Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM ECOTOURISM
EKOSISTEM LAMUN

KELOMPOK LAMUN 2

Nama Anggota :
Valmay Savira 26020116120006 Septiyani Kusuma D. 26020116130153
Wildari N. S. 26020116120020 Rima Rosema 26020116130154
Dinda Monita 26020116130106 Nadya Oktavia 26020116130174
Annisa Rhamadany 26020116130146 Erick S. F. Hasibuan 26020116140175

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Commented [k1]: Berisi tentang pentingnya praktikum tersebut
dilakukan
Indonesia dikenal sebagai negara maritim dikarenakan mempunyai perairan
laut yang lebih luas dibandingkan daratan. Perairan laut Indonesia kaya akan
berbagai biota laut baik flora maupun fauna (Bengen, 2001). Salah satu sumber daya
laut yang cukup potensial untuk dapat dimanfaatkan adalah lamun. Indonesia
diperkirakan memiliki luasan padang lamun mencapai 30.000 km2 (Green dan Short,
2003). Lamun di Indonesia tersebar luas di seluruh perairannya dan terdiri dari 13
jenis yang berasal dari 2 suku (Fortes, 1990). Lamun merupakan tumbuhan berbunga
yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Lamun
hidup di perairan dangkal yang agak berpasir dan sering juga ditemui di terumbu
karang. Lamun terkadang membentuk komunitas yang lebat sehingga dapat disebut
sebagai padang lamun (Rahman et al., 2016).
Padang lamun merupakan hamparan atau kumpulan vegetasi lamun yang
terdiri dari satu atau berbagai jenis lamun dengan kepadatan rapat atau jarang.
Padang lamun mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting (Riniatsih, 2013).
Padang lamun mempunyai berbagai fungsi, diantaranya; sebagai produktivitas
primer, sumber makanan bagi organisme bentuk detritus, tempat berlindung biota
laut dari predator, tempat perkembangbiakan (spawning ground) dan pengasuhan
(nursery ground), mengikat sedimen dan menstabilkan substrat, dengan sistem
perakaran yang padat dan saling menyilang (Nybakken, 1992). Peranan lamun
sebagai sumber bahan organik, tempat berlindung dan tempat asuhan berbagai jenis
biota laut menyebabkan analisis ekosistem padang lamun menjadi penting untuk
diketahui. Menurut Larkum (2006), ekosistem lamun memiliki aspek untuk diteliti
mengenai tatanan struktur komunitas dan berbagai macam biota yang hidup di
sekitarnya.
Padang lamun merupakan ekosistem penunjang bagi biota yang hidup di
laut dangkal dan padang lamun memiliki peran penting di perairan sehingga
kelestariannya perlu dijaga (Harpiansyah et al., 2014). Namun kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya ekosistem padang lamun belum sebesar
dibandingkan terhadap ekosistem terumbu karang dan mangrove (Den Hartog,
1970). Penurunan luas padang lamun dapat diakibatkan oleh faktor alami ataupun
aktivitas manusia dan tekanan lingkungan (Rahman et al., 2016).

1.2. Tujuan
1. Untuk mengetahui pemanfaatan lamun di daerah perairan Karimunjawa
2. Untuk mengetahui peranan masyarakat dalam konservasi ekosistem lamun
3. Untuk mengetahui manfaat pelestarian lamun di daerah perairan
Karimunjawa

1.3. Manfaat
1. Mahasiswa mengetahui sudah ada atau belum pemanfaatan lamun di
daerah perairan Karimunjawa
2. Mahasiswa mengetahui peranan masyarakat dalam konservasi ekosistem
lamun
3. Mahasiswa mengetahui manfaat dari pelestarian lamun di daerah perairan
Karimunjawa
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taman Nasional Karimunjawa


Balai Taman Nasional Karimunjawa merupakan Unit Pelaksana Teknis
Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Taman
Nasional Karimunjawa terletak di utara pulau Jawa yang secara geografis Taman
Nasional Karimunjawa terletak pada koordinat 5°40’39” - 5°55’00” LS dan 110°05’
57” - 110°31’ 15” BT. Secara administratif kawasan ini termasuk Kecamatan
Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Taman Nasional ini
memiliki luas 111.625 ha yang meliputi 110.117,30 ha kawasan perairan dan
1.507,70 ha kawasan darat. Taman Nasional Karimunjawa merupakan satu-satunya
kawasan pelestarian alam perairan di wilayah Provinsi Jawa Tengah yang
merepresentasikan keutuhan dan keunikan pantai utara Jawa Tengah (Nababan,
2012).
Kawasan Taman Nasional Karimunjawa mempunyai lima tipe ekosistem,
yaitu ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah, hutan pantai, hutan bakau,
ekosistem padang lamun, dan ekosistem terumbu karang. Ekosistem tersebut
merupakan habitat bagi berbagai tumbuhan dan satwa liar baik yang dilindungi
maupun yang tidak dilindungi Undang-Undang. Upaya identifikasi dan invetarisasi
flora dan fauna telah dilakukan baik oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa
maupun oleh instansi terkait. Sampai dengan tahun 2017, terdapat 102 jenis vegetasi
di kawasan hutan hujan tropis dataran rendah. Upaya konservasi jenis dilakukan
untuk terus menjamin kelestarian tumbuhan dan satwa yang ada di kawasan Taman
Nasional Karimunjawa. Upaya pengelolaan tersebut dituangkan dalam berbagai
kegiatan pembinaan populasi dan pembinaan habitat. Pembinaan populasi
diprioritaskan pada jenis–jenis yang diindikasikan telah mengalami penurunan
populasi terlebih jenis yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Pembinaan habitat
dilakukan dengan tujuan utama untuk memulihkan habitat tumbuhan dan satwa
sehingga habitat tersebut akan mampu mendukung keberlangsungan hidup tumbuhan
dan satwa (Prihatinningsih dan Sumaryati, 2018).
2.2. Ekosistem Lamun
2.2.1. Pengertian Ekosistem Lamun
Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang termasuk ke dalam kelas
Angiospermae. Tumbuhan tingkat tinggi adalah tumbuhan yang sudah dapat
dibedakan akar, batang dan daunnya. Lamun merupakan tumbuhan yang hidup di
wilayah yang terbenam oleh air laut. Dalam bahasa Inggris, lamun sering disebut
dengan nam aseagrass. Padang lamun merupakan salah satu ekosistem perairan yang
menjadi sumberdaya perikanan yang penting bagi masyarakat pesisir. Hal ini
dikarenakan ekosistem padang lamun merupakan daerah penangkapan ikan yang
produktif. Pada ekosistem lamun, banyak ditemukan biota yang hidup dengan
berasosiasi dengan lamun (Rahman et al.¸ 2016).
Padang lamun merupakan ekosistem yang memiliki nilai produktivitas yang
tinggi. Habitat lamun dapat diartikan sebagai suatu komunitas. Dalam hal ini,
padanglamun merupakan suatu kerangka struktural yang berhubungan dalam proses
fisik atau kimiawi yang membentuk sebuah ekosistem. Hal ini dikarenakan lamun
mempunyai peran yang penting untuk ekosistem yang ada di laut. Padang lamun
merupakan ekosistem yang memiliki nilai produktivitas organis yang tinggi, yang
disertai dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada ekosistem lamun,
hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, krustasea, moluska (Pinna sp, Lambis
sp, Strombus sp), echinodermata (Holothuria sp, Synapta sp, Diadema sp, Arcbaster
sp, Linckia sp) dan cacing atau polychaeta (Feryatun et al., 2012).
2.2.2. Manfaat Ekosistem Lamun
Menurut Wahyudin et al. (2016), dalam beberapa aspek, lamun memiliki
beberapa fungsi, seperti:
1. Keanekaragamaan Hayati
Lamun, memiliki keanekaragamaan yang tinggi. Di Indonesia sendiri, ada 13 jenis
lamun. Selain itu, padang lamun juga merupakan habitat dari beberapa biota laut,
seperti ikan, moluska, echinodermata, penyu, dugong dan masih banyak lagi.
2. Kualitas Air
Lamun dapat membantu mempertahankan kualitas air
3. Perlindungan
Dengan adanya lamun, pengaruh dari gelombang pada pantai dapat dikurangi,
sehingga dapat menstabilkan konsidi pantai.
4. Ekonomi
Lamun juga menyediakan berbagai sumberdaya yang dapat digunakan untuk
menyokong kehidupan masyarakat, seperti untuk makanan, perikanan, bahan baku
obat dan pariwisata.
Menurut Arkham et al. (2015), kegunaan dari lamun adalah:
1. Sebagai Produsen Primer
Lamun merupakan tumbuhan yang memiliki tingkat produktifitas primer tertinggi
di perairan dangkal.
2. Habitat Biota
Bagi biota laut, lamun merupakan tempat yang digunakan sebagai perlindungan,
pemijahan, tempat menempel berbagai hewan dan tumbu-tumbuhan seperti alga.
Pada lamun atau seagrass beds merupakan tempat yang digunakan sebagai daerah
asuhan dan tempat untuk mencari makanan.
3. Penangkap Sedimen
Daun lamun yang lebat, dapat memperlambat kecepatan air. Oleh karena itu,
perairan yang ditumbuhi oleh lamun, merupakan perairan yang tenang. Selain itu,
rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengangkat sedimen, sehingga dapat
menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan.
4. Pendaur Zat Hara
Lamun memegang peranan yang penting dalam pendauran berbagai zat hara dan
elemen-elemen yang langka di lingkungan laut, seperti zat hara yang dibutuhkan
oleh alga epifit.
2.2.3. Persebaran Ekosistem Lamun
Menurut Sakey et al. (2015), berdasarkan genangan air dan kedalaman,
sebaran lamun secara vertikal dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu:
1. Jenis lamun yang tumbuh di daerah yang dangkal dan selalu terbuka saat air surut
yang mencapai kedalaman kurang dari 1 meter saat surut terendah. Contoh lamun
yang ada di daerah ini antara lain, yaitu, Halodule pinifola, Halodule uninervis,
Halophila minor, Halophila ovata, Halophila ovalis, Thalassia hemprichii,
Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Syringodium isotifolium dan
Enhalus acroides.
2. Tumbuh di daerah yang memiliki kedalaman yang sedang atau di daerah pasang
surut yang memiliki kedalaman antara 1 meter sampai 5 meter. Contoh lamun
yang hidup di daerah ini, yaitu Halodule uninervis, Halophila ovalis, Thalassia
hemprichii, Cymodocea rotundata dan Cymodoceae serrulata.
3. Lamun yang tumbuh di perairan yang memiliki kedalaman mulai dari 5 meter
sampai 35 meter. Contohnya adalah Halophila ovalis, Halophila spinulosa dan
Thalassodendron ciliatum.
Keanekaragaman hayati lamun yang paling tinggi dapat dijumpai di perairan
Teluk Flores dan Lombok, masing-masing terdapat 11 spesies. Keanekaragaman
spesies lamun di perairan Indonesia bagian barat lebih kecil dibandingkan dengan di
perairan Indonesia timur. Lamun dapat tumbuh di zona perairan yang memiliki
kedalaman tidak lebih dari 60 meter. Namun, lamun lebih banyak ditemukan di
daerah sublittoral. Menurut Sakey et al. (2015), secara vertikal, zona lamun dibagi
menjadi 2, yaitu:
1. Zona Intertidal
Pada zona interdital, lebih banyak didominasi leh Halophila ovalis, Cymodocea
rotundata dan Halodule pinifolia.
2. Zona Intertidal Bawah
Sedangkan pada zona intertidal bawah, lebih banyak didominasi oleh
Thalassendron ciliatum.

2.3. Ekowisata
2.3.1. Pengertian Ekowisata
Ekowisata adalah perjalanan wisata ke suatu lingkungan baik alam yang alami
ataupun buatan serta budaya yang ada yang bersifat informatif dan partisipatif yang
bertujuan untuk menjamin kelestarian alam dan sosial-budaya. Ekowisata adalah
suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian area yang masih
alami (natural area), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan
keutuhan budaya bagi masyarakat setempat. Atas dasar pengertian ini, bentuk
ekowisata pada dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh
penduduk dunia. Ecotraveler ini pada hakekatnya bersifat konservasionis. Untuk
mengembangkan ekowisata dilaksanakan dengan cara pengembangan pariwisata pada
umumnya. Ecotraveler menghendaki persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem
ekowisata (Tanaya dan Rudiarto, 2014).
Ekowisata merupakan pengembangan pariwisata yang ramah lingkungan,
mengedepankan konservasi lingkungan, pendidikan lingkungan dan menguntungkan
penduduk lokal (meningkatkan perekonomian penduduk lokal). Penyelenggaraan
ekowisata pada dasarnya dilakukan dengan kesederhanaan, memelihara keasliaan
alam dan lingkungan, memelihara keaslian adat istiadat, kebiasaan hidup atau the way
of life, menjaga kelestarian flora dan fauna, serta melestarikan lingkungan hidup
sehingga terjadinya suatu keseimbangan antara kehidupan manusia dengan
lingkungan alam. Ekowisata dalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggung
jawab dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap
usaha-usaha konservasi sumberdaya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat
lokal. Ekowisata berbasis kearifan lokal merupakan buah dari kecerdasan masyarakat
lokal (local genius) dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar (Hijriati dan
Mardiana, 2017).
2.3.2. Prinsip Ekowisata
Lima prinsip dasar pengembangan ekowisata di Indonesia diantaranya
pelestarian, pendidikan, pariwisata, ekonomi dan partisipasi masyarakat sekitar.
Prinsip ini menekankan bahwa kegiatan ekowisata tidak akan menimbulkan
pencemaran, baik pencemaran lingkungan, adat, budaya di kawasan ekowisata.
Ruang lingkup dalam kegiatan ekowisata tidak hanya sebatas pariwisata alam.
Namun faktor pendidikan juga harus ditekankan, mengingat sektor pendidikan tidak
hanya terfokus pada sektor formal saja. Pengelola berhak untuk menawarkan produk
ekowisata dengan memberikan unsur pendidikan di dalamnya. Ekowisata merupakan
bagian dari pariwisata. Oleh karena itu, unsur-unsur yang terdapat pariwisata juga
harus terdapat dalam kegiatan ekowisata. Adapun unsur yang harus dimiliki, yaitu
pengelola ekowisata harus memberikan produk atau pelayanan berupa barang dan
jasa yang memberikan unsur kesenangan agar layak jual dan diterima oleh pasar.
Dengan adanya kawasan ekowisata di suatu daerah, diharapkan dapat memberikan
dampak peningkatan ekonomi bagi masyarakat sekitar. Oleh karena itu, produk atau
pelayanan baik barang ataupun jasa yang ditawarkan juga harus berkualitas.
Partisipasi masyarakat akan timbul dengan sendirinya ketika alam memberikan
dampak positif bagi masyarakat. Agar alam memberikan dampak positif maka perlu
adanya pengelolaan dan penjagaan. Begitulah hubungan timbal balik antara alam dan
partisipasi masyarakat terbentuk. Masyarakat adalah salah satu indikator penting
dalam kegiatan ekowisata (Tanaya dan Rudiarto, 2014).
Manurut Hijriati dan Mardiana (2017), prinsip-prinsip ekowisata adalah
sebagai berikut:
1. Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran lingkungan dan
budaya lokal akibat kegiatan wisata.
2. Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya dengan
tujuan wisata, baik pada diri wisatawan, masyarakat lokal, maupun pelaku wisata
lainnya.
3. Menawarkan pengalaman-pengalaman positif bagi bagi wisatawan maupun
masyarakat lokal, melalui kontak budaya yang lebih intensif dan kerjasama dalam
pemeliharaan atau konservasi daerah tujuan objek wisata.
4. Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan konservasi
melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan.
5. Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal,
dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai-nilai lokal.
6. Memberikan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan dan politik di daerah
tujuan wisata.
2.3.3. Karakteristik Ekowisata
Ekowisata pada mulanya hanya bercirikan bergaul dengan alam untuk
mengenali dan menikmati. Meningkatnya kesadaran manusia akan meningkatnya
kerusakan atau perusakan alam oleh ulah manusia sendiri, telah menimbulkan atau
menumbuhkan rasa cinta alam pada semua anggota masyarakat dan keinginan untuk
sekedar menikmati telah berkembang menjadi memelihara dan menyayangi, yang
berarti mengkonservasi secara lengkap. Ciri-ciri ekowisata sekarang mengandung
unsur utama, yaitu konservasi edukasi untuk berperan serta pemberdayaan
masyarakat setempat. Kriteria yang menunjukkan karakteristik dari sebuah kawasan
ekowisata, yaitu: (1) keindahan alam di kawasan yang dilindungi; (2) tidak terlalu
banyak bangunan; (3) kegiatan wisatawan tidak merugikan sistem alam seperti
sungai, pantai, payau, dan hayati; (4) mengembangkan bisnis masyarakat termasuk
toko makanan, dan kerajinan yang harus dimiliki oleh masyarakat lokal; (5)
melakukan kegiatan wisata outdoor yang ditujukan untuk melindungi sumberdaya
alam, termasuk jalan setapak yang dapat digunakan bersama- sama dengan
masyarakat setempat; (6) mengusahakan keberadaan hotel, restoran dan kegiatan
lainnya dengan keramah-tamahan; (7) menyajikan atraksi budaya lokal di lokasi
wisata; (8) menyediakan fasilitas unum bagi wisatawan yang dapat digunakan
bersama dengan masyarakat lokal seperti pemandian umum dan toilet; (9) adanya
interaksi atau pertemuan antara masyarakat lokal dengan wisatawan di tempat yang
alami seperti toko atau bangku di pantai ekowisata (Tanaya dan Rudiarto, 2014).
Menurut Hijriati dan Mardiana (2017), ekowisata memiliki beberapa
karakteristik yang membedakannya dengan pariwisata, yaitu:
1. Aktivitas wisata berkaitan dengan konservasi lingkungan;
2. Penyedia jasa wisata tidak hanya menyiapkan atraksi untuk menarik tamu, tetapi
juga menawarkan peluang bagi mereka untuk lebih menghargai lingkungan;
3. Kegiatan wisata yang berbasis alam;
4. Organisasi perjalanan tour operator menunjukkan tanggung jawab finansial dalam
pelestarian lingkungan hijau yang dikunjungi atau dinikmati oleh wisatawan dan
wisatawan juga melakukan kegiatan yang terkait dengan konservasi;
5. Kegiatan wisata dilakukan tidak hanya dengan tujuan untuk menikmati keindahan
dan kekayaan alam, tetapi juga untuk mengumpulkan dana yang akan digunakan
untuk pelestarian objek daya tarik wisata ODTW;
6. Perjalanan wisata menggunakan alat transportasi dan akomodasi lokal;
7. Pendapatan dari pariwisata tidak hanya digunakan untuk mendukung kegiatan
konservasi lokal, tetapi juga untuk membantu pengembangan masyarakat setempat
secara berkelanjutan;
8. Perjalanan wisata menggunakan tekonologi sederhana yang tersedia di daerah
tujuan wisata; dan
9. Kegiatan wisata berskala kecil.

2.4. Analisis SWOT


Analisis SWOT merupakan salah satu metode untuk menggambarkan kondisi
dan mengevaluasi suatu masalah, proyek atau konsep bisnis yang berdasarkan faktor
eksternal dan faktor internal, yaitu kekuatan (strength), peluang (opportunities),
kelemahan (weaknesesses), dan ancaman (threats). Kekuatan adalah berbagai
kelebihan yang bersifat khas yang dimiliki oleh suatu organisasi, yang apabila dapat
dimanfaatkan akan berperan besar, tidak hanya dalam memperlancar berbagai
kegiatan yang akan dilaksanakan oleh organisasi, tetapi juga dalam mencapai tujuan
yang dimilliki oleh organisasi. Kekuatan yang dimaksud adalah kelebihan organisasi
dalam mengelola kinerja di dalamnya. Kelemahan adalah berbagai kekurangan yang
bersifat khas yang dimiliki oleh suatu organisasi yang apabila berhasil diatasi akan
berperanan besar, tidak hanya dalam memperlancar berbagai kegiatan yang akan
dilaksanakan oleh organisasi, tetapi juga dalam mencapai tujuan yang dimililiki oleh
organisasi. Peluang (opportunity) adalah situasi penting yang menguntungkan dalam
lingkungan perusahaan atau organisasi, yang apabila dapat dimanfaatkan akan besar
peranannya dalam mencapai tujuan organisasi. Ancaman (Threat) adalah kendala
yang bersifat negatif yang dihadapi oleh suatu organisasi, yang apabila berhasil di
atasi akan besar peranannya dalam mencapai tujuan organisasi. Threat merupakan
ancaman bagi organisasi baik itu dari luar maupun dari dalam (Tamara, 2016).
Faktor eksternal mempengaruhi terbentuknya opportunities and threats (O
dan T). Dimana faktor ini menyangkut dengan kondisi-kondisi yang terjadi di luar
perusahaan yang mempengaruhi dalam pembuatan keputusan perusahaan. Faktor ini
mencakup lingkungan industri dan lingkungan bisnis makro, ekonomi, politik,
hukum, teknologi, kependudukan, dan sosial budaya. Analisis lingkungan eksternal
(peluang dan ancaman), unit bisnis harus mengamati kekuatan lingkungan makro
yang utama dan faktor lingkungan mikro yang signifikan, yang mempengaruhi
kemampuannya dalam menghasilkan laba. Unit bisnis harus menetapkan sistem
intelijen pemasaran eksternal dan internal. Peluang pemasaran (marketing
opportunity) adalah wilayah kebutuhan dan minat pembeli, dimana perusahaan
mempunyai probabilitas tinggi untuk memuaskan kebutuhan tersebut dengan
menguntungkan. Ancaman lingkungan (environmental threats) adalahtantangan yang
ditempatkan oleh tren atau perkembangan yang tidak disukai yang akan
menghasilkan perurunan penjualan atau laba akibat tidak adanya tindakan pemasaran
defensif. Faktor internal mempengaruhi terbentuknya strenghts and weaknesses (S
dan W), dimana faktor ini menyangkut dengan kondisi yang terjadi dalam
perusahaan, yang mana ini turut mempengaruhi terbentuknya pembuatankeputusan
(decision making) perusahaan. Faktor internal ini meliputi semua macam manajemen
fungsional :pemasaran, keuangan, operasi, sumberdaya manusia, penelitian dan
pengembangan, sistem informasi manajemen dan budaya perusahaan (corporate
culture). Analisis lingkungan internal (kekuatan dan kelemahan), kemampuan
menemukan peluang yang menarik dan kemampuan memanfaatkan peluang tersebut
adalah dua hal yang berbeda. Setiap bisnis harus mengevaluasi kekuatan dan
kelemahan internalnya (Afrillita, 2013).
Dalam proses pembuatan analisis SWOT, penulis mengambil kesimpulan
bahwa penelitian ini menunjukkan kinerja perusahaan dapat ditentukan oleh
kombinasi faktor internal dan eksternal. Kedua faktor tersebut harus dipertimbangkan
dalam kasus analisis SWOT. Tahapan mengumpulkan data dengan melakukan
pembagian kuesioner dalam analisis SWOTyang digunakan untuk merumuskan
perencanaan strategis dan memilih strategi yang dapat menentukan hasil perumusan
masalah. Alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan adalah
matrik SWOT. Matrik ini dapat mengambarkan secara jelas bagaimana peluang dan
ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan
kelemahan yang dimilikinya. Matrik ini dapat menghasilkan 4 set kemungkinan
alternatif strategis. Faktor internal dimasukan ke dalam matrik yang disebut matrik
faktor IFAS (Internal Strategic Faktor Analisis Summary). Faktor eksternal
dimasukan ke dalam matrik yang disebut matrik faktor eksternal atau EFAS
(Eksternal Strategic Faktor Analisis Summary). Setelah matrik faktor strategi internal
dan eksternal selesai disusun kemudian hasilnya dimasukan kedalam model kualitatif,
yaitu matrik SWOT untuk merumuskan strategi kompetitif perusahaan (Anggraini et
al., 2017).
III. MATERI DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat


3.1.1. Wawancara
Hari, tanggal : Sabtu, 4 Mei 2019
Waktu : 12.30 – 15.00 WIB
Tempat : Pulau Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah
3.1.2. Observasi Pengamatan Lingkungan
Hari, tanggal : Minggu, 5 Mei 2019
Waktu : 07.00 – 12.00 WIB
Tempat : Pantai Alang-alang, Pulau Karimunjawa, Kabupaten Jepara,
iJawa Tengah

3.2. Alat dan Bahan


Tabel 1. Alat dan Bahan Praktikum
No. Nama Gambar Fungsi

1. Kertas Underwater Media mencatat hasil

2. Kamera Dokumentasi

3. Alat Tulis Mencatat hasil

4. Papan Jalan Alas menulis


5. Form Kuesioner Pedoman wawancara

6. Skin Dive Alat bantu renang

7. Keadaan lingkungan Objek yang diamati

8. Nelayan Objek yang diamati

3.3. Metode
3.3.1. Observasi Pengamatan Lingkungan
1. Alat dan bahan disiapkan
2. Keadaan lingkungan di sekitar perairan padang lamun diamati
3. Keberadaan sampah diamati dan dicatat pada kertas underwater
4. Observasi didokumentasikan dengan kamera
3.3.2. Wawancara
1. Alat dan bahan disiapkan
2. Responden berupa turis dicari atau dihubungi
3. Pertanyaan yang tercatat pada kuesioner diajukan terhadap responden
4. Jawaban dan respon dari responden dicatat
5. Kegiatan didokumentasikan
6. Pengolahan data hasil wawancara dilakukan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Deskripsi Lokasi Commented [k2]: Deskripsi lokasi Alang-Alang bisa ditambahin
lagi dari jurnal
Kepulauan Karimunjawa terletak di Laut Jawa, termasuk dalam Kabupaten
Jepara, Jawa Tengah, dengan luas wilayah daratan dan perairan 111.625 hektar. Pada
Kepulauan Karimunjawa terdapat gugusan pulau sebanyak 22 buah diantaranya Pulau
Karimunjawa sendiri. Pulau Karimunjawa memiliki luas 4.302,5 hektar (Kusiani et
al., 2014). Karimunjawa merupakan daerah wisata dan termasuk dalam Kawasan
Taman Nasional Karimunjawa. Pulau Karimunjawa terkenal dengan pantai-pantainya
yang bagus, dan di daerah pantai-pantai tersebut ada salah satu ekosistem, yaitu
ekosistem lamun.
Padang lamun adalah salah satu ekosistem di Pulau Karimunjawa dimana
padang lamun adalah hamparan tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut,
berpembuluh, berdaun, berimpang, berakar, berbiak dengan biji dan tunas (Kusiani et
al., 2014). Lamun dapat tumbuh di daerah pasang surut terbuka serta perairan pantai
yang berupa lumpur, pasir, kerikil dan patahan karang mati hingga kedalaman 4 m.
Ekosistem padang lamun juga mempunyai peran dan fungsi sebagai daerah asuhan
(nursery ground), pertumbuhan dan tempat mencari makan (feeding ground) dari
berbagai jenis ikan herbivor dan ikan-ikan karang (coral fishes). Di Pulau
Karimunjawa, ekosistem padang lamunnya masih cukup banyak dan terdapat
beberapa jenis lamun, salah satunya di Pantai Alang-Alang. Pantai Alang-Alang
merupakan lokasi yang digunakan untuk observasi lapangan dan pengamatan
praktikum konservasi. Di pantai Alang-alang memiliki ekosistem lamun yang cukup
melimpah. Ekosistem lamun tersebut juga memiliki potensi yang banyak.
4.1.2. Hasil Observasi Lapangan
4.1.2.1. Hasil Pengamatan Praktikum Konservasi
Tabel 2. Jenis Lamun yang Ditemukan
No. Nama Spesies Gambar

1. Cymodocea serrulata

2. Cymodocea rotundata

3. Thalassia hemprichii

4. Enhalus acoroides
5. Halodule uninervis

6. Holudule pinifolia

Tabel 3. Analisa Kualitas Perairan


Suhu Salinitas
No. Kloter Kecerahan pH
(°C) (ppm)
1. 1 Sampai dasar 33 29 6
2. 2 Sampai dasar 33 29 6

4.1.2.2. Hasil Pengamatan Lapangan


Ancaman yang ada pada ekosistem lamun adalah pariwisata. Hal ini
dikarenakan masih banyak wisatawan yang belum tahu dan paham mengenai lamun
serta manfaatnya. Sedangkan jika oleh masyarakat sendiri memang belum 100%
paham akan lamun, tetapi mereka tahu bahwa sudah ada larangan merusak lamun.
Ancaman lainnya, yaitu bencana lingkungan berupa sampah-sampah sisa kegiatan
pariwisata yang dibuang sembarang oleh wisatawan dan terbawa sampai laut.
Potensi dari ekosistem lamun dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata dan
penelitian bagi turis. Hal ini dikarenakan kondisi lamun yang ada di Karimunjawa
masih tergolong baik dan cukup banyak. Selain itu, ekosistem lamun juga dapat
dijadikan wilayah konservasi yang dapat dikelola oleh pemerintah, Balai Taman
Nasional Karimunjawa dengan dibantu masyarakat.
Fasilitas yang ada di dekat ekosistem lamun dapat dikatakan cukup lengkap.
Sehingga sangat cocok untuk dijadikan objek wisata dengan catatan tidak dirusak dan
tetap mempertahankan keberadaannya. Fasilitas tersebut diantaranya, sudah adanya
jalan beraspal menuju tempat lokasi, dekat jalan utama, dekat dengan masjid dan
permukiman warga. Akan tetapi sangat disayangkan belum adanya toilet disana.
Biodiversitas yang ditemukan pada ekosistem lamun sangat beragam. Pada
kriteria megabenthos ditemukan banyak teripang dari genus Holothuria. Pada kriteria
makroalga ditemukan Sargassum sp. dan Padina sp. Sedangkan pada jenis ikan
banyak juga ditemukan ikan-ikan ukuran kecil yang berwarna-warni yang singgah di
ekositem lamun. Lamun yang ditemukan pada lokasi berjumlah 6 jenis, yaitu terdiri
dari Enhalus acoroides, Thalassia hempirichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea
serullata, Halodule uninervis, dan Halodule pinifolia.
Ketika pengamatan ekosistem lamun, pada titik 0 ditemukan satu sampah
berupa plastik bungkus makanan. Tetapi setelah semakin diamati ke tengah laut, tidak
ditemukan sampah apapun. Sampah plastik tersebut kemungkinan karena wisatawan
yang sengaja membuang sampah sembarangan, sehingga terbawa ke laut dan sampai
pada ekosistem lamun. Dengan adanya hal itu, perlu dilakukan edukasi kepada
wisatawan untuk tidak membuang sampah sembarangan jika berkunjung ke objek-
objek wisata. Selain itu, disana juga tidak ditemukan adanya tempat sampah.
Mungkin karena hal ini juga yang menyebabkan para wisatawan membuang
sampahnya sembarangan.

4.1.3. Hasil Wawancara Narasumber


Salah satu teknik pengumpulan data praktikum ini adalah wawancara
mengenanai ekosistem lamun terhadap narasumber di Pulau Karimunjawa. Pada hal
ini narasumber yang dipilih adalah nelayan dan berjumlah 5 orang. Berikut hasil
wawancara terhadap 5 nelayan yang terpilih :
Narasumber pertama, yaitu Bapak Muhammad. Hasil yang didapatkan, yaitu
untuk pemilahan sampah organik dan organik, Bapak Muhammad mengatakan belum
ada, karena sampah dijadikan satu. Daur ulang sampah belum berjalan dengan baik.
Mengenai lamun di Karimunjawa belum ada pemanfaatannya. Kerusakan lamun yang
terjadi dikarenakan gelombang bukan oleh wisatawan. Di Karimunjawa juga sudah
ada peraturan dan larangan mengenai perusakan lamun, apabila dilanggar akan
dikenakan denda. Kegiatan konservasi lamun belum ada dan anggarannya pun belum
ada. Namun beliau mengatakan bahwa konservasi lamun penting, terlebih jika
dampaknya membawa keuntungan walaupun belum ada pendidikan lingkungan
mengenai lamun. Manfaat dari pelestarian lamun juga belum diketahui oleh beliau.
Bersih-bersih pantai dilakukan setiap beberapa bulan sekali. Ekowisata di
Karimunjawa lebih banyak dikelola oleh masyarakat. Beliau juga mengatakan bahwa
boleh melakukan kegiatan mencari ikan di wilayah ekosistem lamun, ikan di
ekosistem lamun juga lebih banyak.
Narasummber kedua, yaitu Bapak Rozikin. Menurut beliau, sampah belum
dipilah dan didaur ulang dengan baik. Beliau mengatakan pendidikan lingkungan
oleh instansi atau pemerintah rutin dilakukan setiap bulan. Bersih-bersih pantai juga
ada seminggu sekali. Mengenai kegiatan konsertvasi lamun belum ada, tetapi
konservasi lamun penting dilakukan. Selama ini lamun tidak dimanfaatkan tetapi ada
larangan merusak lamun dan pernah terjadi pula wisatawan yang merusak lamun.
Kegiatan mencari ikan pada ekosistem lamun tidak diperbolehkan meskipun banyak
ikan di ekosistem lamun. Ekowisata di Karimunjawa lebih banyak dikelola oleh
masyarakat.
Narasumber ketiga, yaitu Bapak Ali. Beliau mengatakan sampah tidak dipilah
berdasarkan kriteria karena hanya dikumpulkan saja lalu dibakar. Lamun belum
dimanfaatkan karena kurangnya pemahaman masyarakat terkait ekosistem lamun.
Beliau tidak mengetahui adanya larangan merusak lamun dan konservasi lamun.
Tetapi beliau mengatakan bahwa konservasi lamun penting dilakukan. Manfaat
ekosistem lamun menurut beliau, dapat menambah jumlah ikan. Pendidikan
mengenai lamun juga tidak diajarkan kepada masyarakat dan anak-anak. Menurut
beliau, ekowisata di daerah Karimunjawa lebih banyak dikelola oleh swasta atau
perorangan.
Narasumber keemapat, yaitu Bapak Kasim. Menurut beliau, sampah sudah
dikelola tetapi tempat pengelolaannya di Jepara. Pemilahan sampah belum ada.
Kegiatan bersih-bersih pantai dilakukan apabila pantainya kotor saja. Tetapi
pendidikan lingkungan oleh instansi pernah dilakukan. Banyak wisatawan yang
merusak lamun dengan cara diinjak-injak. Konservasi lamun tidak rutin dilakukan
dan dianggap tidak penting, karena masyarakat belum tahu mengenai manfaat lamun.
Ekowisata di Karimunjawa menurut beliau dikelola oleh pemerintah.
Narasumber kelima, yaitu Bapak Ngadiman. Menurut beliau, sampah belum
dipilah berdasarkan kriterianya tetapi sudah dilakukan daur ulang di Jepara. Bersih-
bersih pantai hanya pada saat pantai kotor. Pendidikan mengenai lingkungan untuk
orang dewasa dan anak-anak belum ada. Sudah ada larangan merusak lamun di
Karimunjawa. Konservasi lamun tidak rutin dilakukan karena masyarakat kurang
paham. Lamun pernah dimanfaatkan sebagai pakan teripang. Ekowisata sendiri
dikelola oleh pemerintah yang dibantu masyarakat.

4.1.4. Analisa SWOT


Tabel 4. Hasil Analisa SWOT
Kode UNSUR SWOT
Faktor KEKUATAN (S)
S1 Fungsi ekologi, biologi ekosistem lamun
S2 Jumlah jenis dan kerapatan jenis lamun
S3 Biota yang hidup berasosiasi pada ekosistem lamun
S4 Merupakan fishing ground oleh masyarakat sekitar
S5 Merupakan tempat wisata bagi wisatawan di Pulau Karimunjawa

KELEMAHAN (W)
W1 Belum ada pendidikan mengenai pentingnya ekosistem lamun
W2 Belum adanya penataan kawasan lamun dalam pemanfaatan
W3 Belum rutin dilakukan kegiatan konservasi lamun

PELUANG (O)
Dapat dijadikan sebagai acuan bagi para pengelola untuk
O1
mengelola ekosistem lamun
O2 Sebagai daerah wisata berbasis konservasi
ANCAMAN (T)
Sampah yang terbawa arus dari pemukiman masyarakat dan dari
T1
luar
T2 Sampah yang berasal dari wisatawan
T3 Kegiatan wisatawan

4.2. Pembahasan Commented [k3]: Dibikin sub bab


4.2.1 Keadaan Ekologi
Berdasarkan data yang diperoleh keadaan kondisi ekologi ekosistem lamun di 4.2.2 Aktifitas Masyarakat dan Stakeholder
4.2.3 Analisis SWOT
Pulau Karimunjawa sangat melimpah. Hasil dari praktikum lalu, di Pantai Alang- 4.2.4 Analisis Aplikasi Pengembangan Wisata di Lokasi
Commented [k4]: Didukung dengan jurnal
Alang, Pulau Karimunjawa diemukan 6 jenis lamun antara lain adalah Enhalus
acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Thalassia hemprichii,
Halodule uninervis, Halodule pinifolia. Namun kondisi lamun di Pulau Karimunjawa
mengalami kerusakan yang diakibatkan dari berbagai macam faktor, salah satunya
adalah faktor aktivitas wisata. Ketidaktahuan pengujung wisata bahkan masyarakat
setempat akan keberadaan lamun itu sendiri akan mengakibatkan kerusakan pada
ekosistem lamun seperti contohnya menginjak lamun pada saat air laut surut,
mencabut lamun, dan masih banyak yang lainnya. Selain itu, faktor ketidaksadaran
dan ketidakpedulian masyarakat dengan lingkungan sekitar. Masih banyak ditemukan
sampah di sekitar ekosistem lamun, dikarenakan banyaknya masyarakat atau
pengunjung wisata yang membuang sampah sembarangan sehingga merusak
pemandangan ekowisata lamun itu sendiri.
Mata pencaharian masyarakat Kepulauan Karimunjawa rata-rata adalah
sebagai nelayan, pada saat wisata Kepulauan Karimunjawa belum terkenal seperti ini,
masyarakat menggantungkan nasibnya sebagai nelayan, bermodalkan perahu kayu
khas Karimunjawa dan jaring. Waktu bekerja mereka tidak tentu tergantung cuaca
saat itu, beberapa sumber pencaharian di Kepulauan Karimunjawa dapat menjadi
potensi untuk masyarakat Kepulauan Karimunjawa itu sendiri. Namun potensi-
potensi tersebut perlu adanya pengembangan, pembinaan, dan pemberdayaan agar
potensi tersebut tidak sia-sia.
Selain menangkap ikan di laut lepas Kepulauan Karimunjawa, sebagian dari
nelayan ada yang membudidayakan ikan kerapu dan lobster. Hal tersebut dilakukan
karena melihat kondisi yang semakin hari pendapatan nelayan ketika mencari ikan di
laut semakin sedikit. Beberapa budidaya yang sedang dikembangkan oleh nelayan
Pulau Karimunjawa seperti budidaya ikan kerapu, budidaya lobster, budidaya rumput
laut merupakan potensi baru untuk masyarakat Pulau Karimunjawa. Hasil dari
budidaya tersebut nantinya akan ditampung oleh pengepul lokal dan kemudian akan
didistribusikan ke berbagai pelosok kota di Jawa Tengah. Bahkan ada salah satu
budidaya yang kini mampu menembus pasar ekspor, yaitu budidaya ikan kerapu lody
dan kerapu tikus. Hal ini menjadi catatan penting untuk pemerintah daerah, karena
tanpa dukungan dan pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat
Pulau Karimunjawa akan semakin sulit untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas
penghasilan dari budidaya mereka.
Kepulauan Karimunjawa dinobatkan menjadi taman nasional pada tahun
2001. Pada tahun 2018 kini berdasarkan data statistika pengunjung yang datang ke
pulau ini semakin meningkat. Hal ini menandakan bahwa Kepulauan Karimunjawa
memang layak menjadi tempat wisata yang paling bagus di Jawa Tengah. Bahkan
seharusnya pemerintah pusat juga harus ikut andil dalam pengembangan sektor
pariwisata Kepulauan Karimunjawa untuk menunjang ekonomi masyarakat lokal
dalam bidang pariwisata. Berikut mata pencaharian sektor pariwisata di Kepulauan
Karimunjawa :
1. Travel Agent Karimunjawa
2. Lokal Guide Karimunjawa
3. Usaha Penginapan Karimunjawa
4. Usaha Catering Masyarakat Karimunjawa
5. Usaha Kapal Wisata
6. Jasa Transportasi
7. Sewa Peralatan Wisata
Kelestarian sumberdaya alam hayati Taman Nasional Karimunjawa sebagai
sistem penyangga kehidupan akan memerlukan partisipasi dan dukungan para pihak.
Oleh karena itu, perlu adanya peran penting oleh para pemangku kepentingan
(stakeholder), sesuai fungsinya, utamanya dalam hal penyediaan pelayanan
kebutuhan dasar atau basic service (pendidikan, kesehatan, infrastruktur) dan progam
pengembangan sektor basis ekonomi masyarakat di Kepulauan Karimunjawa.
Walaupun telah cukup banyak upaya yang telah dilakukan pemerintah daerah melalui
program pembangunan di Kepulauan Karimunjawa, ternyata masih belum
memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan.
Permasalahan yang dirasakan dalam pengelolaan Taman Nasional
Karimunjawa selama ini adalah terbatasnya koordinasi dan kerjasama antar pihak
dalam hal pengelolaan. Hal lain adalah tidak adanya kesamaan visi, misi dan
program-program yang terpadu diantara pihak-pihak terkait seperti Balai Taman
Nasional, Badan Perencanaan Daerah, Pemerintah Daerah, masyarakat dan pihak-
pihak lainnya dalam pengelolaan wilayah Kepulauan Karimunjawa. Sistem
pengawasan kawasan juga merupakan faktor penting dalam menjamin efektifitas
pengelolaan kawasan perlindungan alam. Kurangnya apresiasi dan keikutsertaan
masyarakat juga menyebabkan semakin sulitnya proses-proses pengawasan
dilakukan.
Balai Taman Nasional Karimunjawa telah bekerjasama dengan beberapa
lembaga (contohnya: UNDIP, DKP, WCS, MFP) untuk meningkatkan efektifitas dan
kapasitas pengelolaan, namun kemitraan tersebut belum bisa disebut kolaborasi
karena tidak ada sharing otoritas dan tanggung jawab. Pengelolaan kolaboratif taman
nasional sebenarnya sudah difasilitasi dengan dikeluarkannya Permenhut nomor
P.19/Menhut-II/2004, yaitu pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
alam dilakukan secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman
dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk itu, diperlukan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa yang baik
diharapkan dapat menciptakan tata kelola mandiri (self governance) yang akan
menciptakan keuntungan bagi seluruh stakeholder sehingga pemanfaatan sumberdaya
Taman Nasional Karimunjawa dapat optimum dan lestari. Akan tetapi, ada banyak
sekali kesulitan untuk membentuk kolaborasi, karena dalam pasal 5 ayat 1 dari
Permenhut tersebut disebutkan bahwa kolaborasi dilakukan melalui kesepakatan dan
kesepahaman yang tertulis. Secara praktis hal ini mungkin sulit dicapai karena adanya
perbedaan kepentingan antar stakeholders. Selain itu, kesepakatan juga membutuhkan
tenaga,waktu, biaya dan inisiatif. Sehingga dalam praktek, masih dibutuhkan adanya
fasilitator dan koordinator yang dapat mensinergikan kepentingan banyak pihak.
Perlu adanya kerjasama antar stakeholder terkait yang nantinya diharapkan
berkesinambungan antara program ekowisata di semua lembaga. Berbagai dimensi
ekowisata harus dirumuskan tata kelola sistem manajemen yang dapat
mengedepankan tujuan manajemen dan pemasaran, integrasi saluran distribusi,
keberhasilan kebijakan, dan keberlanjutan pemerintah. Lembaga-lembaga tersebut
antara lain: Balai Taman Nasional Karimunjawa, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Jepara, LSM, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA),
Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Jepara, Pemerintah Desa, Akademisi, Kelompok
Sadar Wisata. Koordinasi dan kerjasama tersebut pada hakekatnya merupakan unsur
keterpaduan, keserasian dan keselarasan barbagai kepentingan dan kegiatan yang
saling berkaitan dalam mencapai tujuan dan sasaran bersama, sehingga perlu adanya
perencanaan dan koordinasi antar pemda Jepara dalam melaksanakan pengelolaan
Taman Nasional Karimunjawa.
Penentuan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman ekosistem lamun di
Kepulauan Karimunjawa. Commented [k5]: Membahas strategi yang digunakan untuk
mengembangkan lokasi dilihat dari kekuatan, kelemahan, peluang
1. Kekuatan dan ancaman dari hasil analisis SWOT. Bukan menulis hasil lagi.

Potensi sumberdaya lamun. Kepulauan Karimunjawa memiliki potensi


sumberdaya lamun yang sangat melimpah. Hal ini dikarenakan terdapatnya
sumberdaya lamun di sekeliling Kepulauan Karimunjawa. Dilihat dari potensi
sumberdaya lamun di Kepulauan Karimunjawa tergolong memilki berbagai
macam jenis lamun. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terdapat 6 jenis
sumberdaya lamun anrara lain Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata,
Cymodocea serrulata, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, Halodule
pinifolia. Lamun berperan sebagai daerah spawning, feeding dan nursery ground.
Ekosistem lamun merupakan ekosistem yang memiliki produktivitas organik yang
tinggi. Beberapa jenis biota laut seperti ikan, udang serta lamun ini mampu
meredam arus sehingga perairan di sekitar menjadi tenang.
2. Kelemahan
Kurangnya pemahaman tentang ekosistem lamun. Pengetahuan masyarakat
Kepulauan Karimunjawa dirasa masih kurang. Hal ini dapat dimengerti karena
sebagian besar masyarakat Kepulauan Karimunjawa tidak mengeyam pendidikan
yang tinggi. Hal ini berdampak pada rendahnya pemahaman masyarakat tentang
pengelolaan. Selain itu, kurangnya pengetahuan tentang arti pentingnya lamun
bagi kehidupan makhluk hidup menyebabkan masyarakat pesisir seolah tidak
peduli terhadap kerusakan lamun di sekitar mereka. Adanya kerusakan lamun pada
perairan Kepulauan Karimunjawa, dari hasil survey dan penelitian, bahwa kondisi
lamun di perairan Karimunjawa mengalami kerusakan. Hal ini dikarenakan
kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai keberadaan lamun itu sendiri dan
faktor alam seperti arus, gelombang.
3. Peluang
Sudah banyak penelitian yang dilakukan di Karimunjawa mengenai ekosistem
lamun. Hal itu sangat baik dilakukan untuk memonitoring keadaan lamun di
Kepulauan Karimunjawa. Hal ini dapat dijadikan peluang sebagai acuan bagi para
pengelola untuk mengelola ekosistem lamun yang dapat dijadikan wisata berbasis
konservasi.
4. Ancaman
Kegiatan atau aktifitas wisatawan yang dapat merusak lamun. Pengetahuan
pengunjung akan fungsi ekosistem lamun masih sangat kurang, sehingga masih
banyak kegiatan wisatawan yang dapat merusak ekosistem lamun, seperti berjalan
menginjak-injak lamun pada saat air laut surut, membuang sampah di laut. Selain
ancaman dari kegiatan wisatawan, yang dapat menjadi ancaman lain adalah
sampah yang terbawa arus dari pemukiman masyarakat. Kurangnya kepedulian
masyarakat yang masih membuang limbah rumah tangga ke laut dapat mengurangi
estetika dari suatu daerah ketika akan dijadikan pengembangan kawasan ekowisata
khususnya sumberdaya lamun yang terdapat pada perairan dangkal dan dekat
dengan daratan.
V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan
1. Pemanfaatan lamun di daerah Karimunjawa belum ada dikarenakan
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya lamun
2. Masyarakat berperan serta dalam pelestarian lamun, yaitu dengan cara
mengurangi aktivitas di sekitar padang lamun dan tidak merusak lamun
3. Manfaat pelestarian lamun di daerah Karimunjawa adalah sebagai habitat
biota laut dangkal, sebagai tempat memijah dan makanan biota laut lainnya

5.2. Saran
1. Praktikan diharapkan mencari narasumber dengan berbagai profesi
2. Praktikan diharapkan lebih sopan ketika mewawancarai narasumber
3. Praktikan diharapkan mempelajari isi kuisioner sebelum wawancara
DAFTAR PUSTAKA Commented [k6]: Dilengkapi lagi !
Bengen, 2001
Green dan Short, 2003
Fortes, 1990
Harpiansyah et al., 2014
Afrillita, N. T. 2013. Analisis SWOT Dalam Menentukan Strategi Pemasaran Sepeda Larkum, 2006
Motor Pada PT. Samekarindo Indah di Samarinda. Jurnal Administrasi Bisnis.,1 Riniatsih, 2013
Den Hartog, 1970
(1): 56-70.

Anggraini, P., Sunarti dan M. K. Mawardi. 2017. Analisis SWOT pada UMKM
Keripik Tempe Amel Malang Dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing
Perusahaan. Jurnal Administrasi Bisnis., 43(1).

Arkham, M. N., L. Adrianto dan Y. Wardiatno. Konektivitas Sistem Sosial-Ekologi


Lamun dan Perikanan Skala Kecil di Desa Malang Rapat dan Desa Berakit,
Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis., 7(2).

Feryatun, F., B. Hendrarto dan N. Widyorini. 2012. Kerapatan dan Distribusi Lamun
(Seagrass) Berdasarkan Zona Kegiatan yang Berbeda di Perairan Pulau
Pramuka, Kepulauan Seribu. Journal of Management of Aquatic Resources.

Hijriati, E dan R. Mardiana. 2017. Pengaruh Ekowisata Berbasis Masyarakat


Terhadap Perubahan Kondisi Ekologi, Sosial dan Ekonomi di Kampung
Batusuhunan, Sukabumi. Jurnal Sosiologi Pedesaan., 2(3).

Kuslani, H., R. Sarbini, dan Y. Nugraha. 2014. Komposisi Jenis Lamun Di Pulau
Menjangan Besar, Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah. BTL., 12(2): 105-
110.

Nababan, M. G. 2012. Zonasi Taman Nasional Karimunjawa. Balai Taman Nasional


Karimunjawa. Semarang.

Prihatinningsih, P., dan S. Sumaryati. 2018. Rencana Pelaksanaan Kegiatan Survei


Pemanfaatan Ikan Hiu dan Pari di Taman Nasional Karimunjawa.

Rahman, A. A., A. I. Nur dan M. Ramli. 2016. Studi Laju Pertumbuhan Lamun
(Enhalus acroides) di Perairan Pantai Desa Tanjung Tiram Kabupaten Konawe
Selatan. Jurnal Sapa Laut., 1(1).

Sakey, W. F.,T. W. Billy dan S. G. Grevo 2015. Variasi Morfometrik pada Beberapa
Lamun di Perairan Semenanjung Minahasa. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis.,
1(1).

Tamara, A. 2016. Implementasi Analisis SWOT Dalam Strategi Pemasaran Produk


Mandiri Tabungan Bisnis. Jurnal Riset Bisnis dan Manajemen., 4(3): 395-406.
Tanaya, D. R. dan I. Rudiarto. 2014. Potensi Pengembangan Ekowisata Berbasis
Masyarakat di Kawasan Rawa Pening, Kabupaten Semarang. Jurnal Teknik
PWK., 3(1):71-81.

Wahyudin, Y., T. Kusumastanto, L. Adrianto dan Y. Wardiatno. 2016. Jasa


Ekosistem Lamun Bagi Kesejahteraan Manusia. Jurnal Omni Akuatik., 12(3).
LAMPIRAN
DOKUMENTASI Commented [k7]: Dokumentasi kondisi lokasi ditambahin ya
kalo ada

Gambar 1. Wawancara dengan Pak Ali Gambar 2. Wawancara dengan Pak


Rozikin

Gambar 4. Wawancara dengan Pak


Gambar 3. Wawancara dengan Pak
Kasim
Muhammad dan Pak Ngadiman
Gambar 6. Keadaan lamun saat

Gambar 5. Wawancara dengan Pak observasi keadaan ekosistem

Mesku

Gambar 7. Proses observasi ekosistem Gambar 8. Biota asosiasi yang hidup di


lamun sekitar ekosistem lamun
KUISIONER
LAPORAN
SEMENTARA

Anda mungkin juga menyukai