensi sedimen, berasal dari
petak berpasir yang diselingi tempat tidur retikulat akan kurangi jumlah
cahaya yang tersedia untuk tanaman yang terletak di tempat tidur retikulat
baik secara langsung melalui pengurangan air transparansi, dan secara tidak
langsung melalui peningkatan jumlah epifit yang ada pada permukaan daun
dengan respon terhadap peningkatan kadar nutrisi di kolom air. Sehingga
menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan rata-rata biomassa pucuk, rata-
rata CSD pada tiga tingkat spasial:
a. Besar.
b. Sedang.
c. Kecil.

Batang hitam menunjukkan sarana untuk tempat tidur kontinu, batang putih
menunjukkan sarana untuk tempat tidur retikulat. tingkat pertumbuhan yang
lebih rendah dan perubahan arsitektur tanaman secara karakteristik. Tempat
tidur pada lamun berfungsi sebagai tempat makan dan pembibitan bagi
banyak spesies (Mazzella et al., 1992), termasuk secara komersial pada ikan
(Bell dan Harmelin-Vivien, 1982).

Selain yang telah dijelaskan sebelumnya, fitur arsitektural pada lamun juga
dapat berbentuk akar. Lamun membentuk kisi akar-rimpang padat, yang
dikenal sebagai “matte”, yang terkadang dapat berkembang menjadi beberapa
meter (Romero et al., 1994). Morfologi dasar pada lamun dipengaruhi oleh
kejadian alam dan proses lingkungan seperti badai, arus dan sedimentasi serta
aktivitas antropogenik seperti pukat pembangunan pesisir dan pekerjaan
rehabilitasi pantai, penahan kapal dan polusi. Sebagai akibat dari morfologi
tersebut maka menjadikan lapisan tidak merata seperti kumpulan petak-petak
yang terisolasi.

Oleh karena itu, akibat tekanan lingkungan yang seperti itu akan berdampak
pada tanaman di dalam bedengan retikulat, menghasilkan arsitektural
perbedaan antara dua jenis yang berbeda. beberapa fisik dan karakteristik
lingkungan biologis mungkin berbeda antara tepi dan bagian dalam padang
lamun. Hal ini termasuk dalam arsitektur padang lamun (Bowden, 2001) dan
kelimpahan fauna terkait karakteristik arsitektural dasar samudera pada suatu
angka skala spasial, bervariasi antara puluhan kilometer dan beberapa meter.
Balestri (2003) mencatat secara signifikan bahwa perbedaan variabilitas
terdeteksi di tingkat spasial puluhan kilometer dan beberapa ratus meter.
Perubahan tipe dasar (kontinyu/reticulate) yang mungkin dihasilkan dari
antropogenik atau fragmentasi habitat alami dapat mempengaruhi arsitektur
habitat di dalam hamparan lamun.
DAFTAR PUSTAKA

Azkab, 2009. Pedoman Inventarisasi Lamun. Pusat Peneltian Oseanografi


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Balestri, E., Vallerini, F., Cinelli, F. 2003. Variabilita` Spaziale di Alcune


Caratteristiche Strutturale e Morphologiche in Posidonia Oceanica.
Biologia Marina Mediterranea 10, 1051–1053.

Bell, J.D., Harmelin-Vivien, M.L. 1982. Fish fauna of French Mediterranean


Posidonia Oceanica Meadows. 1. Community Structure. Tethys 10, 337–
347.

Bowden, D. A., Rowden, A. A., Attrill, M. J. 2001. Effect of Patch Size and In-
Patch Location on The Infaunal Macroinvertebrate Assemblages of
Zostera Marina Seagrass Beds. Journal of Experimental Marine Biology
and Ecology 259, 133–154.

Cebria´n, J., Duarte, C.M., Marba`, N., Enriquez, S., Gallegos, M., Olesen, B.
1996. Herbivory on Posidonia Oceanica: Magnitude and Variability in The
Spanish Mediterranean. Marine Ecology Progress Series 130, 147–155.

Den Hartog, C. 1970. Sea Grasses of The World. North Holland Publishing.
Amsterdam, London pp. 272.

Endrawati, H., dan Zainuri, M. 2000. Keanekaragaman Hayati Produser


Sekunder Pada Beberapa Habitat dan Ekosistem di Perairan Jepara.

Fonseca, M. S., Zieman, J. C., Thayer, G. W., Fisher, J. S. 1983. The Role of
Current Velocity in Structuring Eelgrass (Zostera Marina) Meadows.
Estuarine, Coastal and Shelf Science 17, 367–380.
Gacia, E., Duarte, C. M. 2001. Sediment Retention by a Mediterranean Posidonia
Oceanica Meadow: The Balance Between Deposition and Resuspension.
Estuarine, Coastal and Shelf Science 52, 505–514.

Hemminga, M. A., Duarte, C. M. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge University


Press, Cambridge, UK. 298 Pp.

Kikuchi, T., Pe´Re`S, J. M. 1977. Animal Communities in Seagrass Beds: A


Review. In: Mcroy, C. P., Helfferich, C. (Eds.), Seagrass Ecosystems, A
Scientific Perspective. Marcel Dekker, New York, Pp. 147–193.

Kiswara, W dan M. Hutomo. 1985. Habitat dan Sebaran Geografik Lamun. Jurnal
Oseana Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. XII (1): 21- 30.

Mazzella, L., Buia, M.C., Gambi, M.C., Lorenti, M., Russo, G.F., Scipione, M.B.,
Zupo, V. 1992. Plant-Animal Trophic Relationships in The Posidonia
Oceanica Ecosystem of The Mediterranean Sea: A Review. In: John,
D.M., Hawkins, S.J., Price, J.H. (Eds.), Plant Animal Interactions in The
Marine Benthos. Systematics Association Special Volume No 46.
Clarendon Press, Oxford, UK, Pp. 165–187.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia


Pustaka Utama. Jakarta.

Poiner, I. R., and G. Roberts. 1986. A Brief Review of Seagrass Studies in


Australia. Proc. National Conference and Coastal Management. 2, 243-
248.

Romero, J., Pe´Rez, M., Mateo, M.A., Sala, E. 1994. The Below Ground Organs
of The Mediterranean Seagrass Posidonia Oceanica as a Biogeochemical
Sink. Aquatic Botany 47, 13–19.

Takaendengan, K dan Azkab, M. H. 2010. Struktur Komunitas Lamun di Pulau


Talise, Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 36 (1):
85-95.

Thomlinson, P. B. 1974. Vegetative Morphology and Meristem Dependence - The


Foundation of Productivity in Seagrass. Aquaculture 4: 107-130.
Trisnawati, Nur. 2012. Struktur Komunitas Meiofauna Interstisial di Substrat
Padang Lamun Pulau Pari Kepulauan Seribu. Skripsi. Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Depok.

Anda mungkin juga menyukai