Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dari pada daratan, oleh
karena itu Indonesia di kenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya
akan berbagai biota laut baik flora maupun fauna. Demikian luas serta keragaman
jasad-jasad hidup di dalam yang kesemuanya membentuk dinamika kehidupan di laut
yang saling berkesinambungan (Nybakken, 1988).
Dewasa ini, perhatian terhadap biota laut semakin meningkat dengan
munculnya kesadaran dan minat setiap lapisan masyarakat akan pentingnya lautan.
Menurut Bengen (2001) laut sebagai penyedia sumber daya alam yang produktif baik
sebagai sumber pangan, tambang mineral, dan energi, media komunikasi maupun
kawasan rekreasi atau pariwisata. Karena itu wilayah pesisir dan lautan merupakan
tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan di masa datang.
Salah satu sumber daya laut yang cukup potensial untuk dapat dimanfaatkan
adalah lamun. Lamun adalah tumbuhan tingkat tinggi dan berbunga (Angiospermae)
yang telah beradaptasi untuk dapat hidup terbenam di air laut. Dalam bahasa Inggris
disebut seagrass. Istilah seagrass hendaknya jangan dikelirukan dengan seaweed yang
dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai rumput laut yang sebenarnya
merupakan tumbuhan tingkat rendah dan dikenal juga sebagai alga laut. Keberadaan
bunga dan buah ini adalah faktor utama yang membedakan lamun dengan jenis
tumbuhan lainnya yang hidup terbenam dalam laut lainnya, seperti rumput laut
(seaweed). Hamparan lamun sebagai ekosistem utama pada suatu kawasan pesisir
disebut sebagai padang lamun (seagrass bed). Pada ekosistem padang lamun
berasosiasi berbagai jenis biota laut yang bernilai penting dengan tingkat keragaman
yang sangat tinggi.
Ekosistem lamun sangat terkait dengan ekosistem di dalam wilayah pesisir
seperti mangrove, terumbu karang, estauria dan ekosistem lainya dalam menunjang
keberadaan biota terutama pada perikanan serta beberapa aspek lain seperti fungsi fisik
dan sosial-ekonomi. Hal ini menunjukkan keberadaan ekosistem lamun adalah tidak
berdiri sendiri, tetapi terkait dengan ekosistem sekitarnya, bahkan sangat dipengaruhi
aktifitas darat. Namun, akhir-akhir ini kondisi padang lamun semakin menyusut oleh
adanya kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya lamun dilakukan oleh masyarakat
maupun swasta sebagai daerah penangkapan ikan, penangkapan biota non ikan dan
sebagai areal budidaya perairan (rumput laut, kerang dan ikan). Beberapa aktivitas
yang dianggap secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada degradasi
habitat (habitation) dan keanekaragaman hayati (biodiversity), seperti pengambilan
kerang darah (anadara sp) dan adanya kegiatan penangkapan ikan menggunakan
bahan peledak (dinamit botol) dan bahan beracun (tuba dan potassium sianida) baik
yang dilakukan oleh masyarakat maupun oleh swasta.
Aktivitas pemanfaatan tersebut berpotensi untuk mengancam kelestarian
ekosistem dan sumberdaya lamun, sehingga di khawatirkan selain dapat menimbulkan
berbagai ancaman langsung terhadap degradasi habitat dan keanekaragaman hayati
ekosistem lamun juga menimbulkan permasalahan sosial ekonomi, seperti konflik
kepentingan baik antar masyarakat, maupun antar masyarakat dengan pengusaha
perikanan yang memanfaatkan ekosistem dan sumberdaya di wilayah pesisir. Olehnya
itu tanpa adanya intervensi yang efektif dan terintegrasi, kecenderungan degradasi
pada ekosistem lamun dan biota yang berasosiasi dengannya akan terus merosot.
Pemberian nilai yang tepat secara moneter terhadap sumberdaya alam berikut
fungsi-fungsinya, memberikan kesempatan kepada manusia untuk memahami seluruh
dampak dari kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan. Hal serupa juga
bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menetapkan kebijakan pemanfaatan suatu
sumberdaya alam yang efisien, berkelanjutan dan tidak saling berkontradiksi terhadap
pemanfaatan sumberdaya alam yang lain. Sehingga untuk mengetahui nilai manfaat
dari ekosistem lamun, maka perlu dilaksanakan analisis melalui metodologi valuasi
ekonomi. Valuasi ekonomi merupakan komponen penting dalam perencanaan dan
pengelolaan sumberdaya pesisir laut karena mengaitkan dimensi-dimensi ekonomi dan
ekologi secara integrative.
Tujuan
Pemberian nilai yang tepat secara moneter terhadap sumberdaya alam berikut
fungsi-fungsinya, memberikan kesempatan kepada manusia untuk memahami pola
pemanfaatan dan dampak dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan,
sehingga langkah pengelolaan dan penilaian secara ekonomi dapat diusulkan. Oleh
karena itu, untuk menjawab hal tersebut maka dalam valuasi ekonomi ekosistem lamun
ini bertujuan untuk :
- Mengidentifikasi pola pemanfaatan dan permasalahan ekosistem lamun
- Mengestimasi nilai ekonomi dari fungsi dan manfaat ekosistem lamun
- Menentukan alternative pengelolaan ekosistem lamun yang berkelanjutan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. EKOSISTEM LAMUN


Indonesia memiliki panjang garis pantai 81.000 km, mempunyai padang lamun
yang luas bahkan terluas di daerah tropika. Luas padang lamun yang terdapat di
perairan Indonesia mencapai sekitar 30.000 km2 (Kiswara dan Winardi, 1994).
Jika dilihat dari pola zonasi lamun secara horisontal, maka dapat dikatakan
ekosistem lamun terletak di antara dua ekosistem bahari penting yaitu ekosistem
mangrove dan ekosistem terumbu karang (pada gambar dibawah). Dengan letak yang
berdekatan dengan dua ekosistem pantai tropik tersebut, ekosistem lamun tidak
terisolasi atau berdiri sendiri tetapi berinteraksi dengan kedua ekosistem tersebut.
Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga
(angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup terendam di
dalam laut beradaptasi secara penuh di perairan yang salinitasnya cukup tinggi atau
hidup terbenam di dalam air, beberapa ahli juga mendefinisikan lamun (seagrass)
sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh, berdaun,
berimpang, berakar, serta berbiak dengan biji dan tunas. Karena pola hidup lamun
sering berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang lamun (seagrass bed) yaitu
hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut dangkal, terbentuk dari
satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Lamun umumnya membentuk
padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya
matahari yang memadai bagi per-tumbuhannya. Lamun hidup di perairan yang dangkal
dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk
menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun
ke luar daerah padang lamun.
Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat
berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di
substrat lumpur-berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang.
Sedangkan sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen
biotik dan abiotik disebut ekosistem lamun (seagrass ecosystem). Habitat tempat hidup
lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan sering juga dijumpai di terumbu
karang.
Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 60 jenis lamun, yang terdiri
atas 2 suku dan 12 marga (Kuo dan Mccomb 1989), dimana di Indonesia ditemukan
sekitar 13 jenis yang terdiri atas 2 suku dan 7 marga. Mereka hidup dan berkembang
baik pada lingkungan pada perairan laut dangkal, muara sungai, daerah pesisir yang
selalu mendapat genangan air atau terbuka ketika saat air surut. Tempat tumbuhnya
adalah dasar pasir, pasir berlmpur, lumpur dan kerikil karang bahkan ada jenis lamun
yang mampu hidup pada dasar batu karang. Mereka dijumpai pada daerah pasang surut
sampai dengan kedalaman 40 m.

2.2. FUNGSI DAN MANFAAT EKOSISTEM LAMUN


2.2.1. Fungsi Lamun
Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya,
dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem ini hidup
beranekaragam biota laut seperti ikan, Krustasea, Moluska ( Pinna sp, Lambis sp, dan
Strombus sp.), Echinodermata (Holothuria sp., Synapta sp., Diadema sp., Acancasther
sp., Linckia sp.) dan cacing ( Polichaeta) (Bengen, 2001).
Menurut Aswandy (2003) dalam penelitian mengenai Asosiasi Fauna Krustasea
Dengan Potongan-Potongan Lamun Di Laut Dalam, menyatakan bahwa lamun dapat
berfungsi sebagai :
1. Substrat
Substrat keras umumnya jarang ditemukan di perairan laut dalam, sehingga tidak
begitu aneh bila lamun menjadi pilihan utama untuk dijadikan substrat oleh
beberapa biota yang berasosiasi termasuk fauna krustasea. Hal ini didasarkan atas
ditemukannya sejumlah bentuk yang berbeda dari cangkang fauna pada material
lamun yang disampel.
Beberapa organisme krustasea yang ditemukan, sebagian besar adalah bukan
merupakan taxa utama. Pada bagian daun lamun ditemukan potongan-potongan
kecil dari biota yang menempel pada lapisan substrat yang tebal. Lebih kurang 100
organisme dengan panjang antara 5-15 mm ditemukan pada material lamun. Dari
hasil pengamatan, fauna krustasea yang teridentifikasi antara lain adalah:
- Cirripedia; biota ini ditemukan pada rimpang lamun yang menyerupai sebuah
tabung polikhaeta. Teridentifikasi bahwa pada satu teritip dengan panjang 5,2
mm, ditemukan lebih dari 300 jenis yang termasuk marga Arcoscalpellum.
- Tanaidacea; biota assosiasi ini ditemukan pada daun Thalassia dengan panjang
spesimen 2-3 mm. Biota ini termasuk famili Paratanaidae.
2. Tempat berlindung
Sejumlah spesimen dari Echinothambema ditemukan pada rizhome lamun, Biota
tersebut menggunakan rhizome lamun hanya sebagai tempat berlindung. Kondisi ini
juga ditemukan pada beberapa jenis biota dari Isopoda. Spesimen Isopoda ada yang
ditemukan pada bagian dalam dan luar dari rhizoma Thalassia (WOLFF, 1975).
Fauna krustasea yang menggunakan lamun sebagai tempat berlindung diantaranya
adalah:
- Isopoda; Dari 55 spesimen yang diteiiti dalam rhizome lamun tersebut ada
sekitar 8-9 jenis Isopoda, biota ini mempunyai kelimpahan lebih tinggi di dalam
rhizome lamun Thalassia. Jenis umum dari Isopoda yang teridentifikasi adalah
dari jenis Echinothambema sp. dengan panjang 4-5 mm yang ditemukan sekitar
80% dalam rhizome dan 20% diluar rhizome. Kadang-kadang pada satu
rhizome ditemukan jenis jantan dan betina. Pada beberapa spesimen
teridentifikasi biota Katianira sp. dengan ukuran sekitar 3 mm pada rhizome
Thalassia. Diduga pada spesimen tersebut juga ada genus Heteromesus yang
termasuk suku Ischnomesidae pada beberapa material rhizome lamun dari
Thalassia tersebut. Kemudian satu jenis baru dari marga Macrostylis yang
panjangnya 3 mm juga ditemukan dalam rhizome dan jenis dari marga
Haploniscus juga ditemukan pada sejumlah rhizome.
- Amphipoda; Berdasarkan pengamatan ada satu jenis baru dari marga
Onesimoides dari suku Lyasinassidae yang ditemukan pada bagian pangkal
rhizome dan daun dari lamun Thalassia.
3. Makanan
Telah diketahui bahwa bahan organik merupakan sumber energi untuk beberapa
fauna laut dalam (Wolff, 1962). Di sepanjang perairan Carolina ditemukan adanya
hubungan antara konsentrasi detritus organik dari material Thalassia dengan
distribusi dari beberapa biota pemakan suspensi (suspension feeders). Lebih lanjut
dikatakan bahwa di perairan Puerto Rico dan Cayman di temukan fauna Amphipoda
dari jenis Onesimoides sp. yang menggunakan Thalassia sebagai sumber makanan.
Biasanya fauna ini ditemukan dalam potongan-potongan kayu yang didalamnya
terdapat detritus lamun. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa lamun
merupakan makanan dari fauna herbivorous di perairan laut dalam yang berdekatan
dengan daerah padang lamun yang padat di daerah laut dangkal. Hal ini
membuktikan bahwa walaupun tidak ada angin topan atau badai, potongan lamun
dapat saja terbawa dan terjebak dilaut dalam. Biasanya daun, seludang atau rhizome
dari lamun dijadikan makanan bagi fauna herbifora di laut dalam dalam waktu yang
relatif lama, berdasarkan kondisi lingkungan yang biasanya menurun secara
perlahan (Jannasch et al. 1971; Jannasch dan Wirsen, 1973).
Wolff (1975) mengemukakan bahwa ada indikasi biota Isopoda memakan jenis
lamun Thalassia. Hal ini berdasarkan material lamun yang berwarna coklat
kekuning-kuningan yang diindikasikan sebagai jaringan lamun Thalassia. Pada
material tersebut ditemukan bagian mulut dari Krustasea bersama spikula dari
sponge dan kista dari alga kuning. Pada material yang lebih lebar, ditemukan
Echinothambema yang merupakan pemakan deposit (deposit feeder). Biota tersebut
sangat selektif pada ukuran partikel dan kadang-kadang juga dapat berubah menjadi
biota karnivora (Wolff, 1962).

2.2.2. Fungsi Padang Lamun


Padang lamun memiliki berbagai fungsi ekologi yang vital dalam ekosistem
pesisir dan sangat menunjang dan mempertahankan biodiversitas pesisir dan lebih
penting sebagai pendukung produktivitas perikanan pantai. Beberapa fungsi padang
lamun, yaitu: 1) sebagai stabilisator perairan dengan fungsi sistem perakannya sebagai
perangkap dan pengstabil sedimen dasar sehingga perairan menjadi lebih jernih; 2)
lamun menjadi sumber makanan langsung berbagai biota laut (ikan dan non ikan); 3)
lamun sebagai produser primer; 4) komunitas lamun memberikan habitat penting
(tempat hidup) dan perlindungan (tempat berlindung) untuk sejumlah spesies hewan;
dan 5) lamun memegang fungsi utama dalam daur zat hara dan elemen-elemen langka
di lingkungan laut (Phillips dan Menez, 1988; Fortes, 1990).
Dalam sistem rantai makanan khususnya pada daun-daun lamun yang
berasosiasi dengan alga kecil yang dikenal dengan periphyton dan epiphytic dari
detritus yang merupakan sumber makanan terpenting bagi hewan-hewan kecil seperti
ikan-ikan kecil dan invertebrate kecil contohnya ; beberapa jenis udang, kuda laut,
bivalve, gastropoda, dan Echinodermata. Lamun juga mempunyai hubungan ekologis
dengan ikan melalui rantai makanan dari produksi biomasanya. Epiphyte ini dapat
tumbuh sangat subur dengan melekat pada permukaan daun lamun dan sangat di
senangi oleh udang-udang kecil dan beberapa jenis ikan-ikan kecil. Disamping itu
padang lamun juga dapat melindungi hewan-hewan kecil tadi dari serangan predator.
Selain itu, padang lamun diketahui mendukung berbagai jaringan rantai makanan, baik
yang didasari oleh rantai herbivor maupun detrivor (Gambar 1). Perubahan rantai
makanan ini bisa terjadi karena adanya perubahan yang cepat dari perkembangan
perubahan makanan oleh predator,dan adanya perubahan musiman terhadap
melimpahnya makanan untuk fauna.
Walaupun begitu, sejauh ini belum banyak diketahui bagaimana rantai energi
dan nutrien tersebut selanjutnya berperan dalam ekosistem pesisir yang lebih luas
(Gambar 2). Selain duyung, manate dan penyu, tidak banyak jenis ikan dan
invertebrata yang diketahui memakan daun-daun lamun ini. Sehingga kemungkinan
yang paling besar, lamun ini menyumbang ke dalam ekosistem pantai melalui detritus,
yakni serpih-serpih bahan organik (daun, rimpang dll.) yang membusuk yang diangkut
arus laut dan menjadi bahan makanan berbagai organisme pemakan detritus
(dekomposer) (Nybakken, 1988). Dengan kata lain aliran energi di padang lamun itu
sendiri terjadi karena adanya proses makan memakan baik itu secara langsung dari
daun lamunnya terus di makan konsumen I maupun secara tidak langsung sebagai
detritus dimakan oleh konsumen I dan seterusnya. Lamun yang mati akan kehilangan
protein dan materi organik lain yang dimakan oleh fauna pada saat permulaan
dekomposisi. Struktur karbohidrat diambil dari mikroflora (bakteri dan jamur). Banyak
dari metozoa yang dapat mencerna protein bakteri dan serasah daun lamun diekskresi
oleh fauna dan bentuk yang belum dicerna akan didekomposisi lagi oleh mikroba
decomposer sehingga sumbar detritus akan meningkat
Gambar 2. Rantai Makanan Pada Ekosistem Padang Lamun

Gambar 3. Aliran Energi Pada Ekosistem Padang Lamun

Aliran materi dari padang lamun ke sistem lain (terumbu karang atau
mangrove) kecil sekali (Nienhuis at al .1989). Jumlah materi yang di alirkan ke sistem
lain di duga tidak mencapai 10% dari total produksi padang lamun. Dengan kata lain
padang lamun ini merupakan sistem yang mandiri (self suistainable system). Namun
kemandirian padang lamun tidak meniadakan kehadiran dari kepentingan interaksi
biotik dari ekosistem sekitarnya. Sistem dipadang lamun diketahui sebagai suatu
habitat untuk ratusan jenis-jenis hewan (Nontji, 1987; Hutomo dan Martosewojo.
1977).
Posisi padang lamun tropis yang terletak diantara mangrove dan terumbu
karang (Gambar 3) yang bertindak sebagai daerah penyangga yang baik, mengurangi
energi gelombang dan mengalirkan nutrisi ke ekosistem terdekatnya. Tetapi interaksi
ekosistem tersebut (mangrove, padang lamun dan terumbu karang) dalam
hubungannya dengan degradasi penyangga adalah jelas keterkaitannya. Kerusakan dari
salah satu ekosistem dapat menyebabkan akibat jelek pada ekosistem lainnya dalam
hubungannya dengan perubahan-perubahan keseimbangan lingkungan dan
konsekwensinya akan merubah struktur komunitas keseluruhannya.

Tipe interaksi antara ekosistem padang lamun dengan ekosistem mangrove dan
terumbu karang (Ogden dan Gladfelter, 1983 dalam Bengen, 2001)

2.2.3. Peranan Padang Lamun


Dari hasil penelitian para peneliti diketahui bahwa peranan lamun di
lingkungan perairan laut dangkal adalah sebagai berikut:
a. Sebagai Produsen Primer : Lamun mempunyai tingkat produktivitas primer tertinggi
bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti
ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang (Thayer et al., 1975).
b. Sebagai Habitat Biota : Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat
menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (algae). Disamping itu,
padang lamun (seagrass beds) dapat juga sebagai daerah asuhan, padang
pengembalaan dan makanan dari berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan
karang (coral fishes) (Kikuchi dan Peres, 1977).
c. Sebagai Penangkap Sedimen : Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang
disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan disekitarnya menjadi tenang.
Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen,
sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan. Jadi padang
lamun yang berfungsi sebagai penangkap sedimen dapat mencegah erosi
(Gingsburg dan Lowenstan 195 8, Thoraug dan Austin, 1976).
d. Sebagai Pendaur Zat Hara : Lamun memegang peranan penting dalam pendauran
berbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka di lingkungan laut. khususnya
zat-zat hara yang dibutuhkan oleh algae epifitik
Sedangkan menurut Philips dan Menez (1988), ekosistem lamun merupakan
salah satu ekosistem bahari yang produktif, ekosistem lamun pada perairan dangkal
berfungsi sebagai :
a. Menstabilkan dan menahan sedimen-sedimen yang dibawa melalui tekanan-tekanan
dari arus dan gelombang.
b. Daunnya memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta mengembangkan
sedimentasi.
c. Memberikan perlindungan terhadap hewan-hewan muda dan dewasa yang berkunjung
ke padang lamun
d. Daun-daun sangat membantu organisme-organisme epifit
e. Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi.
f. Menfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan.
Selanjutnya dikatakan Philips dan Menez (1988), lamun juga sebagai komoditi
yang sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara tradisional maupun
secara modern. Secara tradisional lamun telah dimanfaatkan untuk
1. Digunakan untuk kompos dan pupuk
2. Cerutu dan mainan anak-anak
3. Dianyam menjadi keranjang
4. Tumpukan untuk pematang
5. Mengisi kasur
6. Ada yang dimakan
7. Dibuat jaring ikan
Pada zaman modern ini, lamun telah dimanfaatkan untuk:
1. Penyaring limbah
2. Stabilizator pantai
3. Bahan untuk pabrik kertas
4. Makanan
5. Obat-obatan dan sumber bahan kimia
Lamun kadang-kadang membentuk suatu komunitas yang merupakan habitat
bagi berbagai jenis hewan laut. Komunitas lamun ini juga dapat memperlambat
gerakan air. bahkan ada jenis lamun yang dapat dikonsumsi bagi penduduk sekitar
pantai. Keberadaan ekosistem padang lamun masih belum banyak dikenal baik pada
kalangan akdemisi maupun masyarakat umum, jika dibandingkan dengan ekosistem
lain seperti ekosistem terumnbu karang dan ekosistem mangrove, meskipun diantara
ekosistem tersebut di kawasan pesisir merupakan satu kesatuan sistem dalam
menjalankan fungsi ekologisnya
Keberadaaan lamun pada daerah mid-intertidal sampai kedalaman 0,5-10 m,
dan juga terlihat mempunyai kaitan dengan habitat dimana banyak lamun (Thalassia)
adalah substrat dasar dengan pasir kasar. Menurut Haruna (Sangaji, 1994) juga
mendapatkan Enhalus acoroides dominan hidup pada substrat dasar berpasir dan pasir
sedikit berlumpur dan kadang-kadang terdapat pada dasar yang terdiri atas campuran
pecahan karang yang telah mati. Keberadaan lamun pada kondisi habitat tersebut, tidak
terlepas dan ganguan atau ancaman-ancaman terhadap kelansungan hidupnya baik
berupa ancaman alami maupun ancaman dari aktivitas manusia.
Banyak kegiatan atau proses, baik alami maupun oleh aktivitas manusia yang
mengancam kelangsungan ekosistem lamun. Ekosistem lamun sudah banyak terancam
termasuk di Indonesia baik secara alami maupun oleh aktifitas manusia. Besarnya
pengaruh terhadap integritas sumberdaya, meskipun secara garis besar tidak diketahui,
namun dapat dipandang di luar batas kesinambungan biologi. Perikanan laut yang
meyediakan lebih dari 60 % protein hewani yang dibutuhkan dalam menu makanan
masyarakat pantai, sebagian tergantung pada ekosistem lamun untuk produktifitas dan
pemeliharaanya. Selain itu kerusakan padang lamun oleh manusia akibat pemarkiran
perahu yang tidak terkontrol (Sangaji, 1994).
Ancaman-ancaman alami terhadap ekosistem lamun berupa angin topan, siklon
(terutama di Philipina), gelombang pasang, kegiatan gunung berapi bawah laut,
interaksi populasi dan komunitas (pemangsa dan persaingan), pergerakan sedimen dan
kemungkinan hama dan penyakit, vertebrata pemangsa lamun seperti sapi laut.
Diantara hewan invertebrata, bulu babi adalah pemakan lamun yang utama. Meskipun
dampak dari pemakan ini hanya setempat, tetapi jika terjadi ledakan populasi pemakan
tersebut akan terjadi kerusakan berat. Gerakan pasir juga mempengaruhi sebaran
lamun. Bila air menjadi keruh karena sedimen, lamun akan bergeser ke tempat yang
lebih dalam yang tidak memungkinkan untuk dapat bertahan hidup (Sangaji, 1994).
Limbah pertanian, industri, dan rumah tangga yang dibuang ke laut,
pengerukan lumpur, lalu lintas perahu yang padat, dan lain-lain kegiatan manusia dapat
mempunyai pengaruh yang merusak lamun. Di tempat hilangnya padang lamun,
perubahan yang dapat diperkirakan menurut Fortes (1989), yaitu:
1. Reduksi detritus dari daun lamun sebagai konsekuensi perubahan dalam jaring-jaring
makanan di daerah pantai dan komunitas ikan.
2. Perubahan dalam produsen primer yang dominan dari yang bersifat bentik yang
bersifat planktonik.
3. Perubahan dalam morfologi pantai sebagai akibat hilangnya sifat-sifat pengikat lamun.
4. Hilangnya struktural dan biologi dan digantikan oleh pasir yang gundul.
Selain beberapa ancaman tersebut, kondisi lingkungan pertumbuhan juga
mempengaruhi kelangsungan hidup suatu jenis lamun, seperti yang dinyatakan oleh
Barber (1985) bahwa temperatur yang baik untuk mengontrol produktifitas lamun pada
air adalah sekitar 20 - 30oC untuk jenis lamun Thalassia testudinum dan sekitar 30oC
untuk Syringodium filiforme. Intensitas cahaya untuk laju fotosintesis lamun
menunjukkan peningkatan dengan meningkatnya suhu dari 29 - 35oC untuk Zostera
marina, 30oC untuk Cymidoceae nodosa dan 25 - 30oC untuk Posidonia oceanica.
Kondisi ekosistem padang lamun di perarain pesisir Indonesia sekitar 30-40%.
Di pesisir pulau Jawa kondisi ekosistem padang lamun telah mengalami gangguan
yang cukup serius akibat pembuangan limbah indusri dan pertumbuhan penduduk dan
diperkirakan sebanyak 60% lamun telah mengalami kerusakan. Di pesisir pulau Bali
dan pulau Lombok ganguan bersumber dari penggunaan potassium sianida dan telah
berdampak pada penurunan nilai dan kerapatan sepsiens lamun (Fortes, 1989).
Selanjutnya dijelaskan oleh Fortes (1989) bahwa rekolonialisasi ekosistem padang
lamun dari kerusakan yang telah terjadi membutuhkan waktu antara 5 - 15 tahun dan
biaya yang dibutuhkan dalam mengembalikan fungsi ekosistem padang lamun di
daerah tropis berkisar 22800 - 684.000 US $/ha. Oleh karena itu aktiviras
pembangunan di wilayah pesisir hendaknya dapat memenimalkan dampak negatif
melalui pengkajian yang mendalam pada tiga aspek yang tekait yaitu: aspek kelestarian
lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial.
Ancaman kerusakan ekosistem padang lamun di perairan pesisir berasal dari
aktivitas masyarakat dalam mengeksploatasi sumberdaya ekosistem padang lamun
dengan menggunakan potassium sianida, sabit dan gareng serta pembuangan limbah
industri pengolahan ikan, sampah rumah tangga dan pasar tradisional. Dalam hal ini
Fauzi (2000) menyatakan bahwa dalam menilai dampak dari suatu akifitas masyarakat
terhadap kerusakan lingkungan seperti ekosistem padang lamun dapat digunakan
dengan metode tehnik evaluasi ekonomi yang dikenal dengan istilah Environmental
Impact Assesment (EIA). Metode ini telah dijadikam istrumen universal dalam
mengevaluasi dampak lingkungan akibat aktivitas pembangunan, disamping itu
metode evaluasi ekonomi dapat menjembatani kepentingan ekonomi masyarakat dan
kebutuhan ekologi dari sumber daya alam.

2.3. ASOSIASI EKOSISTEM LAMUN


Asosiasi Lamun dan Terumbu Karang
Rhizoma lamun mengikat dan menstabilkan sedimen, daun menghambat arus
dan "menangkap" bahan organik dan anorganik . Maka garis pantai terlindung dari
erosi atau penimbunan sedimen di terumbu karang terhalangi.
Banyak spesies ikan terumbu karang pada saat mudanya hidup, mencari makan
dan memperoleh naungan terhadap predator di padang lamun. Dengan demikian
padang lamun memberikan sumbangan terhadap produktivitas sekunder terumbu
karang.
Asosiasi padang laum dengan rumput laut
Di padang lamun, juga tumbuh berbagai jenis rumput laut, yang terdiri dari 18
spesies, yaitu 9 spesies algae hijau (Chlorophyta), 3 spesies algae coklat (Phaeophyta)
dan 6 spesies algae merah ( Rhodophyta).
Asosiasi padang lamun dengan komunitas ikan
Ada 7 karakteristik untuk ikan yang berasosiasi dengan lamun (Bell dan
Pollard, 1989)
1. Keanekaragaman dan kelimpahan ikan lebih tinggi dibandingkan tidak ada lamun.
2. Lamanya asosiasi berbeda-beda sesuai dengan spesies dan fase siklus hidup ikan.
3. Sebagian besar asosiasi dijembatani oleh plankton, jadi padang lamun adalah
daerah asuhan ikan.
4. Makanan utama iakan adalah zooplankton dan epifauna krustasea.
5. Ada pembagian sumberdaya yang menentukan komposisi spesies ikan.
6. Ada asosiasi dengan ekosistem lain. Kelimpahan dan komposisi spesies ikan juga
tergantung pada terumbu karang, estuaria dan mangrove.
7. Komunitas ikan dari padang lamun yang berbeda seringkali berbeda juga,
walaupun dua habitat itu berdekatan.
Kajian asosiasi padang lamun dengan ikan di Indonesia, oleh Hutomo dan
Martosewojo (1977), dilakukan di Pulau Pari yang merupakan padang lamun
Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Jumlah ikan yang ditemukan 32 famili
78 spesies, dan hanya 6 famili (Apogonidae, Atherinidae, Labridae, Gerridae,
Siganidae dan Monacanthidae) yang hidupnya menetap. Karakterisik ikan di padang
lamun P. Pari tersebut adalah:
- Penghuni tetap, memijah dan sebagian besar fase hidup di padang lamun
(contohnya Apogon margaritoporous).
- Menetap dari fase juvenile sampai dewasa, tetapi memijah di luar padang lamun
(contoh Halichoeres leparensis, Pranaesus duodecimalis, Paramia quinquilineata,
Gerres macrosoma, Monachantus tomentosus, M.hajam, Hemiglyphidodon
plagyometopon, Synadhoides biaculeatus).
- Menetap hanya pada fase juvenile (contoh Siganus canaliculatus, S.virgatus,
S.chrysospilos, Lethrinus spp, Scarus spp, Abudefduf spp, Monachnthus mylii,
Mulloides samoensis, Pelates quadrilineatus, Upeneus tragula).
- Menetap sewaktu-waktu atau singgah untuk berlindung atau mencari makan.

2.4. FUNGSI EKONOMI LAMUN


Nilai ekonomi padang lamun (manfaat ekonomi total), terkait dengan biota
yang hidupnya tergantung dengan ekosistem padang lamun sebesar U$ 412.325 per ha
per tahun atau 11,3 milyar rupiah per hektar per tahun (Fortes, 1990). Terdapat hingga
360 spesies ikan (seperti ikan baronang), 117 jenis makro-alga, 24 jenis moluska, 70
jenis krustasea, dan 45 jenis ekinodermata (seperti teripang) yang hidupnya didukung
oleh ekosistem padang lamun di Indonesia. Disamping itu, padang lamun telah
dimanfaatkan secara langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
seperti untuk makanan, pupuk, obat-obatan dll.
Dibandingkan dengan sumberdaya pesisir dan laut lainnya seperti terumbu
karang, atau mangrove, bahwa lamun kurang mendapat perhatian selama ini. Hal ini
disebabkan terutama karena kurangnya kesadaran akan pentingnya sumberdaya lamun
ini. Beberapa penelitian tentang perhitungan nilai ekonomi ekosistem lamun dapat
dilihat pada Tabel di bawah ini.

Referensi Lokasi Metode Nilai Ekonomi


Isdianto (2008) Kab. Pesisir Market value dan Rp. 3.414.000.000.000
Selatan Sumbar non market value
PKSPL (1998) Kep. Riau Market value Rp. 34.720.214,90/ha/th
Nugroho (2008) Kep. Riau CVM & Market value Rp. 66.229789,0/ha/th
Juwana et al. Bintan Timur Market value, Cost US $ 3,634,796/ha/th
(2007) benefit & Travel cost
Mc Arthur Lyne C; Australia Market & Non market $ 114 Million/year
Boland, Jhon W Selatan
(2006)
UNEP (2004) Hepu Market & Non market $ 14,839/h
Guangxi
China
Constanza et al. Global TEV US$ 19.000/ha/th
(1997)

Informasi nilai ekonomis kerang hias (Pyrene versicolor) dari teluk Banten
dilaporkan Kiswara (2009) adalah Rp. 33.000.000.- kerang hias menempel pada daun
Enhalus. Kerang hias setelah dibersihkan dibuat berbagai kerajinan seperti figure foto,
gantungan lampu dan tirai. Kerajinan umumnya dimanfaatkan secara langsung oleh
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk makanan, pupuk, obat-
obatan.

2.5. PENILAIAN EKONOMI EKOSISTEM LAMUN


2.5.1. Metode Pengambilan Data
a. Data Ekologis
Valuasi ekonomi ekosistem lamun melalui pendekatan ekologis
membutuhkan informasi data yang lengkap dan “up to date” yang meliputi data
primer dan sekunder, serta analisis yang tepat dan akurat. Pengumpulan data
ekologis dilakukan secara langsung melalui pengukuran dan pengamatan
terhadap kondisi perairan dan kondisi ekosistem lamun pada suatu wilayah,
yaitu
- Pengukuran kualitas perairan (suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen
terlarut, dan pH air)
- Pengukuran kondisi padang lamun dengan menggabungkan metode Transek
dan Petak Contoh (Transect Plot) dengan penentuan secara cepat persen
penutupan lamun di lapangan (sumber: Marine Plant Ecology Group,
northerm Fisheries Centre CAIRNS, Australia). Metode Transek dan Petak
Contoh (Transect Plot) adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu
komunitas dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang
ditarik melewati wilayah ekosistem lamun tersebut. Adapun langkah-
langkah pengambilan data dilapangan sebagai berikut:
1. Menentukan lokasi transek yang dipilih untuk pengamatan. Setiap
stasiun terdiri dari 3 transek (sub stasiun) yang ditempatkan secara
vertikal atau tegak lurus ke laut, dengan panjang 50 meter
2. Pada setiap garis transek ditempatkan kuadrat 50 x 50 cm sebanyak 5
kali mengikuti garis transek
3. Menentukan persen penutupan lamun di lapangan.
- Luasan lamun dilakukan melalui bantuan GPS
Untuk mengetahui luas area penutupan lamun, digunakan Metode Saito dan
Adobe (1970). Adapun metode perhitungannya adalah sebagai berikut :
1. Petak contoh yang digunakan pengambilan contoh berukuran 50 cm x 50 cm yang
masih dibagi-bagi lagi menjadi 25 sub petak, berukuran 10 cm x 10 cm,
2. Menentukkan persentase tutupan lamun pada tiap sub petak dan dimasukkan
kedalam kelas kehadiran berdasarkan Tabel 2
Kelas %Selang Kelas Penutupan Area %Nilai Tengah Kelas (M)
5 50 – 100 75
4 25 – 50 37,5
3 12,5 – 25 18,75
2 6,25 – 12,5 9,38
1 < 6,25 3,13
0 0 0

3. Adapun perhitungan persen penutupan lamun pada masing-masing petak dilakukan


dengan menggunakan rumus
∑ (Mi x fi)
C=
∑f

Keterangan :
C = Persentase tutupan lamun ke-i (%)
Mi = Nilai tengah kelas persen penutupan lamun pada tiap sub petak/plot
f = Banyaknya sub petak pada persentase selang kelas penutupan jenis
lamun ke-i

b. Data Driving Force Pressure State Impact Response (DPSIR)


Pengumpulan data ini dilakukan melalui identifikasi secara langsung
berdasarkan karakteristik dampak dan melalui hasil wawancara secara
interview pada pihak-pihak yang terkait langsung dengan kegiatan pemanfaatan
ekosistem dan sumberdaya lamun.
Analisis mengenai pola pemanfaatan dan permasalahan yang berkaitan
dengan sumberdaya padang lamun yang ada di suatu kawasan dapat di
gambarkan secara kualitatif dengan menggunakan pendekatan Driving Force,
Pressure, State, Impact and Response (DPSIR) yang merupakan pengembangan
dari model analisis PSR (Pressure-State-Response) (OECD 1993 dalam
Zacharias et al. 2008). Pendekatan ini didasarkan pada deskripsi tipologi usaha,
jenis sumberdaya, pola pemanfaatan dan dampak sosial ekonomi yang
ditimbulkan. Studi ini mengandalkan pendekatan ex-ante dimana gambaran
kerangka analisis DPSIR sebelum dan setelah terjadi kerusakan pada ekosistim
lamun akan digambarkan secara kualitatif melalui bantuan kuisioner yang
terstruktur.
Untuk mendapatkan informasi mengenai keadaan lingkungan dan
hubungan antara aktivitas manusia dan kemungkinan adanya perubahan
lingkungan ekosistem lamun dilakukan melalui analisis DPSIR (Driving force-
Pressure-State-Impact-Response). Pendekatan ini didasarkan pada konsep
rantai hubungan sebab akibat yang dimulai dengan aktivitas manusia (faktor
pemicu) yang menyebabkan adanya tekanan terhadap lingkungan dan
kemudian mengubah kualitas dan kuantitas sumberdaya alam hingga akhirnya
mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan masyarakat.
Driving Force merupakan aktivitas manusia yang mengarah pada
berbagai kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan tekanan terhadap
lingkungan. Faktor pemicu utama bagi seorang individu adalah kebutuhan,
seperti kebutuhan akan tempat tinggal dan makanan. Seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tempat tinggal menyebabkan
terjadinya eksploitasi terhadap sumber daya alam. Faktor pemicu sekunder
adalah kebutuhan untuk mobilitas, hiburan, budaya dan lain-lain.
Pressure adalah akibat dari proses produksi atau konsumsi yang
disebabkan oleh adanya faktor pemicu yakni aktivitas manusia untuk
memenuhi kebutuhannya. Tingkat tekanan terhadap lingkungan bergantung
pada faktor pemicu dan faktor faktor lain yang berkaitan dengan interaksi
manusia dan lingkungannya. Beberapa aktivitas manusia yang dapat
menimbulkan pressure yaitu pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan
yang berlebihan, perubahan dalam penggunaan sumberdaya dan emisi (bahan
kimia, limbah, radiasi, kebisingan) ke udara, air dan tanah.
State adalah hasil dari pressure terhadap lingkungan di suatu kawasan.
State merupakan kondisi fisik, kimia dan biologis suatu kawasan misalnya
tingkat pencemaran, degradasi sumberdaya dan lain-lain. Perubahan secara
fisik, kimia atau biologis yang terjadi pada sumberdaya alam dan lingkungan
dalam suatu kawasan mempengaruhi kualitas ekosistem dan kesejahteraan
masyarakatnya. Dengan kata lain perubahan state berdampak (impact) pada
lingkungan dalam fungsinya sebagai ekosistem, kemampuan pendukung hidup
ekosistem dan akhirnya berdampak pada tingkat kesehatan dan kondisi sosial
ekonomi masyarakat.
Response (tanggapan) masyarakat atau para pembuat kebijakan
merupakan hasil dari dampak yang tidak diinginkan dan dapat mempengaruhi
setiap bagian dari mata rantai hubungan sebab akibat dari faktor pemicu sampai
dampak-dampak yang terjadi pada lingkungan. Response meliputi penetapan
peraturan, perubahan strategi manajemen dan lain-lain. Contoh response yang
dilakukan oleh nelayan dalam mengantisipasi dampak perubahan hasil
tangkapan adalah dengan memodifikasi alat tangkap
Seiring dengan pandangan sistem analisis DPSIR, pengembangan sosial
dan ekonomi menyebabkan mendorong terjadinya tekanan pada lingkungan,
secara konsekuen terjadi perubahan pada keberadaan/kondisi lingkungan. Hal
tersebut berdampak pada fungsi ekosistem. Akhirnya masyarakat memberikan
responnya baik secara langsung maupun tidak lansung terhadap adanya
perubahan dalam sistemnya.

Kerangka DPSIR (Stanners et al 2007)


c. Data Efect on Production (EoP)
Pengumpulan data effect on production (EoP) melalui hasil wawancara
secara interview. Penentuan responden dilakukan secara sengaja (purposive
sampling) dengan pertimbangan bahwa responden adalah pihak-pihak yang
terkait langsung dengan kegiatan pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya
lamun. Responden diwancarai untuk mengetahui berapa besar produksi sumber
daya alam yang mereka manfaatkan

d. Data Nilai Bukan Manfaat (Non Use Value)


Pengumpulan data nilai bukan manfaat (non use value) menggunakan
metode contingent valuation method (CVM). Responden untuk data non use
value terdiri dari nilai pilihan (option value), nilai warisan (bequest value), dan
nilai keberadaan(existensi value).

2.5.2. Analisis Valuasi Ekonomi


Analisis data yang digunakan menggunakan teknik valuasi ekonomi untuk
menghitung nilai total ekonomi (total economic value) dari ekosistem lamun. Nilai
ekonomi total adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya
alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam
menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya
dapat di tentukan secara benar dan mengenai sasaran (Nilwan et al, 2003). Total
economic value dapat ditulis secara matematis (CSERGE,1994 dalam Nilwan et al,
2003):
TEV = UV + NUV = (DUV+IUV+OV)+(XV+BV)
dimana :
TEV = Total Economic Value IUV = Indirect Use Value
UV = Use Values OV = Option Value
NUV = Non Use Values XV = Existence Value
DUV = Direct Use Value BV = Bequest Value

Nilai-nilai yang ada di sumberdaya lamun (use value, dan non-use value), berikut
teknik valuasi yang digunakan, secara ringkas tercantum di bawah ini
Nilai (Value) Teknik Valuasi
Use Value
Direct Use Value
Tangkapan ikan Effect on Production (EoP)
Tangkapan biota non ikan Effect on Production (EoP)
Indirect Use Value
Fungsi pendukung biologi ekosistem lamun Benefit Transfer
sebagai tempat nursery ground
Fungsi jasa lingkungan sebagai blue carbon Benefit Transfer
Non Use Value
Option Value Contingent Valuation Method
Existence Value Contingent Valuation Method
Bequest Value Contingent Valuation Method
Effect on Production (EoP)
Pendekatan untuk menduga nilai ekosistem pesisir berdasarkan fungsinya
terhadap produktivitas perikanan dikenal sebagai pendekatan effect on production
(EoP). Metode yang digunakan berdasarkan kepada pendekatan hasil produksi (Effect
on Production Approach, EoP) yaitu dengan mengalikan hasil produksi dan harga
maka nilai manfaat langsung (benefit) dari ekosistem lamun dapat diestimasi
Contingent Valuation Method (CVM)
Metode valuasi kontingensi digunakan untuk mengistimasi nilai ekonomi untuk
berbagai macam ekosistem dan jasa lingkungan yang tidak memiliki pasar, misal
keindahan. Metode ini merupakan teknik dalam menyatakan preferensi, karena
menanyakan orang untuk menyatakan penilaian, penghargaan mereka. Pendekatan ini
juga memperlihatkan seberapa besar kepedulian terhadap suatu barang dan jasa
lingkungan yang dilihat dari manfaatnya yang besar bagi semua pihak sehingga upaya
pelestarian diperlukan agar tidak kehilangan manfaat itu (Suparmoko et al, 2007).
Pendekatan ini disebut contingent (tergantung kondisi) karena pada prakteknya
informasi yang diperoleh sangat bergantung dari hipotesis pasar yang dibangun,
misalnya: seberapa besar yang harus ditanggung, bagaimana pembayarannya, dan
sebangainya. Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu: teknis eksperimental melalui simulasi dan permainan dan melalui teknik survey.
Pendekatan pertama lebih banyak dilakukan dengan melalui simulasi komputer
sehingga penggunaannya di lapangan sangat sedikit.
Pendekatan CVM pada hakikatnya betujuan untuk mengetahui keinginan
membayar (willingness to pay) dari sekelompok masyarakat, misalnya terhadap
perbaikan kualitas lingkungan dan keinginan menerima (willingness to accept) dari
kerusakan suatu lingkungan. Hal ini didasarkan pada asumsi mendasar mengenai hak
kepemilikan, jika individu yang ditanya tidak memiliki hak atas barang dan jasa yang
dihasilkan dari sumberdaya alam, pengukuran yang relevan adalah keinginan
membayar yang maksimum untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, jika
individu yang kita tanya memiliki hak atas sumber daya, pengukuran yang relevan
adalah keinginan untuk menerima kompensasi yang paling minimum atas hilang atau
rusaknya sumberdaya yang dia miliki.
Metode CVM merupakan metode valuasi melalui survei langsung mengenai
penilaian respon secara individual dengan cara menanyakan kesediaan untuk
membayar (willingness to pay) terhadap suatu komoditi lingkungan atau terhadap suatu
sumberdaya non marketable. Dikatakan contingent, karena pada kondisi tersebut
respon seolah-olah dihadapkan pada pasar yang sesungguhnya dimana sedang terjadi
transaksi. Metode ini selain dapat digunakan untuk mengkuantifikasi nilai pilihan, nilai
eksistensi dan nilai pewarisan juga dapat digunakan untuk menilai penurunan kualitas
lingkungan perairan. Dalam operasionalnya untuk melakukan pendekatan CVM
dilakukan lima tahapan kegiatan atau proses (Bakosurtanal, 2005) yaitu :
- Membuat hipotesis pasar
Pada awal proses kegiatan CVM, terlebih dahulu harus membuat hipotesis pasar
terhadap sumber daya yang akan dievaluasi. Dalam hal ini membuat suatu
kuesioner yang berisi informasi lengkap mengenai kegiatan atau proyek yang akan
dilaksanakan
- Mendapatkan nilai lelang (bids)
Untuk mempeoleh nilai lelang dilakukan dengan menggunakan survei baik
melalui survei langsung dengan kuesioner, interview via telepon maupun lewat
surat. Tujuan dari survei ini untuk memperoleh nilai maksimum keinginan
membayar (WTP) dari responden terhadap suatu proyek misalnya perbaikan
lingkungan. Nilai lelang ini bisa dilakukan dengan teknik: pertanyaan berstruktur
dangan membuat kuesioner yang berstruktur sehingga akan diperoleh nilai WTP
yang maksimum, pertanyaan terbuka yaitu responden diberikan kebebasan untuk
menyatakan nilai moneter (rupiah yang ingin dibayar) untuk suatu proyek
perbaikan lingkungan, model referendum yaitu responden diberikan suatu nilai
rupiah, kemudian kepada mereka diberikan pertanyaan setuju atau tidak.
- Menghitung rataan WTP
Setelah survei dilaksanakan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan dari
WTP dan WTA dari setiap individu. Nilai ini didasarkan nilai lelang (bid) yang
diperoleh pada tahap dua
- Memperkirakan kurva lelang (bid curve)
Kurva lelang (bid curve) diperoleh misalnya dengan me-regresikan WTP/WTA
sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan beberapa variabel bebas.
- Mengagretkan data
Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang
diperoleh pada tahap ke-tiga. Proses ini melibatkan konversi dari rataan sampel
kerataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini
adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga didalam populasi
Benefit Transfer
Benefit transfer adalah suatu transfer nilai moneter suatu hasil studi valuasi
ekonomi dari suatu lokasi (yang memiliki data) ke lokasi yang tidak ada datanya.
Metode ini menilai perkiraan benefit dari tempat lain (dimana sumberdaya tersedia)
kemudian benefit tersebut ditransfer untuk memperoleh perkiraan yang kasar mengenai
manfaat dari lingkungan (Fauzi, 2003).
Valuasi ekonomi merupakan aktivitas yang cukup memerlukan waktu dan
biaya. Keterbatasan hasil studi/penelitian khususnya pada ekosistem lamun dan
banyaknya kendala untuk suatu penghitungan sehingga metode benefit transfer
merupakan solusi dalam melakukan valuasi SDAL. Metode ini digunakan dengan
asumsi nilai asuhan ikan (nursery ground) pada usaha budidaya ikan baronang secara
intensif di tambak per hektar (Kordi, 2010) dikalikan dengan harga bibit ikan dan
dibagi lagi dengan biaya investasi dikeluarkan 5 tahun sekali sesuai dengan umur
tambak (Suparmoko et al, 2004). Sedangkan untuk nilai serapan karbon pada
ekosistem lamun merupakan total hamparan ekosistem padang lamun di Indonesia
seluas 30.000 kilometer persegi yang mampu menyerap carbon 56,3 juta ton/thn.
Ekosistem padang lamun memberikan manfaat dengan menghasilkan barang
dan jasa yang dapat dikonsumsi baik secara langsung (direct) maupun tidak langsung
(indirect). Di perairan padang lamun, terdapat beberapa famili ikan komersial sebagai
penyumbang produksi perikanan, di antaranya : Serranidae, Siganidae, Scaridae,
Lethrinidae, dan Lutjanidae. Beberapa biota lain yang penting adalah sotong (Sepia,
Sepiateuthis), bulu babi (Diadema, Tripneutes), lola (Trochus niloticus), gurita
(Octopus), kima (Tridacna, Hippous), teripang (Holothuria), kerang darah (Anadara)
dan lain-lain.
Manfaat langsung yang dapat diambil dari padang lamun sementara baru nilai
fungsinya sebagai habitat hidup berbagai macam ikan (PKSPL-IPB, 1998), walaupun
sudah dapat dimanfaatkan sebagai bahan sayuran namun belum dapat dihitung nilainya
karena tidak ada data pemanfaatan maupun nilai produksinya.
Nilai manfaat langsung yang diambil dari nilai perikanan diwakili oleh
komoditas udang dan ikan sebesar US$ 56.419.620 bila luas total padang lamun di
kepulauan Riau adalah 14.620,6 ha, maka diperoleh nilai padang lamun sebesar US$
3.858,91 ha/th atau kedalam nilai rupiah berjumlah Rp. 34.730.214,90 /ha/th. (PKSPL-
IPB, 1998).
Nilai ekonomi tidak langsung pada ekosistem padang lamun yang perlu
dihitung adalah produktivitas ekosistem, perlindungan terhadap pantai, perlindungan
terhadap terumbu karang, kontribusi terhadap ekosistem terumbu karang, monitor
lingkungan, pendidikan dan penelitian.
Nilai tidak langsung ekosistem padang lamun sebesar Rp.31.499.575,00,-
ha/th., yang berasal dari nilai cadangan biodiversity dan nilai sebagai pencegah erosi
dengan nilai masing-masing sebesar US$ 15 ha/th atau berjumlah Rp. 135.000 /ha/th.
dan US$ 34.871,75 ha/th atau setara Rp. 31.364.575,0 /ha/th. (Ruitenbeek, 1991 dan
Kusumastanto, 1998).
Penilaian ekonomi bukan hanya menyangkut nilai pemanfaatan langsung dan
tidak langsung semata, namun lebih luas dari itu. Pengertian nilai atau value khususnya
yang menyangkut barang dan jasa yang di hasilkan oleh sumberdaya dan lingkungan
jika di pahami lebih lanjut bisa saja berbeda jika di pandang dari berbagai disiplin ilmu
(Anna 2007). Konsep nilai akan berhubungan dengan kesejahteraan manusia jika di
pandang dari sisi ekonomi. Dengan demikian, nilai ekonomi dari sumberdaya alam dan
lingkungan adalah jasa dan fungsi sumberdaya alam dan lingkungan yang memberikan
kotribusi terhadap kesejahteraan manusia, di mana kesejahteraan ini di ukur
berdasarkan setiap individual assessment terhadap dirinya sendiri.
Suatu ekosistim memiliki fungsi dan manfaat yang beraneka yang satu sama
lain saling mempengaruhi. Ketika suatu ekosistim dieksploitasi secara parsial (tidak
mempertimbangkan seluruh fungsi dan manfaat ekosistim), maka akan muncul
eksternalitas. Biaya eksploitasi tidak memperhitungkan seluruh dampak dari kegiatan
eksploitasi, sehingga fungsi-fungsi lain tidak diberi harga. Akibatnya terjadilah
pemberian nilai yang terlalu rendah (undervalue) terhadap sumberdaya alam, yang
mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya itu secara berlebihan. Misalnya ekosistim
padang lamun, di satu sisi berfungsi sebagai penyedia makanan dan tempat memijah
dan berkembangbiak bagi sejumlah jenis ikan serta sebagai pelindung pantai dengan
cara meredam arus, di sisi lain padang lamun juga bermanfaat untuk kawasan
penangkapan ikan (fishing ground) dan sarana wisata pantai. Ketika penangkapan ikan
lakukan dengan menggunakan bahan peledak dan racun, maka ikan-ikan dapat
ditangkap dengan mudah, namun padang lamun menjadi rusak. Biaya penangkapan
ikan menjadi lebih rendah dengan hasil tangkapan lebih besar, tetapi fungsi padang
lamun sebagai pelindung pantai, objek wisata, dan tempat bertelur dan memijah
berbagai jenis ikan, yang nilai moneternya sangat besar, menjadi hilang.
Perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan dalam
memahami pentingnya suatu ekosistim. Oleh karena itu, diperlukan suatu presepsi
yang sama untuk penilaian ekosistim tersebut. Salah satu tolok ukur yang relatif mudah
dan bisa dijadikan persepsi bersama antara berbagai disiplin ilmu tersebut adalah
memberikan “price tag” (harga) terhadap barang dan jasa yang di hasilkan dari
sumberdaya dan lingkungan. (Fauzi 2004).

Ekosistem Lamun

Analisis DPSIR Potensi Sumberdaya Aspek ekologis lamun

Valuasi Ekonomi

Use Value Non Use Value

Direct Use ValueIndirect Use Value Option Value Existence ValueBequest Value

WTP individu Nilai keberadaan


Hasil/jasa yang dapat dimanfaatkan secara
jasa yang dapat dimanfaatkan secara langsung tidak langsung Nilai keberlangsungan
untuk menjaga SDA saat ini
SDA sebagai asset untuk masa depan dibandingkan SDA saat ini sbg
memanfaatkannya
untuk masa depan
sekarang Warisan untuk
berdasarkan pertimbangan
generasi berikut
moral

Fungsi pendukung biologi ekosistem


Ekstraktif Komponen : keberdahan ekosistem sebagai asset :
WTP atas Keberlangsungan
keberlangsungan : ekosistem untuk generasi berikutn
Penangkapan Spawning Ekonomi
Jenis ikan Ekonomi
Budidaya Nursery Sosial
Habitat dan Sosial
Dll Feeding Budaya
ekosistem Budaya
Non EkstraktifFungsi pendukung Biodiversity
Transportasi Non biologi
Pariwisata
DAFTAR PUSTAKA

Aswandy, I. 2003. Asosiasi Fauna Krustasea dengan Potongan-Potongan Lamun di


Laut Dalam. Jurnal Oseana Vol XXVIII, No 4. ISSN 0216-1877.
Azkab, M.H. 1988. Transplantasi lamun, Thalassia hemprichli(Ehrenb.)Aschers di
rataan terumbu Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Dalam: Teluk Jakarta; biologi,
budidaya, oseanografi, geol ogi dan kondisi perairan ( M. K. Moosa, D. P.
Praseno dan Sukarno, eds.). Puslitbang Oseanologi-LIPI, Jakarta, 105-111.
Bengen,D.G. 2001. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Instititut Pertanian Bogor.
Fortes, 1990
Jannasch et al. 1971
Jannasch dan Wirsen, 1973. Deep-sea microorganisms: In situ response to nutrient
enrichment. Science, 180:641-643.
Kusumastanto T., 2001. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut -IPB, Bogor.
Nyabakken JW., 1998. Biologi Laut. PT. Gramedia, Jakarta.
Phillips dan Menez, 1988;
Wolff, T. 1980. Animals associated with seagrass in the deep sea. In: Handbook of
seagrass biology (R.C. Phillips and P.C. McRoy, eds.). Garland STPM Press,
New York, p. l99-2.24.
Wolff, 1975
Wolff, 1962

Anda mungkin juga menyukai