Anda di halaman 1dari 17

Tugas Mata Kuliah

PRODUKTIVITAS PERAIRAN

Dosen Pengampu : Dr. Ir. Niken Tunjung Murti Pratiwi, M.Si

Lamun (seagrass)

Oleh :
Selia Hermawati (C251170091)
La Ode Syahlan S. Sagala (C251160151)
Luk Luk il Maknuun (C251170051)

SEKOLAH PASCASARJANA
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2017
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ekosistem laut tropis mencakup berbagai macam ekosistem yang berada


pada daerah tropis, yaitu ekosistem mangrove, ekosistem lamun, dan ekosistem
terumbu karang. Ketiga ekosistem ini saling membentuk interaksi yang terkait satu
sama lain. Interaksi yang terbentuk dari ketiga ekosistem tersebut mencakup
interaksi fisik, bahan organik terlarut, bahan organik partikel, dan migrasi fauna.
Ekosistem lamun merupakan suatu sistem ekologi padang lamun yang di
dalamnya terjadi hubungan timbal balik antara komponen abiotik (sedimen dan
air) dan komponen biotik (hewan dan tumbuhan) (Azkab 2006). Ekosistem lamun
merupakan salah satu ekosistem laut terkaya dan produktif. Nilai produksi lamun
dapat mencapai 460 m2/tahun bahkan dapat lebih dari dua kali lipatnya
(Hemminga dan Duarte 2000). Produktivitas primer yang tinggi dan sistem
perakaran yang rumit menjadikan lamun sebagai sumber bahan organik dan
stabilitas pantai serta ekosistem lain disekitarnya. Lamun bersama-sama dengan
mangrove dan terumbu karang merupakan satu pusat kekayaan plasma nutfah dan
keanekaragaman hayati, khususnya di Indonesia dan perairan tropis pada
umumnya.
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang
berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah
(Azkab, 1999). Tumbuhan ini hidup di habitat perairan pantai yang dangkal hingga
kedalaman 3 meter dilautan tropis hingga sub tropis. Lamun dapat tumbuh pada
daerah yang sangat luas seperti: pasir kasar, puing-puing karang atau lumpur halus
dasar laut. Lamun juga membentuk padang yang padat dan produktif hingga disebut
sebagai padang lamun.
Ada sekitar 50 jenis lamun yang ditemukan di dunia yang tumbuh pada
perairan laut dangkal yang berdasar lumpur atau pasir (Azkab, 1999). Dari 50
jenis lamun tersebut, ada 12 jenis yang ditemukan di Indonesia yaitu Syringodium
isoetifolium, Halophila ovalis, Halophila spinulosa, Halophila minor, Halophila
decipiens, Halodule pinifolia, Halodule uninervis, Thalassodendrom ciliatum,
Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Thalassia hemprinchii dan Enhalus
acoroides (Azkab, 1999). Berdasarkan temuan pihak Balai Taman Nasional
Kepulauan Seribu dari 12 jenis lamun yang tumbuh di Perairan Indonesia, 7 jenis
diantaranya dapat ditemukan di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu
(BTNKpS, 2005).
Keberadaan ekosistem lamun telah memberikan kontribusi yang cukup
besar baik secara ekologis maupun ekonomi. Secara ekologis lamun dapat
berperan diantaranya sebagai stabilisator sedimen, filtrasi air, pendaur zat hara,
dan pelindung erosi pantai, sedangkan secara ekonomis ekosistem lamun
merupakan habitat dan tempat berlindung ikan ekonomis penting (Persulessy dan
Pramudji 1997).

LAMUN (Seagrass)

2.1. Pengertian Umum

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (Anthophyta) yang hidup


dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, berpembuluh, berimpang (rhizome),
berakar, dan berkembang biak secara generatif (biji) dan vegetatif. Rimpangnya
merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh terbenam dan menjalar dalam
substrat pasir, lumpur dan pecahan karang (Azkab, 2006). Lamun merupakan
tumbuhan yang mempunyai pembuluh secara struktur dan fungsinya memiliki
kesamaan dengan tumbuhan yang hidup di daratan. Seperti halnya tumbuhan
rumput daratan, lamun secara morfologi tampak adanya daun, batang, akar, bunga
dan buah, hanya saja karena lamun hidup di bawah permukaan air, maka sebagian
besar lamun melakukan penyerbukan di dalam air. Lamun sebagai tumbuhan
berbunga sepenuhnya menyesuaikan diri untuk hidup terbenam dalam laut.
Tumbuhan ini terdiri dari daun, rhizoma (rimpang) dan akar. Lamun merupakan
satu-satunya tumbuhan berbunga yang dapat hidup di bawah permukaan air, lebih
cenderung mirip dengan tanaman teresterial teratai dan jahe daripada rumput yang
sebenarnya dan mereka tumbuh pada sedimen dasar laut dengan tegak, daun
memanjang, dan akar terkubur seperti rimpang. Vegetasi lamun yang lebat dapat
terdiri dari suatu komunitas tunggal atau lebih membentuk padang lamun
(Wahyudin, et al., 2016).
Padang lamun (seagrass bed) adalah hamparan vegetasi lamun yang
menutupi suatu area pesisir/laut dangkal yang terbentuk oleh satu jenis lamun
(mono specific) atau lebih (mixed vegetation) dengan kerapatan tanaman yang padat
(dense) atau jarang (sparse) (Azkab, 2006). Ekosistem lamun (seagrass ecosystem)
adalah satu sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang di dalamnya terjadi
hubungan timbal balik antara komponen abiotik (air dan sedimen) dan biotik
(hewan dan tumbuhan).
Habitat lamun mempunyai jasa ekosistem yang cukup beragam, khususnya
terkait dengan jasa pendukung (supporting services) dan sebagai penyedia daerah
asuhan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), sirkulasi nutrien
dan lain-lain. Bahkan lamun mempunyai keterkaitan yang kuat dan berasosiasi
dengan beberapa organisme khas dan unik di sekitarnya, seperti dugong, kuda laut
dan penyu laut, yang kesemuanya mempunyai ketergantungan terhadap ekosistem
lamun.
Menurut Keputusan Menteri No.200 Tahun 2004, dijelaskan bahwa lamun
(seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang hidup dan tumbuh di
laut dangkal, mempunyai akar, rimpang (rhizome), daun, bunga, dan buah dan
berkembang biak secara generatif (penyerbukan bunga) dan vegetatif (pertumbuhan
tunas). Sedangkan definisi padang lamun menurut KepMen adalah hamparan lamun
yang terbentuk oleh satu jenis lamun (vegetasi tunggal) atau lebih dari satu jenis
lamun (vegetasi campuran). Ekosistem padang lamun merupakan salah satu
ekosistem di laut dangkal yang produktif (Azkab 1988). Selain merupakan
ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya, padang lamun juga memiliki
keanekaragaman biota yang cukup tinggi.
Ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus
dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis
padang lamun, antara lain:
1) Terdapat di perairan pantai yang landai, di daratan lumpur/pasir;
2) Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran
terumbu karang;
3) Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung;
4) Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan;
5) Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan
tubuhnya terendam air termasuk daur generatif;
6) Mampu hidup di media air asin;
7) Mempunyai sistem perakaran yang berkembang biak.

Gambar 1. Morfologi umum lamun (McKenzie dan Yoshida 2009)

Tumbuhan lamun terdiri dari akar rhizome yang merupakan batang yang
terpendam, merayap secara mendatar, berbuku-buku dan daun. Pada buku-buku
tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun, serta berbunga dan pada buku
tersebut tumbuh akar. Lamun memiliki daun-daun tipis yang memanjang seperti
pita yang mempunyai saluran-saluran air (Nybakken 1992). Bentuk daun seperti ini
dapat memaksimalkan difusi gas dan nutrien antara daun dan air, juga
memaksimalkan proses fotosintesis di permukaan daun (Phillips dan Menez 1988).
Daun menyerap hara langsung dari perairan sekitarnya, mempunyai rongga untuk
mengapung agar dapat berdiri tegak di air, tapi tidak banyak mengandung serat
seperti tumbuhan rumput di darat (Hutomo 1997).
Lamun dapat berkembang baik di perairan laut dangkal karena mempunyai
beberapa sifat yang memungkinkannya untuk hidup (Arber 1920 in Kiswara 2009),
yaitu:
1) Mampu tumbuh dan berkembang dalam lingkungan air asin,
2) Mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam,
3) Mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang baik,
4) Mampu melaksanakan penyerbukan bunga dalam keadaan terbenam air,
5) Mampu bersaing dengan berhasil di lingkungan laut.
2.2. Fungsi Tumbuhan Lamun

Padang lamun merupakan salah satu ekosistem yang sangat penting, baik
secara fisik maupun biologis. Selain sebagai stabilisator sedimen dan penahan
endapan, padang lamun berperan sebgai produsen utama dalam jaring-jaring
makanan. Padang lamun juga menjadi habitat, naungan, berkembang biak, dan
mencari makan sebagian biota laut, baik vertebrata maupun avertebrata (Halim,
2014).
Menurut Wood et al. (1969) menjelaskan manfaat dari tumbuhan lamun
yaitu mempunyai daya untuk memperangkap sedimen, sebagai sistem tumbuhan
merupakan sumber produktivitas primer, mempunyai nilai produksi yang cukup
tinggi, sumber makanan langsung bagi biota laut, merupakan habitat bagi biota
hewan air, sebagai subtrat bagi organisme fitoplankton yang menempel,
mempunyai kemampuan yang baik untuk memindahkan unsur-unsur hara terlarut
di perairan yang ada di permukaan sedimen, serta akar-akar dan rhizoma yang
mampu mengikat sedimen sehingga terhindar dari bahaya erosi.
Potensi lain yang dimiliki tumbuhan lamun yaitu sebagai media untuk
filtrasi atau menjernihkan perairan laut dangkal, sebagai tempat tinggal biota-biota
laut termasuk biota laut yang bernilai ekonomis, seperti ikan baronang, berbagai
macam kerang, rajungan atau kepiting, teripang dan lain sebagainya. Keberadaan
biota tersebut bagi manusia sebagai sumber bahan makanan. Lamun juga sebagai
tempat pemeliharaan anakan berbagai jenis biota laut, sebagai tempat mencari
makanan bagi berbagai jenis biota laut, terutama duyung (Dugong dugon) dan
penyu, dan mengurangi besarnya gelombang air di pantai, sebagai penangkap
sedimen, serta berperan dalam mengurangi dampak pemanasan global (Kennedy
and Bjork, 2009; Rahmawati dkk., 2014).

2.3. Proses Produksi

Menurut Zieman et al, (1980) Produksi lamun diartikan sebagai


pertambahan biomassa lamun dalam selang waktu tertentu. Satuan laju
produktivitas lamun adalah berat kering per m2 perhari (gbk/m2/hari). Laju produksi
lamun juga dapat dihitung melalui jumlah karbon yang dihasilkan per luasan
tertentu per satuan waktu sehingga didapatkan satuan gC/m2/tahun (Azkab, 2000).
Biomassa dan produksi dapat bervariasi secara spasial dan temporal yang
disebabkan oleh berbagai faktor, terutama oleh nutrien dan cahaya. Menurut Barber
(1985) suhu mempunyai pengaruh nyata terhadap produktivitas lamun, hal ini
didukung oleh penelitian yang telah dilakukannya. Peningkatan produktivitas
lamun dengan meningkatnya suhu (1035 °C) juga dibuktikan dalam penelitian
Azkab (1999). Menurut Green dan Short dalam Rugebregt (2012), pertumbuhan,
morfologi, kelimpahan, dan produktivitas primer lamun pada umumnya ditentukan
oleh ketersediaan zat-zat hara berupa fosfat dan nitrat. Selain itu, lamun juga
membutuhkan karbon dioksida (CO2), substrat sebagai media tumbuh, serta
salinitas, suhu dan pH yang cukup untuk dapat tumbuh dan berkembang.
Pertumbuhan lamun juga sangat tergantung pada spesies dan kondisi perairan lokal
lainnya seperti kecerahan air, sirkulasi air dan kedalaman, panjang hari, suhu dan
angin (Zieman et al, 1980). Menurut Fortes (1992) besarnya biomassa lamun bukan
hanya merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan, tetapi juga merupakan fungsi dari
kerapatan.
Pertumbuhan daun lamun mengalami pertumbuhan yang lebih cepat
dibandingkan dengan bagian rhizoma. Namun biomassa daun lamun umumnya
lebih kecil dibanding bagian rhizoma. Sehingga pengukuran biomassa daun lamun
dapat dijadikan pendekatan dalam perkiraan produksi biomassa secara keseluruhan.
Beberapa peneliti membagi biomassa dan produksi menurut letaknya terhadap
substrat yaitu biomassa atau produksi diatas substrat (terdiri dari helaian dan
pelepah daun) dan biomassa di bawah substrat (terdiri dari akar dan rhizoma)
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa biomassa lamun di
bawah substrat lebih besar dibanding di atas substrat. Namun sebaliknya, produksi
lamun di atas substrat lebih besar dibanding di bawah substrat (Brouns et al, 1986).

2.4. Metode Pengukuran Produktivitas Primer

Pengukuran produktivitas lamun dapat dilakukan dengan beberapa metode


diantaranya metode biomassa, metode penandaan dan metode metabolisme (Azkab,
2000).
a. Metode Penandaan

Menurut Rahman dkk (2016), pengukuran pertumbuhan lamun dengan


metode penandaan diawali dengan cara memilih individu lamun yang sehat (tidak
rusak) pada tiap stasiun. Pengukuran diawali dengan memilih 5 (lima) tegakan
lamun tiap stasiun. Tegakan lamun yang diamati adalah tegakan yang memilik 4
helai daun kemudian diberi tanda yang sama berjarak 30,5 mm dari dasar batang.
Adapun menurut Alie (2010), metode pengukuran pertumbuhan lamun dapat
menggunakan metode Plastochrone Interval sebagi berikut :

Untuk menghitung Plastochrone Interval pada daun menggunakan rumus


sebagi berikut :
𝑇1 − 𝑇0
𝑃1 =
𝑁
Dimana :
T1-T2 : Waktu antara penandaan dan pengambilan
N : Jumlah daun baru

Menurut Azkab (2000), metode penandaan dilakukan dengan membingkai


semua tegakan lamun dan menandai dengan menggunakan stapler kecil. Setelah 2
atau 4 minggu, semua daun dalam bingkai diambil dengan memotongnya
menggunakan gunting atau pisau lalu dianalisis di laboratorium. Daun-daun yang
diambil dikelompokkan menjadi 2 bagian yakni daun-daun baru yakni yang muncul
sejak mulai waktu penandaan sehingga tidak ada bekas stapler. Sedangkan grup ke
dua adalah daun-daun tua yang memiliki tanda stapler. Kemudian daun-daun
tersebut dihitung, diukur panjang dan lebarnya, dicatat daun yang masih memiliki
ujung daun atau tidak. Umumnya daun-daun yang sudah diberi tanda (tidak
semuanya) tumbuh antara pangkal daun dengan daun yang di stapler, tetapi untuk
daun-daun baru pertumbuhannya adalah panjang daun seluruhnya. Setelah
pengukuran, daun-daun tua dipotong persis dibawah yang di stapler dan dipisahkan
dari daun muda. Panjang pertumbuhan yaitu antara yang ditandai dengan pangkal
daun. Kemudian dicuci dan dibersihkan dari karbonat dan epifit dan dikeringkan
dengan oven 105°C, kemudian ditimbang. Prosedur ini sama perlakuannya pada
daun baru. Penandaan dengan stapler memberi- kan hasil yang cukup baik untuk
daun- daun yang lebar seperti Thalassia dan Zostera, tetapi sangat sulit untuk daun-
daun yang sempit seperti Halodule atau Syringodium.
Penentuan produktivitas lamun menggunakan metode penandaan dapat
menghasilkan nilai produktivitas yang lebih kecil dari produktivitas sebenarnya
karena tidak memperhitungkan kehilangan serasah dan pengaruh grazing oleh
hewan-hewan herbivora yang memanfaatkan lamun sebagai makanan (Azkab
2000).
Metode pengukuran produktivitas primer berdasarkan (Zieman et al,
1980), Pertumbuhan lamun dihitung dengan menggunakan rumus
𝑃 = 𝑃𝑡 − 𝑃0
Dimana :
P : Pertumbuhan panjang (cm)
Pt : Panjang akhir daun (cm)
P0 : Panjang awal daun (cm)

Adapun menurut Supriadi (2003) dalam Rahman dkk (2016), analisis


pertumbuhan daun lamun dengan menggunakan rumus berikut :
𝐿𝑡 − 𝐿0
𝑃=
∆𝑡
Dimana :
P : Laju pertumbuhan panjang daun (mm)
Lt : Panjang daun setelah waktu t (mm)
L0 : Panjang daun pada wkatu pengukuran awal (mm)
∆t : Selang waktu pengukuran (hari)
b. Metode Biomassa

Perhitungan biomassa dilakukan pada setiap bagian tumbuhan lamun yang


berbeda yaitu bagian above-ground (Abg) atau bagian yang terdapat diatas tanah
yang meliputi taruk (daun dan pelepah daun) dan bunga, dan bagian below-ground
(Blg) atau bagian yang terdapat didalam meliputi akar dan rhizome (Kaldy &
Dunton, 2000 dalam Rahmawati, 2011). Sampel biomassa dicuplik pada kuadrat
berukuran 0,0625 m2 (Short & Coles, 2001 dalam Rahmawati, 2011). Selanjutnya
sampel dikeringkan pada temperatur 60 °C sampai beratnya konstan sehingga
diperoleh bobot kering (BK) (Short et. al., 2004 dalam Rahmawati, 2011).
Metode ini lebih baik untuk mengukur produksi tanaman tahunan (annual
plants), dimana kehilangan akan mudah diukur. Problema akan muncul dan rumit
bila dilakukan pada tanaman yang bertahun-tahun (perennial plants). Metode
biomassa yang lebih mudah, jika hanya mengukur biomassa maksimum atau yang
dikehendaki, misalnya biomassa pada satu suksesi waktu seluruh musim
pertumbuhan atau perhitungan produksi berdasarkan penambahan-penambahan
(WESTLAKE, 1965)
Produksi biomassa daun lamun dihitung dengan menggunakan rumus :
𝑃=𝑊𝑥𝐷
Dimana :
P : Produksi biomassa daun lamun (gbk/m2)
W : Rata-rata pertambahan berat daun lamun setiap tunas (gbk)
D : Kepadatan lamun (tunas/m2)
Laju produksi biomassa daun lamun dihitung dengan menggunakan rumus :
𝑊𝑥𝐷
𝑃=
𝑡
Dimana :
P : Laju produksi biomassa daun lamun (gbk/m2/hari)
W : Rata-rata pertambahan berat daun lamun setiap tunas (gbk)
D : Kepadatan lamun (tunas/m2)
t : Waktu antara penandaan dan panen (hari)

Ada dua masalah dalam menggunakan metode ini pada lamun yaitu :
1) Beberapa lamun baik yang tumbuh di daerah tropis maupun yang tumbuh di
daerah kutub adalah tanaman bertahun-tahun.
2) Lamun tumbuh pada daerah yang arus sedang sampai arus tinggi, sehingga
material yang mati dapat terbawa. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan
produksi tidak dapat dihitung.
Analisis variabel hubungan antara pertumbuhan daun lamun dan baru
lamun terhadap kondisi fisika-kimia perairan dan substrat, secara sederhana dapat
diterangkan Abdurahman dkk (2007) dalam Rahman, dkk (2016) adalah sebagai
berikut :
a) Jika 0,00 -< 0,20 : Hubungan sangat lemah (dianggap tidak ada)
b) Jika > 0,20 -< 0,40 : Hubungan Rendah
c) Jika > 0,40 -< 0,70 : Hubungan kuat dan tinggi
d) Jika > 0,70 -< 0,90 : Hubungan kuat atau tinggi
e) Jika > 0,90 -< 1,00 : Hubungan sangat kuat/tinggi

c. Metode Metabolisme

Metode ini merupakan proses fotosintesa yang merupakan dasar dari


reakasi redoks dengan bentuk :
CO2 + 2AH2h.v (HCOH) + 2A + H2 O
Dimana :
AH2 : sumbangan hidrogen di air yang merupakan sistem reseptor pigmen,
(h) untuk energi cahaya, (v) untuk energi cahaya.
H2O & O2 : Fotosintesis yang konvensional lamun

Pada beberapa karakteristik metabolisme dari perubahan gas yang spesifik


untuk tumbuhan air berbunga (seperti penimbunan dan penggunaannya), saat ini
metode oksigen hasilnya kurang akurat sehingga tidak digunakan. Metode CO2

memerlukan peninjauan kembali sebelum digunakan untuk analisis in situ.


Beberapa penelitian telah menghitung produksi padang lamun dengan
mengukur perubahan pada pH dan alkalinitas di perairan terbuka atau sistem air
mengalir (PARKE et al. 1958 dalam Azkab, 2000). Metode ini agak lebih akurat
dari metode O2 sistem terbuka, tetapi lebih sulit digunakan dalam praktek secara

luas karena perbedaan antara kandungan CO2 ditentukan oleh pH dan pengukuran

alkaliniti pada sistem air laut.


2.5. Kriteria Produktivitas Padang Lamun

Produktivitas primer padang lamun berkisar antara 900 – 4650 g c/ m2/


tahun. Produktivitas lamun dikatakan miskin jika dalam <30, menegah antara 30
sampai 59,9 dan tinggi produktivitas berkisar >60.
Menurut Rugebregt (2015), kriteria untuk menentukan status padang
lamun sebagai berikut :
Tabel 1. Status padang lamun
Kondisi % Penutupan
Kaya / Sehat >61
Baik
Kurang Kaya / Kurang Sehat 30 – 59.9
Rusak Miskin <30

2.6. Studi Kasus

Studi kasus perhitungan produktivitas lamun berdasarkan Supriadi et al.


(2012), di Perairan Pulau Barrang Lompo Kota Makassar Provinsi Sulawesi
Selatan. Pengamatan produktivitas daun didasarkan pada metode penandaan
dengan cara menggunting atau memangkas daun lamun. Jenis lamun yang ditandai
yaitu Halophila ovalis, Halodule uninervis dan Syringodium isoetifolium. Sebelum
melakukan penandaan terlebih dahulu menghitung kerapatan lamun.
Lamun yang ditandai sebanyak 15-20 tunas pada masing-masing stasiun,
kemudian dipasang patok kecil ditanam disamping tunas lamun setinggi tanda
pemotongan daun. Hal ini dilakukan untuk mengetahui posisi awal penandaan
sebelum lamun tumbuh. Setelah 7-10 hari dilakukan pemotongan daun. Namun,
khusus untuk H.ovalis daun yang diambil adalah semua daun yang baru (tidak ada
tanda pemotongan). Daun tersebut dibersihkan dan ditimbang, daun tersebut
merupakan produksi lamun selama waktu pengukuran. Bobot daun lamun yang
digunakan merupakan bobot kering (dioven dalam suhu 65 oC selama 48 jam).
Perhitungan produktivitas lamun didapatkan melalui perhitungan
pertumbuhan lamun (cm), produksi biomas daun lamun (gbk/m2) kemudian
didapatkanlah nilai produktivitas produktivitas daun lamun ((gbk/m2/hari).
Perhitungan nilai pertumbuhan lamun (cm) didapatkan dari data panjang awal
dikurangi panjang akhir. Kemudian menghitung produksi biomas daun lamun
(gbk/m2) melaui perkalian antara rata-rata pertambahan berat daun lamun setiap
tunas (gbk) dengan kepadatan lamun (tunas/m2). Selanjutnya laju produksi
biomassa daun lamun didapatkan melaui pembagian antara produksi biomas daun
lamun ( gbk/m2) dengan waktu (hari) dengan demikian didapatkanlah produktivitas
daun lamun (gbk/m2/hari). Berikut ini merupakan tabel perhitungan produktivitas
lamun :
Tabel 1. Kerapatan (tunas/m2) dan biomassa total (gbk/m2) jenis-jenis lamun di
stasiun Gerupuk (Kiswara dan winardi, 1999)
No Jenis Parameter N X Kisaran
Kerapatan 12 260 60-430
1. E. acoroides
Biomassa 12 844,2 214,8-4530,2
Kerapatan 10 1400 60-3680
2. C. rotundata
Biomassa 10 243,4 5,4-329,2
H. uninervis Kerapatan 3 3043 310-6560
3.
(daun kecil) Biomassa 3 68,6 9,2-150,8
H. uninervis Kerapatan 3 1147 160-2060
4.
(daun normal) Biomassa 3 72,2 34,5-128,1
Kerapatan 2 710 640-780
5. H. minor
Biomassa 2 11,8 11,4-12,2
Kerapatan 5 1142 120-1855
6. H. ovalis
Biomassa 5 14,5 0,5-24,1
Kerapatan 2 1720 1160-2280
7. S. isoetifolium
Biomassa 2 160,0 85,2-234,8
Kerapatan 7 247 10-520
8. T. hemprichii
Biomassa 7 92,8 3,8-209,2

Tabel 2. Kerapatan (tunas/m2) dan biomassa total (gbk/m2) jenis-jenis lamun di


stasiun Kuta (Kiswara dan Winardi, 1999).
No Jenis Parameter N X Kisaran
Kerapatan 2 90 70-110
1. E. acoroides
Biomassa 2 2479,9 416,6-4530,2
Kerapatan 7 580 160-2240
2. C. rotundata
Biomassa 7 110,8 13,9-212,9
Kerapatan 4 362,5 60-490
3. C. serrulata
Biomassa 4 110,8 13,9-212,
H. uninervis Kerapatan 1 310 310
4.
(daun kecil) Biomassa 1 9,2 9,2
H. uninervis Kerapatan 1 160 160
5.
(daun normal) Biomassa 1 34,5 34,5
Kerapatan 1 10 10
6. H. pinifolia
Biomassa 1 7120 7120
Kerapatan 4 467,5 120-1120
7. H. ovalis
Biomassa 4 3,9 0,5-7,7
8. S. isoetifolium Kerapatan 4 2520 2160-2880
Biomassa 4 262,7 227,5-315,5
Kerapatan 6 865 20-1920
9. T. hemprichii
Biomassa 6 262,9 18,9-715,4

Tabel 3. Data kepadatan, pertumbuhan, biomassa dan laju produksi biomassa daun
lamun.
Biomassa Pertumbuhan Laju produksi Kepadatan
Jenis Lamun Minggu Ulangan
(gbk/m2) (cm/minggu) (gbk/m2/hari) (tunas/m2)
1 3.00 167* 0.43 668
1 2 3.00 168* 0.43 672
3 1.50 89* 0.46 356
1 3.25 75* 0.23 300
Halophila
2 2 1.75 70* 0.13 280
ovalis
3 2.75 103* 0.20 412
1 5.75 152* 0.27 608
3 2 3.50 108* 0.17 432
3 6.25 169* 0.30 676
1 10.84 3.37 1.55 1355
1 2 9.95 3.52 1.42 1422
3 8.30 3.07 1.19 1659
1 14.91 4.91 1.06 1355
S. isoetifolium 2 2 11.38 4.47 0.81 1422
3 11.38 4.63 0.95 1659
1 16.26 5.82 0.77 1355
3 2 18.49 6.61 0.88 1422
3 18.25 6.42 0.87 1659
1 0.95 2.72 0.14 473
1 2 1.54 3.78 0.22 512
3 1.56 3.84 0.22 520
1 2.84 5.70 0.20 473
Halodule
2 2 3.07 5.56 0.22 512
uninervis
3 3.12 6.21 0.22 520
1 5.20 8.24 0.25 473
3 2 2.05 5.33 0.10 512
3 4.68 6.95 0.22 520
DAFTAR PUSTAKA

Ali, K. Pertumbuhan dan Biomassa Lamun Thalassia hemprichii di Perairan Pulau


Bone Batang, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. J. Sains MIPA. 16
(2) : 105-110.
Azkab MH. 1988. Pertumbuhan dan produksi lamun Enhalus acoroides (L.f) Royle
di rataan terumbu Pulau Pari, Kepulauan Seribu. P. 55-59. In: Moosa MK,
Praseno DP & Sukarno (eds.). Teluk Jakarta: Biologi, budidaya,
oseanografi, geologi dan kondisi perairan. Pusat Penelitian Oseanografi
LIPI. Jakarta.
Azkab, M.H.1999. Kecepatan tumbuh dan produksi lamun dari Teluk Kuta,
Lombok. Dalam:P3O-LIPI, Dinamika komunitas biologis pada ekosistem
lamun di Pulau Lombok, Balitbang Biologi Laut, PustlibangBiologi Laut-
LIPI, Jakarta.
Azkab, M.H. 2000. Produktivitas Lamun Oseana, Volume XXV, Nomor 1, 2000 :
1-11. Balitbang Biologi Laut, PustlibangBiologi Laut-LIPI, Jakarta.
Azkab, M.H. 2000. Struktur dan Fungsi Komunitas Lamun, Oseana, Volume XXV,
Nomor 3, 2000 : 9-17. Balitbang Biologi Laut, PustlibangBiologi Laut-
LIPI, Jakarta.
Azkab, M. H. 2006. Ada apa dengan lamun. Oseana. 31 (3) : 45-55
Barber, B.J.1985. Effects of elevated temperature on seasonal in situ leaf
productivity of Thalassia testudinum banks ex konig and Syringodium
fliforme kutzing. Aquatic Botany 22:61-69.
Brouns, J.J.W.M. and H.M.L. Heijs 1986. Production and biomass of the seagrass,
Enhnlus acoroicies (L.f.) Royle ,and its epiphytes. Aquatic Botany. 25:
21-45.
BTNKpS (Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu). 2005. Taman Nasional Laut
Kepulauan Seribu. Jakarta.
Dewi, R. K. 2012. Pengelolaan Ekosistem Lamun Kawasan Wisata Pantai Sanur Kota
Denpasar Provinsi Bali. Skripsi. Institut Pertanian Bogor : Bogor
Fortes, M.D. 1992. Comparative study of structure and productivity of seagrass
communities in the ASEAN Region. In: CHOU, L.M. and C.R.
WILKINSON (eds.) Third ASEAN Science and Technology Week
Conference Proceeding, Vol. 6 Marine Science: Living Coastal Resources,
21-23 Sept. 1992, Singapore Dept. of Zoology, National University of
Singapore and National Science and Technology Board, Singapore: 223-
228.
Hemminga, M.A., dan C. M. Duarte. 2000. Seagrass ecology. Cambridge
University Press. Cambridge, UK.
Hutomo M. 1997. Struktur komunitas padang lamun perairan Indonesia. P. 54-61.
In: Inventarisasi dan evaluasi potensi laut-pesisir II geologi, kimia, biologi,
dan ekologi. Prosiding Kongres Biologi Indonesia XV. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Kementrian Lingkungan Hidup. 2004. Salinan keputusan menteri lingkungan hidup
nomor 200 tentang kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status
padang lamun. Jakarta.
Kiswara W. 2009. Perspektif lamun dalam produktifitas hayati pesisir. Makalah
disampaikan pada Lokakarya Nasional 1 Pengelolaan Ekosistem Lamun
“Peran Ekosistem Lamun dalam Produktifitas Hayati dan Meregulasi
Perubahan Iklim”. 18 November 2009. PKSPL-IPB, DKP, LH, dan LIPI.
Jakarta.
McKenzie LJ & Yoshida RL. 2009. Seagrass-Watch : Proceding of workshop for
monitoring seagrass habitats in Indonesia. The Nature Conservancy, Coral
Triangel Center, Sanur Bali. 9th May 2009. Seagrass-Watch HQ, Caims.
56 pp.
Nybakken JW. 1992. Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. [Terjemahan dari
Marine biologi: an ecological approach]. Eidman HM, Bengen DG,
Hutomo M, & Sukardjo S (penerjemah). PT Gramedia. Jakarta. Xiii + 459
hlm.
Persulessy, A.E. dan Pramudji. 1997. Karakteristik nutrien sedimen di padang
lamun tropis : suatu perbandingan antara sedimen berjenis karbonat
dengan silikat di Perairan Pelita Jaya, Seram Barat. h.321-327. Prosiding
Seminar Kelautan LIPI-UNHAS, 4-6 Juli 1997, Ambon, Indonesia.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-Universitas Hasanuddin. Ambon,
Indonesia.
Phillip RC & Menez EG. 1988. Seagrasses. Smithsonian Institution Press.
Washington D.C. p. 104.
Rahman, A. A., Andi I. N., dan M. Ramli. 2016. Studi Laju Pertumbuhan Lamun
(Enhalus acoroides) di Perairan Pantai Desa Tanjung Tiram Kabupaten
Konawe Selatan. Sapa Laut. 1 (1) : 10-16
Rahmawati, S. 2011. Estimasi Cadangan Karbon pada Komunitas Lamun di Pulai
Pari, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta. J. Segara. 7 (1) : 1-12
Rugebregt, M. J. 2015. Ekosistem Lamun di Kawasan Pesisir Kecamatan Kei Besar
Selatan, Kabupaten Maluku Tenggara, Propinsi Maluku, Indonesia.
Widyariset. 1 (1) : 79-86
Wahyudin, Y., Tridoyo K., Luky A., dan Yusli W. 2016. Jasa Ekosistem Lamun
Bagi Kesejahteraan Manusia. Omni-Akuatika. 12 (3) : 29-46
Zieman, J.C. and N.G. Wetzel,.1980. Productivity in seagrasses: methods and rates.
In: Handbook of seagrass biology: an ecosystem perspective. (R.C.
Phillips and C.P. McRoy eds.) Garland Publ.Inc. New York.: 87-115.

Anda mungkin juga menyukai