Anda di halaman 1dari 26

EKOSISTEM WILAYAH PESISIR LAUT DAN PULAU KECIL

‘’PADANG LAMUN’’

Disusun oleh

NAMA : JEFRIANTO
NIM : M1B121074
KELAS : B

JURUSAN ILMU LINGKUNGAN

FAKULTAS KEHUTAHAN DAN ILMU LINGKUNGAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.508 buah pulau besar dan
kecil dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km (Soegiarto, 1984). Indonesia sebuah
negara yang dilalui oleh garis khatulistiwa (tropis) mempunyai keanekaragaman hayati yang
sangat tinggi. Lamun, salah satu jenis tumbuhan laut yang tumbuh diperairan Indonesia.
Kawasan Lamun selain memiliki nilai secara ekonomis, juga memiliki potensi secara
ekologis. Perhatian terhadap ekosistem padang lamun (seagrass beds) masih sangat kurang
dibandingkan terhadap ekosistem bakau (mangrove) dan terumbu karang (coral reefs).
Padahal, lestarinya kawasan pesisir pantai bergantung pada pengelolaan yang sinergis dari
ketiganya. Terlebih, padang lamun merupakan produsen primer organik tertinggi dibanding
ekosistem laut dangkal lainnya.
Padang lamun merupakan suatu ekosistem bahari yang sangat menunjang produktivitas
perairan. Lamun sendiri merupakan tumbuhan yang sudah sepenuhnya beradaptasi dengan
lingkungan laut, sehingga mampu melaksanakan penyerbukan dengan perantaraan air
(hydrophilous). Sama dengan ekosistem mangrove, lamun juga memiliki peranan ekologis,
selain sebagai produktivitas primer, morfologi daunnya dapat sebagai substrat bagi biota lain,
maupun untuk meredam pukulan ombak, gelombang ke arah pantai. Selain itu lamun juga
sebagai makanan langsung bagi berbagai jenis biota laut seperti ikan duyung (Dugong
dugong), ikan samandar (Siganus spp.), maupun penyu hijau (Chelonia mydas). Dengan
demikian kehadiran komunitas ini adalah sangat penting demi kelangsungan hidup organism
laut.
Pada tahun belakangan ini, perhatian terhadap biota laut semakin meningkat dengan
munculnya kesadaran dan minat setiap lapisan masyarakat akan pentingnya lautan. Laut
sebagai penyedia sumber daya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang
mineral, dan energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Karena itu
wilayah pesisir dan lautan merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan
kebutuhan di masa datang. Salah satu sumber daya laut yang cukup potensial untuk dapat
dimanfaatkan adalah lamun, dimana secara ekologis lamun mempunyai bebrapa fungsi
penting di daerah pesisir.
Sebagai produsen primer, lamun sangat tinggi keanekaan biotanya. Padang lamun
menjadi tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuhan laut
(algae). Lamun juga menjadi padang penggembalaan dan makanan dari berbagai jenis ikan
herbivora dan ikan karang. Lamun merupakan produktifitas primer di perairan dangkal di
seluruh dunia dan merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme. Biomassa
padang lamun secara kasar berjumlah 700 g bahan kering/m2, sedangkan produktifitasnya
adalah 700 g karbon/m2/hari. Oleh sebab itu padang lamun merupakan lingkungan laut
dengan produktifitas tinggi(Fahruddin, 2002).

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi lamun?
2. Apa saja biota penghuni padang lamun?
3. Bagaimana klasifikasi lamun?
4. Bagiamana morfologi lamun?
5. Bagaimana fungsi dan peran lamun?
6. Bagaimana parameter pertumbuhan lamun?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi lamun
2. Untuk mengetahui apa saja biota penghuni padang lamun
3. Untuk mengetahui klasifikasi lamun
4. Untuk mengetahui morfologi lamun
5. Untuk mengetahui fungsi dan peranan lamun
6. Untuk mengetahui parameter pertumbuhan lamun
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Lamun
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji satu
(monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah. Jadi sangat berbeda
dengan rumput laut (algae). Lamun dapat ditemukan di seluruh dunia kecuali di daerah kutub.
Peranan padang lamun secara fisik di perairan laut dangkal adalah membantu mengurangi
tenaga gelombang dan arus, menyaring sedimen yang terlarut dalam air dan menstabilkan
dasar sedimen. Peranannya di perairan laut dangkal adalah kemampuan berproduksi primer
yang tinggi yang secara langsung berhubungan erat dengan tingkat kelimpahan produktivitas
perikanannya. Keterkaitan perikanan dengan padang lamun sangat sedikit diinformasikan,
sehingga perikanan di padang lamun Indonesia hampir tidak pernah diketahui. Keterkaitan
antara padang lamun dan perikanan udang lepas pantai sudah dikenal luas di perairan tropika
Australia (Zulkifli, 2003).
Lamun adalah salah satu tumbuhan laut yang termasuk tumbuhan sejati karena sudah
dapat dibedakan antara batang, daun, dan akarnya. Secara umum gambaran lamun yaitu
seperti padang rumput di daratan, lamun sangat berguna dalam hal pembersihan lautan karena
lamun berfotosintersis. Lamun merupakan bentangan tetumbuhan berbiji tunggal (monokotil)
dari kelas angiospermae. Lamun adalah tumbuhan air yang berbunga (spermatophyta) yang
hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, berpembuluh, berdaun, berimpang, dan
berakar. Keberadaan bunga dan buah ini adalah faktor utama yang membedakan lamun
dengan jenis tumbuhan lainnya yang hidup terbenam dalam laut lainnya, seperti rumput laut
(seaweed). Hamparan lamun sebagai ekosistem utama pada suatu kawasan pesisir disebut
sebagai padang lamun (seagrass bed).
Secara struktural lamun memiliki batang yang terbenam didalam tanah, disebut rhizom
atau rimpang. Rimpang dan akar lamun terbenam di dalam substrat yang membuat tumbuhan
lamun dapat berdiri cukup kuat menghadapi ombak dan arus.

B. Biota Penghuni Padang Lamun


Padang lamun adalah tempat habitat ikan laut yang alami, tempat segala jenis
ikan untuk bermain-main dan mengasuh anak-anaknya juga tempat untuk mencari makanan
alaminya. Padang lamun juga tempat yang aman bagi udang, cumi-cumi dan ikan teri untuk
bertelur serta menyimpan telurnya sampai menetas, kemudian mengasuh dan membesarkan
anak-anaknya.Sehingga banyaklah berdatangan ikan-ikan dari jenis predator yang akan
memburu dan memangsanya, ikan-ikan teri kecil, cumi-cumi kecil dan udang kecil akan lari
sembunyi kedalam hutan lamun ini apabila ada ancaman bahaya yang datang mendekat
ketempat mereka. Padang lamun juga tempat yang paling produktif untuk memancing ikan
laut, tetapi kita harus bisa memilih lokasi yang tepat tempat bermainnya ikan-ikan laut
tersebut(Sangiang, 2013).

Padang lamun merupakan produktivitas primer di laut. Oleh karena itu, pada padang
lamun ini hidup berbagai macam spesies hewan, yang berassosiasi dengan padang lamun. Di
perairan Pabama dilaporkan 96 spesies hewan yang berassosiasi dengan beberapa jenis ikan.
Di Teluk Ambon di temukan 48 famili dan 108 jenis ikan. Di Teluk Ambon ditemuklan 48
famili dan 108 jenis ikan adalah sebagai penghuni lamun, sedangkan di Kepulauan Seribu
sebelah utara Jakarta di temukan 78 jenis ikan yang berassosiasi dengan padang lamun. Selain
ikan, sapi laut dan penyu serta banyak hewan invertebrata yang berassosiasi dengan padang
lamun, seperti: Pinna sp, beberapa Gastropoda, Lambis, Strombus, teripang, bintang laut,
beberapa jenis cacing laut dan udang (Peneus doratum) yang ditemukan di Florida selatan
(Nybakken, 1988).

Beberapa biata laut yang menghuni padang lamun sebagai berikut:


a. Alga
Hubungan antara alga, lamun adalah harmonis untuk membangun suatu sistem
hidrokarbon (petroleum syste).Alga yag biasanya di temukan di padang lamun adalah jenis
sargasum,sargasum merupakan dari kesekian alga yang mendiami komunitas padang lamun.
genus alga ini adalah coklat (Phaeophyceae), yang biasanya banyak di temukan di pantai.
Alga ini mirip dengan alga yang sudah mati, tapi, Itulah keunikan Sargassum, ia dapat sebagai
fitobentos maupun fitoplankton. Alga ini banyak mengandung gelembung udara di tubuhnya
yang nampak seperti buah-buah kecil. Saat ia tercabut dari substrat dasarnya, ia tetap hidup
dengan mengambang di permukaan oleh gelembung-gelembung udara itu, sebuah pelampung
alam yang unik. Meskipun terhempas ke pantai, saat air pasang ia akan mengambang lagi dan
meneruskan hidupnya(Irwan, 2012).
b. Fauna
Komunitas lamun dihuni oleh banyak jenis hewan bentik, organisme demersal serta
pelagis yang menetap maupun yang tinggal sementara disana. Spesies yang sementara hidup
di lamun biasanya adalah juvenil dari sejumlah organisme yang mencari makanan serta
perlindungan selama masa kritis dalam siklus hidup mereka, atau mereka mungkin hanya
pengunjung yang datang ke padang lamun setiap hari untuk mencari makan.
Banyak spesies epibentik baik yang tinggal menetap maupun tinggal sementara yang
bernilai ekonomis, udang dan udang-udangan adalah yang bernilai ekonomis paling tinggi.
Sebagai penjelas, dan bukan karena alasan ekologi maupun biologi tertentu, ada empat
kelompok besar fauna yang diketahui : 1) Infauna (hewan yang hidup didalam sedimen); 2)
Fauna Motil (fauna motil berasosiasi dengan lapisan permukaan sedimen; 3) Epifauna Sesil
(organisme yang menempel pada bagian lamun); dan Fauna Epibentik Fauna (fauna yang
berukuran besar dan bergerak diantara lamun) (Kiswara, 1993).
c. Krustase
Krustasea yang berasosiasi dengan lamun merupakan komponen penting dari jaring
makanan di lamun. Bentuk krustase infaunal maupun epifunal berhubungan erat dengan
produsen primer dan berada pada tingkatan trofik yang lebih tinggi, karena selama masa
juvenil dan dewasa mereka merupakan sumber makanan utama bagi berbagai ikan dan
invertebrata yang berasosiasi dengan lamun(Irwan, 2012).
d. Moluska
Moluska adalah salah satu kelompok makroinvertebrata yang paling banyak diketahui
berasosiasi dengan lamun di Indonesia, dan mungkin yang paling banyak diksploitasi.
Sejumlah studi tentang moluska di daerah subtropik telah menunjukkan bahwa moluska
merupakan komponen yang paling penting bagi ekosistem lamun, baik pada hubungannya
dengan biomasa dan perannya pada aliran energi pada sistem lamun. Telah didemonstrasikan
bahwa 20% sampai 60% biomasa epifit pada padang lamun di Filipina dimanfaatkan oleh
komunitas epifauna yang didominasi oleh gastropoda. Bagaimanapun, peranan mereka pada
ekosistem almun di Indonesia relative belum diketahui. Moluska utama pada padang lamun
subtropis adalah detrivor dengan sangat sedikit yang langsung memakan lamun. Gastropoda
cenderung memakan perifiton(Kikuchi, 1977).
e. Echinodermata
Hewan Echinodermata adalah komponen komunitas bentik di lamun yang lebih menarik
dan lebih memiliki nilai ekonomi. Lima kelas echinodermata ditemukan pada ekosistem
lamun di Indonesia. Dibawah ini urutan Echinodermata secara ekonomi : 1. Holothuroidea
(timun laut atau teripang); 2. Echinoidea (bulu babi); 3. Asteroidea (Bintang laut); 4.
Ophiuroidea (Bintang Laut Ular); 5. Crinoidea . Dari lima kelas yang ada, Echinoidea adalah
kelompok yang paling penting di ekosistem lamun karibia, karena mereka adalah kelompok
pemakan yang utama.Echinodermata pada umumnya, dengan pengecualian beberapa
holothuroidea, makan pada malam hari. Bagaimanapun, Tripneustes gratilla dan Salmacis
sphaeroides makan secara terus menerus siang dan malam, tanpa bukti yang berkala. Mereka
mencari sampai ke dasar substrat, memakan alga, serasah lamun dan daun lamun yang masih
hidup (Pratyaksa, 2004).
f. Mamalia
Dugong merupakan mamalia laut yang sering di temukan di daerah padang lamun
,karena padang lamun merupakan tempat mencari makan dan juga sebagai tempat untuk
berlindung dari predator . Dugong mempunyai ekor yang mirip dengan sirip ekor ikan paus,
serta mempunyai bentuk kepala yang unik. Bentuk mulutnya bundar sehingga membuat
dugong mudah mencari makan dengan cara menyapu permukaan laut. Mamalia ini termasuk
dalam ordo sirenia, family dugongidae, dan genus dugong. Selain lucu, dugong juga memiliki
badan yang cukup besar seperti kapal selam dengan panjang badan dewasa sekitar 2,5 – 3
meter dengan berat 225 – 450 kilogram. Dugong memiliki kulit abu-abu agak kebiruan
dengan ketebalan sekitar 1 inchi dan licin.Hingga saat ini, duyung mudah ditemukan di
Madagaskar dan Afrika Timur melalui India sampai ke Australia. Tidak ada ilmuan yang
dapat memastikan jumlah duyung yang masih bertahan di Indonesia. Hanya perkiraan antara
angka 1.000 sampai 10 ribu ekor. Tapi ilmuan meyakini jumlah ini menurun drastis beberapa
tahun terakhir(Irwan, 2012).
g. Reptile
Jenis reptile yang sering berasosiasi dengan padang lamun dan sering di temukan
adalah penyu ,dari penyu hijau dan juga penyu tempayak yang sering mencari makan di
komunitas lamun(Irwan, 2012).
h. Meiofauna.
Asosiasi meiofauna pada Padang Lamun Enhalus acoroides monospesifik terdiri dari
Nematoda, Foraminifera, Copepoda, Ostracoda, Turbelaria dan Polychaeta. Tingginya
kelimpahan Nematoda (seperti indeks rasio kelimpahan Nematoda:Copepoda)
mengindikasikan kelimpahan nutrien yang sering berasosiasi dengan land runoff. Meiofauna
yang muncul secara aktif adalah Copepoda, Nematoda, Amphipoda, Cumacea, dan Ostracoda.
Tingkat analisis umum-atau spesies-belum dilakukan sedemikian jauh. Berdasarkanpada
Foraminifera bentik merupakan komponen penting pada komunitas lamun, tetapi hanya
mendapatkan sedikit perhatian . Foraminifera bentik pada kedua asosiasi spesies ini
didominasi oleh subordo Miliolina dan Rotaliina Milionid. berkarakteristik lembut, test
porselin yang mengandung kristal kalsit, sementara Rotaliinid seperti kaca, test berdinding
ganda yang mengandung lapisan tipis kalsit hialin radial(Irwan, 2012).
i. Ikan
Di sepanjang jarak distribusinya, ekosistem lamun, baik yang luas ataupun sempit
adalah habitat yang penting bagi bermacam-macam spesies ikan. Pada resensi, asosiasi ikan di
lamun, mereka Bell dan Pollard (1989) mengidentifikasi 7 karakteristik utama kumpulan ikan
yang berasosiasi dengan lamun. Berdasarkan Bell dan Pollard (1989) dengan beberapa
perubahan.Jenis ikan yang bernilai ekonomis penting di ekosistem lamun :
- Pterocaesio sp. (ikan ekor kuning)
- Caranx sexfasciatus (ikan kue/bubara)
- Leiognathus bindus (ikan peperek)
- Lethirinus crnatus (ikan sikuda)
- Herklot sichtys quadrimaculatus (ikan make)

C. Klasifikasi Lamun
Lamun menghasilkan buah dan menyebarkan bibit seperti banyak tumbuhan
darat. Khusus untuk genera di daerah tropis memiliki morfologi yang berbeda
sehingga pembedaan spesies dapat dilakukan dengan dasar gambaran morfologi
dan anatomi. Lamun merupakan tumbuhan laut yang secara utuh memiliki
perkembangan sistem perakaran dan rhizoma yang baik. Pada sistem klasifikasi, lamun
berada pada Sub kelas Monocotyledoneae, kelas Angiospermae. Dari 4 famili lamun
yang diketahui, 2 berada di perairan Indonesia yaitu Hydrocharitaceae dan
Cymodoceae. Famili Hydrocharitaceae dominan merupakan lamun yang tumbuh di air
tawar sedangkan 3 famili lain merupakan lamun yang tumbuh di laut.
Lamun merupakan tumbuhan yang beradaptasi penuh untuk dapat hidup
pada lingkungan laut. Eksistensi lamun di laut merupakan hasil dari beberapa adaptasi
yang dilakukan termasuk toleransi terhadap kadar garam yang tinggi,
kemampuan untuk menancapkan akar di substrat sebagai jangkar, dan juga untuk
tumbuh dan melakukan reproduksi pada saat terbenam. Lamun juga tidak
memiliki stomata, mempertahankan kutikel yang tipis, perkembangan
shrizogenous pada sistem lakunar dan keberadaan diafragma pada sistem
lakunar. Salah satu hal yang paling penting dalam adaptasi reproduksi lamun adalah
hidrophilus yakni kemampuannya untuk melakukan polinasi di bawah air.
Secara lengkap klasifikasi beberapa jenis lamun yang terdapat di perairan pantai
Indonesia (Phillips dan Menez,1988) adalah sebagai berikut :
1. Genus Enhalus

Enhalus acoroides* (Linnaeus f.) Royle

“Tanaman tegak dengan daun sebanyak 2-5 helai dan rimpang kasar serta akar-akar
yang kuat. helaian daun berbentuk seperti pita dengan panjang dapat mencapai 75 cm dan
lebar 1,0–1,5 cm. rimpang tebal mencapai 1 cm”

Divisi : Anthophyta
Kelas : Angiospermae
Subkela: Monocotyledonae
Ordo : Helobiae
Famili : Hydrocharitaceae
Genus : Enhalus
Species : Enhalus acoroides*

2.Genus Halophila

Halophila ovalis* (R.Brown)


“Daun berbentuk oval dan mempunyai tangkai daun. Lebar daun lebih dari 0,5 cm dan
panjang berkisar 1-4 cm, disertai dengan garis – garis tulang daun yang tampak jelas
sebanyak 10 – 25 pasang”

Kelas : Angiospermae
Subkela: Monocotyledonae
Ordo : Helobiae
Famili : Hydrocharitaceae
Genus : Halophila
Species : Halophila decipiens
Halophila ovalis*
Hophila minor
Halophila spinulosa
3. Genus Thalassia

Thalassia hemprichii* (Ehrenberg) Ascherson

“Daun lurus dan sedikit melengkung, tapi daun tidak menonjol, panjang 5–20 cm, lebar
mencapai 1 cm. Seludung daun tampak nyata dan keras dengan panjang berkisar antara 3–6
cm. Rimpang keras, menjalar, ruas–ruas rimpang mempunyai seludang”

Kelas : Angiospermae
Subkelas: Monocotyledonae
Ordo : Helobiae
Famili : Hydrocharitaceae
Genus : Thalasia
Species : Thalasia hemprichii
4. Genus Cymodocea

Cymodocea serrulata* (R. Brown) Ascherson & Magnus

“Kenampakan lamun tampak ramping, daun melengkung dan tidak mengecil kearah
bagian ujungnya, panjang 5 – 16 cm, lebar 2 – 4 cm, pada bagian ujung daun melengkung ke
dalam., tetapi ujung daunnya bergerigi dan tidak melengkung kedalam, rimpang lebih keras”

Kelas : Angiospermae
Subkelas: Monocotyledonae
Ordo : Helobiae
Famili : Cymodoceaceae
Genus : Cymodocea
Species : Cymodocea rotundata
Cymodocea serrulata

5. Genus Holodule

Holodule pinifolia* (Forsskal) Ascherson


“Tumbuhan tegak. Daun langsing, panjang 5 – 20 cm, lebar mencapai 1,2 mm. ujung
tulang daun berwarna hitam dan bila diamati lebih detil tampak cekungan berbentuk V.
Rimpang merayap”

Kelas : Angiospermae
Subkelas: Monocotyledonae
Ordo : Helobiae
Famili : Cymodoceaceae
Genus : Halodule
Species : Halodule pinifolia*
Halodule uninervis

6. Genus Syringodium

Syringodium isoetifolium* (Ascherson) Dandy

“Tumbuhan berukuran pendek. Daun silindris dan agak panjang, mencapai 25 cm.
Rimpang merayap”

Kelas : Angiospermae
Subkelas: Monocotyledonae
Ordo : Helobiae
Famili : Cymodoceaceae
Genus : Syringodium
Species : Syringodium isoetifolium*
7. Genus Thalassodendron

Thalassodendrom ciliatum* (Forsskal) den Hartog

“Ujung daun membulat seperti gigi, tulang daun lebih dari tiga, rhizomanya sangat
keras dan berkayu, daun-daunnya berbentuk sabit dimana agak menyempit pada bagian
pangkalnya (Den Hartog 1970; Phillips & Menez 1988)”

Kelas : Angiospermae
Subkelas: Monocotyledonae
Ordo : Helobiae
Famili : Cymodoceaceae
Genus : Thalassodendron
Species : Thalassodendron ciliatum*

D. Morfologi Lamun
Tumbuhan lamun terdiri dari akar rhizome dan daun. Rhizome merupakan batang yang
terpendam dan merayap secara mendatar dan berbuku-buku. Pada buku-buku tersebut
tumbuh batang pendek yang tegak ke atas,berdaun dan berbunga. Pada buku tumbuh pula
akar (Nontji,1993). Lamun memiliki daun-daun tipis yang memanjang seperti pita yang
mempunyai saluran-saluran air (Nybakken, 1992). Bentuk daun seperti ini dapat
memaksimalkan difusi gas dan nutrien antara daun dan air, juga memaksimalkan proses
fotosintesis di permukaan daun (Philips dan Menez, 1988).
Bentuk vegetatif lamun dapat memperlihatkan karakter tingkat keseragaman
yang tinggi dimana Hampir semua genera memiliki rhizoma yang berkembang
dengan baik serta bentuk daun yang memanjang (linear) atau berbentuk sangat panjang
seperti ikat pinggang (belt), kecuali jenis Halophila memiliki bentuk lonjong.
Berbagai bentuk pertumbuhan tersebut mempunyai kaitan dengan perbedaan
ekologi lamun (den Hartog, 1977). Misalnya Parvozosterid dan Halophilid dapat
dijumpai pada hampir semua habitat, mulai dari pasir yang kasar sampai lumpur yang
lunak, dari daerah dangkal sampai dalam, dari laut terbuka sampai estuari.
Magnosterid juga dijumpai pada berbagai substrat, tetapi terbatas pada daerah
sublitoral sampai batas rata-rata daerah surut. Secara umum lamun memiliki
bentuk luar yang sama, dan yang membedakan antar spesies adalah keanekaragaman bentuk
organ vegetatif. Berbeda dengan rumput laut (marine alga/seaweeds), lamun memiliki
akar sejati, daun, pembuluh internal yang merupakan sistem yang menyalurkan
nutrien, air, dan gas.

Gambar Morfologi Lamun


1. Akar
Terdapat perbedaan morfologi dan anatomi akar yang jelas antara jenis lamun yang
dapat digunakan untuk taksonomi. Akar pada beberapa spesies seperti Halophila dan
Halodule memiliki karakteristik tipis (fragile), seperti rambut, diameter kecil,
sedangkan spesies Thalassodendron memiliki akar yang kuat dan berkayu
dengan sel epidermal. Jika dibandingkan dengan tumbuhan darat, akar dan
akar rambut lamun tidak berkembang dengan baik. Namun, beberapa penelitian
memperlihatkan bahwa akar dan rhizoma lamun memiliki fungsi yang sama dengan
tumbuhan darat.
Akar-akar halus yang tumbuh di bawah permukaan rhizoma, dan
memiliki adaptasi khusus (contoh : aerenchyma, sel epidermal) terhadap
lingkungan perairan. Semua akar memiliki pusat stele yang dikelilingi oleh endodermis.
Stele mengandung phloem (jaringan transport nutrien) dan xylem (jaringan yang
menyalurkan air) yang sangat tipis. Karena akar lamun tidak berkembang baik
untuk menyalurkan air maka dapat dikatakan bahwa lamun tidak berperan penting
dalam penyaluran air. Patriquin (1972) menjelaskan bahwa lamun mampu untuk
menyerap nutrien dari dalam substrat (interstitial) melalui sistem akar-rhizoma.
Selanjutnya, fiksasi nitrogen yang dilakukan oleh bakteri heterotropik di dalam
rhizosper Halophila ovalis, Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium dan
Thalassia hemprichii cukup tinggi lebih dari 40 mg N.m-2.day- 1. Koloni bakteri yang
ditemukan di lamun memiliki peran yang penting dalam penyerapan nitrogen dan
penyaluran nutrien oleh akar. Fiksasi nitrogen merupakan proses yang penting
karena nitrogen merupakan unsur dasar yang penting dalam metabolisme untuk
menyusun struktur komponen sel.
Diantara banyak fungsi, akar lamun merupakan tempat menyimpan
oksigen untuk proses fotosintesis yang dialirkan dari lapisan epidermal daun
melalui difusi sepanjang sistem lakunal (udara) yang berliku-liku. Sebagian
besar oksigen yang disimpan di akar dan rhizoma digunakan untuk
metabolisme dasar sel kortikal dan epidermis seperti yang dilakukan oleh
mikroflora di rhizospher. Beberapa lamun diketahui mengeluarkan oksigen melalui
akarnya (Halophila ovalis) sedangkan spesies lain (Thallassia testudinum) terlihat
menjadi lebih baik pada kondisi anoksik. Larkum et al (1989) menekankan bahwa
transport oksigen ke akar mengalami penurunan tergantung kebutuhan metabolisme
sel epidermal akar dan mikroflora yang berasosiasi. Melalui sistem akar dan
rhizoma, lamun dapat memodifikasi sedimen di sekitarnya melalui transpor oksigen
dan kandungan kimia lain. Kondisi ini juga dapat menjelaskan jika lamun
dapat memodifikasi sistem lakunal berdasarkan tingkat anoksia di sedimen.
Dengan demikian pengeluaran oksigen ke sedimen merupakan fungsi dari
detoksifikasi yang sama dengan yang dilakukan oleh tumbuhan darat.
Kemampuan ini merupakan adaptasi untuk kondisi anoksik yang sering
ditemukan pada substrat yang memiliki sedimen liat atau lumpur. Karena akar lamun
merupakan tempat untuk melakukan metabolisme aktif (respirasi) maka
konnsentrasi CO2 di jaringan akar relatif tinggi.

2. Rhizoma dan Batang


Semua lamun memiliki lebih atau kurang rhizoma yang utamanya adalah
herbaceous, walaupun pada Thallasodendron ciliatum (percabangan simpodial)
yang memiliki rhizoma berkayu yang memungkinkan spesies ini hidup pada habitat
karang yang bervariasi dimana spesies lain tidak bisa hidup. Kemampuannya
untuk tumbuh pada substrat yang keras menjadikan T. Ciliatum memiliki energi yang kuat
dan dapat hidup berkoloni disepanjang hamparan terumbu karang di pantai selatan
Bali, yang merupakan perairan yang terbuka terhadap laut Indian yang memiliki
gelombang yang kuat.
Struktur rhizoma dan batang lamun memiliki variasi yang sangat
tinggi tergantung dari susunan saluran di dalam stele. Rhizoma, bersama sama dengan
akar, menancapkan tumbuhan ke dalam substrat. Rhizoma seringkali terbenam
di dalam substrat yang dapat meluas secara ekstensif dan memiliki peran
yang utama pada reproduksi secara vegetatif. Dan reproduksi yang dilakukan
secara vegetatif merupakan hal yang lebih penting daripada reproduksi dengan
pembibitan karena lebih menguntungkan untuk penyebaran lamun. Rhizoma
merupakan 60-80% biomas lamun.

3. Daun
Seperti semua tumbuhan monokotil, daun lamun diproduksi dari meristem
basal yang terletak pada potongan rhizoma dan percabangannya. Meskipun
memiliki bentuk umum yang hampir sama, spesies lamun memiliki morfologi khusus
dan bentuk anatomi yang memiliki nilai taksonomi yang sangat tinggi. Beberapa bentuk
morfologi sangat mudah terlihat yaitu bentuk daun, bentuk puncak daun,
keberadaan atau ketiadaan ligula. Contohnya adalah puncak daun Cymodocea
serrulata berbentuk lingkaran dan berserat, sedangkan C. Rotundata datar dan
halus. Daun lamun terdiri dari dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun.
Pelepah daun menutupi rhizoma yang baru tumbuh dan melindungi daun muda.
Tetapi genus Halophila yang memiliki bentuk daun petiolate tidak memiliki pelepah.
Anatomi yang khas dari daun lamun adalah ketiadaan stomata dan keberadaan kutikel
yang tipis. Kutikel daun yang tipis tidak dapat menahan pergerakan ion dan
difusi karbon sehingga daun dapat menyerap nutrien langsung dari air laut. Air
laut merupakan sumber bikarbonat bagi tumbuh-tumbuhan untuk penggunaan
karbon inorganik dalam proses fotosintesis.

E. Fungsi dan Peran Lamun


1. Fungsi lamun
Menurut Aswandy (2003) dalam penelitian mengenai Asosiasi Fauna Krustasea
Dengan Potongan-Potongan Lamun Di Laut Dalam, menyatakan bahwa lamun dapat
berfungsi sebagai :
a. Substrat
Substrat keras umumnya jarang ditemukan di perairan laut dalam, sehingga tidak
begitu aneh bila lamun menjadi pilihan utama untuk dijadikan substrat oleh beberapa biota
yang berasosiasi termasuk fauna krustasea. Hal ini ditemukan di perairan laut
dalam, sehingga tidak begitu aneh bila lamun menjadi pilihan utama untuk dijadikan
substrat oleh beberapa biota yang berasosiasi termasuk fauna krustasea. Hal
ini Beberapa organisme krustasea yang ditemukan, sebagian besar adalah bukan
merupakan taxa utama. Pada bagian daun lamun ditemukan potongan-potongan kecil dari
biota yang menempel pada lapisan substrat yang tebal. Lebih kurang 100
organisme dengan panjang antara 5-15 mm ditemukan pada material lamun. Dari hasil
pengamatan, fauna krustasea yang teridentifikasi antara lain adalah:
1) Cirripedia; biota ini ditemukan pada rimpang lamun yang
menyerupai sebuah tabung polikhaeta. Teridentifikasi bahwa pada satu teritip
dengan panjang 5,2 mm, ditemukan lebih dari 300 jenis yang termasuk marga
Arcoscalpellum.
2) Tanaidacea; biota assosiasi ini ditemukan pada daun
Thalassia dengan panjang spesimen 2-3 mm. Biota ini termasuk famili
Paratanaidae.

a. Tempat berlindung
Sejumlah spesimen dari Echinothambema ditemukan pada rizhome lamun, Biota
tersebut menggunakan rhizome lamun hanya sebagai tempat berlindung. Kondisi
ini juga ditemukan pada beberapa jenis biota dari Isopoda. Spesimen Isopoda ada yang
ditemukan pada bagian dalam dan luar dari rhizoma Thalassia (WOLFF, 1975). Fauna
krustasea yang menggunakan lamun sebagai tempat berlindung diantaranya adalah:
1) Isopoda; Dari 55 spesimen yang diteiiti dalam rhizome
lamun tersebut ada sekitar 8-9 jenis Isopoda, biota ini mempunyai kelimpahan
lebih tinggi di dalam rhizome lamun Thalassia. Jenis umum dari Isopoda
yang teridentifikasi adalah dari jenis Echinothambema sp. dengan panjang 4- 5
mm yang ditemukan sekitar 80% dalam rhizome dan 20% diluar rhizome. Kadang-
kadang pada satu rhizome ditemukan jenis jantan dan betina. Pada beberapa
spesimen teridentifikasi biota Katianira sp. dengan ukuran sekitar 3 mm pada
rhizome Thalassia. Diduga pada spesimen tersebut juga ada genus
Heteromesus yang termasuk suku Ischnomesidae pada beberapa material
rhizome lamun dari Thalassia tersebut. Kemudian satu jenis baru dari
marga Macrostylis yang panjangnya 3 mm juga ditemukan dalam rhizome
dan jenis dari marga Haploniscus juga ditemukan pada sejumlah rhizome.
2) Amphipoda; Berdasarkan pengamatan ada satu jenis
baru dari marga Onesimoides dari suku Lyasinassidae yang ditemukan
pada bagian pangkal rhizome dan daun dari lamun Thalassia.

b. Makanan
Telah diketahui bahwa bahan organik merupakan sumber energi untuk beberapa
fauna laut dalam (Wolff, 1962). Di sepanjang perairan Carolina ditemukan
adanya hubungan antara konsentrasi detritus organik dari material Thalassia dengan
distribusi dari beberapa biota pemakan suspensi (suspension feeders). Lebih
lanjut dikatakan bahwa di perairan Puerto Rico dan Cayman di temukan fauna
Amphipoda dari jenis Onesimoides sp. yang menggunakan Thalassia sebagai
sumber makanan. Biasanya fauna ini ditemukan dalam potongan-potongan
kayu yang didalamnya terdapat detritus lamun. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa lamun merupakan makanan dari fauna herbivorous di perairan
laut dalam yang berdekatan dengan daerah padang lamun yang padat di daerah laut
dangkal. Hal ini membuktikan bahwa walaupun tidak ada angin topan atau badai,
potongan lamun dapat saja terbawa dan terjebak dilaut dalam. Biasanya daun,
seludang atau rhizome dari lamun dijadikan makanan bagi fauna herbifora di
laut dalam dalam waktu yang relatif lama, berdasarkan kondisi lingkungan
yang biasanya menurun secara perlahan (Jannasch et al. 1971; Jannasch & Wirsen,
1973).
Wolff (1975) mengemukakan bahwa ada indikasi biota Isopoda memakan
jenis lamun Thalassia. Hal ini berdasarkan material lamun yang berwarna coklat
kekuning-kuningan yang diindikasikan sebagai jaringan lamun Thalassia. Pada material
tersebut ditemukan bagian mulut dari Krustasea bersama spikula dari sponge dan kista
dari alga kuning. Pada material yang lebih lebar, ditemukan Echinothambema
yang merupakan pemakan deposit (deposit feeder). Biota tersebut sangat selektif
pada ukuran partikel dan kadang-kadang juga dapat berubah menjadi biota
karnivora (Wolff, 1962).

b. Fungsi Padang Lamun


Padang lamun memiliki berbagai fungsi ekologi yang vital dalam
ekosistem pesisir dan sangat menunjang dan mempertahankan biodiversitas pesisir
dan lebih penting sebagai pendukung produktivitas perikanan pantai. Beberapa
fungsi padang lamun, yaitu: 1) sebagai stabilisator perairan dengan fungsi sistem
perakannya sebagai perangkap dan pengstabil sedimen dasar sehingga perairan
menjadi lebih jernih; 2) lamun menjadi sumber makanan langsung berbagai biota laut
(ikan dan non ikan); 3) lamun sebagai produser primer; 4) komunitas lamun memberikan
habitat penting (tempat hidup) dan perlindungan (tempat berlindung) untuk sejumlah
spesies hewan; dan 5) lamun memegang fungsi utama dalam daur zat hara dan elemen-
elemen langka di lingkungan laut (Phillips dan Menez, 1988; Fortes, 1990).
Dalam sistem rantai makanan khususnya pada daun-daun lamun
yang berasosiasi dengan alga kecil yang dikenal dengan periphyton dan epiphytic dari
detritus yang merupakan sumber makanan terpenting bagi hewan-hewan kecil seperti
ikan-ikan kecil dan invertebrate kecil contohnya ; beberapa jenis udang, kuda
laut, bivalve, gastropoda, dan Echinodermata. Lamun juga mempunyai hubungan
ekologis dengan ikan melalui rantai makanan dari produksi biomasanya.
Epiphyte ini dapat tumbuh sangat subur dengan melekat pada permukaan daun
lamun dan sangat di senangi oleh udang-udang kecil dan beberapa jenis ikan-ikan
kecil. Disamping itu padang lamun juga dapat melindungi hewan-hewan kecil tadi
dari serangan predator. Selain itu, padang lamun diketahui mendukung berbagai
jaringan rantai makanan, baik yang didasari oleh rantai herbivor maupun detrivor
(Gambar 1). Perubahan rantai makanan ini bisa terjadi karena adanya perubahan
yang cepat dari perkembangan perubahan makanan oleh predator,dan adanya
perubahan musiman terhadap melimpahnya makanan untuk fauna.
Walaupun begitu, sejauh ini belum banyak diketahui bagaimana rantai
energi dan nutrien tersebut selanjutnya berperan dalam ekosistem pesisir yang
lebih luas (Gambar 2). Selain duyung, manate dan penyu, tidak banyak
jenis ikan dan invertebrata yang diketahui memakan daun-daun lamun ini.
Sehingga kemungkinan yang paling besar, lamun ini menyumbang ke dalam ekosistem
pantai melalui detritus, yakni serpih-serpih bahan organik (daun, rimpang dll.) yang
membusuk yang diangkut arus laut dan menjadi bahan makanan berbagai organisme
pemakan detritus (dekomposer) (Nybakken, 1988). Dengan kata lain aliran energi di
padang lamun itu sendiri terjadi karena adanya proses makan memakan baik itu
secara langsung dari daun lamunnya terus di makan konsumen I maupun secara
tidak langsung sebagai detritus dimakan oleh konsumen I dan seterusnya. Lamun
yang mati akan kehilangan protein dan materi organik lain yang dimakan oleh
fauna pada saat permulaan dekomposisi. Struktur karbohidrat diambil dari mikroflora
(bakteri dan jamur). Banyak dari metozoa yang dapat mencerna protein bakteri dan
serasah daun lamun diekskresi oleh fauna dan bentuk yang belum dicerna akan
didekomposisi lagi oleh mikroba decomposer sehingga sumbar detritus akan
meningkat.

F. Parameter Pertumbuhan Lamun


1. Parameter fisik
a) Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses
kehidupan dan penyebaran organisme. Perubahan suhu terhadap kehidupan lamun, antara lain
dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun.
Menurut Nontji (1987), pengaruh suhu terhadap sifat fisiologi organisme perairan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fotosintesis.
Kisaran suhu yang optimal bagi spesies lamun untuk tumbuh yaitu 28°C- 30°C,
sedangkan untuk fotosintesis lamun membutuhkan suhu optimum 25°C- 35°C. Pengaruh
suhu bagi lamun sangat besar, suhu mempengaruhi proses-proses fisiologis lamun, yaitu
fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan, dan reproduksi (Berwick, 1983).
Berdasarkan penelitian Deviyan (2012), suhu di perairan Sayang Heulang Garut sangat
rendah berkisar antara 21-24ºC. Hal itu dikarenakan kondisi musim pada saat penelitian
sedang musim peralihan (hujan-kemarau) dan angin kencang (angin timur), sehingga
berpengaruh terhadap suhu perairan.
b) Arus
Arus mempunyai peranan dalam pendistribusian suhu dan salinitas. Arus yang
terjadi di daerah estuari dipengaruhi oleh pasang surut dan aliran sungai. Pola arus
yang berubah-ubah menurut musim dan tipe pasang surut di daerah estuari
mempengaruhi areal penyebaran partikel yang terangkat oleh massa air sungai. Arus
perairan yang kecil menyebabkan daun lamun dipadati oleh alga epifit berikut sedimen
yang terperangkap diantara alga tersebut. Sebaliknya, apabila daun lamun bersih dari alga
epifit menunjukkan arus setempat relatif kuat (Berwick 1983 dalam Kasim, 2012).
Arus di sekitar Teluk Banten berada pada kecepatan 0,037 m/s sampai 0,187 m/s.
Lingkungan teluk yang relatif tenang dan berada jauh dari pengaruh oseanik atau laut
terbuka mengakibatkan arus memiliki kecepatan rendah. Arus kecil ini menyebabkan
permukaan daun Enhalus acoroides ditumbuhi alga epifit dan ditutupi oleh sedimen yang
terperangkap, terutama pada daun yang berada di stasiun lumpur (Badria, 2007).
c) Kedalaman
Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun
hidup pada daerah perairan dangkal yang masih dapat dijumpai sampai kedalaman 40
meter dengan penetrasi cahaya yang masih baik (Hemminga dan Duarte, 2000).
Semakin dalam suatu perairan maka intensitas cahaya matahari untuk menembus dasar
perairan menjadi terbatas dan kondisi ini akan menghambat proses fotosintesis lamun di
dalam air.
Penyebaran lamun berbeda untuk setiap spesies sesuai dengan kedalaman air. Batas
kedalaman sebagian spesies adalah 10-12 meter, tetapi pada perairan yang sangat jernih
dapat dijumpai pada tempat yang lebih dalam (Hutomo, 1997). Pengukuran kedalaman di
lokasi Pulau Pari Kepulauan seribu memiliki kedalaman rata-rata dibawah 1 m yang
merupakan kedalaman ideal untuk pertumbuhan vegetasi lamun. Untuk stasiun 1
memiliki kedalaman rata-rata 0,6794 m dan pada stasiun 2 memiliki nilai kedalaman
rata-rata 0,4817 m (Rahayu, 2013).
d) Kecerahan
Penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan sangat mempengaruhi proses
fotosintesis oleh tumbuhan lamun. Lamun membutuhkan intensitas cahaya yang cukup tinggi
untuk proses fotosintesis tersebut. Jika suatu perairan mendapat pengaruh akibat aktivitas
pembangunan suatu pelabuhan atau dermaga maka meningkatkan sedimentasi pada
badan air yang akhirnya akan mempengaruhi turbiditas. Turbiditas tersebut berdampak
buruk terhadap kelangsungan proses fotosintesis, kondisi ini pula secara luas akan
mengganggu produktivitas primer ekosistem lamun (Dahuri, 2003).
Nilai kecerahan di semua stasiun penelitian didapatkan adalah 100% dimana
kecerahan dengan nilai 100% tersebut mempuyai arti bahwa perairan tersebut terbilang
jernih, sehingga ekosistem lamun mendapatkan pasokan penetrasi cahaya yang cukup
untuk berfotosintesis secara maksimal (Ismail, 2011).
2. Parameter kimia
 Salinitas
Salinitas adalah total kosentrasi ion-ion terlarut yang terdapat di perairan. Salinitas
dinyatakan dalam satuan promil (‰). Hutomo (1999) menjelaskan bahwa lamun
memiliki kemampuan toleransi yang berbeda terhadap salinitas, namun sebagian besar
memiliki kisaran yang lebar yaitu 10-40‰. Nilai salinitas yang optimum untuk lamun
adalah 35‰. Walaupun spesies lamun memiliki toleransi terhadap salinitas yang
berbeda-beda, namun sebagian besar memiliki kisaran yang tinggi terhadap salinitas
yaitu antara 10-30 ‰. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis.
(Dahuri et al, 2001).
Pada penelitian laju pertumbuhan Enhalus acoroides di Pulau Pari nilai salinitas
di tiap stasiun memiliki kisaran antara 28,7-30,8‰, dimana nilai salinitas optimum untuk
lamun adalah 35‰. Rendahnya nilai salinitas pada pulau Pari diduga karena perairan
Pulau Pari berada dekat dengan Teluk Jakarta. Hal ini mengakibatkan adanya pengaruh
aliran air tawar dari beberapa muara sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta (Gilang, 2013).
 Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) adalah ukuran tentang besarnya kosentrasi ion hidrogen
dan menunjukkan apakah air itu bersifat asam atau basa dalam reaksinya (Wardoyo, 1975).
Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap organisme
perairan sehingga dipergunakan sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu
perairan. Menurut Nybakken (1992), kisaran pH yang optimal untuk air laut antara 7,5-
8,5. Kisaran pH yang baik untuk lamun ialah pada saat pH air laut 7,5-8,5 , karena pada
saat kondisi pH berada dikisaran tersebut maka ion bikarbonat yang dibutuhkan oleh
lamun untuk fotosintesis dalam keadaan melimpah (Phillip dan Menez, 1988).
Deviyana (2012) dan Rahayu (2013) menyatakan bahwa pH pada lokasi penelitian
di masing-masing perairan yang mereka teliti didapat nilai derajat keasamannya antara
7,5 – 8,5 , dimana kisaran pH tersebut merupakan kisaran optimal perairan yang
dikatakan baik.
 Oksigen terlarut (DO)
Kelarutan oksigen dalam air laut dipengaruhi oleh tekanan parsial gas-gas yang ada
dalam air dan udara, suhu, pH, dan turbulensi. Kandungan oksigen dalam air berasal
dari difusi udara dan hasil fotosintesis organisme berklorofil (termasuk lamun) yang
hidup di perairan. Perairan yang hangat memiliki kandungan oksigen terlarut yang rendah
dibandingkan dengan perairan yang lebih dingin, dimana konsentrasi kejenuhan oksigen
terlarut menurun antara 0,2 dan 0,3 mg/l untuk setiap kenaikan temperatur derajat celcius
(Arnell, 2002).
Padang lamun merupakan lingkungan yang kaya akan oksigen sehingga cocok bagi
makrofauna untuk melakukan kolonisasi ke habitat ini (Zulkifli, 2000). Oksigen terlarut
dimanfaatkan untuk respirasi tumbuhan dan hewan air, dekomposisi bahan organik
(BOD atau biochemical oxygen dermand), dan oksidasi amonia menjadi nitrat dan nitrit.
Menurut Badria (2007) menyatakan bahwa oksigen terlaut di substrat pasir pada
perairan Teluk Banten lebih tinggi dibandingkan substrat lumpur, ini dikarenakan nilai
kecerahan dan kecepatan arus mempengaruhi kelarutan oksigen tersebut. Selain itu beliau
juga menyatakan nilai oksigen terlarut diduga dipengaruhi oleh aktifitas (respirasi)
organisme penghuni padang lamun. Kepadatan biota penghuni padang lamun di stasiun
lumpur diduga lebih tinggi sehingga oksigen yang dibutuhkan untuk melakukan
respirasi tentu besar. Oleh karena itu, kandungan oksigen terlarut di substrat lumpur lebih
rendah.
 Substrat
Substrat merupakan medium dari mana tumbuhan secara normal memperoleh
nutrien. Substrat dapat didefinisikan pula sebagai medium alami untuk pertumbuhan
tanaman yang tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Perbedaan
komposisi jenis substrat dapat menyebabkan perbedaan komposisi jenis lamun dan juga
dapat mempengaruhi perbedaan kesuburan dan pertumbuhan lamun. Hal ini didasari
oleh pemikiran bahwa perbedaan komposisi ukuran butiran pasir akan menyebabkan
perbedaan nutrisi bagi pertumbuhan lamun dan proses dekomposisi dan mineralisasi yang
terjadi di dalam substrat (Kiswara, 1992).
Menurut Rohanipah (2009) perbedaan tipe substrat bisa dilihat sebagai berikut :
 Pasir = Substrat pasir memiliki komposisi pasir 85-98% dari seluruh komposisi
substrat, dimana kelompok ini memiliki komposisi partikel pasir lebih banyak
daripada partikel substrat lainnya. Dengan ukuran partikel 0,117-0,486 mm.
 Pasir Berlumpur = Substrat pasir berlumpur memiliki komposisi pasir 49-84%
dari seluruh komposisi substrat, dimana kelompok ini memiliki komposisi
terbanyak pasir namun ada sedikit campuran lumpur. Dengan ukuran partikel
0,096-0434 mm.
 Lumpur Berpasir = Substrat lumpur berpasir memiliki komposisi pasir 17-49% dari
seluruh komposisi substrat, dimana kelompok ini memiliki komposisi lumpur
lebih dominan dengan sedikit pasir. Dengan ukuran partikel 0,059-0,225 mm.
 Lumpur = Substrat lumpur memiliki komposisi pasir 0,5-12% dari seluruh
komposisi substrat, dimana kelompok ini memiliki komposisi lumpur yang sangat
dominan dan banyak. Dengan ukuran partikel 0,053-0,118 mm.
Beberapa penelitian tentang pertumbuhan lamun di susbtrat yang berbeda dan lokasi
yang berbeda memiliki perbedaan yang berbeda juga. Seperti penelitian (Badria, 2007)
menyatakan bahwa laju pertumbuhan daun Enhalus acoroides di Teluk Banten
pertumbuhan daunnya lebih cepat di substrat berlumpur daripada substrat pasir.
Sedangkan pada penelitian (Rahayu, 2013) menyatakan pertumbuhan Enhalus acoroides
di Pulau Pari Kepulauan Seribu pada substrat pasir memiliki nilai tertinggi daripada
substrat berlumpur.
 Nutrien
Ketersediaan nutrien menjadi faktor pembatas pertumbuhan, kelimpahan dan
morfologi lamun pada perairan yang jernih (Hutomo, 1997). Ketersediaan zat hara (nutrien)
di perairan padang lamun dapat berperan sebagai faktor pembatas pertumbuhannya
(Faiqoh, 2006). Senyawa fosfat dalam perairan dapat berasal dari sumber alami seperti erosi
tanah, buangan dari hewan dan pelapukan dari tumbuhan atau dari laut sendiri.
Menurut Saeni (1989), sumber-sumber fosfat di perairan juga berasal dari industri,
hancuran dari pupuk, limbah industri domestik, hancuran bahan organik dan mineral
mineral fosfat. Fosfat yang diserap oleh organisme nabati (mikrofauna ataupun
marofauna) berbentuk orthofosfat yang terlarut dalam air atau asam lemak (Alaerts dan
Santika, 1984).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Lamun adalah satu-satunya tumbuhan berbungan yang ada di laut diang sangat
berbeda dengan dengan tumbuhan lain nya, misalnya Alga. Karena lamun memiliki akar buah
dan daun.Lamun merupakan suatu ekosistem yang sangat penting keberadaannya, Karena dia
memiliki manfaat yang sangat banyak biak untuk organisa laut maupun masusia,misalnya:

 Sebagai tempat berlindung dan tempat menjari makan bagi beberapa organism laut.
 Sebagai tempat pemijahan bagi giota tertentu
 Memperlambar arus dan ombak
 Memperkecil sedementasi yang menuju ke ekosisitem trumbu karang
 Sebagai tempat berekreasi
 Sebagai tempat penelitian
DAFTAR PUSTAKA

Tangke, U. (2010). Ekosistem padang lamun (manfaat, fungsi, dan rehailitasi). Jurnal Ilmiah
agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate). 3(1), 9-28.
Kiswara W. 1999. Perkembangan Penelitian Ekosistem Padang Lamun di Indonesia.
Disampaikan pada Seminar Tentang Oseanografi Dalam Rangka Penghargaan
kepada Prof. Dr. Apriliani Soegiarto, M.Sc, Puslitbang Oseanografi LIPI Jakarta
1999.
Alim, Tantri.2013.Fotosintesis pada Tanaman Akuatik.http://www.biologi-sel.com/
2013/06/fotosintesis-pada-tanaman-akuatik.html. di akses pada 4 april 2022
Arthana, I.W. 2005. Jenis dan Kerapatan Padang Lamun di Pantai Sanur Bali. Jurnal
Lingkungan Hidup.Volum 5, Nomor 2.Dikutip dari
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/jeniskerapatan.pdf

Anda mungkin juga menyukai