TINJAUAN PUSTAKA
Satwa liar jenis mamalia merupakan bagian dari mega biodiversitas yang
dimiliki oleh negara Indonesia. Mamalia juga merupakan salah satu kelas dalam
kingdom animalia yang memiliki beberapa keistimewaan baik dalam hal fisiologi
maupun dalam susunan saraf dan tingkat intelegensiannya. Tercatat, 515 jenis
mamalia terdapat di Indonesia dan nilai tersebut merupakan yang tertinggi di
dunia atau 12% dari keseluruhan jenis yang terdapat di dunia. Dari jumlah
tersebut tidak kurang dari 210 jenis terdapat di Pulau Sumatra. Mamalia
memegang peranan penting di kehidupan liar sebagai salah satu penyeimbang
dalam ekosistem. Sebagai contoh, Mamalia menempati berbagai trophic level
dalam rantai makanan mulai dari mamalia herbivora sebagai predator tumbuhan
pada urutan terbawah hingga mamalia karnivora sebagai pemangsa urutan teratas
(top predator) (Achmad, 2013).
Sumber daya alam yang sangat menarik untuk dijadikan sebagai objek
ekowisata, salah satunya adalah satwa liar karena mempunyai peranan yang unik
dalam ekosistem. Peranan satwa liar dalam ekosistem antara lain berperan dalam
proses ekologi (sebagai penyeimbang rantai makanan dalam ekosistem), (2)
membantu penyerbukan tanaman, khususnya tanaman yang mempunyai
perbedaan antara posisi benang sari dan putik, (3) sebagai predator hama
(serangga, tikus, dsb), (4) penyebar/agen Bagi beberapa Jenis tumbuhan Dalam
mendistribusikan bijinya. Selain memiliki nilai penting di dalam ekosistem, satwa
liar pun bermanfaat bagi manusia, antara lain sebagai bahan penelitian,
pendidikan lingkungan, dan objek wisata (ekoturism), (2) sebagai sumber protein
yang berasal dari daging dan telurnya (3) memiliki nilai estetika, diantaranya
warna bulunya yang indah, suaranya yang merdu, tingkahnya yang atraktif
sehingga banyak di jadikan objek dalam lukisan, atau sebagai inspirasi dalam
pembuatan lagu maupun puisi, (4) memiliki nilai ekonomi (Himakova, 2012).
Hutan hujan tropis merupakan ekosistem daratan yang paling kaya di bumi
ini. Namun demikian, kawasan hutan ini berkurang secara cepat akibat dibuka
untuk dimanfaatkan kayunya, untuk lahan pertanian dan pemanfaatan lahan
lainnya. Luas kawasan hutan yang dilindungi tidak cukup untuk melestarikan
semua jenis yang ada. Dengan demikian, nasib berbagai jenis satwa liar sangat
bergantung pada kondisi hutan yang berada di luar kawasan lindung. Hilangnya
5
satwa liar yang ada di seluruh hutan tropis sering disebut sebagai sindrom “hutan
kosong” (empty forest syndrome). Beberapa pihak bahkan menyebut hutan tanpa
satwa liar sebagai “mati secara ekologis” (ecologically dead). Areal hutan yang
dikelola untuk produksi kayu merupakan peluang bagi konservasi
keanekaragaman hayati. Meskipun areal hutan ini tidak dapat menjadi pengganti
cagar alam yang diperlukan, banyak jenis satwa liar dapat dilestarikan
keberadaannya dalam suatu kawasan konsesi hutan yang dikelola sehingga fungsi
ekologisnya terjaga dengan baik. Dampak hilangnya satwa liar dalam
jangka panjang masih sulit untuk ditentukan karena kurangnya
informasi dasar (Meijard, 2006).
Pengaruh gangguan manusia terhadap satwa liar dapat ditentukan dari
jarak keberadaan satwa terhadap pusat gangguan. Salah satu model yang dapat
digunakan untuk menggambarkan peran gangguan manusia terhadap satwa adalah
"depletion model" yang telah dikolaborasikan dengan gangguan. Model ini
dikembangkan oleh Sutherland dan Anderson. Pada jenis satwa yang sensitif
terhadap keberadaan manusia maka satwa tersebut akan cenderung untuk
menghindari perjumpaan dengan manusia, dan menjauh dari sumber gangguan
pada saat mengeksploitasi sumberdaya.Peran manusia dalam mempengaruhi
keberadaan Satwa liar di Taman Nasional Alas Purwo hingga saat ini belum
.tergambarkan dengan jelas. Pemahaman terhadap hubungan ini diharapkan
memberikan masukan penting dalam mengatur interaksi manusia dengan satwa
liar di Taman Nasional. Hal ini menyebabkan semakin sulitnya usaha konservasi
jenis mamalia ini (Sutiyono, 2010).
Kondisi ini diperparah dengan tekanan yang besar dari manusia melalui
jumlah penduduk yang padat dan perburuan liar, serta musuh alami berupa anjing
liar. Manusia merupakan predator utama di muka bumi. Gangguan ‘oleh manusia
terhadap satwa liar merupakan salah satu bentuk resiko pemangsaan atau
"predation risk Pengaruh manusia terhadap satwa liar dapat dilihat dalam
beberapa faktor utama penyebab antara lain pertumbuhan populasi. Namun,
dampak tersebut diperkirakan sangat penting dan melibatkan perubahan
komposisi dan struktur hutan bersamaan dengan menurunnya kualitas atau bahkan
hilangnya fungsi penting jasa ekologis hutan (half-empty forest) (Imron, 2007).